Formulasi Minuman Emulsi Kaya B-Karoten Dari Minyak Sawit Merah

FORMULAS1 MINUMAN EMULSI I U U A P-IUROTEN
DARI MINYAIC SAWIT MERAIl

OLEH:
SURFIANA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
SURFIANA. Formulasi Minuman Emulsi Kaya Beta Karoten dari Minyak Sawit
Merah. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI dan DEDE ROBIATUZ
ADAWIYAH.
Salah satu masalah gizi utama yang di derita oleh anak balita adalah
defisiensi vitamin A. Defisiensi pada tingkat berat dapat mengakibatkan
kebutaan. Oleh sebab itu diupayakan menghasilkan produk minuman emulsi
sebagai produk diversifikasi minyak sawit merah yang mempakan altematif
sumber vitamin A dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat
terhadap vitamin A.
Penelitian dilaksanakan dengan memfonnulasikan minyak sawit merah

sebagai sumber beta karoten dengan air dan dengan penambahan berbagai bahan
tambahan makanan lainnya sehingga menghasilkan suatu produk emulsi sejenis
Scott's Emulsion yang memiliki rasa, wama, aroma, dan penampakan yang
disukai.
Fonnulasi emulsi yang dipilih dari hasil penelitian ini meliputi rasio minyak
terhadap air = 7:3 untuk emulsifier Tween 80 pada konsentrasi 1% dan 6:4 untuk
emulsifier sukrosa ester asam lemak tipe S-1570, P-1570, dan emulsifier
campuran sukrosa ester asam lemak ber-HLB 15 masing-masing pada konsentrasi
1%. Bahan tambahan makanan yang digunakan yaitu pengawet Benzoat (0,2%),
antioksidan BHT (200 ppm), pengkelat EDTA (200 ppm), pemanis simp fruktosa
(10--15%), dan flavorjemk (1--1,5%).
Produk emulsi yang terbentuk memiliki viskositas antara 380--2100 cp.,
bilangan asam 1.340-1.401 mg KOWg emulsi, bilangan peroksida 1.133-2.853
meqllOOOg emulsi, total karoten 299.104--414.408 ppm, kadar beta karoten
ppm dan jumlah mikroba 0.10'-3.lb'
koloni mikrobalg
211.852-310.870
emulsi.
Hasil uji organoleptik terhadap minuman emulsi memberikan hasil bahwa
minuman emulsi yang disukai adalah jenis emulsi dengan emulsifier sukrosa ester

asam lemak HLB 15 yang memiliki rasio minyak: air = 6:4. Emulsi ini memiliki
nilai viskositasl650 cp., total karoten 364,893 ppm, dan kadar beta karoten
222,285 ppm.
Umur simpan produk emulsi (yang diwakili oleh jenis emulsi A), untuk
dapat dikatakan sebagai minuman emulsi yang kaya kandungan beta karoten (100
ppm kadar beta karoten) adalah 93,5 hari apabila disimpan pada kondisi suhu
3 0 ' ~tanpa pengaturan kondisi lainnya.

FORMULAS1 MINUMAN EMULSI KAYA P-KAROTEN
DARI MINYAK SAWIT MERAH

SURFIANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2002

Judul Tesis

: Fonnulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak

Sawit Merah
Nama
: Surfiana
NFP
: 97148
Program Studi : Ilmu Pangan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

g-A

Prof. Dr. IT.Tien R. Muchtadi. M.S.
Ketua


Ir. Dede Robiatul Adawivah. M.Si.
Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Tanggal Lulus: 18 Agustus 2001

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 13 Januari 1968 dari ayah
Sudjadi dan ibu Sanikem. Penulis merupakan anak ketujuh dari sebelas bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Lampung, lulus pada tahun 1992. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program Magister penulis dapat tahun 1997 pada Program Studi Ilmu
Pangan Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasaqana diperoleh dari
Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI).
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Politekmk Pertanian Negeri Bandar
Lampung sejak tahun 1994.


Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juli 1999 sampai dengan bulan Agustus 2000 ini ialah
Formulasi Minuman Emulsi Kaya P-Karoten dari Minyak Sawit Merah.
Pada kesempatan ini penuljs mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi. M.S. sebagai dosen pembimbing pertama yang
telah memberikan bimbingan, pengarahan, nasehat dan dorongan semangat kepada
penulis. Serta kepada Ir. Dede Robiatul Adawiyah, M.Si. sebagai dosen pembimbing
kedua yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian hingga
penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Hibah Bersaing VII yang telah
memberikan bantuan dana kepada penulis dan Dr. C. Hanny Wijaya, M.Sc. atas
bantuannya dalam perolehan bahan untuk penelitian.
Kepada teman-teman khususnya mbak Rama, mbak Rini, Mbak Ani, UN Susi,
Imron, Sri (alm), Tensiska, Leni, Pak Sabariman, Uni Novelina, Udin dan temanteman IPN 97 atas segala bantuan, dorongan, dan kebersamaannya selama
melaksanakan penelitian. Kepada mas Taufik, mbak Ari, mbak Antin, dan Pak Ade
terima kasih atas segala bantuannya selama penelitian di laboratorium.
Akhirnya kepada suami tercinta Wan Ruslan Abdul Ghani, SE. M.S. yang
dengan segala ketulusan dan kesabarannya mendampingi, mendukmg, dm
membantu penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini. Serta kepada kedua

anak kami tercinta Rian dan Rosa terima kasih atas segala kasih sayangnya.
Kepada Ibunda dan ayahanda (aim) terima kasih atas segala doa, bimbingan,
dan kasih sayangnya kepada penulis. Kakak-kakak dan adik-adik atas segala bantuan
dan pengertiannya selama ini. Kepada Ibu d m Ayah mertua terima kasih atas segala
doa, bimbingan dan bantuannya, juga kepada Kakanda Dr. H. Wan Abbas Zakaria,
M.S. sekeluarga atas segala bantuan dan dorongannya, adinda Ir. Wan Umar Nurul
Anwar sekeluarga, dan adinda Wan Jamatudin, M.Ag. sekeluarga atas segala
bantuannya penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, 28 Januari 2002

DAFTAR IS1

Halaman
DAFTAR TABEL..............................................................................

vii
...

DAFTAR GAMBAR ..........................................................................


VIII

DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................

ix

PENDAHULUAN...............................................................................

1

Latar Belakang
. .......................................................... :. ...................
Tujuan Penellt~an
. . ............................................................................
Manfaat Penelltlan..........................................................................
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................

1
7
7

8

Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya......................................................
8
Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil)..................................................
9
Minyak Sawit Merah (Red Palm Oil).................................:...................
11
Komponen Minor Minyak Sawit.........................................................
Sistem Emulsi dan Emulsifier............................................................. 15
19
Pemmusan Model Umur Simpan.......................................................... 28
METODOLOGI PENELITIAN...............................................................
32
Waktu dan Tempat Penelitian.............................................................
Bahan dan Alat
. ...............................................................................
Metode Penelitlan..........................................................................
Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier........................................
Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah ................................

Penentuan
.. Umur Simpan Minuman Emulsi .........................................
Pengujlan Sifat Fisik ....................................................................
Viskositas
.. (Metode
. Haake
.
Viscometer).............................................
Pengullan Sifat I m ~..................................................................
a
Bilangan Asam (Metode Titrasi).....................................................
Bilangan Peroksida (Metode Titrasi)................................................
Kandungan Total Karoten (Metode Spektrofotometri)............................
Kadar .Beta
. Karoten (Metode HPLC)................................................
Penguj~anMikrobiologi................................................................
Total Mikroba
(Metode Total Plate Count).........................................
..
Pengujlan Organoleptik ................................................................

Uji Hedonik ........................................................................
:....
HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................

45

Penentuan Jenis dan Konsentrasi Emulsifier ............................................
Formulasi Minuman Emulsi Minyak Sawit Merah ....................................

45
51

Viskositas .....................
.
.....................................................
Total Karoten ..........................................................................
Kadar Beta Karoten ..................................................................
Bilangan Asam .......................................................................
Bilangan Peroksida ..................................................................
Total Mikroba ........................................................................

..
UJI Organoleptik ....................................................................
Penentuan Umur Simpan Minuman Emulsi ............................................
KESIMPULAN ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Pangsa konsumsi minyak sawit menurut bentnk konsumsi di Indonesia ...........

3

2 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit ................................

8

Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia ................................

11

4 Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO) ................................

16

5 Klasifikasi emulsifier yang digunakan sebagai bahan tamballan makanan ..........

26

6 Persentase dua jenis emulsifier dengan nilai HLB yang berbeda pada berbagai
nilai HLB ....................................................................................

48

3

7 Jenis dan konsentrasi emulsifier yang dipilih dan digunakan pada berbagai
rasio minyak dan air ....................................................................... 49
8 Komposisi minuman emulsi kaya beta karoten dari minyak sawit merah ..........

51

9 Karakteristik minyak sawit merah ........................................................

52

10 Hasil uji kesukaan pada 4 (empat) jenis minuman emulsi ............................

64

11 Kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu yang
berbeda .......................................................................................

65

12 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu
yang berbeda ...................................................................................

65

13 Parameter Arrhenius perubahan kadar beta karoten ...................................

66

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir proses pengolahan minyak sawit ........................................

13

Struktur dasar karotenoid.................................................................

17

3 Komponen minor dalam minyak sawit .................................................

18

4 Tipe grup hidrofilik dan lipofilik........................................................

21

5 Skema terjadinya emulsi minyak dalam air ............................................

23

6 Struktur kimia ester sukrosa..............................................................

27

7 Struktur kimia polysorbate (Tween)....................................................

27

2

8 Diagram alir pembuatan minuman emulsi.............................................

9 Skema orientasi molekul emulsifier ......................................................
10 Kemampuan dispersi dari sukrosa monoester...........................................
11 Viskositas berbagai minuman emulsi kaya beta karoten pada minggu ke-0
penylmpanan...............................................................................
12 Hubungan antara lama penyimpanan dan total karoten pada berbagai jenis
minuman emulsi ...........................................................................
13 Kadar beta karoten pada berbagai jenis minuman emulsi...........................
14 Hubungan antara lama penyimpanan dan bilangan asam pada berbagai jenis
minuman emulsi ...........................................................................

. . . antara lama penyimpanan dan bilangan peroksida pada berbagai
15 Hubungan
jenls mlnuman emulsi.....................................................................
16 Hubungan antara lama penyimpanan dan jumlah mikroba pada berbagai jenis
minuman emulsi ...........................................................................
17 Perubahan kadar beta karoten minuman emulsi selama penyimpanan pada suhu
yang berbeda ................................................................................
18 Plot Arrhenius perubahan kadar beta karoten ..................................... ....
%

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Jenis emulsifier yang sesuai pada berbagai rasio minyak : air ........................

77

2 Data hasil pengamatan viskositas minuman emulsi minyak sawit ..................... 82
3 Data hasil pengamatan total karoten minuman emulsi minyak sawit ................

83

Rumus perhitungan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit ............

84

5 Data hasil pengamatan kadar beta karoten minuman emulsi minyak sawit .........

84

6 Data hasil pengamatan bilangrin asam minuman emulsi minyak sawit ..............

85

7 Data hasil pengamatan bilangan peroksida minuman emulsi minyak sawit ........

86

8 Data hasil pengamatan total mikroba minuman emulsi minyak sawit ...............

87

9 Format pengujian organoleptik minuman emulsi minyak sawit.....................

89

10 Hasil uji kesukaan secara organoleptik terhadap minuman emulsi minyak sawit

89

11 Daftar sidik ragam hasil uji kesukaan minuman emulsi minyak sawit ..............

90

4

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak pelita N,komoditi sawit telah ditetapkan sebagai komoditi ekspor
non migas untuk meningkatkan devisa dan memenuhi kebutuhan industri minyak
nabati dan industri laimya di dalam negeri. Dalam rangka itu, pemerintah (sub
sektor perkebunan) telah merencanakan peningkatan pioduksi sawit dalam skala
besar melalui program ekstensifikasi, intensifikasi, rehabilitasi, dan diversifikasi
(Muchtadi, 1996).
Menurut Pulungan dkk. (2000), dilihat dari ketersediaan sumber daya yang
ada, Indonesia masih mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan
perkebunan dan industri kelapa sawit di masa mendatang.

Pengembangan

agroindustri kelapa sawit ini h a m diamhkan untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi dan keberlanjutan usaha sehingga memberikan dampak yang lebih besar
lagi terhadap perekonomian daerah dan pemberdayaan masyarakat terutama
dalam menyongsong otonomi daerah.
Minyak sawit kasar atau yang dikenal dengan istilah crudepalm oil (CPO)
mempakan minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi bagian mesokarp (daging)
buah sawit, sedangkan mjnyak inti sawit yang dikenal dengan istilahpalm kernel
oil (PKO) diperoleh dari hasil ekstraksi inti sawit.
Menunrt data Oil Wodd (1994), dalam dekade terakhir ini pertumbuhan
konsumsi minyak nabati dunia hanya rnampu bertumbuh mta-rata 4 1 % per tahun.

2

Sementara ity laju pertumbuhan konsumsi minyak sawit dunia pada periode yang
sama mampu bertumbuh sekitar 9% pertahun. Bahkan konsumsi minyak inti
sawit mampu bertumbuh rata-rata 10% per tahun. Sedangkan minyak kedelai
yang memiliki pangsa konsumsi terbesar dunia hanya mampu bertumbuh sekitar
3% per tahun.

Dengan pertumbuhan konsumsi minyak nabati dunia yang

demikian diperkirakan pangsa minyak sawit akan menjadi sekitar 20% pada tahun
1998 ini menggeser kedudukan minyak kedelai yang pangsanya menurun menjadi
sekitar 18%.
Apabila dilihat secara global, kontribusi minyak sawit terhadap
penyediaan minyak nabati dunia adalah sebesar 21,1%. Kontribusi yang besar ini
diperkirakan masih &an naik di tahun-tahun mendatang.

Hal ini karena

produhqivitas minyak sawit per satuan luas tanaman adalah yang paling besar
dengan biaya produksi yang rendah sehiigga menyebabkan minyak sawit
mempunyai daya saing yang tinggi dibandiigkan dengan minyak nabati lainnya
(Pulungan dkk, 2000).
Peranan minyak sawit dalam bidang pangan dan gizi adalah sebagai bahan
baku dalam pembuatan berbagai jenis produk pangan antara lain minyak goreng,
margarin, shortening, dan sebagainya Namun selain sebagai bahan baku dalam
pembuatan berbagai jenis produk pangan, minyak sawit digunakan pula dalam
pembuatan produk-produk kosmetika seperti sabun, shampo, lotion, dan lain-lain
serta dalam berbagai pembuatan produk f m a s i . Tabel 1 memperlihatkan pangsa
konsumsi minyak sawit di Indonesia

3

Tabel 1. Pangsa konsumsi minyak sawit nlenurut bentuk konsulnsi di Indonesia.

Tahun
1991

Minyak
Goreng
72,5

Pangsa Bentuk yang Dikonsumsi
Margarinl
Sabun
Oleokimia
Shortening
4,3
16,O

Lain-lain

Sumber: Saragih (1998)
Di Indonesia sendiri, konsumsi minyaWlemak per kapita sekitar 10 kg per
tahun. Jika penduduk Indonesia sekitar 200 juta orang maka total konsumsi
minyakllemakper tahun sekitar 2 juta ton (Pulungan dkk., 2000).
Kennggulan minyak sawit bila dibandingkan dengan minyak nabati
lainnya yaitu selain memerlukan biaya produksi yang rendah juga mengandung
komposisi asam lemak yang berimbang dan komponen zat gizi minor yang sangat
penting untuk kesehatan manusia.
Menurut Muhilal (1998), dari sudut pandang penggunaan minyak sawit
sebagai minyak goreng perhatian ditujukan pada komposisi asam lemaknya
karena pengaruhnya terhadap derajat kesehatan konsumen dalam jangka panjang.
Secara alami minyak sawit mempunyai komposisi asam lemak yang berpengaruh
pada profil lipida darah sedemikian mpa sehingga mengurangi peluang terjadinya
atherosklerosis. Minyak sawit mengandung kombinasi asarn lemak tidak jenuh
d m asam lemak jenuh yang berimbang (50%--50%), serta lemak pada minyak
sawit memiliki konfigurasi cis yang aman bagi kesehatan.

4

Muchtadi (1998) nlenyebutkan pula bahwa nilai tanlball yang dapat
diperoleh dalam minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lain adalah
pada kandungan sejun~lah komponen aktif seperti karotenoid, tokoferol,
tokotrienol, asam lemak esensial, dan fitosterol.

Zat gizi mikro ini sangat

bermanfaat bagi tubuh antara lain untuk penanggulangan kebutaan karena
xeroftalmia, mengurangi peluang tejadinya kanker dan mencegah proses menua
yang terlalu dini. Zat gizi mikro ini juga berperan sebagai antioksidan yang
mampu memusnahkan radikal bebas. disamping meningkatkan imunitas tubuh,
yang selanjutnya mengurangi peluang tejadinya penyakit degeneratif (Muhilal,
1998).
Sayangnya berbagai macam karoten, vitamin E, serta tokoferol tersebut
terbuang atau dengan sengaja dibuang dalam proses pengolahan menjadi minyak
goreng. Oleh karena itu, saat ini telah banyak penelitian yang dilakukan untuk
menghasilkan minyak sawit yang masih memiliki zat gizi mikro tersebut yaitu
minyak sawit merah.
Minyak sawit merah mempakan minyak sawit yang masih benvama merah
karena kandungan karotenoid yang tinggi. Untuk mempertahankan kandungan
karotenoid alami khususnya P-karoten dalam minyak sawit diperlukan suatu
teknik ekstraksi yang dapat mempertahankan zat gizi mikro tersebut antara lain
lnelalui pengendalian proses pemucatan pada metode ekstraksi konvensional,
ekstraksi dengan hydraulic presser, distilasi molekuler, dan yang berkembang
dalam dekade terakhir ini adalah teknik ekstraksi fluida superkritik. Metodemetode tersebut mampu menghasilkan minyak sawit merah yang kaya komponen
P-karoten.

5

Seluruh komponen karotelioid tersebut merupakan prekursor vitamin A
dan berfungsi sebagai provitan~inA. Dilihat dari besamya aktivitas provitamin A,
kadar karotenoid minyak sawit memiliki aktivitas 10 kali lebih besar
dibandingkan wortel dan 300 kali lebih besar dibandingkan tomat. Shaikh dan
Mikle (1998) menyatakan bahwa minyak sawit dari Indonesia mengandung 500700 ppm karotenoid; sekitar 60% adalah P-karoten, 30% a-karoten, dan sisanya
terdiri dari y-karoten, xanthophyl, dan likopen.
Mengkonsumsi P-karoten (provitamin A) jauh lebih aman daripada
.

~ilengkonsumsivitamin A yang dibuat secara sintetis dan difortifikasikan ke
dalam makanan, sebab dalam tubuh P-karoten alami akan diabsorbsi dan
dimetabolisme. Separuh dari P-karoten yang diabsorbsi akan diubah menjadi
retinol (vitamin A) dalarn mukosa usus dengan bantuan enzim 15,15P-karotenoid
oksigenase (Packer, 1991). Fungsi vitamin A yang utama adalah dalam proses
penglihatan.

Menurut Guthrie (1986), vitamin A j'uga diperlukan untuk

pertumbuhan yang normal.
Menurut Muhilal (1998), salah satu masalah gizi utama yang diderita oleh
anak balita adalah defisiensi vitamin A.
mengakibatkan kebutaan.

Defisiensi pada tingkat berat dapat

Pada tahun 1963-1965 Departemen Kesehatan

RI

melakukan uji coba ditingkat lapangan tentang manfaat penggunaan minyak
kelapa sawit merah untuk mencegah defisiensi vitamin A. Anak-anak balita di
desa Gunung Pati setiap hari diberi 4 g rninyak kelapa sawit merah, sedangkan
anak balita lain di desa Kedung Pane hanya diberi decolorized paln~oil (DPO)
yang sudah tidak berwarna merah. Pemeriksaan klinis dilakukan 3 (tiga) kali
yaitu pada awal penelitian (Desember 1963), setelah 6 bulan (Juni 1964) dan

6

setelah 15 bulan (Maret 1965). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa
ininyak sawit merah dapat meningkatkan status vitamin A yang sangat bermakna,
ha1 ini dapat dilihat dari kenaikan vitamin A dalam serum.
Kebutuhan akan vitamin A adalah 200.000 IU/gram/bulan/orang.
Kebutuhan Indonesia untuk menanggulangi kekurangan vitamin A yang terjadi
pada f 7% x 180 juta x 200.000 IU = 5 x 10" IU (5,l triliun IU). Padahal pada
saat lalu 80% dari kebutuhan vitamin A tersebut masih tergantung pada suplai dari
UNICEF dan sejak tahun 1997 bantuan tersebut sudah dihentikan (Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1998). Pada saat ini suplai vitamin A
diperoleh dari Departemen Kesehatan.
Menurut Haryati dkk. (1995), apabila pada proses pengolalian minyak
sawit kandungan P-karotemya masih dapat dipertahankan hingga 375 ppm, maka
hanya dengan mengkonsumsi sekitar 12,s ml sampai 16 ml minyak sawit perhari
kebutuhan vitamin A untuk wanita dan laki-laki dewasa sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh Amerika dan Kanada dapat terpenuhi.
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin A, dirasakan perlu dilakukan
diversifikasi produk olahan minyak sawit merah. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan antara lain pembuatan produk emulsi (sejenis Scott's Emulsion)
(Saputra, 1996 dan Wulandari 2000), pembuatan margarin, dan pembuatan
mikroenkapsulasi minyak sawit kaya beta karoten (Wardayanie, 2000) dengan
menggunakan CPO dan minyak sawit merah hasil pemumian 'dari CPO.
Sedangkan untuk mengetahui dan mempelajari ketersediaan hayati beta karoten
dalam minuman emulsi telah diteliti oleh Meridian (2000).

7

Hasil penelitian Saputra (1996) tentang formulasi produk elllulsi kaya

13-

karoten dari minyak sawit merah dengan bahan baku minyak sawit yang masih
berupa minyak sawit kasar (CPO) menghasilkan produk yang cukup kental
sehingga pada

saat penilaian secara organoleptik, panelis (konsumen)

menunjukkan respon kurang menyukainya.

Sedangkan penelitian Wulandari

(2000) dengan menggunakan bahan baku minyak sawit merah hasil pemurnian
CPO dengan optimasi suhu dan waktu proses menunjukkan respon penerimaan
secara umum terhadap minuman emulsi antara agak suka sampai suka dengan
kandungan beta karoten 153 ppm.

Untuk itu, dicoba kembali melakukan

formulasi dalam bentuk minuman emulsi dengan menggunakan minyak sawit
merah yang telah dideodorisasi sehingga memiliki aroma yang lebih disukai serta
masih tetap memiliki kandungan beta karoten yang cukup tinggi.

1.2 Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan formula produk diversifikasi minyak sawit merah
berupa minuman emulsi yang memiliki kandungan P-karoten tinggi, sifat fisik,
kimia, dan organoleptik (rasa, aroma, wama, kekentalan, dan penampakan) yang
disukai oleh konsumen. Selain itu juga, untuk mengetahui umur simpan minuman
emulsi yang masih tetap memiliki kandungan P-karoten tinggi.
1.3 Manfaat Peuelitian

Menghasilkan suatu produk yang merupakan altematif sumber vitamin A
dalam rangka membantu memenuhi kecukupan gizi masyarakat terhadap vitamin

A yang sangat berperan penting dalam kehidupan manusia terutama fungsinya
dalam proses penglihatan.

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit dan Pertumbuhannya

Perkebunan kelapa sawit komersial di Asia bermula dari penanaman 2000
bibit kelapa sawit di Pulau Raja, Asahan dan Sungai Liput, Aceh oIeh M. Adrien
Hallet pada tahun I91 1. Sejak itu sampai sekarang, luas areal kebun kelapa sawit
di Indonesia terus berkembang hingga mencapai 2,9 juta ha pada tahun 1999
dengan produksinya bempa minyak sawit kasar (CPO) sebesar 5,9 juta ton
(Pulungan, dkk., 2000). Kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) adalah tanaman
berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae dan merupakan salah satu dari
beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak dan
mempakan tanaman penghasil minyak yang paling produlrtif dibandingkan
dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Kelapa sawit yang dikenal terdiri dari beberapa varietas yang dapat
dibedakan berdasarkan tebal tempurung dan daging buah atau berdasarkan wama
kulit buahnya. Ada empat tipe atau varietas yang dikenal berdasarkan tebal
tempurungnya, yaitu tipe Macrocarya, Dura, Tenera, dan Pisifera (Muchtadi,
1992).
Tabel 2. Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit

Macrocarya

Tebal sekali :

Dura

Tebal

:

Tenera

Sedang

: 0,5 - 4

Pisifera
Sumber: Muchtadi (1992)

Tipis

5
2 - 8

9

Tempumng varietas dura cukup tebal antara 2 - 4 mm dan tidak terdapat
lingkaran sabut pada bagian luar tempumng. Daging buah relatif tipis dengan
persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara 3 5 4 0 % . Kernel (daging
buah) biasanya besar dengan kandungan minyak yang rendah.
Varietas Pisifera memiliki tempumng sangat tipis, bahkan hampir tidak ada
tetapi daging buahnya tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tinggi,
sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis Pisifera tidak dapat diperbanyak tanpa
menyilangkan dengan jenis yang lain. Varietas ini dikenal sebagai tanaman betina
yang steril sebab bunga betina gugur pada fase dini.
Varietas tenera mempunyai sifat-sifat yang berasal dari kedua induknya
yaitu Dura dan Pisifera. Varietas inilah yang banyak ditanam di perkebunanperkebunan pada saat ini.

Tempurung sudah menipis,' ketebalannya berkisar

antara 0,5--4 mrn dan terdapat lingkaran serabut disekelilingnya. Persentase
daging buah sangat tinggi antara 60--96%. Tandan buah yang dihasilkan oleh
Tenera lebih banyak daripada Dura, tetapi tandannya relatif lebih kecil.
2.2 Minyak Sawit Kasar (Crude Palrtz Oit)

Sampai saat ini Indonesia masih tercatat sebagai negara penghasil kelapa
sawit terbesar di dunia setelah Malaysia. Diperkirakan pada tahun 2012 produksi
CPO di Indonesia mencapai 15 juta ton dan ini mempakan yang terbesar di dunia.
Saat ini produktivitas tanaman kelapa sawit rata-rata telah mencapai 4--5 ton
minyak per hektar per tahun.

Produksi yang tinggi ini menyebabkan biaya

produksi minyak sawit termasuk paling rendah di antara minyak nabati lainnya
(Pulungan dkk., 2000).

10

Menun~tSaragih (1998), dimasa lalu perhatian pengembangan agribisuis
minyak sawit di Indonesia, umumnya masih tertuju pada industri minyak sawit
mentah (CPO). Dimasa yang akan datang, Indonesia hams me~nberikanperhatian
yang serius pada percepatan pengembangan industri hilir CPO.

Percepatan

pengembangan industri hilir ini selain bertujuan untuk merebut nilai tambah yang
besar, juga memperkuat daya saing agribisnis minyak sawit Indonesia di pasar
intemasional.
Selain itu dinyatakan oleh Saragih (1998) bahwa sebagian besar (71%)
dari konsumsi total minyak sawit nasional dikonsumsi dalam bentuk minyak
goreng sawit. Bila digabung dengan bentuk margarin dan shortening, maka
sekitar 75% dari minyak sawit dikonsumsi dalam bentuk oleo pangan. Sedangkan
sisanya (sekitar 25%) dikonsumsi dalam bentuk sabun, oleo kimia @tty acid,fatty

alcohol,fatty nitrogen, nzetyl ester, glyserol) dan bentuk-bentuk lainnya.
Minyak sawit kasar (CPO) mengandung gliserida yang merupakan
komponen mayor terdiri dari 90% trigliserida, 2--7%

digliserida, 1%

monogliserida, 3--5% asam lemak bebas, dan lebih kurang 1% komponen minor
(May dkk., 1996). Komponen kimia tersebut menentukan sifat fisikokimia dari
minyak sawit. Sedangkan sifat fisik dari minyak sawit meliputi densitas, panas
jenis, panas fusi, viskositas, titik leleh, dan titik beku merupakan suatu kriteria
yang penting di dalam menentukan proses pengolahan dan penggunaan minyak
sawit tersebut (Ong dkk., 1989).
Komposisi komponen temtama asam lemak pada minyak sawit tergantung
pada beberapa faktor antara lain jenis varietas, tempat tumbuh, dan waktu
pemanenan. Menumt Ong dkk. (1995), tanaman asli Elaies guineensis Jacq,

11

varietas Tenera menghasilkan asam lemak tidak jenuh yang lebili tinggi (dmgan
bilangan iodium sampai 72) dan asam palmitat lebih kurang 26%.
Tabel 3. Komposisi asam lemak dalam minyak sawit Malaysia.
Jenis Asam Lemak
Laurat (C12, o)
Miristat (~14: 0)
Palmitat (C16 : 0)
Stearat (Clg: 0)
Oleat (C18 : I)
Linoleat (CIS:2).
Linolenat (CIS: 3)

% Asam lemak

.,

Sumber : Zaizi, dkk. (1996)
Menurut Haryati dkk. (1995) minyak sawit mengandung kombinasi asam
lemak tidak jenuh yang berimbang 5(0%5-0%)

sehingga lemak pada minyak

sawit (margarin dan shortening) berkonfigurasi cis yang aman bagi kesehatan
manusia.
2.3 Minyak Sawit Merah (Red Palrtz Oil)

Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang masih benvama merah.
Muchtadi (1992) menyatakan bahwa sesungguhnya penyebab wama merah
tersebut adalah pigmen karotenoid yang sebagian besar terdiri dari P-karoten.
Menurut Naibaho (1990), minyak sawit merah mengandung karoten sebesar 600-1000 ppm. Karotenoid yang terdapat dalam minyak sawit merah ferdiri dari
a-karoten lebih kurang 36,2%, P-karoten lebih kurang 54,4%, y-karoten lebih
kurang 3,3%, likopen lebih kurang 3,8%, dan santofil lebih kurang 2,2%.

I2

Pada masa perkembangan dimana masyarakat dengan kecerdasan dan
seleranya menghendaki tampilan produk-produk yang lebih baik, maka
berkembang pula teknologi proses untuk membuat minyak goreng yang tidak
benvama, tidak berbau; dan tidak berasa.

Sehingga pada proses pembuatan

minyak goreng, wama merah yang mengandung zat gizi mikro penangkal
penyakit kronik degeneratif yang terdapat pada minyak sawit justru dengan
sengaja dibuang dan sebagian lagi terbuang dengan tidak sengaja (Muchtadi,
1998; Muhilal, 1998).
Selain itn, untuk mendapatkan produk-produk akhir minyak sawit
diperlukan adanya teknologi kimia dan fisika yang secara tidak langsung dapat
merusak komponen-komponen aktif yang terdapat di dalarnnya tenhama
komponen karotenoid.
Dalam proses pengolahan buah sawit menjadi crude palm oil (CPO) yang
selarjutnya menjadi minyak goreng, selalu diawali dengan pemanasan, yang
kemudian

dilanjutkan dengan perontokan, perebusan,

pengadukan

dan

pengempaan, penyaringar, dan pemurnian. Secara ringkas dapat dilihat pada
Gambar 1.
Mengingat sifat karotenoid yang sensitif terhadap panas, cahaya, maupun
udara dan juga proses oksidasi, maka dalam proses pengolahannya perlu
diperhatikan dan dikendalikan parameter-parameter proses yang dapat merusak
komponen tersebut.
Berbagai metode ekstraksi untuk memperoleh minyak sawit merah yang
masih memiliki kandungan karotenoid tinggi telah banyak dikembangkan antara
lain pengendalian proses bleaching (pemucatan) pada ekstraksi konvensional,

13

ekstraksi dengan izydraulic presser, pemilihan solvent yang tepat pada ekstraksi
solvent (pelarut), distilasi molekuler, dan ekstraksi fluida superkritik.
Pada proses ekstraksi minyak sawit secara konvensional umumnya
ditujukan untuk pembuatan minyak goreng. Proses diawali dengan pemanasan,
kemudian dilanjutkan dengan perontokan, perebusan, pengempaan, penyaringan,
penjemihan, dan penyimpanan.
Tandan Buah Segar (TBS) (100%)

Pemanasan

1

TBS + dehidrasi buah (10%)

Pembrondolan
Buah + tandan kosong (23%)
Pengadukan dan Pengempaan
Biji (1 1%) + Serat (13%)

minyak mentah

Pemisahan
Padatan (5%)+
Air (17%)

1
cyo

Pengendapan, Sentrifusi,
Pengeringan Harnpa

Pemurnian
Degumming, netralisasilrafinasi,
Pemucatan, deodorisasi
Minyak Makan
Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan minyak sawit (Muchtadi, 1992b)

14

Proses pemucatan (bleaclzing) adalah salah satu tingkat pengolahan minyak
atau lemak yang bertujuan untuk memisahkan zat wama dalam minyak atau
lemak. Menurut Naibaho (1979), proses pemucatan biasanya dilakukan dalam
tangki hampa udara, adsorben ditambahkan sebanyak 0,5--5,O persen dari berat
minyak.

Suhu diatur sekitar 250°F atau 121°C, setelah itu suhu minyak

diturunkan sekitar 71--81DC kemudian minyak dipompakan melalui saringan
untuk memisahkan adsorber.
Untuk mendapatkan minyak sawit yang masih memiliki warna merah
dikendalikan beberapa parameter proses terutama penggunaan suhu tinggi,
sehingga saat pemurnian masih diperoleh minyak sawit yang benvarna merah.
Cara pengolahan yang relatif murah dan sering digunakan dalam industri
minyak

sawit

adalah

dengan

cara

mekanik

yang

berprinsip

pada

penekanan/pengepresan pada buah. Alat yang biasa digunakan untuk tujuan ini
adalah hydraulic press. Dengan alat tersebut, buah sawit yang telah' dipisahkan
dari bijinya dimasukkan ke dalam suatu wadah yang kemudian mendapat tekanan
sehingga buah pecah dan terperas minyaknya. Dengan cara ini bahan atau buah
sawit tersebut tidak mendapat perlakuan dengan panas yang tinggi sehingga
kehilangan karotenoid dapat diminimalkan.
Dari h a i l penelitian yang telah dilakukan oleh Muchtadi dan Andi (1996),
dengan tekanan optimal yang diperoleh yaitu 175 kg/cm2 (2489,l psi) dapat
dinyatakan bahwa dengan pengepresan hidraulik diperoleh minyak sawit merah
yang memiliki kadar P-karotennya masih bertahan sejumlah 95%.
Proses ekstraksi minyak menggunakan pelarut-pelarut lemak seperti heksan,
petroleum eter, dan sebagainya telah lama dilakukan. Dengan cara ini akan

15

diperoleh ininyak yang lebih n~umi dengan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan cara mekanik lain. Selain itu kadar P-karoten dalam minyak
dapat diperoleh dalam jumlah yang banyak karena P-karoten juga mempunyai
sifat larut dalam lemak sehingga akan terbawa bersama-sama fase minyak dan
pelarut, kemudian pelarutnya diuapkan kembali untuk memperoleh minyak sawit
merah (Muchtadi, 1992).
Ekstraksi fluida superkritik dengan C02 merupakan metode yang
berkembang dalam dekade terakhir ini. Menurut S z v i (1986) dan Choo dkk.
(1996), teknologi fluida superkritik adalah sebuah proses pemisahan baru yang
.

.

menggunakan sifat-sifat unik dari gas di bawah temperatur dan tekanan kritis
untuk mengekstrak campuran dari komponen.
Prinsip teknologi ekstraksi fluida superkritik sesungguhnya sama dingan
ekstraksi biasa dengan menggunakan pelamt. Pada ekstraksi ini pelarut yang
digunakan berbentuk gas, dimana temperatur dan tekanan merupakan parameter
kondisi proses yang dikendalikddikondisikan sehingga gas tidak sarnpai
terkondensasi menjadi fasa cair (Toledo, 1991).
Menurut Rizvi dkk. (1986), untuk ekstraksi suatu komponen secara
sempuma perlu pengaturan tekanan dan suhu operasi maksimum yang sangat
tergantung pada sifat fisik kimia substrat di mana komponen tersebut berada,
sedangkan tekanan maksimum sangat ditentukan oleh perancangan peralatan.

2.4 Komponen Rlinor Minyak Sawit
Komponen aktif yang terkandung dalam minyak sawit biasanya dikenal juga
dengan sebutan komponen minor, karena apabila dihitung secara proporsional

16

kuantitatif jumlahnya sangat sedikit sehingga satuan yang digunakan adalah ppm
(part per

r~zillion)atau bagian per sejuta. Tetapi apabila dihitung secara kualitatif,

peranannya sangat penting bagi kesehatan tubuh meskipun dalam jumlah kecil
terutama untuk pencegahan penyakit degeneratif, peningkatan imunitas tubuh,
ataupun untuk digunakan sebagai oleokimia atau produk-produk farmasi
(Muchtadi, 1998).
Disebutkan oleh May dkk. (1996) bahwa komponen minor yang dikandung
dalam minyak sawit lebih kurang 1%. Tabel 4 menunjukkan komponen minor
yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO).
Tabel 4. Komponen minor dalam minyak sawit mentah (CPO)

Karotenoid

500-700

Tokoferol dan Tokotrienol

600-1000

Sterol

326-527

Pospolipid

5-130

Triterpen akohol

40-80 (est)

Metil-sterol

40-80 (est)

Sequalen

200-500

Alifatik alkohol

.loo-200

Alifatik hidrokarbon
Sumber: Ong dkk. (1989)

50

Komponen intrinsik yang sangat berperan dalam rninyak sawit adalah
karotenoid. Karotenoid pada buah kelapa sawit akan makin jelas terlihat apabila
buah tersebut telah matang yaitu pada saat buah memberondol. Karotenoid adalah
suatu pigmen alami berupa warna kuning sampai merah yang mempunyai struktur

17

alifatik atau alisiklik yang tersusun oleh delapan unit isoprena dan 4 gugus n~etil
dan selalu terdapat ikatan ganda terkonyugasi di antara gugus metil tersebut.
Kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C-1 dan

C-6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C-1 dan C-5 (Lehninger,
1990). Struktur dasar karotenoid dapat dilihat pada Gambar 2.

CH3
1

CS3

5.
1.

molekul pusat

CH3
1
6

CH3
5

Gambar 2. Struktur dasar karotenoid (Lehninger, 1990)
Meyer (1973) menjelaskan bahwa karotenoid dapat dikelompokkan menjadi
empat golongan, yaitu (1) karoten merupakan karotenoid hidrokarbon C40H56
yang termasuk di dalam goiongan ini adalah a, P, dan y karoten serta likopen; (2)
xantophil dan derivat-derivat karoten yang mengandung oksigen din hidroksil
misalnya kriptoxantin dan lutein; (3) ester xantophil yaitu ester asam lemak,
misalnya zeaxantin; (4) asam karotenoid yaitu derivat karoten yang mengandung
gugusan karboksil.
Nielsen (1994) menyatakan bahwa pigmen karotenoid terdiri dari dua
golongan utama yaitu hydrocarboll carotetles dan oxygenated xanthophylls.
Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik
dalam pelarut-pelarut organik seperti karbon disulfida, benzena, khloroform,
aseton, metanol, etanol, eter, dan petroleum eter, tetapi tidak larut dalam air
(Godwin, 1976; Hasan, 1987).

1s

Suradikusumah (1989) menyebutkan bahwa karotenoid adalah pigmen yang
tidak stabil, mudah teroksidasi temtama bila berhubungan dengan udara. Selain
itu karotenoid sebagian besar mengalami dekolorisasi baik oleh panas, cahaya,
maupun perlakuan oksidatif Vollet, 1992).
Hasil seleksi yang dilakukan oleh Goh (1998) terhadap komponen minor
dalam minyak sawit dapat dilihat pada Gambar 3.

Lycopene

a-Tocopherol quinone

H

Squalene

dolichols

HO

&

/ Champesterol

Gambar 3. Komponen minor dalam minyak sawit (Goh, 1998)

19

(3-karoten dalam ekstrak ~ninyaksawit dapat digunakan dalam pencegallan
penyakit kanker (Goh, 1998) dan untuk menghambat pertumbuhan in vitro sel
tumor payudara (Muchtadi, 1998). Nalnun beberapa studi menunjukkan bahwa akaroten memiliki potensi 10 kali lebih baik daripada bentuk P-karoten sebagai
penghambat kanker (Murakoshi, 1992).
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Chong dan hasil
penelitian yang teIah dilakukan di Indonesia memberi gambaran yang jelas bahwa
minyak kelapa sawit mengandung zat gizi yang dapat menekan perkembangan
kanker. Zat yang bersifat antioksidan tersebut bukan hanya karoten saja tetapi
juga zat-zat lain yang terdapat pada minyak sawit, seperti tokoferol dan
tokotrienol (Muhilal, 1998).

2.5 Sistem Emulsi dan Emulsifier
Emulsi adalah sistem yang terdiri dari dua fasa cair yang tidak saling
bercampur, dimana fasa yang satu terdispersi pada fasa lainnya dalam bentuk
droplet berdiameter antara 0,l-10 pm. Fasa yang berbentuk droplet disebut fasa
intemavfasa terdispersgfasa diskontinyu, fasa dimana droplet terdispersi disebut
fasa ekstemallfasa pendispersilfasa kontinyu (Nawar, 1985).
Winarno (1984) menyebutkan bahwa pada suatu sistim emulsi biasanya
/

terdapat tiga bagian utama yaitu: (1) bagian yang terdispersi yang terdiri dari
butir-butir yang biasanya terdiri dari minyak, (2) bagian yang disebut media
pendispersi yang juga dikenal sebagai fase kontinyu (pendispersi) yang biasanya
terdiri dari air; dan (3) emulsi yang berfungsi menjaga butir minyak tersebut tetap
tersuspensi dalam air.

20

En~ulsisebagai salah satu bentuk dispersi koloid banyak digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan rnempunyai peranan yang besar dalanl beberapa bahan
pangan. Ernulsi makanan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari .
seperti mentega, es krim, sosis, mayonaise, dan sebagainya.
Sudah menjadi sifatnya bahwa bentuk ernulsi bersifat tidak stabil, karena
masing-masing fasa cenderung bergabung dengan fasa sesarnanya membentuk
suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi tersebut pecah. Menurut
Bergenstahl dan Claesson (1990), diperlukan dua ha1 untuk dapat membentuk
suatu sistern ernulsi yaitu adanya energi rnelalui alat kirnia yang berfungsi
mendispersikan sistern dan penambahan emulsifier untuk menjaga sistem tetap
terdispersi. Ditambahkan oleh Kurnar (2000) bahwa produk emulsi komersial
membutuhkan adanya penstabillemulsifier.
Nawar (1985) menyatakan bahwa kerusakan atau destabilisasi emulsi tejadi
melalui tiga mekanisme utama yaitu kriming, flokulasi, dan koalesen. Kriming
merupakan proses pemisahan yang terjadi karena gerakan-gerakan ke ataske
bawah, ha1 ini tejadi karena gaya gravitasi terhadap fasa-fasa yang berbeda
densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi dari droplet. Pada flokulasi tidak
terjadi pernutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula
tetap, terjadinya flokulasi akan mempercepat terjadinya laiming. Koalesen adalah
penggabungan globula-globula menjadi globula yang lebih besar. Pada tahap ini
tejadi pemutusan film antar permukaan sehingga jumlah dan ukuran globula
berubah.
Emulsifier bahan pangan dapat dikatagorikan berdasarkan pada beberapa
karakteristik yang terdiri dari asal, sintetis atau alami; potensial untuk ionisasi,

21

nonionik vs ionik; HLB; dan kehadiran grup fungsional. Katagori emulsifier
makanan menurut William (1990), terdiri dari: lecitin dan derivat lecitin; gliserol
ester asam lemak; asam hidroksikarboksilat dan ester asam lenak; laktilat ester
asam lemak; poligliserol ester asam lemak; etilen atau propilen glikol, ester asam
lemak; derivat ethoksilat atau monogliserida; sorbitan ester asam lemak; dan
derivat miscellaneous.
Noerono (1990) menyatakan bahwa salah satu fasa di dalam sistim emulsi
mempunyai karakter lipofilik dan fasa lainnya mempunyai karakter hidrofilik.
Disebutkan pula oleh Wijnans dan Baal (1997), setiap emulsifier mengandung dua
grup hngsional yaitu hidrofilik dan lipofilik.

Akhir Lipofilik

Akhir Hidrofilik

Saturated; palmitat atau stearat

Unsaturated; oleat

Unsaturated; linoleat

Gambar 4. Tipe grup hidrofilik dan Lipofilik (Hasenhuettl, 1997)
Kedua ,pp hngsional tersebut mempertemukan dua fasa minyak-air, airminyak, dan air-udara dengan mengurangi ketegangan antar permukaan. Karena
emulsifier memiliki kedua grup hidrofilik dan lipofilik dengan molekul yang

22

minyak dan air untuk me~nbentukkestabilan atau emulsi yang hotnogen (Wijnans
dan Baal, 1997).
Terdapat dua tipe emulsi yaitu emulsi minyak dalam air (olw) dan emulsi air
dalam minyak (wlo). Jika fasa lipofilik mempakan fasa terdispersi maka emulsi
yang terbentuk adalah emulsi minyak dalam air dan sebaliknya jika fasa hidrofilik
mempakan fasa terdispersi maka disebut emulsi air dalam minyak (Noerono,
1990). Dispersibilitas atau daya larut suatu emulsi ditentukan oleh medium
dispersinya. Bila medium dispersinya air, maka emulsinya dapat 'diencerkan
dengan air, dan sebaliknya bila medium dispersinya lemak maka emulsinya dapat
diencerkan dengan minyak atau lemak.
Daya kerja emulsifier terutama disebabkan oleh bentuk molekulnya yang
dapat terikat baik pada minyak maupun air. Bila emulsifier tersebut lebih teiikat
pada air atau lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya
dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (olw).
Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalarn minyak
(nonpolar) terjadilah emulsi air dalam minyak (wlo). Contohnya mentega dan
margarin.
Untuk lebih menjelaskan bagaimana kerja emulsifier akan diberikan ilustrasi
sebagai berikut: bila butir-butir lemak telah terpisah karena adanya tenaga
mekanik (pengocokan), maka butir-butir lemak yang terdispersi tersebut segera
terselubungi oleh selaput tipis emulsifier (Gambar 5). Bagian molekul emulsifier
yang nonpolar larut dalam lapisan luar butir-butir lemak, sedangkan bagian' yang
polar menghadap ke pelarut (air, conti~luousphase).

Minyak

+ Sabun

0-

I

Gambar 5. Skema terjadinya emulsi minyak dalam air (Neal, 1971)
Dengan kata lain, adanya emulsifier maka molekulnya akan terorientasi pada
batas antarpermukaan dan menurunkan tegangan antarpermukaan minyak-air
sehingga memudahkan pembentukan emulsi. Hal ini terjadi karena emulsifier
memiliki afinitas baik terhadap fasa air maupun fasa minyak. Jika terhadap
emulsifier yang cukup maka molekul emulsifier akan terabsorbsi pada setiap batas
antarpermukaan globula-globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film
yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup kepada
globula-globula terhadap penggabungan antarglobula.
Seleksi sistematis dari tipe emulsifier untuk emulsi khusus seringkali
didasarkan pada konsep HLB yang dikemukakan pertama kali oleh Griffin pada
tahun 1949 (Chow dan Ho, 1996).

24

Griffin (1979) mengembangkan suatu skala yang didasarkan atas
keseimbangan antara kedua gugus yang berlawana~ltersebut.

Skala tersebut

dinyatakan dalam angka berkisar antara 0 sampai 20 untuk masing-masing
pengemulsi untuk memberikan informasi kelarutannya dalanl air dan Ininyak.
Angka antara 0 dan 9 menunjukkan pengemulsi bersifat larut d a l m minyak
(lipofilik), sedangkan angka antara 11 dan 20 menunjukkan pengemulsi bersifat
lamt dalam air (hidrofilik).

Keseimbangan hidrofilik-lipofilik yang dikenal

dengan HLB terletak pada angka 10 yang merupakan tengah dari skala.
Dijelaskan pula oleh Wijnans dan Baal (1997) bahwa nilai HLB (hidrofiliklipofilik balance) dari

emulsifier m e ~ p a k a n suatu karakteristik yang

mendefinisikan afinitas relatif untuk minyak dan air.

Hal ini menentukan

kestabilan sistem emulsi minyak dalam air atau air dalak minyak. Nilai HLB
memberikan indikasi dari kelarutan emulsifier dalam air atau dalam minyak.
Friberg dkk. (1990) juga menyebutkan bahwa nilai HLB menunjuMtan rasio
relatif antara gmp hidrofilik dan lipofilik. Emulsifier dengan nilai HLB 3-6 cocok
untuk emulsi air dalam minyak (wlo) dan emulsifier dengan nilai HLB 8-18 baik
untuk emulsi minyak dalam air (olw).
Lebih lanjut Noerono (1990) menyatakan bahwa melalui penggunaan energi
yang amat besar dapat dicapai pendispersian lebih jauh sebuah fasa ke dalam fasa
lainnya, narnun keadaan ini hanya dapat dipertahankan dalanl waktu singkat.
Noerono (1990) juga mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kestabilan emulsi yaitu ukuran fasa terdispersi, perbedaan densitas
antar dua fasa, viskositas fasa pendispersi, jenis dan jumlah emulsifier, besar
muatan listrik, dan kondisi penyimpanan.

25

Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah fosfolipida, lesitin (fosfatidil
kolina) dan fosfatidil etanolamina yang dikenal sebagai emulsifier alami. Selain
itu gelatin dan albumin (putih telur) adalah protein yang bersifat sebagai
emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur sebagai emulsifier yang kuat.
Di samping emulsifier alami telah dibuat orang emulsifier buatan yang
terdiri dari monogliserida, misalnya gliseril monostearat. Emulsifier biasanya
dibuat dengan cara alkoholisis atau esterifikasi secara langsung. Beberapa contoh
emulsifier buatan lainnya antara lain misalnya ester.dari asam lemak sorbitan yang
dikenal dengan SPANS yang dapat membentuk emulsi air dalam minyak (wlo),
dan ester dari polioksietilena sorbitan dengan asam lemak yang dikenal sebagai
TWEEN yang dapat membentuk emulsi minyak dalam air (ol~v).
Emulsifier makanan adalah ester atau bagian ester dari turunan asam lemak
yang dapat dimakan bersumber dari hewan atau tumbuhan dan polyols seperti
gliserol, propilen glikol dan sorbitol (Krog, 1977).
Asam lemak dapat diesterifikasi menjadi polietilen atau propilen glikol
secara langsung atau dengan preparasi secara enzimatik. Poliglikol ester asam
lemak adalah emulsifier yang baik untuk bentuk emulsi minyak dalam air (OIW).
Polioksietilen sorbitan ester umumnya disebut dengan nama polisorbat
dibuat dari reaksi antara ester sorbitan dengan etilen oksida melalui polimerisasi
menjadi sorbitan ester asam lemak. Terdapat tiga tipe dari polisorbat yang
diizinkan digunakan dalam jumlah yang terbatas dalam makanan yaitu polisorbat

60, polisorbat 65 dan polisorbat 80. Polisorbat 60 ditambahkan dalam gula yang
digunakan sebagai pelapis pada produk confectionaiy, shortening, edible oil untuk
produk-produk yang mengalami pembakaran dan sebagainya.

polisorbat 65

diizinkan untuk digunakan dalam es krim, ice milk, kue dan campuran kue.

Sedangkan polisorbat 80 penggunaannya lebih Iuas lagi yaitu dalam produk yang
menggunakan es krim, ice milk dan froze11 ciistard. Selain itu juga digunakan
sebagai emulsifier untuk edible fat dan edible oil. Masing-masing tipe memiliki
nilai HLB, polisorbat 60 (14.4), polisorbat 65 (10.5) dan polisorbat 80 (15.4)
(Dziezak, 1988).
Tabel 5. Klasifikasi emuls