10 tahun 2010 menjadi Rp. 636.340,- di tahun 2011 dan meningkat
lagi menjadi Rp. 638.510,- di tahun 2012. Pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp. 641.040,-. Namun demikian, pengeluaran
per kapita Kabupaten Purworejo masih relatif sedikit lebih rendah dari Provinsi Jawa Tengah yang mencapai Rp. 646.440.
IPM Kabupaten Purworejo meningkat setiap tahunnya dan di atas angka provinsi maupun nasional. Indikator Pembentuk IPM
Kabupaten Purworejo yang perlu perhatian adalah Usia Harapan Hidup dan yang perlu kerja keras adalah Pengeluaran per Kapita
Disesuaikan.
1.2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat
1. PDRB dan Perkembangannya a. Produk Domestik Regional Bruto PDRB adalah salah satu bagian
dari sistem neraca ekonomi regional yang didalamnya merekam hasil-hasil dari kegiatan ekonomi di suatu wilayah dalam periode
tertentu satu tahun. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. b. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada setiap tahun. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan
nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga tahun tertentu sebagai tahun dasar, dimana dalam periode tahun
sampai dengan tahun 2011 ini menggunakan tahun dasar tahun 2000.
c. PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas dasar
harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.
d. Dalam kurun waktu tahun 2010-2011 PDRB Kabupaten Purworejo atas harga berlaku adalah 6.466.490,69 juta rupiah
dan meningkat menjadi 7.143.081,12 juta rupiah, atau meningkat tiap tahun sebesar 10,46. Sedangkan untuk PDRB
atas dasar harga konstan mencapai 3.016.597,82 juta rupiah di tahun 2010 menjadi 3.168.113,50 juta rupiah di tahun 2011,
11 atau meningkat 5,02. Artinya bahwa jika dibandingkan dengan
tahun dasar tahun 2000, maka perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku mencapai 3,78 kali dan untuk harga konstan
mencapai 1,67 kali di tahun 2011.
2. Laju Inflasi a. Kondisi perekonomian daerah tidak bisa lepas dari pengaruh
inflasi yang terjadi dalam kurun waktu tertentu, terutama pengaruh kebijakan makro oleh pemerintah secara nasional.
Inflasi menunjukan tingkat perkembangan harga serta kestabilan perekonomian di suatu wilayah. Dengan
mencermati tingkat inflasi yang terjadi di suatu wilayah tertentu dari waktu ke waktu akan diketahui tingkat
perkembangan harga dan kestabilan perekonomian di wilayah tersebut.
b. Dilihat dari persebaran inflasi menurut kelompok barang dan jasa pada tiga tahun terakhir, maka kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau menjadi pemicu inflasi pada akhir tahun 2012 yang mencapai 8,09.
Secara regional Jawa Tengah laju inflasi Kabupaten Purworejo relatif cukup baik. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat empat
daerah yang dijadikan Kota Survey Biaya Hidup SBH yaitu Kabupaten Banyumas khususnya Purwokerto, Kota Surakarta,
Kota Semarang dan Kota Tegal. Empat daerah ini yang menjadi barometer tingkat perkembangan harga serta kestabilan
perekonomian wilayah regional di Jawa Tengah. Jika dibandingkan dengan empat kota SBH tersebut, laju inflasi
Kabupaten Purworejo masih lebih rendah dari Purwokerto dan relatif lebih mendekati Tegal. Jika dibandingkan dengan daerah
sekitar, laju inflasi Kabupaten Purworejo tahun 2012 masih sedikit lebih tinggi dari Kabupaten Magelang. Namun demikian
tetap dapat kita simpulkan bahwa Kabupaten Purworejo memiliki perkembangan harga dan stabilitas perekonomian yang
relatif cukup baik.
12 3. PDRB per kapita
PDRB per kapita berbeda dengan pendapatan per kapita. PDRB per kapita menunjukan kemampuan masyarakat dalam
menghasilkan nilai tambah, sedangkan pendapatan perkapita menunjukan besarnya pendapatan yang diterima masyarakat
atas penggunaan faktor produksi yang dimiliki di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu.
Pada tahun 2010 nilai PDRB per kapita Kabupaten Purworejo mencapai
Rp. 9.299.166,25
dan meningkat
menjadi 10.257.226,13 pada tahun 2011. Namun kondisi di tahun 2011
tersebut masih berada di bawah PDRB per kapita Provinsi Jawa Tengah yang mencapai Rp. 15.376.170,75 maupun skala
nasional yang mencapai Rp. 30.812.926,11.
4. Indikator ketimpangan Regional Kondisi pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah perlu dilihat
dari sisi pemerataan pembangunan di masing-masing wilayah pendukung. Hal tersebut diperuntukan untuk dapat menekan
timbulnya kesejangan pembangunan kewilayahan khususnya yang disebut dengan ketimpangan wilayah. Ketimpangan itu
sendiri terjadi salah satunya karena akibat dari kegiatan ekonomi yang belum merata. Ketimpangan pembangunan
tersebut dapat
dianalisis dengan
menggunakan indeks
ketimpangan regional yang dinamakan indeks ketimpangan Williamson. Indeks ini dihitung dengan menggunakan
komponen utama yaitu PDRB per Kapita serta jumlah penduduk masing-masing kecamatan. Angka indeks ketimpangan
Williamson yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukan ketimpangan yang semakin kecil atau dengan kata lain semakin
merata, dan apabila semakin besar atau semakin jauh dari nol menunjukan ketimpangan yang semakin melebar.
Indek ketimpangan
Williamson dapat
dilihat dari
dua pendekatan, yaitu melalui indek ketimpangan menurut lapangan
usaha dan indek ketimpangan menurut kewilayahan atau antar kecamatan. Indek ketimpangan menurut lapangan usaha
13 menunjukan tingkat ketimpangan yang terjadi antar sembilan
kelompok lapangan usaha yang ada di seluruh wilayah kabupaten. Sedangkan indek ketimpangan kewilayahan atau
antar kecamatan menunjukan tingkat ketimpangan yang terjadi antar wilayah kecamatan.
Jika dilihat menurut lapangan usaha, Indeks ketimpangan menurut lapangan usaha di Kabupaten Purworejo dari data
empiris tahun 2010-2011 menunjukan grafik sedikit meningkat yaitu dari 0,6912 menjadi 0,74613. Artinya bahwa terjadi
kesenjangan menurut lapangan usaha di Kabupaten Purworejo dimana beberapa sektor terjadi penguatan dan menjadi sangat
dominan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi antar wilayah sektoral kecamatan sementara sektor yang lain berada
di bawah rata-rata umum kabupaten. Jika dicermati maka sektor pertanian, industri, dan perdagangan dan jasa masih
merupakan sektor dominan di Kabupaten Purworejo. Kondisi ini dapat dikatakan masih sejalan dengan visi misi daerah dimana
menkankan pada pembangunan menuju daerah agribisnis.
Jika dilihat
menurut kewilayahan,
ketimpangan antar
kecamatan di Kabupaten Purworejo secara makro terdapat kesenjangan kewilayahan khususnya antara beberapa wilayah
kecamatan yang secara geografis berada di dataran tinggi dengan beberapa wilayah kecamatan yang berada di daerah
dataran rendah
dan datar
yang sebagian
diantaranya merupakan kota pusat pertumbuhan. Indeks ketimpangan
wilayah kecamatan Kabupaten Purworejo dari data empiris tahun 2010-2011 justru menunjukan grafik menurun yaitu
0,3800 menjadi 0,37141 menurut PDRB atas dasar harga berlaku.
Kondisi ini
menunjukan bahwa
pemerataan pembangunan antar kecamatan yang dihitung berdasar kondisi
empiris di tahun 2011 relatif lebih merata dari tahun sebelumnya. Jika dilihat dari pertumbuhan indek ketimpangan
wilayah berdasar PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000,
14 perkembangan kesenjangan antar wilayah di tahun 2010-2011
juga mengalami penurunan yaitu 0,3500 menjadi 0,34209. Artinya bahwa walaupun beberapa kecamatan relatif berada di
bawah kondisi secara umum rata-rata wilayah yang lainnya namun proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber berupa
akumulasi modal, ketrampilan tenaga kerja dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah tidak menjadi pemicu
kesenjangan dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik
suatu wilayah dapat disimpulkan terjadi proses saling mendukung backward and forward linkage antar wilayah
sehingga menyebabkan
tidak terjadinya
kecenderungan konsentrasi aktivitas ekonomi secara parsial yang memunculkan
kondisi ketimpangan sektoral antar daerah di Kabupaten Purworejo.
2. Evaluasi Pelaksanaan Program Pembangunan