Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi

KONTESTASI AKTOR DAN KEPENTINGAN TERHADAP
SUMBER DAYA AIR DI SUKABUMI

NINING ERLINA FITRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kontestasi Aktor dan
Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di Sukabumi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, July 2014
Nining Erlina Fitri
NIM I353110031

RINGKASAN
NINING ERLINA FITRI. Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber
Daya Air di Sukabumi. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan
NURMALA K PANDJAITAN.

Tonggak perubahan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air di
Indonesia oleh swasta dilegitimasi dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7
tahun 2004 tentang sumber daya air. Undang-undang ini memberi kewenangan
kepada swasta untuk mengusahakan sumber daya air untuk kepentingan
komersial. Akibat liberalisasi sumber daya air tersebut beragam akses masyarakat
pedesaan berkurang, bahkan hilang dan berimplikasi pada hilangnya sumber mata
pencaharian petani dan ikut berkontribusi besar pada perubahan lingkungan di
pedesaan. Eksploitasi sumber daya air yang berlebihan menyebabkan terjadinya
kelangkaan sumber daya air yang berujung pada terjadinya konflik perebutan
sumber daya air antara masyarakat dengan perusahaan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang terjadinya

konflik dan menganalisis berbagai kepentingan yang bertarung dalam
memperebutkan akses terhadap sumber daya air di Cidahu dan Cicurug,
Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai September
2013 di tiga desa yang berbatasan langsung dengan lokasi eksploitasi dan pabrik
air minum dalam kemasan di Kecamatan Cidahu dan Cicurug. Metode
pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian ini menunjukkan hilang/berkurangnya akses masyarakat
terhadap sumber daya air karena hilangnya hak kepemilikan masyarakat terhadap
tanah yang mengandung sumber-sumber air tersebut. Hilangnya akses masyarakat
tidak hanya disebabkan oleh hilangnya kepemilikan tapi karena faktor-faktor lain
yang saling mempengaruhi. Perusahaan mampu mengontrol masyarakat dengan
kekuatan modal, teknologi dan relasi yang terbangun dengan pihak pemerintah
lokal (pemda/desa), elit-elit desa dan sebagian LSM lokal.
Kepemilikan sumber air dan tanah di desa terkonsentrasi kepada
perusahaan karena kebutuhan perusahaan untuk membangun pabrik,
meningkatkan kapasitas produksi, dan kebutuhan untuk melakukan konservasi
(perlindungan) terhadap sumber air tanah sesuai dengan yang disyaratkan oleh
undang-undang. Dorongan permintaan pasar (market) berkelindan dengan kuasa
peraturan (regulation) berhasil menyingkirkan masyarakat dari sumber air, tanah

dan mata pencahariannya. Keberadaan perusahaan di desa menyebabkan
terjadinya perubahan bentang alam (landscape) karena pembangunan pabrik,
perumahan, dan bangunan lain untuk menunjang aktifitas perusahaan di desa.
Perubahan lingkungan fisik ini menyebabkan hilang/berkurangnya air permukaan
(air sumur), dan mata air di beberapa tempat serta mengubah drastis daerah
pertanian menjadi lahan-lahan kering yang tidak produktif.
Kontestasi untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya air
mengemuka sebagai isu kekeringan dan kesulitan untuk mendapatkan air,
sejatinya merupakan akibat dari minimnya akses yang dimiliki oleh masyarakat
terhadap pekerjaan di perusahaan AMDK dan akibat dari hilangnya mata

pencaharian. Pertarungan tidak saja melibatkan masyarakat dan perusahaan tapi
menarik aktor lain seperti LSM untuk terlibat dan ikut memanfaatkan situasi demi
kepentingan masing-masing.
Negara sebagai pemilik sumber daya air yang diamanatkan oleh UUD
1945 memiliki peran dalam penyediaan air untuk kepentingan masyarakat justru
menyerahkan penyediaan fasilitas air bersih kepada perusahaan dengan
memberikan kewenangan kepada swasta untuk mengusahakan dan mengelola
sumber daya air dengan menetapkan payung hukum Undang-Undang No.7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air beserta peraturan turunannya. Pendelegasian peran

negara kepada swasta melalui undang-undang ini mempercepat terjadinya
liberalisasi sumber daya air di pedesaan.

Kata kunci: Sumber Daya Air, Kontestasi, Akses, Konflik, Ekslusi, Perusahaan
Air, Sukabumi.

SUMMARY
NINING ERLINA FITRI. Contestation of Actors and the Interests on Water
Resources in Sukabumi. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO and
NURMALA K PANDJAITAN.
Changes in the control and management by private sector of water
resources in Indonesia was legitimized by the enactment of Law No 7 of 2004 on
water resources. This law gives authority to the private sector to commercialize
water resources. Liberalization of water resource have an impact on the demise of
people access to resources, with some implications to the reduction of local
livelihood source and also contribute to environmental changes in rural areas.
Water resources exploitation causing water scarcity and it end up on the water
resources conflict between local community and the water company.
The objective of this study is to elaborate the background of the conflict
and also analysing the contestation of various people interest in competing water

resources access in Cidahu and Cicurug villages, Sukabumi District. The study
was conducted from February to September 2013 in three villages. Those three
villages were located in adjacent with the water drinking company in Cidahu and
Cicurug. The methods employs in this research for data gathering and analysis
was a combination of qualitative and quantitave approaches.
This study show that the reduction of people access to water resources due
to the loss of land ownership by local people. The land is the area with water
resources. The demise of public access is not only causing by the loss of local
ownership but also due to other factors may affect each other. The company's
ability to control the people with the power of capital, technology and the
relationship that was built with the local government (local government / village),
village elites and some local NGOs.
Ownership of water resources and land in the village was concentrated to
the company because the company needs to build a plant, increasing production
capacity, and the need for conservation (protection) against ground water sources
as required by law. High market demand intertwined with power regulation got rid
the local community from their water sources, land and livelihood. The existence
of the company in the village leads to changes in the landscape for the
construction of factories, housing, and other structures to support the company's
activities in the village. Changes in the physical environment lead to loss /

reduction of surface water (well water), and springs in some places, and change
drastically agricultural areas into unproductive arid lands.
Contestation to gain access to water resources issues surfaced as drought
and difficult to get water, is actually the result of a lack of access to livelihood
source by the public in the drinking water company and as a result of loss of
livelihood. The fight does not only involve the community and other companies
but also other actors such as NGOs, with their engagement and participation in
using the situation for their own benefit.
State as the owner of water resources mandated by the ‘National
Constitution – 1945’ has a role in water provision for the benefit of the
community, but they handed provision of clean water to the company by giving
authority to the private sector to commercialize and manage water resources to

establish legal protection Law No.7 of 2004 on Water Resources and its
derivatives regulation. Delegating role of the state to the private sector through
legislation is accelerating the liberalization of water resources in rural areas.

Keywords: Water Resources, Contestation, Access, Conflict, Exclusion, Water
Company, Sukabumi


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONTESTASI AKTOR DAN KEPENTINGAN TERHADAP
SUMBER DAYA AIR DI SUKABUMI

NINING ERLINA FITRI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis

: Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan, Msc.Agr

Judul Tesis : Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumber Daya Air di
Sukabumi
Nama
: Nining Erlina Fitri
NIM
: I353110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr.Ir.Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua

Dr.Nurmala K Pandjaitan, MS.DEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir.Arya Hadi Dharmawan, Msc.Agr

Dr.Ir.Dahrul Syah, Msc.Agr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2014

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini
Kontestasi Aktor dan Kepentingan Terhadap Sumberdaya Air di Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo MS
dan Ibu Dr Nurmala K Pandjaitan MS DEA selaku pembimbing, serta Bapak
Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan yang telah banyak memberi saran, arahan dan
kritikan Penulis beruntung dibimbing dan diuji oleh ketiganya sehingga tesis ini
menjadi lebih berbobot.
Secara khusus penulis berterimakasih kepada Gagak (Eko Cahyono) yang
telah menjadi reviewer sekaligus editor untuk tesis ini, dan inspirasi awal untuk
melaksanakan penelitian di ranah ekologi politik sumber daya air yang belum
banyak menjadi perhatian peneliti lain sebelumnya. Terimakasih untuk Umam,
dan Ita untuk bantuannya mengolah data kuantitatif yang rumit dan
membingungkan.
Terimakasih kepada Khadafi yang telah memudahkan proses wawancara
dengan biyong di Sukabumi. Penulis berterimakasih kepada keluarga besar Bapak
Cece Supratman di desa Caringin, keluarga besar Pak Zainuddin (Jae) di
Papisangan Lio, keluarga umi Mbat Papisangan Tongoh dan Mak OO di Babakan

Pari yang telah bersedia berbagi tempat tinggal, informasi dan lainnya selama
penulis melakukan penelitian di Cicurug dan Cidahu.
Penulis beruntung mendapatkan kesempatan berdiskusi dengan temanteman di Sosiologi Pedesaan terutama teman-teman SPD angkatan 2011, hari-hari
yang berkejaran akhirnya bisa kita taklukkan bersama-sama. Untuk teman-teman
di Bina Desa ( Mbak wiwi, Nisa and the gang), terimakasih telah memberikan
kesempatan untuk mendialogkan antara teori dan praktek dalam kehidupan nyata
di pedesaan.
Tesis ini didedikasikan untuk Ibunda Yuerlis, Sri, Wandi, Leni, keponakan
kecil Atha, Faris dan Zikri untuk semua kasih sayang dan dukungan yang tiada
berbatas. Terakhir terimakasih untuk semua teman-teman petani, perempuan di
pedesaan dan pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Karya ini tentu
saja masih jauh dari sempurna, penulis membuka diri atas kritikan, saran untuk
penelitian-penelitian lain di masa yang akan datang.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Nining Erlina Fitri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
3
6
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Politik
Teori Property Rights
Teori Akses
Konflik, Penyebab dan Bentuk Konflik
Perubahan Paradigma tentang Air
Kerangka Pemikiran

7
7
11
13
15
17
20

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode dan Strategi Penelitian
Jenis Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

23
23
24
24

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kecamatan Cicurug
Desa Caringin
Desa Mekar Sari
Kecamatan Cidahu
Desa Babakan Pari
Potensi Sumber Daya Air Cekungan Sukabumi

26
26
28
32
34
36
40

5 KEBIJAKAN, AKSES DAN PERUBAHAN PENGUASAAN SUMBER
DAYA AIR
Kebijakan Sumber Daya Air
Masa Orde Lama
Masa Orde Baru
Masa Orde Reformasi
Izin Pengusahaan Air Tanah
Akses Perusahaan Terhadap Sumber Daya Air
Proses Masuknya Perusahaan AMDK
Eksploitasi Air Oleh Perusahaan AMDK
Penguasaan Lahan Oleh Perusahaan AMDK
Akses Masyarakat Terhadap Sumber Daya Air
Perubahan Penguasaan dan Hak Kepemilikan Terhadap
Sumber Daya Air
Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Terhadap Air
6 KONTESTASI KEPENTINGAN TERHADAP SUMBER DAYA AIR
Diskursus Politik Sumber Daya Air
Akar Penyebab Konflik

43
43
43
44
45
47
49
51
53
57
61
63
65
69
69
72

Perubahan Lingkungan Fisik
Perubahan Peluang Bekerja dan Berusaha
Perubahan Makna Air Bagi Masyarakat
Perlawanan Masyarakat
Peran Lembaga Swadaya Masyarakat
Peran Negara/Pemerintah
Kondisi Pasca Perlawanan
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

73
77
79
83
88
90
94
97
97
98

DAFTAR PUSTAKA

100

RIWAYAT HIDUP

104

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Dimensi-dimensi dari Politicised environment
Gambaran Tiga Diskursus Dalam Pembuatan Kebijakan
Status Kepemilikan sumber daya alam
Karaketristik responden pada lokasi penelitian
Jumlah rumah tangga pemanfaat sumber air di Kecamatan Cicurug
Perusahaan pemakai sumber air di Kecamatan Cicurug
Tingkat pendidikan penduduk Desa Caringin
Jumlah penduduk Desa Caringin berdasarkan mata pencaharian
Kepemilikan tanah pertanian di Desa Caringin
Sumber daya air di Desa Caringin yang dimanfaatkan penduduk untuk
keperluan sehari-hari
Jumlah penduduk Desa Mekar Sari Berdasarkan Mata Pencaharian
Kepemilikan lahan pertanian di Desa Mekar Sari
Jumlah rumah tangga pemakai sumber air untuk keperluan sehari-hari
Jumlah rumah tangga pemanfaat sumber air di Kecamatan Cidahu
Perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan sumber daya air di Cidahu
Jumlah penduduk Babakan Pari menurut umur
Jumlah penduduk Babakan Pari menurut mata pencaharian
Rumah tangga pemakai sumber air untuk keperluan sehari-hari
Mata air di Desa Babakan Pari
Pertumbuhan Pemanfaatan Sumber Air Tanah Berdasarkan Jenis
Sumber Air Tanah 2009-2012
Daftar Perusahaan yang Mengeksploitasi Sumber Daya Air di Wilayah
Kubang
Debit Pengambilan Air Tanah oleh PT. AGM dan PT. TI
Debit Pengambilan Air oleh PT. TBT
Penjualan/Pengalihan Tanah kepada Pihak Lain
Mata air di Wilayah Kubang
Perubahan Penguasaan dan Kepemilikan Sumber Daya Air
Alasan Masyarakat Menjual Tanah
Bentuk-Bentuk Perlawanan
Penerimaan Pajak Air Tanah Januari-Agustus 2013 dari Eksplorasi
Wilayah Kubang
Tindakan Perusahaan AMDK dalam Mengontrol Perilaku Masyarakat

9
10
12
25
27
27
29
30
31
32
33
34
34
35
36
38
39
39
42
49
50
54
55
59
62
65
75
87
92
93

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Kerangka Pemikiran Penelitian
Lokasi Penelitian
Peta Potensi Air Tanah Kabupaten Sukabumi
Perubahan Kepemilikan Lahan Sesudah Keberadaan Perusahaan
Penggunaan Air Selokan oleh Masyarakat
Sikap Masyarakat Terhadap Kehadiran Perusahaan AMDK

22
23
41
60
68
72

7 Kesulitan Mendapatkan Air Bersih Sebelum dan Sesudah Keberadaan
Perusahaan
8 Makna sumber air bagi masyarakat
9 Makna Sumber Air Bagi Masyarakat
10 Makna Sumber Air Bagi Masyarakat Cisaat (Pembanding)
11 Makna Sumber Air Bagi Masyarakat Cisaat (Pembanding)

76
80
81
82
83

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan dasar dan kebutuhan vital untuk menunjang
kehidupan, terutama untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan
minum, memasak, mencuci dan mandi. Sejalan dengan itu Shiva (2007) dalam
tulisannya yang berjudul The Nine principles of Water, menulis sembilan prinsip
penting tentang air yaitu : (1) air adalah hadiah dari alam, (2) air sangat penting
untuk kehidupan, air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk (3) hidup
saling terhubung dengan menggunakan air, (4) air harus tersedia dengan gratis
untuk kelangsungan hidup, (5) air sangat terbatas dan dapat habis, (6) air harus
dijaga, (7) air adalah milik umum, (8) Tidak satupun memiliki hak untuk
menghancurkannya dan yang terakhir (9) air tidak dapat digantikan. Dengan
begitu air sangat penting bagi kehidupan tidak saja bagi kelangsungan hidup
manusia tapi juga bagi kelangsungan hidup makhluk lain di muka bumi, dan
sampai saat ini belum ditemukan barang lain atau barang subsitusi yang dapat
menggantikan fungsi air bagi kehidupan makhluk hidup.
Bagi Negara seperti Indonesia yang sebagian besar penduduknya
menggantungkan hidup dari pertanian maka air menjadi kebutuhan penting untuk
berproduksi. Lahan pertanian memerlukan air dalam jumlah yang sangat besar.
Manusia membutuhkan air sebanyak 3.600 km3 per tahun dan 69 persen di
antaranya digunakan untuk sektor pertanian (Air Telapak 2009). Untuk keperluan
minum, memasak dan mencuci manusia membutuhkan minimal 50 liter air dalam
sehari. Air juga merupakan kebutuhan penting dalam dunia industri dan usaha.
Penggunaan air meningkat menjadi enam kali lipat dalam seratus tahun
terakhir (Kruha 2011). Peningkatan kebutuhan terhadap air disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan jumlah industri-industri yang
menggunakan air sebagai bahan baku produksi. Sebagai bahan baku utama, air
dipergunakan oleh perusahaan air minum dalam kemasan yang berkembang sejak
tahun 1980an di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan sumber
daya air yang terdapat di wilayah pedesaan untuk dijual sebagai komoditas.
Air dianggap sebagai emas biru (golden blue) yang diperdagangkan dan
dieksploitasi secara bebas (Shiva 2002). Sebelumnya, air merupakan barang
publik (public goods) yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua pihak
yang membutuhkan (open access). Perubahan makna air dari barang publik
menjadi barang ekonomi yang dikuasai oleh perusahaan – perusahaan swasta
(privat) untuk menghindari terjadinya tragedy of the commons (Hardin 1968)
yaitu terjadinya kerusakan sumber daya karena keinginan semua pihak untuk
memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Untuk itu status
kepemilikan akses terbuka (open acces property) perlu dialihkan menjadi
kepemilikan swasta (privat property). Privatisasi dalam pengelolaan sumber daya
air merupakan solusi dari kegagalan publik mengelola sumber daya air secara
efektif dan efisien (Rees 1998).
Di Indonesia praktek privatisasi air dilegalkan dengan disahkannya UndangUndang No.7 tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Undang-undang ini
mengatur tentang hak guna air, hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Hak

2
guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air
untuk berbagai keperluan. Hak guna pakai air adalah untuk memperoleh dan
memakai air sedangkan hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan
mengusahakan air.
Penyerahan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air ke tangan swasta
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi menyebabkan terjadinya eksploitasi
yang berlebihan terhadap sumber daya air tersebut yang didorong oleh
meningkatnya permintaan terhadap air bersih dari masyarakat perkotaan.
Peningkatan permintaan ini dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan yang
melihat adanya peluang bisnis yang sangat besar dan menguntungkan. Pada tahun
2012 diperkirakan volume konsumsi air minum dalam kemasan (AMDK)
mencapai 19.8 miliar liter, sementara tahun 2011, konsumsi air minum dalam
kemasan mencapai 17.9 miliar liter, dengan rata-rata kenaikan 11 sampai 12
persen per tahun, yang dihasilkan dari 1500 perusahaan air minum dalam kemasan
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Pokja AMPL 2012).
Indonesia memiliki cadangan air yang cukup besar yaitu mencapai 3.221
miliar meter kubik/tahun dengan ketersediaan air perkapita 16 800 meter kubik
pertahun (Antara News.com 2012). Secara spesifik Indonesia memiliki potensi air
tanah yang relatif cukup besar yaitu 4.7 x 109m3 yang tersebar dalam 224
cekungan air tanah (Rejekiningrum 2009). Namun ketersediaan air ini tidak
tersebar merata di semua wilayah Indonesia. Khusus untuk pulau Jawa yang
penduduknya sangat padat dengan tutupan hutan yang minim, memiliki
ketersediaan air sejumlah 30.569.2 juta m3 per tahun sedangkan kebutuhan air
pada tahun 2000 mencapai 83.378.2 juta m3 pertahun, pada tahun 2015
diperkirakan kebutuhan air di Pulau Jawa akan mencapai 164.672,0 juta m3
pertahun (KLH dalam Nugroho 2007). Dari data ini dapat disimpulkan adanya
indikasi terjadinya krisis air di Pulau Jawa.
Krisis air ditandai dengan terjadinya kelangkaan air (water scarcity),
penurunan kualitas air (water quality) dan bencana alam terkait dengan air (water
related disaster) seperti banjir, kekeringan dan pencemaran air tanah (Unesco
2003). Kelangkaan air ini terutama terjadi pada musim kemarau dan pada
wilayah-wilayah yang sumber daya airnya dieksploitasi untuk kepentingan bisnis.
Penyerahan penguasaan pengelolaan sumber daya air kepada swasta juga menutup
akses masyarakat terhadap sumber daya air tersebut. Perusahaan-perusahaan
mendapatkan keuntungan dari naiknya permintaan terhadap air sementara
masyarakat kehilangan haknya atas air dan kehilangan mata pencaharian (Shiva
2002).
Dalam jangka panjang kelangkaan air mengakibatkan terkendalanya proses
produksi pertanian sehingga petani kehilangan pekerjaan yang selama ini
menghidupinya dan kesulitan masyarakat mengakses air bersih untuk keperluan
sehari-hari. Ancaman terjadinya krisis air dan hilangnya akses masyarakat
terhadap sumber daya air dapat memicu terjadinya konflik perebutan sumber daya
air baik konflik vertikal maupun konflik horizontal.
Konflik perebutan sumber daya air merupakan konflik kontemporer yang
didorong oleh kepentingan ekonomi (Porto 2002 dikutip Baiquni 2003). Hal ini
mengacu pada Mac.Neil et.all (1991) dalam Kinseng (2007) bahwa konflik yang
disebabkan oleh perubahan iklim, pencemaran lingkungan, kelangkaan sumber

3
daya air dan sumber daya lainnya akan menjadi ancaman terhadap masa depan
dunia.
Konflik ini muncul sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
menyebabkan kerusakan lingkungan dan langkanya sumber daya; (1) kegiatan
manusia dapat menyebabkan penurunan jumlah dan kualitas sumber daya
terutama jika sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi
daya pulihnya, (2) Penurunan atau kelangkaan sumber daya disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk, dengan pertambahan penduduk berarti pemakaian tanah
dan air semakin berkurang karena tanah dan air tidak bertambah, (3) akses
terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang tidak seimbang, yang
disebabkan oleh pranata hukum atau hak kepemilikan yang tidak seimbang yang
terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat sehingga menyebabkan
kelangkaan hak kepemilikan dan akses bagi kelompok lain (Dixon 1999)
Perumusan Masalah
Sukabumi bagian utara merupakan wilayah yang sangat kaya dengan
sumber daya air baik air permukaan maupun air bawah tanah. Pemetaan potensi
air bawah tanah yang dilakukan oleh Rejekiningrum (2009) memperlihatkan
tingginya potensi air tanah di DAS Cicatih Kabupaten Sukabumi yang meliputi 15
kecamatan dengan debit 2.5 l/dtk/km2 terdapat di Kecamatan Cidahu bagian
selatan, Cicurug, Nagrak bagian selatan, Kadudampit bagian selatan, Caringin
bagian selatan dan kecamatan Cisaat. Sumber air terbesar terdapat di kecamatan
Cidahu, Cicurug dengan 37 buah mata air dengan total debit 1 335 liter perdetik
(DGTL dalam Kruha 2007 ).
Ketersediaan air yang berlimpah mengundang perusahaan-perusahaan untuk
datang dan ikut memanfaatkan sumber daya air di kedua kecamatan tersebut. Di
kedua kecamatan ini beroperasi sebanyak 37 perusahaan yang melakukan
eksploitasi terhadap sumber daya air di kedua wilayah tersebut 1 . Diantara 37
perusahaan tersebut terdapat 11 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK).
Kebanyakan perusahaan-perusahaan itu membeli lahan di kecamatan Cidahu dan
Cicurug lalu kemudian membangun sumur bor di daerah-daerah yang
menghasilkan air yang besar. Air lalu dialirkan melalui pengolahan dan
pengemasan yang letaknya tak jauh dari jalan raya (Amrta 2011).
Di Cidahu beroperasi salah satu perusahaan air minum terbesar di Asia
Pasifik. Perusahaan ini mengeksploitasi sumber mata air Cikubang I dan
Cikubang II yang terletak di Desa Babakan Pari. Mata air Cikubang dieksploitasi
sejak tahun 1992, awalnya yang dieksploitasi adalah air permukaan yaitu air yang
langsung keluar tanpa dibor namun pada tahun 1994, perusahaan mulai
mengeksploitasi air bawah tanah dengan cara menggali jalur air dengan mesin bor
bertekanan tinggi (Nugraha 2012).
Wilayah mata air kubang yang dulunya merupakan kawasan pertanian,
mulai dibeli oleh perusahaan dan dirubah menjadi kawasan hutan, di sekitar mata
air dipagari tembok oleh perusahaan dan dijaga dengan ketat oleh petugas
keamanan selama 24 jam penuh setiap harinya. Perusahaan ini menyedot 24.6
1

Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi (2007) dalam Kruha (2007)

4
liter perdetik air bawah tanah untuk didistribusikan dan dijual ke berbagai
wilayah di Jawa. Jumlah air yang dieksploitasi oleh satu perusahaan ini setara
dengan jumlah air yang disalurkan oleh PDAM Sukabumi (Amrta 2011). Belum
lagi jumlah air yang dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan lain di lokasi
tersebut. Perusahaan air minum dalam kemasan dalam operasinya mengantongi
izin pengambilan air (SIPA) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah melalui
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi.
Pemerintah sebagai pihak pemberi izin pengambilan air berharap
mendapatkan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang dibayarkan oleh
perusahaan dalam bentuk pajak air bawah tanah dan air permukaan. Pada tahun
2012 pemerintah kabupaten memperoleh PAD sebesar 2.3 milyar pertahun yang
ditenggarai tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang telah diakibatkan
oleh eksploitasi sumber daya air tersebut (Radar Sukabumi 2012). Surat izin
pengambilan air dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dengan disertai
kesepakatan yang mewajibkan perusahaan yang melakukan eksploitasi air di
wilayah Sukabumi untuk menghijaukan daerah resapan air, namun hanya satu
perusahaan saja yang melakukannya.
Fasilitas umum di dua kecamatan ini sangat minim, jalan-jalan desa banyak
yang mengalami kerusakan. Sarana pendidikan yang bisa diakses oleh masyarakat
juga sangat minim. Di sisi lain keberadaan perusahaan-perusahaan telah
mengakibatkan kekeringan, sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air
bersih untuk keperluan rumah tangga dan kesulitan mendapatkan air untuk
keperluan pengairan.
Penelitian tentang dampak eksploitasi air yang berlebihan telah dilakukan
oleh KRUHA (Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air) pada tahun 2007. Penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Cicurug dan Cidahu Sukabumi Jawa Barat
memperlihatkan terjadinya perubahan kondisi sosio ekologi masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Dampak yang paling dirasakan langsung oleh masyarakat
adalah kesulitan mendapatkan air bersih untuk keperluan rumah tangga dan untuk
pemenuhan kebutuhan irigasi lahan pertanian dan terjadinya penurunan muka air.
Sebelum masuknya perusahaan untuk mengeksploitasi air, air sumur bisa dengan
mudah didapatkan pada kedalaman 5-8 meter, tapi sejak keberadaan perusahaan
kedalaman sumur terpaksa harus di tambah menjadi 17-20 meter, yang pada
musim kemarau masih mengalami kekeringan.
Pengalihan penguasaan sumber air berakibat pada kurangnya ketersediaan
air untuk kebutuhan pertanian sehingga sawah-sawah menjadi kering dan tidak
bisa ditanami. Penelitian yang sama dilakukan pula oleh Endang Indriati (2011)
yang menyimpulkan bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan di Cidahu
dan Cicurug telah berdampak pada munculnya masalah lingkungan, ekonomi dan
masalah sosial.
Penguasaan sumber air oleh perusahaan menyebabkan hilang/berkurangnya
akses masyarakat terhadap sumber daya air di kedua wilayah ini. Sejak tahun
1999 telah terjadi berbagai kasus penyorobotan yang dilakukan oleh pihak
masyarakat lokal terhadap perusahaan. Aksi-aksi ini terutama disebabkan karena
sulitnya masyarakat mendapatkan air bersih dan hilangnya mata pencaharian
warga sekitar yang dulunya adalah petani. Aksi-aksi yang dilakukan oleh
masyarakat seringkali dapat diredam dan diselesaikan dengan dipenuhinya

5
tuntutan masyarakat oleh perusahaan. 2 Tuntutan yang sering diajukan oleh
masyarakat kepada pihak perusahaan adalah penyediaan air bersih untuk
kebutuhan warga. Permintaan adanya bantuan air bersih kepada perusahaan hanya
dapat direalisasikan melalui prosedur-prosedur yang rumit. Bantuan air bersih
yang diberikan dinilai tidak mencukupi kebutuhan masyarakat sekitar, bahkan tak
jarang bantuan sumur bor dari perusahaan seringkali mengalami kekeringan.
Tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih semua warga oleh perusahaan memicu
pula timbulnya konflik horizontal antar sesama warga.
Belakangan tidak hanya perusahaan dan masyarakat yang menikmati
keuntungan dari kekayaan sumber daya air yang berlimpah, kedatangan
perusahaan yang memiliki modal besar dan teknologi canggih dalam
mengeksploitasi sumber daya air berhadapan dengan masyarakat yang hanya
memiliki kemampuan modal, pengetahuan dan teknologi yang terbatas
mengundang pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat untuk turut
memperjuangkan kepentingan masyarakat terhadap sumber daya air di Sukabumi.
Lembaga-lembaga ini beberapa berasal dari luar wilayah Sukabumi, dan sebagian
besar merupakan lembaga lokal yang muncul sebagai respon atas keberadaan
perusahaan di wilayah Sukabumi.
Pertentangan antar aktor ini berlangsung secara diam-diam (laten) dan
masing-masing pihak memainkan strategi masing-masing untuk memperoleh
kemenangan atas aktor lain. Pihak masyarakat memainkan strategi caikna herang,
ikanna benang (airnya tetap bersih namun ikannya dapat ditangkap), begitu pula
pihak perusahaan. Kritik masyarakat terhadap perusahaan mulai terjadi sejak
tahun 1999, sejak kemarau panjang, yang menyebabkan masyarakat kesulitan
mendapatkan air bersih. Lembaga swadaya masyarakat memainkan peranan
sebagai pembela masyarakat pada awalnya, namun belakangan sebagian dari
mereka berkolaborasi dengan perusahaan untuk mengerjakan CSR (corporate
social responsibility) perusahaan.
Penelitian tentang perebutan sumber daya air dilakukan oleh Stroma Cole di
Bali yang mengkaji tentang perebutan sumber daya air antara sektor pertanian
dengan sektor pariwisata dalam tulisannya yang berjudul A Political Ecology of
Water Equity and Tourism : A Case Study From Bali memperlihatkan bagaimana
mismanagement pengelolaan air untuk sektor pariwisata di Bali berdampak
terhadap kehidupan masyarakat lokal terutama petani dan memicu timbulnya
konflik.
Sementara penelitian tentang perebutan sumber daya air antara perusahaan
dan masyarakat lokal selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis relasi antara berbagai aktor dan
kepentingan yang terlibat dalam perebutan sumber daya air yang terjadi di Cidahu
dan Cicurug, terutama mengkaji konflik yang terjadi antara perusahaan yang
memiliki modal besar (uang, pengetahuan, akses dll) berhadapan dengan
masyarakat yang sama sekali tidak mempunyai kekuatan. Berdasarkan masalah –
masalah yang telah disebutkan diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
2

Misalnya aksi yang dilakukan oleh sekelompok ibu-ibu di Kampung Pojok, Desa Babakan Pari
pada tahun 1999, menuntut salah satu perusahaan menepati janjinya untuk menyediakan
fasilitas air bersih untuk masyarakat sekitar.

6
1. Bagaimana latar belakang terjadinya konflik, dan bagaimana hubungan
konflik dengan perubahan akses dan kepemilikan sumber daya air serta
penurunan ketersediaan air yang diakses oleh masyarakat ?
2. Siapa saja aktor-aktor yang berkepentingan dalam mengakses sumber daya
air, dan bagaimana relasi antar aktor dan kepentingan dalam mengakses
sumber daya air tersebut ?
3. Bagaimana bentuk perlawanan (resistensi) dari masyarakat lokal terhadap
pihak atau aktor lain yang mengakses sumber daya air di Cidahu dan
Cicurug? Apa bentuk resistensi tersebut? dan dimana peran pemerintah?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis penyebab konflik antara masyarakat dengan perusahaan air
minum dalam kemasan (AMDK).
2. Mengidentifikasi aktor-aktor yang berkepentingan dalam mengakses sumber
daya air, dan menganalisis relasi antar aktor dan kepentingan tersebut dalam
mengakses sumber daya air.
3. Menganalisis bentuk-bentuk perlawanan (resistensi) yang dilakukan
masyarakat terhadap pihak atau aktor luar yang mengakses sumber daya air
di Cidahu dan Cicurug serta menganalisis peran pemerintah.

Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk meningkatkan
pemahaman berbagai pihak yang terkait dengan penguasaan dan pengelolaan
sumber daya alam terutama air dan dalam upaya penyelesaian konflik-konflik
yang terjadi di masyarakat secara tepat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberi masukan kepada pihak pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan
cara-cara yang lebih bijak dalam pengelolaan sumber daya air sehingga tercipta
situasi dan kondisi yang adil bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap
sumber daya air tersebut.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi politik
Kemunculan ekologi politik dimulai dengan tulisan Wolf (1972) seperti
dikutip Bryant dan Bailey (1997) dalam bukunya Third World Political Ecology,
dan Robbins (2004) dalam buku yang berjudul Political Ecology . Menurut
Blaikie (1999), ekologi politik merupakan pendekatan yang menggabungkan
pendekatan ekologi dengan geografi tradisional untuk (1) melihat interaksi antara
perubahan lingkungan dengan sosial ekonomi dalam wilayah sebagai sebuah
dialektika yang berasal dari sejarah dan hubungan antara pemanfaatan sumber
daya dengan relasi sosial ekonomi politik yang membentuk, (2) karakteristik dari
ekologi politik adalah identifikasi sebagai sebuah pemeriksaan perbedaan kondisi
alamiah, perubahannya dari waktu ke waktu, dan diperebutkan dengan kekuatan
yang berbeda (un equal power).
Sejak kemunculannya, pengertian ekologi politik terus berkembang
sampai sekarang. Robbins (2004) dalam bukunya yang berjudul Political Ecology,
mencoba merangkum sejarah dan perkembangan dari ekologi politik sejak tahun
1979 :
 Dimulai dengan Cockburn dan Ridgeway pada tahun 1979 melihat
ekologi sebagai suatu cara untuk menggambarkan gerakan radikal di
Amerika, Eropa barat, dan negara industri maju lainnya yang bertujuan
untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang degradasi lingkungan
perkotaan dan pedesaan yang disebabkan oleh aktifitas perusahaan,
kesalahan managemen, dan respon aktifis sosial.
 Blaikie dan Brookfield pada tahun 1987 berpendapat bahwa ekologi
politik merupakan kombinasi perhatian dari ekologi dan politik dalam
arti luas, meliputi dialektika terus menerus antara masyarakat dengan
sumber daya dan antara kelas dan kelompok dalam masyarakat dan
menjelaskan perubahan lingkungan yang dibatasi oleh pilihan produksi
lokal dan regional dalam kekuatan ekonomi politik global.
 Greenberg dan Park tahun 1994 melihat ekologi politik sebagai sintesis
ekonomi politik dengan kebutuhan untuk melihat distribusi kekuasaan
dengan aktifitas produktif dan ekologi.
 Peet dan Watts pada tahun 1996 mengatakan bahwa ekologi politik
adalah pertemuan antara ekologi yang berakar pada ilmu sosial dengan
prinsip-prinsip ekonomi politik yang mendorong munculnya gerakan
lingkungan untuk mempertahankan hidup dan keadilan sosial sebagai
akibat dari kontradiksi dan ketegangan yang terjadi akibat krisis sumber
daya alam.
 Hempel pada tahun yang sama yaitu tahun 1996 mempertegas bahwa
studi dengan pendekatan ekologi politik merupakan studi tentang saling
ketergantungan dan keterkaitan antara politik dengan lingkungan terkait
dengan konsekwensi politik terhadap perubahan lingkungan, yang
bertujuan untuk mengeksplorasi dan menjelaskan tindakan politik tingkat
komunitas dan regional di ranah global sebagai respon terhadap
degradasi dan kelangkaan sumber daya alam.

8
 Watts tahun 2000 menjelaskan bahwa ekologi politik digunakan untuk
memahami hubungan yang kompleks antara alam dan masyarakat dengan
menggunakan analisis tentang bentuk akses dan kontrol terhadap sumber
daya alam dan akibatnya terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup
dengan menjelaskan konflik lingkungan terutama dalam pertarungan
pengetahuan, kekuasaan, praktek, politik, keadilan dan pemerintahan.
 Scott dan Sullivan pada tahun 2000, melihat ekologi politik sebagai
proses identifikasi kondisi politik yang menggerakkan kegiatan manusia
yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan menggambarkan dimensi
politik dari narasi lingkungan dan mendekonstruksi narasi tertentu untuk
menunjukkan bahwa ide-ide yang diterima tentang degradasi dan
kerusakan lingkungan bukan merupakan kecenderungan sederhana yang
mendominasi.
Berbeda dengan Robbins, Bryant (1997) membagi perkembangan ekologi
politik menjadi dua fase yaitu :
1. Fase pertama, periode 1970an sampai pertengahan 1980an. Pada fase ini
umumnya studi tentang ekologi politik berangkat dari basis teori Neo Marxian
yang menganalisis pertautan antara marjinalisasi (penindasan) masyarakat
lokal dan kerusakan lingkungan dengan kekuatan ekonomi dan politik supra
desa, yang merupakan kritik terhadap Neo-Malthusian dan ekologi budaya.
Fokus kajian pada fase pertama ini adalah dengan menggunakan analisis
struktural yang melihat konflik atau perubahan timbul sebagai akibat proses
produksi global.
2. Fase kedua akhir 1980an sampai 1990an. Fase ini didasarkan pada teori Neo
Weberianisme, teori gerakan sosial dan teori feminisme, dan merupakan kritik
terhadap Neo-Marxism. Fase ini lebih fokus untuk menjelaskan konflik atau
perubahan pada berbagai level sebagai hasil interaksi dari berbagai aktor yang
memiliki kekuasaan dan kemampuan yang tidak setara dengan cara
mengidentifikasi hubungan yang tidak seimbang (un equal power) antara
berbagai aktor, serta mengidentifikasi motivasi dan kepentingan dari berbagai
aktor.
Perkembangan ekologi politik terus berlanjut sampai sekarang, saat ini
pendekatan ekologi politik bertitik tolak dari teori Post Strukturalisme dengan
melihat pertarungan diskursus antara para aktor dengan menggunakan analisis
pengetahuan dan kekuatan masing-masing aktor sebagai kerangka analisa. Dari
berbagai definisi yang dilontarkan oleh para ahli tentang ekologi politik, dapat
ditarik benang merah bahwa ide utama dari ekologi politik adalah melihat
masalah-masalah lingkungan, persoalan sumber daya alam sebagai persoalan
sosial, ekonomi, dan politik. Perubahan lingkungan bukanlah sesuatu yang
bersifat netral, tapi merupakan suatu bentuk politizied environment yang
melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional
maupun global (Bryant 1997). Dengan cara melihat hubungan antara aktor dengan
lingkungan fisik yang diciptakan oleh hubungan kekuasaan yang tidak adil,
disebabkan oleh perbedaan kekuasaan (power) dalam pertarungan untuk
mendapatkan akses terhadap sumber daya alam (Bryant 1997).

9
Perubahan lingkungan dilihat dalam tiga dimensi yaitu : (1) harian, (2)
episodik dan (3) sistemik. Ketiga dimensi ini berhubungan dengan perubahan fisik,
tingkat dampak, respon politik dan dampak pada manusia. Dimensi sehari-hari
memperlihatkan terjadinya perubahan fisik (misalnya pengundulan hutan),
dimensi periodik yaitu berupa perubahan fisik seperti banjir, kekeringan dan lainlain yang seringkali membawa dampak besar bagi kehidupan manusia. Sedangkan
dimensi ketiga merupakan perubahan fisik yang berasal dari kegiatan industri
(Bryant & Bailey 1997).
Tabel 1 Dimensi-dimensi dari politicised environment
Dimensi

Perubahan Fisik

Respon Politik

Harian
(everyday)

Erosi tanah,
deforestasi,
salinasi

Livelihood
resistensi

Episodik
(episodics)

Banjir, badai,
kekeringan

Bantuan bencana

Kerentanan

Sistemik
(systemic)

Konsentrasi
Pestisida,
GMO,
nuklir

Ketidakpercayaan
terhadap pakar/ahli

Resiko

protests,

Konsep
kunci
Marginality

Sumber : Bryant dan Bailey (2001) dalam Satria (2007)
1.

2.

3.

4.

Robbins (2004) mengemukakan empat tesis dari ekologi politik yaitu :
Degradasi dan marjinalisasi. Merupakan dampak dari pembangunan yang
menyebabkan terjadinya over-eksploitasi terhadap sumber daya alam, dan
menyebabkan meningkatnya kemiskinan, cyclically.
Konflik lingkungan : kelangkaan sumber daya alam mendorong pembatasan
dan pemberian oleh pemerintah, perusahaan, atau elit sosial dan mempercepat
konflik diantara kelompok masyarakat (gender, kelas atau etnis)
Kontrol dan konservasi. Kontrol atas lanskap dan sumber daya alam direbut
dari masyarakat melalui penerapan berbagai usaha untuk memelihara
keberlanjutan, komunitas atau alam. Dalam proses ini sistem kelembagaan
sosial politik lokal, livelihood, sistem produksi dilumpuhkan oleh
kepentingan global untuk menyelamatkan lingkungan.
Identitas lingkungan dan gerakan sosial. Perubahan rezim pengelolaan dan
kondisi lingkungan menciptakan peluang bagi kelompok lokal untuk
melindungi dan mewakili diri mereka sendiri secara politik. Gerakan sosial
muncul sebagai perjuangan untuk mempertahankan hidup dan melindungi
lingkungan.

Relasi kuasa dalam ekologi politik terbentuk dari kekuasaan (power)
sebagai kontrol salah satu pihak terhadap sumber daya alam atas pihak lainnya
(Adams dalam Bunker dalam Bryant 1997). Lebih jauh Bryant menjelaskan
bahwa kekuasaan memainkan peranan dalam interaksi antara manusia dengan

10
lingkungannya. Dari pengertian-pengertian diatas terlihat bahwa pendekatan aktor
merupakan pusat kajian dari ekologi politik, untuk menjelaskan perubahan
lingkungan yang terjadi yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan.
Ada banyak cara yang dilakukan oleh aktor untuk mengontrol lingkungan
aktor lain yaitu : (1) Salah satu aktor dapat mengontrol akses aktor lain terhadap
sumber daya seperti tanah, hutan, air, kehidupan laut atau darat, dan mineral yang
bertujuan untuk memonopoli nilai manfaat dari sumber daya tersebut, (2)
Mengontrol lingkungan aktor lain melalui proyek-proyek sosial dan lingkungan,
aktor dapat mempengaruhi pengelolaan lingkungan yang menjadi prioritas negara,
(3) Salah satu aktor dapat mengontrol lingkungan aktor pihak lain melalui caracara tidak langsung melalui wacana (diskursus), kekuasaan tidak hanya
mengontrol materi tapi juga merupakan usaha untuk mengatur ide (Bryant 1997).
Bryant dan Bailey (1997) melihat ada beberapa aktor yang terkait dengan
perubahan lingkungan yaitu negara (The State), lembaga multilateral (multilateral
institutions), pengusaha (business), NGO lingkungan (environmental nongovernmental organisations), dan aktor lokal (grassroots actors).
Kelima aktor tersebut di atas memainkan peran dan memiliki kepentingan
yang berbeda dan mengusung wacana atau diskursus yang berbeda dalam
mempengaruhi lingkungan dan sumber daya alam. Heidi Wittmer dan Regina
Birner (2007) dalam studinya di Thailand dan Indonesia menemukan tiga
diskursus dalam proses pembuatan kebijakan konservasi yang dinamakan dengan
conservationist, eco-populist dan developmentalist. Perbedaan ketiga diskursus
yang didukung oleh masing-masing aktor tersebut disajikan dalam tabel di bawah
ini :
Tabel 2 Gambaran tiga diskursus dalam pembuatan kebijakan
Konservasi
Eco-populis
Developmentalis
Tipe
Pendukung

LSM konservasi
Ahli biologi dan ekologi

LSM (advokasi)
Budayawan dan antropolog

Argumen
utama

Harus ada sebuah wilayah
minimum yang dipertahankan
untuk menghindari hilangnya
spesies dan untuk menjaga
keseimbangan ekologi,
termasuk fungsi

Masyarakat lokal/adat adalah
penjaga lingkungan, mereka
telah membuktikan bahwa
mereka dapat menjaga hutan
lebih baik daripada yang
dilakukan negara

Prioritas/misi

Konservasi, dan perlindungan
terhadap spesies langkan

Posisi
pendukung
Posisi Lawan

Alam dan spesies langka

Mengizinkan masyarakat
lokal untuk mempertahankan
kehidupan tradisional mereka
Hak pribumi/masyarakat lokal

Masyarakat lokal dilihat
sebagai pengrusak sumber daya
alam.
LSM eko-populis dilihat
mengabaikan kebutuhan
ekologi.

Negara dan sektor swasta
telah menghilangkan
keberadaan masyarakat lokal
sedangkan konservasi dilihat
mengabaikan hak manusia.

Relasi
Keilmuan

Ilmu alam (konservasi, biologi,
ekologi, hidrologi) sebagai
dasar argumentasi

Kajian kritis posmodernis,
tergantung pada kajian sosial
kualitatif, dan penghargaan
yang sangat tinggi terhadap
pengetahuan lokal

Sumber: Witmer dan Birner (2007)

Organisasi pembangunan
(Negara, LSM, donor,
ekonom)
Peningkatan populasi dan
kemiskinan merupakan
penyebab dari pengrusakan
hutan dan hilangnya
keanekaragaman hayati.
Penanggulangan kemiskinan
sangat penting untuk
menyelamatkan lingkungan
Penanggulangan kemiskinan

Kemiskinan
Eko-populis dilihat sebagai
romantiasasi masyarakat
setempat, sedangkan
konservasionis dianggap
mengabaikan kebutuhan
untuk mengentaskan
kemiskinan.
Tergantung pada disiplin ilmu
teknis (agronomi, teknik dll)
dan studi sosial ekonomi.

11
Ketiga diskursus ini berkontestasi dalam proses pembuatan kebijakan
konservasi di kedua negara. Secara umum ketiga diskursus ini bisa dihubungkan
dengan proses penetapan kebijakan terkait sumber daya alam di Indonesia, seperti
dalam proses penetapan kebijakan sumber daya air. Proses penetapan kebijakan
sumber daya air (Undang-Undang no 7 tahun 2004) merupakan proses
pertarungan wacana mulai dari tingkat global sampai ke tingkat lokal. Masingmasing aktor dalam proses penetapan sumber daya air mengusung kepentingan
yang berbeda satu sama lain.
Teori property rights
Perubahan pengelolaan sumber daya alam dari publik ke privat bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Didasari
oleh teori dari Garret Hardin bahwa untuk menghindari terjadinya tragedy of the
common dan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya maka
pengelolaan sumber daya perlu diserahkan kepada swasta (Hardin 1968). Bromley
(1991) memandang property (kepemilikan) sebagai aliran manfaat/keuntungan
dan property rights (hak kepemilikan) merupakan klaim untuk mendapatkan
manfaat atau keuntungan yang di dalamnya terdapat otoritas (kewenangan) untuk
melindungi dari gangguan orang lain. Properti bukanlah sebuah objek (benda) tapi
mencerminkan sebuah hubungan sosial antara pemegang properti (property
holder) dengan sesuatu yang bernilai untuk mendapatkan keuntungan.
Hak kepemilikan mengandung pengertian hak untuk mengakses,
memanfaatkan, mengelola, mengubah dan memindahkan hak tersebut kepada
orang lain. Lebih jauh Ostrom and Schlager (1992) membagi hak kepemilikan
sebagai berikut :
1. Hak akses (acces right) : hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang
memiliki batas – batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non
ekstraktif.
2. Hak pemanfaatan (withdrawal right): hak untuk memanfaatkan sumber
daya dan hak untuk berproduksi
3. Hak pengelolaan (management right): hak untuk menentukan aturan
operasional pemanfaatan sumber daya
4. Hak Eksklusi (exclusion right) : hak untuk menentukan siapa yang boleh
memiliki hak akses dan bagaimana hak akses itu dialihkan kepada pihak
lain.
5. Hak pengalihan (alienation right): hak untuk menjual atau menyewakan
sebagian atau seluruh hak-hak kolektif tersebut diatas.
Hak kepemilikan ini membedakan status kepemilikan terhadap sumber daya
alam (Satria 2009), misalnya seseorang dengan status sebagai pengunjung
(authorized entrant) hanya memiliki hak untuk mengakses sumber daya untuk
kepentingan rekreasi seperti hiking, lintas alam dan lain-lain. Status sebagai
pengguna berhak mendapatkan manfaat dari sumber daya alam tersebut dengan
mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh pengelola sumber daya tersebut.
Sedangkan pihak dengan status pemilik memiliki semua hak terhadap sumber
daya alam termasuk mengalihkan sumber daya alam tersebut ke pihak lain. Tabel

12
2.2 berikut menyajikan hak kepemilikan sumber daya alam berdasarkan status
kepemilikan.
Tabel 3 Status kepemilikan sumber daya alam
Tipe Hak
(rights)
Akses

Pemilik
Owner

Pengesahan
Proprietor

Pengakuan
Claimant

Pengguna
Authorized
user

Pengunjung
Authorized
entrant

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

Pemanfaatan
(withdrawal)
Pengelolaan
(management)
Pelarangan
(exclusion)
Pengalihan
(alienation).

X

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996)

Berdasarkan hak kepemilikan maka sumber daya dapat dibagi menjadi
empat tipe kepemilikan (Bromley 1992) yaitu : (1) Akses terbuka (open access):
tidak ada hak penguasaan/pemilikan atas sumber daya. Sumber daya terbuka dan
bebas diakses oleh siapapun, tidak ada regulasi yang mengatur tentang kapan,
dimana dan siapa saja yang berhak, terjadi persaingan bebas (free of all), hak-hak
kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas; (2) Milik negara
(state property) : hak pemanfaatan sumber daya alam secara ekslusif dimiliki oleh
pemerintah. Pemerintah memutuskan tentang akses dan tingkat eksploitasi sumber
daya alam. Rezim negara berada di tingkat daerah hingga pusat. Hak kepemilikan
ini berlaku pada sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Intervensi
pemerintah adalah dalam mengatur pengelolaan sumber daya yang bertujuan
untuk alokasi, keadilan dan stabilisasi yang bersifat formal.
Pengelolaan sumber daya milik negara membutuhkan biaya transaksi yang
tinggi terutama dalam tahap pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan karena
sulitnya melaksanakan aturan dan menegakkan hukum. Aturan – aturan yang
dibuat untuk pengelolaan sumber daya milik negara seringkali berbenturan dan
tidak sesuai dengan kondisi lapang, sehingga respon respon terhadap setiap
permasalahan lapang menjadi lambat. Kendala lain yang dihadapi adalah
koordinasi yang lemah serta terjadinya konflik kewenangan baik antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah m