Berbagai Metode Pemecahan Dormansi Biji Aren ( Arenga pinnata Merr. )

(1)

BERBAGAI METODE PEMECAHAN DORMANSI

BIJI AREN ( Arenga pinnata Merr. )

SKRIPSI

ROSARI MARITO. S

031202020 / BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Judul Skripsi : Berbagai Metode Pemecahan Dormansi Biji Aren ( Arenga pinnata Merr. )

Nama : Rosari Marito. S

NIM : 031202020

Program Studi : Budidaya Hutan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Afifuddin Dalimunthe, SP. MP) (Dr. Budi Utomo, SP. MP) NIP. 132 302 941 NIP. 132 305 100

Mengetahui

Ketua Departemen Kehutanan

(Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS) NIP. 132 287 853


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat diberikan kesempatan untuk menyelesaikan usulan penelitian ini.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “BERBAGAI METODE

PEMECAHAN DORMANSI BIJI AREN ( Arenga pinnata Merr.)” yang

merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1.Komisi pembimbing yaitu Bapak Afifuddin Dalimunthe, SP.MP dan Bapak Dr.Budi Utomo, SP.MP yang telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan usulan penelitian ini.

2.Bapak Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen dan Ketua Program Studi Budidaya Hutan beserta seluruh staf administrasi.

Akhir kata penulis menyadari bahwa usulan penelitian ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis harapkan kritik dan saran agar usulan penelitian ini menjadi lebih baik.Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Februari 2008


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Aren ( Arenga pinnata Merr.) ... 5

A. Syarat Tumbuh ... 9

B. Perkecambahan Biji ... 9

Dormansi ... 12

Penyebab Dormansi ... 12

Teknik/Metode Pemecahan Dormansi ... 13

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Pelaksanan Penelitian Penyiapan Biji ... 17

Penyiapan media Kecambah ... 17

Pemecahan Dormansi ... 17

Pengecambahan Biji... 17

Pemeliharaan Penyiraman ... 18

Pencegahan penyakit ... 18

Pengamatan Parameter Persentase Perkecambahan (%) ... 18

Persentase Perkecambahan Normal (%) ... 18

Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) ... 19

Laju Perkecambahan (Germination Rate) ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Persentase Perkecambahan (%) ... 20

Persentase Perkecambahan Normal (%) ... 21

Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) ... 22


(5)

Pembahasan ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 31 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Hal

1. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Biji Aren (A. pinnata)

dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi ………..20 2. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Biji Aren

(A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi………..21 3. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Biji Aren

(A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pematahan Dormansi………..22 4. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) Biji Aren


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Rataan Persentase Perkecambahan (%)... 34 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Setelah di Transformasi

dengan x +0,5 ... 34 3. Sidik Ragan (ANOVA) Persentase Perkecambahan (%)

Setelah di Transformasi dengan x +0,5 ... 34 4. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) ... 35 5. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Normal Setelah di

Transformasi dengan x +0,5 ... 35

6. Sidik Ragan (ANOVA) Persentase Perkecambahan (%) Normal

Setelah di Transformasi dengan x +0,5 ... 35

7. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) ... 36 8. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Setelah di

Transformasi dengan x +0,5 ... 36 9. Sidik Ragan (ANOVA) Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Setelah di Transformasi dengan x +0,5 ... 36

10. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) ... 37 11. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) Setelah di

Transformasi dengan x +0,5 ... 37

12. Sidik Ragan (ANOVA) Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Setelah di Transformasi dengan x +0,5 ... 37

13. Gambaran Lokasi Penelitian secara Keseluruhan ... 38 14. Perlakuan Perendaman dengan H2SO4 yang Mempercepat

Perkecambahan ... 38 15. Gambar Perkecambahan Normal dari Biji Aren

(Arenga pinnata) ... 39 16. Gambar Perkecambahan Abnormal dari Biji Aren

(Arenga pinnata) ... 40 17. Perlakuan Penggongsengan dan Perendaman dalam Air Panas

Kemudian Ke Air Dingin yang tidak Berkecambah ……….41 18. Biji yang mulai terangkat ke atas permukaan pasir ………..42


(8)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan dan ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan keanekaragaman tumbuh-tumbuhan dan hasil kayu maupun hasil hutan bukan kayu memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia. Menurut Salim (1997) manfaat hutan terdiri dari manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antar lain kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan seperti getah, buah-buahan, minyak atsiri dan lain-lain sedangkan manfaat tidak langsung antara lain dapat menciptakan iklim mikro, hidrologi dan lain-lain. Selanjutnya Arief (2001) menjelaskan hasil-hasil hutan dibedakan berdasarkan sifat tangiable dan intangiable. Sifat-sifat intangiable terdiri atas hasil yang berkaitan dengan sistem alami misalnya hidrologi dan wisata alam. Salah satu hasil hutan non kayu atau hasil hutan ikutan yang bersifat tangiable tersebut adalah aren ( Arenga pinnata Merr).

Pohon aren atau enau ( A. pinnata Merr) merupakan pohon yang menghasilkan bahan-bahan industri sudah sejak lama kita kenal. Banyak manfaat yang diperoleh dari tanaman aren ini antara lain tandan bunganya disadap menjadi nira untuk bahan pembuat gula, cuka dan minuman, bahkan digunakan untuk pembuatan minuman keras yang dikenal dengan tuak, dari buahnya dapat dibuat kolang-kaling yang digunakan sebagai bahan makanan ringan, dari ijuknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku anyaman untuk atap rumah, dekorasi, sapu


(9)

lantai, jok mobil dan lain-lain, daun muda dapat digunakan sebagai rokok daun yang disebut kawung, serabut batangnya dijadikan bahan makanan, akar aren digunakan sebagai obat tradisional dan peralatan bangunan, batang untuk pembuatan peralatan bahan bangunan (Sunanto, 1993).

Di Indonesia, tanaman aren banyak terdapat dan tersebar hampir di seluruh nusantara, khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembab. Hampir seluruh tanaman aren yang ada itu berasal dari pertumbuhannya yang liar (tidak sengaja ditanam orang). Aren bisa tumbuh dimana saja, tahan terhadap penyakit, tumbuh secara alami di tanah kritis, tahan api dan mencegah erosi dengan akar yang rapat ( Indonesia Power, 2007).

Usaha dalam pengembangan tanaman perlu didukung melalui penyediaan bibit yang berkualitas. Penyediaan bibit dapat dipenuhi melalui perbanyakan tanaman secara generatit dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif dilakukan dengan biji yang didalamnya mengandung embrio. Sedangkan perbanyakan secara vegetatif dilakukan terhadap tanaman selain biji. Perbanyakan secara generatif biasanya dilakukan terhadap tanaman yang banyak menghasilkan biji

(Wudianto, 1994).

Tanaman aren dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji). Meskipun tumbuhan ini banyak kegunaanya, jenis ini tampaknya kurang diperhatikan. Populasinya semakin lama semakin berkurang, mengingat kepentingan melestarikan jenis ini sering dikalahkan oleh kebutuhan lain yang dianggap lebih menguntungkan. Padahal jenis ini dapat dipakai sebagai tanaman penghijauan atau tanaman serbaguna untuk lahan-lahan kritis atau kurang subur yang telah


(10)

dibuka sehingga agar mencegah kepunahannya maka tanaman ini harus tetap dipertahankan (Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti dan Porsea, 1995).

Aren memiliki kulit biji yang keras sehingga untuk memacu proses perkecambahan perlu dilakukan perlakuan pendahuluan. Perlakuan pendahuluan yang dilakukan yaitu dengan melakukan suatu tidakan untuk mengikis jaringan penutup embrio yang disebut skarifikasi yang disebabkan oleh hambatan mekanis yang ditimbulkan oleh kerasnya jaringan endosperma dan endocarp yang menutup embrio agar air, oksigen dan faktor lain yang mendukung untuk mempercepat perkecambahan lebih mudah masuk sehingga membantu dalam proses perkecambahan. Suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses perkecambahan. Suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian terhadap embrio benih (Sutopo, 1993).

Perlakuan kimia yang diberikan pada benih yang dorman khususnya yang disebabkan kulit benih menjadi lunak dan mudah dimasuki air dan udara. Menurut Sutopo (1993) bahan kimia dapat digunakan sebagai perlakuan untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Bahan kimia yang sering digunakan antara lain asam sulfat pekat dan asam nitrat pekat.

Berdasarkan uraian diatas, penulis perlu untuk melakukan suatu penelitian yang berkaitan tentang suatu cara agar dapat mempercepat perkecambahan biji aren dengan judul penelitian “ Berbagai Metode Pemecahan Dormansi Biji Aren ( Arenga pinnata Merr )”.


(11)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi cara pemecahan dormansi yang dapat mempercepat perkecambahan biji aren.

Hipotesis Penelitian

Perkecambahan biji aren yang cepat dapat distimulir oleh perlakuan pemecahan dormansi tertentu.

Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh metode pemecahan dormansi yang dapat mempercepat perkecambahan biji aren yang dapat diterapkan di lapangan yang dapat menambah informasi bagi dunia pendidikan dan penelitian.


(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Tanaman Aren ( A. pinnata Merr )

Taksonomi dari tanaman Aren ( A. pinnata Merr) adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales

Famili : Aracaceae Genus : Arenga

Spesies : Arenga pinnata Merr. ( Sunanto, 1993).

Aren ( A. pinnata Merr) termasuk suku Arecaceae ( pinang-pinangan), merupakan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae) yaitu biji buahnya terbungkus daging buah. Tanaman aren banyak terdapat mulai dari pantai timur India sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini banyak terdapat hampir di seluruh wilayah nusantara.

Perakaran pohon aren menyebar dan cukup dalam sehingga tanaman ini dapat diandalkan sebagai vegetasi pencegah erosi, terutama untuk daerah yang tanahnya mempunyai kemiringan lebih dari 20%. Akar-akarnya yang direndam dalam air sehingga kulitnya mengelupas menghasilkan suatu material anyaman yang mudah dibelah-belah. Akar pohon aren juga dapat digunakan untuk benang kail karena mempunyai sifat kuat sedang inti akar (mamangar) dapat digunakan untuk membuat cambuk yang sangat disukai oleh sais pedati. Akar pohon aren


(13)

juga dapat digunakan untuk obat tradisional yaitu sebagai penghancur batu kandung kemih.

Pohon aren tua tingginya dapat mencapai 20 m dan garis tengah batangnya di bagian bawah dapat mencapai 75 cm. Batang pohon ini tidak mempunyai lapisan kambium, sehingga tidak dapat tumbuh semakin besar lagi

( Sunanto, 1993).

Daun tanaman aren pada tanaman bibit (sampai umur 3 tahun), bentuk daunnya belum menyirip (berbentuk kipas). Sedangkan daun tanaman aren yang sudah dewasa dan tua bersirip ganjil seperti daun tanaman kelapa, namun ukuran daun dan pelepah daunnya lebih besar dan lebih kuat jika dibandingkan dengan daun tanaman kelapa.Warna daun tanaman aren adalah hijau gelap. Tanaman aren memiliki tajuk (kumpulan daun) yang rimbun, dimana daun-daun muda yang terikat erat pada pelepahnya berposisi agak tegak, sedangkan daun-daun yang telah tua benar dan mengering akhirnya terlepas, masih terikat erat pada batang pohon, karena adanya sekumpulan ijuk yang membalut batang pohon yang sekaligus juga membalut pangkal pelepah daun.

Umur pohon aren mencapai lebih dari 50 tahun, dan diatas umur ini pohon aren sudah sangat berkurang dalam memproduksi buah, bahkan sudah tidak mampu lagi memproduksi buah. Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan angin atau serangga. Buah aren terbentuk bulat, berdiameter 4-5 cm, didalamnya berisi 3 buah, masing-masing berbentuk seperti satu siung bawang putih. Bagian-bagian dari buah aren terdiri dari:

1. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning setelah tua (masak)


(14)

2. Daging buah, berwarna putih kekuning-kuningan

3. Kulit biji, berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam yang keras setelah buah masak.

4. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada waktu buah sudah masak.

Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian buah, sedangkan buah yang sudah masak dagingnya buahnya agak lunak. Daging buah aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit, karena lendir mengandung asam oksalat. Tiap untaian buah panjangnya mencapai 1,5-1,8 meter, dan tiap tongkol (tandan buah ) terdapat 40-50 untaian buah. Tiap tandan terdapat banyak buah, beratnya mencapai 1-2,5 kuintal. Buah yang setengah masak dapat dibuat kolang-kaling. Pada satu pohon aren sering didapati 2-5 tandan buah yang tumbuhnya agak serempak.

Tanaman aren tergolong tanaman berumah satu, artinya pada satu pohon atau tanaman aren terdapat bunga jantan dan bunga betina. Pada umumnya tanaman ini mulai membentuk bunga pada umur sekitar 12-16 tahun. Semakin tinggi tempatnya akan semakin lambat membentuk bunga. Bunga yang muncul pertama kali adalah bunga betina.

Bunga betina tersusun pada untaian-untaian bunga, berbentuk butiran-butiran kecil. Bunga betina yang muncul pertama kali posisinya pada ruas batang di ketiak pelepah daun di bawah titik tumbuh. Bunga betina ini belum dapat diserbuki oleh tepung sari dari bunga jantan karena bunga jantan belum tumbuh.


(15)

Sekitar 3 bulan kemudian bunga jantan mulai tumbuh di bawah bunga betina. Tepung sari bunga jantan ini sudah terlambat menyerbuk putik bunga betina, sebab putik-putik sudah kelewat masak, sehingga pohon belum dapat memproduksi buah aren. Bunga jantan ini duduk berpasangan pada untaian, di mana untaian-untaian yang berjumlah 25 itu pangkalnya melekat pada sebuah tandan.

Bunga betina berbentuk butiran (bulat) berwarna hijau dan duduk sendiri-sendiri pada untaian, maka bunga jantan berbentuk bulat panjang seperti peluru dengan panjang 1,2-1,5 cm berwarna ungu. Dengan demikian pada pohon aren tumbuhnya bunga dari tahun ke tahun semakin ke bawah atau semakin mendekati permukaan tanah tempat tumbuhnya. Jadi, makin tua pohon aren, semakin rendah munculnya tandan bunga. Nira aren yang digunakan untuk pembuatan gula merah atau tuak dan cuka merupakan hasil penyadapan tandan bunga jantan. Untuk dapat memperoleh nira dalam jumlah banyak, bunga betina harus dihilangkan

(Sunanto, 1993).

Kulit buah aren yang masih hijau mengandung racun dan dapat menimbulkan iritasi dan infeksi bila mengenai kulit yang peka. Kulit buah tersebut bila dilumatkan dengan air dapat dipakai untuk menangkap ikan, karena ikan-ikan menjadi mabuk lalu mengambang sehingga mudah ditangkap.

Batangnya berwarna hitam cukup potensial untuk bahan lantai, meja, kursi, tangkai peralatan dan kayu bakar.


(16)

Syarat Tumbuh

Tanaman aren sesungguhnya tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus, sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah liat (berlempung), berkapur, dan berpasir. Tetapi tanaman ini tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya terlalu tinggi ( pH tanah terlalu asam).

Di Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 m diatas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 m dan lebih dari 800 m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.

Di samping itu, banyaknya curah hujan juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya tanaman ini. Tanaman aren menghendaki curah hujan yang merata sepanjang tahun yaitu minimun sebanyak 1200 mm setahun. Atau jika diperhitungkan dengan perumusan Schmidt dan Fergusson, iklim yang cocok untuk tanaman ini adalah iklim sedang sampai iklim agak basah.

Faktor lingkungan tumbuhnya juga berpengaruh. Daerah-daerah perbukitan yang lembab, dimana di sekelilingnya banyak tumbuh berbagai tanaman keras, tanaman aren dapat tumbuh subur. Dengan demikian tanaman ini tidak membutuhkan sinar matahari yang terik sepanjang hari.

(Sunanto, 1993).

Perkecambahan Biji

Secara morfologis sukar ditemukan dengan pasti kapan perkecambahan biji berakhir dan pertumbuhan dimulai. Kesukaran ini terutama disebabkan oleh


(17)

karena dalam prakteknya, penentuan suatu biji berkecambah apabila telah kelihatan keluarnya radikula atau plumula dari kulit biji. Sedangkan, sebelum keluarnya radikula atau plumula itu sendiri adalah hasil proses pertumbuhan yang telah terjadi, disebabkan oleh pembelahan sel, pemanjangan sel atau kedua-duanya (Kamil, 1979).

Biji aren memiliki ciri khas yaitu tunas kecambahnya tumbuh di sisi tengah dari biji. Hal ini dapat dilihat jika biji buah aren yang belum tua itu dibuat kolang-kaling. Jika kolang-kaling itu ditekan pada sisi tengahnya, maka akan muncul benda kecil berwarna putih dari salah satu sisinya. Benda putih inilah calon lembaga yang akan tumbuh sebagai kecambah. Sedangkan pada biji aren yang sudah tua dan siap disemaikan, calon lembaga tersebut kelihatan sebagai sebuah bulatan kecil di salah satu sisi biji aren. Biji-biji sudah mulai berkecambah setelah 30-40 hari disemai, dimana kecambah tumbuh kedalam media pasir (tumbuh ke bawah) dan biji semakin terangkat ke atas sampai muncul dan terangkat diatas permukaan media pasir (Sunanto, 1993).

Menurut Sutopo (2004), secara umum terdapat dua tipe pertumbuhan awal dari suatu kecambah tanaman yaitu :

1. Tipe epigeal (epigeous) dimana munculnya radikula diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah.

2. Tipe hipogael (hypogeous), dimana munculnya radikula diikuti dengan pemanjangan plumula, hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon tetap berada di dalam kulit biji di bawah permukaan tanah.


(18)

Menurut Kuswanto (1996), proses awal yang terjadi dalam perkecambahan adalah proses imbibisi, yaitu masuknya air ke dalam benih sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai persentase tertentu (50-60%). Proses perkecambahan itu dapat terjadi jika kulit benih permeable terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu.

Air yang diserap oleh biji dapat terjadi melalui proses imbibisi dan diikuti keluarnya energi kinetik akibat adanya pengambilan molekul air. Proses imbibisi yang terjadi akan segera diikuti oleh kenaikan aktifitas enzim dan pernafasan yang besar. Pati, lemak dan protein yang tersimpan dihidrolisis menjadi zat-zat yang lebih mobil; gula, asam-asam lemak, dan asam-asam amino yang diangkut ke bagian-bagian embrio yang tumbuh aktif (Sutopo, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih dapat berasal dari dalam benih (faktor internal), maupun dari luar benih (faktor eksternal). Faktor internal yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain adalah tingkat kemasakan benih, ukuran benih dan berat benih serta dormansi. Disamping itu viabilitas dan jangka waktu benih dapat hidup serta genetika juga berpengaruh. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih antara lain: air, suhu, oksigen, cahaya dan media. Dua faktor penting yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih adalah sifat dari benih itu sendiri terutama pada kulit pelindungnya dan jumlah air yang tersedia pada medium sekitarnya. Banyaknya air yang diperlukan tergantung dari jenis benih, tapi umumnya tidak melampaui dua atau tiga kali berat keringnya (Sutopo, 2004).


(19)

Dormansi

Benih dikatakan dormansi apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Menurut Wirawan dan Wahyuni (2002) dormansi benih merupakan kondisi benih yang tidak mampu berkecambah meski kondisi lingkungannya optimun untuk berkecambah. Dormansi pada benih dapat berlangsung selama beberapa hari, semusim bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dormansinya. Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum melalui masa dormansinya atau sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus terhadap benih tersebut (Sutopo, 2004).

Secara alami biji aren memiliki masa dormansi yang cukup lama, yaitu bervariasi dari 1-12 bulan yang terutama disebabkan oleh kulit biji yang keras dan impermeabel sehingga menghambat terjadinya imbibisi air ke dalam biji. Upaya pematahan dormansi telah dilakukan untuk mengatasi impermeabilitas kulit biji ini melalui perendaman dengan HCl, H2SO4, air panas dan skarifikasi. Dormansi biji aren juga disebabkan oleh adanya zat inhibitor perkecambahan seperti ABA, kematangan embrio yang belum sempurna dan faktor genetis tanaman aren (Puslitbang Bioteknologi, 2000).

Penyebab Dormansi

Menurut Gardner et al, dormansi yaitu suatu keadaan pertumbuhan yang tertunda atau dalam keadaan istirahat, yang merupakan kondisi yang berlangsung selama periode yang tidak terbatas walaupun berada dalam keadaan yang


(20)

menguntungkan untuk perkecambahan. Dormansi pada benih dapat disebabkan oleh keadaan fisik dari kulit biji, keadaan fisiologis dari embrio atau kombinasi dari kedua tersebut. Menurut Justice dan Louis (1990) dormansi pada beberapa jenis disebabkan oleh: 1) struktur benih, misalnya kulit benih, pericarp dan membran, yang mempersulit keluar masuknya air dan udara; 2) kelainan fisiologis pada embrio; 3) penghambat (inhibitor) perkecambahan atau penghalang lainnya; atau 4) gangguan dari faktor-faktor tersebut diatas. Kedapnya kulit benih terhadap air atau oksigen karena kulit benih tersebut terlalu keras, diliputi oleh gabus atau lilin. Zat penghambat dapat berada disekitar kulit serat di bagian-bagian dalam benih itu, atau menempel pada kulit (sebelumya zat ini berada dalam daging buah) (Kartasapoetra, 1989). Ditambahkan oleh Mugnisjah (1994), dormansi juga dapat sebagai salah satu strategi benih-benih tumbuhan agar dapat mengatasi lingkungan suboptimun guna mempertahankan kelanjutan spesiesnya.

Menurut Danoesastro (1982) mekanisme dormansi benih terdiri dari tiga bentuk yaitu :

1. Pembatasan permeabilitas, terutama untuk masuknya air dan oksigen ke dalam bagian benih yang sedang dorman

2. Pembatasan oleh zat pengatur tumbuh, termasuk inhibitor dan zat-zat yang menghambat berlangsungnya pertumbuhan

3. Pembatasan fisik terhadap pembatasan embrio dan keluarnya kecambah.

Teknik/Metoda Pemecahan Dormansi

Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar


(21)

dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansi dapat dipersingkat. Beberapa cara yang telah diketahui adalah: 1) Perlakuan mekanis; pada umumnya dipergunakan untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis kulit perkecambahan yang terdapat pada kulit biji. Terdiri dari: Skarifikasi (mencakup seperti mengikir atau mengosok kulit biji dengan kertas empelas, melubangi kulit biji dengan pisau dan lain sebagainya) dan tekanan. 2) Perlakuan kimia; yaitu perlakuan dengan memberikan bahan-bahan kimia untuk memecahkan dormansi pada benih. 3) Perlakuan perendaman dengan air; perlakuan perendaman di dalam air panas dengan tujuan memudahkan penyerapan air oleh benih. 4) Perlakuan pemberian temperatur tertentu; terdiri dari stratifikasi dan perlakuan dengan temperatur rendah dan tinggi. 5) Perlakuan dengan cahaya; cahaya tidak hanya mempengaruhi persentase perkecambahan benih, tetapi juga laju perkecambahan (Sutopo, 2004).


(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober sampai Januari 2008.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji aren, air, bak kecambah, pasir, H2SO4 pekat (65%) dan fungisida Dithane M-45.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas pasir, wadah plastik, pisau, kompor, tempat penggorengan, sendok pengaduk, kantong kertas, , handsprayer, beaker glass, kamera, kalkulator, penggaris/rol, dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial (Gomez dan Gomez, 1995) dengan perlakuan yaitu Pemecahan Dormansi (S) yang terdiri dari taraf yaitu :

S0 = Tanpa Perlakuan

S1 = Pembuangan hilum dengan pisau

S2 = Pengikisan dengan kertas pasir

S3 = Penggongsengan selama 5 menit

S4 = Perendaman dengan air panas (2 menit) kemudian direndam pada air


(23)

S5 = Perendaman dengan H2SO4 pekat (65%) selama 10 menit

Maka dapat disimpulkan:

Jumlah perlakuan : 6

Ulangan : 3

Jumlah Unit Percobaan : 18 Jumlah benih/unit percobaan : 10 Jumlah benih seluruhnya : 180

Model linier rancangan percobaan ini adalah : Yij = μ + τ i + €ij

Dimana: Yij = Nilai hasil pengamatan pada ulangan / blok ke-i yang mendapat perlakuan taraf ke-j

μ = Rataan umum

τ i = Pengaruh perlakuan pemecahan dormansi ke-i

€ij = Pengaruh galat ulangan/blok taraf ke-I dan perlakuan taraf ke-j

Data ditransformasi dengan menggunakan transformasi akar kuadrat ( y ), hal ini dilakukan karena adanya kejadian yang berpeluang sangat kecil (kurang dari 0,1 atau 10%) untuk menjadi kenyataan dan data yang diperoleh berkisaran antara 0-30% atau 70-100% sehingga perlu ditransformasi ke bentuk transformasi akar kuadrat ( y ) (Hanafiah, 2003).

Data dianalisis keragamannya dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjutan berdasarkan uji jarak Duncan’s (Gomez dan Gomez, 1995).


(24)

Pelaksanaan Penelitian A. Penyiapan Biji

Biji yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari pohon induk yang pertumbuhannya sehat dan biji yang telah matang fisiologis. Buah sebagai sumber benih diambil yang telah masak yang ditandai dengan buah berwarna putih kekuning-kuningan. Kulit biji berwarna hitam yang keras setelah buah masak.

B. Penyiapan Media Kecambah

Media yang digunakan untuk perkecambahan adalah media pasir 100%. Sebelum dimasukkan ke dalam bak perkecambahan, media diayak supaya terpisah dari batu-batuan dan kotoran lainnya. Kemudian media tumbuh tersebut disemprot dengan Dithane M-45 2g/l untuk mencegah sumber penyakit.

C. Pemecahan Dormansi

Biji yang telah selesai dibersihkan lalu diberi perlakuan yaitu ; tanpa perlakuan, pembuangan hilum dengan pisau, pengikisan dengan kertas pasir, penggongsengan (5 menit), perendaman dengan air panas (2 menit) kemudian direndam pada air dingin (60 menit) dan perendaman dengan H2SO4 pekat (65%)

selama 10 menit. Pemecahan dormansi ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih.

D. Pengecambahan Biji

Biji dikecambahkan dalam bak perkecambahan dengan kedalaman tanah ±1 cm dari permukaan media tanam. Jumlah biji yang dikecambahkan sebanyak 10 biji per unit perlakuan.


(25)

E. Pemeliharaan Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari atau sore hari sesuai dengan kondisi kelembaban media dengan menggunakan air bersih.

Pencegahan Penyakit

Pencegahan penyakit dilakukan dengan menyemprotkan fungisida Dithane M-45 2g/l terhadap media semai sebelum biji dikecambahkan.

F. Pengamatan Parameter

Persentase Perkecambahan (%)

Persentase perkecambahan biji diamati dengan menghitung biji yang berkecambah pada setiap unit percobaan. Pengamatan dilakukan mulai pertama setelah biji dikecambahkan. Persentase perkecambahan dihitung berdasarkan cara Kuswanto (1996) dengan cara:

Persentase Perkecambahan Normal (%)

Pengamatan dilakukan terhadap kecambah normal yang tumbuh setelah benih dikecambahkan. Persentase kecambah normal dihitung dengan cara Sutopo (1998) sebagai berikut:

100% x kan Dikecambah yang Biji Jumlah y Biji Jumlah han Perkecamba

% = angBerkecambahnormal

Adapun kriteria kecambah yang normal adalah:

a. Kecambah yang memiliki perkembangan sistem perakaran yang baik terutama akar primer.

100% x kan Dikecambah yang Biji Jumlah y Biji Jumlah han Perkecamba


(26)

b. Perkembangan hipokotil yang baik dan sempurna tanpa ada kerusakan pada jaringan-jaringannya.

c. Pertumbuhan plumula yang sempurna dengan daun hijau dan tumbuh baik, di dalam atau muncul dari koleoptil atau pertumbuhan epikotil yang sempurna dengan kuncup yang normal.

d. Memiliki satu kotiledon untuk kecambah dari monokotil dan dua bagi dikotil.

(Sutopo, 2004).

Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap biji yang epikotilnya telah tumbuh di permukaan media kecambah, mulai awal perkecambahan hingga pada akhir perkecambahan. Kecepatan tumbuh dihitung dengan cara:

Kct =

t

d

0

Dimana: Kct : Kecepatan tumbuh biji t : Pengamatan sampai hari ke

d : Tambahan persentase kecambah setiap harinya

Laju Perkecambahan (Indeks Vigor)

Menurut Sutopo (2004) laju perkecambahan dapat diukur dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan untuk munculnya radikel atau plumula.

h berkecamba yang benih al Jumlah tot NxTx ... N2T2 N1T1 hari rata

-Rata = + + +

Dimana : N = Jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu T = menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai dengan


(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Persentase Perkecambahan (%)

Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan terdapat pada Lampiran 1 dan rataan persentase perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pemecahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan. Rataan persentase perkecambahan (%) benih aren (A. pinnata) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Benih Aren (A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pemecahan Dormansi

Perlakuan Rataan

S0

S1

S2

S3

S4

S5

20,00 b 40,00 a 33,33 b 0,00 b 0,00 b 80,00 a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan benih tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat 65% (S5)

sebesar 80,00% dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pembuangan hilum dengan pisau (S1) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

pengikisan dengan kertas pasir (S2), perlakuan kontrol (S0), perlakuan

penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada


(28)

penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada

air dingin (S4) karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh

0,00% dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.

2. Persentase Perkecambahan Normal (%)

Data rataan pengamatan parameter persentase perkecambahan normal terdapat pada Lampiran 4 dan rataan persentase perkecambahan normal setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pemecahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap persentase perkecambahan normal. Rataan persentase perkecambahan normal (%) benih aren (A. pinnata) dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Benih Aren (A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pemecahan Dormansi

Perlakuan Rataan

S0

S1

S2

S3

S4

S5

3,33 ab 0,00 c 3,33 b 0,00 c 0,00 c 16,67 a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rataan persentase perkecambahan normal benih tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat

65% (S5) sebesar 16,67% dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan

perlakuan kontrol (S0), tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pengikisan dengan


(29)

penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada

air dingin (S4). Persentase perkecambahan benih terendah terdapat pada

perlakuan pembuangan hilum dengan pisau (S1), perlakuan penggongsengan (S3)

dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada air dingin (S4) karena

tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai yang diperoleh 0,00% dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.

3. Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Data rataan pengamatan parameter kecepatan perkecambahan terdapat pada Lampiran 7 dan rataan kecepatan perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pemecahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap kecepatan perkecambahan. Rataan kecepatan perkecambahan (Indeks Vigor) benih aren (A. pinnata) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Benih Aren

(A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pemecahan Dormansi

Perlakuan Rataan

S0

S1

S2

S3

S4

S5

0,04 b 0,09 a 0,07 b 0,00 b 0,00 b 0,21 a

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa rataan kecepatan perkecambahan benih tertinggi terdapat pada perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat 65% (S5)


(30)

sebesar 0,21 dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pembuangan hilum dengan pisau (S1) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan

pengikisan dengan kertas pasir (S2), perlakuan kontrol, (S0) perlakuan

penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada

air dingin (S4). Persentase perkecambahan benih terendah terdapat pada

perlakuan penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian

direndam pada air dingin (S4) karena tidak terjadi perkecambahan sehingga nilai

yang diperoleh 0,00 dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.

4. Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Data rataan pengamatan parameter laju perkecambahan terdapat pada Lampiran 10 dan rataan laju perkecambahan setelah ditransformasi terdapat pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan pemecahan dormansi memberi pengaruh yang nyata terhadap laju perkecambahan. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) benih aren (A. pinnata) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate)Benih Aren (A. pinnata) dengan Berbagai Perlakuan Pemecahan Dormansi

Perlakuan Rataan

S0

S1

S2

S3

S4

S5

53,61 a 44,60 b 52,90 a 0,00 b 0,00 b 40,18 b


(31)

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa rataan laju perkecambahan benih tercepat terdapat pada perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat 65% (S5)

sebesar 40,18 hari setelah dikecambahkan dimana perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pembuangan hilum dengan pisau (S1), perlakuan

penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas kemudian direndam pada

air dingin (S4) tetapi berbeda nyata dengan pengikisan dengan kertas pasir (S2)

dan dengan perlakuan kontrol (S0). Laju perkecambahan benih terendah terdapat

pada perlakuan penggongsengan (S3) dan perendaman dengan air panas

kemudian direndam pada air dingin (S4) karena tidak terjadi perkecambahan

sehingga nilai yang diperoleh 0,00 hari dan berbeda nyata dengan seluruh perlakuan.


(32)

Pembahasan

Dari hasil sidik ragam dapat diketahui bahwa terdapat berbagai perlakuan pemecahan dormansi terhadap benih aren (A. pinnata) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diamati, yaitu persentase perkecambahan, persentase perkecambahan normal, kecepatan perkecambahan dan laju perkecambahan.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat (65%) dapat lebih meningkatkan perkecambahan benih aren

(A. pinnata) jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil nilai rataan yang diperoleh pada beberapa parameter pengamatan yang menunjukkan nilai terbaik yaitu persentase perkecambahan tertinggi (80,00%), persentase perkecambahan normal (16,67%), kecepatan perkecambahan (0,21), dan laju perkecambahan (40,18 hari setelah dikecambahkan). Dengan perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat (65%) menjadikan kulit biji lebih

mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi dan semakin cepat pula benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan. Menurut Sutopo (2004), perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah sehingga terjadi proses imbibisi yang merupakan proses awal dari suatu perkecambahan.

Perlakuan pembuangan hilum dengan pisau dan perlakuan pengikisan dengan kertas pasir juga menghasilkan nilai rataan yang cukup bagi perkecambahan benih dimana perlakuan ini juga berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat (65%) pada seluruh parameter yang diamati,


(33)

hal ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan demikian kedua perlakuan ini juga dapat meningkatkan perkecambahan. Dengan perlakuan pembuangan hilum dengan pisau dapat memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh impermeabilitas kulit biji baik terhadap air atau gas, resistensi mekanis kulit perkecambahan yang terdapat pada kulit biji sehingga menjadikan kulit biji semakin tipis yang akan mempermudah masuknya air dan gas sehingga terjadi proses imbibisi dan semakin cepat pula benih dapat menembus kulit biji dalam melakukan proses perkecambahan. Menurut Sutopo (2004), perlakuan skarifikasi mencakup mengikir atau menggosok kulit biji dengan kertas empelas dan melubangi kulit biji dengan pisau menjadikan luas permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas sehingga air dan udara yang berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk, sehingga terjadi proses imbibisi yang merupakan proses awal dari suatu perkecambahan, air masuk ke dalam biji sehingga kulit benih akan melunak. Penyerapan air oleh benih yang terjadi pada tahap pertama biasanya berlangsung sampai jaringan mempunyai kandungan air 40 – 60%.

Perlakuan pengikisan dengan kertas pasir juga memiliki nilai rataan yang cukup bagi perkecambahan benih. Benih ada yang berkecambah tetapi dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Sutopo (2004) bahwa pengikisan dengan kertas pasir merupakan salah satu cara untuk memecahkan dormansi benih yang disebabkan oleh struktur benih yaitu kulit benih yang keras. Diduga dengan pengikisan, luas permukaan kulit yang menjadi tipis lebih luas, sehingga air dan udara yang berperan dalam proses perkecambahan menjadi lebih mudah masuk.

Dormansi benih dapat disebabkan antara lain adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas (oksigen),embrio yang belum tumbuh secara sempurna,


(34)

ambatan mekanis kulit benih terhadap pertumbuhan embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio. Berbagai hasil penelitian memberikan indikasi kuat bahwa dormansi benih aren dapat dipatahkan bila diberi perlakuan fisik dan kimia. Hal yang sama juga dapat dilihat pada benih yang diberi perlakuan skarifikasi dengan kertas amplas yang daya berkecambahnya 46,95%, sedangkan kontrolnya 31,60%. Perlakuan ini memungkinkan air masuk kedalam benih untuk memulai berlangsungnya proses perkecambahan benih (Saleh, 2004).

Pada perkecambahan benih Aren (A. pinnata) terdapat perkecambahan yang normal dan perkecambahan yang tidak normal (abnormal), dimana perkecambahan abnormal tidak terjadi pembentukan tunas dan daun primer dan untuk benih pohon-pohonan bila dari microphyl keluar daun dan bukannnya akar, dapat dilihat pada Lampiran. Menurut Sutopo (2004), menyatakan salah satu ciri dari perkecambahan abnormal antara lain :

1. Kecambah yang rusak, tanpa kotiledon, embrio yang pecah dan akar primer yang pendek

2. Kecambah yang bentuknya cacat, perkembangannya lemah atau kurang seimbang dari bagian-bagian yang penting.

3. Kecambah yang tidak membentuk chlophyl 4. Kecambah yang lunak

5. Untuk benih pohon-pohonan bila dari microphyl keluar daun dan bukannya akar.


(35)

Pada beberapa perlakuan yang diberikan dapat terlihat pada Tabel 2 bahwa perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat (65%) memiliki nilai tertinggi pada

parameter persentase perkecambahan normal jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perkecambahan normal atau tidak normal dari suatu benih dapat dipengaruhi oleh faktor dalam (genetik) benih maupun faktor luar (lingkunagan) seperti infeksi jamur atau mikroorganisme lainnya. Kamil (1992) menyatakan bahwa pada umumnya apabila kebutuhan untuk perkecambahan seperti air, suhu, oksigen dan cahaya dipenuhi, biji bermutu tinggi akan menghasilkan kecambah atau bibit yang normal (normal seedling) tetapi oleh karena faktor luar seperti infeksi jamur atau mikroorganisme lainnya selama pengujian perkecambahan atau sudah terbawa di dalam biji dan biji bermutu rendah, maka kemungkinan kecambah (bibit) yang dihasilkan tidak normal (abnormal seedling).

Menurun atau meningkatnya kecepatan perkecambahan berhubungan dengan persentase perkecambahan. Hal ini dikarenakan kecepatan perkecambahan berbanding lurus dengan persentase perkecambahan, dimana semakin tinggi persentase perkecambahan maka kecepatan perkecambahan juga semakin tinggi, ini dapat terlihat jelas dari hasil yang diperoleh pada perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat 65% (S5). Kartasapoetra (2003) menjelaskan bahwa

kecepatan berkecambah merupakan gambaran vigor benih yang ditunjukkan dengan benih yang bervigor tinggi pada kondisi apapun akan berkecambah lebih cepat dibandingkan yang bervigor rendah. Dan benih yang memiliki kecepatan berkecambah yang tinggi cenderung lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik.


(36)

Laju perkecambahan tercepat terdapat pada perlakuan perendaman H2SO4

pekat 65% (40,18 hari setelah dikecambahkan), dimana hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan pembuangan hilum dengan pisau (44,6 hari setelah dikecambahkan). Dari hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa perlakuan perendaman H2SO4 pekat 65% telah mampu mempercepat laju perkecambahan

dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya. Dapat disimpulkan bahwa dari seluruh parameter yang diamati perlakuan dengan perendaman H2SO4 pekat 65%

yang dapat cepat meningkatkan perkecambahan dibandingkan dengan perlakuan pemecahan dormansi yang lainnya.

Perlakuan penggongsengan selama 5 menit dan perendaman dengan air panas selama 2 menit kemudian direndam pada air dingin selama 60 menit memberi pengaruh yang buruk terhadap perkecambahan, dimana pada kedua perlakuan ini benih tidak ada yang berkecambah. Hal ini diduga karena terlalu tingginya suhu yang digunakan pada masing-masing perlakuan yang menyebabkan rusaknya jaringan-jaringan di dalam benih sehingga menyebabkan kematian pada embrio benih yang menyebabkan benih tidak dapat berkecambah. Menurut Sutopo (2004), suhu adalah salah satu faktor yang berperan dalam proses perkecambahan, tetapi suhu yang terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya proses perkecambahan bahkan dapat mengakibatkan kematian dan kecambah tidak normal (abnormal).

Perendaman dengan air panas kemudian dengan air dingin juga mengalami kematian. Air panas yang digunakan adalah air yang baru mendidih. Diduga embrio benih mati pada saat pemberian perlakuan perendaman dengan air panas. Menurut Chairani dan Subronto (1988) bahwa perlakuan pemanasan sampai pada


(37)

suhu 80°C yang diberikan pada benih aren dapat meningkatkan persentase perkecambahan karena perebusan dengan air panas 80°C mungkin dapat melarutkan dan mematikan inhibitor, dan melemahkan kulit biji yang keras. Perkecambahan benih aren bukan hanya daya berkecambah yang rendah tetapi juga lambatnya benih berkecambah. Benih aren yang dikecambahkan secara alami pada kondisi terang dapat berkecambah setelah 7 bulan (Rabaniyah, 1993).


(38)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berbagai metode pemecahan dormansi yang telah dilakukan pada benih aren (A. pinnata) memberi pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.

2. Perlakuan perendaman dengan H2SO4 pekat 65% merupakan perlakuan

yang terbaik yang dapat mempercepat perkecambahan benih aren (A. pinnata).

3. Perlakuan penggongsengan selama 5 menit dan perendaman dengan air panas selama 2 menit kemudian direndam pada air dingin selama 60 menit merupakan perlakuan yang kurang baik karena terlalu tingginya suhu yang digunakan sehingga tidak ada benih yang berkecambah.

Saran

Perlu dilakukan uji lanjutan pemecahan dormansi dengan perendaman air panas dengan suhu tertentu yang dapat meningkatkan persentase perkecambahan.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabakti dan Porsea Indonesia (BPGMWPI.). 1995. Pohon Kehidupan. Bogor.

Chairani, M dan Subronto. 1988.Pengecambahan dan Pertumbuhan Benih Aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr). Jurnal Penelitian Kelapa Vol.19 No. 3 Hal 120-136.

Danoesastro, K. 1982. Benih dan Perkecambahan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tumbuhan Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta.

Gomez, K. A dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J. S. Baharsyah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Hanafiah, K. A. 2003. Rancangan Percobaan.Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Cetakan ke-8. Raja Grafindo Persada.Jakarta.

Indonesia Power. 2007.

].

Justice, O. L dan N. B. Bass. 1990. Prinsip Praktek Penyimpanan Benih. Diterjemahkan oleh R. Roesly. Rajawali Press. Jakarta.

Kamil, J. 1992. Teknologi Benih I. Angkasa Raya. Padang.

Kartasapoetra, A. G. 1989. Teknologi Benih. Bina Aksara. Jakarta.

Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi, Produksi dan Sertifikasi Benih. ANDI Yogyakarta. Yogyakarta.

Mugnisjah, W. Q., A. Setiawan, Suwarto, dan S. Cecep. 1994. Panduan Praktikum dan Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Puslitbang Bioteknologi. 2000. Study on in vitro and in vivo seed germination of Arenga pinnata (Wurmb) Merr.; Studi perkecambahan biji aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) secara in vitro dan in vivo. Bogor.


(40)

Rabaniyah, R., 1993. Peningkatan Kecepatan Berkecambah Biji Aren (Arenga Pinnata (Wurb.) Merr.) Secara Fisik dan Kimiawi. Tesis Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

Saleh, M. S. 2004. Pematahan Dormansi Benih Aren Secara Fisik Pada Berbagai Lama Ekstraksi Buah. IPB. Bogor.

Salim, H. S. 1997. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

Setyati. 1979. Dormansi Benih. Penataran Ilmu-Ilmu Pertanian Bogor.Bogor. Sunanto, H. 1993. AREN: Budidaya dan Multigunanya. Kanisius. Yogyakarta. Sutopo, L. 2004. Teknologi Benih. edisi Revisi. Cetakan ke-6. PT Raja Grafindo.

Jakarta.

Wirawan, B. dan S. Wahyuni. 2002. Memprodusi Benih Bersertifikat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wudianto, R. 1989. Membuat Stek, Cangkok dan Okulasi. Cetakan Kedua. Penebar Swadaya. Jakarta.


(41)

Lampiran 1. Rataan Persentase Perkecambahan (%)

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

30,00 10,00 20,00 30,00 50,00 40,00 30,00 20,00 50,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 50,00 30,00 100,00

20,00 40,00 33,33 0,00 0,00 80,00

Lampiran 2. Rataan Persentase Perkecambahan (%) Setelah ditransformasi

dengan x +0,5 Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

5,52 3,24 4,53 5,52 7,11 6,36 5,52 4,53 7,11 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 25,09 9,51 10,02

4,43 6,33 5,72 0,71 0,71 8,88

Lampiran 3. Sidik Ragam (ANOVA) Persentase Perkecambahan (%) Setelah

ditransformasi dengan x +0,5

SK db JK KT F. Hit F. Tab

1% 5%

Perlakuan 5 158,24 31,65 31,65

Galat 12 12,1 1,01

Total 17 170,34

Keterangan:

SK : Sumber Keragaman db : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah


(42)

Lampiran 4. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%)

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

10,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 10,00 20,00 20,00

3,33 0 33,33 0 0 80,00

Lampiran 5. Rataan Persentase Perkecambahan Normal (%) Setelah

ditransformasi dengan x +0,5

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

3,24 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 3,24 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 3,24 4,53 4,53

1,55 0,71 1,55 0,71 0,71 9,34

Lampiran 6. Sidik Ragam (ANOVA) Persentase Perkecambahan Normal

(%) Setelah ditransformasi dengan x +0,5

SK db JK KT F. Hit F. Tab

1% 5%

Perlakuan 5 25,85 5,17 6,46

Galat 12 9,65 0,80

Total 17 35,5

Keterangan:

SK : Sumber Keragaman db : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah


(43)

Lampiran 7. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor)

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

0,07 0,02 0,03 0,08 0,24 0,08 0,06 0,04 0,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,44 0,21 0,28

0,04 0,09 0,07 0,00 0,00 0,21

Lampiran 8. Rataan Kecepatan Perkecambahan (Indeks Vigor) Setelah

ditransformasi dengan x +0,5

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

0,75 0,72 0,73 0,76 0,79 0,76 0,75 0,74 0,77 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,80 0,85 0,88

0,73 0,77 0,75 0,71 0,71 0,84

Lampiran 9. Sidik Ragam (ANOVA) Kecepatan Perkecambahan (Indeks

Vigor) Setelah ditransformasi dengan x +0,5

SK db JK KT F. Hit F. Tab

1% 5%

Perlakuan 5 0,39 0,0078 19,5

Galat 12 0,005 0,0004

Total 17 0,045

Keterangan:

SK : Sumber Keragaman db : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah


(44)

Lampiran 10. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

43,33 50,00 67,50 41,00 42,80 133,80 53,67 49,50 158,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 35,40 46,33 120,53

53,61 44,60 52,90 0,00 0,00 40,18

Lampiran 11. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) Setelah

ditransformasi dengan x +0,5

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

6,62 7,11 8,25 6,44 6,58 7,11 7,36 7,07 7,49 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 5,99 6,84 6,27

7,33 6,71 7,31 0,71 0,71 6,37

Lampiran 12. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Germination

Rate) Setelah ditransformasi dengan x +0,5

SK db JK KT F. Hit F. Tab

1% 5%

Perlakuan 5 156,62 31,324 176,97

Galat 12 2,12 0,177

Total 17 158,74

Keterangan:

SK : Sumber Keragaman db : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah


(45)

Lampiran 11. Gambaran Lokasi Penelitian secara Keseluruhan

Lampiran 12. Perlakuan Perendaman dengan H2SO4 yang Mempercepat


(46)

Lampiran 13. Gambar Perkecambahan Normal dari Biji Aren (Arenga pinnata)


(47)

Lampiran 14. Gambar Perkecambahan Abnormal dari Biji Aren (Arenga pinnata)


(48)

Lampiran 15. Perlakuan Penggongsengan dan Perendaman dalam Air Panas Kemudian Ke Air Dingin yang tidak Berkecambah


(49)

(1)

Lampiran 10. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate)

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

43,33 50,00 67,50 41,00 42,80 133,80 53,67 49,50 158,37 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 35,40 46,33 120,53

53,61 44,60 52,90 0,00 0,00 40,18

Lampiran 11. Rataan Laju Perkecambahan (Germination Rate) Setelah ditransformasi dengan x +0,5

Perlakuan

Ulangan

I II III Rataan S0 S1 S2 S3 S4 S5

6,62 7,11 8,25 6,44 6,58 7,11 7,36 7,07 7,49 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 0,71 5,99 6,84 6,27

7,33 6,71 7,31 0,71 0,71 6,37

Lampiran 12. Sidik Ragam (ANOVA) Laju Perkecambahan (Germination Rate) Setelah ditransformasi dengan x +0,5

SK db JK KT F. Hit F. Tab

1% 5%

Perlakuan 5 156,62 31,324 176,97

Galat 12 2,12 0,177

Total 17 158,74

Keterangan:

SK : Sumber Keragaman db : Derajat Bebas JK : Jumlah Kuadrat KT : Kuadrat Tengah


(2)

Lampiran 11. Gambaran Lokasi Penelitian secara Keseluruhan

Lampiran 12. Perlakuan Perendaman dengan H2SO4 yang Mempercepat Perkecambahan


(3)

Lampiran 13. Gambar Perkecambahan Normal dari Biji Aren (Arenga pinnata)


(4)

Lampiran 14. Gambar Perkecambahan Abnormal dari Biji Aren (Arenga pinnata)


(5)

Lampiran 15. Perlakuan Penggongsengan dan Perendaman dalam Air Panas Kemudian Ke Air Dingin yang tidak Berkecambah


(6)