sepuluh hari dan setelah itu boleh menikah lagi. Malik berkata; Jika dia menikah setelah masa
iddah selesai, kemudian suaminya kedua telah menggaulinya atau belum menggaulinya, maka suami pertama
tidak berhak lagi atasnya. ”H.R. Malik
2. Perbedaan Ditinjau dari Proses Perceraian
Perbedaaan proses perceraian yang dimaksud adalah perceraian karena talak dan perceraian karena meninggal. Dengan kata lain, dapat
disebut cerai hidup atau cerai mati. Perbedaan ini termasuk salah satu faktor yang membedakan panjangnya masa
‘iddah.
Berdasarkan ayat 234 surat Al-Baqarah seperti yang telah dikutip di atas, masa
‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari yang dibulatkan menjadi 130 hari. Sementara itu,
‘iddah wanita yang dicerai melalui proses talak cerai hidup, pada dasarnya lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga
quru ’ bagi mereka yang
berada dalam masa haidh atau tiga bulan bagi mereka yang belum baligh
dan yang sudah menopause.
Alq ur’an tidak menyebutkan alasan yang menyebabkan
“panjangnya” masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa duka bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya. Seandainya dikaitkan dengan bara
’at al rahmi tentu
‘iddah-nya akan sama dengan wanita yang dicerai dalam kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga
quru ’. Demikian pula ‘iddah
dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir bagi kemungkinan rujuk kembali karena salah satu pasangannya suami sudah meninggal dan
tidak mungkin diharapkan rujuk kembali kepada isterinya.
Jika demikian halnya, maka tampaknya ‘iddah juga berhubungan
dengan masalah etika gender. Setidaknya, seorang wanita harus ikut merasakan duka dengan kematian suaminya. Dalam hubungan ini, para
ulama menetapkan kewajiban
ihdad atas perempuan.
Pada umumnya, perceraian yang terjadi akibat kematian suami adalah musibah bagi wanita yang menjadi isterinya. Perceraian seperti ini
merupakan perceraian yang tidak terelakkan.
Dalam suasana batin yang gundah ini, Alqur ’an melarang pria lain
untuk menyatakan pinangannya terhadap perempuan itu secara terbuka tashrih, meskipun perempuan yang cerai akibat ditinggal mati suaminya
sudah tidak mungkin lagi rujuk, secara doktrinal lelaki yang meminang al-
Khatib itu diminta untuk menyembunyikan hasrat peminangannya itu. Kalaupun hasrat itu sudah tak terbendung lagi, maka ia hanya boleh
mengemukakan dalam bentuk sindiran ta
’ridh. Ketentuan ini, tampaknya tidak luput dari upaya menjaga perasaan wanita yang sedang dalam
keadaan duka tersebut.
D. Hikmah Adanya ‘iddah
Adapun hikmah ‘iddah adalah:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dan yang lain.
2. Memberi kesempatan kepada suami isteri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat menghimpun orang-orang yang arif untuk mengkaji masalahnya dan memberikan