STATUS HAK KELOLA TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

ABSTRAK

STATUS HAK KELOLA
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN
LAMPUNG
Oleh
Nanda Dwika
Pengelolaan kawasan hutan tidak selamanya berjalan lancar, banyak terdapat
konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang berwenang menjaga kawasan
hutan. Salah satunya adalah di kawasan Tahura Wan Abdurrahman. Konflik yang
terjadi adalah konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura
dengan pemerintah sebagai pihak pengelola. Ketidakkonsistenan pemerintah
dalam menentukan kebijakan di kawasan ini, merupakan salah satu penyebab
konflik status hak kelola masyarakat di Tahura WAR. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR, mengidentifikasi
konflik yang terjadi dan untuk mengetahui keinginan masyarakat dalam
penyelesaian konflik status hak kelola di Tahura WAR.
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya
Wan Abdul Rahman tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK)
Lestari desa Hurun kecamatan Padang Cermin dengan luas garapan 233 Ha di dan
di wilayah kelola Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (GKPPH)

di desa Sumber Agung kecamatan Kemiling dengan luas garapan 492,75 Ha.
Metode pengumpulan data menggunakan metode Triangulasi, Focus Group
Discussion dan kuesioner. Dari hasil penelitian dapat diketahui, konflik yang
terjadi di Tahura WAR, baik di wilayah SHK Lestari maupun Sumber Agung
meliputi ketidaktenangan masyarakat karena adanya pengusiran-pengusiran paksa
di masa lalu, adanya tumpang tindih hak atas tanah karena masyarakat memiliki
sertifikat tanah di kawasan Tahura dan konflik tata batas antara lahan masyarakat
sekitar hutan dengan Tahura WAR karena adanya kesalahan dalam penentuan tata
batas yang dilakukan oleh pihak pemerintah.

Kata Kunci : Taman Hutan Raya, Konflik, Status Hak Kelola

ABSTRACT

STATUS OF COMMUNITY MANAGEMENT RIGHT OF
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN
LAMPUNG
By
Nanda Dwika
Forest management doesn’t always work well. There are so many conflicts

between community and the officer who has the responsibility to preserve the
forest. One example of the conflict is “Tahura Wan Abdul Rachman”. The
conflict that happen in this area is status of the community management right who
live in Tahura area with the goverment as the forest organizer. Government
inconsistency in determine the policy which is occur in the “Tahura Wan
Abdurrahman” causes the conflict of status of the community management right
in Tahura WAR. This research aims are to identify the conflict that happens and
to find out the community desire in finishing the conflict of governance status in
Tahura WAR area.
This research has been done on February 2012 at “Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman” specifically in SHK Lestari Hurun village Padang Cermin subdistrict
with the area wide about 233 Ha and GKPPH in Sumber Agung village Kemiling
subdistrict with the area wide 492,75 Ha. The methods used in this research are
Triangulasi method, Focus Group Discussion and questionnaire. As the result we
can find out about the conflict which is occurred there not only in the SHK Lestari
but also Sumber Agung, include the uncomfortable feeling of community because
of the community because there was forced expulsions in the past, there was
overlapped of land rights because the community have the certificate of land in
Tahura area and the conflict about the boundary between community around the
“Tahura WAR” and Tahura WAR itself because of the mistake in determine the

boundary by the Government.
Key Words : Taman Hutan Raya , Conflict , Status of Community management
right

STATUS HAK KELOLA
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN
LAMPUNG
(Skripsi)

Oleh
NANDA DWIKA

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran ..................................................
2. Letak Taman Hutan Raya WAR ......................................................
3. Grafik Curah Hujan Bulanan ...........................................................
4. Kelas Kelerengan di Tahura WAR ...………………………...…....
5. Jenis Tanah dan Penyebarannya di Tahura WAR ..........................
6. Sebaran Sungai di Tahura WAR .....................................................
7. Perbandingan Jumlah Penduduk di Tiap Kecamatan ..…………....
8. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sekitar Tahura .......…….....
9. Distribusi Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Tahura ..……....
10. Wawancara dengan warga SHK Lestari …….…………………….
11. Diskusi dengan masyarakat SHK Lestari .…………..…………….
12. Pengisian kuesioner oleh masyarakat SHK Lestari .....................…
13. Pengisian kuesioner oleh masyarakat GKKPH Sumber Agung ..…

5
32
33
34
35
36

39
40
41
90
90
90
90

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL

……………………………………………………. i

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………..... ii
I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


…………………………………………….. 1

B. Tujuan Penelitian

……………………………………………. 2

C. Kerangka Penelitian ……………………………………………. 3
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan dan Kawasan Konservasi

………………….................. 6

B. Pengertian dan Batasan Konflik

…………….....……………. 8

C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik

D. Tipe-Tipe Konflik

……. 10

……………………………………………. 15

E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR

……. 16

F. Pengelolaan Konflik …................................................…………. 20

III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............……………………………. 24
B. Alat dan Objek Penelitian ..........…………………………………. 24

C. Batasan Penelitian ...............…………………......………………. 25
D. Jenis Data

..........…………………………….....……………. 26


E. Metode Pengumpulan Data .......................................……………. 26
F. Teknik Pengambilan Sampel ....................................……………. 27
G. Metode Pengolahan dan Analisis Data

...............…………. 30

IV. GAMBARAN UMUM
A. Status Kawasan Tahura ……………………...……....………….

31

B. Kondisi Fisik ............……………………………………………. 32
1. Letak dan Luas
2. Iklim

……........................………………………. 32

…………………………........................…………. 33


3. Topografi ........................……………………………………. 33
4. Geologi

........................……………………………………. 34

5. Tanah

........................……………………………………. 34

6. Hidrologi ........................……………………………………. 35
C. Kondisi Biologi

....................................…………….……… 37

1. Flora

……............................................................………. 37

2. Fauna


…................................................…………………. 37

D. Potensi Objek Wisata ............................…………………………. 38
E. Aksesibilitas ........................……………………………………. 38
F. Sosial Ekonomi Penduduk

....…………………………………. 39

G. Kondisi Penutupan dan Penggunaan Lahan ..……………………. 41
H. Pengelolaan ........................……………………………………. 42
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Status Hak Kelola Tahura WAR ............……………………….. 43
B. Konflik Pengelolaan Kawasan Tahura WAR ..……………….... 53
C. Keinginan Masyarakat

………………………………….… 63

VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………..……… 70
B. Saran …………………………………………………………….. 71

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan. 1993. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408 / KptsII / 1993Tentang Penetapan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Salinan Biro
Hukum Dan Organisasi. Dephut. Jakarta.
. 1990. Undang – Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Salinan kepala Biro Hukum
dan Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
. 1999. Undang – Undang No.41 Tahun 1999. Tentang
Kehutanan. Salinan kepala Biro Hukum dan Organisasi. Dephutbun.
Jakarta.
. 2003. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/ Kpts-II / 2003
Tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya. Salinan Biro Hukum Dan Organisasi.
Dephut.
Jakarta.
. 1998. Peraturan Pemerintah No. 68 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta
Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. 2007. Peraturan Pemerintah RI. No. 6
Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Salinan Biro Hukum dan
Organisasi. Dephutbun. Jakarta.
Dewan Kolaborasi Pengelolaan Tahura WAR. 2012. Draft Peraturan Daerah
Kolaborasi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdur Rachman. Tidak
Dipublikasikan
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2006. Laporan Akhir Master Plan Taman
Hutan Raya Wan Abdul Rahman. PT. Laras Sembada. Jakarta.
Fisher S, D.I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams. 2001. Mengelola Konflik :
Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari S. N, M. D. Lapilatu,
R. Maharani, D.N. Rini, penerjemah ; Indonesia : The British Council.

73

Fuad, Faisal dan Maskanah, S. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.
Galudra, dkk. 2006. Rapid Land Tenure Assesment (RaTA) Panduan Ringkasan
Bagi Praktisi. World Agroforesty Centre. Asia Tenggara.
Hasanah, Y. 2008. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Tanah Ulayat Baduy pada
Kawasan Hutan Lindung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Huzaini, M. 2002. Analisis Konflik Sumberdaya Hutan untuk Pemberdayaan
Masyarakat Kearah Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Kementrian Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.10/MenhutII/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Hutan
Raya. Kementrian Kehutanan. Jakarta.
. 2011. Undang- Undang no. 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta
Korsadi, Eka R. J. 2007. Analisis Konflik Areal Eks Tumpang Sari Perum
Perhutani di Wilayah Perluasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Kusworo, A. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa
Kawasan Hutan di Lampung. Pustaka Latin. Bogor.
Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita H, Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Mustafa. 2002. Dinamika Konflik Dan Model Institusi Pengelolaan Kawasan
Yang Berkelanjutan (Studi Kasus Pada Pengelolaan Kawasan Konservasi
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur). Tesis
Moeloeng. diakses pada tanggal 15 desember 2011. Tipe Penelitian Deskriptif
Kualitatif. http://www.scribd.com/doc/33725861/Tipe-Penelitian-DeskriptifKualitatif.
Pasya, Gamal. 2011. Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan
Kawasan Hutan Lindung. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (Tidak
dipublikasikan).
Pasya, Gamal dan M.T Sirait. 2011. Analisa Gaya Bersengketa (AGATA):
Panduan untuk Membantu Memilih Bentuk Penyelesaian Sengketa
Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bogor, Indonesia. The Samdhalan Institute.

74

Prio, T. 2008. Majalah Kehutanan Indonesia “Pembangunan Taman Hutan
Raya” Edisi VII November 2008. Jakarta.
Quartin, A. 2010. Peranan Costumer Value dalam Mempertahankan Keunggulan
Bersaing Pada Restoran. Fakultas Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”. Jakarta.
Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial. Bogor
Sugiarto, S. Degribson, Lasmono, T. Sunaryanto, dan Deny S.Oetomo. 2003. Teknik
Sampling. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sugiyono, Dr. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R & D.
Alfabeta. Bandung.
Suraji. 2002. Keterkaitan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Sistem
Pengelolaan Kebun Campuran dalam Hutan Kemasyarakatan. Thesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak Dipublikasikan.
Tim SHK Lestari. 2008. Inventarisasi Potensi Tumbuhan Dan Satwa Liar Sebagai
Pendukung Ekowisata Di Lokasi Kelola Shk Lestari Tahura Wan Abdul
Rachman. Laporan Hasil Penelitian. Bandar Lampung.
UPTD Tahura WAR. 2002. Statistik Data Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman
Reg. 19 Gunung Betung. UPTD Tahura WAR. Bandar Lampung
UPTD Tahura WAR. 2006. Master Plan Tahura Wan Abdul Rachman. UPTD
Tahura WAR. Bandar Lampung
Walpole, RE. 1993. Pengantar Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

STATUS HAK KELOLA
TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN
LAMPUNG

Oleh
NANDA DWIKA

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEHUTANAN
pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Undang - Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya (Tahura)
adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan
asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Pengelolaan kawasan hutan, termasuk Tahura tidak selamanya berjalan lancar,
banyak terdapat konflik antara masyarakat dan pihak pengelola yang
berwenang menjaga kawasan hutan.

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia, alasannya sederhana karena banyak pihak
yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam, sementara masing-masing
pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Hubungan interaksi manusia dengan
sumberdaya alam, baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi
sumberdaya hutan tersebut. Perubahan yang terjadi akan berpengaruh pada

2
unsur lain yang akan kembali memberikan pengaruh kepada pihak yang
mengelola Tahura (Pasya, 2011).

Konflik pengelolaan hutan juga terjadi dalam pengelolaan Tahura Wan Abdur
Rahman (Tahura WAR). Salah satu konflik yang terjadi di kawasan ini adalah
konflik status kelola masyarakat yang tinggal di kawasan Tahura dengan
pemerintah sebagai pihak pengelola. Adanya pencabutan ijin pembukaan
lahan yang diberlakukan pemerintah, membuat masyarakat yang berdiam di
daerah Register 19 Gunung Betung menerapkan teknik pengelolaan hutan
secara HKm pada tahun 1998 seperti yang dianjurkan oleh pemerintah selaku
pihak pengelola. Sebagai Tahura maka pengelolaan secara HKM tidak
memiliki dasar hukum yang kuat. Hal ini mengakibatkan kedudukan
masyarakat sebagai pengelola lahan kawasan menjadi tidak jelas, karena
sewaktu-waktu pemerintah dapat melakukan pengusiran. Ketidakkonsistenan
pemerintah tersebut mengakibatkan konflik status hak kelola masyarakat di
Tahura WAR (Pasya dan Sirait, 2011). Untuk itu diperlukan adanya suatu
identifikasi konflik dan mengetahui keinginan masyarakat tentang kepastian
status hak kelola mereka.

B. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi status hak kelola di Tahura WAR.
2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi di Tahura WAR.
3. Mengetahui keinginan masyarakat dalam penyelesaian konflik status hak
kelola di Tahura WAR.

3
C. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai status hak kelola di Tahura WAR dan
potensi konflik kepada pihak terkait dalam pembuatan kebijakan.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat akan kepastian status hak kelola.

D. Kerangka Pemikiran

Gunung Betung yang memiliki luas area 22.244 hektar dan berstatus sebagai
hutan lindung Register 19 Gunung Betung ditetapkan berdasarkan Besluit
Residen Lampung No: 307 tanggal 31 Maret 1941. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/KPTS-II/93, Hutan Lindung Register
19 tersebut diubah peruntukkannya menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman (Tahura WAR) dengan fungsi konservasi yang dikelola oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Lampung sesuai UU No. 22 tahun 1999, PP No.
25 tahun 2000, Keputusan Menhut No. 107/Kpts-II/2003 serta Keputusan
Gubernur Lampung No. 3 tahun 2003. Perubahan status Tahura WAR inilah
yang merupakan awal mula konflik di Tahura WAR.

Konflik status dan kepemilikan lahan serta akses pengelolaan merupakan
konflik lingkungan yang sering terjadi dalam pengelolaan kawasan hutan
konservasi dan hutan lindung. Proses penunjukan dan penetapan status
seringkali dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa memperhatikan
interaksi yang terjadi antara komunitas masyarakat lokal dengan sumberdaya
alam yang tersedia di dalam kawasan. Proses cenderung dilakukan tanpa

4
menyertakan partisispasi masyarakat terutama mereka yang telah tinggal
menetap antar generasi di dalam dan atau sekitar hutan, yang membentuk
komunitas, yang memiliki kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan
hutan, keterkaitan tempat tinggal, serta nilai-nilai kehidupan sosial.
Lambat laun hal ini akan memicu terjadinya konflik dalam pengelolaan
sumberdaya hutan. Kegiatan yang dilakukan masyarakat di dalam kawasan
Tahura menyebabkan pengelolaan kawasan tersebut menghadapi kesulitan.
Apabila mengikuti aturan sesuai dengan SK Menhut Nomor. 1691/I/3/75
tahun 1975 tentang pencabutan izin pengelolaan lahan maka Pengelola Tahura
harus mengusir semua orang yang mengelola lahan di dalam kawasan Tahura
WAR. Namun tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena
pengelola Tahura WAR akan berhadapan dengan masyarakat.

Di sisi lain membiarkan masyarakat mengelola lahan adalah sebuah bentuk
pelanggaran karena bertentangan dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang
perubahan atas peraturan pemerintah no 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan yang
menjelaskan bahwa Tahura WAR tidak dapat dikelola dengan skema HKm.
Masalah yang terjadi pengelolaan kawasan hutan didapati sering tidak sesuai
dengan fungsi lingkungan yang menjadi permintaan, kebutuhan, dan tuntutan
masyarakat lokal khususnya mereka yang menggantungkan mata pencaharian
dan hidupnya di dalam kawasan hutan. Tidak jarang ketidak-sesuaian tersebut
menimbulkan berbagai konflik baik konflik land tenure (status dan
kepemilikan lahan) maupun konflik akses pengelolaan lahan.

5
Pada dasarnya konflik ini dapat diselesaikan, yaitu dengan mengidentifikasi
dan menyatukan persepsi dan keinginan dari stakeholder yang terkait dalam
pengelolaan Tahura. Dalam hal ini adalah keinginan pemerintah, masyarakat
dan LSM.

Alih Fungsi
Hutan Lindung

TAHURA

Ketidakpastian status
hak kelola

Kepastian status hak
kelola

Konflik

Diselesaikan

Keinginan
pemerintah

Keinginan
LSM

Tidak dapat
diselesaikan

Keinginan
masyarakat

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan dan Kawasan Konservasi

Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
mendefinisikan hutan sebagai suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan
konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam
(KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Menurut Undang-Undang no
28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian alam, Kawasan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas
tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. Sedangkan, kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan
ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi
pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan taman buru adalah kawasan

7
hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Sedangkan menurut
Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Taman Hutan Raya adalah kawasan
pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami
atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya,
paritwisata dan rekreasi.

Hutan di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan statusnya,
yaitu:
1. Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
2. Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
3. Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat.
hukum adat dan ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Menurut Undang–Undang tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hutan juga
dapat diklasifikasikan pada beberapa bagian antara lain:
1. Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah.
2. Hutan produksi, yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.

8
3. Hutan konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.

Hutan dengan fungsi konservasi dapat diklasifikasikan pada beberapa bentuk:
a. Kawasan hutan suaka alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan, seperti suaka margasatwa dan cagar alam.
b. Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, seperti kawasan
Taman Hutan Raya(Tahura), taman nasional dan taman wisata.
c. Taman buru, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata
berburu.

B. Pengertian dan Batasan Konflik

Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki
sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Menurut Fraser dan Hipel
(1984) dalam Mustafa (2002), konflik adalah situasi dimana dua atau lebih
kelompok berselisih atas isu-isu atau sumber daya. Menurut Johson dan
Duinker (1993) dalam Mitchel et al. (2000) konflik adalah pertentangan antara

9
banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang
menyatu sejak kehidupan ada. Menurut mereka konflik adalah sesuatu yang tak
terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Dari berbagai batasan
konflik tersebut, secara umum konflik mencakup (Walker dan Daniels, 1997
dalam Karsodi, 2007):
1. Ketidakcocokan yang terasa
2. Kepentingan tujuan dan aspirasi
3. Dua atau lebih kelompok independen
4. Insentif untuk bekerjasama dan bersaing
5. Interaksi dan komunitas
6. Negosiasi
7. Strategi/perilaku strategis

Menurut Fuad et al. (2000), konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat
(emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya
tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dengan
adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang
dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Sering terjadi salah satu
atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling
potensial sekalipun. Konflik mencuat adalah adanya perselisihan dimana
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan,
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya
belum berkembang. Konflik terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak
yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin
sudah mulai bernegosiasi atau juga telah mencapai jalan buntu.

10
C. Penyebab konflik, Teori Konflik dan Kriteria Konflik

Menurut Fisher (2001), konflik ditimbulkan karena ketidak seimbangan antara
hubungan-hubungan itu (hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok,
organisasi, masyarakat, negara dan segala bentuk hubungan manusia-sosial,
ekonomi, dan kekuasaan). Adapun berbagai contoh konflik tersebut adalah
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang
yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi,
pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan. Sementara itu menurut
Scot (1993) dalam Karsodi (2007) dari perspektif ekonomi politik, penyebab
utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, maka upaya
penyelesaiannya harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik.
Roy (1998) dalam Karsodi (2007) menyatakan konflik yang berkembang
antara institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya
komunikasi diantara mereka.

Faktor-faktor penyebab konflik pada umumnya berhubungan dengan isu-isu
utama dalam suatu konflik. Menurut Fisher et al (2001), isu-isu utama yang
muncul pada waktu menganalisis konflik adalah isu kekuasaan, budaya,
identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul pada waktu mengamati interaksi
antar pihak yang bertikai, yang pada suatu kesempatan tertentu akan menjadi
latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi secara diam-diam.

11
Wirajarjo (2001) dalam Korsadi (2008) menyatakan, bahwa berdasarkan
pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan
bahwa penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang
bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk
melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan
memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya
lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol
terhadap sumberdaya.

Ada enam teori utama penyebab konflik dengan metode dan sasaran yang
berbeda-beda (Fisher,2001) adalah:
1. Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompokkelompok yang mengalami konflik.
b. Mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima
keragaman yang ada di dalamnya.
2. Teori negosiasi politik
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik dan pihak-pihak yang
mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a.

Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, mereka mampu

12
untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan
mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
b.

Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan
keduabelah pihak dan semua pihak.

3. Teori kebutuhan manusia
Konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia baik fisik,
mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Sasaran yang ingin
dicapai teori ini adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang
tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu.
b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4. Teori identitas
Konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, sering berakar pada
hilangnya sesuatu penderitaan dimasa lalu yang tidak terselesaikan.
Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
a. Melalui fasilitas lokakarya atau dialog antar pihak-pihak yang
mengalami konflik diharapkan dapat mengidentifikasi ancamanancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan
untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka.
b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas
pokok semua pihak.

13
5. Teori kesalahpahaman antar budaya
Konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara berkomunikasi
diantara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori
ini adalah:
a. Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik
mengenai budaya pihak lain.
b. Mengurangi stereotype negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
c. Meningkatkan kefektifan komunikasi antar budaya.
6. Teori transformasi konflik
Konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan
ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan
ekonomi.
Menurut Anwar (2000) dalam Korsadi (2007) kebanyakan konflik
mempunyai penyebab ganda, biasanya merupakan kombinasi dari masalah
dalam hubungan antara pihak-pihak yang bertikai yang mengarah kepada
konflik terbuka. Konflik dapat dikelompokkan dan dianalisis dengan
menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Konflik data
Terjadi ketika orang kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk
mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah,
tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menerjemahkan
informasi dengan cara yang berbeda atau memakai tata cara pengkajian
yang berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena

14
hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi diantara dua orang atau
lebih yang konflik.
2. Konflik kepentingan
Disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara
nyata memang tidak bersesuaian dengan yang diinginkan. Terjadi ketika
satu atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihakpihak lain harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini
terjadi karena masalah yang mendasar (uang, sumberdaya, fisik, waktu)
atau menyangkut masalah tata cara (sikap dalam menangani masalah) atau
masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya diri mempertahankan
keadilan, rasa hormat).
3. Konflik hubungan antar manusia
Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau
stereotype, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang
(repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang realistik atau
mungkin tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi
obyektif untuk terjadinya konflik seperti terbatasnya sumberdaya manusia
atau tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. Masalah hubungan antar
manusia seperti yang tersebut diatas, seringkali memicu terjadinya
pertikaian dan menjurus kepada lingkaran-lingkaran spiral dari suatu
konflik destruktif yang tidak perlu.
4. Konflk nilai
Disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian,
mungkin hal itu hanya dirasakan atau memang sesungguhnya ada. Nilai

15
adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya,
menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang adil dan yang tidak adil. Perbedaan nilai
sebenarnya tidak harus menjadi penyebab terjadinya konflik. Oleh karena
itu manusia dapat hidup secara berkesinambungan dan harmonis dengan
sedikit perbedaan nilai.
5. Konflik struktural
Terjadi ketika ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap
sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk
menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk
menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain.

D. Tipe-Tipe Konflik

Konflik dibedakan diantara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku yang
kemudian dapat menggambarkan tipe-tipe konflik yang menuntun ke berbagai
bentuk kemungkinan intervensi. Setiap tipe memiliki tantangan dan
potensinya masing-masing (Fisher et al.,2000).
1. Tanpa konflik
Setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai. Jika mereka ingin
agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan
dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola
konflik secara kreatif.

16
2. Konflik laten
Sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat
ditangani secara efektif.
3. Konflik terbuka
Konflik yang berakar dalam dan sangat nyata dan memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik di permukaan
Memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena
kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan
meningkatkan komunikasi.

Berdasarkan level permasalahnnya, terdapat dua jenis konflik yaitu vertikal;
dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan
oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makromikronya lebih cepat dapat diketahui, sedangkan konflik horizontal terjadi
antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan
makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk
menentukan siapa lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

E. Konflik Hak Kelola Hutan di Taman Hutan Raya WAR

Masalah penguasaan sumberdaya alam di Indonesia termasuk hutan sebagai
aset ekonomi dan sosial masyarakat pedesaan memang telah lama menyita
perhatian berbagai pihak. Tekanan terhadap hutan akan meningkat karena pada
umumnya penguasaan lahan hanya berfokus pada pihak-pihak tertentu saja.

17
Hal ini menyebabkan masyarakat miskin yang tidak memiliki lahan mencoba
mempertahankan hidupnya dengan menggarap lahan hutan.

Konflik pertanahan lahan hutan akan sangat mudah berubah menjadi konflik
yang penuh kekerasan karena tanah adalah suatu sumberdaya alam yang tidak
dapat diperbaharui. Setiap konflik akan terjadi pola, yaitu keuntungan bagi
stakeholder yang satu otomatis merugikan bagi stakeholder lainnya (Karsodi,
2007).

Stakeholder adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik karena mereka
mempunyai kepentingan dengan sumberdaya tersebut. Dalam memahami dan
menilai konflik yang terjadi, ada empat jenis stakeholder yang diperkirakan
(Karsodi, 2007) yaitu:
1. Mereka yang menuntut untuk memperoleh perlindungan hukum
2. Mereka yang mempunyai kunci kekuatan politik
3. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan dapat menjegal kesepakatan yang
sudah dirundingkan
4. Mereka yang mempunyai tuntutan moral untuk mendapatkan simpati dari
publik.

Persoalan sistem penguasaan tanah di Indonesia memang sarat ambiguitas yang
cukup banyak menimbulkan konflik, contohnya pada kedua Undang-Undang
yang mengatur sistem penguasaan tanah yaitu Undang Undang Pokok Agraria
(UUPA) dan Undang Undang Pokok Kehutanan (UUPK). Secara sepintas
kedua UU ini berjalan seiring, namun terdapat perbedaan yang signifikan.
Apabila UUPA dengan jelas menyebutkan hak-hak masyarakat terhadap hutan

18
maka UUPK tidak menyebutkan tentang hak-hak masyarakat, dengan kata lain
UUPK maupun UUTK tidak mengakui hak masyarakat untuk membuka hutan
(Galudra et al., 2006). Konflik seperti inilah yang saat ini terjadi di kawasan
Tahura WAR. Saat pemerintah mengeluarkan Maklumat Residen Lampung
No.15 Tahun 1947 pada tanggal 14 Juni 1947 yang memberikan izin disertai
dengan perjanjian untuk pembukaan hutan larangan pada akhir tahun 1947 dan
tercatat 782 ha lahan dibuka dengan izin ini. Kemudian pada tanggal 16
September 1964 dikeluarkan instruksi Kepala Dinas Kehutanan Lampung No.7
Tahun 1964. Ketetapan ini mengharuskan penduduk mengajukan izin
pembukaan kawasan hutan dan penduduk yang memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dapat memperoleh hak tanah. Instruksi ini dikeluarkan ketika
Kepala Dinas tengah berkunjung ke Gunung Tanggamus dalam rangka
menyelesaikan kericuhan antara organisasi petani dan petugas kehutanan.

Kemudian Kepala Dinas Kehutanan mengeluarkan pengumuman tentang izin
Tumpang Sari, pengumuman No.250/V/5 tahun 1968 itu memberikan izin
kepada penduduk untuk menanam tanaman tumpang sari (palawija) di dalam
kawasan hutan. Selaras dengan pengumuman di atas, Kepala Dinas Kehutanan
mengeluarkan Instruksi No. 310/V/5 Tahun 1968 tentang reboisasi yang juga
memberikan izin penduduk untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan syarat
melakukan penanaman tanaman kehutanan. Namun kemudian pada tahun
1975 muncullah SK Kepala Dinas Kehutanan No. 1691/I/3/75 tentang
pencabutan (pembatalan) semua izin pembukaan lahan hutan negara, yang
secara sepihak menyatakan izin-izin yang telah dikeluarkan oleh Dinas

19
Kehutanan kepada penduduk tidak berlaku lagi dan tidak sah. Sejak saat itu
tidak ada lagi izin-izin yang diberikan kepada penduduk (Kusworo, 2000)

Tabel 1. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan
status Tahura WAR
No
Kebijakan
1 Maklumat Residen Lampung No.15
2

Instruksi Kepala Dinas Kehutanan
Lampung No.7

3

Pengumuman izin Tumpang Sari No.
250/V/5

4

Instruksi No.310/V/5

5

SK Kepala Dinas Kehutanan
No.1691/I/3/75

Tahun
Keterangan
1947 Izin pembukaan 782 ha area hutan
larangan di Lampung.
1964 Penduduk diharuskan mengajukan
izin pembukaan kawasan untuk
memperoleh hak tanah.
1968 Pemberian izin kepada penduduk
untuk menanam palawija dalam
kawasan hutan
1968 Reboisasi dan pemberian izin
untuk memanfaatkan hutan dengan
tanaman kehutanan
1975 Pembatalan semua izin pembukaan
lahan hutan negara

Sumber: Kusworo, 2000
Hal di atas menunjukkan bahwa Propinsi Lampung seringkali dijadikan contoh
terbaik dari buruknya kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia sekaligus
menjadi ajang uji coba sebagian kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Kerusakan hutan yang terus berlangsung serta konflik kepentingan dan
tatabatas antara pemerintah dan masyarakat, merupakan sebagian gambaran
dari kompleksitas persoalan pengelolaan hutan di Provinsi Lampung.
Pengakuan terhadap status dan kepemilikan lahan (tanah negara versus tanah
milik/marga) dan akses pengelolaan merupakan tema konflik antara
masyarakat setempat dengan kehutanan. Konflik-konflik seperti ini terjadi di
seluruh kawasan hutan di Lampung.
Konflik penguasaan dan pengelolaan lahan kawasan hutan antara pemerintah
dengan masyarakat di Lampung merupakan sejarah lama yang terus
berlangsung hingga saat ini. Setelah merdeka, animo masyarakat untuk

20
membuka kawasan hutan larangan meningkat karena menganggap kawasan
hutan yang ditinggalkan oleh Belanda merupakan daerah tak bertuan.
Pembukaan hutan secara liar untuk keperluan berladang dan berkebun pada
periode tahun 1950 – 1960 begitu menonjol bahkan dimanfaatkan secara politis
oleh organisasi politik tertentu pada kurun waktu tersebut. Konflik tak
terhindarkan ketika petugas kehutanan yang berada di lapangan mencoba
melakukan pengamanan kawasan hutan dan menertibkan pembukaan hutan
secara liar. Cikal bakal konflik penguasaan dan pengelolaan tersebut berlanjut
hingga sekarang. Kuantitas dan kualitas konflik kehutanan Lampung selalu
bertambah dan meningkat setiap tahunnya (Watala, 2004).

F. Pengelolaan Konflik

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 dalam
Hasanah, 2008) yaitu:
1. Langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masingmasing pihak yang bersengketa bertindak menyelesaikan sendiri.
2. Mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak
yang bersengketa diwakili pihak lain seperti pengacara, teman, kolega dan
asosiasi resmi.
3. Menggunakan pihak ketiga (third person) dimana peran pihak ketiga
berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas permintaan kedua belah pihak
yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya.

21
Prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik tersebut yaitu:
1. Lumping it
Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk
melakukan tuntutannya. Dengan kata lain, isu yang dilontarkan diabaikan
(simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.
2. Avoidance or exit
Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya
adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu
pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.
3. Coercion
Dimana satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau
kepentingannya pada pihak yang lain.
4. Negotiation
Dimana kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama
(mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.
5. Conciliation
Upaya menyatukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersamasama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.
6. Mediation
Dimana pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk
membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

22
7. Arbiration
Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak
ketiga dan kedua belah pihak sudah menyetujui sebelumnya untuk
menerima setiap keputusan pihak ketiga.
8. Adjudication
Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk
mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan
yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak
bersengketa.

Pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan
dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat yang terlibat langsung. Harapannya adalah
sesuai aspirasi, hak dan kepentingan semua pihak (stakeholder) sehingga tidak
akan menjadi sengketa. Adapun beberapa cara lainnya yang dapat digunakan
untuk mengelola dan memecahkan konflik-konflik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa alternatif cara dalam mengelola konflik
Cara
Konvensional
Penelitian/
pengkajian/
survey

Cara
pasif/sepihak
Menghindari
konflik

Cara
partisipatif
Perencanaan
partisipatif

Cara kooperatif Cara
konfrontatif
Aksi sosial
Tawar
menawar

Dengar
pendapat
umum/ temu
wicara

Penerimaan
secara pasif

Arbitrase/
Pemecahan
masalah secara peleraian
partisipatif

Jajag pendapat

Pengabaian/
bersikap tidak
peduli

perundingan

Demonstrasi

Sabotase

23
Cara
Konvensional

Cara
pasif/sepihak
Penyelesaian
sepihak

Cara
partisipatif

Cara kooperatif Cara
konfrontatif
Perundingan
Kekerasan
dengan mediasi
Penggunaan
media massa
Ligitasi
Aksi legislatif
melalui
perwakilan

Sumber : Anwar (2000) dalam Hasanah (2008)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 di Taman Hutan Raya
Wan Abdul Rahman. Tepatnya di wilayah kelola Sistem Hutan Kerakyatan
(SHK) Lestari desa Hurun Kecamatan Padang Cermin dan di wilayah kelola
Gabungan Kelompok Pengelola Hutan dan Pelestari Hutan (GKPPH) di Desa
Sumber Agung Kecamatan Kemiling

B. Objek dan Alat Penelitian

Objek penelitian ini adalah anggota kelompok SHK Lestari Desa Hurun dan
GKPPH Sumber Agung yang memanfaatkan lahan kawasan Tahura WAR
sebagai sumber mata pencaharian. Pengambilan data dalam objek penelitian
ini mengikutsertakan pemerintah terkait seperti Dinas Kehutanan Propinsi
Lampung dan Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR dan LSM
sebagai responden. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
panduan wawancara atau kuisioner, alat tulis, kamera, kalkulator, komputer
dan peralatan lainnya yang mendukung.

25
C. Batasan Penelitian

1. Penelitian ini hanya mengidentifikasi konflik status hak kelola yang terjadi
antara pemerintah dan masyarakat di wilayah Tahura WAR sebagai bahan
pertimbangan bagi pihak yang berwenang dalam membuat kebijakan
pengelolaan Tahura WAR.
2. Tahura adalah kawasan pelestarian alam yang dibangun untuk tujuan
koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan
atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan
rekreasi.
3. Hutan Lindung adalah yaitu kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan
memelihara kesuburan tanah.
4. Hak pengelolaan yaitu hak untuk mengelola sumberdaya hutan di sekitar
pemukiman penduduk setempat dengan cara yang sesuai dengan tatanilai
dan pengetahuan masyarakat setempat.
5. Konflik merupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan
sumberdaya.
6. Status hak kelola yaitu kejelasan status untuk menguasai tanah sebagai
lahan pertanian dan sumber daya alam lainnya yang diakui oleh pihak lain
dan dilindungi oleh hukum.

26
D. Jenis Data

Data yang dikumpulkan antara lain:
a. Data primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi wawancara dan diskusi dengan
stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah Tahura, yang mencakup, status lahan dan kepastian akses kelola,
konflik yang telah terjadi di Tahura WAR, persepsi dan keinginan
masyarakat dalam pengelolaan Tahura WAR.

b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti kantor
Kecamatan, Kelurahan, Dinas Kehutanan, dan studi kepustakaan lainnya.
Data sekunder ini berupa data yang berhubungan sejarah wilayah dan apa
saja yang mempengaruhi kepastian akses kelola serta data lain yang
mendukung.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode Triangulasi
yaitu suatu prosedur pengumpulan data dengan menggunakan teknik
observasi, wawancara dan kajian data sekunder untuk informasi independen
dan dapat memperoleh kesimpulan yang relatif lebih akurat tentang objek
yang diteliti. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Focus Group
Discussion (FGD) sebagai teknik pengumpulan data, teknik ini umum
dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah

27
tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini dapat mengungkap
pemaknaan dari satu kelompok berdasarkan hasil diskusi terpusat pada suatu
permasalahan tertentu. Focus Group Discussion (FGD) juga dimaksudkan
untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap
fokus masalah yang sedang diteliti. Ciri khas metode FGD yang tidak dimiliki
oleh metode riset kualitatif lain adalah wawancara mendalam atau observasi
yang keduanya merupakan sebuah interaksi (Quartin, 2010). Pengumpulan
data juga dilakukan dengan studi pustaka yang berkaitan dengan penelitian
ini, dengan menggunakan teknik mengumpulkan berbagai data penunjang
penelitian yang diperoleh dari studi literatur dan instansi-instansi terkait.

F. Teknik pengambilan sampel
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel yang bertitik tolak pada penilaian pribadi peneliti bahwa
sampel-sampel yang diteliti telah mewakili populasi yang ada (Sugiarto et al.,
2003). Dari sekian banyak desa yang berada di dalam kawasan Tahura WAR
dipilih 2 (dua) desa secara purposive yaitu desa yang berada dalam wilayah
kelola SHK Lestari dan GKPPH Sumber Agung karena di daerah tersebut
sering terjadi konflik sehingga telah mewakili populasi yang ada. Berikut
jumlah KK pada desa yang akan diteliti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) pada desa-desa yang dijadikan objek
penelitian
No
Nama Kelompok
Nama Desa
1 GKPPH
Sumber Agung
2 SHK Lestari
Hurun
Jumlah
Sumber : Data Primer (wawancara), 2012

Jumlah KK
423 KK
363 KK
786 KK

28
Jumlah Sampel (n) dihitung berdasarkan rumus Slovin (1960) dalam
Consuelo, et al. (1993) sebagai berikut :

n=

N
1 + Ne 2

n=

786

1 + 786(10% )
n = 89 KK

2

= 88,71332

Keterangan :
n
N
e (10%)

= ukuran sampel
= ukuran populasi
= nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan atau persen
kelongggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel.

Karena setiap populasi yang berasal dari kedua desa itu berbeda, dan memiliki
jumlah sub populasi yang berbeda, maka untuk mendapatkan sampel dari
masing-masing sub populasi digunakan rumus sebagai berikut (Walpole,
1993).
ni =
Keterangan :
n = banyaknya sampel keseluruhan
ni = banyaknya sampel ke-i
N = banyaknya populasi keseluruhan
Ni = banyaknya populasi ke-i

Berdasarkan rumus tersebut dapat dicari sub populasi untuk setiap desa,
dengan perhitungan sebagai berikut :
1. ni GKPPH = 423 x 89
786
= 47.896
2. ni SHK Lestari = 363 x 89
786
= 41.10

48 KK

41 KK

29
Berdasarkan perhitungan maka diperoleh responden dari Kelompok Tani
GKPPH sebanyak 48 KK dan SHK Lestari sebanyak 41 KK.

Penentuan responden yang berasal dari masyarakat dilakukan dengan metode
purposive sampling dan kategorisasi key person, yaitu dengan pendekatan atau
prosedur untuk memahami suatu sistem dengan cara mengindentifikasikan
faktor-faktor kunci, seperti tokoh masyarakat, tokoh adat, ketua kelompok,
dan ketua sub kelompok (Sugiarto et al., 2003). Metode ini dilakukan dalam
menentukan responden yang menjadi tokoh kunci dalam pelaksanaan FGD
yang dilakukan bersama masyarakat agar data yang didapat lebih akurat.
Dalam hal ini, penentuan sampel dipilih satu atau dua orang yang merupakan
tokoh kunci dalam penelitian, apabila dengan dua orang tersebut informasi
yang diperoleh belum lengkap, maka peneliti mencari orang lain yang
dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua
orang sebelumnya begitu seterusnya sampai jumlah data sesuai dengan yang
dibutuhkan (Sugiyono, 2009).

Peneliti memilih responden dari pemerintah daerah dalam hal ini responden
yang dipilih adalah Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Kepala
Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Tahura WAR serta responden dari
LSM yaitu Kawan Tani karena berkaitan l