Tinjauan Hukum Mengenai Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan Dengan Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Tas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang P

TINJAUAN HUKUM MENGENAI KEWENANGAN MENGADILI ATAS
KASUS ILLEGAL FISHING BERDASARKAN TRACK RECORD DATA VMS
(VESSEL MONITORING SYSTEM) DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANGUNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
LEGAL VIEW OF THE AUTHORITIES TO PROSECUTE THE CASES OF
ILLEGAL FISHING ON THE BASIS OF VESSEL MONITORING SYSTEM
DATA RECORDS REGARDING WITH LAW NUMBER 45/2009 ABOUT
CHANGES LAW NUMBER 31/2004 ABOUT FISHERIES JUNCTO LAW
NUMBER 8/1981 ABOUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA
PIDANA JUNCTO LAW NUMBER 11/2008 ABOUT INFORMATION AND
ELECTRONIC TRANSACTIONS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Ujian Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Di
Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

Oleh:
Rr. Novaryana Laras Dewi Prasasti
3. 16. 06. 003

Dibawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. R. Otje Salman Soemadiningrat, SH.
NIP 4127. 7000. 009

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
2010

TINJAUAN HUKUM MENGENAI KEWENANGAN MENGADILI ATAS KASUS
ILLEGAL FISHING BERDASARKAN TRACK RECORD DATA VMS (VESSEL
MONITORING SYSTEM) DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 45
TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31
TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK
ABSTRAK
Rr. Novaryana Laras Dewi Prasasti


Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama kekayaan
lautnya yang luar biasa. Namun, selama ini kekayaan laut tersebut belum dikelola secara baik,
sehingga hasil laut belum banyak ikut membantu mensejahterakan rakyat. Praktek illegal fishing
adalah kejahatan terorganisir lintas nasional, telah banyak kerugian bagi Indonesia. Berbagai
upaya telah dan akan terus dilaksanakan dalam rangka penangkapan illegal fishing, dengan
penambahan sarana dan prasarana pengendalian upaya kerjasama dengan berbagai penegak
hukum terkait, seperti TNI AL, Polisi dan Peradilan. Untuk itulah diperlukan langkah-langkah
untuk memfungsikan hukum pidana dalam tindak pidana perikanan guna menanggulangi
penangkapan ikan illegal yang terjadi. Berdasarkan kondisi tersebut dilakukan upaya
pengawasan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan melalui penerapan sistem
monitoring, controlling, and surveilance, yang terdiri dari pemasangan transmitter dalam rangka
pengembangan vessel monitoring system. Dengan adanya vessel monitoring system dapat
diakomodasi untuk kasus illegal fishing. Oleh karena itu timbul beberapa masalah antara lain
Bagaimana Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur VMS (Vessel Monitoring System) sebagai
salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi di bidang kelautan dan perikanan serta
Bagaimana kewenangan mengadili Pengadilan Perikanan atas kasus Illegal Fishing yang
menggunakan track record data VMS (Vessel Monitoring System) sebagai alat bukti.
Untuk mencapai tujuan diatas, maka penulis melakukan penelitian yang bersifat

deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif. Data hasil
penelitian dianalisis secara yuridis kualitatif, yang mana peraturan perundang-undangan yang
satu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta
memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan, dan untuk mencapai kepastian hukum.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa track record data VMS merupakan
salah satu teknologi yang diupayakan sebagai pencegahan dalam perlindungan terhadap
sumberdaya kelautan dan perikanan negara Indonesia, dimana dengan adanya VMS yang
diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Track record data VMS dapat digunakan
sebagai dasar menentukan kewenangan mengadili suatu kasus tindak pidana perikanan yang
terjadi di Indonesia. Mengenai kewenangan mengadili Pengadilan Perikanan kasus illegal
fishing dapat didasarkan pada track record data VMS dengan didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan dan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana
track tersebut berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

v

LEGAL VIEW OF THE AUTHORITIES TO PROSECUTE THE CASES OF ILLEGAL
FISHING ON THE BASIS OF VESSEL MONITORING SYSTEM DATA RECORDS
REGARDING WITH LAW NUMBER 45/2009 ABOUT CHANGES LAW NUMBER 31/2004

ABOUT FISHERIES JUNCTO LAW NUMBER 8/1981 ABOUT KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO LAW NUMBER 11/2008 ABOUT INFORMATION AND
ELECTRONIC TRANSACTIONS
ABSTRACT
Rr. Novaryana Laras Dewi Prasasti
Indonesia is a country rich in natural resources, particularly marine extraordinary
wealth.However, during this ocean resources are not managed well, so seafood is not much help to the
welfare of the people. Theft of fishing or illegal fishing has yet to be addressed and cost the state tens of
trillions rupiah. Fish theft is not only violate international agreements on marine realm. However, it also
weakens the sovereignty of Indonesia and the sustainability of national fishery resources. Illegal fishing
practices is a cross-national organized crime, has many disadvantages to Indonesia.Various efforts
have been and will continue to be implemented in order to arrest illegal fishing, with the addition of
facilities and infrastructure control efforts in cooperation with various law enforcement related, such as
Navy, Police and Justice. For this reason the steps necessary for proper functioning of the criminal law
in order to cope with fishing offenses of illegal fishing going on. Under such conditions an attempt to
control surveillance of maritime and fishery resources through the implementation of monitoring
systems, controlling, and surveillance, which consists of installing the transmitter in order to develop a
vessel monitoring system. With the vessel monitoring system can be accommodated to the case of
illegal fishing. Therefore, it raises some problems, among others, How the Law Number 45 year 2009
regarding Amendment on Law Number 31 Year 2004 About the amended Fisheries juncto Law Number

11 Year 2008 About the Information and Electronic Transaction set the VMS (Vessel Monitoring System)
as one a form of advancement in information technology in the field of maritime affairs and fisheries as
well as authority to judge on the case How Illegal Fishing track record data using VMS (Vessel
Monitoring System) as a evidence.
To achieve the objectives, the writer has a descriptive analytical study using a normative
juridical approach. Data were analyzed by juridical qualitative, in which laws and regulations that one
must not conflict with other laws and regulations, and considering the hierarchy of legislation, and to
achieve legal certainty.
Based on this research track record shows that VMS data is one of the technologies being
undertaken as a precaution in the protection of marine resources and fisheries of Indonesia, where the
existence of VMS as stipulated in Article 7 of Law Number 45 year 2009 regarding amendment of the
Law number 31 of 2004 on Fisheries, hence all the activities of fisheries vessels conducting fishing in
Indonesian waters can be monitored so that there will be no abuse of the activities specified in the
license issued by P2SDKP. Provisions regarding the use of digital evidence in the form of electronic
information (track record VMS data) set out in legislation in Indonesia is regulated in the legislation in
Indonesia, as stipulated in Article 1 paragraph (1) and paragraph (3) of Law Number 11 year 2008
concerning Electronic Transactions and Information and Article 5 of Law Number 11 year 2008 about
the Information and Electronic transaction concerning electronic evidence. Track record VMS data can
be used as the basis for determining the authority to judge a criminal case that occurred in the
Indonesian fisheries. Regarding the authority to judge cases of illegal fishing could be based on track

record with VMS data is based on Law Number 45 year 2009 regarding amendment of the Law number
31 year 2004 on Fisheries and the Law Number 48 of 2009 on Judicial Power, which tracks form of
electronic information and / or electronic documents. So in order to determine which court the authority
to prosecute cases of illegal fishing in can be seen from the tracks that are recorded in the VMS
transmitter at the time of the arrest of vessels caught fishing.

vi

DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Maksud dan Tujuan

D. Kegunaan Penulisan
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode Penelitian
BAB II
Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel
Monitoring System) dan Illegal Fishing
A. Dasar Hukum VMS (Vessel Monitoring
System)
B. Aspek Hukum Illegal Fishing
C. Ketentuan Hukum Tentang Kewenang
Mengadili Pengadilan Perikanan
BAB III Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal
Fishing Berdasarkan Track Record Data
VMS (Vessel Monitoring System)
A. Cara kerja VMS (Vessel Monitoring
System)
B. Penggunaan Track Record Data VMS
(Vessel Monitoring System) Sebagai Alat
Bukti Dalam Peradilan
BAB IV

Analisis Hukum Mengenai Kewenangan
Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing
Berdasarkan Track Rcord Data VMS
(Vessel Monitoring System) Dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 Tentang Perikanan Juncto UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik

v

i
v
1
5
6
6
7

15

18
26
43

49

76

vi

BAB V

A. Pengaturan
Penggunaan
Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan/(Vessel
Monitoring System /VMS) dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

2004 Tentang Perikanan Juncto UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
B. Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal
Fishing Berdasarkan Track Record Data
VMS
(Vessel
Monitoring
System)
dihubungkan dengan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana Juncto UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
B. Saran

81


87
94
95

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan Negara
kepulauan terbesar di dunia, secara geografis berada pada batas dua
samudera Pasifik dan Hindia Belanda dan terletak diantara dua benua
Australia dan Asia dan memiliki kurang lebih 18. 110 pulau dengan garis
pantai sepanjang 108.000 km, berdasarkan Konvensi Hukum Laut
(UNCLOS) 1982, dengan potensi fisik sebesar ini, Indonesia dikaruniai
pula dengan sumberdaya kelautan dan perikanan yang besar.
Bagi bangsa Indonesia, yang mendiami negara kepulauan,
kepentingan nasional di dan lewat laut adalah satu, terjaminnya stabilitas
keamanan di perairan yurisdiksi nasional; dua, terjaminnya keamanan
garis perhubungan laut antar pulau, antarwilayah, antarnegara dan alur
laut kepulauan Indonesia; tiga, terjaminnya keamanan sumber hayati
dan nonhayati serta SDA laut lainnya untuk kesejahteraan bangsa;
empat, terpelihara dan terjaganya lingkungan laut dari tindakan yang
mengakibatkan kerusakan ekosistem kelautan; lima, stabilitas kawasan
area kepentingan strategis yang berbatasan dengan negara-negara
tetangga; enam,

terjaminnya

keamanan

1

kawasan

ZEE

Indonesia;

2

tujuh, meningkatnya

kemampuan

industri

jasa

maritim

untuk

mendukung upaya pertahanan negara di laut.1
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki 17.504 pulau
besar maupun kecil dan wilayah laut yang teramat luas dengan
bentangan pantai sepanjang 81.000 km, idealnya Indonesia mempunyai
angkatan perang dengan sistem persenjataan canggih dan mutakhir.
Keberadaan ankatan bersenjata yang kuat mampu mendatangkan efek
tangkal (deterren effect), setidaknya pada negara tetangga. Dalam upaya
menjaga perbatasan (maritim) nasionalnya, Indonesia juga membutuhkan
suatu armada pertahanan laut yang memadai. Eksistensi Indonesia
sebagai negara maritim hanya bisa ditunjukkan bila Indonesia memiliki
armada angkatan laut yang besar dan kuat untuk menguasai dan
mengamankan wilayah lautnya terutama yang berbatasan dengan negara
tetangga (Philipina, Vietnam, Cina, Thailand, Papua New Guinea, Timor
Leste, Malaysia dan Pulau Kepulauan Fiji).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam,
terutama kekayaan lautnya yang luar biasa. Namun, selama ini kekayaan
laut tersebut belum dikelola secara

baik, sehingga hasil laut belum

banyak ikut membantu mensejahterakan rakyat. Jumlah kerugian negara
akibat illegal, unreported, unregualted (IUU) fishing sangat besar dilihat
dari nilai ekonomi maupun kelestarian sumber daya dan telah menjadi isu

1

Buku Putih Politik Luar Negeri Indonesia (Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
2003), hlm 8

3

global dan menjadi perhatian dunia internasional.2 Bahkan ada indikasi
kekayaan laut Indonesia dicuri pihak asing hingga puluhan triliun rupiah.
Pencurian ikan atau illegal fihing hingga kini belum bisa diatasi
dan merugikan negara puluhan triliun rupiah. Koalisi Rakyat Untuk
Keadilan Perikanan (KIARA), dalam catatan sepanjang 2005-2008,
terdapat sekitar 800 kasus kejahatan perikanan yang dilakukan oleh
kapal asing di perairan Indonesia. Akibat kejahatan perikanan tersebut,
dalam satu tahun negara dirugikan Rp 30 triliun.3 Pencurian ikan ini tak
hanya melanggar kesepakatan internasional di ranah kelautan. Namun,
juga melemahkan kedaulatan Indonesia dan keberlanjutan sumberdaya
perikanan nasional.
Pemerintah dalam rangka penanggulangan pencurian ikan (illegal
fishing), telah melakukan upaya pengawasan pengendalian sumberdaya
kelautan dan perikanan melalui penerapan sistem monitoring, controlling,
and surveilance, yang terdiri dari pemasangan transmitter dalam rangka
pengembangan vessel monitoring system dengan sasaran kapal
perikanan Indonesia yang berukuran lebih dari 60 GT dan seluruh kapal
perikanan asing. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan, saat
ini telah terpasang sebanyak 1.439 buah transmitter, pembangunan pos
pengawas dan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Pengawasan di 5
lokasi yaitu Belawan, Jakarta, Pontianak, Bitung dan Tual dan kerjasama
operasional pengawasan dengan TNI AL dan Polri serta operasi
2

Refleksi 2008 & Outlook 2009 (Direktorat Jenderal Pengawasan
dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan Perikanan, 2008). hlm 1
3
Mukhtar, Illegal Fishing, http://mukhtar-api.blogspot.com, diakses
pada tanggal 13 Februari 2010, pkl 10.00 WIB

4

pengawasan oleh kapal pengawas Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP).4 Selain itu telah dilakukan kerjasama operasi di laut dengan
Bakorkamla (Badan Koordinasi Keamanan Laut).
Selanjutnya, guna mendukung kendali operasional telah dibangun
sistem operasional yang menjadikan jaringan yang dapat diakses secara
dasing (on-line) di seluruh jajaran dengan Markas Besar. Hal tersebut
juga

didukung

pembangunan

manajemen

informasi

sistem

yang

memungkinkan penyampaian data secara waktu nyata (real time).
Seluruh jaringan dapat dikendalikan dari satu ruangan kendali pusat krisis
(crisis centre) di Markas Besar dan terhubung ke seluruh kepolisian
dalam daerah hukum Kepolisian Daerah (Polda) secara dasing (on-line),
bahkan dapat terhubung dengan tempat kejadian perkara dengan sistem
komunikasi bergerak.
Salah satu contoh kasus adalah penanganan dan penyelesaian
perkara illegal fishing yang dilakukan oleh terdakwa Xiao Zuo Jin
warganegara Cina dari Kapal MV Fuan Yuan Yu F68, dimana kejahatan
yang dilakukannya termasuk dalam tindak pidana illegal fishing,
selanjutnya perkara ini disidangkan pada Pengadilan Negeri Tual.
Perkara ini disidangkan tanpa hadirnya terdakwa di pengadilan
(dilaksanakan peradilan in absensia), kemudian menghasilkan keputusan
in absensia bernomor 18/ Pid.B.PRKN/2008/PNTL.
Apabila kita cermati contoh kasus ini, perkara tindak pidana illegal
fishing

disidangkan

tanpa

hadirnya

terdakwa

dan

menghasilkan

keputusan secara in absensia, ada kemungkinan akan muncul anggapan
4

Loc. Cit.

5

bahwa peradilan telah berbuat sewenang-wenang terhadap terdakwa
dengan tidak memperhatikan hak asasi manusia (hak-hak tersangka dan
terdakwa), baik dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan seperti yang
tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dengan demikian tidak menutup kemungkinan ada pihak yang
tidak puas terhadap keputusan tersebut, dimana kejahatan illegal fishing
yang nyata-nyata telah menimbulkan kerugian besar terhadap rusaknya
biota laut, menyengsarakan para nelayan serta telah melanggar
kedaulatan Indonesia dengan disidangkan tanpa hadirnya terdakwa.
Tertarik akan masalah tersebut diatas maka penulis mencoba
mengkaji dan menuangkan dalam karya ilmiah berbentuk Penulisan
Hukum

dengan

mengambil

judul

:

Tinjauan

Hukum

Mengenai

Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track
Record Data VMS (Vessel Monitoring System) Dihubungkan Dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, ada beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana

Undang-Undang

Nomor

45

Tahun

2009

tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

6

Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur VMS (Vessel Monitoring
System) sebagai salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi di
bidang kelautan dan perikanan?
2. Bagaimana kewenangan mengadili dari Pengadilan atas kasus Illegal
Fishing yang menggunakan track record data VMS (Vessel Monitoring
System) sebagai alat bukti?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian dari penulisan hukum ini
adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Undang-Undang 45 Tahun 2009
tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur VMS (Vessel
Monitoring System) sebagai salah satu bentuk kemajuan teknologi
informasi di bidang kelautan dan perikanan.
2. Untuk mengetahui kewenangan mengadili dari Pengadilan atas kasus
Illegal Fishing yang menggunakan track record data VMS (Vessel
Monitoring System) sebagai alat bukti.

D. Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan penulisan ini sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Penulisan

ini

diharapkan

dapat

mengembangkan

ilmu

pengetahuan hukum dan khususnya ilmu hukum pidana termasuk
kejahatan maupun pelanggaran dalam hal proses pembuktian pada

7

perkara illegal fishing dengan menggunakan VMS (Vessel Monitoring
System).
2. Secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran kepada yang berwenang
dalam rangka menyusun peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pembuktian menggunakan VMS (Vessel Monitoring
System) dalam perkara illegal fishing. Memberikan masukan kepada
para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, pengacara dan praktisi
hukum lainnya) guna memecahkan tindak pidana yang berkaitan
dengan teknologi informasi.

E. Kerangka Pemikiran
Dasar

yang

digunakan

untuk

penulisan

hukum

tentang

kewenangan mengadili dalam kasus illegal fishing yakni, pembukaan
alinea kedua dan alinea keempat, yang secara substansial mengandung
pokok pikiran tentang adil dan makmur serta kepastian hukum. Pada
dasarnya adil dan makmur mengarah kepada kebahagiaan seperti yang
dinyatakan oleh Haelfetius dan Beccaria tentang The great happiness for
The greateas number

(kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi

masyarakat seluas-luasnya). Dengan demikian kepastian hukum dibentuk
dalam suatu undang-undang seperti yang dianut sebagai positivisme
hukum, bahwa yang pasti hukumnya berbentuk undang-undang, karena
dipengaruhi oleh Jean Bodean tentang soft reality yang dikenal dengan
analitycal jurisprudence yang berisi positif law (undang-undang) dan
positif

morality

(bukan

undang-undang).

Selain

itu,

tidak

hanya

positivisme hukum saja, sociological jurisprudence pun menyatakan

8

bahwa hukum yang hidup baik yang tertulis maupun tidak tertulis,
sebagaimana yang dinyatakan oleh August Comte tentang Living Law
dan juga hukum itu harus murni yuridis sesuai yang dinyatakan oleh Hans
Kelsen

bahwa

perundang-undangan

yang

berlaku

betul-betul

dilaksanakan baik oleh eksekutif maupun yudikatif.
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, menyatakan bahwa :
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Berdasarkan hal diatas, segala perbuatan harus diatur oleh hukum
termasuk perbuatan yang merugikan dan mengganggu ketertiban umum
agar tercipta suasana dan kondisi yang aman, damai, dan tenteram.
Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 menyatakan bahwa :
segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum
dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada
kecualinya.
Persamaan di hadapan hukum atau equality before the law adalah
salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Saat ini era informasi,
asas persamaan di hadapan hukum juga mesti terkait dengan asas
publisitas di dalam hukum. Setiap orang yang dianggap tahu dengan
hukum, meskipun dia tidak pernah diajak merumuskan hukum yang
dibuat. Asas persamaan dihadapan hukum tidak dipandang sebagai
suatu barang (berbentuk konstruksi fiktif ) yang final. Asas ini harus dilihat
sebagai

suatu

cara

dalam

berhukum.

Dengan

demikian

dalam

9

pembuatan, pelaksanaan dan penegakan hukum juga mesti melihat
kembali struktur sosial dan ekonomi yang meliputi masyarakat.5
Bergulirnya waktu dan perkembangan jaman, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan di Negara Indonesia
semenjak 1918 sampai dengan sekarang ini merupakan warisan kolonial,
yang tentunya pada saat ini dirasakan kurang mampu mengakomodir
harapan masyarakat Indonesia tentang terwujudnya rasa keadilan bagi
masyarakat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rasa
keadilan tersebut, maka diterbitkanlah berbagai produk hukum nasional
berupa peraturan perundang-undangan diluar kitab undang-undang yang
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan rasa keadilan itu sendiri .
Salah satu bentuk produk hukum nasional diluar Kitab UndangUndang Hukum Pidana memiliki tujuan agar terciptanya serangkaian
peraturan perundang-undangan untuk pemenuhan kebutuhan akan rasa
keadilan bagi masyarakat itu sendiri. Ketentuan yang meliputi tindak
pidana illegal fishing yang sebelumnya diatur dalam beberapa konvensi
internasional. Dalam pembangunan terkait masalah kelautan Indonesia,
ketentuan-ketentuan

yang

terdapat

dalam

konvensi

Internasional

haruslah menjadi acuan. Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB
tentang hukum laut 1982 (United Nations Convention on Law of The Sea)
yang dikenal dengan sebutan UNCLOS 1982. Kemudian diratifikasi

5

Pramadya Khairul Awaludin Al-Madiuny, Ilmu Hukum,
http://blogwordpress.com, diakses pada tanggal 22 Desember 2009 , pkl
10.00 WIB

10

dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 sehingga dengan
demikian konvensi tersebut berlaku di Indonesia.
Tindak pidana illegal fishing berdasarkan asas legalitas (nullum
delictum noela poena sine pravea lege poenali) sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan :
Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas
ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang, yang ada
terdahulu daripada perbuatan itu.
dan juga asas lex specialis derogat lex generalis yang artinya bahwa
peraturan khusus mengesampingkan peraturan yang umum, sehingga
peraturan perundang-undangan tentang perikanan yang berlaku in
abstracto (secara materiil) dalam illegal fishing dapat diterapkan menjadi
in concreto terhadap perkara tindak pidana illegal fishing yang terjadi di
negara Indonesia.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, mengatur
hal-hal tertentu yang diharapkan sebagai upaya represif pemerintah untuk
mencegah

atau

menekan

terjadinya

illegal

fishing,

diantaranya

menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan mampu
mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan
teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan.
Hukum tidak boleh ketinggalan dalam proses pembangunan,
sebab pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya
konsepsi hukum yang mendorong dan mengalahkan pembangunan
sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum

11

yaitu

keadilan

kepentingan

yang

seimbang,

individu,

artinya

kepentingan

keseimbangan

masyarakat

dan

di

antara

kepentingan

penguasa.6
Praktek illegal fishing adalah kejahatan terorganisir lintas nasional,
telah banyak kerugian bagi Indonesia. Berbagai upaya telah dan akan
terus dilaksanakan dalam rangka penangkapan illegal fishing respon,
dengan penambahan sarana dan prasarana pengendalian upaya
kerjasama dengan berbagai penegak hukum terkait, seperti TNI AL, Polisi
dan Peradilan.
Secara spesifik ada beberapa jenis illegal fishing yang terjadi di
Indonesia terdiri dari penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan
dengan izin palsu, penangkapan ikan tidak dilaporkan di pelabuhan
pangkalan,

penangkapan

ikan

dengan

alat

tangkap

terlarang,

penangkapan ikan di area yang tidak sesuai izin, dan penangkapan ikan
dengan jenis alat tangkap yang tidak sesuai izin serta pelanggaran yang
dilakukan oleh kapal ikan asing sebagai suatu ancaman yang
menyebabkan

kerugian

negara.

Pembangunan

perikanan

harus

dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan yang
bertanggung jawab (dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF)).

Hal

ini

dimaksudkan

sebagai

upaya

untuk

menjamin

pengelolaan dan usaha perikanan yang lestari. Untuk pemberantasan
illegal fishing itu sendiri harus meningkatkan dan mengembangkan
sumber daya manusia dalam pengawasan secara kuantitas. Pada saat ini
6

Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2004,
hlm 159

12

Direktorat

Jenderal

Pengawasan

dan

Pengendalian

Sumberdaya

Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) telah mengembangkan sistem
monitoring, control dan surveilance (MCS). Salah satu komponen yang
dikembangkan dalam MCS adalah Sistem Pemantauan Kapal Perikanan/
Vessel Monitoring System (VMS). VMS adalah implementasi teknologi
informasi

tingkat

tinggi

untuk

mendukung

kegiatan

pengawasan

sumberdaya kelautan dan perikanan. Implementasi VMS dilaksanakan
melalui pemasangan transmitter pada kapal-kapal penangkap ikan agar
pergerakannnya dapat dipantau ketika melakukan operasi penangkapan
(posisi kapal, kecepatan kapal, jalur lintasan/ track dan waktu terjadinya
kegiatan perikanan perikanan yang terindikasi melakukan pelanggaran).
VMS diharapkan sebagai salah satu perangkat dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian penangkapan dan/ atau pengangkutan
ikan, melalui penjejakkan sehingga dapat memantau perilaku/ aktifitas
kapal-kapal perikanan yang sedang beroperasi.
Penanganan illegal fishing pada prinsipnya Penyidik PNS (PPNS)
Perikanan harus melakukan klarifikasi atau gelar perkara pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, hal ini merupakan
kewenangan dalam melakukan penelitian dan/ atau pengamatan PPNS
Perikanan untuk menemukan pelanggaran dan kejahatan tindak pidana
perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan yang menjadi dasar hukumnya.
Kewenangan mengadili dalam perkara pidana dapat dilihat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana dalam hal
kekuasaan mengadili, ada dua macam, yang biasa disebut juga

13

kompetensi, yaitu kompetensi mutlak (absolute kompetentie) dan
kompetensi

relatif

(relative

merupakan

kekuasaan

kompetentie).7

berdasarkan

Absolute

peraturan

hukum

kompetentie
mengenai

pembagian kekuasaan mengadili (attribute van rechtsmacht) kepada
suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan pada pengadilan
lain. Relative kompetentie merupakan kekuasaan berdasarkan peraturan
hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributive van
rechtsmacht) di antara satu macam (pengadilan-pengadilan negeri).
Ketentuan mengenai pembagian kekuasaan mengadili diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk mengetahui
tentang kompetensi relatif dalam perkara pidana diatur dalam pasal-pasal
84, 85 dan 86 dan untuk perkara illegal fishing diatur dalam UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam pasal 71 yang mengatur
Pengadilan Perikanan. Akan tetapi, perkara illegal fishing yang terjadi di
daerah hukum pengadilan perikanan yang masih dalam tahap penyidikan
atau penuntutan tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum
berlakunya undang-undang tentang perikanan. Pengadilan Perikanan
dalam kompetensi mutlak termasuk dalam bagian peradilan umum sesuai
dengan yurisdiksinya, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenai badan peradilan
yang berada di bawah kekuasaan kehakiman.

7

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm 106

14

Pada proses beracara dalam illegal fishing, ada bagian yang
harus diperhatikan saat pembuktian. Salah satunya adalah pencarian alat
atau barang bukti yang mungkin ada, harus dilakukan suatu tindakan
(due deligent) terhadap sistem komputer. Dengan adanya pemeriksaan
awal keabsahan suatu sistem komputer maka akan diperoleh jaminan
bahwa

sistem

tersebut

dapat

dikatakan

otentik

dan

dapat

dipertanggungjawabkan, yang diperlukan keterangan seorang ahli bukti
elektronik sebagaimana suatu alat bukti yang sah dan berdiri sendiri (real
evidence)

tentu

berjalan

sesuai

prosedur

yang

berlaku

(telah

dikalibrasikan dan diprogram), sehingga hasil print out dapat diterima
sebagai alat bukti.
VMS (Vessel Monitoring System)/ Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan merupakan salah satu bentuk sistem yang digunakan untuk
pengawasan dan pengendalian di bidang penangkapan dan/ atau
pengangkutan

ikan,

dengan

menggunakan

satelit

dan

peralatan

transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah
pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan atau aktifitas kapal
ikan berdasarkan posisi kapal yang terpantau di monitor Vessel
Monitoring System di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (Fisheries
Monitoring Center) di Jakarta atau di daerah Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Pengawasan.
Melihat kepada perkembangan teknologi, perubahan teknologi
berkembang dengan pesat dibandingkan dengan hukum itu sendiri.
Melalui perkembangan teknologi itu telah menimbulkan perubahan
masyarakat, baik dalam konteks cara berperilaku individu maupun

15

masyarakat itu sendiri. Fenomena ini hendaknya menjadi suatu tantangan
bagi kalangan hukum berkaitan dengan model pendekatan hukum yang
selama ini dilakukan.

F. Metode Penelitian
Metode

yang

digunakan

oleh

penulis

dalam

penyusunan

penulisan hukum ini sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis, yaitu suatu
metode penelitian yang dilakukan dengan cara melukiskan dan
menggambarkan fakta-fakta baik berupa data sekunder bahan
hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan alat bukti elektronik, data sekunder bahan hukum tersier
seperti data yang didapat melalui majalah, brosur dan kamus hukum.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, yaitu
suatu metode dimana hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaidah,
asas atau dogma-dogma.8 Tahapan ini dilakukan penafsiran hukum
gramatikal dari kata-kata peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan masalah kekuatan hukum track record data VMS
(Vessel Monitoring System) yang dijadikan sebagai alat bukti dalam
perkara pidana. Selain itu, adapula konstruksi hukum dan filsafat
hukum.
8

Hetty Hassanah, Penyusunan Penulisan Hukum Pada Fakultas
Hukum Unikom, disampaikan pada acara Up-Grading Refreshing
Course-Legal Research Methodology , Bandung, 10 Maret 2010, hlm. 4

16

3. Tahap Penelitian
Tahap penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dengan
cara mengambil data melalui literatur-literatur tertulis dan studi
lapangan melalui beberapa situs internet sebagai pelengkap studi
pustaka serta wawancara terstruktur kepada beberapa pihak-pihak
terkait .
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan data yang
diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku teks, hasil
penelitian, majalah, artikel dan lain-lain, dan studi kepustakaan (baik
melalui perpustakaan maupun situs internet) yang berhubungan
dengan track record data (VMS Vessel Monitoring System) sebagai
alat bukti dalam tindak pidana illegal fishing.
5. Metode Analisis Data
Data yang penulis peroleh, dianalisis secara yuridis kualitatif yaitu
peraturan perundang-undangan yang satu dan yang lain tidak boleh
saling bertentangan, memperhatikan hierarki peraturan perundangundangan sehingga dapat menjamin kepastian hukum.
6. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta.
Beralamat di Jalan Kyai Tapa, Grogol Jakarta Barat.
b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung.
Beralamat di Jalan Dipatiukur Bandung.
c. Perustakaan Fakultas Hukum Universitas Mathla ul Anwar Banten.

17

Beralamat di Jalan Raya Labuan KM. 23 Cikaliung Saketi,
Banten.
d. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia Bandung.
Beralamat di Jalan Dipatiukur 112-114 Bandung.
e. Pangkalan TNI-AL Kota Bandung.
Beralamat di Jalan Aria Jipang 8 Bandung.
f. Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pengawasan dan
Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP)
dan

Direktorat

Jenderal

Penanganan

dan

Pelanggaran

Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No 16 Jakarta Pusat.
g. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Jawa Barat.
Beralamat di Jalan Wastukencana Bandung.
h. POLDA Jabar.
Beralamat di Jalan Sukarno-Hatta Bandung.
i. Beberapa situs Internet:
a. http://www.dkp.go.id
b. http://mukhtar-api.blogspot.com

BAB II
Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring
System) dan Illegal Fishing

A. Dasar Hukum VMS (Vessel Monitoring System)
VMS (Vessel Monitoring System)/ Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan merupakan salah satu bentuk sistem yang digunakan untuk
pengawasan dan pengendalian di bidang penangkapan dan/atau
pengangkutan

ikan,

dengan

menggunakan

satelit

dan

peralatan

transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah
pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan atau aktifitas kapal
ikan berdasarkan posisi kapal yang terpantau di monitor Vessel
Monitoring System di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (Fisheries
Monitoring Center) di Jakarta atau di daerah Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Pengawasan.
Transmitter yang terpasang pada kapal perikanan memancarkan
data posisi kapal ke satelit sehingga dapat terpantau oleh satelit, diolah di
Processing Center, kemudian disampaikan ke Pusat Pemantauan Kapal
Perikanan (FMC), Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Jakarta. Selain data posisi kapal,
sebagai bahan analisa/evaluasi juga didapatkan informasi mengenai
kecepatan kapal, pola gerakan kapal dan rekaman data terdahulu
maupun near real time (mendekati saat terjadi). Sesuai ketentuan dalam
pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, maka setiap kapal
perikanan penangkap maupun pengangkut diwajibkan untuk memasang
18

19

transmitter VMS (Vessel Monitoring System), sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Peraturan
Menteri Nomor 5 tahun 2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dan
Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan, yang mengamanatkan kewajiban kapalkapal perikanan untuk memasang transmitter VMS (Vessel Monitoring
System).
Berkenaan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Nomor
5 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal
Perikanan, maka diwajibkan bagi kapal-kapal yang berukuran di atas 60
GT untuk memasang transmitter VMS (Vessel Monitoring System).
Penjabaran lebih lanjut tentang dasar hukum VMS (Vessel Monitoring
System), diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan
Atas

Undang-Undang

Nomor

31

tahun

2004

tentang

Perikanan pada Pasal 7 ayat 1 butir k Dalam mendukung
kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan
Sistem Pemantauan Kapal perikanan dan Pasal 7 ayat 2 butir
e

Setiap

orang

melakukan

usaha

dan/atau

kegiatan

pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan .
2. Keputusan Menteri Nomor 60 tahun 2001 tentang Penataan
Penggunaan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) pada Pasal 32 ayat 1 Kapal perikanan yang

20

diperoleh dengan cara usaha patungan, beli-angsur atau
lisensi, wajib memasang transmitter untuk kepentingan sistem
pemantauan kapal (Vessel Monitoring System/ VMS) .
3. Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap pada Pasal 88 ayat 1

Setiap kapal

penangkap ikan dan/ atau kapal pengangkut ikan berbendera
asing, wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau
sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System/ VMS). ,
ayat 2 Setiap kapal penangkap dan/ atau kapal pengangkut
ikan berbendera Indonesia berukuran lebih dari 30(tiga puluh)
GT wajib memasang dan mengaktifkan transmitter atau sistem
pemantauan kapal (Vessel Monitoring System/ VMS). , ayat 3
Pelaksanaan pemasangan atau pengaktifan transmitter atau
sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring System/ VMS)
sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilakukan sesuai
dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai
penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan .
4. Peraturan Menteri Nomor 3 tahun 2007 tentang Surat Laik
Operasi Kapal Perikanan pada Pasal 8 ayat 1 yang
menyatakan bahwa Persyaratan kelayakan teknis operasional
bagi kapal penangkap ikan meliputi keberadaan dan keaktifan
alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. , ayat
2

Bagi kapal perikanan yang dinyatakan tidak memenuhi

syarat administrasi dan kelayakan teknis operasional tidak
diterbitkan SLO .

21

5. Peraturan

Menteri

Nomor

5

tahun

2007

tentang

Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan pasal
11, pasal 12 dan pasal 13.
Pasal 11
(1) Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan
seluruh kapal perikanan asing wajib dilengkapi transmitter yang
diadakan sendiri oleh pengguna transmitter.
(2) Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT sampai dengan
kurang dari 100 GT dapat menggunakan transmitter milik negara
sepanjang masih tersedia.
Pasal 12
Kapal perikanan Indonesia berukuran diatas 30 GT sampai
dengan 60 GT wajib dilengkapi transmitter offline.
Pasal 13
Kapal perikanan Indonesia berukuran 60 GT keatas dan seluruh
kapal perikanan asing yang telah dilengkapi SIPI dan/ atau SIKPI
dapat dioperasionalkan apabila telah dilengkapi dengan Surat
Keterangan Aktivasi Transmitter.
Penyelenggaraan sistem pemantauan kapal perikanan memiliki
tujuan meningkatkan efektifitas pengelolaan sumberdaya ikan melalui
pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan; meningkatkan
efisiensi dan efektifitas pengelolaan usaha perikanan yang dilakukan oleh
perusahaan perikanan; meningkatkan ketaatan kapal perikanan terhadap
ketentuan

peraturan

perundang-undangan

yang

berlaku

serta

memperoleh data dan informasi kegiatan kapal perikanan dalam rangka
pengelolaan

sumberdaya

ikan

secara

bertanggung

jawab

dan

berkelanjutan. Kesemuanya ini dilaksanakan untuk menjaga dan
mengendalikan sumberdaya ikan agar dapat dimanfaatkan secara lestari
dan bertanggung jawab.

22

Keberadaan sistem pemantauan kapal perikanan, memiliki
manfaat bagi pemerintah Indonesia, dimana dapat melindungi Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dari kegiatan-kegiatan kapal
perikanan, melacak dan mengidentifikasi tindakan-tindakan illegal fishing,
dan dengan demikian menegakkan hukum Indonesia dan melindungi
kepentingan-kepentingan ekonomi. Manfaat selanjutnya dapat juga
menunjukkan penyebaran kapal-kapal di wilayah penangkapan ikan dan
membantu penegak hukum terkait untuk memeriksa apakah kapal-kapal
tersebut sungguh-sungguh beroperasi di areal penangkapan ikan yang
telah ditetapkan. Manfaatnya lainnya dapat pula memberikan informasi
segera mengenai posisi kapal-kapal yang meminta bantuan sehingga
dapat terlacak dan bereaksi secara cepat dan efektif dalam situasi-situasi
darurat, seperti perampokan atau kecelakaan-kecelakaan. Akan tetapi,
tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah Indonesia, bahwa dengan
adanya sistem pemantauan kapal perikanan bermanfaat pula bagi
pengusaha atau pemilik kapal, dimana dapat memanfaatkan informasi
dari Vessel Monitoring System untuk memantau keberadaan dan perilaku
kapal di laut melalui Website, serta keadaan darurat seperti pembajakan,
kebakaran, tenggelam dan lain-lain.
Para pengguna transmitter memiliki kewajiban sebagaimana yang
diatur dalam pasal 14, 15 dan 16 Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2007
tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan:
1. Mengaktifkan transmitter secara terus menerus dan membayar
air time.

23

2. Melaporkan hal-hal yang terkait dengan kapal dan/atau
transmitter dengan ketentuan batas waktu yang ditentukan.
3.

Menggunakan

transmitter

sesuai

fungsi

teknis

dan

komunikasi, memelihara lingkungan teknis transmitter dan
keutuhan segel transmitter.
4. Mematuhi petunjuk teknis pengoperasian transmitter dan
meminta izin memindahkan transmitter.
5.

Melakukan pemeriksaan dan pemeliharaan sesuai petunjuk
operasional yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan
dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.

Menurut Keputusan Presiden Nomor 54 tahun 2002 tentang
Usaha Perikanan, setiap aktifitas perikanan baik perikanan budidaya
maupun perikanan tangkap akan diatur secara tertib zona/wilayah
pengusahaannya. Sedangkan Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2003
tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan telah menyatakan kewajiban
memasang transponder bagi kapal-kapal baik untuk perpanjangan ijin
atau maupun untuk permohonan baru. Diharapkan adanya berbagai
ketentuan tersebut akan dapat tercipta suatu persaingan usaha yang
sehat dan dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Melihat luasnya
wilayah laut, panjang pantai dan ribuan pulau yang tersebar di seluruh
Indonesia, diperlukan sistem pemantauan kegiatan kapal-kapal yang
beroperasi di bawah kewenangan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(wilayah teritorial) maupun wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Keputusan ini tertuang pada Keputusan Menteri Nomor 29 tahun 2003
tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Penangkap Ikan.

24

Perkembangan

penanganan

illegal

fishing

yang

terjadi

di

Indonesia kini mempermudah kinerja pengawasan dan pengendalian
sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu hal yang mendukung
perkembangan tersebut yaitu dengan adanya VMS (Vessel Monitoring
System) sebagai implementasi teknologi informasi tingkat tinggi untuk
mendukung kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Implementasi VMS (Vessel Monitoring System) dilaksanakan melalui
pemasangan

transmitter

pada

kapal-kapal

penangkap

ikan

agar

pergerakannya dapat dipantau ketika melakukan operasi penangkapan.
Fungsi VMS (Vessel Monitoring System) itu sendiri memiliki fungsi dasar
dalam kaitannya dengan manajemen perikanan dalam hal pengelolaan
perikanan,

dimaksudkan

untuk

tujuan

penangkapan

ikan

yang

berkelanjutan, harmonis dan menguntungkan lewat bermacam-macam
metode.9
Metode yang digunakan biasanya pemberian ijin penangkapan
pada daerah tertentu, pembatasan alat tangkap, waktu penangkapan,
kuota pada penangkapan spesies tertentu dan lain-lain. Aplikasi utama
VMS (Vessel Monitoring System) adalah memberikan informasi posisi
kapal. Informasi tersebut dikirim dari alat yang terpasang di kapal untuk
interval waktu tertentu sehingga aktifitas tersebut diketahui. Dengan
kemudahan informasi dari aktifitas pergerakan kapal-kapal ikan tersebut,
mempermudah proses pembuktian terhadap illegal fishing yang terjadi di
Indonesia. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah
9

Laporan Antara, Evaluasi Implementasi Vessel Monitoring System,
Ditjen Pengawasan dan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan dan perikanan, Giwaci Consultant, Jakarta, 2009.hal 25

25

ia bersalah atau tidak. Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses
pembuktian

dilakukan

di

pengadilan

pada

tahap

pembuktian,

sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap
penyidikan.
Proses pembuktian mencakup tiga hal paling utama, yaitu sistem
pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Tidak ditemukan suatu
definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang
dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam pasal
184 ayat (1) KUHAP. Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk
membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
untuk itu terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pengaturan alat bukti secara umum diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP yaitu:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Proses pembuktian dalam kasus illegal fishing berdasarkan track
record data VMS (Vessel Monitoring System) didasari ketentuan Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa :
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Sementara itu, pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menegaskan bahwa:

26

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
Dikaitkan dengan kasus illegal fishing, pengaturan alat bukti
berupa informasi dan dokumen elektronik sangat diperlukan. Sehingga
dalam proses pembuktian, track record data VMS (Vessel Monitoring
System) dapat diungkapkan pada persidangan yang berlaku dalam
hukum acara di Indonesia.
Oleh karena itu pemasangan transmiter VMS pada kapal-kapal
perikanan dilaksanakan agar pergerakannya dapat dipantau ketika
melakukan operasi penangkapan dan pengangkutan (posisi kapal,
kecepatan kapal, jalur lintasan/tracking dan waktunya terjadi kegiatan
perikanan) yang terindikasi melakukan pelanggaran.

B. Aspek Hukum Illegal Fishing
Perkembangan perikanan tangkap di dunia yang meningkat terus
semenjak tahun 1950 mulai menunjukkan kelemahan pada akhir tahun
1980-an, hal mana ditandai dengan terlihatnya gejala overfishing
(penangkapan berlebihan) di beberapa bagian perairan dunia. Hal
tersebut mendorong FAO (Food and Agriculture Organization) untuk
memfasilitasi pertemuan ahli-ahli perikanan dunia dalam rangka upaya
bersama merumuskan acuan yang dapat dipakai sebagai pegangan
dalam pembangunan perikanan. Rumusan tersebut menghasilkan acuan
yang dikenal dengan nama

the Code of Conduct for Responsible

27

Fisheries (CCRF) yang diadopsi oleh negara-negara anggota FAO pada
tahun 1995. CCRF beserta elaborasinya yang tertuang dalam beberapa
guidelines (hingga kini ada 9) merupakan referensi yang sangat
bermanfaat bagi negara-negara yang melaksanakan pembangunan
perikanan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan perikanan tentang kegiatan-kegiatan perikanan
yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan konsep-konsep
yang telah digariskan dalam CCRF masih saja terjadi dimana-mana.
Salah satu bentuknya adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak
bertanggung jawab (irresponsible fishing activity), seperti: kegiatan
penangkapan ikan yang tidak dilengkapi dengan surat izin resmi,
melanggar batas kedaulatan suatu negara, tidak melaporkan atau
memalsukan data hasil tangkapannya, at sea transhipment, melakukan
praktek pembenderaaan kembali (reflagging) dan lain sebagainya.10
Kegiatan-kegiatan penangkapan ikan yang tidak bertanggung jawab ini
kemudian dikenal dengan istilah kegiatan illegal, unreported and
unregulated fishing atau IUU fishing.
Secara spesifik kegiatan IUU fishing (illegal, unreported and
unregulated fishing) yang terjadi di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut:11

10

Laporan Akhir (Final Report) Rencana Aksi IUU Fishing (NPOA),
Departemen Kelautan Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2010, hlm. 1
11

ibid, hlm 7-10

28

1. Kegiatan

perikanan

melanggar

hukum

(illegal

fishing),

berdasarkan pada dokumen IPOA mengenai IUU Fishing,
maka yang di maksud kegiatan perikanan melanggar hukum
adalah:
a. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal ikan nasional ataupun
asing di perairan yang berada dalam pengaturan negara
tanpa memperoleh ijin ataupun bertentangan dengan
hukum negara bersangkutan.
b. Kegiatan yang dilakukan oleh kapal ikan anggota suatu
organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO) yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan
pengelolaan dan konservasi sumberdaya yang mana
ketentuan tersebut sifatnya mengikat bagi negara-negara
yang menjadi anggo

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Mengenai Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Kapal Asing di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004Tentang Perikanan Juncto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan

4 57 64

BAB III Kewenangan Mengadili Atas Kasus Illegal Fishing Berdasarkan Track Record Data VMS (Vessel Monitoring System) A. Cara kerja VMS (Vessel Monitoring System

5 50 32

Analisa Yuridis Penggunaan Alat Penangkap Ikan Illegal Dalam Tindak Pidana Perikanan Dikaitkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

0 18 114

KEWENANGAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI.

0 0 13

DUGAAN GRATIFIKASI TOYOTA HARRIER TERHADAP ANAS URBANINGRUM DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK P.

0 1 1

undang undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan

0 0 53

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

0 0 37

Produk Hukum | Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum UU No.45 TH 2009

0 0 53

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI BIDANG PERIKANAN (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan)

0 0 20

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

0 0 95