Peranan Dukun Bayi Dalam Perspektif Masyarakat Jawa Terhadap Proses Persalinan Di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo Kabupaten Semarang Jawa Tengah (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik Dan Organik Emile Durkheim)

PERANAN DUKUN BAYI DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT JAWA
TERHADAP PROSES PERSALINAN DI DUSUN NOLOPRAYAN DESA
JATIREJO KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH
(Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik dan Organik Emile Durkheim)

Diajukan kepada FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Guna mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)

SKRIPSI

Oleh:
Rima Setiyawati
1110015000068

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2014/1435 H

ABSTRAK


Rima Setiyawati (1110015000068). Peranan Dukun Bayi Dalam Perspektif
Masyarakat Jawa Terhadap Proses Persalinan Di Dusun Noloprayan Desa
Jatirejo Kabupaten Semarang (Melalui Pendekatan Teori Solidaritas Mekanik
dan Organik Emile Dhurkeim). Oleh Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor MA.
Di era modern seperti sekarang ini peranan dukun bayi masih sangat besar
pengaruhnya dalam masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Begitu pula dengan
masyarakat dusun Noloprayan yang masih menggunakan jasa dukun bayi untuk
penanganan persalinan daripada melalui bidan. Hal tersebut menarik ketika dikaji
melalui teori solidaritas sosial mekanik dan organik Emile Dhurkeim. Tujuan
penulisan skripsi ini adalah (1) Mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam
perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di dusun Noloprayan, desa
Jatirejo, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang, (2) Mengetahui persepsi
masyarakat setempat mengenai peran dukun bayi tersebut. Teknik pengumpulan
data dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui
observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pergeseran peran dukun bayi. Sejak
tahun 2012 dukun bayi di dusun Noloprayan tidak lagi berperan sebagai tenaga
penolong persalinan tetapi hanya melakukan penanganan kehamilan bagi ibu
hamil dan pelayanan perawatan pasca persalinan. Peran tersebut telah diambil alih
oleh bidan. Dikaji melalui teori solidaritas mekanik Emile Dhurkeim, bahwa

kecenderungan masyarakat setempat yang memilih dukun bayi sebagai konsultan
kesehatan kehamilan dan perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayinya
menunjukkan suatu kondisi masyarakat yang masih patuh terhadap adat dan
tradisi yang berlaku sehingga masyarakat ini bersifat primitif dan sederhana.
Sedangkan sikap masyarakat yang menunjuk bidan sebagai rujukan utama pelaku
penolong persalinan oleh Dhurkeim dikatakan sebagai masyarakat yang lebih
maju, kompleks dan berfikir rasional. Hasil persepsi masyarakat Noloprayan
mengenai peranan dukun bayi terhadap proses persalinan dan pelayanan kesehatan
adalah baik yaitu sebagai agen pelestarian budaya pada peristiwa diseputar
kehamilan dan kelahiran masyarakat Jawa.
Saran yang dapat diajukan kepada masyarakat Noloprayan khususnya kepada
dukun bayi supaya diberikan penjadwalan jam kerja agar lebih efektif dan efisien.
Bagi pemerintah setempat hendaknya menyediakan fasilitas serta memberikan
binaan pada dukun bayi dan bidan desa, agar pelayanan kesehatan yang dilakukan
dapat terjamin memuaskan masyarakat.

Kata kunci : Dukun bayi dan persalinan

i


ABSTRACT
Rima Setiyawati (1110015000068). The Role of TBAs (Traditional Birth
Attendants) In the Perspective of Javanese Community on Delivery Process
at Noloprayan Hamlet, Jatirejo Village, Semarang Regency (By Using Emile
Dhurkheim’s Theory Approach of Mechanicaland Organic Solidarity).
In the modern era like today, the role of TBAs still have very big influence in the
community, particularly the Javanese community. As wellas the people of
Noloprayan hamlet that still use the services of TBAs for delivery handling rather
than a midwife. It is interesting when studied by using Emile Dhurkeim’s theory
of mechanical and organic social solidarity. The purpose of this paper is (1)
Knowing how the role of TBAs in the perspective of Javanese community on
deliveryprocess at Noloprayanhamlet, Jatirejo village, Suruh district, Semarang
regency, (2) Knowing perception of local community on the role of TBAs. Data
collection technique used is qualitative-descriptive analysis method. The data
were collected through observation, interviews, and documentation.
The results showed that there was a shift in the role of TBAs. Since 2012,TBAs at
Noloprayan hamlet no longer act as birth attendants but only handling pregnancy
for pregnant women and postpartum care services. The role has been taken over
by midwife. Being assessed by using Emile Dhurkeim’s theory of mechanical
solidarity, that the tendency of the local community who choose TBAs as a

consultant of pregnancy health and post-partum care for the mother and her baby
showed a condition of society which still adhere to the prevailing customs and
traditions so that these communities are primitive and simple,while community
attitudes which point to midwife as the main reference for birth attendant were
referred by Dhurkeim as more advanced, complex and rational thinkingsocieties.
Perception results of Noloprayan communityregarding to the role of TBAs on
delivery process and health care is good, namely as an agent of cultural
preservation at events concerning pregnancy and birth of the Javanese
community.
The suggestions can be submitted to the Noloprayan community, especially
TBAs, is that they are given a schedule of working hours to make it more
effective and efficient. For local government should provide facilities and
guidance toTBAs and village midwives, so that health care can be guaranteed to
satisfy the public.

Key word : Traditional Birth Attendants

ii

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, Segala puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Alhamdulillah rabbil „alamiin, senantiasa penulis panjatkan kepadaNya. Karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi serta shalawat
dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga
dan para sahabatnya.
Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat
terbatas, maka adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak
sangat membantu penulis dalam menyeleseikan skripsi ini. Izinkanlah penulis
mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:
1. Ibu Dra. Nurlena Rifa‟i, Ph. D selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd, Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Berkat jasa Beliau yang senantiasa
memberikan yang terbaik untuk seluruh mahasiswa Pendidikan IPS.
3. Bapak Prof. Dr. H. Rusmin Tumanggor, MA, selaku dosen pembimbing.
Berkat jasa beliau, penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini


dengan sangat baik.
4. Bapak H. Syamsuddin, Kepala Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh Kabupaten
Semarang.
5. Bapak Bushaeri, Kepala Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
6. Ibu H. Shulaikah, Dukun bayi di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
7. Seluruh warga masyarakat di Dusun Noloprayan Desa Jatirejo.
8. Seluruh civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Nenek dan Ibunda ku tercinta, yang senantiasa memberikan semangat dan
dukungan moril dan materil. Serta tak henti-hentinya memanjatkan doa

iii

kepada-Nya untuk penulis, agar senantiasa mendapatkan Ridho-Nya di
setiap langkah perjuangan dalam menempuh perjalanan yang berliku untuk
menggapai kesuksesan.
10. Adikku tersayang, Gesang Prasetyo, yang senantiasa memberikan
motivasi, do‟a, dan canda tawa kepada penulis.
11. Paman dan bibik ku, Aminudin SE, Ika Rusilowati SE, Siti Muawanah SE,
Lia Listiana SE, Trimunaryati, Muhammad Mansyur, Siti Kholisoh, dan

Saptan Keton yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis.
12. Sahabat sejatiku, Eka Rahayu, Novi Arianti, Dine Ertanti Zuhri, Maya
Rizki Yulianti, Lita Jamallia, dan Usniah yang selalu memberikan do‟a,
bantuan, dukungan, dan menghibur penulis ketika sedang gundah gulana.
Serta “Someone” ku tercinta, Shalihin Said sebagai penyemangat dan
membantu penulis dalam penulisan skripsi ini semoga oleh Allah
disatukan dalam ikatan yang suci.
13. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan IPS angkatan 2010, khusunya
kelas A Sosiologi- Antropologi yang telah banyak memberikan banyak
inspirasi kepada penulis.
14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yag telah
memberikan bantuan, menyelesaikan skripsi ini.
Ahirnya hanya kepada Allah SWT jualah penulis berdo‟a, semoga Allah
SWT menerima amal bakti yang diabdikan dengan ikhlas mendapatkan balasan
yang setimpal.
Amin-amin ya robbal alamin.
Jakarta, 16 Juli 2014
Penulis,
Rima Setiyawati


iv

DAFTAR ISI
Hal
ABSTRAK..............................................................................................................i
ABSTRAC………………………………………………………………………..ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I. PENDAHULUAN........................................................................1
A.

Latar Belakang Masalah.......................................................1

B.

Pembahasan Masalah.........................................................10
1. Identifikasi Masalah....................................................10
2. Pembatasan Masalah....................................................10
3. Rumusan Masalah........................................................10

4. Pertanyaan Penelitian..................................................11

C.

Hipotesis............................................................................11

D.

Tujuan dan Signifikansi Penelitian....................................11

BAB II. DESKRIPSI TEORITIS DAN
KERANGKAKONSEPTUAL..................................................13
A. Deskripsi Teoritis ......................................................................13
1. Perspektif Masyarakat...........................................................13
a. Definisi Perspektif.......................................................13
b. Perspektif Masyarakat.................................................13
2. Masyarakat Jawa...................................................................14
v

a. Definisi Masyarakat.....................................................14

b. Masyarakat Jawa..........................................................15
1) Karakteristik Pulau Jawa.........................................15
2) Budaya Masyarakat Jawa........................................17
a) Agama...............................................................17
b) Bahasa...............................................................17
c) Sikap hidup.......................................................19
d) Sistem Kemasyarakatan...................................20
e)

Sistem Pemerintahan........................................21

f)

Mata Pencaharian.............................................22

g) Kesehatan.........................................................22
h) Kesenian...........................................................23
3. Kehamilan.............................................................................24
a. Defininisi Kehamilan.......................................................24
b. Upaya Masyarakat............................................................25

c. Penjagaan Kesehatan........................................................25
4. Persalinan..............................................................................26
a. Definisi Persalinan...........................................................26
b. Tenaga Penolong Persalinan............................................26
1) Dukun Bayi.................................................................26
2) Peran Dukun Bayi.......................................................28
3) Layanan Dukun Bayi..................................................31
4) Cara Pertolongan Persalinan Oleh Dukun Bayi..........31
5. Teori Solidaritas Emile Dhurkeim........................................32

vi

a. Biografi Emile Dhurkeim................................................32
b. Teori Solidaritas Sosial....................................................33
1) Solidaritas Mekanis.....................................................34
2) Solidaritas Organis......................................................35
B. Kerangka Konseptual dan Skema..................................................35
C. Penelitian Relevan……………………………………………….38

BAB III. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN...............39
A. Objek....................................................................................39
B. Subjek...................................................................................39
C. Data yang dikumpul..............................................................40
D. Sumber Data.........................................................................40
E. Teknik Pengumpulan Data....................................................41
1. Observasi.....................................................................41
2. Wawancara..................................................................42
3. Dokumen.....................................................................43
4. Analisa.........................................................................43
F. Teknik Pengolahan Data......................................................44
G. Teknik Penulisan Skripsi.....................................................44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………45
A. DESKRIPSI DATA……………………………………45
1. Posisi Dusun Noloprayan.............................................45
2. Budaya Masyarakat.....................................................46
vii

3. Kependudukan............................................................49
4. Agama dan Sistem Kepercayaan...............................50
5. Perekonomian.............................................................50
6. Hubungan dengan Dusun lainnya...............................51
7. Prestasi Pembangunan................................................51
B. TEMUAN HASIL ANALISIS………………………..53
1. Temuan Lapangan Tentang Dukun Bayi………...53
a. Prestasi Dukun Bayi.............................................53
b. Cara Pertolongan Dukun Bayi dalam Persalin….53
c. Keamanan Bayi yang ditangani...........................55
d. Syarat – syarat penanganan Bayi oleh Dukun
bayi......................................................................55
e. Hubungan Dukun Bayi dengan Warga Masyarakat
………………………………………………….56
f. Hubungan Dukun Bayi dengan Instansi dan tenaga
Medis………………………………..................56
1) Hubungan Dukun Bayi dengan Puskesmas....56
2) Hubungan Dukun Bayi dengan Bidan............57
2. Temuan Lapangan Tentang Pergeseran Dukun....57
a. Peran Dukun Bayi sampai dengan 2011................57
b. Peran Dukun Bayi Sejak 2012 sampai Sekarang...58
3. Temuan Lapangan Tentang Perspektif Masyarakat
Terhadap Dukun………………………………........58
a. Perspektif Masyarakat Mengenai Dukun Bayi......59

viii

b. Faktor Penyebab Masyarakat Memilih Dukun Bayi
sebagai Penolong Persalinan..................................59
c. Tanggapan Masyarakat Mengenai Peranan Dukun
Bayi dalam Proses Persalinan...............................59
C. PEBAHASAN TEMUAN………………………….....61
1. Ketepatan Hipotesis....................................................61
2. Kerangka Konseptual TeoriTemuan............................63
3. Perspektif Peneliti tentang Dukun Bayi di Dusun
Noloprayan.................................................................68
BAB V. PENUTUP.................................................................................68
A. Kesimpulan........................................................................68
B. Saran...................................................................................69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

ix

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
1. Landasan Filosofis
Pesatnya kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah
menghantarkan manusia kepada peradaban yang lebih baik. Manusia dengan
berbagai bentuk aktivitasnya seolah dipermudahkan dengan ketersediaan
fasilitas-fasilitas hidup yang semakin canggih. Kemajuan teknologi
diberbagai bidang turut serta dalam

mengubah cara pandang dan cara

berfikir manusia menjadi lebih fleksibel dan mengikuti arah perkembangan
zaman. Kemajuan dalam bidang medis misalnya, adanya perubahanperubahan baik dari segi cara, alat yang digunakan, serta sumber daya
manusianya. Hal ini sebagai salah satu indikasi munculnya suatukesadaran
pentingnya kesehatan.
Berdasarkan UUD 1945 pasal 34 ayat 3 menegaskan bahwa negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Oleh sebab itu,
pemerintaah mulai mengupayakan berbagai program dalam bidang
kesehatan salah satunya adalah upaya peningkatan kesehatan pada
ibu dan anak. Hal ini dicantumkan dalam GBHN tahun 1993 yang
menyatakan bahwa, “Pembinaan anak yang dimulai sejak anak
dalam kandungan diarahkan pada peningkatan kualitas kesehatan
ibu dan anak dengan mempertinggi mutu gizi, menjaga kesehatan
jasmani dan ketenangan jiwa ibu serta dengan menjaga
ketentraman suasana keluarga dan pemenuhan kebutuhan dasar
keluarga...”.1
Program-program kesehatan masyarakat yang telah tersebar luas
jangkauan pelayanan kesehatannya hingga ke daerah-daerah pelosok di
tanah air adalah salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam
mensejahterakan masyarakat, Akan tetapi faktanya masih ditemukan
berbagai kendala mengenai pelaksanaan pelayanan bagi ibu dan bayi,
seperti misalnya terdapat tingginya angka kematian ibu dan bayi pada saat
1

Meutia F. Swasono, Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks
Budaya, (Jakarta: UI PRESS, 1998), h. vii.

1

2

persalinan, faktor sosial budaya, serta pengetahuan dan perilaku budaya
yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan menurut ilmu
kedokteran.
Para ahli antropologi melihat bahwa pembentukan janin, kelahiran
hingga kematian pada umumnya dianggap oleh warga berbagai
masyarakat di berbagai penjuru dunia sebagai peristiwa-peristiwa
yang wajar dalam kehidupan manusia. Dalam konteks kehamilan
dan kelahiran bayi itu, setiap masyarakat memiliki cara-cara
budaya mereka sendiri dalam memahami dan menanggapi
peristiwa pertumbuhan janin dan kelahiran bayi, yang sudah
dipraktekkan jauh sebelum masuknya sistem medis biomedikal
dilingkungan komuniti mereka. Berbagai kelompok masyarakat
juga memiliki cara-cara tertentu dalam mengatur aktivitas-aktivitas
mereka saat menghadapi wanita yang hamil dan bersalin.2
Beberapa masyarakat percaya bahwa setiap perpindahan tahapan
kehidupan adalah suatu hal yang krisis baik bersifat nyata atau gaib
sehingga diperlukan upaya pencegahan yaitu dengan mengadakan upacaraupacara adat. Peristiwa kehamilan dan melahirkan adalah tahapan kritis
dalam kehidupan yang tetap harus dijalanimaka sebagian dari masyarakat
menitik beratkan perhatiannya terhadap aspek kultural dari kehamilan dan
kelahiran itu. Orang Jawaadalah salah satu contoh masyarakat yang menitik
beratkan perhatiannya pada 2 aspek kultural tersebut sehingga mereka
sering melakukan upacara-upacara ritual seputar kedua peristiwa penting
tersebut.
Geertz pada penelitiannya di daerah terpencil Jawa timur,
Mojokuto, menjelaskan bahwa upacara ritual sebagai tahapan
peralihan (rites of passage) yang menekankan kesinambungan dan
identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta
fase-fase khusus yang dilewati yang dalam keseluruhannya
slametan tersebut memiliki simbolisme khusus dari peristiwaperistiwa tersebut.3
Upacara adat disekitar kehamilan yang masih dijalankan oleh orang
Jawa antara lain Tingkeban (upacara di usia 7 bulan kehamilan), babaran
2

Ibid., h. viii.
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1983), h.48.
3

3

atau brokahan (upacara kelahiran bayi), sepasaran (upacara hari kelima
setelah bayi dilahirkan), dan selapanan (upacara bulan pertama sejak bayi
dilahirkan). Dari keseluruhan tahapan upacara tersebut

masing-masing

memiliki simbol, makna dan tujuan yang berbeda-beda.
Adanya kepercayaan masyarakat Jawa atas peristiwa kehamilan
sebagai aspek kultural yang sarat akan kemistisan, maka pemberian
pertolongan dan tempat persalinan juga menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan. Peran dukun bayi atau paraji berperan penting sebagai
penolong proses persalinan jika dibandingkan dengan penanganan seorang
bidan. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap dukun
sebagai pelaku pertolongan pada kelahiran yang lebih menitik beratkan pada
aspek kultural dan memiliki kekuatan gaib.

2. Landasan Historis
Menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1)
menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejatera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memproleh pelayanan kesehatan”.4 Guna menjalankan apa
yang menjadi amanat UUD 1945,

dalam hal memperoleh pelayanan

kesehatan maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk menentukan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Persalinan yang oleh masyarakat Jawa dianggap sebagai proses
kultural dan memaknai suatu kehamilan dan kelahiran sebagai suatu krisis
kehidupan yang dihubungkan dengan hal yang gaib, maka tempat dan
pertolongan persalinan menjadi sangat penting. Dukun bayi yang tidak
hanya sebatas penolong persalinan tetapi juga memiliki keahlian secara
gaib, banyak dipilih masyarakat Jawa sebagai pelayanan kesehatan dalam
konteks persalinan.
4

http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html.diakses pada
tgl 8 Jan 2014.

4

Di Indonesia persalinan dukun sebesar 75% sampai 80% terutama
di daerah pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran
masyarakat dipedesaan terhadap kesehatan masih rendah

serta perilaku

budaya yang masih di pertahankan. Pertolongan persalinan oleh dukun
menimbulkan berbagai masalah dan penyebab utama tingginya angka
kematian dan kesakitan ibu dan perinatal. Dapat dipahami bahwa dukun
tidak dapat mengetahui tanda-tanda bahaya perjalanan persalinan.5 Orang
yang pergi keseorang bidan untuk melahirkan menjadi petunjuk kuat tentang
urbanismenya yang bersangkutan, pegawai pemerintah, dan kalangan yang
berpendidikan. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa mereka lebih
memilih untuk melepaskan tradisi diseputar kehamilan dengan menganut
pandangan yang lebih rasional.
Berbeda dengan masyarakat yang menganut pandangan rasional,
masyarakat yang menggunakan jasa dukun bayi, percaya bahwa pemberian
pertolongan saat melahirkan bukan masalah teknis belaka jauh dari itu,
keahlian gaib yang dimiliki seoarang dukun akan mampu mengurangi
penderitaan dan kesulitan ketika melahirkan. selain faktor kepercayaan,
faktor

ekonomi

juga

menjadi

salah

satu

penyebabnya.

Dengan

menggunakan jasa dukun bayi itu, biaya yang akan dikeluarkannya lebih
murah jika dibandingkan dengan biaya dengan memakai jasa seorang bidan.
Belum lagi soal layanan yang diberikan antara keduanya, seorang dukun
biasanya memberikan perawatan baik sebelum dan sesudah kelahiran.
Selama kurang lebih 40 hari pasca kelahiran dukun bayi masih
mendampingi ibu dan bayi guna memberikan ramua-ramuan tradisioanal
dan pijit perawatan bagi keduanya.
Dukun bayi adalah pelayan kesehatan yang mempunyai tujuan
sama seperti bidan namun berbeda dalam hal penanganan. Jika bidan
menangani persalinan dengan menggunakan keahlian medis dan difasilitasi

5

Manuaba, dalam http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.
html.diakses pada tgl 8 Jan 2014 pukul 23.00 WIB.

5

oleh alat-alat medis yang modern, maka berbeda halnya dengan cara kerja
dukun bayi. Mereka bekerja dengan cara dan alatyang masih sederhana.
Peran dan keberadaan dukun bayi tetap harus dilestarikan dan
diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran dukun bayi ditengahtengah masyarakat
istiadat

adalah selain untuk melestarikan budaya

yang berlaku

didalam

masyarakat

juga dapat

dan adat
membantu

meringankan biaya persalinan bagi keluarga yang kurang mampu.
Mengingat bahwa kesehatan adalah hak setiap warga Indonesia,
sehingga secara mandiri dan bertanggung jawab masyarakatberhak
menetukan pelayanan kesehataan dalam hal ini persalinan, maka bagi
masyarakat yang menentukan pilihannya kepada dukun bayi berhak juga
atas jaminan kesehatan pasca persalinan. Maka untuk mengupayakannya
pemerintah memberikan pelatihan terhadap para dukun bayi secara
terprogram yang salah satunya melalui program puskesmas.
Di dalam program pelatihan tersebut para dukun bayi diberikan
berbagai pelatihan-pelatihan mengenai cara penanganan persalinan,
penanganan jika terjadi kesulitan dalam bersalin, penanganan nifas, dan
pelatihan terhadap cara perawatan bayi dan ibu pasca bersalin, secara sehat
dan bersih yang sesuai dengan standar medis.
Pengadaan Program ini adalah salah satu upaya pemerintah untuk
meminimalisir tingkat kematian ibu dan bayi serta kesakitan ibu dan
perinatal terhadap pelayanan persalinan oleh dukun bayi. Sehingga
kesehatan yang merupakan hak seluruh warga Indonesia telah diupayakan
oleh pemerintah.
3. Landasan Yuridis
Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 ayat 3 tentang kesehatan
menyatakan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung

6

jawab menentukan sendiri pelayanaan kesehatan yang diperlukan bagi
dirinya.6
Mengacu pada Undang- Undang tersebut di atas, dukun bayi
memiliki hak dalam memberikan pertolongan persalinan sebagai alternatif
pilihan masyarakat meskipun tidak memiliki keahlian secara medis.
Masyarakat atau individu memiliki kebebasan apakah ia akan melahirkan
melalui bidan atau melalui seorang dukun bayi. Tentu pemilihan kedua
alternatif tersebut masing-masing memiliki resiko yang berbeda satu dengan
lainnya.
Kebebasan individu atau masyarakat dalam menentukan pelayanan
kesehatan dalam hal ini dukun bayi, selain faktor ekonomi,adanya
kepercayaan serta adat istiadat seputar kehamilan dan kelahiran oleh
masyarakat Jawa dimaknai sebagai suatu proses kultural yang syarat akan
kepercayaan, maka peranan dukun bayi sangatlah penting karena dukun
bayi dipercaya memiliki keahlian gaib dalam membantu proses persalinan.

4. Kekontemporeran
Dukun bayi adalah gabungan dari dua kata, yakni dukun dan bayi.
Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama
lainnya, namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga
penggabungan kedua kata tersebut membentuk suatu kesatuan pemahaman
yang tidak dapat dipisahkan.
Dalam bahasa Arab, “Dukun bayi disebut kahin adalah kata yang
biasa dipakai untuk mengungkapkan orang yang dapat meramal nasib
dengan batu kerikil. Kata dukun juga dapat dipakai untuk orang yang
mengerjakan perkara orang lain dan berusaha untuk memenuhi segala
kebutuhannya”.7 Penyembuh, secara umum di Indonesia, di Jawa khususnya

6

http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html.diakses pada
tgl 8 Jan 2014.
7
Yusuf Al-Qardhawi, Menjelajahi Alam Ghaib, ilham, mimpi, jimat, dan Dunia
Perdukunan dalam Islam, (Jakarta: Hikmah, 2003), Cet.1, h. 277.

7

disebut dengan dukun8. Sedangkan menurut kamus istilah penting modern,
kata bayi memiliki pengertian anak kecil yang belum lama lahir.9
Dari penggabungan kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa
dukun bayi adalah seseorang yang memiliki keahlian dan kemampuan
secara tradisional dalam membantu proses kelahiran seorang bayi.
Pengertian dukun bayi yang dikemukakan oleh DepKes RI (1994),
Pada dasarnya dukun bayi atau Paraji adalah, “Seorang anggota
masyarakat pada umumnya seorang wanita yang mendapat
kepercayaan serta memiliki keterampilan dalam menolong
persalinan secara tradisional dan memperoleh keterampilan tersebut
dengan secara turun temurun, belajar secara praktis atau dengan
cara lain yang menjurus kearah peningkatan keterampilan bidan
serta melalui petugas kesehatan.”10
Batas kewenangan dukun dalam melakukan pertolongan persalinan
menurut Depkes RI (1994: 14) adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan pertolongan persalinan meliputi mempersiapkan
tempat, kebutuhan ibu dan kebutuhan bayi, mempersiapkan alatalat persalinan sederhana secara bersih, mencuci tangan sebatas
siku dengan sempurna (10 menit).
2. Memimpin persalinan normal dengan teknik-teknik sederhana
yang meliputi membimbing ibu mengejan, menahan perineum,
merawat tali pusat, memeriksa kelengkapan placenta.
3. Dukun tidak melakukan tindakan yang dilarang seperti memijat
perut serta mendorong rahim, menarik plasenta, memasukkan
tangan ke dalam liang senggama.
4. Melakukan perawatan pada bayi baru lahir yang meliputi
perawatan mata, mulut dan hidung bayi baru lahir, perawatan tali
pusat dan memandikan bayi.11
Di dalam prakteknya, tidak semua dukun yang tidak berbekal
keahlian medis karena banyak dukun bayi yang memperoleh pelatihanpelatihan yang dilakukan oleh tenaga medis guna melakukan pertolongan
persalinan secara bersih dan sehat.

8

Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, M.A.. Dokter Atau Dan Dukun: Pergumulan
Pengobatan Di Indonesia, (Jakarta : LEMLIT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 55.
9
Ivenie Dewintari S, Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, (Jakarta:
Aprindo 2003), h.42.
10
http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada tgl 4
jan 2014.
11
http://kti-kedokteran.blogspot.com/2011/10/definisi-dukun-bayi_597.html.
diakses
pada tgl 8 Jan 2014.

8

Dukun terlatih adalah dukun yang telah mendapatkan latihan oleh
tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus. Sedangkan dukun tidak terlatih
adalah dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau
dukun bayi yang sedang dilatih dan belum dinyatakan lulus. Peranan dukun
beranak sulit ditiadakan karena masih mendapat kepercayaan masyarakat
dan tenaga terlatih yang masih belum mencukupi. Dukun beranak masih
dapat dimanfaatkan untuk ikut serta memberikan pertolongan persalinan.12
Peran dukun dalam pertolongan persalinan dalam Pedoman
Kemitraan Bidan dengan Dukun adalah sebagai berikut:
a. Mengantar calon ibu bersalin ke Bidan
b. Mengingatkan keluarga menyiapkan alat transportasi untuk
pergi ke bidan atau memanggil bidan
c. Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti air
bersih dan kain bersih
d. Mendampingi ibu pada saat persalinan
e. Membantu bidan pada saat proses persalinan
f. Melakukan ritual keagamaan/tradisional yang sehat yang
sesuai tradisi setempat
g. Membantu bidan dalam perawatan bayi baru lahir
h. Membantu ibu dalam inisiasi menyusui dini kurang dari 1
jam
i. Memotivasi rujukan jika diperlukan
j. Membantu bidan membersihkan ibu, tempat dan alat setelah
persalinan.13

B. Pembahasan Masalah
1. Identifikasi Masalah

12

Definisi dukun bayi, http://www.bascommetro.com/2011/04/definisi-dukun-bayi.html,
di akses pada Selasa, 18 Maret 2014.
13
http://boulluwellwinda.blogspot.com/2013/05/definisi-paraji.html, di akses pada
tanggal 4 januari 2014.

9

Dari latar belakang masalah tersebut, dapat diidentifikasikan
permaslahan sebagai barikut:
a. Kemajuan teknologi dibidang ilmu
berkembang

medis dan kedokteran telah

sangat pesat dengan menjamurnya tenaga medis dan

kesadaran kesehatan dalam suatu masyarakat.
b. Resiko kematian dan penyakit pada ibu dan bayi tinggi akibat proses
persalinan melalui dukun bayi
c. Dukun bayi tidak memiliki keahlian dalam bidang medis selain praktek
kerja secara tradisional
d. Mahalnya biaya persalinan melalui jasa bidan

2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, supaya penelitian lebih
terarah sesuai dengan judul dan tujuan dilakukannya penelitian, maka
penulis memberikan batasan permasalahan ini pada jasa dukun bayi yang
masih bertahan dan tetap digunakan dalam hal ini pada proses persalinan
atau kelahiran, meskipun dukun bayi tidak memiliki keahlian medis serta
dalam prakteknya masih menggunakan cara-cara tradisional yang secara
turun-temurun dilakukan.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi permasalahan yang ada, agar
penelitian lebih terarah dan fokus, maka rumusan masalahnya yaitu peneliti
hanya melakukan observasi dan penelitian di Dusun Noloprayan, Desa
Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang mengenai kondisi
masyarakat setempat yang sudah maju dan mengikuti arah perkembangan
zaman, tetapi eksistensi dan peran dukun bayi sebagai pelaku pertolongan
persalinan tradisional yang tidak memiliki kemampuan medis masih tetap
mendapatkan tempat dihati para masyarakat.

10

4. Pertayaan Penelitian
Dengan dasar rumusan masalah atau lingkup pembahasan di atas,
maka penulis dapat mengajukan pertanyaan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Bagaimana persepsi masyarakat di Dusun Noloprayan, Desa Jatirejo,
Kabupaten Semarang tentang dukun bayi terhadap proses persalinan?
b. Bagaimana peranan dukun bayi terhadap proses persalinan bagi
masyarakat Jawa, khusunya bagi masyarakat di Dusun Noloprayan?

C. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan yang diajukan atas pertanyaan penelitian
yang berupa kalimat pernyataan peneliti. Berdasarkan dari pertanyaan
penelitian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah bagi masyarakat
Noloprayan dengan melahirkan melalui dukun bayi serta mentaati adat-istiadat
dalam menjalankan ritual diseputar kehamilan dan kelahiranakan membawa
keberkahan tersendiri bagi kelangsungan hidup jabang bayi.

D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun skripsi pada program
strata satu (S1) Pendididikan Ilmu Pengetahuan Sosial Konsentrasi
Sosiologi-Antropologi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
b. Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana peranan dukun bayi dalam
perspektif masyarakat Jawa terhadap proses persalinan di Dusun
Noloprayan, Desa Jatirejo, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang dan
untuk mengetahui mengapa masyarakat setempat masih menggunakan
jasa dukun bayi sebagai penolong persalinan.

11

2. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dan kegunaan
bagi dunia akademik, masyarakat, dan bagi penulis. Adapun manfaatnya
sebagai berikut:
a. Bagi Akademisi
Dapat dijadikan sebagai bahan kajian bagi akademisi, dan
penelitian lanjutan secara lebih mendalam terhadap bagian dari setting
penelitian ini.
b.

Bagi masyarakat umum
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pengevaluasian

dan pengambilan keputusan bagi keluarga dan calon ibu dalam pemilihan
pertolongan persalinan.
c. Bagi Penulis
Dapat menambah informasi dan wawasan mengenai peranan
dukun bayi (paraji) dalam membantu proses persalinan pada calon Ibu.

12

BAB II
DESKRIPSI TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Deskripsi Teoritis
1. Perspektif Masyarakat
a. Definisi Perspektif
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “Perspektif adalah
pandangan (jauh ke masa depan), kita harus dapat melihat kehidupan”.1
Sedangkan secara kognitif,“Perspektif yakni sudut pandang manusia dalam
memilih opini, kepercayaan, dan lain-lain”.2 Sehingga didalam memberikan
respon atau tanggapan terhadap suatu peristiwa atau fenomena sosial itu
tergantung kepada cara berfikir atau sudut pandang masing-masing
seseorang yang diperkuat dengan alasan-alasan teoritik sehingga

akan

berpengaruh terhadap perilaku mereka.
b. Perspektif Masyarakat
Perspektif masyarakat adalah sudut pandang atau cara pandang
masyarakat atau sekelompok orang tertentu dalam memberikan pendapat
atau opininya tentang sesuatu hal yang dipercayai, yang ada dalam realitas
sosial. Proses penganalisaan suatu peristiwa pada dasarnya dipengaruhi oleh
apa

yang

kita

sebut

dengan

persepsi

atau

pandangan,

mereka

mengeneralisasikan sesuatu yang mereka respon sesuai dengan opini yang
didasarkan pada alasan alasan yang kuat.
2. Masyarakat Jawa
a. Definisi Masyarakat
Masyarakat merupakan golongan besar atau kecil terdiri dari
beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
1

Badudu, Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), h.19
2
http://id.wikipedia.org/wiki/PerspektifDisambiguasi, Di akses pada tgl 8 Januari 2014,
pukul 16.46

12

13

golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain. Definisi masyarakat
adalah, “Suatu kesatuan sosial yang berisikan sejumlah orang, menempati
suatu

wilayah dengan batas-batas yang jelas, menyandang suatu

kebudayaan, dan biasanya memiliki suatu bahasa”.3
Adapun pengertian masyarakat secara umum menurut pendapat
para ahli antara lain :
1. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah suatu kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu
yang bersifat kontityu, dan yang terkait oleh suatu rasa idenetitas
bersama.
2. Menurut J.L Gillin dan J.P Gillin dalam buku Cultural Sociology,
masyarakat atau Society adalah “.......the largest grouping in which
common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are
operative”.4
3. Menurut Anderson dan Parker, sebagai bentuk kehidupan bersama,
memberikan perincian mengenai ciri-ciri pokok masyarakat , yaitu (1)
adanya jumlah orang; (2) menempati wilayah geografis tertentu; (3)
mengadakan hubungan tetap dan teratur satu sama lain; (4) membentuk
suatu sistem hubungan antarmanusia; (5) adanya keterkaitan akibat
kepentingan bersama; (6) mempunyai tujuan dan bekerja sama; (7)
mengadakan ikatan berdasarkan unsur-unsur sebelumnya; (8) memiliki
solidaritas sosial; (9) memiliki ketergantungan sosial; (10) membentuk
sistem nilai; (11) membentuk kebudayaan.5
Dari beberapa pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
dalam suatu masyarakat terdapat sebuah interaksi, norma, adat-istiadat,
3

Ahmad Fedyani Saifuddin, Catatan Reflektis Antropologi Sosialbudaya, (Institut
Antropologi Indonesia, 2011), Cet.1, h. 143.
4
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1980), Cet.ke-2, h.
160-161.
5
M. Ridwan Lubis, Agama Dalam Perbincangan Sosiologi, (Bandung: Citapustaka Media
Perintis, 2010), h. 67.

14

hukum atau aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah
lakuwarga didalam masyarakat tersebut sekaligus dijadikan sebagai
pandangan hidup didalam kehidupannya.
b. Masyarakat Jawa
Dalam menunjukkan

suatu masyarakat tertentu yang sifatnya

mengkrucut, maka ada istilah community yang diterjemahkan sebagai
masyarakat setempat yang menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku,
atau bangsa. Masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial
yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dasar-dasar dari
masyarakat setempat adalah lokalitas, solidaritas, dan perasaan semasyarakat
setempat
Masyarakat Jawa yaitu suatu masyarakat yang mendiami wilayah di
Pulau Jawa yang terikat oleh aturan-aturan, norma, serta adat-istiadat yang
berlaku di masyarakat Jawa tersebut. Sebanyak 60% orang Jawa tersebar
diseluruh Nusantara bahkan dipelosok-pelosok wilayah. Hal ini membuat
orang-orang Jawa mudah dijumpai oleh orang lain dari suku selain Jawa.
1) Karakteristik Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau diIndonesia, suatu
kepulauan yang terbentang antara 6 derajat lintang utara, 11 derajat lintang
selatan dan 95-141 derajat Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak di
antara 5-10 derajat Lintang Selatan dan 105-115 derajat Bujur Timur.6
Pulau Jawa kurang lebih sepanjang 1.100 km dan rata-rata selebar
120 km dan terletak antara garis lintang selatan ke-5 dan ke-8. Dengan 132187 km persegi (termasuk Madura), Jawa memuat kurang dari 7 % dari
tanah seluruh Indonesia.7Jawa terdiri dari dataran-dataran rendah dengan
tanah vulkanis yang subur, beberapa daerah yang agak kering khususnya di
6

Budi Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita Graha Widia,
2000), h. 37.

15

sebelah selatan pulau, dan terdapat beberapa gunung berapi yang masih
aktif, Iklim Pulau Jawa adalah tropis. Di dataran rendah suhu rata-rata
berkisar antara 26 dan 27 derajat Celsius dengan kelembaban udara rata-rata
85% sampai dengan 73%. Pulau Jawa tidak mengenal musim dingin dan
musim panas tetapi ada perbedaan yang cukup jelas antara musim penghujan
dengan musim kering walaupun juga dalam musim kering, khususnya di
bagian utara dan barat Pulau Jawa, sering ada hujan.8
Dari 150 juta orang Indonesia seluruhnya kurang lebih 64% atau
96 juta hidup di Jawa dan Madura dengan kepadatan penduduk rata-rata 726
orang per kilometer persegi. termasuk wilayah-wilayah yang paling padat
penduduknya di dunia. Tetapi karena di Pulau Jawa daerahnya tidak dihuni
secara merata karena kesubururannya tidak sama di mana-mana, seperti
Jawa Barat dan Jawa Timur masih ada beberapa daerah yang masih sedikit
penduduknya maka kepadatan penduduk nyata dalam daerah-daerah yang
ada penduduknya itu jauh lebih tinggi. Misalnya, di sekitar Malang
kepadatan penduduk melebihi dua ribu penduduk per kilometer persegi.
Kota-kota terpenting Indonesia terletak di Jawa yaitu Jakarta, Bandung,
Bogor; Cirebon, Pekalongan, Semarang, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta,
Madiun, Kediri, dan Malang.9
2) Budaya Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki ragam budaya yang unik diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Agama
Masyarakat Jawa sebagian besar adalah pemeluk agama Islam.
Tetapi faktanya ada dua kategori agama Islam yang dianut oleh

8

Ibid. h. 38.
Franz Magnis- Suseno Sj, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1985), h.9-11
9

16

masyarakat Jawa, yaitu agama Islam orang Jawa yang bersifat sinkretis
dan agama Islam Puritan.
Bentuk agama Islam orang Jawa yang sifatnya sinkretis
diwujudkan dalam bentuk Agami Jawi atau Kejawen yaitu suatu
kompleks keyakinan yang diadopsi dari konsep-konsep Hindu-Budha
yang cenderung ke arah mistik. Sedangkan bentuk agama Islam yang
bersifat puritan diwujudkan dalam Varian Agami Islam Santri, “Yaitu
suatu ajaran yang lebih menekankan pada dogma-dogma ajaran Islam
yang sebenarnya tetapi juga terdapat sedikit unsur Hindhu Budha”.10
Masyarakat Jawa juga banyak yang menganut agama selain
agama Islam seperti agama Katolik, Protestan, Budha dan
Hindu. Jumlah penganut agama Katolik melebihi satu juta
orang, dan mereka pada umumnya terpusat di daerah pusat
kebudayaan Jawa. Orang jawa yang beragama Protestan dalam
tahun 1967 berjumlah lebih dari 250.000. Penganut agama
Budha dan Hindu hanya kecil sekali jumlanya, dan pada
umumnya berasal dari daerah sekitar kota Yogyakarta.11
b) Bahasa
Masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa
Jawa sehingga orang Jawa merupakan penduduk asli bagian tengah dan
timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa dalam berbahasa sehari-hari.
Bahasa orang Jawa tergolong sub-keluarga Hesperonesia dari
keluarga bahasa Malayo-Polinesia. Bahasa Jawa memiliki suatu sejarah
kesusasteraan yang dimulai pada abad ke-8, dan berkembang melalui
beberapa fase yang dapat dibeda-bedakan atas dasar beberapa ciri
idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang
berbeda-beda dari tiap pujanngganya. Fase-fase tersebut adalah sebagai
berikut:

10
11

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 312.
Ibid., h. 313.

17

1) Bahasa Jawa Kuno, yang dipakai dalam prasasti-prasasti keraton
pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10, dipahat pada batu atau
diukir pada perunggu, dengan bahasa yang seperti dipergunakan
dalam karya-karya kesusasteraan kuno abad ke-10 hingga ke-14.
Hanya sebagian kecil dari naskah-naskah Jawa kuno yang kita
miliki sekarang dibuat di Jawa Tengah; bagian terbesar ditulis di
Jawa Timur.
2) Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusasteraan JawaBali. Kesusasteraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad ke14. Kemudian dengan tibanya Islam di Jawa Timur, kebudayaan
Hindu-Jawa pindah ke Bali dimana kebudayaan itu menjadi mantap
dalam abad ke-16. Bahasa kesusasteraan ini hidup terus sampai
abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan bahasa yang
dipakai sehari-hari di Bali sekarang.
3) Bahasa yang dipergunakan dalam kesusasteraan Islam di Jawa
Timur.

Kesusateraan

ini

ditulis

di

zaman berkembangnya

kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu- Jawa di
daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan
Solo dalam abad ke-16 dan ke-17.
4) Bahasa kesusasteraan kebudayaan Jawa-Islam di daerah Pesisir.
Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota pantai
utara Pulau Jawa dalam abad ke-17 dan ke-18, oleh orang Jawa
sendiri disebut Kebudayaan Pesisir. Orang Jawa juga membedakan
antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota
pelabuhan Cirebon, dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih
tua yang berpusat di kota-kota Demak, Kudus, dan Gresik.
5) Bahasa kesusasteraan di kerajaan Mataram. Bahas ini adalah
bahasa yang dipakai dalam karya-karya kesusasteraan karangan
para pujangga keraton Kerajaan Mataram abad ke-18 dan ke-19,

18

yang terletak didaerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah
komplek Pegunungan Merapi-Merbabu-Lawu di Jawa Tengah,
dimana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.
6) Bahasa Jawa masakini, adalah bahasa yang dipaki dalam
percakapan sehari-hari dlam mayarakat orang Jawa dan dalam
buku-buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa dalm abd ke-20
ini.12

c) Sikap Hidup Orang Jawa
Didalam Serat Sasangka Djati, dituliskan delapan sikap dasar
manusia yang terdiri dari dua pedoman hidup yakni Tri-Sila dan PancaSila. Tri-Sila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari
dalam hubungannya dengan Tuhan yaitu pertama, berbakti kepada Tuhan
yang Maha Esa, kedua adalah percaya kepada semua Utusan Tuhan dan
ketiga, taat dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.13
Sebelum manusia dapat melaksanakan Tri-Sila tersebut maka sesorang
harus memiliki watak dan tingkah laku yang disebutkan dalam Panca-Sila
yaitu:
a. Pertama, rila adalah keiklasan hati sewaktu menyerahkan segalah
miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan,
dengan tulus iklas, dengan mengingat bahwa semua itu ada pada
kekuasaan-Nya.
b. Kedua, narimo adalah tidak menginginkan milik orang lain, serta
tidak iri hati terhadap apa yang dimiliki orang lain. Dengan begitu
orang narimo adalah orang yang selalu bersyukur terhadap apa yang
diberikan oleh Tuhan.
12

Ibid., hal. 17-18.
Herusatoto, op. cit., h. 71.

13

19

c. Ketiga, temen adalah perilaku yang selalu menepati janji atau
ucapannya sendiri. Baik janji yang diucapkan dengan lisan atau janji
dalam hati. Sedangkan orang yang tidak menepati kata hatinya berarti
ia menipu dirinya sendiri.
d. Keempat, sabar adalah merupakan tingkah laku terbaik, yang harus
dimiliki setiap orang. Karena sabar itu berarti momot, kuat terhadap
segalah cobaan, tetapi bukan berarti putus asa.
e. Kelima, budi luhur adalah selalu berusaha untuk menjalankan
hidupnya dengan segalah tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki oleh
Tuhan Yang Maha Esa.14
Dari delapan sikap dasar manusia diatas dapat disimpulkan
bahwa sikap hiduporang Jawa bersifat religius yaitu selalu mengaitkan
segala sesuatunya kepada Tuhan serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan dan keharmonisan kehidupan antar sesama.

d) Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan pada masayarakat Jawa dapat dilihat dari
dua pengklasifikasian lapisan sosial yang ditinjau dari segi sosialekonomis dan kegamaannya.
Dari segi sosial-ekonomis, terdapat dua golongan sosial yaitu,
Wong cilik atau orang kecil, merupakan lapisan masyarakat
paling rendah terdiri dari sebagian besar petani dan orang-orang
yang berpendapatan rendah di kota, dan kaum priyayi,
merupakan lapisan masyarakat yang menduduki tingkat teratas,
terdiri dari kaum pegawai dan orang-orang intelektual.
Sedangkan dari segi religiunitasnya terdapat golongan santri dan
abangan. Santri merupakan golongan yang berusaha hidup sesuai
dengan ajaran agama Islam sedangkan abangan merupakan

14

Ibid. h. 73.

20

sekelompok orang yang hidup dengan tradisi-tradisi pra-Islam
dan dipengaruhi dengan unsur-unsur animisme.15
e) Sistem Pemerintahan
Desa merupakan tempat pemukiman menetap bagi masyarakat
Jawa yang terdiri dari beberapa dukuh atau dusun. Desa menjadi wilayah
hukum dan sekaligus sebagai pusat pemerintahan tingkat daerah paling
rendah. Wilayah administratif diatas desa adalah kecamaatan, yaitu suatu
kumpulan dari 15 sampai 25 desa yang dikepalai oleh seorang camat.16
Secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan yang
dikepalai seorang lurah. Lurah dipilih oleh dan dari penduduk desa
sendiri, dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi calon yang dipilih
atau yang memilih. Dalam organisasi pemerintahan sekaligus sebagai
badan pimpinan rakyat, seorang lurah diwajibkan untuk mengangkat
pembantu- pembantu yang disebut sebagai pamong desa yang meliputi
(1) carik, yang bertindak sebagai pembantu umum dan sekretaris desa,
(2) sosial, yang memelihara kesejahteraan penduduk baik rohani maupu
jasmani,(3) kemakmuran, yang mempunyai kewajiban memperbesar
produksi pertanian, (4) keamanan, yang bertanggung jawab atas
ketentraman lahir dan batin penduduk desa. (5) kaum, yakni yang
mengurus soal-soal mengenai nikah, talak dan rujuk, kegiatan keagamaan
serta kematian.17
Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah didesa dilakukan
secara demokratis, terbuka, jujur dan biasanya dilakukan di tempat
terbuka seperti pekarangan rumah atau di tengah lapang.

15

Koentjaraningrat op. cit., h.12.
Koentjaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,1985),

16

h.59
17

Ibid. h. 150.

21

f) Mata pencaharian
Sumber utama penghasilan masyarakat Jawa yang notabennya
wilayah pedesaan adalah bertani. Di daerah dataran tinggi, seperti
pegunungan masyarakat memanfaatkan lahannya untuk dijadikan sebagai
tegalan atau lahan kering yang ditanami sayur mayur, buah-buahan dan
jenis pohon lainny