KAJIAN PUSTAKA
7. Jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Setelah diketahui definisi anak berkebutuhan khusus, selanjutnya akan diuraikan tentang jenis anak berkebutuhan khusus atau kondisi anak yang termasuk berkebutuhan khusus.
Peraturan Menteri Pendidikan Nsional Republik Indonesia (Permendiknas No. 70/2009 pasal 3 ayat 1), peserta didik berkebutuhan khusus diistilahkan sebagai anak atau peserta didik yang mengalami kelainan. Selanjutnya diuraikan pada pasal 3 ayat 2 tentang daftar kondisi anak yang termasuk anak berkebutuhan khusus yaitu tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki hambatan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba,
memiliki kelainan lainnya, tuna ganda. 41 Ragam anak special need atau anak berkebutuhan khusus tersebut
selanjutnya bisa dijelaskan sebagai berikut :
a. Tunanetra (Partially Seing atau Legally Blind) Tunanetra merupakan istilah bagi individu yang memiliki hambatan atau gangguan penglihatan. Hambatan atau gangguan penglihatan ini ada yang merupakan ketidakmampuan melihat secara
40 Ibid, h. 14. 41 Ibid, h. 14.
menyeluruh (total blind) yaitu tidak mampu menerima rangsang cahaya sama sekali atau ketidakmampuan sebagian saja (low vision) sehingga masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar walaupun kurang dari kemampuan orang pada umumnya dan tidak bisa lagi dibantu oleh alat
khusus seperti kacamata. 42 Hallahan & Kaufman mendifinisikan tunanetra sebagaimana
dikutip oleh Florentina Atik dkk sebagai: “Seseorang yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau
tidak lagi memiliki penglihatan.” 43 Adapun cara membantu siswa dengan hambatan penglihatan
diantaranya adalah dengan menggunakan objek riil dan konkrit untuk menjelaskan konsep, menggunakan komunikasi verbal untuk menjelaskan sesuatu, menghindari kata-kata yang membutuhkan pemahaman visual (seperti di sini, dia), menyediakan alat bantu untuk
menulis Braille atau perekam suara untuk membuat buku bicara. 44
b. Tunarungu Peserta didik tunarungu biasa juga disebut dengan peserta didik dengan hambatan pendengaran. Dalam hal ini WHO mendefinisikan anak dengan hambatan pendengaran adalah anak yang mengalami kesulitan
42 Yessy Yanita Sari, 13 Pelangi Cinta Kisah Anak-Anak Spesial, Jakarta: Gema Insani, h. 256.
43 Dikutip dari Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 14.
44 Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013 h. 17.
mendengarkan karena kehilangan pendengaran di satu atau dua telinga. Hambatan pendengaran ini biasanya diikiuti dengan kesulitan berbicara sehingga biasanya anak-anak yang mengalami hambatan pendengaran juga mengalami hambatan berbicara. WHO memasukkan semua tingkatan hambatan pendengaran pada definisi ini. Hambatan pendengaran sangat ringan (27- 40 dB), hambatan pendengaran ringan (41- 55 dB), hambatan pendengaran sedang (56- 70 dB), hambatan pendengaran berat (71- 90 dB) dan hambatan pendengaran ekstrim/ total
(di atas 91 dB). 45 Adapun cara membantu siswa dengan hambatan pendengaran
diantaranya adalah dengan menempatkan siswa sedekat mungkin dengan guru, menggunakan gambar untuk mengenalkan kata/ konsep baru, menggunakan komunikasi tulis, bicara dengan artikulasi yang jelas
berhadapan muka agar siswa bisa melihat mimik dan gerak bibir. 46
c. Tunadaksa Heward mendefinisikan anak yang memiliki hambaran gerak atau tunadaksa sebagaimana dikutip oleh Florentina Atik, dkk adalah:
Anak yang memiliki hambatan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro maskular dan struktur tulang dengan tiga tingkatan. Hambatan tingkat ringan, anak memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, dalam hal ini kualitas gerakan motorik dapat ditingkatkan melalui terapi. Hambatan tingkat sedang, dimana anak mengalami hambatan koordinasi sensorik. Hambatan
45 Dikutip dari Florentina Atk, dkk dalam Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 18.
46 Ibid, h. 19.
tingkat berat, dimana anak mengalami keterbatasan total dalam gerakan fisik sehingga tidak mampu mengontrol gerakan fisik. 47
Adapun cara membantu siswa dengan hambatan gerak diantaranya adalah dengan memasang ralling di sepanjang dinding unruk membantu bergerak, menyediakan ruang gerak yang luas terutama di toilet, menyediakan bidang miring untuk memudahkan dalam menggunakan
kursi roda. 48
d. Hambatan Intelektual UNESCO mencatat banyak istilah yang terkait dengan anak yang memiliki kecerdasan di bawah rata-rata antara lain retardasi mental, cacat
mental, gagal tumbuh atau hambatan belajar yang parah. 49 Anak yang mengalami kecerdasan di bawah rata-rata (IQ kurang
dari 71-89) biasanya mengalami hambatan dalam perkembangan diantaranya lambat secara fisik, memiliki kemampuan intelegensi yang signifikan di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku. Adapun tingkatan intelektual pada anak dengan hambatan intelektual adalah : a. Ringan (IQ 51- 70), intermittent support(bantuan dipergunakan saat dibutuhkan), mampu didik, dapat bekerja dan tidak ada kelainan fisik. b. Sedang (IQ 36- 51), limited support (bantuan dipergunakan secara konsisten pada waktu tertentu
47 Ibid, h. 20. 48 Florentina Atk, dkk dalam Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 20.
49 Ibid, h. 21.
saja), mampu latih, penundaan aktivitas secara terbatas dan ada kelainan fisik bawaan. c. Berat (IQ 20- 35), extensive support (bantuan digunakan secara berkala pada lingkungan tetentu), mampu rawat, tidak dapat menjaga kebersihan pribadi dan mengalami kelainan fisik. d. Sangat berat (IQ di bawah 20), pervasive support (bantuan digunakan secara konsisten dengan intensitas yang sangat tinggi), mengalami keterbatasan,
tidak dapat bergerak sendiri dan bicara sangat terbatas. 50 Adapun cara membantu siswa dengan hambatan intelektual
diantaranya adalah melakukan pengulangan dalam belajar, menggunakan media konkrit yang dekat dengan kehidupannya. Selain itu juga dengan memberikan instruksi yang jelas, pendek dan bertahap. Siswa dengan hambatan intelektual membutuhkan pendampingan, perlu pembiasaan,
koreksi langsung serta berulang. 51 Strategi pengajaran siswa berkebutuhan khusus hambatan
intelektual khususnya slow leaner diantaranya adalah dimulai dengan review mengulang materi terdahulu, menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas, berikan tugas yang lebih sederhana dan lebih sedikit disbanding yang lain untuk menghindari frustasi, pembelajaran dilakukan secara kooperatif karena siswa slow leaner tidak menyukai kompetitif, mengulang materi secara individual, berikan pemahaman konsep bukan hafalan, desain pembelajaran yang menempatkan siswa dalam konteks
50 Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 21.
51 Ibid, h. 22.
pembelajaran yang “tidak pernah gagal” untuk menghindari perasaan tidak berdaya. 52
e. Kesulitan Belajar Kesulitan belajar biasa juga disebut dengan learning disorderatau learning difficulty. Kesulitan belajar ini adalah suatu hambatan pada satu atau lebih proses psikologi dasar yang melibatkan pemahaman atau penggunaan bahasa lisan atau tertulis yang termanifestasikan dalam suatu kemampuan yang tidak sempurna untuk mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau melakukan perhitungan matematika. Keadaan ini merupakan kondisi dari hambatan perceptual, cedera otak, disfungsi minimal otak, disleksia dan aphasia perkembangan. Pengertian tersebut tidak meliputi anak-anak yang memiliki permasalahan belajar yang disebabkan oleh hambatan pendengaran, penglihatan, motorik, tuna grahita, hambatan emosional,
dan ketidakberuntungan lingkungan, budaya dan ekonomi. 53 Selanjutnya Kaufman & Hallahan menjelaskan tentang beberapa
jenis hambatan anak dengan kesulitan belajar sebagaimana yang dikutip oleh Florentina Atik dan kawan-kawan, yaitu :
Diskalkulia, yaitu kesulitan dalam memahami simbol matematika, konsep, arah dalam berhitung atau terbalik dalam menulis angka maupun nilai tempat. Disleksia, yaitu kesulitan dalam membaca
52 Triani, Nani dan Amir, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Lamban Belajar Slow Leaner, Jakarta Timur: PT. Luxima Metro Media, 2016, h. 30- 32.
53 Ibid, h.24.
seperti membaca lompat kata, kalimat atau baris. Disgrafia, yaitu kesulitan dalam menulis huruf tak berbentuk, tulisan besar-besar. 54
Adapun cara membantu siswa dengan kebutuhan khusus kesulitan belajar diantaranya adalah dengan melakukan pengulangan dalam belajar, menggunakan 5 pertanyaan dasar (apa, siapa, di mana, kapan dan mengapa), instruksi jelas dan pendek, koreksi langsung, belajar
bertahap. 55
f. Autism Autism sering dikenal dengan anak dengan dunianya sendiri. Edi Purwanta menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Florentina Atik dkk bahwa :
Anak autis adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan yang sangat kompleks. Hambatan perkembangan ini mencakup bidang bahasa, kognitif, perilaku (pola perilaku repetitif dan resistensi) yang mengakibatkan anak sulit mengikuti dan menyesuaikan diri terhadap perubahan pada rutinitas. Anak juga mengalami hambatan dalam komunikasi (verbal maupun non
verbal), kesulitan berimajinasi dan hambatan interaksi sosial. 56
Kurikulum pendidikan untuk siswa dengan kebutuhan khusus autism pada umumnya sangat individual karena setiap anak autism memiliki kebutuhan yang berbeda. Dyah Puspita seorang psikolog dari sekolah khusu autism “Mandiga” menjelaskan sebagaimana dikutip olah Hargio Santoso bahwa :
54 Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 24.
55 Ibid, h. 24. 56 Dikutip dari Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi
Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 26.
Kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autism yang berspektrum. Ada anak yang perlu belajar komunikasi intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada yang hanya perlu fokus pada
masalah akademis. 57
Program lain yang diperlukan untuk siswa berkebutuhan khusus autism adalah program bina diri yaitu pembinaan atau pelatihan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari. Program ini antara lain merawat, mengurus dan memelihara diri yang merupakan kegiatan rutin dan mendasar yang harus dikuasai oleh manusia atau yang biasa dikenal dengan Activity of Daily Living. Program ini bertujuan untuk meminimalisir dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap bantuan
orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. 58
Ira Christiana menyampaikan sebagaimana dikutip oleh Hargio Santoso tentang hal lain yang perlu diperhatikan untuk siswa berkebutuhan khusus autism adalah :
Konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang menyolok, kemajuan anak autism akan sulit tercapai. Anak akan bingung atas yang terjadi pada lingkungannya. Oleh karena itu diperlukan komunikasi yang
intensif antara orangtua dan sekolah. 59
57 Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012, h. 53- 54.
58 Dodo Sudrajat dan Rosida, Lilis, Pendidikan Bina Diri Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta Timur: PT. Luxima Metro Media, 2013, h. 53- 55.
59 Dikutip dari Hargio Santoso, Cara Memahami dan Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012, h. 56.
g. Hambatan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif Anak dengan hambatan pemusatan perhatian dan hiperaktif biasa disebut juga dengan ADHD (Attention Deficit and Hyperactive Disorder) yaitu anak yang mengalami hambatan dalam pemusatan perhatian yang terkadang juga diikuti dengan gejala perilaku hiperaktif serta impulsif (sangat mudah dipengaruhi oleh berbagai rangsangan). Anak baru dikatakan ADHD jika hambatan pemusatan perhatian dan perilakunya yang hiperaktif secara konsisten telah menimbulkan kesulitan bagi
dirinya sendiri dalam proses belajar dan interaksi sosial. 60 Adapun cara membantu siswa berkebutuhan khusus pemusatan
perhatian dan hiperaktif diantaranya adalah dengan mengajarkan membuat jadwal harian sesuai dengan ketahanan konsentrasi anak, hindari pajangan yang akan mengganggu konsentrasi anak, koreksi langsung dan melatih disiplin dengan menggunakan pengelolaan
perilaku. 61
8. Perencanaan Pendidikan
a. Pengertian Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam manajemen pendidikan. Bahkan begitu pentingnya sebuah perencanaan sehingga dikatakan: “Apabila perencanaan telah selesai dan dilakukan
60 Florentina Atk, dkk, Panduan Teknis Pelaksanaan Pelatihan Bagi Pelaksana Pendidikan Inklusif Berbasis Sekolah, Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2013, h. 27.
61 Ibid, h. 28.
dengan benar, sesungguhnya sebagian pekerjaan besar telah selesai dilaksanakan”. 62
Sedemikian pentingnya sebuah perencanaan dilakukan dengan tujuan akan memperoleh hasil yang baik. Maka menjalani proses perencanaan dengan baik adalah sebuah keharusan.
Fakry mendefinisikan bahwa “perencanaan adalah proses penyusunan berbagai keputusan yang akan dilakukan pada masa yang
akan datang untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan” 63 . Bintoro Cokroamidjojo mendefinisikan perencanaan sebagaimana
dikutip oleh Didin Kurniadin dan Imam Machali : “Perencanaan sebagai proses mempersiapkan proses-proses kegiatan-kegiatan yang secara
sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tertentu”. 64 Pendapat Fakry dan Bintoro Cokroamidjojo ini menegaskan
bahwa perencanaan adalah sebuah proses menyusun keputusan yang sistematis untuk mempersiapkan proses-proses kegiatan. Penting untuk diperhatikan bahwa proses yang dijalani tentu harus baik dan benar. Berbagai referensi baik dari pendapat ataupun literatur perlu digali untuk menyusun sebuah proses perencanaan.
Coombs mendefinisikan perencanaan sebagaiman dikutip oleh Didin Kurniadin dan Imam Machali sebagai berikut ; Sebuah penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses
perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu
62 Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2012, h. 139.
63 Ibid, h. 139. 64 Ibid, h. 140.
lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakat. 65
Perencanaan menurut Handoko meliputi: “(a) pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan organisasi, (b) penentuan strategi, kebijakan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan”. 66 Benang merah yang dapat ditarik dari pendapat Coombs dan
Handoko bahwa perencanaan pendidikan dilakukan berdasarkan analisis dan ditetapkan secara detail sesuai kebutuhan dan tujuan pendidikan yang ditetapkan.
Berdasarkan berbagai pendapat tentang perencanaan pendidikan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sebuah perencanaan merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi keharusan sebuah lembaga pendidikan untuk melakukannya. Dengan perencanaan yang matang, sebuah lembaga pendidikan akan dapat menyiapkan proses-proses pendidikan yang efektif, efisien, bermakna dan dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat.
Adapun tujuan perencanaan adalah sebagai standar pengawasan yaitu mencocokkan pelaksanaan dengan perencanaannya. Tujuan perencanaan lainnya adalah (a) mengetahui jadwal pelaksanaan dan selesainya sebuah kegiatan. (b) mengetahui siapa saja yang terlibat dalam kegiatan tersebut. (c) agar kegiatan bisa berlangsung sistematis termasuk
65 Didin Kurniadin dan Imam Machali, Manajemen Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2012, h. 140.
66 Husaini Usman, Manajemen (Teori, Praktik dan Riset Pendidikan), Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, h. 48.
biaya dan kualitasnya (d) meminimalkan kegiatan yang tidak produktif (e). memberikan gambaran yang menyeluruh tentang kegiatan. (f).
Mendeteksi hambatan yang bakal ditemui. 67 Ruang lingkup perencanaan pendidikan dipengaruhi oleh dimensi
waktu. Seringkali dibagi menjadi 3 dimensi waktu, yaitu perencanaan jangka panjang (long term planning), perencanaan jangka menengah (medium term planning) dan perencanaan jangka pendek (short term planning).
Perencanaan jangka panjang, merupakan perencanaan dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun. Biasanya merupakan proyeksi atau perspektif atas keadaan ideal yang diinginkan. Perencanaan jangka menengah merupakan perencanaan dengan jangka waktu tiga sampai delapan tahun. Biasanya merupakan penjabaran dari perencanaan jangka panjang. Perencanaan jangka pendek adalah perencanaan dengan jangka waktu maksimal satu tahun, sehingga biasa disebut juga sebagai annual
operational planning (perencanaan operasional tahunan). 68 Perencanaan jangka pendek, jangka menengah dan jangka
panjang ini akan membantu dan memudahkan sebuah lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan dan mengembangkan perannya di masyarakat. Perencanaan pendidikan juga merupakan sebuah cara agar sebuah lembaga pendidikan tidak stagnan dan terus tumbuh dan berkembang.
67 Husaini Usman, Manajemen (Teori, Praktik dan Riset Pendidikan), Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006, h. 48.
68 Ibid, h. 52.
Selanjutnya Dr. Matin menyatakan bahwa perencanaan pendidikan pada hakekatnya adalah kegiatan yang terdiri dari beberapa langkah dan setiap langkah terdiri dari beberapa kegiatan yang beruntun
dan selanjutnya membentuk suatu siklus. 69 Membahas tentang perencanaan pendidikan, satu hal yang
sangat penting adalah pembahasan tentang pentingnya mengelaborasi rencana pendidikan. Lebih lanjut Dr. Martin menyampaikan bahwa agar perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik maka diperlukan uraian yang lebih terinci. Perencaan perlu menginformasikan dengan detail terkait kegiatan yang dilakukan, penanggungjawab dan pelaku kegiatan, tempat kegiatan, waktu kegiatan, sumberdaya yang digunakan serta
evaluasi dari keberhasilan kegiatan. 70 Mengelaborasi rencana merupakan proses mengerjakan secara
rinci untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas untuk memudahkan implementasi rencana. Mengelaborasi rencana ini menjadi hal yang penting bagi keberhasilan dalam implementasi perencanaan. Artinya keberhasilan dalam implementasi perencanaan sangat ditentukan oleh baik tidaknya elaborasi perencanaan dilakukan.
Perencanaan pendidikan akan menghasilkan rencana yang baik, realistis dan konsisten maka kegiatan perencanaan pendidikan perlu memperhatikan (1). Keadaan saat ini (melihat dari sumberdaya yang ada, tidak dari nol), (2). Keberhasilan dan faktor-faktor penyebab
69 Martin, Perencanaan Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013, h. 13.
70 Ibid, h.179-180.
keberhasilan, (3). Kegagalan-kegagalan sebelumnya, (4). Potensi serta tantangan dan kendala yang dihadapi, (5). Kemampuan merubah ancaman menjadi peluang dan merubah kelemahan menjadi kekuatan, (6). Melibatkan pihak-pihak terkait, (7). Memperhatikan komitmen pihak-pihak terkait dan mengkoordinasikannya, (8). Mempertimbangkan berbagai hal terkait dengan efektivitas serta efisiensi, demokratis, transparan, legalitas, realistis dan kepraktisan. (9). Mengujicobakan
kelayakan perencanaan jika memungkinkan. 71 Hal ini memberikan gambaran bahwa perencanaan yang baik
adalah berbasis data. Data yang ada, data sebelumnya dan data penunjang akan membuat sebuah perencanaan tidak hanya baik tapi juga realistis.
b. Karakteristik Perencanaan Pendidikan Gaffar berpendapat sebagaimana dikutip oleh Husaini Usman tentang karakteristik perencanaan pendidikan harus memuat hal-hal sebagai berikut : (1). Mengutamakan nilai kemanusiaan, (2). Memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara optimal, (3). Memberikan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua peserta didik, (4). Komperhensif dan sistematis, (5). Berorientasi pada pembangunan,
dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis, (7). Menggunakan sumberdaya secermat mungkin, (8). Berorientasi pada
Dikembangkan
71 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan (Edisi 4), Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014, h. 152.
masa yang akan datang, (9). Responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di masyarakat, tidak statis tapi dinamis, (10). Sarana untuk
mengembangkan inovasi pendidikan. 72 Berdasarkan pendapat tersebut, karakteristik perencanaan
pendidikan sesuai dengan karakteristik pendidikan inklusif, diantaranya adalah harus mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan memberi kesempatan pendidikan yang sama bagi semua peserta didik tanpa membedakan apakah peserta didik tersebut berkebutuhan khusus atau tidak. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah perencanaan pendidikan perlu memperhatikan adanya kesempatan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.
c. Proses Perencanaan Pendidikan Para ahli mengemukakan beragam proses perencanaan pendidikan. Diantaranya adalah Banghart dan Trull yang berpendapat bahwa proses perencanaan pendidikan melalui tahapan: pendahuluan, identifikasi permasalahan pendidikan, analisis area masalah perencanaan, penyusunan konsep dan rencana, mengevaluasi rencana, menentukan rencana, penerapan rencana, dan selanjutnya adalah rencana umpan
balik. 73 Pendapat selanjutnya adalah yang dikemukakan oleh Chesswas,
yang menyatakan bahwa proses perencanaan pendidikan adalah menilai kebutuhan akan pendidikan, merumuskan tujuan dan sasaran pendidikan,
72 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan (Edisi 4), Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014, h. 152-153.
73 Ibid, h.146.
merumuskan kebijakan dan menentukan prioritas, merumuskan proyek dan program, menguji kelayakan, menetapkan rencana, menilai dan
memotivasi untuk rencana yang akan datang. 74
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan akan memperluas cakrawala wawasan peneliti. Akan ditampilkan beberapa hasil penelitian yang relevan.
1. Penelitian (tesis) yang ditulis oleh Afrina Devi Marti dalam jurnal yang berjudul “Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Kota Padang”. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Kota Padang yang berkaitan dengan kebijakan dan administrasi sekolah dalam mendukung pendidikan inklusif, kondisi lingkungan sekolah, ketrampilan, sikap serta pengetahuan guru, kompetensi guru dalam pendidikan inklusif, peserta didik, kurikulum yang digunakan, penilaian dan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif.
Metodologi dalam penelitian di jurnal ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian pada jurnal tersebut diantaranya disebutkan bahwa hampir semua sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif di SD
74 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan (Edisi 4), Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014, h. 148.
Kota Padang telah memiliki dan melaksanakan kebijakan mengenai pendidikan inklusif, telah memiliki visi dan misi mengenai pendidikan inklusif, pengelola sekolah dan guru memahami konsep pendidikan inklusif. Kebijakan sekolah memberi keleluasaan pada guru untuk menggunakan metode pembelajaran yang kreatif untuk membantu
masalah belajar. 75
2. Penelitian tesis yang dilakukan oleh Indra Jaya dengan judul Evaluasi Program Pendidikan Inklusif.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi efektivitas pelaksanaan dan keberhasilan program Pendidikan Inklusif yang diselenggarakan oleh SDN 03 dan SDN 04 Gedong Jakarta Timur.
Penelitian ini adalah penelitian evaluasi dengan model CIPP (contex, input, process, product) yang dikembangkan oleh Stufflebearne. Subjek penelitian ini meliputi kepala sekolah, guru, pihak berwenang, orangtua dan peserta didik.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, penyebaran angket dan analisis dokumentasi. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dan deskriptif kualitatif yaitu dengan mendiskripsikan dan memaknai data dari masing- masing komponen yang dievaluasi kemudian dibandingkan dengan
kriteria pendidikan inklusif yang telah ditetapkan. 76
75 Afrina Devi Marti.2012.”Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Kota Padang (Tesis)”. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu. (on line 11 Maret 2015 pukul 07.24).
76 Indra Jaya, “Evaluasi Program Pendidikan Inklusif”, Tesis.
Tesis terdahulu yang relevan sebagaimana telah diuraikan di atas, memiliki beberapa perbedaan dengan tesis penulis. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :
Tabel. 2.1
HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Peneliti
Afrina
Indra Jaya
Evaluasi Program Implementasi
Judul
Inklusif di
Pendidikan
Program
Sekolah Dasar
Inklusif
Pendidikan
Kota Padang
Inklusif di SDIT Sahabat Alam Palangka Raya
Deskriptif
Penelitian
Kualitatif dengan
Metodologi
dengan
evaluasi dengan
model CIPP
fenomenologi.
kualitatif
(contex, input, process, product). Teknik analisa data yang digunakan adalah analisa kualitatif dan deskriptif kualitatif
Sekolah Dasar
SDN 03 dan SDN SDIT Sahabat
Lokasi
di Kota Padang
04 Gedong
Alam Palangka
Penelitian
Jakarta Timur. Raya
perencanaan dan
pelaksanaan
pelaksanaan dan
Inklusif di SD
program
program
Kota Padang
Pendidikan
pendidikan pendidikan
Inklusif yang
inklusif di SDIT
dengan
diselenggarakan
Sahabat Alam
kebijakan dan
oleh SDN 03 dan
Palangka Raya.
administrasi
SDN 04 Gedong
sekolah dalam
Jakarta Timur.
mendukung pendidikan inklusif, kondisi lingkungan sekolah, ketrampilan, sikap serta pengetahuan guru, kompetensi guru dalam pendidikan inklusif, peserta didik, kurikulum yang digunakan, penilaian dan dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif.