Mengenal Diri (Ma ’ rifatun Nafs )

c. Mengenal Diri (Ma ’ rifatun Nafs )

Di antara sumbangsih akidah adalah ia mendorong insan muslim untuk mengenal dirinya. Karena tidak mungkin baginya untuk mengangkat dirinya ke puncak piramida kesempurnaan kecuali dengan mengenal kriteria dirinya. Pengenalan ini adalah langkah pertama untuk menguasai jiwa dan mengekang hawa nafsunya.

Imam Al-Baqir a.s. berkataka: “ Tiada pengetahuan yang lebih mulia dari pengenalanmu terhadap dirimu” . [192]

Ada hubungan yang kuat antara mengenal Allah dan mengenal diri. Melalui pengenalan terhadap diri, kriteria dan kemampuannya, manusia dapat mengenal Penciptanya dan mengagungkan kebesaran-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “ Barang siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya” . Dan sebaliknya, melupakan Allah, menyebabkan manusia lupa terhadap dirinya.

Allah berfirman: “ Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri” . [193]

Peranan Akidah dalam Mengenalkan Manusia akan Dirinya

Tidak diragukan lagi bahwa akidah - melalui sumber-sumber rujukan pengetahuannya - memiliki peranan besar dalam menyingkap kriteria diri (jiwa) manusia, dan merinci secara detail penyakit-penyakitnya dan efek-efek yang muncul dari penyakit-penyakit itu.

Alquran mengakui bahwa jiwa itu cenderung mengajak manusia kepada kejahatan. Allah berfirman: “ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat olehTuhanku” . [194]

Alquran juga mengakui bahwa jiwa manusia itu cenderung kikir. Allah SWT berfirman: “ Dan jiwa manusia itu adalah kikir” . [195] Dan di ayat yang lain Ia berfirman: “ Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran

dirinya, mereka adalah orang-orang yang beruntung” . [196] Terdapat beberapa hadis yang menyoroti kriteria jiwa dan mengutarakan metode

pengobatan bagi penyakit-penyakitnya. Di antara hadis-hadis tersebut adalah surat Imam Ali a.s. kepada Malik Al-Asytar An-Nakhai ketika beliau menobatkannya sebagai gubernur di Mesir: “ ... Ia (Ali) memerintahkannya (Malik Al-Asytar) untuk mengekang dirinya dari hawa nafsu. Karena jiwa itu cenderung mengajak kepada kejelekan kecuali yang dirahmati oleh Allah ..” . [197]

Beliau juga pernah berkata dalam sebuah khotbahnya: “ Kami memohon pertolongan-Nya atas jiwa yang sangat lambat untuk mengerjakan segala yang diperintahkan kepadanya ini dan cepat untuk mengerjakan segala yang dilarang ...” . [198]

Dalam kesempatan yang lain Beliau juga berkata: “ Jiwa diciptakan untuk berperilaku jelek, sedang hamba diperintahkan untuk selalu berperangai mulia. Nafsu dengan wataknya selalu berjalan dalam penyimpangan dan seorang hamba selalu berusaha menolak tuntutan-tuntutan jeleknya. Maka ketika ia melepaskan tali kendali jiwanya, ia telah ikut serta dalam merusakkannya. Dan barang siapa yang membantu jiwanya dalam memenuhi tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah ikut serta dalam membinasakan dirinya ...” . [199]

Di sini perlu juga dijelaskan bahwa penyakit-penyakit yang menimpa jiwa manusia jika tidak diobati, hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat jelek dan berbahaya. Sebagi bukti atas hal itu, fitnah besar yang pernah menimpa muslimin di Saqifah memiliki latar belakang penyakit jiwa. Amirul Mukminin a.s. ketika ditanya oleh sebagian sahabat beliau: “Bagaimana kaum anda menyingkirkan anda dari kedudukan itu (khilafah) sedangkan anda lebih pantas atas kedudukan itu?”, berkata: “ Adapun kesewenang- Di sini perlu juga dijelaskan bahwa penyakit-penyakit yang menimpa jiwa manusia jika tidak diobati, hal itu dapat menimbulkan akibat-akibat jelek dan berbahaya. Sebagi bukti atas hal itu, fitnah besar yang pernah menimpa muslimin di Saqifah memiliki latar belakang penyakit jiwa. Amirul Mukminin a.s. ketika ditanya oleh sebagian sahabat beliau: “Bagaimana kaum anda menyingkirkan anda dari kedudukan itu (khilafah) sedangkan anda lebih pantas atas kedudukan itu?”, berkata: “ Adapun kesewenang-

Dari ucapan beliau itu dapat kita ketahui bahwa kerakusan dan ketamakan yang tersimpan dalam jiwa sebagian para sahabat adalah faktor utama penyimpangan terbesar yang pernah dialami oleh sejarah Islam sesaat setelah meninggalnya Rasulullah saww. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bayt a.s. dengan kema’shuman mereka masih sering memohon perlindungan kepada Allah supaya menjaga mereka dari penyakit jiwa yang sangat berbahaya ini.

Al-Fadhl bin Abi Qurrah berkata: “Saya melihat Abu Abdillah a.s. berthawaf dari permulaan malam hingga pagi. Ketika Thawaf beliau selalu berdoa:

ﻲﺴـﹾﻔﹶﻨ ﺢـﹸﺸ ﻲﻨِـﻗ ﻡﻬﱠﻠﻟﹶﺍ (Ya Allah, jagalah aku dari kekikiran dan ketamakan jiwaku). Aku bertanya: `Wahai

junjunganku, aku tidak mendengar anda berdoa dengan selain doa ini?` Beliau berkata: `Penyakit jiwa apakah yang lebih berbahaya dari penyakit tamak dan kikir? Allah berfirman: `Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung`”. [201]