Kontestasi kepentingan dalam pengelolaan sumber daya perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur

(1)

KONTESTASI KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK DJUANDA,

JATILUHUR

Fatriyandi Nur Priyatna

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(2)

ii

HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kontestasi Kepentingan dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Fatriyandi Nur Priyatna NIM. I353090031


(3)

iii

ABSTRACT

FATRIYANDI NUR PRIYATNA. The Contested Interest of Resource Management at Djuanda Reservoir, Jatiluhur. Supervised by RILUS A. KINSENG and ARIF SATRIA.

The objectives of this study are: (1) to analyze actors configuration and resource property rights distribution; (2) to analyze resource access and actor’s strategies regarding how to gain, maintain and control it; (3) to analyze the interest contesting process regarding control and reservoir resource management. Research has been conducted at Djuanda Reservoir, Jatiluhur, Purwakarta Regency, West Java. This study uses critical paradigm and qualitative method. The results showed that existing regulations have not clearly defined all rights and obligations of existing actors, including both of authority and user actors group. The lost of intermediate position between the authority and the users has also became a serious problem. This position is “the claimant” which gives the users some rights to paricipate in the process of resource management as a collective decision making right (management, exclusion and alienation rights). The results also showed that right based access mechanism is gained through formal regulations. Through this mechanism has also been identified of interest distinction between the authority. While PJT II tends to limit and decrease the number of cage aquaculture, but Disnakkan tends to maintain the number of cage aquaculture. Most of the user actors use structural and relational mechanism based access to gain, maintain and control their resource access. This kind of mechanism covers a number of configurations of access domination such as technology, capital, market, knowledge, authority, social identity and social relationship. The contested interest takes place in the field of reservoir resource domination and management. This contested interest takes place at discourse, regulation and operational level.


(4)

iv

FATRIYANDI NUR PRIYATNA. Kontestasi Kepentingan dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG dan ARIF SATRIA.

Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui konfigurasi aktor dan distribusi hak pengelolaan sumber daya di perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur; (2) menganalisis akses terhadap sumber daya dan strategi aktor dalam memperoleh dan mempertahankannya di perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur; (3) dan menganalisis proses kontestasi kepentingan yang terjadi di dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur. Penelitian dilakukan di Waduk Djuanda, Jatilhur, Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat selama kurang lebih 6 (enam) bulan dari bulan Maret – Agustus 2011. Penelitian ini melibatkan 20 orang informan dari Perum Jasa Tirta II, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, pembudidaya KJA (skala kecil, sedang dan besar serta penduduk asli dan pendatang), nelayan, bandar ikan (pedagang pengumpul), pedagang pakan dan pelaku usaha transportasi.

Hasil penelitian ini memperlihatkan pemanfaatan sumber daya Waduk Djuanda, Jatiluhur bersifat multi fungsi dan melibatkan berbagai aktor pemanfaat. Aktor pemanfaat di lokasi penelitian ini terdiri dari 2 (dua), yaitu kelompok aktor otorita dan kelompok aktor pengguna. Kelompok aktor otorita terdiri dari PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Sementara kelompok aktor pengguna terdiri dari pemanfaat langsung (pembudidaya KJA dan nelayan) dan pemanfaat tidak langsung sumber daya perairan waduk (pemodal, bandar ikan dan pedagang pakan). Hak dalam kepemilikan sumber daya perairan waduk terdiri dari sekumpulan hak sebagai berikut: access, withdrawal, management, exclusion dan alienation. Distribusi hak dalam kepemilikan sumber daya perairan waduk tidak terjadi secara merata kepada kedua kelompok aktor. Kelompok aktor otorita menguasai konfigurasi hak pengambilan keputusan kolektif (management,


(5)

v

exclusion dan alienation), sementara kelompok aktor pengguna hanya memiliki konfigurasi hak operasional (access dan withdrawal).

Mekanisme akses berbasis hak terkait erat dengan klaim dari aktor terhadap sumber daya dan umumnya terkait erat juga dengan permasalahan peraturan. Kelompok aktor otorita (PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta) adalah pihak yang mengontrol akses dan memiliki kepentingan berbeda. Perbedaan kepentingan menyebabkan perbedaan cara pandang dalam melihat sumber permasalahan yang ada dan menyebabkan penggunaan strategi yang berbeda. Sementara kelompok aktor pengguna (pengusaha KJA dan nelayan) merupakan pihak yang mempertahankan akses. Pihak ini pun memiliki kepentingan yang berbeda dengan kelompok aktor otorita dan mengembangkan strategi yang berbeda dalam upaya mempertahankan akses terhadap sumber daya. Mekanisme akses berbasis struktur dan relasi di lokasi penelitian dipengaruhi oleh unsur kapital, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan relasi sosial. Hal terpenting dalam mekanisme akses ini adalah permasalahan kepemilikan kapital yang terlihat dari adanya pola patron-klien.

Arena kontestasi kepentingan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk terjadi di 3 (tiga) tingkat, yaitu diskursus, kebijakan dan operasional. Arena kontestasi kepentingan di tingkat diskursus terjadi di dalam 2 (dua) hal, yaitu diskursus pengetahuan daya dukung sumber daya perairan dan diskursus pakan. Kontestasi diskursus pengetahuan daya dukung terjadi pada kelompok aktor otorita saja. Sementara kontestasi diskursus pakan terjadi di kelompok aktor pengguna. Pihak yang diuntungkan adalah pedagang pakan dan juga pabrik pakan. Arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan melibatkan kelompok aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan ini terkait erat dengan kepentingan “core business” yang berbeda dari kelompok aktor otorita. Arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional melibatkan kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di tingkat operasional ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara memperoleh, mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk. Proses aliansi dan kolaborasi terjadi dalam bentuk pola


(6)

vi

Saran yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah perlunya penataan kembali aturan pengelolaan sumber daya waduk yang ada. Upaya mendorong kelompok aktor pengguna untuk memiliki hak pengambilan keputusan kolektif dan menduduki posisi claimant ataupun proprietor secara bersama-sama dengan kelompok aktor otorita mutlak diperlukan.Langkah mendorong keterlibatan aktor pengguna untuk terlibat di dalam proses perencanaan dan penyusunan aturan-aturan pengelolaan sumber daya harus diimbangi dengan terjaminnya akses bagi pihak-pihak marjinal, seperti pembudidaya KJA skala kecil dan nelayan. Keadilan akses bagi pihak yang termarjinalkan bertujuan mendudukkan proses pengelolaan sumber daya di dalam kepastian hukum dan mengurangi dampak dari kuatnya unsur kapital (permodalan) sebagai faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan. Saran selanjutnya adalah perlu dilakukannya penelitian yang bebas dari kepentingan ekonomi dan usaha terkait permasalahan pakan. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut tentang penggunaan pakan alternatif yang bersumber dari inisiatif lokal dan kearifan lokal.


(7)

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

viii

JATILUHUR

Oleh

FATRIYANDI NUR PRIYATNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelarMagister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(9)

ix


(10)

x Nama : Fatriyandi Nur Priyatna

NIM : I353090031

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Dr. Arif Satria, SP. M.Si

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(11)

xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian ini yang berjudul “Kontestasi Kepentingan dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur” dilaksanakan sejak Maret hingga Agustus 2011.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Arif Satria, SP, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingannya selama ini hingga terselesaikannya penyusunan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Soeyo Adiwibowo, MS yang berkenan menjadi penguji luar komisi saat ujian sidang atas semua saran, koreksi dan diskusi untuk mempertajam dan menyempurnakan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr selaku koordinator mayor Sosiologi Pedesaan yang dengan “gigih” memberikan dorongan agar segera menyelesaikan studi. Tidak lupa terimakasih disampaikan kepada staf PS. Sosiologi Pedesaan, Sdri. Anggra B. Pasaribu atas bantuan dalam pengurusan administrasi selama ini.

Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Dr. Ir. Sonny Koeshendrajana, M.Sc sebagai Ketua Kelompok Peneliti Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan tempat penulis bernaung dan meniti karir sebagai peneliti di Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Sena de Silva dari Deakin University Australia yang memberikan kesempatan penulis terlibat dalam penelitian yang didanai ACIAR sehingga penulis mendapatkan gambaran awal permasalahan di lokasi penelitian. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Endi Setiadi Kartamihardja dari Balitbang Kelautan dan Perikanan dan (alm) Dr. Soetrisno Sukimin dari FPIK IPB atas diskusi dan informasi tentang karakteristik ekologi lokasi penelitian.


(12)

xii

memberikan data dan informasi yang tak ternilai harganya kepada penulis dan kerjasamanya sehingga penelitian berlangsung dengan tidak ada hambatan.Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan seangkatan di PS Sosiologi Pedesaan IPB 2009, Nur Isiyana Wianti, Mahmudi Siwi, Sumartono dan Bambang Capicoren atas kebersamaan dan dorongan semangat selama ini.

Terakhir penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada keluarga penulis, Ayahanda (alm) Kusnadi Somad Atjeng dan Ibunda Endang Sri Riyandiningsih yang selama ini tiada hentinya melantunkan doa dan dukungan semangat. Karya tulis ilmiah ini adalah persembahan untuk limpahan cinta kasih dan kesabaran mereka.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tesis ini karena keterbatasan penulis. Penulis mengharapkan segala saran, kritik dan koreksi yang membangun untuk menyempurnakan karya tulis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013


(13)

xiii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 1981 dari orang tua bernama (alm) Kusnadi Somad Atjeng dan Endang Sri Riyandiningsih. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah SMUN 39 Jakarta dan pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan Kelautan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan lulus tahun 2003. Semenjak tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan program magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD), Institut Pertanian Bogor.

Penulis sejak tahun 2004 hingga sekarang bekerja sebagai peneliti di Kelompok Penelitian Dinamika Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.


(14)

xiv

ABSTRACT ... iv

RINGKASAN ... v

PRAKATA ... xv

RIWAYAT HIDUP ... xvii

DAFTAR ISI ... xix

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah Penelitian ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property Right) ... 11

2.1.2. Teori Akses ... 13

2.1.3. Konflik, Konflik Kepentingan dan Struktur Sosial ... 15

2.2. Kerangka Pemikiran ... 17

2.3. Hipotesis Penelitian ... 20

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian ... 21

3.2. Metode dan Strategi Penelitian ... 22

3.3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 22

3.4. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

3.5. Analisis Data ... 23

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sumber Daya Perairan Waduk ... 26


(15)

xv

V. KONFIGURASI AKTOR DAN HAK PENGELOLAAN SUMBER DAYA WADUK

5.1. Pendahuluan ... 35 5.2. Konfigurasi Aktor Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya

Waduk ... 37 5.3. Distribusi Hak dan Kewenangan dalam Pengelolaan Sumber Daya

Waduk ... 41 5.4. Ikhtisar ... 57 VI. AKSES SUMBER DAYA DAN STRATEGI AKTOR

6.1. Pendahuluan ... 59 6.2. Jenis dan Alur Manfaat Sumber Daya Waduk Djuanda ... 63 6.3. Mekanisme Akses Sumber Daya Waduk Djuanda:

Kepentingan dan Strategi Aktor ... 66 6.4. Ikhtisar ... 78 VII. SUMBER DAYA WADUK DAN ARENA KONTESTASI

KEPENTINGAN

7.1. Pendahuluan ... 81 7.2. Diskursus dan Arena Kontestasi Kepentingan ... 82 7.3. Kebijakan dan Arena Kontestasi Kepentingan ... 88 7.4. Pemanfaatan Sumber Daya (Operasional) dan Arena Kontestasi

Kepentingan ... 91 7.5. Ikhtisar ... 95 VIII. PENUTUP

8.1. Kesimpulan ... 99 8.2. Saran ... . 102 DAFTAR PUSTAKA ... ...104


(16)

xvi

Halaman 1. Jenis-Jenis Rezim Hak Kepemilikan (Property Rights)

Sumber Daya ... 12

2. Bundle of Rights terkait Status dan Posisi Aktor ... 13

3. Perbandingan Paradigma Positivisme dan Kritis ... 21

4. Karakteristik Perairan Waduk Ir. H. Djuanda ... 26

5. Komposisi Ikan di Perairan Waduk Ir. H. Djuanda ... 27

6. Daftar jenis-jenis ikan yang tertangkap di Waduk Djuanda, Tahun 2005 ... 28

7. Jumlah Nelayan dan Alat Tangkap di Waduk Djuanda, Tahun 2004 ... 29

8. Perkembangan Jumlah Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Djuanda Periode 2002-2004 ... 30

9. Produksi Perikanan Budidaya KJA di Waduk Ir. H. Djuanda ... 31

10. Jumlah KJA dan Jumlah Pembudidaya pada Masing-Masing Zona Pengelolaan di Waduk Djuanda Jatiluhur, 2010 ... 45

11. Jumlah Petak Dan Jumlah Pembudidaya Di Luar Zona Berizin, Waduk Djuada Jatiluhur, 2010 ... 45

12. Kategori Hak Kepemilikan Sumber Daya Waduk berdasarkan Kategori Aktor ... 50

13. Posisi Aktor dalam Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk berdasarkan Kategori Aktor ... 56

14. Distribusi Hak dan Kategori Aktor dalam Hak Kepemilikan Sumber Daya Waduk Djuanda Jatiluhur ... 56

15. Mekanisme Akses Berbasis Hak di Waduk Djuanda, Jatiluhur ... 70

16. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan RelasiPembudidaya KJA Skala Kecil ... 73

17. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan RelasiPembudidaya KJA Skala Menengah dan Besar ... 74

18. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan RelasiNelayan ... 75

19. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan RelasiBandar Ikan ... 76

20. Mekanisme Akses Berbasis Struktur dan RelasiPedagang Pakan ... 78


(17)

xvii

22. Kontestasi Diskursus Pengetahuan Daya Dukung Sumber Daya

Perairan Waduk ... 85

23. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Diskursus ... 88

24. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Kebijakan ... 91


(18)

xviii

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 19 2. Peta Situasi Waduk Djuanda, Jatiluhur ... 25 3. Kategori dan Relasi Aktor dalam Pemanfaatan Sumber Daya

Waduk ... 40 4. Akses, Aliran Manfaat Sumber Daya dan Pola Relasi Aktor ... 66 5. Arena Kontestasi Kepentingan di Tingkat Operasional ... ... 94


(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumber daya perairan (SDP), seperti dimaklumi oleh banyak orang bersifat milik bersama (common pool resource). Hal ini kemudian mendorong semua pihak beranggapan dapat memanfaatkan SDP tersebut (open access). Permasalahan yang kemudian muncul karena menganggap SDP bersifat open access adalah tidak adanya pihak yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan kelestarian sumber daya. Berbicara tentang pengelolaan sumber daya sebenarnya tidak terlepas dari relasi manusia dengan sumber daya alam dan manusia dengan manusia atas sumber daya alam. Jager et al., (2000) menyebutkan bahwa hubungan manusia dengan ekosistem adalah bermuka dua. Pada satu sisi, manusia bergantung pada ekosistem sebagai sumber makanan, bahan baku untuk membangun dan lingkungan yang sehat sebagai tempat hidup. Namun pada sisi yang lain, manusia juga sering menjarah dan mencemari ekosistem seperti halnya manusia tidak bergantung sama sekali dengan ekosistem. Hal tersebut seringkali dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas dari ekosistem.

Hardin (1968) menyatakan bahwa ketika sumber daya alam yang terbatas jumlahnya dikuasai oleh semua orang, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkannya secara intensif yang kemudian berakibat berkurangnya sumber daya alam tersebut dan semua pihak merugi. Benda-Beckmann, et al (2001) menyebutkan bahwa kebebasan berpindah tempat mencari sumber daya baru merupakan salah satu alasan tidak adanya pihak yang perduli untuk mengembalikan SDP yang telah rusak atau habis. Hal lainnya disebabkan karena sebagian besar pelaku usaha menganggap konservasi hanya akan menambah biaya produksi. Hal

ini kemudian mendorong terjadinya kondisi ”tragedy of the commons” (Hardin, 1968).

Sebagai solusi dalam mencegah terjadinya ”tragedy of the commons”, Hardin (1968) menyarankan agar pengelolaan sumber daya berada pada kepemilikan swasta (private property) atau tetap menjadikannya sebagai barang milik publik (public property) dengan mengatur dan mengalokasikan hak-hak tertentu untuk


(20)

memasukinya. Hardin menyebutkan, “we might sell them off as private property. We might keep them as public property, but allocate the right to enter them. The allocation might be in the basis of wealth, by the use of an auction system. It might be on the basis of merit, as defined by some agreed-upon standard. It might be by lottery. Or it might be on a first-come, first-served basis, administered to long queues...They are all objectionable. But we must choose – or acqcuisce in the destruction of the commons... (Hardin, 1968). Selanjutnya dijelaskan oleh Burke

(2001), terkait upaya solusi yang Hardin tawarkan, yaitu “Hardin suggests there are only two collective solutions to the “Tragedy of the Commons.” Resources can be privatized so both benefits and costs of resource use accrue to individuals (1968)1. However, some resources such as water and air “cannot readily be fenced,” so tragedies must be prevented through the second option of “mutually agreed upon mutual coercion.” In this approach, an external “regulatory agency” must manage the commons (Hardin and Baden, 1977, p. 49)2 by fees, taxes, or penalties at the request of the “majority of the people affected” (1968, p. 1245). Tujuannya adalah bentuk ”kepemilikan” nya menjadi jelas berikut hak-hak pengelolaannya, sehingga diharapkan pengelolaan sumber daya menjadi lebih efisien dan bertanggung jawab.

Sumber daya perikanan perairan umum daratan (seperti sungai, rawa banjiran, dan danau) umumnya bersifat common pool resource dan bersifat komplek jika dipandang dari segi kategori serta jumlah pemanfaatnya. Seringkali pada satu badan air yang sama ditemukan berbagai jenis pemanfaat sumber daya. Sementara eksternalitas yang dihasilkan oleh satu pemanfaat akan berpengaruh terhadap pemanfaat lainnya, baik menguntungkan atau pun merugikan.

Namun berbeda dengan sumber daya perairan sungai, rawa banjiran dan danau, sumber daya perairan waduk umumnya cenderung bersifat state property atau private property. Waduk juga bersifat multifungsi, yaitu digunakan dan dimanfaatkan oleh berbagai kegiatan ekonomi, diantaranya adalah pembangkit tenaga listrik, penyedia bahan baku air minum, irigasi pertanian, perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan transportasi. Waduk Djuanda atau yang lebih dikenal

1 Hardin, G. (1968). The tragedy of the commons. Science 162: 1243–1248.

2 Hardin, G., and Baden, J. (1977). Managing the Commons, W. H. Freeman and Company, San Francisco.


(21)

3

dengan nama Waduk Jatiluhur merupakan waduk serbaguna dengan peruntukkan bagi PLTA, penyediaan baku air minum dan industri, penyediaan air irigasi, perikanan, pariwisata dan pengendalian banjir. Waduk Jatiluhur secara legal formal berada di bawah otoritas BUMN Perum (Perusahaan Umum) Jasa Tirta II. Sumber air berasal dari DAS Citarum yaitu, daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata. Pemanfaatan perairan waduk memiliki ciri khas sumber daya yang sangat bergantung terhadap kondisi tinggi muka perairan. Perbedaan tinggi permukaan air akan mempengaruhi pola-pola pemanfaatan sumber daya. Sementara tinggi permukaan air dalam kasus perairan waduk tidak hanya dipengaruhi semata-mata oleh curah hujan, namun yang lebih utama adalah kebijakan dari otoritas pengelola waduk (Koeshendrajana et al, 2008).

Sifat multifungsi waduk menyebabkan banyak pihak yang memiliki kepentingan, utamanya adalah kepentingan ekonomi. Hal yang menarik adalah walaupun secara legal formal otoritas pengelolaan sumber daya perairan waduk berada pada pihak Perum Jasa Tirta II, namun dalam kenyataannya kegiatan ekstraksi ekonomi atas sumber daya perairan tidak hanya dilakukan oleh pihak otoritas saja. Kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA), sebagai contoh, dilakukan oleh penduduk yang umumnya bukan berasal dari daerah setempat. Sementara kegiatan perikanan tangkap, transportasi serta pertanian pasang surut dilakukan umumnya oleh penduduk setempat. Permasalahan muncul ketika kegiatan ekonomi ini, seperti budidaya KJA, dituding sebagai penyebab utama terjadinya degradasi lingkungan perairan. Tarik menarik berbagai kepentingan terlihat semakin nyata, terutama terkait dengan kegiatan ekonomi yang melibatkan perputaran uang sangat besar seperti usaha budidaya KJA.

Solusi yang ditawarkan oleh Hardin dalam bentuk regulated public property ataupun private property dalam konteks perairan waduk menjadi sebuah tanda tanya besar. Hal ini mengingat tujuan efisiensi dan efektifitas pengelolaan tidaklah nampak terjadi dalam konteks pengelolaan perairan waduk, walaupun secara legal formal sudah bersifat private property. Ostrom kemudian mengajukan dan memperluas konsep propety right system menjadi empat bentuk, yakni state property, private property, common property dan non-property atau open access berikut sekumpulan hak-haknya (Ostrom, 1990). Kemudian berkembang konsep


(22)

model pengelolaan sumber daya secara kolaboratif (co-management) dengan menggunakan kerangka bundle of rights Ostrom. Secara prinsip, model pengelolaan sumber daya yang bersifat co-management adalah model berbagi peran dan tanggung jawab atas pengelolaan sumber daya antara dua pihak, umumnya antara pemerintah dengan masyarakat atau swasta.

Penelitian ini berupaya mencari jawaban dan menyoroti berbagai kelompok kepentingan yang saling berkontestasi dalam pengelolaan sumber daya perairan Waduk Jatilhur. Kelompok-kelompok kepentingan ini disinyalir memberikan warna dalam proses-proses negosiasi dan kontestasi atas rights dan otoritas, sehingga hal-hal terkait akses dan kontrol atas sumber daya tidak hanya sebatas atas masalah distribusi rights diantara para aktor saja.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Kegunaan waduk yang bersifat multi fungsi melibatkan beberapa aktifitas diantaranya adalah penyediaan bahan baku air bersih, pembangkit tenaga listrik, irigasi, pengendali banjir, perikanan budidaya, perikanan tangkap dan transportasi air. Beragamnya kegunaan waduk tersebut menyebabkan sifat pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairannya melibatkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan yang berbeda. Berdasarkan kronologis pengelolaan waduk, diawali dengan diterbitkannya PP No.8 tahun 1967, maka dibentuklah suatu badan pengelola dan pembina Waduk Jatiluhur dengan nama Perusahaan Negara (PN) Jatiluhur yang berkedudukan di Jatiluhur. Berdasarkan PP tersebut, maka segala hak dan kewajiban, perlengkapan dan kekayaan serta usaha beralih kepada PN Jatiluhur. Pengalihan hak dan kewajiban ini mencakup pengelolaan sumber daya air dan potensi ekonominya (Sudjana, 2004; Witomo dan Reswati, 2009).

Agar pengelolaan dan pengusahaan maksimal dari potensi-potensi tersebut, maka perlu adanya perubahan bentuk perusahan berupa perusahan umum. Perusahaan umum yang dimaksud adalah suatu unit bisnis negara dengan seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah bertujuan menyediakan barang dan jasa publik dan melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Kemudian diterbitkanlah PP No. 20


(23)

5

Tahun 1970 tentang Pembentukan Perusahaan Umum (Perum) “Otorita Jatiluhur”. Kewenangan Perum ini mencakup sebagai pengelola air dan sumber-sumber air serta prasarana pengairan yang berada di wilayahnya. Berdasarkan PP No 94 Tahun 1999, maka pengelolaan, perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan waduk Ir. H. Djuanda merupakan kewenangan Perum Jasa Tirta II (PJT II) sebagai BUMN pengelola air dan atau sumber air (Sudjana, 2004).

Kegiatan ekonomi yang ada di waduk saat masa-masa awal penggenangan air adalah hanya sebatas pada perikanan tangkap secara sederhana, yaitu menggunakan alat tangkap pancing dan jaring insang (gill net). Kemudian semenjak Tahun 1974 dimulai uji coba dan penelitian terkait pengembangan teknik budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). Kegiatan budidaya KJA tersebut pada awalnya direkomendasikan sebagai bagian dari program pemindahan dan pemukiman kembali penduduk yang terkena dampak pembangunan waduk. Program ini bertujuan memberikan mata pencaharian baru bagi penduduk setempat sebagai pengganti mata pencaharian pertanian sawah dan kebun, juga perikanan tangkap di aliran Sungai Citarum. Berkembangnya budidaya ikan KJA di waduk Ir. H. Djuanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan semenjak diintroduksikan (Sudjana, 2004).

Pada awal perkembangan budidaya KJA, baik masyarakat umum maupun pihak pemerintah dan Perum Otorita sama-sama melihat sebagai sebuah potensi ekonomi yang cukup besar. Tidak lama setelah terlihat berhasilnya budidaya KJA dikeluarkanlah oleh pemerintah berupa Keppres No.7 Tahun 1981 tentang

Penetapan Perusahaan Umum (Perum) ”Otorita Jatiluhur“ sebagai perusahaan yang

dapat menarik dan menerima iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan. Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan ini mengacu atas UU No 11 Tahun 1974 tentang pengairan yang mewajibkan baik badan hukum, badan sosial maupun perorangan yang mendapat manfaat langsung dari tersedianya air sebagai hasil pembangunan pengairan, baik untuk diusahakan lebih lanjut maupun untuk keperluan sendiri, wajib ikut serta menanggung pembiayaan dalam bentuk iuran.


(24)

Kemudian, sebagai konsekuensi dari UU No 11 Tahun 1974 tersebut maka ditetapkanlah PP No.6 Tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan yang menjadi dasar hukum bagi Perum Otorita Jatiluhur. Iuran pembiayaan eksploitasi dan pemeliharaan prasarana pengairan meliputi dana yang ditarik sebagai imbalan dari pihak-pihak yang telah memperoleh manfaat penggunaan dan kenikmatan dengan tersedianya air, dari sumber-sumber air, dan dengan adanya bangunan-bangunan pengairan sebagai hasil pengelolaan perusahaan baik untuk diusahakan sendiri atau yang akan diusahakan lebih lanjut untuk kepentingan pihak ketiga. Juga dari mereka yang usaha atau kegiatannya telah mengakibatkan pencemaran air dan sumber-sumber air di dalam wilayah perusahaan yang bersangkutan (Witomo dan Reswati, 2009). Berdasarkan uraian kronologis di atas, maka terlihat perubahan sifat

“kepemilikan” sumber daya perairan dari bersifat publik (umum) menjadi privat (swasta), dalam hal ini dikuasai oleh BUMN. Seluruh wilayah genangan air waduk kemudian secara de juremenjadi “hak milik” perusahaan BUMN tersebut. Namun demikian, secara de facto masyarakat masih menganggap wilayah genangan air waduk tersebut adalah miliknya karena tanah yang ada di dasar perairan adalah milik mereka (Koeshendrajana et al., 2008). Pengakuan secara de facto ini muncul akibat rasa tidak puas dari proses ganti rugi dahulu yang tidak sesuai sehingga banyak masyarakat yang tadinya memiliki sawah dan kebun, setelah proses ganti rugi tidak mampu memiliki sawah dan kebun pengganti. Hal ini terlihat dari berkembangnya usaha pertanian di daerah lereng pasang surut waduk yang diklaim oleh masyarakat atas dasar “kedekatan” jarak dari tanah asalnya yang terendam dahulu. Masyarakat juga menolak dikenakan biaya sewa atas usaha pertanian ini (ACIAR, 2004; Koeshendrajana et al, 2008). Pihak PJT II tetap memberikan akses utamanya bagi kegiatan budidaya dalam kerangka “sewa lahan” yang mengacu pada PP No.6 Tahun 1981 tentang Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan.

Permasalahan lebih kompleks kemudian muncul seiring dengan terus berkembangnya usaha budidaya KJA. Bagi masyarakat terjadi kecemburuan sosial dan ekonomi. Hal ini disebabkan karena mayoritas kepemilikan usaha budidaya KJA berasal dari luar daerah, yaitu lebih dari 60 % dengan penguasaan jumlah petak


(25)

7

keramba mencapai lebih dari 80 % dari total KJA yang ada (ACIAR, 2004). Total KJA mencapai 8.043 petak pada Tahun 2004 (ACIAR, 2004). Kecenderungan yang ada adalah terus bertambahnya kepemilikan KJA oleh pihak di luar penduduk setempat. Hal ini disebabkan besarnya modal yang diperlukan dalam mengawali usaha budidaya KJA dan besarnya biaya operasional, terutama dari komponen biaya pakan. Penduduk setempat semakin terjepit karena pekerja di KJA milik penduduk luar daerah bukan berasal dari penduduk tempatan. Pemilik KJA cenderung mengambil tenaga kerja sebagai operator sehari-hari dari daerah asalnya masing-masing dibanding penduduk setempat sekitar waduk.

Masyarakat setempat kemudian terpinggirkan dengan berusaha sebagai nelayan akibat keterbatasan modal bukan sebagai pilihan utama. Hal ini ditunjukkan dengan mayoritas nelayan sebesar 85 % dari total 871 nelayan pada Tahun 2004 (ACIAR, 2004). Jenis ikan tangkapan bukan merupakan jenis ikan ekonomis tinggi, dengan mayoritas hasil tangkapan berupa Ikan Nila. Penghasilan tangkapan nelayan bersifat tidak pasti dan jauh dibandingkan dengan pendapatan sebagai operator KJA. Hal ini diperparah dengan terbatasnya sumber-sumber mata pencaharian bagi nelayan tersebut. Umumnya nelayan tidak memiliki lahan pertanian dan cenderung bergantung atas pekerjaan sebagai nelayan atau buruh lepas (Koeshendrajana et al, 2008).

Sementara bagi pihak PJT II, perkembangan kegiatan budidaya KJA cenderung menimbulkan permasalahan, utamanya akibat dari sisa pakan. Semakin besar jumlah dan intensitas eksploitasi sumber daya air tersebut berdampak terhadap degradasi kualitas lingkungan yang cenderung meningkat, terjadi penurunan kualitas air sekitar KJA, dan peraiaran yang mengarah ke kondisi anoksia (tidak terdapat kandungan oksigen) sehingga dapat menyebabkan kematian ikan serta menghasilkan gas beracun seperti amoniak dan H2S. Hal ini berpengaruh

pada estetika, usaha kepariwisataan dan penduduk sekitar (Sudjana, 2004). Intensitas limbah sisa pakan juga ditengarai mempercepat proses pelapukan bendungan, dan korosi pada turbin selain mengurangi kualitas bahan baku air minum. Dengan demikian, akibat adanya aktifitas budidaya KJA ini dipandang hanya menambah beban biaya perawatan instalasi PJT II.


(26)

Pemerintah, baik pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan pemerintah daerah (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta), memiliki kepentingan yang berbeda terkait Waduk Juanda. Arah kebijakan perikanan nasional yang masih tetap pada jalur pemacuan produksi perikanan menyebabkan sub sektor budidaya perikanan secara umum menjadi strategi dalam pencapaiannya. Sementara bagi pemerintah daerah memiliki kepentingan atas pungutan bagi pemasukan asli daerah. Upaya penambahan jumlah KJA dan intensifikasi usaha menjadi alternatif yang ditempuh dalam pembinaan dan pengembangan budidaya.

Pemahaman akan jargon “batasi penangkapan dan kembangkan budidaya”

diterapkan juga pada perikanan perairan umum seperti waduk. Sementara beberapa hasil penelitian di perairan umum seperti waduk, kondisinya mengatakan hal yang

berlawanan, yaitu “batasi budidaya dan kembangkan penangkapan”.

Lain halnya dengan pihak swasta, dalam hal ini adalah perusahaan pakan melalui agen-agen pakan memiliki kepentingan bisnis yang besar dari keberadaan budidaya KJA. Biaya pakan mencakup lebih dari 70 % keseluruhan biaya operasional budidaya KJA. Perputaran uang yang terjadi setiap harinya dapat mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sementara harga pakan cenderung terus meningkat setiap tahunnya (ACIAR, 2004: Koeshendrajana et al., 2008). Agen-agen pakan dapat memberikan paket-paket keringan dalam permodalan yang bertujuan mendorong pertambahan jumlah KJA.

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat beberapa aktor yang terlibat dan berinteraksi pada satu sumber daya perairan yang sama. Setiap aktor memiliki derajat kepentingan, kekuasaan dan otoritas yang berbeda dengan aktor lainnya. Hal ini mempengaruhi pilihan-pilihan strategi masing-masing aktor dalam menghadapi dan berkontestasi atas isu pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perairan waduk tersebut.

Hal yang menarik adalah terpinggirkannya nelayan dari permasalahan dan proses-proses negosiasi terkait aturan-aturan pengelolaan waduk. Kegiatan budidaya menjadi sorotan dan menyita ruang publik dari pengelolaan waduk. Sementara penentuan jumlah besaran KJA akan juga berpengaruh terhadap berkurang atau bertambahnya luasan zona penangkapan mereka. Lokasi yang telah


(27)

9

penangkapan. Hal tersebut akibat semakin rapatnya jarak satu kepemilikan usaha KJA dengan kepemilikan usaha KJA lainnya. Permasalahan lainnya adalah hampir mayoritas penduduk setempat hanya mampu mengakses sumber daya perairan sebagai nelayan, sementara budidaya KJA dikuasai mayoritas oleh penduduk luar daerah setempat. Hal ini tentu akan memicu permasalahan keadilan lingkungan dan bisa menjadi sumber pemicu konflik terkait keadilan distribusi manfaat sumber daya perairan.

Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konfigurasi aktor dan distribusi hak kepemilikan sumber daya perairan waduk yang terjadi ?

2. Bagaimanakah akses terhadap sumber daya perairan waduk dan strategi aktor dalam memperoleh dan mempertahankannya ?

3. Bagaimanakah proses kontestasi kepentingan yang terjadi di dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan waduk?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui konfigurasi aktor dan distribusi hak kepemilikan sumber daya di perairan Waduk Djuanda Jatiluhur

2. Menganalisis akses terhadap sumber daya dan strategi aktor dalam memperoleh dan mempertahankannya di perairan Waduk Djuanda Jatiluhur

3. Menganalisis proses kontestasi kepentingan yang terjadi di dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya perairan Waduk Djuanda Jatiluhur


(28)

1.4. Manfaat Penelitian

Proses pengelolaan sumber daya perairan haruslah dipandang secara utuh dengan melihat nature dari pola-pola relasi antara aktor (kelompok kepentingan), sehingga dapat menghindari proses benturan-benturan antara kepentingan pelestarian sumber daya dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan manfaat atas :

1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi bagi pemerintah pusat dan daerah, atau pihak otoritas pengelola sumber daya dalam menerapkan atau menyempurnakan program-program pengelolaan sumber daya secara kolaboratif.

2. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pencegahan atas konflik sumber daya dengan mengelola berbagai kepentingan para aktor.


(29)

II.

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights)

Kondisi ”tragedy of the common” didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama (common pool resources). Status “milik

bersama” tersebut memiliki konsekuensi terhadap akses bagi pengelolaannya.

Konsekuensi akses pengelolaan tersebut dapat bersifat ekslusif bagi kelompok tertentu atau seringkali bersifat open access. Permasalahan yang kemudian muncul akibat pengelolaan bersifat open access adalah tidak adanya pihak yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan kelestarian sumber daya. Terkait hal ini, Benda-Beckmann et al (2001) berpendapat kebebasan berpindah tempat mencari sumber daya baru merupakan salah satu alasan tidak adanya pihak yang perduli untuk mengembalikan sumber daya perikanan yang telah rusak atau habis. Hal lainnya karena konservasi dianggap hanya akan menghambat usaha, menambah biaya produksi dan akhirnya mengurangi keuntungan (Kinseng, 2003).

Berbicara kaitan sumber daya dengan masyarakat tidak dapat terlepas dari permasalahan akses. Akses terhadap sumber daya haruslah dipandang sebagai sebuah kesatuan dalam suatu sistema hak kepemilikan sumber daya yang ada di dalam masyarakat. Sistem hak kepemilikan sumber daya seringkali diartikan sebagai mekanisme sosial yang memberikan wewenang, serta mengikat individu dalam suatu masyarakat atas kepemilikan wewenangnya. Sistem hak kepemilikan sumber daya dan pola pengelolaan sumber daya juga dapat dipandang sebagai suatu kesatuan dari struktur hak dan kewajiban (Bromley, 1991). Struktur hak dan kewajiban tersebut mewarnai pola hubungan antara seorang individu dengan lainnya atas sumber daya yang sama (North, 1990 dalam Hanna et al, 1996). Terkait dengan sifat hak kepemilikan (property rights), Ostrom (1990) dan Bromley (1992) menyebutkan bahwa sumber daya milik bersama (common-pool resources) dapat terjadi dalam empat bentuk rezim. Keempat rezim tersebut adalah non-property, private property, state property dan communal property.


(30)

Open-access (non-property), terjadi ketika hak kepemilikan tidak terdefinisi dan diatur dengan jelas, sehingga akses pemanfaatan sumber dayanya bebas dan terbuka bagi semua pihak. Private property terjadi ketika kondisi yang ada memberikan seseorang atau badan usaha suatu kewenangan atau hak untuk membatasi atau melarang orang lain serta memiliki kewenangan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya tersebut. State property terjadi ketika kewenangan mengatur dan membatasi penggunaan dalam pemanfaatan sumber daya hanya terbatas pada tingkat negara. Communal property terjadi pada kondisi ketika sumber daya ”dimiliki” oleh suatu komunitas yang teridentifikasi dengan jelas dan dapat mengatur serta melarang pihak di luar anggota komunitasnya untuk memanfaatkan sumber daya tersebut.

Bromley (1991) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen property right dalam pengelolaan sumber daya meliputi: (1) klaim kepemilikan; (2) batas wilayah pengelolaan dan pemanfaatan; (3) pemegang wewenang dan pendistribusian hak pengelolaan dan pemanfaatan; dan (4) aturan pengelolaan dan pemanfaatan (rules of the game). Namun demikian, kenyataan dalam kehidupan keseharian cenderung menyebabkan satu sumber daya berada pada status yang merupakan kombinasi dan memiliki berbagai variasi yang berbeda dari keempat bentuk rezim hak kepemilikan di atas (Berkes, 1996). Tipe rezim hak kepemilikan berdasarkan tugas dan kewajiban pemilik wewenang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis-Jenis Rezim Hak Kepemilikan (Property Rights) Sumber Daya

Tipe Rezim Pemilik Hak Pemilik Kewajiban Pemilik

Kepemilikan Pribadi

Individu Pemanfaatan sumber

daya

yang diterima secara umum; mengatur akses

Menghindari

pemanfaatan yang tidak diterima secara umum

Kepemilikan komunal

Kolektif Melarang pihak lain di luar komunitas

Menjaga; membatasi tingkat pemanfaatan Kepemilikan

negara

Warga Negara diwakili Pemerintah

Membuat dan

menerapkan peraturan

Menjaga pencapaian tujuan masyarakat Akses

terbuka

Tidak ada Pemanfaatan Tidak ada


(31)

13

Kunci utama dalam konsep property right adalah adanya bundle of rights yang menjadi acuan dalam menata relasi antara aktor dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Ostrom dan Schlager (1996) mengklasifikasikan bundle of rights menjadi empat, yaitu access right, yaitu hak memasuki suatu wilayah sumber daya, withdrawal right, yaitu hak melakukan kegiatan produksi atau ekstraksi sumber daya, management right, yaitu hak terlibat dalam pengelolaan sumber daya, exclusion right, yaitu hak menentukan pihak mana saja yang dapat memiliki access dan withdrawal right, alienation right, yaitu hak menjual atau mengalihkan atau mentransfer management dan exclusion right. Konfigurasi bundle of rights tersebut yang menentukan tipe atau jenis property right system yang ada. Tabel 2 memberikan gambaran konfigurasi bundle of rights terkait status dan posisi aktor dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.

Tabel 2. Bundle of Rights terkait Status dan Posisi Aktor Owner Proprietor Claimant Authorized

user

Authorized Entrant

Access X X X X X

Withdrawal X X X X

Management X X X

Exclusion X X

Alienation X

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996)

2.1.2. Teori Akses

Teori akses memiliki pemahaman yang berbeda dari pemahaman akses konvensional seperti yang umumnya dikaji dalam kerangka property right. Teori akses mencoba melihat secara lebih luas cakupan dibanding dengan teori

“kepemilikan”. Teori akses lebih memfokuskan pada “kemampuan” dibanding “hak” seperti dalam teori kepemilikan, sehingga lebih menekankan secara luas atas

relasi sosial yang dapat mendorong atau mencegah seseorang mengambil manfaat dari sumber daya tanpa membatasinya semata-mata pada kepemilikannya. Teori akses dipahami sebagai segala hal yang dimungkinkan bagi setiap orang melalui berbagai cara untuk mengambil manfaat dari sesuatu (Ribbot dan Peluso, 2003). Akses dalam teori ini lebih ditekankan atas kesatuan kekuasaan (bundle of power),


(32)

berbeda dengan pemahaman kepemilikan yang lebih menekankan atas kesatuan hak (bundle of rights). Cakupan kekuasaan tersebut terbentuk dari unsur material, kultural, dan ekonomi politik yang terjalin dalam sebuah kesatuan dan jejaring kekuasaan yang mempengaruhi akses sumber daya.

Menurut teori akses (Ribbot dan Peluso, 2003), setiap pihak memiliki posisi yang berbeda terkait dengan sumber daya bergantung atas bundle of power yang dimilikinya. Sebagian pihak mampu mengontrol akses atas sumber daya, sementara lainnya harus mempertahankan aksesnya atas sumber daya melalui pihak yang mengontrolnya. Menggunakan teori akses ini dimungkinkan untuk memahami fenomena sebagian pihak yang mampu memanfaatkan sumber daya walaupun tidak memiliki hak untuk memanfaatkannya. Hal yang menjadi perbedaan mendasar antara teori akses dengan teori kepemilikan adalah jika teori kepemilikan menitikberatkan pada pemahaman atas klaim, sementara teori akses menitikberatkan pada cara-cara seseorang mengambil manfaat atas sumber daya yang tidak hanya terbatas pada relasi kepemilikan sumber daya.

Peluso menyarankan sebuah metode analisis akses untuk mengidentifikasi konstelasi cara-cara, hubungan-hubungan, dan proses-proses yang memungkinkan aktor-aktor yang beragam memperoleh keuntungan dari sumber daya. Peluso juga menyatakan bahwa analisis akses melibatkan; (1) pengidentifikasian dan pemetaan aliran dari keuntungan tertentu dari kepentingan; (2) pengidentifikasian mekanisme-mekanisme yang mana aktor-aktor berbeda terlibat memperoleh, mengontrol, dan memelihara aliran keuntungan dan distribusinya; dan (3) sebuah analisis dari hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme-mekanisme akses terlibat dalam peristiwa dimana keuntungan-keuntungan diperoleh (Ribbot and Peluso, 2003). Blaikie dalam Ribbot dan Peluso (2003), menjelaskan bahwa kapital dan identitas sosial mempengaruhi siapa pihak yang memperoleh prioritas akses. Ribbot dan Peluso (2003) mengemukakan konsep mekanisme struktural dan relasional akses. Ribbot dan Peluso (2003), selanjutnya membagi mekanisme struktural dan relasional akses tersebut seperti teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial yang dapat membentuk atau mempengaruhi akses.


(33)

15

2.1.3. Konflik, Konflik Kepentingan dan Struktur Sosial

Terkait akses atas sumber daya, beberapa aktor dalam jaring relasi sosial mengontrol dan mempertahankan akses melalui penguasaan atas satu bentuk atau sekumpulan set kekuasaan (bundle of powers) (Ribbot dan Peluso, 2003). Ribbot dan Peluso (2003), menjelaskan dalam perjalanannya, sebagian aktor yang menguasai beberapa bentuk akses dapat beraliansi atau berkonflik dengan pihak lainnya. Demikian juga aktor yang mendapatkan akses melalui pihak yang menguasai akses sering kali juga beraliansi atau berkonflik dengan lainnya.

Teori konflik mengasumsikan bahwa tindakan dan perilaku sosial dapat dipahami dengan cara terbaik melalui melihat ketegangan dan konflik antara kelompok-kelompok dan individu-individu (Vago, 1989). Masyarakat adalah sebuah arena yang di dalamnya merupakan perjuangan atas komoditas yang langka. Teori konflik melihat perubahan dibanding kepatuhan sebagai elemen dasar dari masyarakat. Marx menyebutkan bahwa tanpa konflik tidak akan terjadi perubahan, hal ini merupakan hukum yang diikuti oleh setiap peradaban hingga saat ini (Vago, 1989). Marx menganggap setiap masyarakat, apapun tahapan kemajuan historisnya, terletak atas pondasi ekonomi. Apa yang disebutnya sebagai moda produksi dari suatu komoditas. Moda produksi memiliki dua elemen, yaitu kekuatan produksi atau pengaturan fisik, teknologi dari aktifitas ekonomi, dan relasi sosial dari produksi atau keterikatan manusia yang tak terbantahkan antara satu dengan lainnya untuk melakukan aktifitas ekonomi.

Marx tidak pernah secara sistematis mendefinisikan dan mengelaborasi konsep kelas, walaupun hal ini menjadi pusat dalam kajiannya. Namun demikian, kajian yang dilakukan Marx penuh dengan analisis kelas. Marx banyak mengkaji setidaknya tentang dua permasalahan, yaitu elaborasi abstract structural maps dari relasi kelas dan analisis atas concrete conjuctural maps dari aktor sebagai kelas (Wright, 1987). Wright (1987), menjelaskan bahwa abstract structural maps dari relasi kelas merupakan analisis terkait cara-cara yang dengannya organisasi sosial

produksi menentukan suatu struktur “ruang kosong” dalam relasi kelas yang

ditempati oleh perorangan. Sementara concrete conjuctural maps dari aktor sebagai kelas tidaklah terkait dengan struktur kelas seperti demikian, namun lebih terkait dengan cara-cara yang dengannya setiap perorangan dalam struktur kelas


(34)

terorganisir menjadi kolektifitas yang berhadapan dalam perjuangannya. Struktur kelas ditentukan oleh oleh hubungan sosial antar berbagai kelas sosial, sedangkan formasi kelas ditentukan oleh hubungan sosial di dalam kelas sosial itu sendiri (Wright, 1987; Kinseng, 2007).

Marx memandang hubungan antara moda produksi mempengaruhi dan melandasi kehidupan masyarakat. Manusia ditentukan oleh produksi mereka, baik apa yang mereka produksikan, maupun cara mereka berproduksi. Sehingga individu tergantung pada syarat-syarat produksinya. Sementara pemahaman organisasi

sosial menurut Marx terkait erat dengan dua tahapan kelas, yaitu kelas “in it self

dan kelas “for it self” (Kinseng, 2009). Kelas “in it self” adalah kelas dalam arti sekumpulan orang-orang yang berada pada posisi yang sama dalam hubungan dengan kepemilikan alat produksi (posisi kelas atau situasi kelas). Sementara kelas

for it self” adalah kelas sosial yang telah mempunyai kesadaran kelas, kepentingan kelas (interest) dan tujuan perjuangan kelas (formasi kelas). Organisasi sosial berada pada tahapan kelas kedua yaitu formasi kelas, dimana masyarakat telah mengorganisasikan dirinya ke dalam organisasi-organisasi bertujuan memperjuangkan kepentingannya, sebagai bentuk dari munculnya kesadaran kelas. Organisasi sosial berfungsi sebagai alat mencapai tujuan. Perjuangan kelas merupakan perjuangan politik (Kinseng, 2009).

Wright (1987), mengajukan kontrol yang efektif atas sumber daya sebagai dasar atas basis material dari relasi kelas, kelas yang berbeda dibentuk atas hubungannya dengan sumber daya yang berbeda. Wright (1987) menekankan atas konseptualisasi eksploitasi berbasiskan aset (faktor input dalam produksi) maupun non aset (keyakinan, otoritas, dominasi), sepanjang hal tersebut terkait dengan penguasaan atau kepemilikan atas aset produktif.

Marx memandang sumber konflik adalah karena adanya dua kelompok atau kelas yang memiliki kepentingan berbeda akibat kepemilikan alat dan faktor produksi. Satu pihak berupaya mendominasi dan mengambil keuntungan dari pihak yang lain, sementara pihak yang lain berupaya menghindari upaya dominasi. Bagi Marx, tidak dapat diterima bahwa orang-orang di kelas buruh dapat memenuhi kebutuhannya melalui pekerjaannya atau bahwa mereka dapat menyatakan bentuk nilai manusiawi yang benar dari jenis apapun yang dikerjakannya (Johnson, 1986).


(35)

17

Wright (1987) menekankan bahwa struktur kelas merupakan sebuah struktur dari relasi sosial yang menciptakan matrix dari ekploitasi berdasarkan kepentingan-kepentingan. Struktur kelas tidak menciptakan pola tertentu dari terbentuknya formasi kelas, tetapi menentukan underlying probabilities dari berbagai formasi kelas. Wright (1987), kemudian menyebutkan permasalahan aliansi yang dapat terjadi antar kelas, bagian dalam kelas, dan diantara lokasi kelas yang bertentangan. Aliansi dibentuk berdasarkan strategi-strategi yang bertujuan mengamankan ekploitasi kelas. Bagi Wright (1987), kelas dibentuk atas pola penguasaan atau kepemilikan efektif atas aspek-aspek dari force of production. Berbagai relasi ekploitasi yang berbeda yang menjelaskan berbagai kelas yang berbeda terhubung atas qualitatives properties dari berbagai aspek terkait force of production. Dengan demikian, kelas yang diajukan oleh Wright (1987) dengan sendirinya memiliki dimensi kritis karena mengajukan permasalahan eksploitasi sebagai dasar material pembentukan kelas.

2.2. Kerangka Pemikiran

Permasalahan pengelolaan sumber daya tidaklah semudah dan sesederhana permasalahan membagi-bagikan atau mendistribusikan perangkat-perangkat kesatuan hak-hak kepada satu atau lebih aktor. Jenis sumber daya yang cenderung bersifat common pool resource, seperti sumber daya perairan, umumnya melibatkan banyak aktor yang masing-masing memiliki derajat kepentingan yang berbeda. Bahkan tidak jarang derajat kepentingan tersebut saling bertolak belakang sehingga menimbulkan potensi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya. Masing-masing aktor memiliki dan terus mengembangkan strategi-strategi yang bertujuan mempertahankan akses mereka atas sumber daya tersebut.

Hal ini menjadi menarik untuk dikaji karena pilihan-pilihan strategi tersebut melibatkan proses-proses terbentuknya relasi-relasi kekuasaan. Relasi kekuasaan tersebut saling berebut tempat dan pengaruh, berkontestasi satu dengan lainnya dalam ruang kebijakan. Dalam proses kontestasi tersebut terjadi distribusi atau polarisasi relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara berbagai aktor yang terlibat.


(36)

Dampaknya adalah terjadinya proses marjinalisasi salah satu atau beberapa aktor dalam proses pengelolaan sumber daya tersebut.

Sementara dalam konteks pengelolaan perairan Waduk Jatiluhur, setidaknya terdapat beberapa aktor yang saling berinteraksi, yaitu PJT II, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, pembudidaya KJA, nelayan, dan pabrik pakan melalui agen-agen pakan. Titik masuk permasalahan utama pengelolaan Waduk Jatiluhur adalah berkembang pesatnya usaha budidaya KJA hingga nyaris tidak terkendali. Dua kutub kepentingan setidaknya terlihat, yaitu pihak-pihak yang tidak menghendaki keberadaan atau pengurangan jumlah usaha budidaya KJA dan pihak-pihak-pihak yang menghendaki keberadaan atau pengembangan jumlah usaha budidaya KJA.

Tarik menarik diantara dua kutub kepentingan ini terlihat implikasinya atas tidak terkendalinya dan tidak dipatuhinya zonasi-zonasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, penetapan jumlah batasan maksimal KJA dan perangkat aturannya selalu terkendala karena masing-masing kutub kepentingan ini mengacu

atas dasar “klaim” pengetahuan ilmiah yang berbeda. Hal yang kemudian menarik

adalah proses termarjinalisasinya nelayan yang notabene adalah mayoritas penduduk setempat dalam proses kontestasi pengelolaan sumber daya perairan

waduk tersebut. Ketika timbul wacana dan “nasionalisme” atas nama usaha KJA

adalah untuk kepentingan rakyat, maka menjadi sebuah pertanyaan besar karena mayoritas usaha KJA adalah pemodal besar dan bukan penduduk setempat. Sementara pada tataran masyarakat sendiri yang jauh dari hiruk pikuk masalah kebijakan, muncul adanya potensi konflik akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Potensi konflik ini adalah antara penduduk setempat, yang diwakili oleh nelayan, dengan penduduk luar daerah setempat, yang diwakili oleh pembudidaya dan pekerjanya.

Sementara itu, kondisi sumber daya perairan waduk itu sendiri terus mengalami tekanan yang berdampak pada degradasi perairan. Degradasi perairan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap seluruh kegiatan usaha yang saat ini tengah berlangsung. Proses kontestasi, negosiasi atau bahkan pembiaran menjadi sangat menarik untuk dikaji mengingat terus terdegradasinya sumber daya.


(37)

19

Teori akses dan teori kepemilikan (property rights) akan digunakan untuk melihat dan memetakan bagaimana mekanisme distribusi bundle of powers dan bundle of rights yang terjadi dalam konteks pengelolaan sumber daya perairan waduk. Teori akses juga digunakan untuk mengkaji proses-proses dan bentuk-bentuk relasi kekuasaan yang terjadi diantara para aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk. Sementara teori konflik digunakan untuk mengkaji terjadinya ketimpangan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dan dampaknya atas perbedaan distribusi manfaat dan kerugian dari pengelolaan sumber daya perairan waduk tersebut. Kerangka pemikiran pemikiran secara sederhana ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Sumber Daya Perairan Waduk

PJT II

KKP dan Diskan Kab Purwakarta Pembudidaya

Nelayan Pedagang

Pakan

Akses dan Kontrol Degradasi Sumber Daya

Perairan

Kepentingan Kekuasaan Kewenangan Teori Konflik

Teori Property Rights Teori Akses

Teknologi Kapital Pasar

Tenaga Kerja Pengetahuan Otoritas

Identitas Sosial Relasi Sosial

Teori Akses

(Mekanisme Struktural dan Relasional)

Pengelolaan Sumber Daya Perairan


(38)

2.3. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian yang digunakan dalam penelitian bersifat hipotesis pengarah dan bertujuan memberikan bingkai serta arahan dalam keseluruhan proses penelitian. Hipotesis pengarah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Konfigurasi aktor akan mempengaruhi distribusi hak kepemilikan sumber daya yang juga dipengaruhi oleh kontestasi kepentingan, kekuasaan dan kewenangan para aktor

2. Akses sumber daya akan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk strategi para aktor dan akhirnya akan mempengaruhi dinamika pengelolaan sumber daya perairan waduk

3. Proses kontestasi kepentingan dalam pengelolaan sumber daya perairan waduk memberikan hasil yang berbeda bagi masing-masing aktor yang terlibat


(39)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian terbagi atas empat alternatif, yaitu paradigma positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme (Guba dan Lincoln dalam Denzin dan Lincoln, 2000). Mengacu atas rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis. Tabel 3 menunjukkan perbedaan antara paradigma kritis dan paradigma positivisme.

Tabel 3. Perbandingan Paradigma Positivisme dan Kritis

Aspek Filosofis

Positivisme Kritis

Ontologis Ada realitas yang real dan diatur oleh kaidah tertentu serta berlaku universal. Kebenaran universal hanya dapat diperoleh dengan asas probabilistik.

Realitas teramati merupakan realitas semu yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, budaya dan ekonomi-politik. Epistemologis Objektifitas.

Ada realitas objektif sebagai suatu realitas yang eksternal di luar peneliti. Peneliti harus memiliki jarak dengan objek penelitinya.

Transaksionalis/Subjektifitas. Hubungan antara peneliti dan yang diteliti selain dijembatani oleh nilai tertentu, pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated finding.

Metodologis - Eksperimen/Manipulatif,

intervensionist dan

falsification melalui pengujian hipotesis dalam struktur logika metode hipotesis deduktif. Kegiatan melalui laboratorium eksperimen atau survei eksperimen dengan analisis kuantitatif

- Kriteria kualitas penelitiannya: objektifitas, reliabilitas dan validitas (internal dan ekternal).

- Partisipatif, menggunakan analisis komprehensif, kontekstual dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transformasi sosial.

- Kriteria kualitas penelitian: Otentik, sejauhmana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Axiologis - Nilai, etika dan pilihan moral

harus berada di luar proses penelitian.

- Tujuan penelitian: eksplanasi, prediksi dan kontrol.

- Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak

terpisahkan dari suatu penelitian. - Tujuan penelitian: kritik sosial,

transformasi, emansipasi dan pemberdayaan sosial.


(40)

Paradigma teori kritis digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk membongkar masalah relasi kekuasaan dan kontestasi para aktor yang mendasari pola penguasaan, pemanfaatan, dan kepemilikan sumber daya perairan Waduk Jatiluhur. Proses kontestasi selalu melibatkan pihak pemenang dan juga pihak yang kalah dan tersingkir serta termarjinalisasi. Oleh karenanya, selama proses penelitian ini diupayakan turut membangun kesadaran bersama semua pihak tentang hak dan kewajiban serta peran serta di dalam proses pengelolaan sumber daya perairan waduk.

3.2. Metode dan Strategi Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan informasi yang bersifat subjektif. Metode kualititaf dipilih mengingat tujuan penelitian yang berupaya memperoleh gambaran kontestasi kepentingan berbagai aktor di dalam proses penguasaan dan pengelolaan sumber daya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Metode ini dianggap lebih mampu menangkap penjelasan dan pemahaman dari subjek penelitian terkait realitas sosial yang ada.

Sementara strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus. Sitorus (1998), menyebutkan bahwa penelitian studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Unit analisis penelitian ini adalah aktor di suatu komunitas yang memanfaatkan sumber daya perairan waduk. Teknik pemilihan informan dilakukan secara sengaja terhadap beberapa kelompok aktor yang dipandang memahami secara jelas permasalahan yang ada di Waduk Juanda. Penelitian melibatkan 20 orang informan dari masing-masing kategori kelompok aktor: Perum Jasa Tirta II, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, pengusaha budidaya (skala besar, menengah dan kecil serta penduduk asli dan pendatang), nelayan, pedagang pengumpul ikan (hasil tangkapan dan hasil budidaya), pedagang pakan dan pengusaha transportasi.


(41)

23

Data yang dianalisa dikumpulkan ketika berada di lokasi penelitian, maupun setelah kembali (Danim, 2001). Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui dua teknik, yaitu teknik indepth interview dan observasi. Indepth interview dilakukan menggunakan cara dan suasana yang berbeda bagi setiap informan. Indepth interview menggunakan panduan topik data atau pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran kondisi umum informan dan dinamika struktur sosial.

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, yaitu informasi berupa kondisi umum lokasi penelitian serta perkembangan kualitas sumber daya dan lingkungan perairan.

3.4. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dan pengambilan data dilakukan selama Maret – April 2011. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja berdasarkan pertimbangan kompleksitas pemanfaatan sumber daya, kepentingan para aktor, dan degradasi sumber daya perairan.

3.5. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan diinterpretasikan menggunakan metode logik. Metode logik adalah cara menalar dimana data diamati dan dipilah-pilah, buktinya dicari dan dipertimbangkan, dianalisis dan kemudian kesimpulan diambil (Nazir, 1988). Analisis data juga dilakukan bertujuan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa. Analisis hubungan antara fakta sosial dinyatakan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif.


(42)

Kabupaten Purwakarta merupakan bagian dari wilayah Propinsi Jawa Barat

yang terletak diantara 107°30’-107°40’ Bujur Timur dan 6°25’-6°45’ Lintang Selatan. Secara administratif, Kabupaten Purwakarta mempunyai batas wilayah sebagai berikut (BPS1, 2007) :

a. Bagian Barat, sebagian wilayah Utara : Kabupaten Karawang b. Bagian Utara, sebagian wilayah bagian Timur : Kabupaten Subang c. Bagian Selatan : Kabupaten Bandung

d. Bagian Barat Daya : Kabupaten Cianjur

Jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta Tahun 2007 sebesar 179.405 Jiwa, terdiri dari 49,98% laki-laki dan 50,02% perempuan. Sementara luas wilayahnya sebesar 320,78 km2, dengan kepadatan penduduk sebesar 559,28 jiwa/km2 (BPS2, 2007).


(43)

25

4.1. Karakteristik Sumber Daya Perairan Waduk

Waduk Ir. H. Djuanda yang lebih dikenal dengan nama Waduk Jatiluhur terletak pada Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat. Waduk ini dibangun pada awal tahun 1957 dan dinyatakan selesai pada tahun 1967. Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai luas 8.300 Ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 Milyar m3 dan duga muka air maksimum mencapai ± 107 meter dpl. Waduk ini merupakan waduk serbaguna dengan peruntukkan bagi PLTA, penyediaan baku air minum dan industri, penyediaan air irigasi, perikanan, pariwisata dan pengendalian banjir. Sumber air waduk berasal dari DAS Citarum, yaitu daerah pengaliran waduk saguling dan Cirata. Secara ringkas, karakteristik perairan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Perairan Waduk Ir. H. Djuanda

Lokasi pada DAS Di bagian bawah/ hilir Ketinggian dari muka laut (m) 111

Volume air x 1000 m3 2.970.000

Luas permukaan (A), ha 8.300

Kedalaman rata-rata (m) 35,8

Kedalaman maksimum (Zmaks), m 90

Status kesuburan Mesotrophic –Eutrophic

Pola percampuran massa air Oligomictic (rare)

Rasio A/Zmaks 0,92

Kondisi tanpa oksigen dimulai pada lapisan kedalaman (m)

11-20 (anoxic) Sumber : Prihadi (2004)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prihadi (2004), karakteristik perairan waduk Jatiluhur secara dinamis mengalami perubahan, seperti kedalaman rata-ratanya sepanjang tahun 2003 mengalami penurunan sebanyak ± 9,6 meter, serta kedalaman rata-ratanya menurun dari 35,8 meter menjadi 26,2 meter. Waduk Jatilhur merupakan danau buatan, dimana dalam proses pembentukannya merupakan hasil pembendungan sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem perairan, dari ekosistem mengalir (riverine ecosytem) menjadi ekosistem tergenang (lacustrine ecosystem). Akibat perubahan


(44)

ekosistem, maka akan terjadi akumulasi bahan nutrient ke perairan. Semakin bertambahnya umur waduk, maka akan terjadi perubahan status trofik dari oligotrof menjadi mesotrof. Apabila bahan organik yang masuk ke perairan sangat besar (baik berasal dari anthrophogenik meupun internal). Maka perairan akan mencapai eutrof dan bahkan dapat mencapai hyper-eutrof. Pada saat ini, status trofik perairan waduk Jatiluhur sudah mencapai eutrof-hypertrof (Koeshendrajana, 2008).

Jenis sumberdaya ikan di perairan waduk pada awalnya beragam dan beberapa termasuk jenis ikan nilai ekonomis penting. Namun dengan adanya perubahan ekosistem dan perkembangan usaha budidaya KJA menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ikan, bahkan beberapa jenis ikan asli mengalami kepunahan (Krismono, et al., 1983 dalam Purnamaningtyas, et al., 2008). Pada awal dilakukannya pembendungan, populasi ikan di waduk Jatiluhur tidaklah banyak, hal ini dikarenakan jenis-jenis ikan rheophylic yang berasal dari sungai tidak dapat beradaptasi di ekosistem tergenang (waduk) dimana perairan cenderung dalam dan kandungan oksigen terlarut lebih rendah dibandingkan ekosistem air mengalir (sungai) akibat dari pola stratifikasi yang terjadi di ekosistem perairan tergenang. Seiring dengan perkembangannya, khususnya dalam pemanfaatan waduk di sektor perikanan, dilakukan introduksi atau restocking beberapa jenis ikan tertentu yang mampu sesuai dengan ekosistem waduk dan bertujuan meningkatkan nilai produksi perikanan. Selain itu, perubahan komposisi ikan setelah adanya perkembangan usaha budidaya KJA, diduga adalah jenis ikan yang masuk bersama benih ikan dan selanjutnya terlepas ke perairan. Komposisi ikan sebelum dan setelah adanya kegiatan budidaya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Ikan di Perairan Waduk Ir. H. Djuanda

Sebelum adanya KJA Setelah adanya KJA

Tagih (Mytus nemurus) Nila (Oreochromis niloticus) Hampal (Hampala macrolepidota) Bandeng (Channos channos) Jambal (Pangasius hypopthalmus) Betutu (Oxyeleotris marmorata) Tawes (Barbodes javanicus) Goldsom (Astronotus ocellatus) Kebogerang (Mytus nigriceps) Selebra (Parachromis managuensis) Udang (Macrobrachium sp.) Oskar (Amphilophus citrinellus) Nila (Oreochromis niloticus) Ikan kaca (Chanda punctulada) Lalawak (Barbonymus balaroides)

Genggehek (Mystacoleucus marginatus) Balidra (Notopterus chitala)


(45)

27

Pola produktivitas perikanan di waduk dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: tipe waduk, kesuburan, dan pengelolaan perikanan. Pada tahap awal penggenangan waduk akan terjadi peningkatan produktivitas perikanan dan mencapai maksimum dalam beberapa tahun. Beberapa tahun kemudian, produksi akan menurun dengan cepat sampai kira-kira setengahnya. Pola ini merupakan ciri khusus dari tipe waduk yang dalam dan berlereng curam. Pada waduk ukuran besar dan dangkal, pola produktivitas perikanannya tidak menurun tajam setelah terjadi peningkatan produksi pada tahap awal, produktivitasnya hanya berfluktuasi kecil dan berada sekitar produksi (Koeshendrajana, 2008).

4.2. Karakteristik Pemanfaatan Sumber Daya Perairan Waduk Perikanan Tangkap

Berdasarkan data DKP dan ACIAR (2007) diperoleh bahwa jenis ikan yang tertangkap di Waduk Djuanda didominasi oleh ikan nila (79-96%), ikan mas, patin sius dan gabus (Tabel 6). Selain itu juga ditemukan jenis ikan oskar, kongo dan goldsom yang tidak disukai nelayan dan termasuk jenis ikan yang tidak ekonomis. Hasil tangkapan ikan di Waduk Djuanda bervariasi antara 74.674–148.024 kg/bulan dengan rata-rata 118.875 kg/bulan atau total tangkapan ikan sebesar 1.359,439 ton/tahun

Tabel 6. Daftar jenis-jenis ikan yang tertangkap di Waduk Djuanda Tahun 2005

No Nama lokal Nama ilmiah Kelimpahan

relatif Keterangan

1 Nila Oreochromis niloticus +++ introduksi

2 Mas Cyprinus carpio + introduksi

3 Tawes Barbodes gonionotus + Ikan asli

4 Hampal Hampala macrolepidota + Ikan asli

5 Tagih Mystus nemurus + Ikan asli

6 Kebogerang Mystus nigriceps + Ikan asli

7 Sius Pangasionodon hypopthalmus ++ introduksi

8 Bandeng Chanos chanos ++ introduksi

9 Gabus Channa striata ++ Ikan asli

10 Betutu Oxyeleotris marmorata + Introduksi?

11 Oscar Amphilophus citrinellus ++ Introduksi?

12 Goldsom Astronotus ocellatus + Introduksi?

13 Kongo Tilapia butikoferi ++ Introduksi?

14 Sepat Trichogaster trichopterus + Introduksi

Keterangan: +++ = tinggi; ++ = sedang; + = jarang Sumber : ACIAR (2007)


(46)

Sementara itu, jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan di Waduk Djuanda yaitu jaring insang (gill net), jala, anco dan pancing. Namun, saat ini nelayan umumnya menggunakan alat tangkap jaring insang dan jala (Tabel 7), dengan perahu kayu yang dilengkapi motor tempel ataupun tanpa motor tempel dan rakit bambu.

Tabel 7. Jumlah Nelayan dan Alat Tangkap di Waduk Djuanda, Tahun 2004 No Jenis Alat Tangkap Aktif Pasif Jumlah Nelayan

1 Gillnet 2.175 0 665

2 Jala 241 0 242

Jumlah 2.416 0 907

Sumber : DKP dan ACIAR (2007)

Pola pemanfaatan sumberdaya perairan untuk kegiatan perikanan tangkap, umumnya berdasarkan tinggi muka air yang diatur oleh badan otorita dan curah hujan. Pada saat air muka tinggi, nelayan menggunakan alat tangkap berukuran mata jaring kecil (mata jaring ± 1,5 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya kecil dan melimpah. Sedangkan pada saat air muka rendah (air mengumpul di tengah), nelayan menangkap ikan menggunakan alat tangkap berukuran besar (mata jaring ± 3 inci), sehingga ikan yang tertangkap adalah ikan yang ukurannya besar (> 500 gram).

Perikanan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA)

Kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan di Waduk Djuanda adalah perikanan budidaya menggunakan keramba jaring apung (KJA). Jenis ikan yang umumnya dibudidayakan adalah jenis ikan mas, nila dan patin. Petak KJA yang digunakan memiliki ukuran 7 x 7 meter dengan kepemilikan jumlah petak KJA yang terus mengalami peningkatan pesat dari tahun ke tahun (Tabel 8).


(47)

29

Tabel 8. Perkembangan Jumlah Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Waduk Djuanda Periode 2002-2004

Tahun Bulan Jumlah

petak

Petak

Ijin petak Aktif Pasif Rusak

2002 Januari Desember 2.159 2.159 409 565 1.750 957 - 653 319 319 2003 Januari Agustus Desember 2.159 3.216 3.216 150 645 363 1.358 1.818 2.853 653 653 - 203 219 363

2004 Januari 8.043 4.975 3.068 - -

Sumber : Sudjana (2004) dan DKP dan ACIAR (2007)

Lokasi KJA Waduk Ir. H. Djuanda telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati Kabupaten Purwakarta No. 532.32/Kep.234-Diskan/2000 dibagi dalam 7 zona, sedangkan PJT II menetapkan 6 zona. Posisi penempatan KJA di waduk Ir. H. Djuanda harus mempertimbangkan luas zona yang diijinkan yaitu maksimal 1% dari luas efektif waduk, elevasi minimal 87.65 meter dpl, kedalaman air minimal 10 meter, arah gelombang dominan, jarak antar unit KJA 50 meter, letak pemasangan jangkar, batas antar blok/unit dan pencemaran.

Pola pemanfaatan sumberdaya perairan waduk untuk kegiatan perikanan budidaya mengikuti tinggi muka air. Pada saat muka air tinggi adalah kondisi optimum operasional, dalam hal ini pembudidaya ikan akan mengisi seluruh petak yang dimiliki sedangkan pada saat muka air rendah, pembudidaya ikan hanya mengisi sebagian kecil petak yang dimilikinya. Namun kondisi di lapangan tidak demikian, pembudidaya ikan cenderung mengabaikan tinggi muka air dan hanya berorientasi pada produksi perikanan. Dalam hal ini, pembudidaya ikan tidak berpikir tentang kelangsungan sumberdaya itu sendiri dan dampaknya pada lingkungan perairan. Pada saat kondisi permukaan air surut maka kualitas air cenderung menurun, sehingga disarankan untuk mengurangi padat tebar ikan dan jumlah pakan yang diberikan.

Produksi ikan dari kegiatan budidaya dari tahun 2004 sampai dengan 2007 mengalami kenaikan yaitu dari 7.048,36 ton menjadi 33.314 ton (Tabel 9). Produksi ikan yang terus menerus naik dan jumlah petak yang tidak terkendali berimbas juga pada kondisi lingkungan (terjadi eutrofikasi yang berlebihan) dan penurunan


(1)

97

aktor pengguna. Kontestasi diskursus pakan terjadi dalam 2 (dua) hal, yaitu pakan komersial serta non komersial, dan teknik pemberian pakan sistem pompa dan non-sistem pompa. Pihak yang diuntungkan adalah pedagang pakan dan juga pabrik pakan. Arena kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan melibatkan kelompok aktor otorita, yaitu PJT II dan Disnakkan Kabupaten Purwakarta. Kontestasi kepentingan di tingkat kebijakan ini terkait erat dengan kepentingan “core business” yang berbeda dari kelompok aktor otorita. Arena kontestasi kepentingan di tingkat operasional melibatkan kelompok aktor pengguna. Kontestasi kepentingan di tingkat operasional ini terjadi dalam 3 (tiga) hal, yaitu tata cara memperoleh, mempertahankan dan mengontrol akses manfaat sumber daya perairan waduk. Ketiga hal tersebut menyebabkan terjadinya proses-proses aliansi dan kolaborasi diantara kelompok aktor pengguna. Proses aliansi dan kolaborasi terjadi dalam bentuk pola hubungan patron-klien antara pihak yang mengontrol akses dan pihak yang mempertahankan akses manfaat sumber daya perairan waduk. Akumulasi dan aliran manfaat sumber daya terjadi dari pihak yang mempertahankan akses kepada pihak yang mengontrol akses atas sumber daya.


(2)

98

8.2. SARAN

Saran yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah perlunya penataan kembali aturan pengelolaan sumber daya waduk yang ada. Penataan kembali hak-hak dan tanggung jawab dalam kepemilikan sumber daya merupakan hal penting untuk dilakukan. Hal yang menjadi sorotan utama adalah terkait tentang hak-hak dan tanggung jawab dalam kelompok hak pengambilan keputusan kolektif (management, exclusion dan alienation). Upaya mendorong kelompok aktor pengguna untuk memiliki hak pengambilan keputusan kolektif dan menduduki posisi claimant ataupun proprietor secara bersama-sama dengan kelompok aktor otorita mutlak diperlukan. Hal ini bertujuan agar setiap kepentingan yang ada dapat terwakili dan dikelola secara bersama.

Langkah mendorong keterlibatan aktor pengguna untuk terlibat di dalam proses perencanaan dan penyusunan aturan-aturan pengelolaan sumber daya harus diimbangi dengan terjaminnya akses bagi pihak-pihak marjinal, seperti pembudidaya KJA skala kecil dan nelayan. Keadilan akses ini merupakan syarat mutlak untuk mengantisipasi terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan sosial serta kesempatan usaha antara penduduk setempat dan penduduk pendatang. Selain itu, keadilan akses bagi pihak yang termarjinalkan berupaya mendudukkan proses pengelolaan sumber daya di dalam kepastian hukum dan mengurangi dampak dari kuatnya unsur kapital (permodalan) sebagai faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan.

Saran selanjutnya adalah perlu dilakukannya penelitian yang bebas dari kepentingan ekonomi dan usaha terkait permasalahan pakan. Hal ini sebagai upaya untuk mengetahui seberapa besar dampak pakan terhadap perairan waduk. Selain itu juga perlu dilakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut tentang penggunaan pakan alternatif yang bersumber dari inisiatif lokal dan kearifan lokal. Penelitian dan pengembangan tentang pakan alternatif merupakan suatu kebutuhan mengingat besarnya persentase pakan di dalam biaya produksi dan tingginya ketergantungan pembudidaya terhadap pakan komersial.


(3)

KONTESTASI KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA PERAIRAN WADUK DJUANDA,

JATILUHUR

Fatriyandi Nur Priyatna

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Benda-Beckman, F.V. 2001. Jaminan Sosial dan Manajemen Sumber daya Alam: Refleksi Kompleksitas Normatif di Indonesia dalam Benda-Beckman, FV, KV Benda-Beckman dan J Koning. 2001. Sumber daya Alam dan Jaminan Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Berkes, F. 1996. Social Systems, Ecological Systems, and Property Rights in Hanna, S, Folke, C, Mäler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment [Editor]. Island Press. Washington DC

Bourdieu, P dan Wacquant, L.J.D. 1992. An Invitation to Reflexive Sociology. Polity. Cambridge

Bromley, D.W. 1991. Environment and Economy: Property Rights and Public Policy. Basil Blackwell. Inc. Belmont, California

---.1992. Making The Commons Work. (Ed). CA: Institute for Contemporary Studies. San Francisco

Burke, BE. 2001. Hardin Revisited: A Critical Look at Perception and the Logic of the Commons. Human Ecology, Vol 29, No. 4.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumber daya Perikanan. LISPI. Jakarta Danim, S. 2001. Menjadi Peneliti Kualitatif. Pustaka Setia. Bandung

Denzin, N.K and Lincoln, Y.S. 2000. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks. SAGE Publications. London

Departemen Kelautan dan Perikanan dan Australian Centre For International Agricultural Research (DKP-ACIAR), 2007. Panduan Teknis Pengelolaan Perikanan Secara Bersama Pada Perairan Waduk di Indonesia. DKP-ACIAR. Jakarta.

Hanna, S., Folke, C., and Maler, K G. 1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institution for The Environment. Island Press. USA. 298 p

Hamzah, A. 2008. Respons Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (Studi Kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara). Thesis. Progam Studi Sosiologi Pedesaan. Institut Pertanian Bogor


(5)

100

Jager, W., Janssen, M.A., De Vries, H.J.M., De Greef, J., Vlek, C.A.J., 2000. Behaviour in commons dilemmas: Homo economicus and Homo psychologicus in an ecological- economic model. Ecological Economics 35, 357–379

Johnson, D. P. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I. Penerbit PT Gramedia. Jakarta

Kinseng, R.A. 2003. Antroposentrisme dan SDA. Harian Umum Republika (Rabu, 20 Agustus 2003). Jakarta

---. 2007. Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur). Disertasi. FISIP UI. Depok ---. 2009. Kelas dan Konflik Kelas pada Kaum Nelayan di Indonesia (Studi Kasus di Balikpapan, Kalimantan Timur). Monograf. Program Pascasarjana, Departemen Sosiologi. Universitas Indonesia. Depok

Koentjaraningrat.1990. Pengantar Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta

Koeshendrajana, S., Priyatna, F N., Mulyawan, I., Ramadhan, A., Reswati, E., Triyanti, R., Fahrudin, A., Kartamihardja, E.S., Witomo, C.M. 2008. Riset Identifikasi, Karakterisasi dan Valuasi Sosial Ekonomi Sumber daya Perairan Umum Daratan. Laporan Teknis Kegiatan Penelitian. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. BRKP

Kusnadi. 2000. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. LKiS. Yogyakarta

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

Ostrom, E. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge University Press. New York

Ostrom, E dan Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights in Hanna, S, Folke, C, Mäler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment [Editor]. Island Press. Washington DC

Ribot, J.C and Peluso, N.L. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology

Ritzer, G dan Goodman, D.J. 2003. Teori Sosiologi Modern (Terj). Kencana. Jakarta

Ritzer, G. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali. Jakarta

Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesiondo. Jakarta Sitorus, MTF. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Pengenalan. DOKIS IPB. Bogor


(6)

101

Siwi, M. 2012. Dinamika Politik Pemberdayaan dalam Corporate Social Responsibility (CSR) : Studi Kasus Program CSR PT. Holcim Indonesia Pabrik Narogong, di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Thesis. Program Studi Sosiologi Pedesaan. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Sudjana, T, 2004. Kebijakan Perum Jasa Tirta II dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Waduk Ir. H. Djuanda untuk Perikanan Budidaya. Makalah Lokakarya Pemecahan Masalah Budidaya Ikan dalam KJA di Perairan Waduk. Bogor, 20 Juli 2004. Perum Jasa Tirta II Jatiluhur. Jawa Barat.

Turner, J.H. 1998. The Structure of Sociological Theory. 6th Edition. Wadsworth Publishing Company. USA

Wright, E.O. 1987. Kelas. Verso. London-New York

Vago, S. 1989. Social Change. 2nd Edition. Prentice-Hall, Inc. United States of America. New Jersey

Witomo, C.M dan Reswati, E. 2009. Kajian Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Perairan Waduk Ir. Djuanda. Bunga Rampai Hasil Riset Dinamika Pengelolaan Sumber daya Perikanan dan Kelautan. BBRSEKP-Litbang KP. Jakarta