Epistaksis

Epistaksis
Delfitri Munir, Yuritna Haryono, Andrina Y.M. Rambe
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Abstrak: Epistaksis adalah perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan
nasofaring. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber perdarahan
yang paling sering adalah dari pleksus Kiessel-bach’s. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologik. Prinsip penanggulangan epistaksis
adalah menghentikan perarahan, mencegah komplikasi dan kekambuhan. Epistaksis anterior
ditanggulangi dengan kauter dan tampon anterior, sedangkan epistaksis posterior dengan tampon
Bellocq dan ligasi arteri atau embolisasi.

Abstract: Epistaxis is bleeding that comes out from nostril, nasal cavity and nasopharynx. Etiologies
of epistaxis are local and systemic disorder. The most common sources of bleeding is Kiessel-bach’s
plexus. Diagnostic is made by anamnesis, clinical examination, radiographs and laboratory.
Management principles of epistaxis are stop bleeding, prevent complication and recurrent. Anterior
epistaxis is stopped by cauterization and anterior packing while posterior epistaxis by posterior
packing (Bellcoq), arteri ligation or embolization.
Keywords: epistaksis, pleksus kiesselbach, bellocq, caldwell – Luc


PENDAHULUAN
Epistaksis adalah perdarahan akut yang
berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta
para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit,
melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana
hampir 90 % dapat berhenti sendiri.1,2
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 210 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada
musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat
angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna
antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian
anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior
sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.1,3
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah
komplikasi

dan
mencegah
berulangnya epistaksis.2
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada
orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat
perubahan progresif dari otot pembuluh darah
274

tunika media menjadi jaringan kolagen.
Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis
interstitial sampai perubahan yang komplet
menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh
darah karena hilangnya otot tunika media
sehingga mengakibatkan perdarahan yang
banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda,
pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang
tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh

darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau
trauma.3
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat
dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling
sering dijumpai terutama pada anak-anak
dan biasanya dapat berhenti sendiri.2
Perdarahan pada lokasi ini bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu
anastomosis dari beberapa pembuluh darah
di septum bagian anterior tepat di ujung
postero
superior
vestibulum
nasi.1,4
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian
depan konkha inferior.1
Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat


Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Delfitri Munir dkk.

2.

pada tulang rawan dibawahnya.5 Daerah ini
terbuka terhadap efek pengeringan udara
inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi
ulkus, ruptur atau kondisi patologik
lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan
perdarahan .4
Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri
sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang
berhenti
dengan
sendirinya.

Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi,
arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
2
kardiovaskuler.
Thornton
(2005)
melaporkan 81% epistaksis posterior berasal
dari dinding nasal lateral.6

ETIOLOGI
Epistaksis dapat terjadi setelah trauma
ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan
kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat
trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas.
Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi
gas yang merangsang, benda asing dan trauma
pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus
paranasal seperti rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra

dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis
berat dapat terjadi pada tumor seperti
hemangioma, karsinoma dan angiofibroma.2,3,7
Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada
hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak
biasa.8 Hipertensi dan kelainan pembuluh darah
seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis
sering menyebabkan epistaksis hebat, sering
kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan
endokrin pada wanita hamil dan menopause,
kelainan darah pada hemofilia dan leukemia
serta infeksi sistemik pada demam berdarah,
tifoid dan morbili sering juga menyebabkan
epistaksis. Kelainan kongenital yang sering
menyebabkan epistaksis adalah Rendu-OslerWeber disease. Disamping itu epistaksis dapat
terjadi pada penyelam yang merupakan akibat
perubahan tekanan atmosfer. 2,3,9
DIAGNOSIS
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber
perdarahan serta menemukan penyebabnya harus

segera dilakukan. Perdarahan dari bagian
anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil
hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan
penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian
posterior atau media biasanya akibat hipertensi,
arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan
pengukuran tekanan darah dan periksa faktor

Epistaksis

pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin
THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal,
kalau perlu CT-scan.5
PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis yaitu menghentikan perdarahan,
mencegah
komplikasi
dan

mencegah
berulangnya epistaksis.2
Pasien yang datang dengan epistaksis
diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau
sudah terlalu lemah dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggung,
kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber
perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap
untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian
diberikan tampon kapas yang telah dibasahi
dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau
pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam
rongga hidung untuk menghentikan perdarahan
dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan
selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5
menit. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.2
Pada penanganan epistaksis, yang terutama
diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan

kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit,
hemoglobin dan tekanan darah harus cepat
dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok,
kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada
kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa
protrombin dan masa tromboplastin (APTT),
sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila
terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat,
harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel
darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.10
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung
dianestesi lokal dengan menggunakan tampon
kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi
lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 :
100.000 atau kombinasi lidokain 4% topikal dan

penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam
rongga hidung dan dibiarkan selama 5 – 10 menit
untuk memberikan efek anestesi lokal dan
vasokonstriksi.5 Kauterisasi secara kimia dapat
dilakukan dengan menggunakan larutan perak
nitrat 20 – 30% atau dengan asam triklorasetat
10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

275

Tinjauan Pustaka

triklorasetat 40 – 70%.
Setelah tampon
dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan
larutan tersebut sampai timbul krusta yang
berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis
superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada kedua

sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi.
Selain menggunakan zat kimia dapat digunakan
elektrokauter
atau
laser.5 Yang
(2005)
menggunakan electrokauter pada 90% kasus
epistaksis yang ditelitinya.11
2.

Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol
epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak
dapat
diidentifikasi,
maka
diperlukan
pemasangan
tampon
anterior
dengan
menggunakan kapas atau kain kassa yang diberi
vaselin atau salap antibiotik.2,10 Tampon ini
dipertahankan selama 3 – 4 hari dan kepada
pasien diberikan antibiotik spektrum luas.12
Vaghela (2005) menggunakan swimmer’s nose
clip untuk penanggulangan epistaksis anterior.13
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit
diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi
anterior.2 Epistaksis posterior dapat diatasi
dengan menggunakan tampon posterior, bolloon
tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.10
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan
memerlukan anestesi umum atau setidaknya
dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya
tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di
nasofaring untuk menghindari mengalirnya
darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini
pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq,
dengan menggunakan tampon yang diikat
dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet
kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian
ujungnya dipegang dengan cunam dan
dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada
kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter
ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga
tampon tertarik ke dalam koana melalui
nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan
tampon kedalam nasofaring akan mempermudah
tindakan ini.4,5 Apabila masih tampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka
dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari
nares anterior kemudian diikat pada sebuah
gulungan kain kasa didepan lubang hidung,
supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
276

bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut
dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk
menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 –
3 hari.2
2.

Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah
dilakukan dibandingkan dengan pemasangan
tampon posterior konvensional tetapi kurang
berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior.
Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus.
Setelah bekuan darah dari hidung dibersihkan,
tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan
anestesi
topikal
yang
ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F
diletakkan disepanjang dasar hidung sampai
balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon
diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter
Foley ditarik kearah anterior sehingga balon
menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan
terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa
sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada
balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa
yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila
tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan,
maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
1,6,14

3.

Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap
jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian
proksimal sumber perdarahan dengan segera.
Tetapi
kenyataannya
sulit
untuk
mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat
pada epistaksis yang berat atau persisten. Ada
beberapa pendekatan ligasi arteri yang
mensuplai darah ke mukosa hidung.12
a.

Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian
distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri
karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan
dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang
pinggir
anterior
m.
sternokleidomastoideus.
Setelah
flap
subplatisma
dielevasi,
m. sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi
diteruskan ke arah bawah menuju selubung
karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis
kemudian a. karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a.
faringeal asendens, terutama apabila epistaksis

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Delfitri Munir dkk.

berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring.10 Arteri karotis eksterna diligasi
dengan benang 3/0 silk atau linen.3
b.

Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat
dilakukan dengan pendekatan transantral.
Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal
atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc
dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang
dinding sinus posterior dengan menggunakan
pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian
inferior dan medial untuk menghindari trauma
orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada
tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.
Dengan operating microscope pada daerah itu
lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi
yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak
dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina
didiseksi dengan menggunakan hemostat,
alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar
electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila
interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan
menggunakan nervehook dan identifikasi
cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window
dan masukkan tampon yang telah diberi salap
antibiotik selama 24 jam.2
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan
transoral untuk ligasi a. maksilaris interna.
Plane of buccinator dimasuki melalui insisi
gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang,
dan identifikasi perlekatan m. temporalis ke
prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi
tumpul pada daerah ini dan identifikasi a.
maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan,
dijepit atau diligasi. Prosedur ini berguna apabila
pendekatan transantral tidak dapat dilakukan
oleh karena trauma sinus atau malignansi.
Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi
terletak lebih ke proksimal dibandingkan dengan
pendekatan
transantral
sehingga
lebih
memungkinkan untuk terjadinya kegagalan.
Komplikasi utama pendekatan ini adalah
pembengkakan pipi dan trismus yang dapat
berlangsung selama tiga bulan.10 Shah (2005)
menggunakan clip titanium pada arteri
sphenopalatine untuk mengatasi epistaksis
posterior.15
c.

Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian
superior konka media paling baik diterapi
dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau
posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada
tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis
anterior dan posterior yang berada pada sutura

Epistaksis

frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior
berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis
posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah
anterior n. optikus. 10
Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan
untuk meretraksi periostium orbita dan sakus
lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior
disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal.
Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis
anterior, dan rongga hidung dievaluasi kembali.
Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n.
optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a.
etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.
Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari
trauma. 10
d. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff
(1974)
pertama
kali
memperkenalkan teknik embolisasi perkutan
pada a. maksilaris interna dengan menggunakan
absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang
persisten.
Beberapa
laporan
terakhir
mendiskusikan kegunaan angiografi dalam
menentukan sumber perdarahan. Merland,
(1980) melaporkan penggunaan embolisasi
untuk pengobatan telangiektasi hemoragik
herediter, epistaksis (primer dan traumatik),
angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan
penyakit pendarahan. Mereka menjumpai
kesulitan dalam
melakukan embolisasi a.
etmoidalis
tetapi
tindakan
ini
lebih
menguntungkan bila dibandingkan dengan ligasi
a. maksila interna oleh karena terjadinya
obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi
embolisasi mencakup paralisis fasial dan
hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus
juga sering dijumpai. Beberapa material telah
digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable
gelatin sponge merupakan zat yang paling sering
digunakan. Walaupun tekhnik ini masih
kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi
pada penanganan epistaksis dilakukan bila terapi
lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi
untuk operasi.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD.
Rhinology and Sinus Disease AproblemOriented Aproach. St. Louis, Mosby Inc,
1998: 43 – 9.
2.

Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung
dan gangguan penghidu, Epistaksis.
Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

277

Tinjauan Pustaka

hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta, Balai
Penerbit FK UI, 1998: 127 – 31.
3.

Watkinson JC. Epistaxis. Dalam: Mackay
IS, Bull
TR.
Scott – Brown’s
Otolaryngology. Volume 4 (Rhinonology).
Ed. 6 th. Oxford: Butterwort - Heinemann,
1997: 1–19.

4.

Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa
staf ahli bagian THT FK UI. Jilid 1. Edisi
13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 – 27,
112 – 6.

14. Vaghela HM. Foley catheter posterior nasal
packing. Clin Otolaryngol, 2005. Vol. 30
(2): 209 – 10.
15. Shah AG, Stachler RJ, Krouse JH.
Endoscopic ligation of the sphenopalatine
artery as a primary management of severe
posterior epistaxis in patiens with
coagulopathy. Ear Nose Throat J. 2005. Vol.
84 (5): 296 – 7.

5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear,
nose, and throat
disease, a
pocket
reference. Second Edition. New York,
Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170
– 80 dan 253 – 60.
6. Thornton MA, Mahest BN, Lang J. Posterior
epistaxix: Identification of common
bleeding sites. Laryngodcope, 2005. Vol.
115 (4): 588 – 90.
7. Thuesen AD, Jacobsen J, NepperRasmussen J. Juvenile angofobroma.
Ugeskr Leager. 2005. Vol. 167 (34): 3163 –
6.
8. Tiwari D, Plater M, Partridge R, WestonSimons J. Primary malignan melanoma of
nose: a rare cause of epistaxis in the elderly.
Age Ageing. 2005. Vol. 34 (6): 653 – 4.
9. Sys L, van den Hoogen FJ. Rendu-OslerWeber disease. Ned Tijdschr Tandheelkd.
2005. Vol. 112 (9): 336 – 9.
10. Abelson TI. Epistaxis. Dalam: Paparella
MM, Shumrick DA, Glucman JL,
Meyerhoff WL. Otolaryngology. Vol. III.
Ed. 3 rd. Philadelphia: WB Saunders
Company, 1997: 1831 – 41.
11. Yang DZ, Cheng JN, Han J, Shu P, ZhangH.
Management of intactable epistaxis and
bleeding points laokalization. Zhonghua Er
Bi, 2005. Vol. 40 (5): 360 – 2.
12. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies
buku ajar penyakit THT. Alih bahasa:
Caroline W. Edisi VI. Jakarta. EGC Penerbit
buku kedokteran, 1993: 224 – 37.
13. Vaghela HM. Using a swimmer’s nose clip
in the treatment of epistaksis in the A&E
departement. Accing Emerg Nurs, 2005,
Vol. 13 (4): 261 – 3.

278

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006