Gambaran Umum Kehidupan Keagamaan

BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

A. Latar Belakang Eksternal

Dalam studi tokoh dikenal adanya latar belakang internal dan latar belakang eksternal. 130 Kedua latar belakang tersebut memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap seorang tokoh, demikian juga dengan Abdurrahman Wahid atau yang sering dipanggil dengan Gus Dur. Latar belakang eksternal bisa berupa kehidupan keagamaan dan kegiatan politik. Sedangkan latar belakang internal bisa berupa pendidikan dan pengalaman serta kegiatan karir dan sebagainya.

1. Gambaran Umum Kehidupan Keagamaan

Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir Gus Dur yang kompleks adalah kondisi keagamaan bangsa Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa rentang tahun 1990-an kondisi keagamaan bangsa Indonesia sangat kacau. Prinsip inklusivisme dan toleransi saat itu memudar, sedangkan emosi eksklusivisme dalam rangka klaim kebenaran truth claim of religion beragama bermunculan. Klaim teologis tersebut semakin memuncak, bahkan ketika itu tumbuh subur sifat antagonisme inter dan antarumat beragama serta tidak harmonisnya hubungan beragama dengan pemerintah. Hal itu diindikasikan oleh banyaknya kasus-kasus 130 Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh dalam Bidang Pemikiran Islam Medan: IAIN Press, 1999, h. 3. berkepanjangan berbau SARA yang telah banyak menelan ongkos sosial social coast, seperti kasus Situbondo, Sampit, Sambas, Ambon dan Aceh. 131 Kondisi keagamaan tersebut sedikit banyaknya dipengaruhi oleh latar belakang masing-masing ummat beragama, baik muslim maupun non- muslim. Sebagaimana dijelaskan Ira M. Lapidus bahwa komunitas keagamaan muslim Asia Tenggara cenderung pada desentralisasi. Kehidupan keagamaan terbentuk mengitari tokoh- tokoh perorangan ulama’, wali, thariqat sufi dan mazhab ulama dan di sana tidak ada komunitas kesukuan yang signifikan. 132 Konflik yang terjadi terlihat dibiar-biarkan tanpa ada keinginan kuat untuk menyelesaikannya. Bahkan sebagian kalangan menjadikan keadaan tersebut sebagai alat meligitimasi kekuasaan. Agama banyak disalah tafsirkan, antara umat beragama dikonflikkan sehingga puncak dari keadaan tersebut adalah terjadinya krisis multidimensi. Disadari atau tidak, prasangka-prasangka buruk yang muncul di kalangan umat beragama telah menghambat terjadinya perubahan sosial menuju demokrasi dan pluralisme. Iklim yang demikian benar-benar mustahil dapat mengantarkan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang beretika. Kondisi keagamaan tersebutlah yang merangsang Gus Dur untuk berkecimpung di pentas nasional. Sebagai seorang tokoh Islam inklusif, Gus Dur berpandangan bahwa Islam bukan suatu doktrin beku yang menutup peluang bagi adanya interpretasi. Islam adalah sebuah teks terbuka yang menyediakan ruang bagi penafsiran-penafsiran baru, berkaitan dengan isu- isu kontemporer sejalan dengan perkembangan zaman. Perubahan dinamis dalam kehidupan masyarakat, menuntut umat Islam untuk mengembangkan 131 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era posmodernisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, h. 25. 132 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Jakarta: Rajawali Press, 1999, h. 836. pemikiran-pemikiran kreatif sebagai respons terhadap fenomena kehidupan modern. 133 Dalam konteks Indonesia yang pluralistik menurut Gus Dur, Islam tidak perlu ditampilkan secara formal, misalnya sebagai agama negara seperti di Iran atau Sudan. Sebagai bangsa majemuk, umat Islam harus lebih mengutamakan penegakan keadilan, pembangunan demokrasi, dan pengembangan watak inklusivisme. Nilai-nilai ideal Islam seperti keadilan, egalitarian, keterbukaan, demokrasi, dan penghargaan pada pluralisme harus menjiwai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Gambaran Umum Kehidupan Politik