Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembanngan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae):
PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN
TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA

TEGUH LARASATI ANDRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Cricula trifenestrata
(Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan
Pemecahan Dormansi Pupa”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Agustus 2009

Teguh Larasati Andriani
NIM G352070241

ABSTRACT
TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae): Embryonic Development, Postponement of Egg Hatching, and
Breaking of Pupal Dormancy. Under direction of DEDY DURYADI S and
DAMIANA RITA E.
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) is a pledge silkworm because
of its golden cocoon. The research aimed to know the embryonic development of C.
trifenestrata and its bearing with the postponement of egg hatching and the influence
of light intensity and pupal condition on pupal dormancy. The wet mount of each egg
stadia (1-8 days) was made by soaking the egg in 5 M NaOH for 3 days. The
postponement of egg hatching was done by preserve each stadia of egg for 3, 7, 14,
21, and 28 days in regrigerator (8 0C). Breaking of pupal dormancy was done by
place unaked and naked pupae into incubator with 8, 18 and 23 watt lamps. Complete
embryonic development of C. trifenestrata occured at the 6th day after oviposition.

The postponement of egg hatching of 5, 6 and 7 days old egg could be done for three
days. The 5 and 6 days old egg even could be postponed until seven days. The highest
percentage of egg hatching was at 6 days old egg. Light intensity didn’t give
significantly response to break pupal dormancy. Naked pupa gave positive response
for breaking pupal dormancy. The naked pupa that placed incubator with 18 watts
lamp showed the fastest breaking pupal dormancy.
Keywords: Cricula trifenestrata, embryonic development, egg postpone, pupal
dormancy

RINGKASAN

TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan
Pemecahan Dormansi Pupa.
Dibimbing oleh DEDY DURYADI S dan
DAMIANA RITA E.
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) dapat diunggulkan sebagai
ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden
silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa.
Kokonnya berbentuk seperti jarring dan tidak berbau. Permintaan kokon jauh lebih

tinggi daripada ketersediaannya di alam. Oleh karena itu banyak penelitian yang
harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera
jenis ini.
Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial
adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam
waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya
agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai
perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan
dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan
sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat
dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi
usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah
(5 - 10 0C). Dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata juga menjadi masalah
karena menyebabkan siklus hidup menjadi lebih panjang. Perlu dipikirkan cara
pemecahan dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata.
Uji pendahuluan pembuatan preparat embrio dilakukan dengan menggunakan
larutan HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat. Telur direndam dalam
larutan kimia dengan lama perendaman 1 - 5 hari. Tujuan perendaman dalam larutan
kimia adalah untuk membuat cangkang telur menjadi transparan dan lunak sehingga
embrio dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Dari uji pendahuluan ini akan

disimpulkan larutan kimia mana yang paling baik dapat digunakan dalam pembuatan
preparat embrio C. trifenestrata.
Studi embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga
hari kedelapan setelah oviposisi. Setiap stadia umur (n = 5) dari perkembangan telur
(embrio) dibuat preparatnya dengan cara merendam telur dalam larutan NaOH 5 M
selama tiga hari pada suhu ruangan yaitu 28 0C. Embrio yang telah dikeluarkan dari
cangkangnya kemudian disimpan dalam alkohol 70% yang berfungsi sebagai
pengawet preparat sebelum difoto. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop stereo Nikon WD 70 Plan Apo dan kamera Nikon D100 dengan adapter
BR2.
Telur yang digunakan dalam percobaan penundaan penetasan adalah telur
fertil hasil dari perkawinan imago jantan dan betina. Selanjutnya telur tersebut

disucihamakan dengan formalin 4% selama lima detik, kemudian dibilas dengan air
mengalir. Telur yang telah disucihamakan diletakkan di dalam cawan petri. Jumlah
telur setiap cawan petri adalah 30 butir. Telur tersebut disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu 8 0C selama 3, 7, 14, 21 dan 28 hari. Keempat puluh perlakuan
tersebut diulang tiga kali. Selanjutnya dihitung mengenai jumlah dan persentase telur
yang menetas setelah diberikan perlakuan.
Kokon yang digunakan dalam percobaan pemecahan dormansi adalah kokon

yang berasal dari alam yang tidak keluar menjadi imago setelah satu bulan. Kokon
dimasukkan dalam kotak inkubasi dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 100 cm. Pada
percobaan ini digunakan tiga kotak inkubasi dengan penyinaran lampu yang berbeda
yaitu 8, 18, dan 23 watt. Lama penyinaran setiap harinya adalah selama 12 jam.
Parameter yang diamati adalah (a) lamanya waktu munculnya imago dari kokon atau
pupa, (b) efektivitas perlakuan, (c) suhu pada tiap perlakuan, dan (d) intensitas
cahaya. Kelembaban udara di dalam kandang diatur menjadi 80%. Efektivitas
perlakuan dihitung dengan cara membandingkan jumlah imago yang keluar dari
kokon/pupa setelah diberikan perlakuan dengan jumlah keseluruhan kokon/pupa pada
tiap perlakuan.
Lama perendaman dalam larutan kimia mempengaruhi bentuk embrio.
Perendaman dalam larutan kimia yang terlalu lama akan membuat embrio menjadi
hancur, sebaliknya bila terlalu cepat perendamannya cangkang belum lunak hingga
embrio belum dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Hasil terbaik dalam percobaan ini
adalah perendaman dengan larutan NaOH 5 M selama 3 hari. Oleh karena itu metode
ini dipilih untuk pembuatan preparat embrio C. trifenestrata. Pada pengamatan
embrio hari pertama terlihat bahwa telah terjadi proses pembelahan yang diikuti
dengan
pembentukan blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari
diferensiasi berlangsung pada hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima

terjadi perkembangan diferensiasi dan organogenesis. Embrio secara sempurna
terbentuk lengkap pada hari keenam. Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala,
thoraks dan abdomen. Struktur ‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah
terbentuk. Stadia hari berikutnya (tujuh dan delapan) merupakan pematangan embrio
hingga saat penetasan telur terjadi.
Telur C. trifenestrata dapat ditunda penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga
dan tujuh hari, sedangkan pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak
dapat menetas. Penundaan penetasan telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat
dilakukan selama tiga hari untuk stadia umur telur lima, enam, dan tujuh hari.
Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh hari, namun hanya untuk stadia umur
lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur 1- 4 hari, telur tidak dapat menetas
setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena suhu tersebut adalah suhu
yang mematikan untuk perkembangan embrio muda. Dalam perkembangan embrio
dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu yang tidak sesuai akan mengganggu
proses perkembangan embrio. Pada stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas
setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena persediaan kuning telur
sebagai zat saat penyimpanan dingin telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi
pada embrio tersebut lebih parah dari pada embrio umur tujuh hari dan enam hari.
Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur enam hari.


Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan struktur
yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh hari tidak
menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8 pada
penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan
makanan dari kuning telur.
Berdasarkan hasil uji anova, intensitas cahaya tidak memberikan respon yang
nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun demikian terlihat
bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan memberikan
waktu keluarnya imago yang berbeda. Intensitas cahaya yang memberikan respon
tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux (lampu 18 watt). Kokon atau pupa
yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan lampu ini cenderung lebih cepat
keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran lampu yang lain (8 dan 23 watt).
Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa yang
tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa.
Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding yang
terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat menerima
rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang terbungkus
kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa adalah cahaya.
Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula pada pupa. Pada pupa yang
terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa cahaya harus melewati kokon

sebagai barier. Selanjutnya proses endokrin yang terjadi adalah proses pengaktifan
hormone ekdison yang akan menyebabkan terjadinya pergantian kulit dari pupa
menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan, terlihat perlakuan dengan 23
watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon menunjukkan efektivitas perlakuan
tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa ditemukan mati dan tidak menjadi
imago karena parasitoid dan kering. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak
dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada
perlakuan lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila
dilihat jumlah ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa
terbungkus kokon lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa
terbungkus kokon. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan yang paling efektif adalah
perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Parasitoid yang
ditemukan menyerang pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan
Sarchopagidae.
Kata kunci: Cricula trifenestrata, perkembangan embrio, penundaan penetasan telur,
dormansi pupa.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae):
PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN
TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA

TEGUH LARASATI ANDRIANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Bio Sains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Tri Atmowidi, Msi.

Judul

Nama
NIM

: Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembanngan
Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi
Pupa
: Teguh Larasati Andriani
: G 352070241

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Ketua

Dr. drh. Damiana Rita E, MS
Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2009

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus:

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae):
PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN
TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA

TEGUH LARASATI ANDRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Cricula trifenestrata
(Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan
Pemecahan Dormansi Pupa”, adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Teguh Larasati Andriani
NIM G352070241

ABSTRACT
TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae): Embryonic Development, Postponement of Egg Hatching, and
Breaking of Pupal Dormancy. Under direction of DEDY DURYADI S and
DAMIANA RITA E.
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) is a pledge silkworm because
of its golden cocoon. The research aimed to know the embryonic development of C.
trifenestrata and its bearing with the postponement of egg hatching and the influence
of light intensity and pupal condition on pupal dormancy. The wet mount of each egg
stadia (1-8 days) was made by soaking the egg in 5 M NaOH for 3 days. The
postponement of egg hatching was done by preserve each stadia of egg for 3, 7, 14,
21, and 28 days in regrigerator (8 0C). Breaking of pupal dormancy was done by
place unaked and naked pupae into incubator with 8, 18 and 23 watt lamps. Complete
embryonic development of C. trifenestrata occured at the 6th day after oviposition.
The postponement of egg hatching of 5, 6 and 7 days old egg could be done for three
days. The 5 and 6 days old egg even could be postponed until seven days. The highest
percentage of egg hatching was at 6 days old egg. Light intensity didn’t give
significantly response to break pupal dormancy. Naked pupa gave positive response
for breaking pupal dormancy. The naked pupa that placed incubator with 18 watts
lamp showed the fastest breaking pupal dormancy.
Keywords: Cricula trifenestrata, embryonic development, egg postpone, pupal
dormancy

RINGKASAN

TEGUH LARASATI ANDRIANI. Cricula trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan
Pemecahan Dormansi Pupa.
Dibimbing oleh DEDY DURYADI S dan
DAMIANA RITA E.
Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae) dapat diunggulkan sebagai
ulat sutera yang menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden
silk’) dan lebih berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa.
Kokonnya berbentuk seperti jarring dan tidak berbau. Permintaan kokon jauh lebih
tinggi daripada ketersediaannya di alam. Oleh karena itu banyak penelitian yang
harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon dari ulat sutera
jenis ini.
Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial
adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam
waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya
agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai
perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan
dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan
sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat
dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi
usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah
(5 - 10 0C). Dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata juga menjadi masalah
karena menyebabkan siklus hidup menjadi lebih panjang. Perlu dipikirkan cara
pemecahan dormansi yang terjadi pada pupa C. trifenestrata.
Uji pendahuluan pembuatan preparat embrio dilakukan dengan menggunakan
larutan HCl 37%, NaOH 5 M, laktofenol, dan asam asetat. Telur direndam dalam
larutan kimia dengan lama perendaman 1 - 5 hari. Tujuan perendaman dalam larutan
kimia adalah untuk membuat cangkang telur menjadi transparan dan lunak sehingga
embrio dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Dari uji pendahuluan ini akan
disimpulkan larutan kimia mana yang paling baik dapat digunakan dalam pembuatan
preparat embrio C. trifenestrata.
Studi embrio dilakukan pada telur C. trifenestrata mulai hari pertama hingga
hari kedelapan setelah oviposisi. Setiap stadia umur (n = 5) dari perkembangan telur
(embrio) dibuat preparatnya dengan cara merendam telur dalam larutan NaOH 5 M
selama tiga hari pada suhu ruangan yaitu 28 0C. Embrio yang telah dikeluarkan dari
cangkangnya kemudian disimpan dalam alkohol 70% yang berfungsi sebagai
pengawet preparat sebelum difoto. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop stereo Nikon WD 70 Plan Apo dan kamera Nikon D100 dengan adapter
BR2.
Telur yang digunakan dalam percobaan penundaan penetasan adalah telur
fertil hasil dari perkawinan imago jantan dan betina. Selanjutnya telur tersebut

disucihamakan dengan formalin 4% selama lima detik, kemudian dibilas dengan air
mengalir. Telur yang telah disucihamakan diletakkan di dalam cawan petri. Jumlah
telur setiap cawan petri adalah 30 butir. Telur tersebut disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu 8 0C selama 3, 7, 14, 21 dan 28 hari. Keempat puluh perlakuan
tersebut diulang tiga kali. Selanjutnya dihitung mengenai jumlah dan persentase telur
yang menetas setelah diberikan perlakuan.
Kokon yang digunakan dalam percobaan pemecahan dormansi adalah kokon
yang berasal dari alam yang tidak keluar menjadi imago setelah satu bulan. Kokon
dimasukkan dalam kotak inkubasi dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 100 cm. Pada
percobaan ini digunakan tiga kotak inkubasi dengan penyinaran lampu yang berbeda
yaitu 8, 18, dan 23 watt. Lama penyinaran setiap harinya adalah selama 12 jam.
Parameter yang diamati adalah (a) lamanya waktu munculnya imago dari kokon atau
pupa, (b) efektivitas perlakuan, (c) suhu pada tiap perlakuan, dan (d) intensitas
cahaya. Kelembaban udara di dalam kandang diatur menjadi 80%. Efektivitas
perlakuan dihitung dengan cara membandingkan jumlah imago yang keluar dari
kokon/pupa setelah diberikan perlakuan dengan jumlah keseluruhan kokon/pupa pada
tiap perlakuan.
Lama perendaman dalam larutan kimia mempengaruhi bentuk embrio.
Perendaman dalam larutan kimia yang terlalu lama akan membuat embrio menjadi
hancur, sebaliknya bila terlalu cepat perendamannya cangkang belum lunak hingga
embrio belum dapat dikeluarkan dari cangkangnya. Hasil terbaik dalam percobaan ini
adalah perendaman dengan larutan NaOH 5 M selama 3 hari. Oleh karena itu metode
ini dipilih untuk pembuatan preparat embrio C. trifenestrata. Pada pengamatan
embrio hari pertama terlihat bahwa telah terjadi proses pembelahan yang diikuti
dengan
pembentukan blastoderm (blastula). Gastrulasi sebagai bagian dari
diferensiasi berlangsung pada hari kedua. Pada embrio hari ketiga hingga kelima
terjadi perkembangan diferensiasi dan organogenesis. Embrio secara sempurna
terbentuk lengkap pada hari keenam. Pada stadia ini peruasan menghasilkan kepala,
thoraks dan abdomen. Struktur ‘appendages’ seperti alat mulut dan tungkai telah
terbentuk. Stadia hari berikutnya (tujuh dan delapan) merupakan pematangan embrio
hingga saat penetasan telur terjadi.
Telur C. trifenestrata dapat ditunda penetasannya pada suhu 8 0C selama tiga
dan tujuh hari, sedangkan pada lama penyimpanan 14, 21 dan 28 hari, telur tidak
dapat menetas. Penundaan penetasan telur C. trifenestrata pada suhu 8 0C dapat
dilakukan selama tiga hari untuk stadia umur telur lima, enam, dan tujuh hari.
Penundaan ini dapat ditingkatkan hingga tujuh hari, namun hanya untuk stadia umur
lima dan enam hari saja. Pada stadia umur telur 1- 4 hari, telur tidak dapat menetas
setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena suhu tersebut adalah suhu
yang mematikan untuk perkembangan embrio muda. Dalam perkembangan embrio
dibutuhkan suhu yang optimum, sehingga suhu yang tidak sesuai akan mengganggu
proses perkembangan embrio. Pada stadia umur telur 8 hari juga tidak dapat menetas
setelah disimpan pada suhu 8 0C. Hal ini diduga karena persediaan kuning telur
sebagai zat saat penyimpanan dingin telah menipis sehingga kerusakan yang terjadi
pada embrio tersebut lebih parah dari pada embrio umur tujuh hari dan enam hari.
Prosentase penetasan telur yang tinggi didapatkan pada stadia umur telur enam hari.

Hal ini diduga karena telur pada stadia ini telah memiliki embrio dengan struktur
yang lengkap. Pada lama penyimpanan tujuh hari, stadia telur umur tujuh hari tidak
menetas. Diduga hal yang sama terjadi pada kematian embrio hari ke 8 pada
penyimpanan tiga hari. Kerusakan embrio karena makin menipisnya cadangan
makanan dari kuning telur.
Berdasarkan hasil uji anova, intensitas cahaya tidak memberikan respon yang
nyata terhadap pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata. Namun demikian terlihat
bahwa ada kecenderungan pemberian intensitas yang berbeda akan memberikan
waktu keluarnya imago yang berbeda. Intensitas cahaya yang memberikan respon
tercepat terhadap keluarnya imago adalah 240 lux (lampu 18 watt). Kokon atau pupa
yang mendapatkan perlakuan penyinaran dengan lampu ini cenderung lebih cepat
keluar menjadi imago dibanding dengan penyinaran lampu yang lain (8 dan 23 watt).
Pemecahan dormansi pupa juga dipengaruhi oleh kondisi pupa. Kondisi pupa yang
tidak terbungkus kokon memberikan respon positif untuk pemecahan dormansi pupa.
Pupa yang tidak terbungkus kokon lebih cepat keluar menjadi imago dibanding yang
terbungkus kokon. Diduga pupa yang tidak terbungkus kokon lebih kuat menerima
rangsangan dari lingkungan berupa cahaya dibanding yang pupa yang terbungkus
kokon. Salah satu rangsangan untuk memecahkan dormansi pada pupa adalah cahaya.
Cahaya akan diteruskan ke otak melalui kutikula pada pupa. Pada pupa yang
terbungkus kokon, sebelum menuju kutikula pupa cahaya harus melewati kokon
sebagai barier. Selanjutnya proses endokrin yang terjadi adalah proses pengaktifan
hormone ekdison yang akan menyebabkan terjadinya pergantian kulit dari pupa
menjadi imago. Pada perhitungan efektivitas perlakuan, terlihat perlakuan dengan 23
watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon menunjukkan efektivitas perlakuan
tertinggi (65%). Namun beberapa kokon/pupa ditemukan mati dan tidak menjadi
imago karena parasitoid dan kering. Bila pupa yang mati karena parasitoid tidak
dimasukkan dalam perhitungan maka efektivitas perlakuan tertinggi adalah pada
perlakuan lampu 8 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon (100%). Namun bila
dilihat jumlah ulangannya, maka perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa
terbungkus kokon lebih banyak dari perlakuan 8 watt dengan kondisi pupa
terbungkus kokon. Sehingga dapat disimpulkan perlakuan yang paling efektif adalah
perlakuan lampu 23 watt dengan kondisi pupa terbungkus kokon. Parasitoid yang
ditemukan menyerang pupa C. trifenestrata adalah dari famili Ichneumonidae dan
Sarchopagidae.
Kata kunci: Cricula trifenestrata, perkembangan embrio, penundaan penetasan telur,
dormansi pupa.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae):
PERKEMBANGAN EMBRIO, PENUNDAAN PENETASAN
TELUR, DAN PEMECAHAN DORMANSI PUPA

TEGUH LARASATI ANDRIANI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Bio Sains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr. Tri Atmowidi, Msi.

Judul

Nama
NIM

: Cricula trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembanngan
Embrio, Penundaan Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi
Pupa
: Teguh Larasati Andriani
: G 352070241

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Ketua

Dr. drh. Damiana Rita E, MS
Anggota

Diketahui

Koordinator Mayor Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Tanggal Ujian: 11 Agustus 2009

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis ini sebagaimana yang diharapkan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2008 sampai April 2009 adalah Cricula
trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae): Perkembangan Embrio, Penundaan
Penetasan Telur, dan Pemecahan Dormansi Pupa. Penelitian ini dilaksanakan di
laboratorium PPSHB.
Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak. Penghargaan dan terimakasih dari lubuk hati yang paling dalam
penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Dr. drh. Damiana Rita E.
selaku komisi pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan. Semoga jasa baik
Bapak dan Ibu mendapatkan pahala yang setimpal dari Tuhan YME. Penulis juga
menyampaikan ucapan terimakasih kepada Kepala MAN 1 Kudus yang telah
memberi ijin dan dukungan selama melaksanakan studi di IPB. Kepada Pimpinan IPB
dan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan dan staf pengajar Departemen Biologi
FMIPA IPB, Ketua Mayor BSH IPB, Pimpinan dan staf Laboratorium Biologi
Molekuler PPSHB.
Penelitian ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dana, untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang
diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Ucapan
terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Sutrisno Hari atas diskusi tentang
Saturniidae, Bapak Dr. drh. Adiwinarto dan Mbak Tini atas masukannya dalam
pembuatan preparat embrio, Dr. Kikin Muttaqin atas bantuan dokumentasi embrio,
Bapak Roni atas bantuan kokon, Ibu Aisyah dan Bapak Heri atas kerjasama dan
dukungannya.
Kepada keluarga terutama Bapak dan Ibu saya (Soejatmin dan Sumaryatun)
yang senatiasa mendukung dan mendoakan keberhasilan saya. Kakak-kakak dan adik
saya (Mas Guh, Mbak Tik, Mas Sulis, Mbak Heni, Indah) serta keponakankeponakan tercinta (Niken, Ais, Aji, Melati, Eno, Ata). Teman-teman satu angkatan,
teman-teman satu laboratorium, dan semua pihak yang mendukung penelitian ini.
Mudah-mudahan Allah SWT membalas budi baik Bapak, Ibu dan saudara-saudara
semuanya. Amin

Bogor, Agustus 2009
Teguh Larasati Andriani

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 29 September 1974
sebagai anak kelima dari enam bersaudara, dari pasangan H. Soejatmin dan
Hj. Sumaryatun. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Negeri
Jember 2 Kudus pada tahun 1987, SMP Negeri 2 Kudus pada tahun 1990 dan SMA
Negeri 1 Kudus pada tahun 1993. Lulus dari Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Diponegoro pada tahun 1999. Tahun 2007 memperoleh kesempatan
melanjutkan program Pascasarjana IPB dengan beasiswa dari Departemen Agama.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Madrasah Aliyah Negeri 1 Kudus
sejak tahun 2005 hingga sekarang.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................................
Permasalahan ..................................................................................................
Hipotesis...........................................................................................................
Tujuan Penelitian ............................................................................................
Manfaat Penelitian ...........................................................................................
Kerangka Penelitian ........................................................................................

1
4
4
4
4
5

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Cricula trifenestrata .....................................................................
Distribusi C. trifenestrata ...............................................................................
Biologi C. trifenestrata. ..................................................................................
Telur ...................................................................................................
Larva .................................................................................................
Pupa ...................................................................................................
Imago ................................................................................................
Perkembangan Embrio Serangga ....................................................................
Faktor Yang Mempengaruhi Metamorfosis Serangga ....................................
Pengaruh Cahaya pada Metamorfosis ................................................
Strategi Serangga Untuk Bertahan di Musim Dingin .........................
Hormon Pengendali Metamorfosis .....................................................

6
6
7
7
8
8
9
10
14
15
16
16

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian .........................................................................
Alat dan Bahan Penelitian ................................................................................
Cara Kerja .......................................................................................................
Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ...........................................
Pengamatan Embrio C. trifenestrata ...................................................
Penundaan Penetasan Telur ...............................................................
Pemecahan Dormansi Pupa .................................................................
Analisis Data ...................................................................................................

20
20
20
20
20
21
22
24

HASIL
Pengamatan siklus hidup C. trifenestrata ......................................................
Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ................................................
Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam
Suhu 8 0C ........................................................................................................
Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata .................................................
PEMBAHASAN
Siklus Hidup C. trifenestrata .........................................................................
Studi Perkembangan Embrio C. trifenestrata ................................................
Penundaan Penetasan Telur C. trifenestrata dengan Penyimpanan dalam
Suhu 8 0C .........................................................................................................
Pemecahan dormansi Pupa C. trifenestrata ....................................................

25
30
33
35

39
39
41
42

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ......................................................................................................... 44
Saran ................................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 45
LAMPIRAN ................................................................................................... 48

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Keberhasilan perkembangan embrio dan penetasan telur .......................... 34
2 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa ............................. 37
3 Efektivitas perlakuan pada pemecahan dormansi pupa bila pupa yang
mati karena parasit tidak masuk dalam perhitungan .................................. 38

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Alur kerangka penelitian ........................................................................... 5
2 Pembelahan nukleus .................................................................................... 11
3 Embrio dengan germ band .......................................................................... 11
4 Perkembangan ‘amnion cavity’ ................................................................... 12
5 Pembentukan saluran pencernaan ............................................................... 13
6 Perkembangan appendages serangga .......................................................... 14
7 Kotak inkubasi .......................................................................................... 23
8 Peletakan telur C. trifenestrata ................................................................... 25
9 Larva instar 1 .............................................................................................. 26
10 Larva instar 2 .............................................................................................. 26
11 Larva instar 3 .............................................................................................. 27
12 Larva instar 4 .............................................................................................. 27
13 Larva instar 5 .............................................................................................. 28
14 Kokon dan pupa .......................................................................................... 28
15 Imago jantan dan betina .............................................................................. 29
16 C. trifenestrata sedang berkopulasi............................................................. 30
17 Perkembangan embrio C. trifenestrata pada hari 1- 8 ................................ 32
18 Parasitoid pada pupa: A. Ichneumonidae; B. Sarchopagidae ..................... 35
19 Pupa yang mati kekeringan ......................................................................... 35

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Uji anova untukpengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap
waktu keluarnya imago ............................................................................ 49
2 Uji anova pengaruh stadia umur telur dan lama penyimpanan terhadap
prosentase penetasan telur .......................................................................... 50
3 Uji Duncan untuk stadia umur telur ........................................................... 51
4 Larutan laktofenol ...................................................................................... 51

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Industri sutera di Indonesia telah berkembang selama kurang lebih 80 tahun
(mulai dari tahun 1930-an sampai sekarang) (Atmosoedarjo et al. 2000). Selama
perkembangan tersebut ulat sutera yang dibudidayakan adalah Bombyx mori yang
tergolong dalam famili Bombycidae. Banyak kendala yang dihadapi dalam budidaya
sutera ini, antara lain masih tergantungnya pasokan bibit ulat sutera berkualitas dari
luar negeri dan adanya hambatan klimatik (karena Bombyx bukan ngengat asli
Indonesia).
Selain Bombyx mori, ada jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera
yaitu Antheraea yamamai (dikembangkan di Jepang), Antheraea polypemu
(dikembangkan di Amerika Utara), Antheraea pernyi (dikembangkan di China),
Philosamia ricini (sutera eri dikembangkan di India), Antheraea mylitta (sutera tasar
dikembangkan di India), dan Attacus atlas. Indonesia memiliki potensi penghasil
sutera dari ulat sutera liar. Beberapa jenis ulat sutera liar yang daerah penyebarannya
ada di Indonesia adalah Cricula trifenestrata, Attacus atlas dan Antherea spp
(Paukstadt U & Paukstadt LH 2004) yang selama ini dianggap sebagai hama, ternyata
mampu menghasilkan benang sutera yang bernilai ekonomis. Dibandingkan dengan
Bombyx, ulat sutera liar asli Indonesia ini memiliki keunggulan yaitu relatif bebas
dari hambatan klimatik.
Salah satu jenis ulat sutera liar yaitu C. trifenestrata (Lepidoptera:
Saturniidae) yang lebih dikenal dengan nama ulat kipat atau ulat alpukat, merupakan
ulat sutera yang bersifat polifag, menyukai berbagai jenis inang, seperti alpukat,
jambu mente, kayumanis, kedondong, mangga, kenari, coklat, kina dan beberapa
jenis tanaman lainnya (Kalshoven 1981; Holloway 1987). Di beberapa daerah seperti
di Yogyakarta dan sekitarnya serta Bali, kepompongnya mempunyai nilai ekonomi
tinggi. Pupa diolah menjadi sumber nutrisi, sementara serat kokon dijadikan bahan
kerajinan seperti ornamen, kembang dan hiasan lainnya (Wikardi & Djuwarso 2000;

Purwanti 2005). C. trifenestrata dapat diunggulkan sebagai ulat sutera yang
menghasilkan benang berwarna khas yaitu kuning keemasan (‘golden silk’) dan lebih
berpori serta tidak mudah kusut dibandingkan dengan sutera biasa.

Kokonnya

berbentuk seperti jaring (Kalshoven 1981) dan tidak berbau. Oleh karena itu banyak
penelitian yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kokon
dari ulat sutera jenis ini.
Selama ini para pengumpul C. trifenestrata mendapatkan kokon dengan cara
mengumpulkannya dari alam karena memang belum ada upaya budidaya. Masalah
yang dihadapi para pengumpul adalah bahwa kokon tidak ditemukan secara kontinyu
sepanjang tahun.

Dugaan sementara kelangkaan kokon di masa-masa tertentu

disebabkan oleh strategi adaptasi dari serangga ini dengan melakukan aktivitas
hidupnya hanya pada kondisi lingkungan yang kondusif (‘favorable’) bagi
kehidupannya.
Hampir semua serangga termasuk C. trifenestrata memiliki kemampuan
untuk mengatasi kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan. Kendala yang utama
bagi serangga adalah predator, parasit, parasitoid dan perubahan yang terjadi di
lingkungan akibat pergantian musim (Gullan & Cranston 2000). Penyesuaian yang
terjadi pada serangga dalam menanggapi perubahan musim mencakup antara lain
modifikasi khas mengenai daur hidup.

Hal ini dilakukan dengan penyesuaian

perkembangan tanpa mengubah urutan rangkaian daur hidup, tetapi menyelaraskan
perkembangan aktif dengan musim yang sesuai. Salah satu hal yang dilakukan oleh
serangga adalah melakukan diapause (Denlinger 1986).

Sebagai contoh pada

serangga subtropis, diapause lebih merupakan suatu kasus khusus yaitu terhentinya
perkembangan sebagai antisipasi dari datangnya kondisi alam yang tidak
memungkinkan, dan hal ini dapat terjadi pada tahap manapun dari siklus hidup
bergantung pada spesies. Umumnya diapause terjadi pada tahapan telur dan pupa
(Willmer et al. 2005). Oleh karena itu diapause berkontribusi dalam memperpanjang
siklus hidup serangga dan kemampuannya bertahan terus hidup walaupun iklim
relatif kurang mendukung. Beberapa penelitian mengenai diapause pada serangga
telah banyak dilakukan. Menurut Bradshaw et al. (2004), banyak tanaman tingkat

tinggi, hewan vertebrata, dan hewan arthropoda menggunakan lama pencahayaan
atau fotoperiode untuk mensinkronisasikan pertumbuhan, perkembangan, reproduksi,
dormansi, migrasi dengan perubahan musim. Selain itu kondisi iklim mikro terutama
kelembaban dapat mempercepat keluarnya ngengat dari kepompong. Pada ngengat
jenis lain, Rachman (2001) menyatakan lama periode pupa Attacus atlas di musim
penghujan lebih pendek daripada di musim kemarau. Perlakuan fotoperiode dapat
mempersingkat waktu periode pupa di musim kemarau dan sebaliknya dapat
memperpanjang waktu periode pupa di musim penghujan. Demikian juga menurut
William et al. (1964), diapause pupa Antherea pernyi dapat diperlambat pada suhu
25 0C dengan kondisi penyinaran pendek (fotofase 4 - 12 jam) dan dapat dipercepat
dengan kondisi penyinaran panjang (fotofase 15 - 18 jam).

Ostrinia nubilalis

(Pyralidae) yang dipelihara dalam laboratorium, diapause fakultatif dapat terjadi saat
diinduksi dengan penyinaran pendek (McLeod & Beck 1963). Wilayah tropis
memiliki kondisi iklim yang berbeda dengan wilayah subtropis. Beberapa serangga
pada daerah tropis melakukan penyesuaian kondisi iklim dengan melakukan
dormansi. Denlinger (1986) menyatakan bahwa dormansi serangga tropis meliputi
aestivasi (diapause di musim kering) dan pluviasi (diapause di musim basah).
Permasalahan utama dalam domestikasi ulat sutera untuk keperluan komersial
adalah penyimpanan telur yang aman untuk menjamin ketersediaan telur. Di alam
waktu penetasan berlangsung serempak sehingga perlu diatur waktu penetasannya
agar usaha budidaya dapat optimal. Diperlukan informasi yang akurat mengenai
perkembangan embrio dari serangga ini terutama pada saat setelah telur dikeluarkan
dari induk betina hingga menetas berkembang menjadi larva. Informasi ini akan
sangat berguna untuk menentukan fase perkembangan embrio mana yang dapat
dihentikan secara sementara. Apabila informasi ini tepat maka sangat berguna bagi
usaha penyimpanan telur dalam berbagai kondisi seperti pada suhu rendah
(5 - 10 0C). Sebagai contoh pada Bombyx mori, telur dapat ditunda penetasannya
pada suhu -2.5 0C hingga dua tahun (Shimizu et al. 1994). Dengan demikian langkah
penting untuk domestikasi dan budidaya C. trifenestrata dapat dimulai dari studi

perkembangan embrio, penyimpanan telur yang tetap fertil dan ‘viable’ dan
percepatan kemunculan imago dari fase pupa dengan berbagai cara.

Permasalahan
Permasalahan dari penelitian ini adalah bagaimana perkembangan embrio
C. trifenestrata, pada tahap / umur embrio berapa hari dapat dilakukan penundaan
penetasan telur dan bagaimana pengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa terhadap
pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah suhu 8 0C dapat digunakan untuk menunda
penetasan telur C. trifenestrata; intensitas cahaya dan kondisi pupa memberikan
pengaruh pada pemecahan dormansi pupa C. trifenestrata.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perkembangan embrio
C. trifenestrata, melakukan upaya penundaan penetasan telur dan mengetahui
pengaruh intensitas cahaya dan kondisi pupa pada pemecahan dormansi pupa
C. trifenestrata.

Manfaat Penelitian
Penelitian

ini

bermanfaat

memberikan

informasi

C. trifenestrata untuk mendukung budidaya ulat sutera liar.

mengenai

biologi

Alur Kerangka Penelitian

Industri sutera (Bombyx) di Indonesia tergantung pasokan bibit berkualitas dari
luar negeri, namun budidayanya menghadapai hambatan klimatik (Bombyx
bukan ngengat asli Indonesia).

Perlu eksplorasi mengenai sumber benang sutera yang asli Indonesia selain
dari Bombyx sehingga relatif bebas hambatan klimatik.

C. trifenestrata merupakan salah satu penghasil sutera liar asli Indonesia
yang belum dibudidaya tetapi jumlahnya melimpah di alam.

Informasi biologi ulat sutera C. trifenestrata terbatas.

1. Perkembangan embrio
2. Cara penundaan penetasan
3. Pemecahan dormansi pupa

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Siklus hidup
Pakan larva
Pengolahan kokon
Pemanfaatan kokon untuk keperluan lain
Breeding
Domestikasi

Budidaya C. trifenestrata sebagai penghasil sutera asli Indonesia.

Gambar 1 Alur kerangka penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Cricula trifenestrata
Cricula trifenestrata termasuk dalam kelompok ngengat yaitu sejenis kupu
nokturnal (aktif di malam hari) yang memiliki ciri-ciri antara lain antena pada jantan
berbentuk quadripektinate sedang pada betina berbentuk bipektinate. Dalam genus
Cricula, di antara spesies, terdapat perbedaan dalam hal warna. Spot mata pada
sayap telah bermodifikasi, ocelus pada sayap belakang mereduksi menjadi titik kecil
kehitaman atau jendela hyaline kecil yang bulat. Pada sayap depan, ocelus juga
mereduksi, tapi terdapat satu, dua atau tiga spot yang mirip membentuk seperti
sebuah kepulauan pada sayap. Terdapat seksual dimorfisme, betina selalu lebih besar
dengan sayap yang membulat dan biasanya berwarna lebih gelap dari jantan. Warna
sayap juga bervariasi dari coklat, merah gelap-oranye hingga coklat kekuningan
(Nassig et al.1996).
Dalam klasifikasi, C. trifenestrata

termasuk dalam kingdom Animalia,

phylum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Lepidoptera, famili Saturniidae, genus
Cricula (Triplehorn & Johnson 2005).

Distribusi C. trifenestrata (Lepidoptera: Saturniidae)
Di dunia ada sekitar 1200 - 1500 spesies dari famili Saturniidae dengan pusat
keragaman ada di Neotropik, Asia Tenggara antara Peninsula Indomalaya dan New
Guinea (70 spesies). Di Sumatra dan pulau kecil lain di sekitarnya terdapat sekitar 24
spesies (Nassig et al. 1996).
Famili Saturniidae merupakan bagian dari superfamili Bombycoidea yang
terdiri dari beberapa famili ngengat yang berukuran besar seperti Lasiocampidae,
Euteroptidae, Anthelidae Australia, Carthaeidae Australia, Sabaliidae Africa,
Lemoniidae Paleartic bagian barat, Apatelodidae Amerika, Endromididae Paleartic,
Bombycidae, Brahmaeidae, Saturniidae, Sphingidae (Nassig et

al. 1996). Tiga

spesies terdapat di Sumatra yaitu C. sumatrensis (spesies endemik), C. elaezia

(tersebar di paparan Sunda), dan C. trifenestrata (tersebar di daerah oriental).
Malaysia barat diketahui memiliki 2 spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia.
Borneo diketahui memiliki 3 spesies yaitu C. bornea (spesies endemik), C. elaezia
(tersebar di paparan Sunda) dan C. trifenestrata. Jawa dan Bali diketahui memiliki 2
spesies yaitu C. trifenestrata dan C. elaezia (Nassig et al. 1996).
C. trifenestrata merupakan spesies Cricula yang paling luas penyebarannya.
Spesies ini dapat ditemukan sebagai subspecies yang berbeda di wilayah India selatan
dan Asia Tenggara yang meliputi Philipina (C. t. treadawayi) dan Indonesia (Jawa
yaitu C. t. javana; Sumatra yaitu C. t. javana; Sulawesi yaitu C. t. kransi &
C. t. banggaiensis; Sumba yaitu C. t. tenggarrensis; Maluku yaitu C.t. serama &

C.

t. banggaiensis) (Nassig et al. 1996).

Biologi Cricula trifenestrata
C. trifenestrata disebut juga ulat kipat bersifat polifag dan sangat rakus.
Selain jambu mete larva ulat sutera ini juga menyerang alpukat, kenari, jambu,
kedondong, mangga, kakao, dan kayumanis (Kalshoven 1981).
C. trifenestrata termasuk serangga holometabola yaitu serangga yang
mengalami metamorfosis sempurna. Siklus hidupnya terbagi menjadi empat tahap
yaitu telur, larva atau ulat, pupa atau kepompong dan imago atau ngengat dewasa
(Gullan & Cranston 2000). Lamanya siklus hidup C. trifenestrata dari telur hingga
imago rata-rata 63 – 77 hari (Deptan 1995).

Telur
C. trifenestrata memiliki telur yang berkulit licin berwarna putih kekuningan,
berbentuk bulat lonjong dengan panjang 2.27 ± 0.15 mm, lebar 1.86 ± 0.12mm (Rono
et al. 2008).

Telur diletakkan oleh induknya secara teratur, disusun rapi pada

pinggiran daun sebelah bawah atau tangkai daun dalam jumlah yang banyak. Jumlah
telur mencapai 200 - 325 butir per induk dengan fertilitas tinggi. Telur menetas
menjadi larva setelah 7 hari. Stadia telur sekitar 8 – 11 hari (Deptan 1995).

Larva
Menurut Rono et al. (2008) larva C. trifenestrata terdiri dari lima instar
dengan pergantian kulit empat kali.

Perubahan larva dari instar 1 ke instar 5

membutuhkan waktu masing-masing 5 hari, sehingga fase larva berlangsung kurang
lebih 25 hari.

Larva instar 1 berwarna kuning hingga kuning kecoklatan yang

kemudian akan berubah menjadi kuning kemerahan dengan kepala hitam. Bagian
thoraks terdiri dari 3 segmen dan tiap segmen terdapat sepasang kaki dan tubuhnya
ditutupi rambut-rambut halus.

Bagian abdomen memiliki 5 pasang proleg yang

terdapat pada segmen abdomen ketiga hingga keenam dan segmen abdomen
kesepuluh. Larva instar 2 berwarna kombinasi dari kuning, merah dan hitam dengan
kepala coklat, tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus. Larva instar 3, warna tubuhnya
adalah kuning kemerahan dengan kepala coklat, tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus
berwarna putih dan bagian ventralnya berwarna merah. Larva ini bergerak lebih
aktif, memakan lebih banyak dan ukuran bertambah dibandingkan 2 instar
sebelumnya. Larva instar 4 berwarna mirip dengan instar 5 namun berbeda dalam
ukuran. Larva instar 5 berwarna merah dengan kepala merah tubuhnya ditumbuhi
bulu-bulu halus berwarna putih agak kasar dan terdapat garis hitam melingkar mulai
dari kepala sampai abdomen.
Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran larva instar 1 hingga
instar 5 menunjukkan peningkatan panjang rata-rata dari 4.08 ± 0.15 hingga
81.49 ± 0.23 mm dan lebar rata-rata dari 2.17 ± 0.18 hingga 11.22 ± 0.22 mm.

Pupa
Prapupa merupakan suatu tahapan dimana larva instar 5 mulai berubah bentuk
menjadi pupa.

Pada

awal periode prapupa, larva mulai berhenti makan, mulai

berkurang keaktifannya, tidak bergerak cepat lagi dan memilih tempat terlindung
untuk pupasi.

Menurut Rojak (2001) dari instar 5 sampai menjadi prapupa

membutuhkan waktu 8 - 9 hari, sedangkan pupasi atau proses terbentuknya pupa
berlangsung selama 3 - 5 hari. Ukuran pupa betina lebih panjang dan lebar dari pupa
jantan.

Hasil penelitian Rono et al. (2008) mengenai ukuran pupa menunjukkan
bahwa panjang dan lebar rata-rata pupa jantan adalah 31.64 ± 0.37 mm dan
10.61 ± 0.31 mm, sedangkan panjang dan lebar rata-rata pupa betina adalah
35.57 ± 0.40 mm dan 12.58 ± 0.31 mm.
Pupa C. trifenestrata terbungkus dalam kokon yang b