Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan Di Provinsi Jambi Dan Jawa Barat Menggunakan Geographically Weighted Regression

ANALISIS KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN
DI PROVINSI JAMBI DAN JAWA BARAT MENGGUNAKAN
GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION

INTI PERTIWI NASHWARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kemiskinan
Petani Tanaman Pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat menggunakan
Geographically Weighted Regression adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Inti Pertiwi Nashwari
H162130121

iv

RINGKASAN
INTI PERTIWI NASHWARI. Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di
Provinsi Jambi dan Jawa Barat menggunakan Geographically Weighted
Regression. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, HERMANTO SIREGAR dan
BAMBANG JUANDA.
Subsektor tanaman pangan mendominasi usaha pertanian di Indonesia,
dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 17,73 juta rumah tangga
dan merupakan salah satu penyumbang angka kemiskinan. Kemiskinan petani
tanaman pangan diduga disebabkan oleh fluktuasi harga gabah, land tenure, akses

petani terhadap pusat ekonomi, infrastruktur yang rendah, tidak banyaknya sektor
nonpertanian sebagai alternatif usaha, kurangnya akses terhadap kelembagaan,
dan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap kekeringan dan banjir. Kemiskinan
yang dialami oleh petani tanaman pangan dapat menyebabkan penurunan minat
petani untuk bertani tanaman pangan karena tidak adanya insentif petani dalam
berusahatani. Kondisi ini pada akhirnya akan menghambat produksi tanaman
pangan nasional sehingga mengancam ketahanan pangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pada masyarakat
perdesaan dan petani sudah cukup diketahui melalui hasil-hasil penelitian
sebelumnya. Namun keragaman pengaruh faktor-faktor tersebut secara
spasial/lokasional belum cukup diketahui. Pengambilan kebijakan hanya
berdasarkan pertimbangan permasalahan agregat (non spasial) dapat
menyebabkan tidak efektifnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan di lapangan.
Pendekatan penanggulangan kemiskinan tidak cukup hanya dengan
kebijakan-kebijakan melalui pendekatan sektoral melainkan memerlukan juga
pendekatan-pendekatan spasial atau lokalitas. Penggunaan teknik disagregasi
geografis atau pendekatan spasial dibutuhkan untuk memberikan gambaran
mengenai variasi kemiskinan secara geografis, sehingga dapat memberikan
informasi yang lebih baik agar upaya variasi pendekatan penanggulangan
kemiskinan dapat dilakukan pada tingkat yang terendah. Sesuai dengan

permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menguraikan
sebaran spasial kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa
Barat secara spesifik lokasi; (2) menguraikan karakteristik setiap variabel yang
berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi
Jambi dan Jawa Barat spesifik lokasi; dan (3) menjelaskan alternatif kebijakan
yang dapat dipertimbangkan dalam upaya pengurangan kemiskinan petani
tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat. Metode spasial dengan
pendekatan titik yang dipilih adalah Geographically Weighted Regression (GWR)
yang dapat menghasilkan analisis yang lebih fokus dan terarah dalam menemukan
keragaman faktor-faktor penyebab kemiskinan petani tanaman pangan secara
spesifik lokasi. Penelitian ini menggunakan data 131 kecamatan di Provinsi Jambi
dan 626 kecamatan di Jawa Barat.
Aspek spasial/lokasional memberikan pengaruh terhadap penyebaran
kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat. Petani tanaman
pangan miskin lebih banyak berada di wilayah Barat Jambi dan wilayah UtaraSelatan Jawa Barat. Pengaruh konteks spasial ditentukan oleh kondisi fisik

ii

wilayah pegunungan dataran tinggi di Barat Jambi dan pesisir di wilayah Selatan
dan Utara Jawa Barat dengan infrastruktur yang relatif kurang baik dan akses

yang kurang terjangkau kepada pusat ekonomi.
Pengaruh keragaman wilayah ditemukan dalam kemiskinan petani tanaman
pangan. Wilayah penghasil pangan mempunyai variabel yang lebih berpengaruh
terhadap kemiskinan petani tanaman pangan dibandingkan wilayah bukan
penghasil pangan. Kemiskinan petani tanaman pangan lebih sensitif terhadap
perubahan luas tanam padi di wilayah penghasil pangan (Jawa Barat)
dibandingkan dengan wilayah bukan penghasil pangan (Jambi). Alternatif
penghasilan nonpertanian berpengaruh nyata terhadap kemiskinan di kedua
wilayah, di wilayah dataran tinggi Jambi bagian Barat dan di Jawa Barat
sepanjang pantai Selatan, bagian Timur dan Utara. Kegiatan pemberdayaan
masyarakat, keberadaan koperasi dan usaha produktif yang lebih fokus kepada
pertanian tanaman pangan lebih berpengaruh di wilayah penghasil pangan (Jawa
Barat) dibandingkan di Jambi. Sedangkan irigasi dapat meningkatkan
produktivitas namun belum mampu mengurangi kemiskinan petani tanaman
pangan di Jambi maupun Jawa Barat.
Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kabupaten di Jambi bagian Barat
dan Jawa Barat bagian Selatan dan Utara perlu melakukan pengembangan sarana
dan prasarana untuk menunjang perekonomian di wilayah pedesaan untuk
mendukung diversifikasi usaha dan pendapatan rumah tangga yang diharapkan
dapat memacu peningkatan pendapatan petani tanaman pangan. Pemerintah Pusat

perlu segera memberlakukan land reform instrument dan menahan laju konversi
lahan pertanian di wilayah Utara, Selatan dan Timur Jawa Barat.
Kata kunci : kemiskinan petani tanaman pangan, analisis spasial, Geographically
Weighted Regression

SUMMARY
INTI PERTIWI NASHWARI. Food Crops Farmers Poverty Analysis in Jambi
and West Java using Geographically Weighted Regression Province. Supervised
by ERNAN RUSTIADI, HERMANTO SIREGAR dan BAMBANG JUANDA.
Food crop subsector involving 17,73 million households is one of the
biggest contribution to the national poverty index. Many efforts has been
conducted by the government to decrease the number of poor household, but non
significally reduced the poverty of food crop farmer. This situation might
demotivate farmer to continue food production, so can threaten the national food
security.
Factors that influence the level of poverty in rural communities and farmers
are already fairly well known through the results of previous studies. But the
diversity of factors influence the spatial/locational is not quite known. Policy
decisions based only on an aggregate consideration of issues (non-spatial) may
lead to ineffective policies applied in the field.

Disaggregation techniques geographic or spatial approach may required for
give a description of the geographical variations in poverty and possible to
provide better information in order to attempt a variety of approaches to reduce
poverty can be done at sub district. In accordance with these problems, the
purpose of this study are: (1) describe the spatial distribution of poverty food crop
farmers in the provinces of Jambi and West Java specific location; (2) describes
the characteristics of each variable that affects the poverty reduction food crop
farmers in the provinces of Jambi and West Java specific location; and (3) explain
the policy alternatives that could be considered in crop farmers poverty alleviation
in the provinces of Jambi and West Java. Geographically Weighted Regression
(GWR) is selected spatial methods in this study as point approach for a better
analysis focused and spatial differences in discovering the diversity of factors that
cause poverty food crop farmers in specific locations. This study using the data
131 sub-districts in Jambi province and 626 sub-districts in West Java.
Spatial aspects/ locational influence on pattern of food crop farmers poverty
in Jambi and West Java. The influence of the spatial context is determined by the
physical conditions of mountainous areas in the western part of Jambi highlands
and the coast in southern and northern region of West Java with relatively poor
infrastructure and lack of affordable access to economic centers.
The influence of regional diversity found in food crop farmers poverty.

West Java as a food producers has a more significant variable on food crop
farmers poverty than in Jambi as a non producers. Poverty crop farmers are more
sensitive to changes because of the plantation in West Java than in Jambi.
Alternative income nonfarm real impact on poverty in both regions, in the
highland region of the West Jambi and West Java along the coast of the southern,
eastern and northern region. Empowerment activities, the existence of cooperative
and productive activity that is focused on food crops is more influential West Java
than in Jambi. While irrigation can increase productivity but has not been able to
reduce poverty food crop farmers in Jambi and West Java.

iv

Local Government especially District Government particularly in Western
part of Jambi and Southern and Northern West Jawa have to do the development
of facilities and infrastructure to support the economy in rural areas to support the
diversification of business and household income is expected to spur an increase
in the income of farmers crops. The Central Government should immediately
enact land reform instrument and restrain the rate of conversion of agricultural
lands in the Northern, Southern and Eastern West Java.
Keywords : food crops farmer, spatial analysis, Geographically Weighted

Regression

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vi

ANALISIS KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN
DI PROVINSI JAMBI DAN JAWA BARAT MENGGUNAKAN
GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION

INTI PERTIWI NASHWARI


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

viii

Penguji pada Ujian Tertutup:

Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi
Dr. Ir. Arif Haryana, MSc.

Penguji pada Ujian Terbuka:


Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi
Dr. Ir. Arif Haryana, MSc.

ix

x

xi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan tepat waktu.
Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Kemiskinan Petani
Tanaman Pangan menggunakan Geographically Weighted Regression di Provinsi
Jambi dan Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam perencanaan wilayah dan
pengambilan kebijakan untuk mengurangi kemiskinan petani tanaman pangan
secara spesifik lokasi.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir.
Ernan Rustiadi, MAgr., Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec., serta Prof. Dr. Ir.

Bambang Juanda, MS atas pendampingan serta bimbingan selama penelitian dan
penulisan disertasi ini.
Ucapan terimakasih disampaikan juga kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, MSi selaku penguji pada ujian preliminasi
tahap II, ujian tertutup serta ujian terbuka;
2. Dr. Slamet Sutomo, SE selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II;
3. Dr. Ir. Arif Haryana, MSc selaku penguji pada ujian tertutup dan ujian
terbuka juga atas bantuannya dalam mengarahkan penulis selama penulisan
disertasi ini.
4. Dr. Ir. Sri Mulatsih selaku Sekretaris Program Studi PWD yang selalu
memberikan arahan dalam teknik penulisan disertasi ini.
5. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian dan Kepala Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian atas kesempatan
tugas belajar yang diberikan kepada penulis
6. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Daya Manusia Pertanian
Kementerian Pertanian atas dukungan finansial bagi penulis selama
menempuh tugas belajar.
7. Prof. Dr. Achmad Suryana, MS beserta Prof. Dr. Rita Nurmalina, MS yang
selalu memberikan dukungan bagi penulis.
8. Dr. Ir. Mei Rohjat Darmawiredja, Ir. Ning Pribadi, MSc, Ir. Ratna Kusuma
Dewi, dan Ir. Herena Pudjihastuti, MSc, Ir. Solihin, MS, Ir. Hasanuddin
Rumra, MM yang selalu memberikan semangat selama masa studi dan bagi
pencapaian karir penulis.
9. Rekan-rekan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian
khususnya rekan-rekan di Bidang Analisis Kerawanan Pangan Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
10. Rokhana Dwi Bekti, MSi beserta Tim atas bantuannya dalam melakukan
pengolahan dan analisis data dan Ahmad Azhari, SSi yang telah membantu
menyediakan data yang dibutuhkan oleh penulis.
11. Anggit Gantina, SP, Diah Chandra Aryani, PhD, Tono, MSi, Lukytawati
Anggraeni, PhD, Anto Gustanto, SP, MSi, Pini Wijayanti, MSi, Febrina
Cholida, MSi, Lala Komalawati, M.Sc dan Mulawarman, MSi yang selalu
memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi.
12. Sekretariat PWD (Mba Puput dan Ayu) serta rekan-rekan PWD atas bantuan
dan kebersamaannya.

xii

13. Keluarga besar Alm. Prof. Dr. Yusuf Enoch, MA dan Almh. Hj. Fatimah
Yusuf, khusus kepada N. Budimansyah dan Emma Sartika serta Titayanto
Pieter dan Prof. Ir. Tian Belawati, M.Ed, Ph.D., yang selama ini memberikan
dukungan dan semangat kepada penulis.
14. Keluarga besar Alm. H.M.O. Qussoy dan Almh. Hj. Enyi Marikah beserta
keluarga besar H. Sjarifudin dan Hj. Yayih Solihah yang selalu memberikan
kasih sayangnya kepada penulis.
15. Orangtua penulis (Bapak Alm. H. Nashwari dan ibu Hj. Eni Ruhaeni), bapak
dan ibu mertua (H. Dedi Aziz dan ibu Hj. Ella Komala), serta kakak Ganjar
Praputra, MM, Santi Nirmala, SH, Yuni Wahyuniwati, Hermanto, Yanny
Agustiani, MH, adik Rika Suwartika, SP, AKBP Matrius, yang senantiasa
memberikan doa, kasih sayang, dukungan dan keyakinan bahwa penulis bisa
menyelesaikan studi ini tepat waktunya. Khusus untuk keponakan penulis,
Nashya, Neysa, Neyra, Neyva, Neyta, Sissie, Fanya yang selalu memberikan
keceriaannya.
16. Suami tercinta, R. Yaddi Akhmad Ghazali, ST, MT, dan anak-anak tersayang
Nafeeza Ghassani dan Edgar Ghaissan yang selalu memberikan doa dan
cintanya bagi penulis serta merelakan sebagian waktunya berkurang bersama
penulis selama penyelesaian studi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

Inti Pertiwi Nashwari

xiii

DAFTAR ISI
RINGKASAN
SUMMARY
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
Kebaruan (Novelty) Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengukuran dan Indikator Kemiskinan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani
Karakteristik Rumah Tangga Pertanian
Pemberdayaan Masyarakat dan Akses terhadap Kelembagaan Keuangan
Penerimaan Desa
Kelembagaan Irigasi
Jarak ke Ibukota
Analisis Spasial
Penelitian Terdahulu
3 METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Sumber Data
Tahap Analisis Data
Variabel Dependen Kemiskinan Petani
Variabel Independent yang Mempengaruhi Kemiskinan Petani
Analisis Karakteristik Kemiskinan Petani Tanaman Pangan
Analisis Regresi Global (OLS)
Metode Analisis Uji Efek Spasial
Geographically Weighted Regression (GWR)
Penentuan Bandwidth
Pemilihan Pembobot Spasial
Uji Perbandingan GWR dan OLS
Pemetaan Hasil GWR
4 GAMBARAN UMUM KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN
Kemiskinan Petani Tanaman Pangan
Kondisi Wilayah Provinsi Jambi
Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Barat

i
iii
xi
xiii
xv
xv
xvii
1
1
5
9
9
9
10
10
12
12
14
15
18
19
20
21
21
24
29
29
29
32
32
32
35
35
38
40
42
42
45
45
46
46
47
51

xiv

5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN
56
6 INTEGRASI ASPEK SPASIAL KE DALAM PERENCANAAN
PENANGGULANGAN KEMISKINAN PETANI TANAMAN PANGAN DI
JAMBI DAN JAWA BARAT
63
Alternatif Pendapatan Nonpertanian
63
Luas tanam padi sawah
66
Kegiatan Pemberdayaan Petani
69
Usaha produktif petani
73
Akses Masyarakat Terhadap Kredit
76
Jumlah Koperasi
78
Jumlah Penerimaan Desa
81
Sarana Irigasi
83
Jarak ke ibukota provinsi
86
Luas Tanam Perkebunan
88
Implikasi Kebijakan
90
7 SIMPULAN DAN SARAN
93
Simpulan
93
Saran
94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

95
103
143

xv

DAFTAR TABEL
1
2
3

Perbandingan Model Regresi Global dengan GWR
Variabel independent pemodelan regresi
Perbandingan jumlah penduduk miskin menurut data Susenas 2011 dan
PPLS 2001
4 Jumlah dan persentase penduduk PPLS berusia 15 tahun ke atas
menurut lapangan usaha dan status kesejahteraannya
5 Luas panen, produksi dan produktivitas padi menurut kabupaten/kota di
Provinsi Jambi 2014
6 Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Jawa Barat 2014
7 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan petani
tanaman pangan (Y2) di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat
8 Hasil Uji Moran‟s I di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat
9 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan petani
tanaman pangan di Kabupaten/Kota (Y1) di Provinsi Jambi dan Jawa
Barat
10 Hasil Estimasi Parameter Regresi OLS dan GWR kemiskinan
penduduk (Y3) di Kecamatan Jambi dan Jawa Barat

24
34
47
48
49
53
59
60

61
62

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Persentase penduduk miskin tahun 2006 – Maret 2015
Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga pertanian di Indonesia
menurut sumber pendapatan utama
Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jambi
Tahun 2013
Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2013
Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang bekerja di
sektor pertanian di Provinsi Jambi 2013
Persentase penduduk miskin usia 15 Tahun ke atas yang bekerja di
sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat 2013
Lingkaran Perangkap Kemiskinan
Analisis spasial dan kelompok-kelompok analisis pecahannya dalam
perpektif ilmu geografi kuantitatif
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitian
Tahap analisis data
Perbandingan jumlah rumah tangga pertanian di Provinsi Jambi
menurut subsektor Tahun 2003 dan 2013
Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga petani menurut wilayah
dan sumber pendapatan utama di Provinsi Jambi
Persentase kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi
Persentase kemiskinan penduduk di Provinsi Jambi

1
2
4
5
7
7
15
23
30
31
33
49
50
51
51

xvi

16 Perbandingan jumlah rumah tangga pertanian di Provinsi Jawa Barat
menurut subsektor Tahun 2003 dan 2013
17 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga petani menurut sumber
pendapatan dan wilayah di Provinsi Jawa Barat
18 Persentase kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jawa Barat
19 Persentase kemiskinan penduduk di Provinsi Jawa Barat
20 Tingkat Signifikansi Uji LISA : (a) kemiskinan petani tanaman pangan,
(b) kemiskinan penduduk
21 Persentase rumah tangga petani tanaman pangan dengan penghasilan
nonpertanian
22 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan
nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan
23 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan
nonpertanian terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kabupaten
24 Signifikansi hubungan rumah tangga petani berpenghasilan
nonpertanian tanaman terhadap kemiskinan penduduk kecamatan
25 Luas tanam padi sawah (m2) per rumah tangga petani
26 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani
terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kecamatan
27 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani
terhadap kemiskinan petani tanaman pangan kabupaten
28 Signifikansi hubungan luas tanam padi sawah per rumah tangga petani
terhadap kemiskinan penduduk kecamatan
29 Persentase desa yang melakukan pemberdayaan masyarakat
30 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan
petani tanaman pangan kecamatan
31 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan
petani tanaman pangan kabupaten/kota
32 Signifikansi hubungan pemberdayaan masyarakat terhadap kemiskinan
penduduk kecamatan
33 Persentase desa yang memperoleh dana hibah/bergulir untuk usaha
produktif petani
34 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha
produktif petani terhadap kemiskinan petani tanaman pangan
kecamatan
35 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha
produktif petani terhadap kemiskinan petani tanaman pangan
kabupaten/kota
36 Signifikansi hubungan perolehan dana hibah/bergulir untuk usaha
produktif petani terhadap kemiskinan kecamatan
37 Persentase desa yang memperoleh kredit (KKPE, KUR, KUK)
38 Signifikansi hubungan perolehan kredit terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kecamatan
39 Signifikansi hubungan perolehan kredit kredit terhadap kemiskinan
kecamatan
40 Signifikansi hubungan perolehan kredit terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kabupaten/kota
41 Rasio jumlah koperasi yang masih aktif terhadap penduduk

52
53
55
55
58
64
65
66
66
67
68
69
69
70
72
73
73
74

75

75
76
77
77
78
78
79

xvii

42 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kecamatan
43 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan
kecamatan
44 Signifikansi hubungan jumlah koperasi terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kabupaten/kota
45 Rasio penerimaan desa terhadap penduduk (juta rupiah per kapita)
46 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan
petani tanaman pangan kecamatan
47 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan
penduduk kecamatan
48 Signifikansi hubungan dana penerimaan desa terhadap kemiskinan
petani tanaman pangan kabupaten/kota
49 Rasio luas lahan dengan irigasi (hektar) terhadap penduduk
50 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kecamatan
51 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kabupaten/kota
52 Signifikansi hubungan sarana irigasi terhadap kemiskinan penduduk
kecamatan
53 Jarak (km) kecamatan ke ibukota propinsi
54 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota terhadap kemiskinan petani
tanaman pangan kecamatan
55 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota terhadap kemiskinan penduduk
kecamatan
56 Signifikansi hubungan jarak ke ibukota kemiskinan petani tanaman
pangan kabupaten/kota
57 Luas lahan perkebunan (m2/penduduk)
58 Signifikansi hubungan luas tanam perkebunan terhadap: (a) kemiskinan
petani tanaman pangan kecamatan, (b) kemiskinan penduduk
kecamatan

80
80
80
82
82
83
83
84
85
85
85
86
87
87
88
89

89

DAFTAR LAMPIRAN
1. Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang bekerja
2. Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Indonesia 2013 dan 2014
3. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan Tahun 2014
4. Distribusi persentase PDRB ADHB untuk sektor pertanian di setiap
5. Rata-rata luas lahan yang dikuasai per rumah tangga petani
6. Kode kecamatan di Propinsi Jambi
7. Output Moran dan LISA Propinsi Jambi
8. Output Moran dan LISA Propinsi Jawa Barat
9. Output OLS dan GWR Y1 di Kabupaten/Kota Propinsi Jambi
10. Output OLS dan GWR Y2 di Kecamatan Propinsi Jambi
11. Output OLS dan GWR Y3 di Kecamatan Propinsi Jambi

103
104
105
106
107
108
111
115
118
123
127

xviii

12. Output OLS dan GWR di Kabupaten/Kota (Y1) Propinsi Jawa Barat
13. Output OLS dan GWR Y2 di Kecamatan Propinsi Jawa Barat
14. Output OLS dan GWR Y3 di Kecamatan Propinsi Jawa Barat

131
135
139

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Millennium Development Goals (MDGs) telah berakhir pada September
2015 dan diganti dengan “Sustainable Development Goals” (SDGs) sebagai
tujuan pembangunan global yang baru. Tujuan pertama SDGs adalah “Mengakhiri
Kemiskinan dalam Segala Bentuk Di Mana Pun” (End poverty in all its forms
everywhere). Menurut World Bank (2015), jumlah penduduk miskin di Indonesia
memang mengalami penurunan dari tahun ke tahun, dari 24 persen (1999)
menjadi 11,3 persen (2014). Namun, dalam perkembangannya, kecepatan
penurunan kemiskinan berkurang tajam. Tingkat penurunan kemiskinan hanya
mencapai 0,7 persen dalam dua tahun terakhir (2013-2014), yang terlambat
sepanjang satu dekade terakhir. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2015 secara
nasional berada di kisaran lebih dari sepuluh persen (BPS 2015a), angka
kemiskinan di perdesaan mendekati 15 persen sedangkan perkotaan sekitar
delapan persen ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase penduduk miskin tahun 2006 – Maret 2015
(BPS 2015a)
Hampir 90 persen penduduk di perdesaan yang termasuk dalam kriteria
miskin dan hampir miskin memperoleh pendapatan dari sektor pertanian (BPS
2015a). Sebanyak 14 juta penduduk miskin mempunyai pekerjaan sebagai petani.
Jumlah tenaga kerja pertanian pada Agustus tahun 2014 sebesar 35,59 juta orang
atau 32,12 persen dari jumlah tenaga kerja Indonesia dan penyerapan tenaga kerja
terbesar di subsektor tanaman pangan (51,36 persen) (Kementan 2014). Namun
demikian, pertumbuhan sektor pertanian mengalami stagnasi dan tertinggal dari
pertumbuhan sektor nonpertanian, ditunjukkan oleh 40 persen masyarakat yang
terlibat dalam pertanian masih hidup di bawah garis kemiskinan. Studi yang
pernah dilakukan Asian Development Bank (ADB) pada 2009 menunjukkan
bahwa 82 persen pekerja miskin berada di perdesaan, 66 persennya terkait

2

pertanian, dengan upah pekerja informal di sektor pertanian hanya sekitar 46
persen dari karyawan sektor formal (Media Indonesia 2015). Lampiran 1
menunjukkan persentase penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian.
Secara rata-rata, penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian di Indonesia
adalah 38 persen. Persentase tertinggi di Papua yaitu 74,54 persen dan terendah di
DKI Jakarta 1,99 persen.
Subsektor tanaman pangan mendominasi usaha pertanian di Indonesia,
dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 17,73 juta rumah tangga
dan disebut sebagai salah satu penyumbang angka kemiskinan. Perbandingan ratarata pendapatan rumah tangga di sektor pertanian dapat dilihat pada
Gambar 2. Rumah tangga petani tanaman padi dan palawija memiliki
persentase sumber penerimaan usaha di sektor pertanian yang relatif kecil
dibandingkan dengan rumah tangga petani lainnya. Share pendapatan yang kecil
di sektor pertanian mendorong petani tanaman padi dan palawija untuk mencari
sumber pendapatan lain di luar sektor pertanian karena daya tawar petani terhadap
komoditas pangan yang dihasilkan relatif rendah. Menurut Rozany et al. (1978),
petani kecil dan buruh tani/petani buruh mengalami defisit pendapatan dari sektor
pertanian (pendapatan dari sektor pertanian saja tidak cukup untuk membiayai
keluarganya) sehingga terpaksa mencari pekerjaan yang padat tenaga kerja dan
kurang membutuhkan modal seperti warung kecil, pedagang, kerajinan tangan,
bekerja di bidang jasa dan sebagainya.

Gambar 2 Rata-rata persentase pendapatan rumah tangga pertanian di
Indonesia menurut sumber pendapatan utama
(BPS 2015b)
Kemiskinan yang masih dialami oleh petani tanaman pangan menunjukkan
bahwa permasalahan yang mendasar dalam pertanian tanaman pangan belum
dapat diselesaikan. Masalah yang mendasar terjadi pada sektor pertanian termasuk
tanaman pangan di Indonesia (Yustika 2003) adalah kepemilikan lahan yang
sangat kecil. Pada tahun 2013 tercatat bahwa jumlah rumah tangga usaha

3

pertanian dengan luas lahan yang dikuasai kurang dari 0,10 hektar sebanyak 4,34
juta rumah tangga, sedangkan rumah tangga usaha pertanian dengan luas lahan
yang dikuasai antara 0,10 – 0,19 hektar sebanyak 3,55 juta rumah tangga (BPS
2013b). Rumah tangga usaha pertanian paling banyak menguasai lahan dengan
luas antara 0,20 – 0,49 hektar (6,73 juta rumah tangga). Dari 98,53 persen rumah
tangga usaha pertanian pengguna lahan, sebanyak 14,25 juta rumah tangga
(55,33%) merupakan rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian
pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar). Dengan struktur
kepemilikan lahan seperti itu, maka efisiensi dan produktivitas akan sulit dicapai,
harapan akan peningkatan pendapatan ekonomi dan kesejahteraan juga sangat
sulit diperoleh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan
berkisar pada isu: (1) on farm yaitu akses yang kurang terhadap penggunaan
teknologi dan rendahnya luas lahan yang dimiliki petani; (2) ekonomi yaitu ada
tidaknya alternatif pendapatan nonpertanian, fasilitas kredit atau keuangan yang
diperoleh dan tinggi rendahnya penerimaan desa tempat tinggal petani; (3)
kurangnya akses terhadap kelembagaan dan kebijakan-kebijakan pemerintah
seperti kegiatan pemberdayaan dan perolehan bantuan dana dari pemerintah; dan
(4) efisiensi pemasaran yaitu keberadaan koperasi.
Upaya penanganan kemiskinan belum sepenuhnya sensitif dan terintegrasi
dengan aspek spasial. Oleh karena itu, pengintegrasian aspek spasial menjadi
sangat penting dan strategis dalam upaya perumusan strategi penanggulangan
kemiskinan petani tanaman pangan. Urgensi atas analisis spasial itu menjadi lebih
rasional ketika dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia. Indonesia memiliki
keragaman wilayah dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
antardaerah yang tidak sama, serta perbedaan dalam ketersediaan sumber daya
alam serta prasarana fisik wilayah. Atas dasar fakta itu, penanggulangan
kemiskinan petani tanaman pangan tidak dapat diperlakukan seragam untuk
seluruh provinsi, perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh karakteristik dan
permasalahan kemiskinan petani tanaman pangan di setiap wilayah sehingga
penanganan dilakukan dengan mengutamakan pendekatan lokasional.
Dalam penelitian ini dipilih dua wilayah provinsi yang mewakili tipologi
dan karakteristik yang berbeda sebagai representasi dari keragamanan wilayah di
Indonesia. Provinsi yang dipilih adalah Provinsi Jambi, representasi provinsi
bukan penghasil komoditas pangan yang memiliki NTP rendah (88,93) namun
memiliki potensi perkebunan yang melimpah terutama pada komoditas karet dan
kelapa sawit. Di Provinsi Jambi terdapat luas panen padi sawah seluas 121.722
hektar, dan masih terdapat petani tanaman pangan yang miskin di beberapa
wilayah. Provinsi lainnya adalah Provinsi Jawa Barat yang dipilih sebagai
representasi dari provinsi penghasil pangan dengan luas panen padi 1.898.455
hektar dan memiliki karakteristik yang khas dengan perkembangan kegiatan
ekonomi yang pesat khususnya industri dan jasa serta jumlah penduduk yang
tinggi. Selain itu, Provinsi Jawa Barat mempunyai infrastruktur pertanian yang
lebih baik dibandingkan Provinsi Jambi.
Kedua provinsi mempunyai kesamaan karena di provinsi tersebut sedang
terjadi perubahan struktur ekonomi yang semula mengandalkan sektor pertanian
tanaman pangan kemudian beralih ke sektor perkebunan, serta industri maupun
jasa. Di kedua provinsi jumlah rumah tangga tanaman pangan menurun dalam

4

beberapa tahun terakhir, namun di Provinsi Jambi PDRB sektor pertanian masih
tinggi karena rumah tangga petani tanaman pangan beralih menjadi tanaman
perkebunan. Persentase PDRB sektor pertanian yang tinggi berada di wilayah
Barat Jambi (Gambar 3). Di wilayah ini terdapat luas tanam padi yang relatif
tinggi dibandingkan wilayah lainnya. Wilayah ini berada di dataran tinggi dengan
karakteristik infrastruktur yang kurang baik dan mempunyai jarak ke ibukota
provinsi yang cukup jauh. Oleh karena itu dapat diduga kemiskinan petani
tanaman pangan di wilayah ini akan lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya di
Jambi.

Gambar 3 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di
Provinsi Jambi Tahun 2013
Sumber : BPS 2014b
Transformasi terhadap lahan pertanian pangan menjadi lahan perkebunan di
Jambi semakin besar terjadi ditandai oleh penurunan luas lahan pertanian sawah
diiringi dengan penurunan jumlah rumah tangga subsektor tanaman pangan pada
tahun yang sama. Sedangkan subsektor perkebunan khususnya karet dan sawit
mengalami peningkatan dan cenderung mendominasi. Hal ini telah dikaji oleh
Pasaribu et al. (2011) yang menyatakan bahwa pada tahun 2010 total luas lahan
pangan di Jambi yang sudah mulai beralih fungsi menjadi areal perkebunan kelapa
sawit mencapai 75.000 hektar.
Sedangkan di Jawa Barat, secara umum transformasi struktural ditandai
dengan peralihan dan pergeseran kegiatan perekonomian dari sektor primer
(pertanian) menuju sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa). PDRB ADHB
sektor pertanian di Jawa Barat tahun 2013 sebesar 11,95 persen. PDRB telah
dikuasai oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel, dan restoran.Seluruh
kabupaten di Jawa Barat mempunyai distribusi persentase PDRB sektor pertanian
yang kurang dari 50 persen (Gambar 4). Hanya di bagian Selatan yang didominasi
oleh kabupaten mempunyai persentase PDRB sektor pertanian mendekati 40
persen di yaitu Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya. Wilayah
Selatan merupakan wilayah pesisir, mempunyai akses ke pusat ekonomi yang
cukup sulit. Kemiskinan petani tanaman pangan di wilayah ini diduga cukup
tinggi. Di Utara, Kabupaten Subang, Majalengka, Cirebon dan Kuningan.
Kabupaten/kota lainnya memiliki sektor usaha yang lebih berkembang selain
pertanian, seperti industri pengolahan, perdagangan, hotel, restaurant, konstruksi
serta jasa-jasa.

5

Gambar 4 Distribusi persentase PDRB sektor pertanian ADHB di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2013
Sumber : BPS 2013c
Aspek spasial/lokasional dapat memberikan pengaruh yang berbeda
terhadap penyebaran kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat.
Konsentrasi kemiskinan petani tanaman pangan bisa berada di wilayah dengan
karakteristik yang berbeda di Jambi dan Jawa Barat. Sementara itu, implementasi
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan petani juga
mempunyai tingkat keberhasilan yang berbeda di masing-masing wilayah. Oleh
karena itu, untuk mencapai keberhasilan penanggulangan kemiskinan petani
tanaman pangan, dibutuhkan kesesuaian upaya penanggulangan dengan kendalakendala lokasional yang ditemui di masing-masing wilayah.
Perumusan Masalah
Kontribusi sektor pertanian dalam penyediaan lapangan kerja di Indonesia
tetap tinggi, meskipun persentase orang yang bekerja di sektor pertanian terus
menurun (BPS 2013b). Para petani gurem di Indonesia memiliki lahan yang
produktivitasnya sangat rendah dengan luas lahan yang sangat sempit seluas
kurang dari 0,5 hektar. Di Jawa Barat, sebagian besar petani miskin adalah petani
penggarap dan petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Sedangkan di Jambi
petani tanaman pangan cenderung menjadi petani kecil dengan lahan terbatas,
karena banyaknya penggunaan lahan yang diperuntukkan kepada tanaman
perkebunan.
Kondisi kemiskinan yang dialami petani tanaman pangan apabila
dibiarkan berlarut-larut maka dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya
penurunan minat petani untuk bertani padi, karena petani tidak mampu
menanggung biaya produksi dan menerima pendapatan yang rendah sedangkan
pengeluaran untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari tidak bisa terelakkan. Tidak
adanya insentif petani dalam berusahatani, akan menghambat produksi tanaman
pangan nasional sehingga sulit untuk mencapai swasembada pangan dan pada
akhirnya mengancam ketahanan pangan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan pada masyarakat
perdesaan dan petani sudah cukup diketahui melalui hasil-hasil penelitian
sebelumnya, namun keragaman pengaruh faktor-faktor tersebut secara
spasial/lokasional belum banyak diketahui. Selama ini pengambilan kebijakan

6

hanya berdasarkan pertimbangan pemahaman agregat (non spasial) yang dapat
menyebabkan tidak efektifnya kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Upaya-upaya
penanganan kemiskinan juga belum sepenuhnya sensitif dan berintegrasi dengan
aspek spasial. Hal ini patut dipertimbangkan mengingat pemahaman
pengintegrasian aspek spasial sangat penting dan strategis dalam upaya
perumusan strategi penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan.
Berdasarkan hasil kajian World Bank (2007), adanya ketimpangan antarwilayah
termasuk ketimpangan desa-kota, menunjukkan bahwa lokasi geografis juga
berkorelasi dengan kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan penggunaan teknik
disagregasi geografis atau pendekatan spasial yang mampu memberikan gambaran
mengenai variasi kemiskinan secara geografis, sehingga dimungkinkan untuk
memberikan informasi yang lebih baik agar upaya variasi pendekatan
penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan pada tingkat yang terendah.
Pentingnya penanganan kemiskinan petani tanaman pangan berbasis
wilayah karena: (1) kemiskinan cenderung terkonsentrasi, petani tanaman pangan
yang miskin dapat terkonsentrasi dan merata tinggal dalam suatu wilayah tertentu;
(2) permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan minimnya akses suatu wilayah
pada layanan dasar dan infrastruktur (ketertinggalan dan keterisolasian wilayah);
dan (3) pendekatan makro agregat dalam penanggulangan kemiskinan seringkali
hanya mengutamakan pertimbangan ekonomi semata dan mengabaikan
pendekatan kewilayahan padahal secara spasial-kewilayahan, keberadaan
sumberdaya tersebar tidak merata. Selain itu, setiap wilayah memiliki karakternya
masing-masing sesuai dengan dukungan sumberdaya alam dan manusia, karakter
sosial-budaya, dan juga termasuk aktivitas perekonomian masyarakat di
dalamnya. Setiap upaya, strategi, kebijakan dan program pengentasan kemiskinan
akan membutuhkan spesifikasinya sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristik
wilayah.
Konteks spasial kemiskinan petani seharusnya dapat berimplikasi terhadap
perencanaan penanggulangan kemiskinan petani. Peran kewilayahan dalam
pengimplementasian strategi penanggulangan kemiskinan tentu saja akan berbeda
pada setiap tingkatan. Penelitian ini menggunakan unit analisis kecamatan,
sebagai tingkatan unit pemerintahan dalam wilayah administrasi. Perencanaan
penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan karakteristik dan kebutuhan
kecamatan akan langsung fokus dan terarah tepat pada sasaran. Melalui
pendekatan kecamatan, batas-batas wilayah dapat diketahui lebih kongkrit dan
terjangkau sehingga lebih sensitif secara lokasi dibandingkan dengan pendekatan
kabupaten. Selain itu, pendekatan kecamatan mampu menangkap keragaman lebih
spesifik dibandingkan kabupaten. Semakin kecil wilayah yang dipilih sebagai unit
analisis maka keragaman akan semakin terlihat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
hasil analisis yang mampu mengungkap keragaman faktor-faktor yang signifikan
berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan tanaman pangan di kecamatan,
dibandingkan dengan di kabupaten.
Salah satu upaya untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan petani
tanaman pangan adalah dengan melakukan penargetan wilayah prioritas pada
kantong-kantong kemiskinan. Sasaran wilayah didasarkan atas karakteristik atau
kondisi kemiskinan petani dan faktor-faktor penyebab kemiskinan serta kegiatan
yang tepat untuk penanggulangan kemiskinan di wilayah tersebut. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kemiskinan petani tanaman pangan yang secara

7

agregat tidak terlihat pengaruhnya, apabila dilakukan dengan analisis secara
geografis dapat terlihat.
Kantong-kantong kemiskinan petani secara umum telah terbentuk di
Provinsi Jambi maupun Jawa Barat, ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Sebanyak 39 persen penduduk miskin Jambi bekerja di sektor pertanian , terutama
di bagian Utara Jambi yaitu kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung
Timur dan Tebo. Di Jawa Barat, terdapat 21,9 persen penduduk miskin bekerja di
sektor pertanian berada di bagian Timur di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan
Ciamis. Secara kewilayahan, wilayah miskin yang saling berdekatan membentuk
wilayah yang homogen berdasarkan kemiskinan, sesuai dengan hukum pertama
tentang geografi yang dikemukakan oleh Tobler dalam Anselin dan Rey (2010)
bahwa “segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi
sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh”.

Gambar 5 Persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas yang
bekerja di sektor pertanian di Provinsi Jambi 2013
Sumber: BPS 2013a

Gambar 6 Persentase penduduk miskin usia 15 Tahun ke atas yang
bekerja di sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat 2013
Sumber : BPS 2013a
Keragaman kemiskinan petani tanaman pangan di Indonesia, dalam
penelitian ini direpresentasikan oleh Provinsi Jambi sebagai provinsi bukan
penghasil pangan dan Jawa Barat sebagai provinsi penghasil pangan. keragaman
spasial kemiskinan petani tanaman pangan di kedua provinsi tersebut akan diuji
dan diidentifikasi variabel-variabel mana yang secara signifikan berpengaruh
terhadap kemiskinan petani tanaman pangan. Hasil identifikasi terhadap variabel
dapat menguraikan kebijakan yang diperlukan secara lokasional, lebih lanjut dapat

8

menunjukkan kebijakan mana yang membutuhkan pendekatan spasial dan mana
yang tidak. Hal ini mengacu kepada variabel yang berpengaruh nyata di wilayahwilayah tersebut.
Pendekatan kewilayahan inilah yang dibutuhkan untuk memberikan
interpretasi apa penyebab kemiskinan petani di masing-masing wilayah secara
lebih luas dan detail sesuai keragaman respon serta koefisien setiap wilayah yang
berbeda. Analisis spasial digunakan untuk mengatasi masalah yang muncul pada
penggunaan metode global yang sulit digunakan dalam menunjukkan
heterogenitas spasial, karena keterbatasan interpretasi dan tidak menunjukan
pengaruh kewilayahan (Fotheringham et al. 1998). Kebijakan pengurangan
kemiskinan yang tidak memperhitungkan aspek spasial ataupun keragaman
karakteristik wilayah akan menyebabkan kebijakan yang tidak tepat sasaran dan
tidak berimbang. Hal ini dikarenakan penerapan kebijakan pengurangan
kemiskinan petani tidak mengacu pada keragaman karakteristik atau spesifikasi
wilayah sebagai akar masalah di masing-masing wilayah.
Penelitian dengan memasukkan aspek spasial masih terbatas dilakukan di
Indonesia, padahal dimensi spasial mewarnai semua aspek kehidupan termasuk
kemiskinan. Interaksi antarwilayah ternyata tidak sekedar dipengaruhi oleh jarak
tetapi juga posisi relatif serta bentuk-bentuk hubungan fungsional wilayah yang
bersangkutan (Rustiadi et al, 2011). Kajian mengenai kemiskinan yang dilakukan
oleh Yosnofrizal (2011), Suryahadi (2011), Teguh (2011), Warr (2013), Sudarlan
(2015) serta Lisanty dan Tokuda (2015) belum memasukkan aspek spasial dalam
analisisnya. Pendekatan spasial khususnya pendekatan area mulai digunakan oleh
beberapa peneliti di Indonesia untuk berbagai topik studi empiris seperti
Yamauchi et al. (2010), Smajgl dan Bohensky (2013), Jajang (2014) dan Pasaribu
(2015).
Fenomena spasial antar wilayah yang terjadi akan menggugurkan asumsi
dalam ekonometrika yaitu tidak terjadinya spatial autocorrelation dan spatial
heterogenity. Keragaman faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani
tanaman pangan secara spesifik lokasi hanya dapat diketahui melalui spatial
econometric dengan analisis keragaman respon yang menguraikan seberapa
berbeda local specific dapat mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan.
Pendekatan titik yang menunjukkan lokasi berupa titik (longitude dan latitude)
membuat analisis spasial semakin berkembang dan dapat disesuaikan dengan
kebutuhan penelitian serta mampu menutupi kelemahan dari pendekatan area.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat dalam menguraikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan petani secara spesifik lokasi, maka penelitian ini
menggunakan pendekatan titik Geographically Weighted Regression (GWR),
seperti studi yang dilakukan oleh Kam et al. (2005), Ali et al. (2007), Deller
(2010), Thongdara et al. (2012). Hasil studi dari peneliti tersebut menunjukkan
bahwa model pendekatan titik (GWR) lebih sesuai menggambarkan data
dibandingkan OLS, dengan nilai Adjusted R2 lebih tinggi pada GWR sedangkan
nilai AIC pada GWR lebih kecil dibandingkan model OLS. Penelitian ini secara
khusus membahas aspek spasial dalam kemiskinan petani tanaman pangan dan
pentingnya pengintegrasian aspek ini ke dalam perencanaan penanggulangan
kemiskinan petani tanaman pangan.

9

1.
2.
3.

Pertanyaan dalam peneltian ini adalah:
Sejauh mana terdapat keragaman spasial dan bagaimana sebaran spasial
kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat?
Variabel apa saja yang mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan di
Provinsi Jambi dan Jawa Barat secara spesifik lokasi?
Kebijakan apa yang tepat bagi setiap lokasi yang berbeda dalam upaya
pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan?
Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menguraikan sebaran spasial kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi
Jambi dan Jawa Barat secara spesifik lokasi
2. Mengidentifikasi variabel yang berpengaruh terhadap pengurangan
kemiskinan petani tanaman pangan di Provinsi Jambi dan Jawa Barat spesifik
lokasi
3. Menjelaskan alternatif kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya
pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan secara spesifik lokasi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan untuk Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dan Jawa Barat
dalam penanganan kemiskinan petani tanaman pangan yang didasarkan kepada
kebutuhan wilayah sehingga upaya penanganan kemiskinan petani tanaman
pangan menjadi lebih efektif dan efisien
Hipotesis
1.

2.

Beberapa hipotesis penelitian ini adalah:
Penyebaran kemiskinan petani tanaman pangan di Jambi dan Jawa Barat
dipengaruhi oleh faktor geografis/lokasional. Kemiskinan petani tanaman
pangan di Jambi dan Jawa Barat mengelompok pada wilayah yang
mempunyai karakteristik pertanian tanaman pangan yang dominan. Di Jambi,
wilayah tersebut berada di bagian Barat, lokasi wilayah yang jauh dari pusat
ekonomi dan tidak banyak alternatif sektor nonpertanian serta
infrastrukturnya rendah, dan kelembagaan petani yang tidak berkembang.
Sedangkan di Jawa Barat terletak di bagian Selatan dimana masih ditemukan
wilayah-wilayah yang sulit aksesnya ke pusat ekonomi. Di bagian Utara
kepemilikan lahan diduga menjadi tingginya kemiskinan petani tanaman
pangan.
Faktor spasial/kewilayahan berperan dalam penanggulangan kemiskinan
petani tanaman pangan, sebagai berikut : (a) di wilayah yang banyak
alternatif sumber penghasilan nonpertanian diduga kemiskinan petani
tanaman pangan akan rendah. Sebagai wilayah penghasil pangan namun
memiliki banyak alternatif sumber pendapatan nonpertanian, Jawa Barat
mempunyai tingkat kemiskinan petani tanaman pangan yang lebih rendah
dibandingkan di Jambi; (b) wilayah yang mempunyai luas tanam padi sawah
yang tinggi diduga memiliki angka kemiskinan petani tanaman pangan yang
rendah; (c) wilayah dimana warganya aktif melakukan kegiatan

10

pemberdayaan dan mendapatkan fasilitas kredit diduga mempunyai
kemiskinan petani tanaman pangan yang rendah; (d) wilayah yang
mempunyai jumlah penerimaan desa yang besar diduga akan mengurangi
jumlah petani tanaman pangan yang miskin; (e) wilayah yang berada jauh
dari ibukota provinsi, kemiskinannya akan tinggi; (f) semakin tinggi luas
tanam perkebunan diduga akan dapat mengurangi kemiskinan petani tanaman
pangan; dan (g) semakin luas lahan sawah yang memiliki irigasi maka
kemiskinan petani tanaman pangan akan rendah.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya menguraikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan petani tanaman pangan yang terbatas pada data sekunder
yang digunakan yaitu Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011
yang disesuaikan dengan data 2013, Sensus Pertanian tahun 2013, dan Potensi
Desa tahun 2014 (pendataan tahun 2013). Pemekaran kabupaten atau kecamatan
setelah tahun 2011 tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini. Pembobotan titik
pada GWR ditunjukkan dengan koordinat titik pusat (centroid) pada masingmasing kecamatan dan memperhatikan kesinggungan batas administrasi antar
kecamatan.
Kebaruan (Novelty) Penelitian
Penelitian mengenai faktor-faktor penyebab kemiskinan di Indonesia selama
ini seperti dilakukan Yosnofrizal (2011), Suryahadi (2011), Teguh (2011), Warr
(2013) dan Sudarlan (2015) selalu menggunakan pendekatan makro agregat dan
tidak mempertimbangkan faktor keragaman di masing-masing wilayah. Sementara
di Indonesia, terdapat keragaman wilayah yang cukup tinggi dalam dinamika
kemiskinan baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten bahkan di kecamatan.
Meskipun pendekatan spatial econometric telah mulai digunakan oleh beberapa
peneliti di Indonesia seperti Yamauchi et al, (2010), Smajgl dan Bohensky (2013),
Jajang (2014), dan Pasaribu (2015), umumnya penelitian tersebut menggunakan
pendekatan area dan tidak ada yang membahas mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan. Pendekatan area dianggap masih memiliki kelemahan
apabila digunakan untuk menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi
kemiskinan petani karena tidak dapat menangkap keragaman secara spesifik pada
setiap unit analisis.
Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama di Indonesia yang
menggunakan pendekatan kewilayahan untuk menguraikan kemiskinan petani
tanaman pangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan
pendekatan spasial titik dengan unit analisis kecamatan. Penelitian ini juga
memiliki keunggulan karena membandingkan dua karakteristik provinsi sebagai
representasi wilayah penghasil pangan dan bukan penghasil pangan di Indonesia
sehingga dapat memberikan perspektif yang baru dalam mempertimbangkan
kebijakan yang tepat secara lokasional.
Penelitian ini memiliki kelebihan karena menguji dan membuktikan faktorfaktor yang mempengaruhi kemiskinan petani tanaman pangan dan menguji
efektifitas program-program penanggulangan kemiskinan petani tanaman pangan

11

secara spesifik lokasi. Faktor-faktor yang diduga dapat berpengaruh dalam
pengurangan kemiskinan belum pernah diteliti sebelumnya. Kajian ini dapat
melengkapi penelitian yang dilakukan oleh Adetayo (2014) yang hanya
mempertimbangkan aspek karakteristik rumah tangga, keaktifan kegiatan
pertanian,