Model Kelembagaan Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

MODEL KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Kelembagaan
Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. S umber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014
Enirawan
NRP. H162090091

RINGKASAN
ENIRAWAN. Model Kelembagaan Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara
Barat. Dibimbing oleh SETIA HADI, BAMBANG JUANDA dan ERNAN
RUSTIADI.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan daerah surplus pangan
yang diindikasikan dengan nilai produksi pangan padi yang surplus dan
ketersediaan pangan tumbuhan dan hewani lainnya yang cenderung meningkat,
namun data menunjukkan beberapa daerah di NTB termasuk 100 kabupaten di
Indonesia yang memiliki tingkat resiko kerentanan tinggi dan memerlukan skala
prioritas penanganan, yakni sebanyak 70,83% dari jumlah kecamatan di Provinsi
NTB adalah wilayah yang rentan pangan.
Isu ketahanan pangan di Provinsi NTB yakni ketersediaan pangan tingkat
wilayah sangat memadai, namun pada aspek distribusi dan konsumsi di tingkat
komunitas dan individu/keluarga memiliki masalah ketahanan pangan. Dalam
masyarakat, terdapat kelompok yang dapat mengikuti mekanisme pasar, namun
ada juga kelompok berpendapatan rendah yang membutuhkan kelembagaan

komunitas atau mekanisme di luar pasar.
Pertanyaan penelitian adalah: Bagaimana model pengembangan
kelembagaan tingkat komunitas untuk meningkatkan ketahanan pangan yang
sesuai dengan karaketristik wilayah dan masyarakat di Provinsi NTB? Adapun
Tujuan penelitian adalah (1) Menganalisis kinerja ketahanan pangan tingkat
daerah dan pengaruh akses sosial, ekonomi dan fisik wilayah di Provinsi NTB;
(2) Menganalisis tingkat ketahanan pangan individu dan pengaruh pendapatan,
stok pangan dan transfer sosial di Provinsi NTB; (3) Menyusun model
kelembagaan untuk meningkatkan ketahanan pangan sesuai dengan karakteristik
wilayah dan masyarakat di Provinsi NTB.
Penelitian ini dilakukan di Provinsi NTB dengan wilayah sampel adalah
Kabupaten Dompu dan Sumbawa (Pulau Sumbawa) serta Kabupaten Lombok
Tengah dan Lombok Barat (Pulau Lombok). Untuk tujuan pertama akan
digunakan Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Wilayah dan Analisis Regresi,
Tujuan kedua adalah dengan Analisis Tingkat Ketahanan Pangan Individu dan
Uji-t. Tujuan ketiga, merupakan sintesa dan ditambahkan analisis deskriptif
kelembangaan dan keseluruhan model selanjutnya disimulasikan dengan Model
Sistem Dinamik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja ketahanan pangan wilayah
dapat dikaji dengan beberapa indikator antara lain nilai indeks ketersediaan

pangan padi. Di Provinsi NTB, rata-rata nilai indeks ketersediaan pangan padi
pada tahun 2012 adalah sebesar 2,91 yang bermakna bahwa ketersediaan pangan
dari produksi padi di NTB adalah sebesar 2,91 dari kebutuhan pangan padi
normatif dengan kecenderungan semakin meningkat. Peningkatan indeks
ketersediaan pangan padi di Provinsi NTB dipengaruhi oleh peningkatan
penguasaan lahan pertanian, produktivitas pangan, dan peningkatan aksesibilitas
/infrastruktur transportasi yang memadai.
Nilai koefisien variasi (KV) harga pangan beras di Provinsi NTB pada
tahun 2012 adalah rata-rata sebesar 0.05 dengan kecenderungan nilai koefisien
semakin rendah yang menunjukkan harga semakin stabil. Penurunan Nilai

koefisien variasi (KV) pangan beras di Provinsi NTB dipengaruhi oleh tingkat
ketersediaan beras dan peningkatan pelayanan lembaga disribusi pangan
(koperasi).
Persentase penduduk miskin di Provinsi NTB dengan rata-rata nilai
18.17% dengan kecenderung semakin menurun. Penurunan Persentase penduduk
miskin di Provinsi NTB dipengaruhi oleh ketersediaan layanan lembaga keuangan
dan perbankan, peningkatan pendidikan masyarakat dan ketersediaan
infrastruktur transportasi berkualitas.
Rata-rata rasio kasus gizi buruk per 1000 penduduk di Provinsi NTB

adalah sebanyak 0,20 dengan kecenderung semakin menurun. Penurunan rasio
kasus gizi buruk per 1000 penduduk di Provinsi NTB dipengaruhi oleh tingkat
produktivitas pangan, tingkat pelayanan infrastruktur berkualitas (akses fisik) dan
tingkat pelayanan kesehatan penduduk.
Nilai Pendapatan dan Stok Pangan keluarga (PSP) di NTB yang relatif
rendah berkontribusi secara signifikan pada tingkat ketahanan pangan
individu/keluarga yakni dengan status rentan pangan. Interaksi sosial antara lain
dalam wujud transfer sosial secara signifikan dapat meningkatkan ketahanan
pangan individu/keluarga di Provinsi NTB
Model kelembagaaan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan
ditingkat wilayah dan individu adalah dengan menjalankan skenario kombinasi
yakni mendorong peningkatan akses sosial dan ekonomi yang didukung oleh
peningkatan akses fisik wilayah.
Skenario kombinasi dilakukan dengan : (1) Prioritas di Komunitas Pulau
Lombok, adalah revitaliasi posyandu, pengembangan pendidikan pesantren
terpadu, penguatan kapasitas kelembagaan banjar dan koperasi sebagai lembaga
ekonomi dan keuangan desa, diversifikasi usaha pertanian, home industry dan jasa,
pengembangan aksi kolektif, penguatan kelembagaan koordinasi termasuk
pembangunan cadangan pangan daerah, lumbung pangan berbasis kelembagaan
banjar, gubug dan kelompok tani serta reorientasi kelembagaan informal dari

kegiatan ritual ke arah peningkatan ketahanan pangan di tingkat
individu/komunitas yang didukung oleh aturan tradisional (awig-awig).
(2) Prioritas di Komunitas Pulau Sumbawa, adalah revitaliasi posyandu,
pengembangan pendidikan luar sekolah/pendidikan orang dewasa, penguatan
kapasitas kelembagaan arisan, penggilingan dan koperasi sebagai lembaga
ekonomi dan keuangan desa, diversifikasi usaha pertanian dan peternakan melalui
program transmigrasi lokal pengembangan aksi kolektif, penguatan kelembagaan
koordinasi termasuk pembangunan cadangan pangan daerah, pengembangan
lumbung pangan berbasis kelembagaan penggilingan, lingkungan permukiman
dan kelompok tani, serta revitalisasi sosial budaya terkait peningkatan ketahanan
pangan yang didukung oleh aturan formal tingkat desa (Peraturan Desa).
Kata Kunci : Kelembagaan, Ketahanan Pangan, Transfer Sosial, Akses Sosial
Ekonomi, Akses Fisik

SUMMARY
ENIRAWAN. An Institutional Model of Food Security in West Nusa Tenggara
(NTB) Province. Supervised by SETIA HADI, BAMBANG JUANDA and
ERNAN RUSTIADI.
West Nusa Tenggara (NTB) Province is a food surplus area as indicated by
the value of the rice production surplus and the availability of food crops and

foods of animal origin which is likely to increase. However, the data show that
some areas in NTB are still included in 100 regencies in Indonesia being in danger
of food shortage and in need of an appropriate handling priority. In fact, about
70.83 % of the total number of sub-districts in NTB are vulnerable to food
shortage.
The Isu of food security in NTB province is mainly related to the sufficient
food availability at the regional level, but in terms of the distribution and
consumption at the community and individual / family levels, the province is
facing potential problems. In the community, there are groups that can follow the
market mechanism, but there are also groups with low incomes who need
community institutions or mechanisms outside the market.
Since the question raised in this research is concerning a proper
institutional development model at the community level to improve food security
in line with the regional characteristics and the community in NTB province,
The purpose of the study was (1) to analyze the performance of local level
food security and influence of social, economic and physical access in the
province of West Nusa Tenggara; (2) to analyze the level of food security of
individuals and the effect of income, food stocks and social transfers in the
province of West Nusa Tenggara; (3) Develop institutional models to improve
food security in accordance with the characteristics of the regions and

communities in West Nusa Tenggara province.
Location of research in the area NTB Province with Dompu and Sumbawa
(Sumbawa Island) and Central Lombok and West Lombok (Lombok) as a
sampling areas. The first objective was was reached using Food Security Analysis
of Regional and Regression Analysis. The second objective was reached using
Food Security Analysis of individual and t-test. The third objective, which was a
synthesis of the previous analyses, was added by an institutional descriptive
analysis and Analysis of Dynamic Sistem.
The research results showed that the performance of regional food security
with the indicators of index of rice availability are as follows: In NTB Province,
the average value of the index of rice availability in 2012 was 2.91, which means
that the availability of food from rice production in NTB was 2.91 (normative rice
need) with an increasing tendency. The increase in rice availability index in NTB
province is influenced by the increase in agricultural land ownership, food
productivity, and adequate accessibility / transportation infrastructure.
The coefficient value of variation (CV) of rice prices in NTB Province in
2012 was an average of 0.05 with the a tendency of decreasing coefficient value,
showing more stable prices. The decrease in the coefficient value of variation
(CV) in the Province of NTB was due to the level of rice availability and service
improvement in food distribution institutions (cooperatives).


The percentage of poor people in the province of NTB was in the average
value of 18.17% with a decreasing tendency. The decrease in the percentage of
poor people in the provinces of NTB was influenced by the availability of
financial institutions and banking services, increased public education and the
availability of qualified transportation infrastructures.
The average ratio of malnutrition cases per 1000 population in NTB
province was 0.20 with a tendency to decline. The decrease in the ratio of
malnutrition cases per 1000 population in NTB province was affected by the
levels of food productivity, quality of infrastructure services (physical access) and
population health services.
The Values of Income and Food Family Stock in NTB province did not
significantly contribute to food security level of the individual / family with a
status of food vulnerable. Social interaction, among others, in the form of social
transfers could significantly increase the food security of individuals / families in
NTB.
Institutional models that can improve food security at regional level and
the individual is to do a combination of scenarios that encourage social and
economic improvement of access supported by an increase of physical access.
Scenario is done through a combination of: (1) Priority in Lombok Island

Community are posyandu revitalization, development of integrated boarding
school education, Banjar institutional capacity building and cooperative as rural
economic and financial institutions, diversification of agriculture, home industry
and services, the development of collective action, institutional strengthening
coordination, including the development of regional food reserves, food storagebased banjar institutional, huts and farmers' groups and informal institutional
reorientation of ritual activities towards improving food security at the individual /
community supported by traditional rules (awig awig). (2) Priorities in Sumbawa
Island Community are posyandu revitalization, development of non- formal
education / adult education, institutional capacity strengthening social
gathering/arisan, rice milling and cooperatives as economic and financial
institutions villages, diversification of agriculture and livestock development local
transmigration of collective action, including the strengthening of institutional
coordination development of regional food reserves, development of food storage
based milling institutional, neighborhoods and farmers' groups, as well as social
and cultural revitalization are supported by village regulation.
Keywords: institutional, food security, social transfer, economics access, social
access, physical access

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KELEMBAGAAN KETAHANAN PANGAN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

ENIRAWAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Ir Arya Hadi Dharmawan, Phd MSc
(Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan-Fakultas Ekologi Manusia-Institut
Pertanian Bogor)
2. Dr Ir R Nunung Nuryartono, M.Si.
(Ketua Intercafe- LPPM- Institut Pertanian Bogor)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr Ir Abubakar, MP
(Staf Pengajar Pascasarjana Universitas Mataram)
2. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
(Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis, Departemen AgribisnisFakultas Ekonomi dan Manajemen-Institut Pertanian Bogor)

Judul Penelitian
Nama
NRP
Program Studi

: Model Kelembagaan Ketahanan Pangan di Provinsi Nusa
Tenggara Barat
: Enirawan
: H 162090091
: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr Ir Setia Hadi, MS
Ketua

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
Anggota

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal ujian :

Tanggal lulus:

PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala limpahan Rahmat-Nya
yang diberikan kepada penulis dan seluruh makhluk-Nya. Limpahan Rahmat-Nya
juga diberikan kepada penulis termasuk berupa kekuatan dan kesempatan
sehingga disertasi dengan judul “Model Kelembagaan Ketahanan Pangan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat” dapat diselesaikan.
Penelitian ini didukung oleh banyak pihak terutama dari komisi
pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi
pembimbing yakni Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS, Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS
dan Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr atas bimbingannya, arahan serta segala dukungan
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan disertasi sampai pada tahap
sekarang ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:
1. Pimpinan IPB, Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB, Pimpinan Fakultas
Ekonomi dan Manajemen-IPB yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk belajar pada kampus yang penuh tantangan ini, demikian juga
kepada staf/karyawan yang telah mendukung dan memberikan pelayanan
administratif yang cukup memadai selama studi di IPB
2. Pengurus Program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD), Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS dan Dr Ir Eka Intan
Kumala Putri, MS. serta staf pendukung (mbak Puput dan mbak Ela) atas
dukungan moril dan administratif yang membantu kelancaran studi penulis.
3. Dosen penguji baik pada waktu prelim II yakni Prof Dr Ir Hermanto Siregar,
M.Ec. dan Prof Dr Ir Ahmad Fauzi, M.Sc. serta penguji sidang tertutup yakni
Ir Arya Hadi Dharmawan, Phd MSc dan Dr Ir Nunung Nuryartono, serta
penguji sidang terbuka yakni Dr. Ir. Abubakar, MP dan Prof. Dr. Ir. Rita
Nurmalina, MS atas seluruh masukan yang berkontribusi pada perbaikan
kualitas disertasi ini
4. Seluruh guru-guru penulis, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan dari
ketika masa anak-anak, sekolah, kuliah, serta dalam lingkungan dan
kehidupan.
5. Dinas Koperasi dan PKM-Pemerintah Kabupaten Bima NTB yang telah
memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan sekolah serta
dukungan moril dan material yang diberikan selama ini.
6. P4W-LPPM IPB, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT),
Kemendagri, BPN RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pertanian, Acces-Ausaid, Yappika, Solud, SCBD-ADB, Pemda DKI Jakarta,
Kabupaten dan Kota Bogor serta Pemda dan lembaga lainnya yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk berpartisipasi pada berbagai
kegiatan sehingga penulis mendapatkan wawasan dan belajar mengaplikasikan
berbagai ilmu dan pengetahuan yang diterima dari PWD.
7. Seluruh mahasiswa program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan (PWD), khususnya teman-teman angkatan 2009, atas
persahabatan dan kekeluargaan yang dibangun di atas spirit social capital ala
PWD.
8. Orang tua penulis yakni Ayahanda H. Syanif Hemon, Ibunda Kartini (Alm)
dan Ibunda Mujnah serta mertua yakni Ayahanda H. Israil (alm) dan Hj. Ipa
Mustari atas curahan kasih sayang dan melindungi penulis dengan asuhan
nilai- nilai kebaikan.

9. Keluarga penulis, atas segala doa dan pengorbanan adinda Ratna sebagai istri
yang penuh cinta dan kesabaran, demikian juga ananda Aiyun Safira Alwana
dan Naila Azizah yang lucu, cantik, pintar dan kuat telah memberikan
semangat dan kekuatan penulis melewati berbagai tantangan dalam
penyelesaian studi ini.
10. Seluruh pihak baik yang berkontribusi langsung maupun tidak langsung,
semoga amal baik semuanya diterima dan dibalas dengan se gala kebaikan dari
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Sebagai bagian dari proses belajar, penulis menyadari karya ini masih
banyak keterbatasannya, untuk itu diharapkan ada saran dan masukan berbagai
pihak untuk dilakukan penyempurnaan. Penulis berharap semoga karya ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan serta kebijakan
pembangunan wilayah dan perdesaan.

Bogor, Agustus 2014
Enirawan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN PENGESAHAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Ketahanan Pangan
Sistem Ketahanan Pangan Nasional
Konsep Kelembagaan
Kelembagaan dan Koordinasi Aktivitas Ekonomi
Perubahan Kelembagaan
Penelitian Sebelumnya
Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Penelitian
Novelty Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Penentuan Lokasi, Responden dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Definisi Operasional
4 KONDISI UMUM WILAYAH
Wilayah Administrasi
Topografi dan Iklim
Luas Panen, Produksi dan Harga Padi
Aksesibilitas Wilayah
Demografi/Sumber Daya Manusia
Tingkat Pendidikan
Pelayanan Kesehatan
Fasilitas Keuangan dan Ekonomi
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kinerja Ketahanan Pangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya
Kinerja Ketahanan Pangan Individu/Keluarga/Komunitas dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Model Kelembagaan Ketahanan Pangan

1
1
10
14
14
15
16
16
20
26
29
38
42
47
53
53
54
54
56
56
62
68
68
69
71
74
74
77
77
78
82
82
97
101

6

PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

151
151
152
154

DAFTAR TABEL
2.1.
2.2.
3.1.
3.2.
3.3.
4.1
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.
4.7.
4.8.
4.9.
4.10.
4.11.
4.12.
4.13.
4.14.
4.14.
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
5.6.
5.7.
5.8.
5.9.

Bundles of Rights menurut Posisi Pemegang Hak
Hipotesis Penelitian
Jumlah Responden Warga Berdasarkan Lokasi Penelitian dan
Kelompok Responden di setiap Kabupaten Sampling
Metode Analisis Penelitian
Penentuan Tingkat Ketahanan Pangan Individu/Keluarga
Banyaknya Kecamatan, Desa/Kelurahan dan Luas Wilayah
Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2012
Zona Musim (ZOM) di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Luas Panen Padi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Produksi Padi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Harga Beras di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Ketersediaan Jalan Berkualitas di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2012
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Kepadatan Penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat Berdasarkan
Kabupaten/ Kota Tahun 2012
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis
Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Persentase Penduduk 15 Tahun keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2012
Tingkat Pendidikan (Lama Sekolah) di Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2012
Jumlah Rumah Sakit di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2012
Jumlah Bank di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
Jumlah Bank Perkreditan Rakyat di Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2012
Jumlah Koperasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012
ANOVA Persamaan Tingkat ketersediaan pangan padi di NTB
Koefisien Persamaan Tingkat ketersediaan pangan padi di NTB
ANOVA Persamaan Koefisien Variasi (KV) Harga Beras di NTB
Koefisien Persamaan Koefisien Variasi (KV) Harga Beras di NTB
ANOVA Persamaan Persentase Penduduk Miskin di NTB
Koefisien Persamaan Persentase Penduduk Miskin di NTB
ANOVA Persamaan Rasio Kasus Gizi Buruk Per 1000 Penduduk
di NTB
Koefisien Persamaan Rasio Kasus Gizi Buruk Per 1000 Penduduk
di NTB
Nilai Pendapatan dan Stok Pangan (PSP) Keluarga Responden di
Provinsi NTB

35
53
55
57
60
69
70
72
72
73
74
75
75
76
76
77
78
79
79
80
83
83
87
88
91
92
93
94
97

5.10. Tingkat Konsumsi Energi, Pangan Pengeluaran Pangan dan
Tingkat Ketahanan Pangan Individu/ Keluarga Responden di
Provinsi NTB
5.11. Pola Interaksi Komunitas (Transfer Sosial dan Transaction Cost)
dan Kontribusinya Terhadap Tingkat Ketahanan Pangan
Individu/Keluarga
5.12. Kelembagaan dan Mekanisme Terkait Dengan Ketahanan Pangan
di Provinsi NTB
5.13. Identifikasi Kebutuhan Berbagai Stakeholders
5.14. Identifikasi Permasalahan dan Solusi Berbagai Stakeholders
5.15. Identifkasi komponen Input dan Output pada Sistem Ketahanan
Pangan tingkat Wilayah
5.16. Identifkasi komponen Input dan Output pada Sistem Ketahanan
Pangan tingkat Individu
5.17. Hasil Validasi dengan MAPE pada Variable Persentase Penduduk
Miskin
5.18. Hasil Validasi dengan MAPE pada variable Kasus Gizi Buruk
dalam 1000 jiwa penduduk
5.19. Hasil Validasi dengan MAPE pada variable Tingkat Konsumsi
pangan
5.20 Skenario - Pencapaian Tahun 2024 (Tahun Ke-10) Di P. Lombok
5.21. Skenario - Pencapaian Tahun 2024 (Tahun Ke-10) Di P.
Sumbawa

98
100

112
118
119
123
125
126
126
127
137
137

DAFTAR GAMBAR
1.1.
1.2.
2.1.
3.1.
4.1.
4.2.
5.1.
5.2.
5.3.
5.4.
5.5.
5.6.
5.7.
5.8.
5.9.
5.10.
5.11.
5.12.
5.13
5.14
5.15.
5.16.
5.17.
5.18.
5.19.
5.20.
5.21.

Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB Tahun
2010
Kerangka Pemikiran Penelitian
Pemilihan Lokasi dan Sampel Penelitian
Peta Provinsi Nusa Tenggara Barat
Banyaknya Curah Hujan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2010-2012
Tingkat Ketersediaan pangan padi di Provinsi
NTB
Tahun 2012
Rata-Rata
Tingkat
Ketersediaan
Pangan
Padi
di Provinsi NTB Tahun 2003-2012
Luas Panen Padi/Kapita (ha/jiwa) Padi di Provinsi NTB Tahun
2009-2012
Nilai Produktivitas Padi (ton/Ha) di Provinsi NTB Tahun 20092012
Nilai Koefisien Variasi (KV) Harga Pangan Beras di Provinsi
NTB Tahun 2012
Rata-Rata
Koefisien
Variasi
Harga
Pangan
Beras
di Provinsi NTB Tahun 2003-2012
Tingkat Pelayanan Koperasi (Jiwa Penduduk/Unit Koperasi) di
Provinsi NTB Tahun 2009-2012
Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTB Tahun 2012
Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin di Provinsi NTB Tahun
2003-2012
Rasio Kasus Gizi Buruk Per 1000 Penduduk di Provinsi NTB
Tahun 2012
Rata-Rata Rasio Kasus Gizi Buruk Per 1000 Penduduk di
Provinsi NTB Tahun 2003-2012
Tingkat aksesibilitas fisik wilayah (Ha wilayah/km jalan
baik+sedang) di Provinsi NTB Tahun 2009-2012
Kelembagaan Tingkat Komunitas Yang Sangat Berperan Dalam
Kehidupan Masyarakat di Provinsi NTB
Kelembagaan Tingkat Komunitas Yang Sangat Berperan Dalam
Ketahanan Pangan di Provinsi NTB
Causal Loop Submodel Ketersedian Pangan Tingkat Wilayah
Submodel Distribusi Pangan Tingkat Wilayah
Causal Loop Submodel Persentase Penduduk Miskin
Tingkat Wilayah
Causal Loop Submodel Kasus Gizi Buruk Tingkat Wilayah
Causal Loop Submodel Ketahanan Pangan Tingkat
individu/keluarga/ komunitas (sebelum transfer sosial)
Causal Loop Submodel Ketahanan Pangan Tingkat
individu/keluarga/ komunitas (setelah transfer sosial)
Diagram Masukan-Keluaran Sistem Ketahanan Pangan Tingkat
Wilayah

2
7
50
57
68
71
83
84
85
85
87
88
89
91
92
94
95
96
110
110
120
120
121
121
122
123
124

5.22. Diagram Masukan-Keluaran Sistem Ketahanan Pangan Tingkat
Individu
5.23. Hasil Simulasi Ketahanan Pangan
di Propivisi NTB
Pada Skenario 1
5.24. Hasil Simulasi Ketahanan Pangan
di Propivisi NTB
Pada Skenario 2
5.25 Hasil Simulasi Ketahanan Pangan
di Propivisi NTB
Pada Skenario 3
5.26 Hasil Simulasi Ketahanan Pangan
di Propivisi NTB
Pada Skenario 4
5.27 Model Kelembagaan Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan
pada Klaster Pulau Lombok
5.28 Model Kelembagaan Untuk Meningkatkan Ketahanan pangan
pada Klaster Pulau Sumbawa

125
130
131
132
133
139
140

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Hasil Analisis Regresi Ketahanan Pangan
Analisis Sistem Dinamis Ketahanan Pangan Tingkat Wilayah
Analisis Sistem Dinamis Ketahanan Pangan Tingkat Individu/Keluarga/
Komunitas
Hasil Simulasi Pada Beberapa Skenario Tk Wilayah
Hasil Simulasi Pada Beberapa Skenario Tk Komunitas

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan pangan bagi setiap individu selalu mendapatkan
prioritas perhatian masyarakat dunia, baik di negara maju maupun negara
berkembang. Perhatian atas pangan lebih mengemuka semenjak diadakannya
World Food Summit yang pertama oleh FAO (Food and Agriculture
Organization) pada tahun 1974, dengan pernyataan penting adalah "seluruh
negara dan masyarakat dunia secara keseluruhan mengupayakan untuk
menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi dalam waktu satu dekade". Sangat
disayangkan pernyataan pada pertemuan FAO tersebut belum dapat diwujudkan
dengan baik. Oleh karena itu pada World Food Summit yang diselenggarakan oleh
FAO tahun 1996 memberi tekanan lebih besar mengenai pentingnya ketahanan
pangan dengan dikeluarkannya kesepakatan "untuk mencapai ketahanan pangan
bagi setiap orang dan untuk melanjutkan upaya menghilangkan kelaparan di
seluruh negara (Suryana, 2003).
Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan merupakan salah satu
program utama nasional sejak satu dasawarsa yang lalu. Hal ini selain terkait
dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu penanda tangan kesepakatan dalam
MDGs juga sejalan dengan Deklarasi Roma dalam World Food Summit tahun
1996 yang menegaskan bahwa diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang
kelaparan dapat diukurangi separuhnya pada tahun 2015 (Ariani, et al., 2007)
Sejarah membuktikan bahwa ketahan pangan sangat erat dengan ketahanan
sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional.
Selain itu, ketahanan pangan dalam arti keterjangkauan pangan juga berkaitan erat
dengan upaya peningkatan mutu sumberdaya manusia Indonesia. Tanpa dukungan
pangan yang bermutu dan cukup, tidak mungkin dihasilkan sumberdaya manusia
yang bermutu. Karena itu membangun sistem ketahanan pangan yang kokoh yang
merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya pembangunan nasional (Suryana,
2003).
Senada dengan pendapat Suryana, Timmer (1997) menjelaskan bahwa
ketahanan pangan adalah sebagai syarat keharusan dalam membangun sumber
daya manusia yang kreatif dan produktif, sehingga dapat mendorong inovasi ilmu
pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif. Fungsi Ketahanan pangan
dalam level makro adalah lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan
perekonomian dan pembangunan yang stabil.
Konsep dan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nas ional telah
dimulai sejak awal kemerdekaan, yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu
hingga Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Namun
demikian, berkembang pesatnya penduduk besera seluruh aktivitas sosial,
ekonorni dan politik telah menimbulkan tantangan dan masalah yang sangat
kompleks dan sangat mempengaruhi upaya mewujudkan ketahanan pangan
nasional. Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk
Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayaka n
sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar
daerah, karena ketergantungan pada pangan impor menyebabkan kerentanan yang
tinggi. Tidak satupun negara dapat melaksanakan pembanguan berkelanjutan
tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketahanan pangannya. Oleh sebab itu

2
perwujudan ketahanan pangan yang bertumpu pada sumberdaya pangan,
kelembagaan dan budaya lokal telah menjadi komitmen nasional untuk
diwujudkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat
dalam arti luas termasuk dunia usaha yang bergerak di bidang pangan (Suryana,
2003)
Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan
pangan dan gizi, Pemerintah Indonesia masih terus meningkatkan sarana untuk
penentuan target intervensi sasaran secara geografis, maka Dewan Ketahanan
Pangan dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Dengan dukungan World Food
Programme (WFP) telah membuat peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA).
Adapun Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia adalah
sebagai berikut.

Gambar 1.1. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia
(FSVA, 2009)
Temuan utama FSVA (2009) di Indonesia adalah pada sisi ketersediaan
hasil pertanian meningkat (laju peningkatan sekitar 3.5 % pertahun selama 20042007) dan mencapai 4.8% pada tahun 2008. Produksi padi dan jagung meningkat,
walaupun produksi ubi kayu dan ubi jalar relatif stabil, sedangkan produksi
kacang kedelai dan kacang tanah menurun. Pada umumnya, mayoritas daerah di

3
Indonesia merupakan daerah swasembada/surplus pangan dalam hal serelia, dan
ketersediaan pangan pada tingkat nasional memadai. Sementara gambaran
pemanfaatan pangan dan status gizi dapat dilihat pada rata-rata asupan energi
harian adalah 2,050 kkal dan asupan protein sebesar 56,25 gram, keduanya sudah
melampaui angka kecukupan gizi (AKG) nasional. Angka ini meningkat 3,3%
dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, untuk tiga golongan pengeluaran
terendah hanya memiliki asupan 1,817 kkal/kapita/hari atau kurang, dan proporsi
makanan mereka kurang serta tidak seimbang secara kuantitatif dan kualitatif.
Pemerintah Indonesia telah mempromosikan produksi pertanian dan
mengadopsi beberapa parameter perlindungan untuk para petani. Pertanian
(termaksud peternakan, kehutanan dan perikananan) telah berkontribusi sekitar
13-15% pada Produk Domestik Bruto Indonesia dalam 4 tahun terakhir. Angka
pertumbuhan sektor pertanian adalah sekitar 3,5% pertahun selama 2004-2007,
dan mencapai 4,8% pada tahun 2008. Ini dapat dibandingkan dengan keberhas ilan
sektor lain yang cukup tinggi dan memiliki kemungkinan kontribusi yang cukup
besar dalam meningkatkan ketahanan pangan, menurunkan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi (FSVA, 2009).
Perkembangan tatanan sosial, ekonomi dan politik pada erademokratisasi
dan globalisasi ekonomi saat ini, menghendaki perubahan serta pendekatan dalam
kebijakan dan pola pembangunan ketahanan pangan. Dari pendekatan yang
bersifat makro, sentralistik, dominasi pemerintah; kepada pendekatan mikro, yaitu
desentralistik dan tingkatan pemberdayaan masyarakat. Demikian pula pola
konsumsi pangan masyarakat diarahkan dan pola pangan yang didominasi beras
menjadi pola pangan beragam yang berbasis pada keanekaragaman sumberdaya
pangan, kelembagaan dan budaya lokal (Suryana, 2003)
Untuk meningkatkan ketahanan pangan, pemerintah sebenarnya sudah
mengeluarkan berbagai kebijakan dan penataan kelembagaan. Antara lain
Penataan Lembaga Parastatal (Bulog), terkait Instrumen harga (harga dasar dan
atau harga atap dan harga pemerintah), operasi pasar dan Raskin, selanjutnya juga
ada Desa Mandiri Pangan dan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP).
Arifin (2005) menjelaskan bahwa Kelembagaan pangan merupakan salah satu
komponen penting dalam menunjang kerangka dasar perumusan kebijakan pangan
dan pembangunan pertanian untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
kelembagaan menuju ketahanan pangan mengalami dinamika. Kelembagaan yang
dimaksud disini adalah suatu aturan yang dikenal, dikuti dan ditegakkan secara
baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan dan hambatan (constraints)
bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan memberi nafas dan ruang
gerak bagi tumbuh dan berkembangnya suatu organisasi, yang sebenarnya
memiliki ruh kehidupan karena sutau kelembagaan.
Aransemen kelembagaan atau kebijakan pangan yang pernah dilaksanakan
Indonesia dan negara-negara berkembang lain dalam beberapa dekade terakhir
adalah kebijakan harga dasar dan harga atap (dual pricing folicies) untuk
komoditas pertanian, terutama makanan pokok. Untuk menjalankan kebijakan
yang sebenarnya cukup rumit tersebut, sebuah lembaga parastatal umumnya
didirikan, yang membantu melakukan pengadaan dan pembelian produk petani
pada saat musim panen dan melakukan operasi pasar pada masa- masa sulit.
Walaupun dengan biaya operasi dan tingkat efisiensi yang sangat tinggi, lembaga
parastatal tersebut masih eksis di banyak negara Asia, khususnya Asia Selatan

4
dan Asia Tenggara. Dominasi kepentingan politik dari operasionalisasi kebijakan
harga tersebut tampak lebih nyata dibandingkan de ngan rasionalitas kebijakan
ekonomi yang agak neoklasik dan mengandalkan alokasi sumber daya pada
tingkat efisiensi yang tinggi (Arifin, 2005).
Hasil dari berbagai reforma kebijakan/kelembagaan pangan berbeda-beda
(fluktuasi). Sebagai contoh pada tahun 1998 dikeluarkan kebijakan Liberisasi
Impor Pangan (LoI-IMF) dengan tujuan Meningkatkan efisiensi perdagangan
beras dan Menghilangkan fungsi monopoli Bulog dan hasilnya adalah Import
beras Indonesia mencapai 5,8 juta ton yang merupakan rekor tertinggi pada saat
itu, walaupun kekeringan juga menjadi faktor utama. Pada tahun 1999 dilakukan
kebijakan pencabutan subsidi pupuk (Kepres No.8/1998) dengan tujuan
menyehatkan anggaran negara dan industry pupuk serta Meningkatkan efisiensi
produksi pertanian hal ini menyebabkan harga pupuk naik, sehingga penggunaan
pupuk menurun walaupun tidak dapat dipisahkan dari inflasi (Arifin, 2005)..
Tahun 2001 dengan Inpres Nomor 9/2001 dikeluarkan kebijakan harga
dasar pembelian dengan tujuan memberikan insentif dan meningkatkan
kesejahteraan petani padi, hasilnya harga petani masih dapat diamankan dan tidak
terlalu jatuh, namun kebijakan harga dasar pembelian tahun 2002 menyebabkan
harga gabah petani 50 % jatuh di bawah harga dasar. Pada tahun 2002 juga
dikeluarkan PP Nomor 68/2002 yang merupakan amanat ketahanan pangan
tujuannya memperjelas strategi ketahanan pangan dan pembangian tugas publik
sehingga hampir setiap daerah telah memiliki dewan ketahanan pangan. Pada
tahun 2003 juga dikeluarkan PP Nomor 7/ 2003 terkait format baru Perum Bulog
dengan tujuan meningkatkan efisiensi lembaga parastatal dan sistim distribusi
pangan. Dalam implementasinya penataan kelembagaan ini menemukan persoalan
efisiensi, corporate culture, dan good governance (Arifin, 2005).
Indonesia-pun melaksanakan kebijakanan stabilitas harga tersebut dengan
sebuah lembaga parastatal yang bernama Badan Urusan Logistik (Bulog). Negeri
ini sebenarnya telah melakukan sutau transformasi mendasar tentang lembaga
parastatal tersebut, tepatnya sejak dekade 1980-an. Pada waktu itu, instrumen
harga atap (ceiling price) mulai ditinggalkan dan lebih menghususkan pada
instrumen operasi pasar. Berhubung tingkat implementasi yang tidak memuaskan
dan sering salah sasaran, operasi pasar dipertajam menjadi operasi pasar khusus
(OPK). Persoalan utama seperti efektifitas dan efisien selalu muncul, berulangulang, setiap tahun. Karena itu OPK dipertajam menjadi operasi pasar murni
(OPM), dan beberapa tahun terakhir, instrumen kebijakan itu diganti lagi menjadi
program beras untuk keluarga miskin (raskin) (Arifin, 2005).
Berbagai pembenahan institusi ekonomi seperti konsolidasi kelompok tani
hamparan, koperasi unit desa (KUD) dan koperasi pertanian lainnya, terobosan
skema pendanaan, sistem latihan dan kunjungan yang menjadi andalan sistem
penyuluhan juga amat mewarnai integrasi kebijakan pertanian ke dalam strategi
ekonomi makro secara umum. Peranan kredit pertanian bersubsidi, keterjangkauan
akses finansial sampai tingkat pelosok perdesaan adalah reformasi spektakuler
bidang ekonomi yang tidak tertandingi di negara berkembang manapun.
Kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka pengentasan kemiskinan,
ketahanan pangan, dan mewujudkan kesejahteraan petani dan perdesaan antara
lain adalah program PUAP. Program PUAP merupakan implementasi dari
program PNPM Mandiri, beserta program lainnya seperti:, Primatani, FEATI,

5
PIDRA, P4MI, program Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Pemberdayaan
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Bantuan
Perbenihan (BLBU), BMT, Desa Mandiri Pangan, dan sebagainya. Berbagai
kebijakan/program diupayakan dengan berbagai jenis kelembagaan pada beberapa
aspek ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi dan konsumsi) dengan catatan
untuk terus disempurnakan. Hal ini tergambar dari kine rja ketahanan pangan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kebijakan Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Barat menempatkan
pangan sebagai Isu strategis pembangunan, karena itu pemenuhan pangan sangat
penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, maka
pembangunan ketahanan pangan telah menjadi kerangka dasar (plat form)
pembangunan sector-sektor lainnya. Di samping itu, dalam pembangunan
ketahanan pangan dan gizi dipandang perlu untuk memperhatikan sumber
pendapatan dan penghidupan (livelihood) masyarakat NTB yang didasarkan pada
ketersediaan produk dan pelayanan ekosistem serta memperhatikan dan
memprioritaskan lokasi daerah NTB yang rentan terhadap kerawanan pangan dan
gizi berdasarkan indikator- indikator yang telah ditentukan (Pemerintah Provinsi
NTB, 2010).
Pembangunan ketahanan pangan menjamin ketersediaan, distribusi, dan
konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang baik pada
tingkat daerah, rumah tangga, maupun perorangan. Hal ini harus diwujudkan
secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu dengan memanfaatkan
sumberdaya, kelembagaan, dan kearifan lokal. Pembangunan Ketahanan Pangan
juga harus dapat mengakomodir permasalahan, kepentingan, kebutuhan serta
aspirasi perempuan dan laki- laki secara seimbang (Pemerintah Provinsi NTB,
2010).
Jika dihitung antara sisi produksi dan konsumsi, beras di Provinsi Nusa
Tenggara Barat dinyatakan surplus. Pada tahun 2007 produksi padi di Provinsi
Nusa Tenggara Barat sebanyak 1,526,347 ton GKG atau 964,651 ton beras,
dengan besarnya konsumsi beras sebesar 551,757 ton pertahun sehingga terjadi
surplus sebanyak 412,895 ton. Selanjutnya pada tahun 2011 produksi padi
mencapai 2,024,086 ton GKG atau 1,279,222 to n beras, dengan konsumsi beras
sebanyak 538,949 ton sehingga terjadi surplus sebanyak 740,273 ton (Pemerintah
Provinsi NTB, 2010).
Di sisi lain, produksi pangan hewani juga terus meningkat. produksi
daging tahun 2006 adalah sebanyak 20,634 ton dan pada tahun 2010 menjadi
39,923 ton. Produksi komoditi telur pada tahun 2006 adalah 2,538 ton dan pada
tahun 2010 menjadi 5,030 ton. Sedangkan produksi komoditi ikan pada tahun
2006 sebanyak 109,975 ton juga meningkat pada tahun 2010 yakni mencapai
266,723 ton (Pemerintah Provinsi NTB, 2010).
Ketersediaan beras di Provinsi Nusa Tenggara Barat terlihat selalu surplus
setiap tahunnya, namun kondisi surplus tingkat wilayah tersebut yang dikuasai
oleh pemerintah melalui BULOG Provinsi Nusa Tenggara Barat hanya berkisar
antara 7 – 9 % dari total produksi, sedangkan sisanya beredar dalam pasar antar
wilayah dalam provinsi dan sebagian keluar ke provinsi lain melalui perdagangan
antar pulau. Angka surplus di masyarakat sampai saat ini belum dapat didata
secara pasti, sehingga kedepan diperlukan suatu perhitungan Marketable Surplus

6
terhadap komoditas pangan ini untuk dapat mengetahui dengan pasti surplus
komoditas pangan yang ada di masyarakat (Pemerintah Provinsi NTB, 2010).
Produksi berbagai komoditi pangan baik dari jenis tanaman maupun dari
jenis hewani mendorong perkembangan ketersediaan energi, protein, dan lemak
untuk konsumsi penduduk di Provinsi NTB. Pada tahun 2006-2010 rata-rata
perkembangan energi pertahun adalah 9.3 %, protein sebesar 1.04 % dan lemak
sebesar 16.76 %. Selanjutnya angka PPH yang dapat dicapai pada tahun 2006
yakni 69.6 poin dan pada tahun 2010 mencapai 76.7 poin (Pemerintah Provinsi
NTB, 2010).
Perkembangan konsumsi energi dan protein masyarakat di Nusa Tenggara
Barat menunjukkan masih di atas standar kebutuhan konsumsi energi (2,009
Kkal/kap/hari dan 59.7 gr/kap/hari) yaitu sebesar 2,000 Kkal/kap/hari dan protein
sebesar 52 gram/kap/ hari,. Namun disisi lain keberhasilan pembanguna n pangan
dan gizi di NTB yang dilihat dari indikator status gizi balita yang relatif rendah.
Status gizi balita ditentukan berdasarkan tinggi badan dan berat badan menurut
umur dibandingkan dengan standar baku WHO, 2005 (Nazam, 2012).
Status balita berdasarkan tinggi badan NTB berada pada urutan ketiga
terburuk yaitu 48,2% jauh dibawah rata-rata nasional sebesar 35,6%. Jumlah
balita yang sangat pendek sebanyak 29,0%, sedangkan yang pendek sebanyak
19,2%. Jika dibandingkan dengan target MDGs tahun 2015 sebesar 32%, maka
NTB masih memerlukan usaha penurunan sebesar 16% selama kurun waktu 20112015. Berdasarkan status gizi balita, jumlah balita penderita kekurangan gizi di
NTB pada tahun 2010 sebanyak 30,5% terdiri atas 11% gizi buruk dan 19,5% gizi
kurang. Kondisi tersebut menempatkan NTB pada posisi terburuk dibandingkan
provinsi lain, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 17, 5% (Nazam, 2012)
Jumlah penderita kekurangan gizi di provinsi NTB berada pada posisi
terburuk yaitu mencapai 30,5%. Sedangkan target MDGs bahwa jumlah penderita
kekurangan gizi pada tahun 2015 sebesar 15.5%, yang terdiri atas gizi buruk 3,6%
dan gizi kurang 11,9%. Untuk mencapai target MDGs sebesar 15% dari kondisi
2010, NTB harus menurunkan angka gizi buruk sebesar 7.4% dan gizi kurang
sebesar 7,6% (Nazam, 2012).
Surplus hasil produksi pangan beras atau jenis produk pangan belum
menjadi jaminan bagi daerah untuk mampu menjaga kestabilan harga maupun
ketahanan pangan, namun dibutuhkan jaringan distribusi, harga dan akses pangan
ditingkat wilayah, komunitas sampai keluarga dan individu.

7

Gambar 1.2. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB Tahun 2010
(Sumber : FSVA NTB, 2010)
Gambar 1.2. memberikan gambaran bahwa 8 (delapan) dari 10 Kabupaten
di Provinsi Nusa Tenggara Barat tidak sepenuhnya terbebas dari permasalahan
pangan ini. Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok
Utara dan Dompu tidak memiliki satu wilayah pun yang tahan pangan, sedangkan
Kabupaten Sumbawa Barat hanya 62.5 % kecamatan yang relatif tahan pangan,
Kabupaten Bima sebanyak 83.33 % dan yang relatif baik Kabupaten Sumbawa
sebanyak 87.5%. sebaliknya, bahwa sebanyak 70.83 % dari jumlah kecamatan di
Provinsi NTB adalah wilayah yang rentan terhadap kerawanan pangan. Adapun
jumlah penduduk yang diestimasi rentan terhadap kerawanan pangan adalah
sebanyak 3,134,658 jiwa dengan kontribusi yang tinggi dari Kabupaten Lombok
Barat adalah sebanyak 603,223 jiwa, disusul Lombok Tengah sebanyak 844,105
jiwa dan yang terbanyak adalah dari Kabupaten Lombok Timur sebanyak
1,081,630 jiwa (FSVA NTB, 2010).
Data di atas juga menjelaskan bahwa terdapat kecenderungan bahwa
wilayah-wilayah di Pulau Lombok (Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah,
Lombok Timur, dan Lombok Utara) relatif memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap kerawanan pangan dibandingkan wilayah-wilayah di Pulau Sumbawa
(Dompu, Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Bima). Hampir semua wilayah di pulau
Lombok adalah daerah rentan pangan dan terdapat jumlah wilayah yang cukup
dominan dengan status prioritas 1 (sangat rentan terhadap ketahanan pangan).
adapun wilayah-wilayah di Pulau Sumbawa memiliki tingkat ketahanan pangan
yang relatif beragam dengan kisaran prioritas penanganan antara 2-6.
Isu ketahanan pangan di Provinsi NTB yakni ketersediaan pangan yang
memadai di tingkat wilayah provinsi NTB merupakan faktor penting, namun
belum cukup memadai untuk menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan di
tingkat rumah tangga dan individu. Rendahnya ketersediaan dan konsumsi pangan
di tingkat rumah tangga dapat terjadi karena adanya masalah dalam distribusi dan

8
akses ekonomi rumahtangga terhadap pangan. Pemerataan distribusi pangan
hingga menjangkau seluruh pelosok wilayah Nusa Tenggara Barat pada harga
yang terjangkau merupakan upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah
bersama-sama dengan masyarakat.
Berbagai Isu ketahanan pangan di atas, dapat terjadi karena rendahnya
kapasitas dan kinerja kelembagaan ketahanan pangan. Kelembagaan pangan
merupakan salah satu komponen penting dalam menunjang kerangka dasar
perumusan kebijakan pangan dan pembangunan pertanian untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Kelembagaan yang dimaksud di sini adalah-suatu
aturan yang dikenai, diikuti, dan ditegakkan secara baik oleh-anggota masyarakat,
yang memberi naungan dan hambatan (constraints) bagi individu atau anggota
masyarakat. Kelembagaan memberi nafas dan ruang gerak bagi tumbuh dan
berkembangnya suatu organisasi, yang sebenarnyanya memiliki ruh kehidupan
karena suatu kelembagaan (Arifin, 2005).
Berbagai kebijakan/penataan kelembagaan pangan cenderung sebagai
gerakan nasional dan bersifat seragam, kurang memperhatikan karakteristik
wilayah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang heteroden, sehingga
efektifitas berbagai kebijakan/penataan kelembagaan pangan masih kurang efektif
dan perlu terus disempurnakan, karena secara umum kebijakan/penataan
kelembagaan pangan tersebut baru dapat meningkatkan ketahanan pangan dalam
skala makro, namun belum sepenuhnya dapat menyelesaikan permasalahan
ketahanan pangan di tingkat mikro (level individu/keluarga). Hal ini dapat dilihat
pada beberapa wilayah salah satunya di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dominasi peran Pemerintah dalam pembangunan yang terjadi sejak tahun
1970-an telah menyebabkan sempitnya ruang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi. Seluruh kegiatan pembangunan fisik dan pengadaan berbagai
sarana publik dilakukan oleh institusi pemerintah, telah menempatkan masyarakat
sebagai peserta pasif. Pendekatan demikian sudah tidak sesuai lagi. Disamping
kemampuan pemerintah yang semakin terbatas, juga karena adanya kehendak
masyarakat untuk berperan lebih besar dalam iklim demokrasi saat ini. Oleh sebab
itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk mengedepankan peran
masyarakat dalam pembangunan ketahanan pangan dan membatasi peran
pemerintah hanya pada fungsi- fungsi fasilitas, pembangunan prasalana publik,
dan peran-peran lain dimana masyarakat belum mampu melaksanakannya (Anwar,
2005).
Hasil penelitian Karyadi (2005) di Provinsi Nusa Tenggara Barat
menjelaskan bahwa kehadiran sistem pangan formal (sebagai bentuk adaptasi
sistem terhadap perkembangan teknologi) secara cultural institusional telah
mendesak kelembagaan penjagaan stok pangan asli. Rasionalitas distribusi pangan
berbasis pasar yang diperkenalkan secara meluas dan didukung oleh Negara telah
menggerus trust dari komunitas lokal akan arti pentingnya kehadiran kelembagaan
asli, seperti lumbung pangan dan sejenisnya.
Dalam tatanan tradisional di daerah-daerah Lombok Provinsi Nusa
Tenggara Barat, masyarakat pada awalnya memiliki lembaga- lembaga lokal yang
mengatur ketahanan pangan sesuai dengan kebutuhan mereka, misalnya lumbung
desa dan lumbung paceklik. Di Lombok dahulu dikenal antara lain sistem jimpitan,
cadongan dan lainnya. Lebih lanjut diketahui bahwa disejumlah perdesaan
terdapat lembaga bagi hasil, lumbung desa atau lumbung pangan, sistem bawon

9
(Lombok : nyolas, mertelu dan sebagainya). Dalam hal distribusi/pemasaran
dikenal lembaga prana seperti ijon, tebasan/nandu, bederep, bedea, ngunuh dan
sejenisnya. Lembaga semacam ini terdapat hampir diseluruh daerah dengan istilah
yang berbeda-beda guyub (Karyadi, 2009).
Sejalan dengan perkembangan perubahan sosial (teknologi produksi,
pengolahan dan distribusi hasil pertanian), berbagai modal sosial dalam bentuk
kelembagaan lokal dan sistem pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan
ketahanan pangan berangsur-angsur hilang. Adapun praktik bagi hasil atas
sejumlah natura (hasil panen) sudah jarang terjadi dan banyak bentuk transaksi
natura diganti oleh uang. Cakupan perubahan social yang meluas hingga
kepelosok pedesaan telah ikut merubah orientasi budaya immaterial masyarakat,
sehingga mereka juga seakan menjelma menjadi masyarakat yang komersil,
hedonis dan kurang guyub (Karyadi, 2009).
Sebagai contoh, Karyadi (2009) menemukan bahwa semua responden
masyarakat miskin (100%) yang berdomisili di sekitar kawasan pertanian sawah
beririgasi di Pulau Lombok-NTB menyatakan tidak pernah menerima zakat hasil
pertanian dari petani pemilik atau pemilik penggarap yang mengelola lahan sawah
yang ada disekitar domisilinya. Padahal pada masa lampau yakni tatkala teknologi
produksi dan distribusi belum berkembang seperti saat ini, diakui bahwa sebagian
besar petani miskin senantiasa mendapatkan jatah zakat hasil panen dari pemilik
tanah setiap musim panen. Dengan demikian, jelaslah bahwa sistem kelembagaan
(kekerabatan) dan fungsi- fungsi integratif sistem sosial cenderung semakin
berkurang.
Sementara itu, beberapa penelitian menjelaskan sebagai berikut (Karyadi,
2005 dan Sukesi, 2006) :
Masyarak