Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang dan Jenis Perekat
SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI
BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) PADA BERBAGAI POSISI BATANG DAN JENIS PEREKAT
SKRIPSI
Oleh: Selvy Puspikasari
101201017
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung
(Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat”.
Nama : Selvy Puspikasari
NIM : 101201017
Program Studi : Kehutanan
Minat Studi : Teknologi Hasil Hutan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Luthfi Hakim, S.Hut., M.Si. Tito Sucipto, S.Hut., M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui :
Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan
(3)
SELVY PUSPIKASARI. Physical and Mechanical Properties of laminated bamboo (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Under Various Treatment of Trunk Position and Resin Types. Supervisied by LUTHFI HAKIM and TITO SUCIPTO
ABSTRACT
Laminated bamboo made from betung (Dendrocalamus asper) were given treatment of the rod position and the type of adhesive being tested quality. This research aims to to evaluate the influence of trunk position and the type of adhesive for physical and mechanical properties of laminated bamboo betung. The tested of moisture content, water absorption, delamination and bending strength was conducted by using JAS standard SE-7 2003 about Flooring while surface bonding strength tested by using the SNI standard ISO 16981-2012.
The results showed the physical properties of bamboo betung laminated boards have met the standard of JAS SE-7 2003 about Flooring for moisture content and delamination, except for water absorption. The mechanical properties also have met the standard of JAS SE-7 2003 about Flooring for bending strength testing and have met the SNI standard ISO 16981-2012 for surface bonding strength. Analysis of variance results Analysis of variance results showed that the values of bending strength were significantly affected by trunk position and resin types. The best of bamboo betung laminated boards obtained from bamboo laminated boards with bamboo base epoxy adhesive types.
Keywords: bamboo betung, laminated boards trunk position, Resin Types, physical and mechanical properties
(4)
ABSTRAK
SELVY PUSPIKASARI. Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan TITO SUCIPTO
Papan laminasi yang terbuat dari bambu betung (Dendrocalamus asper) yang diberi pengaruh posisi batang dan jenis perekat yang diuji kualitasnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh posisi batang dan jenis perekat terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung. Pengujian kadar air, daya serap air, delaminasi dan bending strength dilakukan berdasarkan standar JAS SE-7 2003 tentang Flooring sedangkan pengujian keteguhan rekat permukaan dilakukan berdasarkan standar SNI ISO 16981-2012.
Hasil penelitian menunjukkan kualitas papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian kadar air, delaminasi, namun untuk pengujian daya serap air tidak memenuhi. Pada sifat mekanis papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian bending strength dan memenuhi standar SNI ISO 16981-2012 untuk pengujian keteguhan rekat permukaan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi batang bambu dan jenis perekat berpengaruh nyata pada kualitas papan laminasi yaitu pada uji bending strength. Papan laminasi terbaik diperoleh dari papan laminasi menggunakan bagian pangkal bambu dengan jenis perekat epoksi.
Kata kunci: bambu betung, papan laminasi, posisi batang, jenis perekat, sifat fisis dan mekanis
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Kabanjahe pada tanggal 12 Januari 1992 dari pasangan bapak Syahruddin dan Ibu Ria Magdalena Situmorang. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri 04 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2004, melanjutkan ke SMP Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2007, lalu tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Kabanjahe. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswi di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, yaitu KORIM (Kors Rimbawan Menulis). Penulis juga menjadi asisten Praktikum Ekologi Hutan, Praktikum Klimatologi Hutan, Praktikum Anatomi Kayu, dan Praktikum Sifat Fisis dan Mekanis Kayu.
Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo pada tahun 2012. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perhutani Bandung Selatan dari tanggal 8 Februari - 8 Maret 2014.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Sumatera Utara, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat”. Dibimbing oleh Luthfi Hakim S.Hut M.Si dan Tito Sucipto S.Hut M.Si
(6)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah mengkaruniakan berkah dan kasih sayang-Nya sehingga atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisis dan mekanis papan laminasi bambu dari bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu dengan menggunakan perekat PVAc dan epoksi serta menentukan bagian bambu betung dan jenis perekat terbaik yang digunakan sebagai bahan baku laminasi bambu. Evaluasi dan penentuan tersebut diperoleh dengan menguji sifat fisis dan mekanis papan berdasarkan Standar Internasional JAS (Japan Agricultural Standard) SE-7-2003 dan SNI ISO
16981-2012.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Syahruddin dan Ibu Ria Magdalena yang senantiasa memberikan kasih sayang sepanjang masa, dan dukungan berupa moril maupun materil kepada penulis. Serta seluruh keluarga besar khususnya kepada Bapak Herman Situmorang yang telah menjadi orang tua penulis selama masa perkuliahan dan memberikan segala dukungan baik moril maupun materil hingga
(7)
skripsi ini terselesaikan. Terima kasih atas segala yang telah diberikan demi penulis dan restu yang selalu mengiringi langkah sehingga penulis bisa sampai ke titik ini.
2. Bapak Luthfi Hakim, S.Hut., M.Si dan Bapak Tito Sucipto, S.Hut., M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
3. Rekan tim peneliti (Reza Nachsbandy, Mariah Ulfa, Putri Rafika W, Riza Rivani, Annisa Nadia, dan Sri Wardani Rambe) yang telah memberikan semangat dan kerjasama saat melakukan penelitian, serta teman-teman angkatan 2010 di Program Studi Kehutanan, khususnya di Teknologi Hasil Hutan 2010.
4. Tidak lupa juga kepada abang dari “team bamboo” yaitu Robi Hidayat yang juga telah memberikan banyak bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Terakhir, penulis hendak menyapa setiap nama yang tidak dapat penulis cantumkan satu per satu, terima kasih atas doa yang senantiasa mengalir tanpa sepengetahuan penulis. Terimakasih sebanyak-banyaknya kepada orang-orang yang turut bersuka cita atas keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga kedepannya skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan.
Medan, Agustus 2014 Penulis
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Kegunaan Penelitian ... 4
Hipotesis ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Bambu Betung (Dendrocalamus asper) ... 6
Komponen Kimia dan Anatomi Menurut Bagian Batang Bambu ... 6
Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung ... 8
Laminasi Bambu ... 10
Perekat Polivinil Asetat (PVAc) dan Epoksi ... 11
Perekatan ... 13
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 15
Bahan dan Alat ... 15
Prosedur Persiapan Bahan Baku ... 15
Pembuatan Bilah Papan Laminasi ... 16
Pelaburan Perekat ... 17
Perekatan Bilah ... 17
Pengempaan dan Pengkondisian ... 18
Pemotongan Contoh Uji ... 19
Pengujian Laminasi Bambu Betung ... 19
Pengujian Sifat Fisis ... 19
Pengujian Sifat Mekanis ... 21
(9)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Papan Laminasi Bambu Betung ... 27
Pengujian Kadar Air (KA) ... 27
Pengujian Daya Serap Air (DSA) ... 29
Pengujian Delaminasi (D) ... 31
Sifat Mekanis Papan Laminasi Bambu Betung ... 33
Pengujian Bending Strength 1. Modulus of Elasticity (MOE) ... 34
2. Modulus of Rupture (MOR) ... 37
3. Perubahan Defleksi Pembebanan ... 34
Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP) ... 38
Kualitas Papan Laminasi Bambu Betung ... 41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 43
Saran ... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 46
(10)
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Komponen kimia bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu ... 7
2. Nilai ekstraktif bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu ... . 8
3. Berat labur perekat yang dibutuhkan ... 17
4. Data rata-rata hasil pengujian sifat fisis papan laminasi bambu betung... 26
5. Data rata-rata hasil pengujian sifat mekanis papan laminasi bambu betung ... 32
6. Rekapitulasi kualitas papan laminasi berbentuk zephyr dari bambu betung berdasarkan JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012 ... 41
(11)
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Pembagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu ... 16
2. Pemotongan bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu ... 16
3. Pemotongan bilah sampel bambu ... 16
4. Pengempaan bambu pada arah tebal ... 18
5. Pengempaan bambu pada arah lebar ... 18
6. Pemotongan contoh uji ... 19
7. Pembebanan pengujian MOR dan MOE ... 22
8. Pengujian keteguhan rekat permukaan (KRP) ... 23
9. Bagan alir penelitian ... 25
10. Kadar air laminasi bambu betung ... 27
11. Daya serap air laminasi bambu betung ... 29
12. Delaminasi laminasi bambu betung ... 31
13. MOE laminasi bambu betung ... 34
14. MOR laminasi bambu betung ... 35
15. Perubahan defleksi pada pengujian bending strength bambu laminasi .... 37
(12)
SELVY PUSPIKASARI. Physical and Mechanical Properties of laminated bamboo (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Under Various Treatment of Trunk Position and Resin Types. Supervisied by LUTHFI HAKIM and TITO SUCIPTO
ABSTRACT
Laminated bamboo made from betung (Dendrocalamus asper) were given treatment of the rod position and the type of adhesive being tested quality. This research aims to to evaluate the influence of trunk position and the type of adhesive for physical and mechanical properties of laminated bamboo betung. The tested of moisture content, water absorption, delamination and bending strength was conducted by using JAS standard SE-7 2003 about Flooring while surface bonding strength tested by using the SNI standard ISO 16981-2012.
The results showed the physical properties of bamboo betung laminated boards have met the standard of JAS SE-7 2003 about Flooring for moisture content and delamination, except for water absorption. The mechanical properties also have met the standard of JAS SE-7 2003 about Flooring for bending strength testing and have met the SNI standard ISO 16981-2012 for surface bonding strength. Analysis of variance results Analysis of variance results showed that the values of bending strength were significantly affected by trunk position and resin types. The best of bamboo betung laminated boards obtained from bamboo laminated boards with bamboo base epoxy adhesive types.
Keywords: bamboo betung, laminated boards trunk position, Resin Types, physical and mechanical properties
(13)
ABSTRAK
SELVY PUSPIKASARI. Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan TITO SUCIPTO
Papan laminasi yang terbuat dari bambu betung (Dendrocalamus asper) yang diberi pengaruh posisi batang dan jenis perekat yang diuji kualitasnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh posisi batang dan jenis perekat terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung. Pengujian kadar air, daya serap air, delaminasi dan bending strength dilakukan berdasarkan standar JAS SE-7 2003 tentang Flooring sedangkan pengujian keteguhan rekat permukaan dilakukan berdasarkan standar SNI ISO 16981-2012.
Hasil penelitian menunjukkan kualitas papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian kadar air, delaminasi, namun untuk pengujian daya serap air tidak memenuhi. Pada sifat mekanis papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian bending strength dan memenuhi standar SNI ISO 16981-2012 untuk pengujian keteguhan rekat permukaan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa posisi batang bambu dan jenis perekat berpengaruh nyata pada kualitas papan laminasi yaitu pada uji bending strength. Papan laminasi terbaik diperoleh dari papan laminasi menggunakan bagian pangkal bambu dengan jenis perekat epoksi.
Kata kunci: bambu betung, papan laminasi, posisi batang, jenis perekat, sifat fisis dan mekanis
(14)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, baik untuk keperluan bahan
bangunan maupun industri perkayuan saat ini sudah semakin meningkat, sehingga
melampaui kemampuan alam untuk menyediakan sumber bahan baku kayu tersebut.
Dalam perjalanan perkembangan industri perkayuan, terjadi peningkatan besar dalam
jumlah dan laju hilangnya tutupan hutan di Indonesia. Tutupan hutan sebagai salah
satu tolok ukur kondisi hutan terus berkurang sejalan dengan intervensi dan
eksploitasi yang dilakukan oleh manusia. Berdasarkan hasil analisis Forest Watch
Indonesia (FWI) tahun 2011 tutupan hutan antara tahun 2000 sampai tahun 2009
terlihat bahwa hutan di Indonesia yang mengalami deforestasi sekitar 15,15 juta ha.
Bambu sebagai hasil hutan non kayu (HHNK) sangat potensial untuk
menggantikan kayu bagi industri berbasis bahan baku kayu karena sifat atau
kekuatannya yang mirip dengan kayu dan sebagai sumber daya alam yang dapat
diperbaharui. Potensi bambu dalam menopang keberlanjutan hutan dinilai ekonomis
di masa depan. Pengurangan kayu sebagai sumber bahan baku untuk industri berbasis
bahan baku kayu dapat meningkatkan kualitas kayu dan lingkungan hutan. Selain
berpotensi sebagai bahan substitusi kayu, penggunaan bambu tergolong ramah
lingkungan karena ditanam sekali, dipanen berkali-kali tanpa harus menghilangkan
seluruh tegakan rumpunnya. Menurut Chen (2008) salah satu sumber alam hutan,
tanaman bambu dunia diperkirakan terdapat 1.200 spesies atau luas tanaman bambu
(15)
Bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk
dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah,
mudah dibentuk, mudah dikerjakan, dan ringan sehingga mudah diangkut, serta
bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain. Namun bambu
juga mempunyai keterbatasan dalam penggunaannya seperti, bentuk fisik silinder,
ukurannya bervariasi dan tidak seragam panjang ruasnya.
Mengatasi kelemahan tersebut, maka perlu dilakukan rekayasa teknologi
kayu. Salah satu rekayasa teknologi kayu adalah dengan pembuatan panel laminasi
dengan memberikan reinforcement (penguatan) pada lapisan face (atas) maupun back
(bawah). Panel laminasi dapat dibuat dengan menggabungkan beberapa jenis kayu
atau bahan berlignoselulosa seperti bambu sehingga bambu dapat dimanfaatkan
secara optimal.
Salah satu teknik peningkatan kualitas bambu adalah melalui teknik laminasi.
Beberapa kelebihan yang dimiliki struktur laminasi antara lain adalah ukuran dapat
dibuat lebih besar, bentang yang lebih panjang, dapat dikurangi perubahan bentuk dan
reduksi kekuatan oleh cacat kayu dapat dibuat lebih acak.
Dalam penelitian ini laminasi bambu yang digunakan adalah bambu betung
(Dendrocalamus asper) karena betung ini cukup mudah diperoleh di Indonesia.
Selain itu menurut Othman (1995) bambu ini bersifat keras dan dinding batangnya
relatif tebal sekitar 11–18 mm, berdiameter cukup besar bila dibandingkan dengan
jenis bambu lain.
(16)
papan laminasi betung. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan bambu
pada semua bagian batang pangkal, tengah, dan ujung dari bambu. Selain itu menurut
Manuhuwa dan Loiwatu (2007) bahwa analisa keragaman komponen kimia dari
batang bambu berbeda antara pangkal, tengah dan ujung batang. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengujian pengaruh yang terjadi pada sifat fisis dan mekasis laminasi
bambu betung akibat perbedaan batang bambu bagian pangkal, tengah dan ujung
batang bambu betung tersebut.
Jenis perekat akan mempengaruhi kualitas laminasi bambu. Perekat yang
digunakan pada pembuatan papan laminasi bambu betung ada dua yaitu polivinil
asetat (PVAc) dan epoksi. Tujuannya agar dapat diketahui jenis perekat yang terbaik
pada laminasi bambu selain itu perekat PVAc dan epoksi mudah diperoleh dan harga
relatif terjangkau. Standar yang digunakan dalam pengujian laminasi bambu ini
adalah Japanese Agricultural Standart (JAS). Berdasarkan hal tersebut maka
dilkukan penelitian ini dengan judul “Sifat Fisis Dan Mekanis Laminasi Bambu
Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f) Backer ex Heyne) Pada Berbagai Posisi Batang Dan Jenis Perekat”.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengevaluasi sifat fisis dan mekanis papan laminasi bambu dari bagian batang
pangkal, tengah, dan ujung bambu betung dengan menggunakan perekat PVAc
(17)
2. Menentukan bagian bambu betung dan jenis perekat terbaik yang digunakan
sebagai bahan baku laminasi bambu.
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang optimalisasi
pemanfaatan semua bagian batang pangkal, tengah, dan ujung bambu betung dengan
daya rekat terbaik.
Hipotesis
Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini adalah
1. Laminasi bambu betung dari posisi bagian pangkal bambu memiliki sifat fisis dan
mekanis yang lebih baik daripada bagian tengah dan ujung.
2. Laminasi bambu betung dengan perekat epoksi memiliki sifat fisis dan mekanis
(18)
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Umum Bambu Betung (Dendrocalamus asper)
Tantra (2003) di kutip oleh Hartanto (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan
jenis bambu sangat khas, membentuk rumpun yang tumbuh lurus dan bercabang ke
samping. Daunnya kecil-kecil, lonjong, dan berujung runcing. Tanaman bambu
jarang sekali sampai berbunga atau berbuah, kecuali bila dibiarkan tumbuh terus
sampai bertahun-tahun lamanya. Batang bambu memiliki warna yang
bermacam-macam menurut jenisnya. Pada umumnya bambu berwarna hijau tua. Jika sudah tua,
kulit batangnya membentuk bulatan-bulatan putih kecil-kecil. Ada jenis bambu yang
batangnya tidak begitu tebal, akan tetapi ada pula yang tebal sekali, misalnya bambu
betung.
Secara umum bambu merupakan jenis tanaman rumput-rumputan, bambu
tumbuh menggunakan rimpang batang yang mengandung ruas dan mata cabang
sehingga dapat menghasilkan batang baru atau rebung untuk tingkat pertumbuhan
selanjutnya. Setiap rumpun menghasilkan 8–14 batang setiap tahun, sekitar 2–3 bulan
rebung mencapai pertumbuhan dewasa, dan 3 bulan kemudian batang mencapai
tinggi maksimum (Liese, 1985 dan Abd Razak, 1992).
Bambu betung sebagai salah satu jenis dari genus Dendrocalamus, merupakan
jenis bambu yang banyak dikenal karena berdiameter cukup besar bila dibandingkan
dengan jenis bambu lain, yaitu 10–18 cm dan berdinding tebal, yaitu 11–18 mm
(Othman, 1995). Bambu dengan nama botani Dendrocalamus asper di Indonesia
(19)
dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2.000 m di
atas permukaan air laut. Pertumbuhan cukup baik khususnya untuk daerah yang tidak
terlalu kering. Warna kulit batang hijau kekuning-kuningan, batang dapat mencapai
panjang 10-14 m, panjang ruas berkisar antara 40–60 cm, diameter 6–15 cm, dan
tebal dinding 10-15 mm (Morisco, 1999).
Jenis bambu betung mempunyai rumpun yang agak sedikit rapat. Ukurannya
lebih besar dan lebih tinggi dari jenis bambu yang lain. Bambu ini akan tumbuh baik
bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering.
Bambu betung sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya
besar-besar serta ruasnya panjang. Berikut ini adalah klasifikasi bambu betung:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Graminales
Famili : Graminae
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus asper (Kemenhut, 2012).
Komponen Kimia dan Anatomi Menurut Bagian Batang Bambu
Menurut Manuhuwa dan Loiwatu (2007) komponen kimia pangkal batang
berbeda secara signifikan dibandingkan terhadap bagian tengah, dan ujung dalam hal
ekstraktif larut air panas, dan larut alkohol benzen, panjang sel serat, diameter dan
(20)
dan anatomi bambu serta hasil analisa keragaman berbeda antara pangkal, tengah dan
ujung batang. Jumlah alfa selulosa yang relatif lebih banyak memungkinkan bagian
pangkal batang bambu menghasilkan bubur kayu (pulp) yang lebih banyak tetapi
jumlah lignin yang besar memerlukan bahan kimia yang lebih banyak untuk
memisahkan lignin dari pulp. Pulp yang banyak mengandung lignin akan
menghasilkan kertas yang bermutu rendah. Komponen kimia alfa selulosa dan lignin
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komponen kimia bagian pangkal, tengah dan ujung batang bambu
Bagian batang Alfa selulosa (%) Lignin (%)
Pangkal 46,04 26,67
Tengah 44,98 26,57
Ujung 43,89 26,36
Sumber : Ulfah, 1999
Menurut Manuwa dan Loiwatu (2007) jumlah sel pori yang banyak
memungkinkan ekstraktif yang dikandung lebih banyak selain diameter lumen sel
pori, diameter lumen sel serat dan tebal dinding sel serat karena ekstraktif mengisi
terutama rongga sel tanaman kemudian dinding sel. Jumlah ekstraktif yang banyak
dalam bagian pangkal batang bambu tidak menjamin bagian pangkal lebih awet
daripada bagian tengah dan ujung batang, tetapi ditentukan faktor kandungan racun
dalam ekstraktif tersebut. Komponen kimia utama dinding sel serat adalah selulosa
dan sedikit lignin berfungsi sebagai perekat antara sel, menyebabkan bambu menjadi
kaku. Lignin yang dikandung bambu memungkinkan bambu mudah dibentuk dengan
cara memanaskannya karena lignin sifat termoplastik. Sifat lignin yang termoplastik
(21)
mendingin maka perubahan bentuk bambu tersebut tidak mungkin kembali ke
bentuknya yang semula (perubahan bentuk tetap).
Jenis bambu mengindikasikan ekstraktif larut air panas bagian pangkal batang
bambu lebih banyak daripada bagian tengah dan ujung batang bambu. Kadar
esktraktif larut alkohol benzen bagian pangkal batang lebih rendah daripada bagian
tengah tetapi lebih banyak daripada ujung batang bambu. Nilai ekstraktif larut air
panas dan ekstraktif larut benzen dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nilai ekstraktif bagian pangkal, tengah dan ujung batang bambu
Bagian batang Ekstraktif larut air panas (%) Ekstraktif larut benzene (%)
Pangkal 6,52 3,89
Tengah 5,44 3,82
Ujung 5,43 3,37
Sumber: Ulfah, 1999
Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung
A. Kadar Air Bambu
Kadar air bambu betung adalah 42,61%. Hal ini berhubungan erat dengan
tebal bilah masing-masing bambu tersebut. Makin tebal dinding/bilah bambu maka
makin tinggi air yang dapat dikandung bambu tersebut. Bambu betung memiliki tebal
bilah 10–25 mm (Pujirahayu, 2012).
B. Berat Jenis (BJ)
BJ bambu betung 0,56. Perbedaan berat jenis disebabkan karena
kecenderungan perbedaan distribusi ikatan vaskuler/peresentase serabut antara bagian
jenis dan juga komposisi kimianya. Perbedaan BJ pada berbagai posisi bambu secara
(22)
tengah dan ujung (Nuryati, 2000). Pada bagian pangkal terbentuk serabut yang
panjang berdinding tipis dan berdiameter besar sedangkan bagian ujung sebaliknya
berdinding tebal dan diameter kecil karena kecepatan pertumbuhan yang mulai
berkurang.
C. Penyusutan
Penyusutan volume 13,45% dan penyusutan radial 4,93%. Penyusutan bambu
sangat berhubungan dengan berat jenis dan kadar air, umumnya bambu dengan BJ
tinggi akan memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi pula, hal ini
berarti memungkinkan tingginya kadar air yang dapat terikat dalam bilah bambu.
Namun demikian ketebalan bilah bambu yang lebih besar akan memiliki persentase
penyusutan yang lebih kecil dibanding bambu dengan bilah yang lebih tipis
(Pujirahayu, 2012).
D. Kuat tekan
Kuat tekan pada bambu betung dewasa 46,59 Mpa. Kuat tekan rata-rata
bambu betung bagian pangkal yang tertinggi pada bambu dewasa dan terendah pada
bambu muda. Hal ini dikarenakan kerapatan dan kerapatan serat sklerenkim bambu
dewasa juga paling tinggi dan menunjukkan adanya proses pematangan seiring
dengan bertambahnya umur. Kuat tekan sejajar serat akan meningkat dari bambu
muda ke bambu dewasa dan menurun pada bambu tua (Pujirahayu, 2012).
E. Kuat geser
Kuat geser pada bambu betung dewasa 9,94 Mpa. Kuat geser rata-rata bambu
(23)
muda. Kuat geser sejajar serat akan meningkat dari bambu muda ke bambu dewasa
dan menurun pada bambu tua (Pujirahayu, 2012).
F. Kuat tarik
Kuat tarik bambu betung dewasa 217,89 Mpa. Umur bambu berpengaruh
terhadap kuat tarik bambu. Kuat tarik bambu petung bagian pangkal akan meningkat
dari umur muda ke umur dewasa dan menurun pada umur tua (Pujirahayu, 2012).
Laminasi Bambu
Balok laminasi adalah balok yang dibuat dari lapis-lapis papan yang diberi
perekat secara bersama-sama pada arah serat yang sama. Balok laminasi memiliki
ketebalan maksimum yang diizinkan sebesar 50 mm. Dengan mengikuti konsep
tersebut, laminasi diperoleh dari pengolahan batang yang dimulai dari pemotongan,
perekatan dan pengempaan sampai diperoleh bentuk lamina dengan ketebalan yang
diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak berbeda jauh dengan sifat
batang kayu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya ruas yang
ada pada satu batang tersebut dan banyaknya perekat yang digunakan
(Widjaja, 1995).
Proses laminasi dan penyambungan sangat terkait dengan proses perekatan.
Dalam proses perekatan bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas
hasil perekatan, yaitu aspek bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan
aspek teknologi perekatan. Aspek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan
anatomi bambu (susunan sel, arah serat) dan sifat fisika (kerapatan, kadar air,
(24)
perekat. Aspek teknologi perekatan meliputi komposisi perekat, berat labur,
pengempaan dan kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan) (Budi, 2007).
Menurut Manik (1997) bahwa untuk menghasilkan suatu balok kayu laminasi
yang memenuhi standar struktur pada proses perancangan juga harus memperhatikan
proses pengempaan. Proses pengempaan ini ditujukan untuk menghasilkan garis
perekat setipis mungkin, bahkan mendekati ketebalan molekul bahan perekat karena
kekuatan meningkat seiring berkurangnya tebal garis rekatan.
Breyer (1988), memaparkan ketebalan maksimum laminasi kayu satu lapis
adalah 50 mm (2 in). Budi (2007) menambahkan bahwa tebal nominal kayu laminasi
yang biasa dibuat adalah 25-50 mm (1-2 in). Pemberian tekanan pengempaan yang
terlalu besar dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan perekatan yang berupa
proses keluarnya perekat yang berlebihan (starved glue line) dan rusaknya lapisan
permukaan secara mekanis sehingga menurunkan kekuatan perekatan yang dihasilkan
(Widjaja, 1995).
Perekat Polivinil Asetat (PVAc) dan Epoksi
PVAc merupakan perekat yang cocok digunakan untuk bahan kertas dan
kayu. Penggunaan perekat PVAc dinilai lebih ramah lingkungan karena PVAc
merupakan polimer karet dengan umur simpannya tidak terbatas, dan tahan terhadap
mikroorganisme (Fajriani, 2010).
Kelebihan polivinil asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak
terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada
(25)
sensitif terhadap air sehingga penggunaannya untuk interior saja, kekuatan rekatnya
menurun cepat dengan adanya panas dan air serta viscoelastisitasnya tidak baik
(Ruhendi dkk, 2007).
Pizzi (1983) dalam Ruhendi dkk, (2007) menyatakan bahwa perekat polivinil
asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat
menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah.
Keuntungan utama dari polivinil asetat melebihi perekat urea formaldehida, karena
menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu
dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polivinil
asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa
selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai.
Epoksi mengacu pada molekul yang mengandung dua atau lebih gugus epoksi
polimer organik, kecuali untuk beberapa hal massa molekul epoksi tidak relatif tinggi.
Struktur molekul dari resin epoksi adalah rantai molekul yang mengandung gugus
epoksi reaktif ditandai oleh kelompok epoksi dapat di akhir rantai molekul, tengah,
atau struktur siklik. Struktur molekul yang mengandung gugus epoksi reaktif,
sehingga mereka dapat digunakan dengan berbagai jenis agen menyembuhkan dan
reaksi silang untuk membentuk larut, dapat dicairkan dengan struktur polimer.
Struktur molekul dari senyawa polimer memiliki gugus epoksi disebut sebagai resin
epoksi. Resin epoksi biasa digunakan sebagai bahan adhesif dan lapisan pelindung
yang sangat baik karena memiliki kekuatan yang tinggi, dan daya rekat yang kuat.
(26)
sebagian besar, untuk menuangkan, mencelupkan, bahan laminasi, perekat, pelapis
dan keperluan lainnya (Sturiale, 2006).
Perekatan
Perekatan didefinisikan sebagai keadaan pada saat permukaan disatukan oleh
gaya antar permukaan yang terdiri atas gaya valensi (aksi saling kunci). Perekat
berfungsi sebagai penggabung antar dua subtrat yang direkat. Kekuatan perekatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat perekatnya sendiri dan kompatibilitas
atau kesesuaian antara bahan yang direkat dengan bahan perekat (Prayitno, 1996).
Ada dua cara perekatan, cara pertama adalah bila kedua bidang permukaan
dilabur, maka disebut perekatan dua sisi. Cara ini perekat dilaburkan pada kedua
permukaan bahan yang direkatkan sehingga kedua bahan yang akan direkatkan
dilapisi dengan perekat, sebelum keduanya direkatkan. Cara ini memerlukan perekat
tambahan sebanyak 10%. Cara kedua adalah peleburan satu sisi. Pada cara ini perekat
hanya dilaburkan pada satu permukaan saja dari bahan yang akan direkatkan. Model
perekatan sistem dua sisi memiliki kecendrungan peningkatan kekuatan perekatan.
Kolmann dkk (1984) menyatakan tentang tiga faktor utama yang
mempengaruhi dalam perekatan kayu. Pertama spesies kayu yang berhubungan
dengan anatomi dan sifat fisika-kimia kayu. Kedua perlakuan permukaan dan sifat
permukaan yang dihasilkan. Ketiga perekat dan kondisi perekatan. Dua faktor
pertama tidak saling berhubungan. Perekatan adalah ketergantungan antara faktor
tekanan dan temperatur. Kondisi fisik permukaan adalah kondisi hasil pengolahan,
(27)
permukaan mempengaruhi interaksi perekat dan kayu tergantung spesies kayu juga
perlakuan permukaan.
Tsoumis (1991) membagi perekat ke dalam tiga jenis yaitu perekat nabati,
perekat hewani, perekat sintetik atau resin. Perekat sintetik dibagi lagi kedalam
termoplastik resin dan termoseting resin. Termoplastik resin adalah jenis perekat
bersifat melunak bila dikenai panas dan kembali mengeras setelah dingin, pengerasan
termoplastik melalui proses fisika hasil penguapan pelarut atau penurunan panas.
Termoseting resin merupakan perekat yang bersifat pengerasan permanen tidak
berpengaruh panas yang dikenakan, proses pengerasan jenis termoseting melalui
reaksi kimia dipercepat dengan panas atau katalis. Kelompok termoplastik resin yang
terutama adalah jenis polivinil asetat (PVAc) dan jenis epoksi sedangkan yang
termasuk kelompok termoseting resin adalah resin dengan unsur utama formaldehid
(28)
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014.
Persiapan bahan baku dan pembuatan papan lamiasi dilakukan di Workshop
Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatera Utara. Pengujian sifat fisis dan mekanis contoh uji papan laminasi
dilaksanakan di Laboraturium dan Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain parang, gergaji tangan,
cutter, mesin serut, kape (scrap), oven, timbangan analitik, mesin kempa dingin (klem), moisture meter, waterbath, kertas ampelas, kamera, kalkulator dan Universal
Testing Machine (UTM) merk Tensilon RTF-1350. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.F), perekat
polivinil asetat (PVAc) dan perekat epoksi.
Prosedur Penelitian
1. Persiapan Bahan Baku
Panjang bambu betung setelah ditebang berkisar 12 m. Batang bambu dibagi
menjadi 3 bagian sama panjang untuk bagian pangkal, tengah dan ujung.
(29)
Lalu setiap bagian batang bambu di potong kembali dengan ukuran panjang 1
m. Bagian batang bambu setelah dipotong mendapat 4 bagian batang dengan
ukuran 1 m pada masing-masing bagian batang bambu. Proses pemotongan
dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Pembagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu
Gambar 2. Pemotongan bagian pangkal, tengah, dan ujung batangbambu
2. Pembuatan Bilah Papan Laminasi B
Ukuran papan laminasi bambu betung yang dibuat 1,0 x 10 x 30 cm dari
setiap bagian batang pangkal, tengah, dan ujung bambu sesuai dengan
standar internasional JAS (Japan Agricultural Standar). Pembuatan papan
laminasi membutuhkan bilah yang berukuran 0,5 x 2,5 x 30 cm sebanyak 48
buah pada setiap bagian batang pangkal, tengah, dan ujung bambu.
Pemotongan bilah bambu dapat dilihat pada gambar 3.
(30)
Kemudian bilah bambu dikeringkan secara alami selama lebih dari tiga
minggu hingga mencapai kondisi KA kering udara yaitu ±15%. Selanjutnya
bilah diserut dan dihaluskan menggunakan kertas ampelas.
3. Pelaburan Perekat
Bilah dilabur perekat PVAc dan epoksi. Berat labur yang digunakan 360 g/m2.
Berat labur yang harus disiapkan sebagai bahan perekat dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3. Berat labur perekat yang dibutuhkan.
Berat labur (g/m2)
Berat perekat untuk satu permukaan
bilah perekatan ke arah tebal (A)
(g)
Berat perekat untuk satu permukaan bilah perekatan
ke arah lebar (B)
(g)
Berat perekat untuk satu contoh uji (g)
360 0,0036 x p x l 0,0036 x p x t (A x a) + (B x b)
Keterangan: p = panjang bilah l = lebar bilah t = tebal bilah
a= jumlah permukaan yang direkatkan ke arah tebal (6) b= jumlah permukaan yang direkatkan ke arah lebar (8)
4. Perekatan Bilah
Proses perekatan bilah dilakukan satu per satu pada bagian pangkal, tengah,
dan ujung bambu. Bilah bambu yang berukuran 0,5 x 10 x 30 cm direkat ke
arah tebal dan lebar. Pelaburan perekat dilakukan dengan metode pelaburan
dua permukaan (double spread) dengan menggunakan scrap (kape).
(31)
5. Pengempaan dan Pengkondisian
Bilah dikempa dengan menggunakan klem dengan waktu kempa 24 jam pada
setiap bagian arah bambu yang akan dikempa. Pengempaan dilakukan dua kali
yaitu pengempaan kearah tebal dan pengempaan kearah lebar. Proses
pengempaan dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.
Arah pengempaan Arah pengempaan
Gambar 4. Pengempaan bambu pada arah tebal
Arah pengempaan
= Garis Rekat
(32)
A B C D E
Bambu laminasi selanjutnya dikondisikan selama 1 minggu agar daya rekat kayu
benar benar konstan. 6. Pemotongan Contoh Uji
Pemotongan contoh uji dapat dilakukan seperti gambar 5
Keterangan :
A. Contoh uji kadar air 2x2x1 cm B. Contoh uji delaminasi 7,5x7,5x1 cm C. Contoh uji daya serap air 5x5x1 cm
D. Contoh uji keteguhan rekat internal 5x5x1 cm E. Contoh uji MOE dan MOR 30x1x1 cm
G. Pengujian sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung
Sifat fisis laminasi bambu yang diuji adalah kadar air (KA), daya serap air
(DSA) dan delaminasi (D). Sifat mekanis diperoleh dengan pengujian bending
yang menghasilkan modulus of elasticity (MOE), dan modulus of rupture
(MOR). Pengujian sifat fisis dan mekanis laminasi bambu ini mengacu pada
Standar Internasional JAS (Japan Agricultural Standard) SE-7-2003. Semua
sampel akan diuji sifat fisis dan mekanisnya.
A. Pengujian Kadar Air (KA)
Contoh uji berukuran 1,0 x 2 x 2 cm. Penentuan kadar air laminasi
bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dan berat
(33)
setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada
suhu 103±2oC . kadar air tersebut dihitung dengan rumus:
Keterangan:
KA = Kadar Air (%)
BA = Berat awal contoh uji (g)
BKO = Berat konstan contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g)
B. Pengujian Rasio Daya Serap Air (DSA)
Contoh uji untuk pengujian DSA berukuran 1,0 x 5 x 5 cm. Pengujian
dilakukan dengan menghitung selisih berat sebelum dan setelah
perendaman. Contoh uji direndam secara horizontal kedalam air
dengan suhu 25±1oC sedalam 3 cm dari permukaan air selama 24 jam.
Kemudian daya serap air dihitung dengan rumus:
Keterangan:
DSA = Daya serap air (%)
B1 = Berat contoh uji sebelum perendaman (g) B2 = Berat contoh uji setelah perendaman (g)
C. Pengujian Delaminasi (D)
Contoh uji untuk pengujian delaminasi berukuran 1,0 x 7,5 x 7,5 cm.
Contoh uji direndam kedalam air dengan suhu 70±3oC selama 2 jam,
(34)
60±3oC. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada
setiap sisi kemudian dijumlahkan. Penentuan nisbah delaminasi dalam
% didapat dengan rumus:
D. Pengujian Modulus of Elasticity (MOE)
Contoh uji dan perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan
contoh uji yang sama dengan MOR. Ukuran contoh uji 1,0 x 1 x 30
cm. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap
perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan Rumus :
Keterangan :
MOE = Modulus of Elasticity (kgf/cm2)
L = Bentang (cm)
ΔP = Perubahan beban yang digunakan (kg)
Δy = Perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm)
h = Tebal contoh uji (cm)
b = Lebar contoh uji (cm)
E. Pengujian Modulus of Rupture (MOR)
Pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Contoh
pengujian MOE dan MOR dapat dilihat pada gambar 5. Nilai MOR dihitung
(35)
Keterangan:
MOR = Modulus of Rupture (kgf/cm2)
L = Bentang (cm)
P = Beban maksimum (kg)
h = Tebal contoh uji (cm)
b = Lebar contoh uji (cm)
P
30 cm
0,5 cm 1cm 1 cm 0,5cm
L = 28 cm
Gambar 7. Pembebanan Pengujian MOR dan MOE
Keterangan:
P = posisi dan arah pembebanan L = Jarak sangga (cm)
F. Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)
Contoh uji KRP berbentuk persegi dengan ukuran 1,0 x 5 x 5 cm,
dibuat alur melingkar dengan diameter alur 35,7 ± 0,1 mm dan
kedalaman alur 0,3 ± 0,1 mm. Kemudian direkatkan pada lempengan
baja berbentuk jamur menggunakan perekat PVAc dan epoxy pada
(36)
arah beban
arah beban
Balok Besi
Contoh Uji
Contoh uji ditarik dengan arah pembebanan tegak lurus arah serat
contoh uji sampai tarikan maksimum (contoh uji rusak) dicapai dalam
waktu 60±30 detik. Pengujian KRP dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 8. Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)
KRP dapat dihitung dengan rumus:
Keterangan:
KRP = Keteguhan Rekat Permukaan (MPa)
F = Gaya maksimum (N)
A = Luas permukaan (mm2)
Pengujian sifat fisis dan mekanis papan lamina mengacu pada ketetapan
standar JAS SE-7-2003, seperti disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Standar mutu sifat fisis dan mekanis papan partikel berdasarkan JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012
No Sifat Fisis dan Mekanis JAS SE-7-2003 SNI ISO 16981-2012
1 Kadar air (%) ≤ 14 -
2 Daya Serap Air (%) ≤ 20 -
3 Delaminasi (%) <2/3 -
4 Bending Strenght ∆y<3,5 mm -
(37)
G. Analisis Statistika
Analisis yang digunakan untuk pengujian sifat fisik mekanik bahan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (Factorial
Completely Randomized Design), dengan formulasi sebagai berikut: Yijk = μ + αi + βj + ταiβj + εijk
Keterangan :
Yijk = Respon yang diperoleh dari perlakuan posisi batang
ke-i, perekat ke-j, dan ulangan ke-k
μ = Rataan umum
αi = Pengaruh posisi batang ke-i
βj = Pengaruh jenis perekat ke-j
ταiβj = Pengaruh interaksi antara posisi batang ke-i dan jenis perekat
ke-j
εijk = Galat dari perlakuan posisi batang ke-i, jenis perekat ke-j
dan ulangan ke-k
i = Perlakuan posisi batang (pangkal, tengah, ujung) j = Perlakuan jenis perekat (PVAc dan epoxy) k = Ulangan (ulangan ke-1, ke-2, dan ke-3)
Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang
diberikan, maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Jika Fhitung
> FTabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka posisi batang dan jenis
perekat berpengaruh nyata terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi
bambu betung (Dendrocalamus asper) yang diuji. Bila Fhitung > Ftabel
maka selanjutnya akan dilakukan uji lanjutan menggunakan uji DMRT
(38)
Secara singkat bagan alir penelitian disajikan pada gambar 9.
Gambar 9. Bagan alir penelitian Pengujian sifat fisis (kadar air, daya
serap air, dan delaminasi) berdasarkan standar internasional JAS SE-7-2003
Pengujian sifat mekanis (MOE, MOR, dan kuat rekat permukaan) berdasarkan
(39)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisis Papan Laminasi Bambu Betung
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan data rata-rata yang diperoleh dari pengujian sifat fisis papan laminasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data rata-rata hasil pengujian sifat fisis papan laminasi dari bambu betung
Posisi Batang Perekat Nilai Kadar Air Nilai Daya Serap Air Nilai Delaminasi
(%) (%) (%)
Pangkal PVAc 12.09 18.32 18.93
Epoksi 11.27 14.35 12.76
Tengah PVAc 11.29 30.61 22.63
Epoksi 11.13 27.87 11.52
Ujung PVAc 10.94 38.02 24.28
Epoksi 10.67 31.95 12.14
Pengujian Kadar Air (KA)
Kadar air pada papan laminasi bambu betung menunjukkan persentase banyaknya air yang mampu diserap oleh papan laminasi pada kondisi kering udara dibanding dengan berat papan laminasi pada kondisi kering oven. Kadar air papan laminasi disajikan dalam Gambar 10.
12.09 11.29 10.94 11.77 11.13 10.67 0 3 6 9 12 15
Pangkal Tengah Ujung
Ka da r Ai r ( % ) Posisi Batang Jenis Perekat PVAc Epoksi
JAS SE-7 2003 KA ≤ 14%
Gambar 10. Kadar air bambu laminasi
(40)
Gambar 10 menunjukkan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada laminasi bambu dari bahan baku bagian pangkal menggunakan perekat PVAc yaitu 12,09% sedangkan kadar air terendah terdapat pada laminasi bambu dari bahan baku bagian ujung menggunakan perekat epoksi yaitu 10,67%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pujirahayu (2012) bahwa kadar air tertinggi terletak pada bagian pangkal bambu dan yang terkecil pada bagian ujung. Besarnya kadar air bambu pada bagian pangkal karena tebal bilah bambu pada bagian pangkal juga lebih besar daripada bagian tengah dan ujung. Makin tebal bilah bambu maka makin banyak kandungan selulosa dan hemiselulosa yang dapat mengikat air. Selain itu, jumlah sel pori sangat mempengaruhi kadar air. Semakin banyak sel pori maka akan semakin tinggi kapasitas untuk menyimpan air. Sel pori lebih banyak di bagian pangkal batang (14,60%) dibandingkan tengah (13,43%) dan ujung (13,13%) sehingga menyebabkan kadar air segar (94,22%) lebih besar dibagian pangkal batang dibandingkan tengah (87,08%) dan ujung (80,30%). Didukung oleh penelitian Ulfah (1999) menunjukkan kadar air segar bagian pangkal (126,85%) lebih besar daripada bagian tengah (95.76%) dan ujung (78,50%).
Ditinjau berdasarkan jenis perekatnya maka laminasi bambu dengan perekat Epoksi mempunyai nilai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan laminasi bambu yang menggunakan perekat PVAc. Hal ini disebabkan karena kandungan kimia dari perekat yang berbeda sehingga menyebabkan sifat perekat berbeda. Menurut Muhammad Fadli (2006), perekat PVAc mempunyai daya tahan yang rendah terhadap cuaca dan kelembaban, hal ini menyebabkan air dapat dengan mudah masuk ke dalam lapisan laminasi bambu dan berikatan dengan molekul PVAc yang
(41)
terkandung dalam laminasi bambu. Sedangkan menurut Sturiale, dkk ( 2006) epoksi memiliki kekuatan yang tinggi, dan daya rekat yang kuat, penyusutan rendah, dan stabilitas dimensi tinggi. Perekat epoksi memiliki stabilitas dimensi yang tinggi karena merupakan jenis resin thermoset yaitu proses pengerasannya irreversible.
Didukung pernyataan Darmansyah (2010) bahwa resin epoksi jika direaksikan dengan hardener yang akan membentuk polimer crosslink. Hardener untuk sistem
curing pada temperatur ruang dengan resin epoksi pada umumnya adalah senyawa
poliamid yang terdiri dari dua atau lebih grup amina. Laju kecepatan proses curing
bergantung pada temperatur ruang. Untuk kenaikan temperature setiap 100C, maka laju kecepatan curing akan menjadi dua kali lebih cepat, sedangkan untuk penurunan
temperaturnya dengan besar yang sama, maka laju kecepatan curing akan turun
menjadi setengah dari laju kecepatan curing sebelumnya.
Semua papan laminasi bambu betung yang dihasilkan memiliki kadar air yang memenuhi standar JAS SE-2003 yaitu ≤14%. Berdasarkan LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan) (1961) kadar air contoh uji telah sesuai dengan syarat-syarat perencanaan yakni kondisi kering dengan kadar air setimbang 6% sampai 16% untuk kayu yang digunakan untuk konstruksi.
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian kadar air, bahwa perlakuan jenis perekat dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air laminasi bambu sedangkan perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu berpengaruh nyata terhadap kadar air laminasi bambu. Namun, tidak berbeda
(42)
nyata pada hasil uji lanjut Duncan. Hal ini menerangkan bahwa posisi pangkal, tengah, ujung dapat mempengaruhi nilai kadar air laminasi bambu.
Pengujian Daya Serap Air (DSA)
Daya serap air menunjukkan persentase banyaknya air yang mampu diserap oleh papan laminasi pada kondisi basah setelah perendaman dibanding dengan berat papan laminasi pada kondisi kering udara (berat awal). Pengujian daya serap air disajikan pada Gambar 11.
18.32 30.61 38.02 14.35 27.87 31.95 0 20 40 60 80 100
Pangkal Tengah Ujung
D a ya S era p A ir (% ) Posisi Batang Jenis Perekat PVAc Epoksi
JAS SE-7 2003 DSA ≤ 20%
Gambar 11. Daya serap air papan laminasi dari bambu betung
Gambar 11 menunjukkan bahwa daya serap air tertinggi terdapat pada laminasi bambu dari bahan baku bagian ujung bambu dengan menggunakan perekat PVAc yaitu sebesar 38,02% Daya serap air terendah terdapat pada laminasi bambu dari bahan baku bagian ujung bambu menggunakan perekat epoksi yaitu sebesar 14,35%. Hal ini sesuai dengan penelitian Ulfah (1999) bahwa kedudukan radial bambu dalam satu batang mencirikan perbedaan sifat dasarnya, jumlah sel pori
(43)
(14,60%) lebih banyak di bagian pangkal batang dibandingkan tengah (13,43%) dan ujung (13,13%) sehingga menyebabkan daya serap air tinggi.
Nilai daya serap air yang tinggi ini juga dapat disebabkan oleh jenis perekat. Pada gambar 11 dapat diliat bahwa semua bagian pangkal, tengah, ujung bambu yang menggunakan perekat PVAc daya serap air pada laminasi bambu lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan perekat epoksi. Menurut Ruhendi dkk (2007) Polivinil asetat merupakan jenis perekat termoplastik. Perekat ini juga larut dalam air sehingga mampu meningkatkan daya serap air di antara celah sambungan bambu yang direkat. Kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya yang tidak baik sedangkan menurut Sturiale (2006) epoksi
memiliki daya rekat yang kuat, memiliki sifat dielektrik dan sifat isolasi, penyusutan
rendah, stabilitas dimensi dan ketahanan rekatnya. Selain itu Gamert, dkk (2004)
menyatakan bahwa resin epoksi mempunyai sifat-sifat: berstruktur amorf, tidak bisa
meleleh, tidak bisa didaur ulang, atom-atomnya berikatan kuat sekali sehingga
mempunyai sifat perekatnya yang baik terhadap berbagai bahan.
Nilai yang diperoleh pada laminasi bambu dari bahan baku bagian pangkal menggunakan perekat PVAc dan epoksi memenuhi standar JAS SE-7 2003. Sedangkan pada laminasi bambu dari bahan baku bagian tengah dan ujung menggunakan perekat PVAc dan epoksi tidak memenui standar JAS SE-7 2003 yang mengharuskan daya serap air laminasi bambu yang diujikan tidak lebih dari 20%.
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan, dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian daya serap air,
(44)
terhadap daya serap air laminasi bambu sedangkan perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu berpengaruh nyata terhadap daya serap air laminasi bambu. Namun, tidak berbeda nyata pada hasil uji lanjut Duncan. Hal ini menerangkan bahwa posisi pangkal, tengah, ujung dapat mempengaruhi nilai daya serap air laminasi bambu.
Pengujian Delaminasi (D)
Pengujian delaminasi dilakukan untuk mengetahui besar persentase daya perekat dengan membandingkan panjang garis rekat dengan delaminasinya. Pengujian daya serap air disajikan pada Gambar 12.
18.93 22.63
24.28
12.76 11.52 12.14
0 10 20 30 40 50 60 70
Pangkal Tengah Ujung
De la m ina si ( % ) Posisi Batang Jenis Perekat PVAc Epoksi
JAS SE-7 2003 D ≤ 66,67%
Gambar 12. Delaminasi papan laminasi bambu betung
Pada penelitian ini nilai seluruh bambu laminasi memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mengharuskan nilai delaminasi tidak lebih dari 2/3 bagian atau 66,67%. Pada gambar 12 dapat dilihat bahwa delaminasi tertinggi pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian ujung menggunakan perekat PVAc yaitu sebesar 24,28% dan delaminasi terendah pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah menggunakan perekat epoksi yaitu 11,52%.
(45)
Perekat PVAc memiliki delaminasi tertinggi karena perekat PVAc merupakan jenis perekat termoplastik dan tidak tahan terhadap panas. Pada proses delaminasi bahan baku direndam pada air dengan suhu 70±3oC menyebabkan perekatan PVAc melemah. Sesuai dengan pernyataan Sturiale, dkk (2006) perekat PVAc kekuatan
rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat visco-elastisitasnya yang tidak baik sedangkan epoksi memiliki daya rekat yang kuat, memiliki sifat
dielektrik dan sifat isolasi, penyusutan rendah, stabilitas dimensi dan ketahanan
rekatnya.
Laminasi bambu yang menggunakan perekat epoksi memiliki delaminasi
terendah karena epoksi resin memiliki ketangguhan, kekakuan, dan ketahanan
terhadap panas yang sangat baik. Menurut Gibson (1994) epoksi resin dibentuk dari
rangkaian panjang struktur molekul mirip vinylester dengan titik reaktif pada kedua
sisi. Akan tetapi, pada epoksi resin titik reaktif ini bukannya terdiri dari grup ester
melainkan terdiri dari grup epoksi. Ketiadaan grup ester berarti resin epoksi memiliki
ketahanan yang baik terhadap air.
Ditinjau dari perekat PVAc delaminasi tertinggi terdapat pada laminasi bambu
dengan bahan baku bagian ujung yaitu 24,28% dan delaminasi terendah terdapat pada
laminasi bambu dengan bahan baku bagian pangkal yaitu 18.93%. Hal ini
dikarenakan pada bagian pangkal memiliki kerapatan lebih tinggi dibandingkan
dengan bagian ujung bambu. Didukung dengan pernyataan Manuhuwa dan Loiwatu
(2007) bahwa selulosa dan lignin adalah komponen utama penyusun dinding sel serat
(46)
lignin berfungsi sebagai perekat antar sel-sel. Sehingga delaminasi pada bagian ujung
lebih besar dibandingkan pada bagian ujung bambu karena kandungan ligin pada
bagian ujung bambu lebih sedikit dibandingkan kandungan lignin pada bagian
pangkal bambu.
Namun pada perekat epoksi delaminasi tertinggi pada bagian pangkal bambu dan delaminasi terendah pada bagian tengah bambu. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Manuhuwa dan Loiwatu (2007) sebelumnya bahwa bagian pangkal
memiliki kadar lignin lebih tinggi di bandingkan dengan bagian tengah dan ujung
bambu. Hal ini diduga karena kandungan selulosa pada bagian pangkal bambu lebih
tinggi dibandingkan bagian tengah dan ujung bambu. Kandungan terbesar dalam
batang bambu adalah selulosa. Selulosa adalah polisakarida yang tersusun dari monomer D-glukosa yang mempunyai tiga gugus hidroksil yang dapat disubstitusi. Ditinjau dari strukturnya, dapat saja selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hydrogen dengan air (interaksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Sesuai pernyataan Pujirahayu (2012) bahwa kadar air tertinggi terletak pada bagian pangkal bambu dan yang terkecil pada bagian ujung. Makin tebal bilah bambu maka makin banyak kandungan selulosa dan hemiselulosa yang dapat mengikat air.
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan, dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian delaminasi, perlakuan posisi batang, jenis perekat dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap delaminasi laminasi bambu. Karena kedua perlakuan tersebut tidak
(47)
memberikan pengaruh yang nyata terhadap delaminasi laminasi bambu, maka tidak dilakukan uji lanjut Duncan.
Sifat Mekanis Papan Laminasi Bambu Betung
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data hasil sifat mekanis laminasi bambu betung. Data rata-rata yang diperoleh dari pengujian sifat mekanis laminasi bambu dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Data rata-rata hasil pengujian sifat mekanis laminasi bambu betung
Posisi Batang Jenis Perekat MOE MOR Perubahan Defleksi KRP
(kgf/cm2) (kgf/cm2) (mm) (N/mm2)
Pangkal PVAc 4.736,43 676,39 0,03 0,50
Epoksi 17.302,67 1.733,11 0,09 0,97
Tengah PVAc 6.455,00 656,61 0,04 0,35
Epoksi 9.346,20 1.089,73 0,06 0,46
Ujung PVAc 9.502,70 524,67 0,06 0,83
Epoksi 16.387,07 1.103,23 0,13 0,58
Pengujian Bending Strength
Pengujian bending strength bertujuan untuk menentukan nilai kelenturan dan
keteguhan patah bambu laminasi yang diuji. Pengujian dilakukan menggunakan mesin UTM merk Tensilon RTF 1350 untuk mendapatkan nilai perubahan defleksi dan beban maksimum. Adapun hasil pengujian bending strength diperoleh nilai
MOE, MOR dan perubahan defleksi pembebanan.
Modulus of Elasticity (MOE)
Modulus lentur (MOE) merupakan ukuran kemampuan suatu bahan dalam menahan lentur tanpa terjadi perubahan bentuk yang tetap. Nilai tersebut digunakan untuk menentukkan sifat kekakuan bambu. Nilai MOE akan menunjukkan nilai
(48)
keteguhan lentur bambu laminasi yang diuji pada mesin UTM saat diberi pembebanan. Data rata-rata pengujian nilai MOE dapat dilihat pada Gambar 13.
4736.433 6455 9502.7 17302.67 9346.2 16387.07 0 5000 10000 15000 20000
Pangkal Tengah Ujung
Nila i M O E (k g/cm 2) Posisi Pangkal Jenis Perekat PVAc Epoksi Gambar 13. MOE laminasi bambu betung
Gambar 13 menunjukkan bahwa nilai MOE tertinggi terdapat pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian pangkal perekat epoksi yaitu 17.302,67 kgf/cm2 dan MOE terendah terdapat pada bagian tengah perekat epoksi 9.346,2 kgf/cm2. Kecendrungan kekuatan tekan bambu pada perekat PVAc semakin tinggi dari pangkal menuju ujung, sesuai dengan meningkatnya jumlah serat sklerenkim yang merupakan pendukung utama keteguhan bambu dan dipengaruhi oleh berat jenis dari bambu tersebut. Nuryati (2000) menyebutkan bahwa perbedaan BJ pada berbagai posisi bambu secara alami disebabkan karena perbedan kecepatan pertumbuhan antara bagian pangkal, tengah dan ujung. Pada bagian pangkal terbentuk serabut yang panjang berdinding tipis dan berdiameter besar sehingga bambu mampu menahan beban lebih besar. Didukung pernyataan Epsiloy (1983) semakin besar jumlah serabut maka nilai MOE akan semakin besar.
(49)
Tetapi pada penelitian ini MOE laminasi bambu dengan bahan baku bagian ujung bambu lebih tinggi dibanding dengan MOE laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah. Pada penelitian ini keberadaan buku/node diabaikan. Bahan baku
yang digunakan beragam (tidak membuang buku/node). MOE laminasi bambu
dengan bahan baku bagian ujung bambu lebih tinggi dibanding dengan MOE laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah diduga karena pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah bambu terdapat buku (node) sehingga
meningkatkan kekakuan pada bagian tengah bambu. Irwan dan Mohammad (2013) menyatakan bahwa ruas (internodes) merupakan bagian yang paling memungkinkan untuk melengkung dengan sempurna dibanding pembentukan lengkung pada bagian buku (nodes) karena bagian buku yang keras dan kaku.
Dilihat dari jenis perekat MOE menggunakan perekat epoksi lebih tinggi dibandingkan perekat PVAc. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sturiale ( 2006) epoksi memiliki kekuatan yang tinggi, dan daya rekat yang kuat, penyusutan rendah, dan stabilitas dimensi tinggi.
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian MOE, perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap MOE laminasi bambu sedangkan perlakuan jenis perekat berpengaruh nyata terhadap MOE laminasi bambu. Namun, tidak berbeda nyata pada hasil uji lanjut Duncan. Hal ini menerangkan bahwa jenis perekat dapat mempengaruhi nilai MOE laminasi bambu. Nilai MOE ini tidak dipersyaratkan dalam standar JAS SE-7-2003.
(50)
Modulus of Rupture (MOR)
Nilai MOR akan menunjukkan nilai keteguhan patah papan laminasi bambu yang diuji pada mesin UTM saat diberi pembebanan hingga contoh uji patah/rusak. Data rata-rata pengujian nilai MOR dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. MOR bambu laminasi
Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai MOR tertinggi terdapat pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian pangkal perekat epoksi yaitu 1.733,108 kgf/cm2 dan MOR terendah terdapat pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian ujung perekat PVAc yaitu sebesar 524,668 kgf/cm2.
Hal ini dikarenakan pada bagian pangkal memiliki kerapatan lebih tinggi
(51)
dan Loiwatu (2007) bahwa selulosa dan lignin adalah komponen utama penyusun
dinding sel serat batang bambu. Selulosa dan lignin banyak terdapat pada bagian
pangkal bambu. Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel tumbuhan.
Diantara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat antar sel-sel. Sehingga delaminasi
pada bagian ujung lebih besar dibandingkan pada bagian ujung bambu karena
kandungan ligin pada bagian ujung bambu lebih sedikit dibandingkan kandungan
lignin pada bagian pangkal bambu.
Tetapi pada penelitian ini MOR laminasi bambu dengan bahan baku bagian ujung bambu lebih tinggi dibanding dengan MOR laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah. Pada penelitian ini keberadaan buku/node diabaikan. Bahan baku
yang digunakan beragam (tidak membuang buku/node). Sehingga MOR bagian ujung
bambu lebih tinggi dibanding dengan MOE bagian tengah diduga karena pada laminasi bambu dengan bahan baku bagian tengah bambu terdapat buku (node)
sehingga meningkatkan kekakuan pada bagian tengah bambu. Irwan dan Mohammad (2013) menyatakan bahwa ruas (internodes) merupakan bagian yang paling memungkinkan untuk melengkung dengan sempurna dibanding pembentukan lengkung pada bagian buku (nodes) karena bagian buku yang keras dan kaku.
Hasil yang diperoleh menunjukkan nilai yang tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada nilai MOE. Hal ini sesuai pernyataan Kusumah (2006) yang menyatakan nilai MOR memiliki kecenderungan yang sama dengan nilai MOE. Pada beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan yang kuat antara MOE dan MOR sehingga pendugaan MOR dapat dilakukan dengan MOE.
(52)
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian MOR.Perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap MOR laminasi bambu sedangkan perlakuan jenis perekat berpengaruh nyata terhadap MOR laminasi bambu. Namun, tidak berbeda nyata pada hasil uji lanjut Duncan. Hal ini menerangkan bahwa jenis perekat dapat mempengaruhi nilai MOR laminasi bambu. Nilai MOR ini juga tidak dipersyaratkan dalam standar JAS SE-7-2003.
Perubahan Defleksi Pembebanan
0.03 0.09 0.04 0.06 0.06 0.13 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Pangkal Tengah Ujung
Perubahan Defl eksi (mm )
Posisi Btang
Jenis Perekat
PVAc Epoksi SNI ISO 16981-2012 Δy ≤ 3,5 mm
Gambar 15. Perubahan defleksi pada pengujian bending strength bambu laminasi
Gambar 15 menunjukkan bahwa semua papan laminasi bambu betung yang diujika memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mengharuskan perubahan defleksi tidak lebih dari 3,5 mm. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai perubahan defleksi yang tertinggi terdapat pada bagian ujung perekat PVAc yaitu 0,13 mm dan yang terendah adalah pada bagian pangkal perekat epoksi yaitu 0,03 mm.
(53)
Haygreen dan Bowyer (2003), menyatakan bahwa regangan, defleksi, dan perubahan bentuk yang terkait berhubungan dengan modulus elastisitas. Besarnya defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjangnya dan ukuran penampang balok serta modulus elastisitas. Hubungan antara modulus elastisitas dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi modulus suatu balok, semakin berkurang defleksinya dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk.
Berdasarkan sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian perubahan defleksi pembebanan. Perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu dan perlakuan jenis perekat berpengaruh nyata terhadap perubahan defleksi laminasi bambu sedangkan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan defleksi laminasi bambu. Namun, tidak berbeda nyata pada hasil uji lanjut Duncan. Hal ini menerangkan bahwa posisi pangkal, tengah, ujung bambu dan jenis perekat dapat mempengaruhi defleksi laminasi bambu.
1. Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan
Pengujian keteguhan rekat permukaan dilakukan untuk menentukan besarnya daya rekat papan laminasi bambu yang diberikan gaya tarik dengan arah berlawanan hingga contoh uji rusak/lepas ikatannya. Adapun hasil pengujian keteguhan rekat permukaan laminasi bambu berbentuk zephyr dari bambu betung dapat dilihat pada
(54)
0.50 0.35 0.83 0.97 0.46 0.58 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
Pangkal Tengah Ujung
Ke te g uha n Re k a t P erm u k aan (MP a ) Posisi Batang Jenis Perekat PVAc Epoksi
SNI ISO 16981-2012 KRP ≥ 0,01 MPa
Gambar 16. Keteguhan rekat permukaan bambu laminasi
Gambar 16 menunjukkan bahwa keteguhan rekat permukaan laminasi bambu memenuhi standar JAS SE-7-2003 yang mensyaratkan sebesar ≥0.01 Mpa dari sampel. Rata-rata keteguhan rekat permukaan tertinggi terjadi pada pangkal perekat epoksi yaitu 0,97% dan rata-rata keteguhan rekat terendah terjadi pada bagian pangkal perekat PVAc. Seperti yang telah dibahas sebelumnya selulosa dan lignin
banyak terdapat pada bagian pangkal bambu. Lignin menentukan kekakuan kayu
selain sebagai perekat antar satu sel dengan sel lainnya. Sehingga keteguhan rekat
permukaan pada bagian pangkal lebih besar dibandingkan pada bagian ujung bambu.
Minandhi & Rowell (1984) menyatakan bahwa kekuatan tarik, kadar selulos atau alfa selulosa memegang peranan sangat besar diikuti oleh lignin, sedangkan hemiselulosa relatif kecil pengaruhnya. Didukung pernyataan Sjostrom (1991) bahwa selulosa adalah polimer linier yang membentuk mikofibril serat dengan derajat polimerisasi tinggi.
Tetapi pada penelitian ini nilai keteguhan rekat permukaan terendah terdapat
(55)
terdapat buku (node) sehingga permukaan bambu yang kurang rata dan mulus dan
pada saat pengempaan perekat tidak merata sempurna pada permukaan bambu serta pengempaan manual yang hanyaberdasarkan tenaga maksimal akan membuat perekat keluar dari bidang rekat sehingga berat labur akan berkurang mengakibatkan daya rekat juga berkurang. Kolmann dkk (1984) menyatakan tentang tiga faktor utama yang mempengaruhi dalam perekatan yaitu spesies kayu yang berhubungan dengan anatomi dan sifat fisika-kimia kayu, perlakuan permukaan dan sifat permukaan yang dihasilkan, dan perekat dan kondisi perekatan.
Berdasarkan jenis perekat keteguhan rekat terbaik terdapat pada perekat epoksi dibandingkan PVAc. Sesuai pernyataan Sturiale ( 2006) epoksi memiliki kekuatan yang tinggi, dan daya rekat yang kuat, penyusutan rendah, dan stabilitas dimensi tinggi.
Sidik ragam pada selang kepercayaan 95% yang telah dilakukan dapat dilihat pada lampiran 2. Analisis sidik ragam pengujian kekuatan rekat permukaan. Menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara perlakuan posisi pangkal, tengah, ujung bambu dan perlakuan jenis perekat, serta kedua perlakuan tersebut terhadap sifat keteguhan rekat permukaan bambu laminasi sehingga tidak dilakukan uji lanjut Duncan.
Kualitas Papan Laminasi dari Bambu Betung
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis dan mekanis papan laminasi, diperoleh rekapitulasi kualitas papan laminasi berdasarkan Standar JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012 . Rekapitulasi kualitas papan laminasi dapat dilihat pada Tabel 7.
(56)
Tabel 7. Rekapitulasi kualitas papan laminasi bambu betung berdasarkan JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012
Posisi batang
Jenis Perekat
Nilai Nilai Nilai MOE MOR Nilai Nilai
KA DSA D (kgf/cm2) (kgf/cm2) perubahan KRP
(%) (%) (%) defleksi (MPa)
(mm)
Pangkal PVAc 12.09* 18.32* 18.93* 4.736,43 676,39 0,03* 0,50*
Epoksi 11.27* 14.35* 12.76* 17.302,67 1.733,11 0,09* 0,97*
Tengah PVAc 11.29* 30.61 22.63* 6.455,00 656,61 0,04* 0,35*
Epoksi 11.13* 27.87 11.52* 9.346,2 1.089,73 0,06* 0,46*
Ujung PVAc 10.94* 38.02 24.28* 9.502,7 524,67 0,06* 0,83*
Epoksi 10.67* 31.95 12.14* 16.387,07 1.103,23 0,13* 0,58*
JAS SE-7-2003 ≤ 14 ≤ 20 ≤ 67 - - ≤ 3,5 -
SNI ISO
16981-2012 - - - - - - ≥0,01
Keterangan
* : memenuhi standar
Papan laminasi yang dibuat dalam penelitian ini memiliki nilai rataan kadar air, delaminasi, perubahan defleksi, dan keteguhan rekat permukaan yang memenuhi standart JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012. Namun pada daya serap air hanya papan laminasi bagian pangkal perekat PVAc maupun epoksi yang masuk dalam standart JAS SE-7-2003, sedangkan pada papan laminasi bagian tengah dan ujung perekat PVAc maupun epoksi nilai daya serap airnya tidak memenuhi standar.
Posisi batang dan jenis perekat terbukti memberikan pengaruh yang signifikan pada pengujian sifat fisis dan mekanis. Pada pengujian sifat fisis, posisi batang cukup memberikan pengaruh sedangkan jenis perekat tidak memberikan pengaruh terhadap papan laminasi.
Berdasarkan parameter standar JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012 terlihat bahwa perlakuan terbaik dari papan laminasi yang diujikan adalah papan laminasi dengan perlakuan posisi pangkal dengan jenis perekat epoksi sedangkan
(57)
perlakuan yang kurang baik adalah papan laminasi dengan perlakuan posisi tengah perekat PVAc.
Berdasarkan standar JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012, maka dapat disimpulkan bahwa papan laminasi bambu betung belum dapat diterapkan untuk penggunaan flooring (lantai). Karena didalam penggunaan flooring, daya serap air
masih perlu diperhatikan karena hanya pada bagian pangkal saja yang masuk ke dalam nilai standar. Untuk itu perlu dilakukan penambahan perlakuan untuk meningkatkan mutu papan laminasi bambu agar mengurangi tingkat daya serap terhadap air. Degan pemberian perlakuan finishing seperti memberikan varnish selain
mengurangi daya serap air dapat jugauntuk meningkatkan nilai estetika papan laminasi bambu.
(58)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Posisi batang bambu memiliki pengaruh yang nyata terhadap pengujian kadar air, daya serap air, dan defleksi. Sedangkan jenis perekat hanya berpengaruh nyata terhadap pengujian defleksi dan bending strenght saja.
2. Perlakukan terbaik dari papan laminasi yang diujikan adalah papan laminasi dengan perlakuan menggunakan bagian pangkal dan jenis perekat epoksi.
3. Perlakuan yang kurang baik dari papan laminasi yang diujikan adalah papan laminasi dengan perlakuan bagian tengah dengan jenis perekat PVAc.
Saran
Sebaiknya dilakukan penambahan perlakuan untuk meningkatkan mutu papan laminasi bambu agar mengurangi tingkat daya serap terhadap air. Degan pemberian perlakuan finishing seperti memberikan varnish selain mengurangi daya serap air
dapat jugauntuk meningkatkan nilai estetika papan laminasi bambu. .
(59)
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Razak, Othman. 1992. Shoot production and culm growth of two commercial bamboo species in Peninsular Malaysia. Bamboo Information Centre India 2 (1): 5-7. dalam Research Pamphlet No. 118, 1995. Planting and Utilization of Bamboo in Peninsular Malaysia. By A.R. Othman; A. Latif Mohmod; Walter Liese; Norini Haron. FRIM Kepong. 52109. Kuala Lumpur.
Anshari, B. 1996. Pengaruh Variasi Tekanan Kempa Terhadap Kuat Lentur KayuLaminasi dari Kayu Meranti dan Keruing, Skripsi, Universitas Mataram, Mataram. http://rac.uii.ac.id. [10 Oktober 2013].
Budi, A. S. 2007. Pengaruh Dimensi Bilah Terhadap Keruntuhan Lentur Balok Laminasi Bambu Peting. Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, UNS. Surakarta.
Chen, Y. (2008). “Structure and Properties of Bamboo Timber”, Utilization of Bamboo, Training Course on Bamboo Technologies for Developing Countries, China National Bamboo Research Center, Hangzhou China.
Espiloy, Z.B. 1994. Effect of age on the physico-mechanical properties of some Phil-ippine bamboo. In Bamboo in Asia and the Pacific. Proceedings of the 4th International Bamboo Workshop, Chiangmai, Thailand, 27-30 November 1991. International Develop-ment Research Centre, Ottawa, Canada; Forestry Research Support Programme for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand. pp. 180-182.
Fajriani, E. 2010. Aplikasi Perekat Dalam Pembuatan Kayu Laminasi. Laporan Akhir Praktikum. Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 1: issues, findings and opportunities.Ministry of Forestry, Government of Indonesia; Food and Agriculture Organization of the United Nations, Jakarta. FWI. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2000-2009. ISBN. Indonesia. Gibson, F Ronald. 1994. Plastics Engineering, Second Edition, pergamon Press,UK. Hartanto, L. 2011. Seri Buku Informasi dan Potensi Pengelolaan Bambu. Taman
Nasional Alas Purwo. Banyuwangi.
JAS SE-7. 2003. Suplementary Regulations For Japanese Agricultural Standard (JAS). Jepang.
(60)
Kemenhut. 2012. Mau Tahu Tentang Bambu. Kementrian Kehutanan Badan Penyuluhan Dan Pengembangan SDM Kehutanan Pusat Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.
Kollman, F. dan Cote, J. R. (1968). Principles of Woods Science and Technology I. Solid Wood. New York.
Kusumah, A.P. 2006. Sifat Fisis Mekanis Papan Komposit dari Limbah Kayu dan Anyaman Tiga Jensi Bambu. Skripsi Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Liese. 1985. Bamboo-Biology, Silvics, Properties, Utilization. Schriftenreihe der GTZ, No 180: 132. dalam Research Pamphlet No. 118. Planting and Utilization of Bamboo in Peninsular Malaysia. By A. R. Othman; A. Latif Mohmod; Walter Liese; Norini Haron. FRIM Kepong 52109. Kuala Lumpur.
LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan), 1961, Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia NI-5 PKKI-1961, Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung.
Manik, P. (2007). Bambu Sebagai Alternatif Bahan Komposit Pembuatan Kulit Kapal. Thesis. Surabaya.
Morisco. 1999. Rekayasa Bambu. Nafiri Offset . Yogyakarta.
Morisco. 2008. Teknologi Bambu. Diktat kuliah Magister Teknik Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Yogyakarta.
Nuryatin, Nani. 2000. Studi Analisa sifat-sifat dasar Bambu pada Beberapa Tujuan Penggunan. Tesis, tidak dipublikasi. Bogor.
Othman, A. R., A. L. Mohmod, W. Liese and N. Haron. 1995. Planting and Utilization of Bamboo in Peninsular Malaysia dalam Research Pamphlet No. 118, 1995. Forest Research Institute Malaysia (FRIM). Kepong, 52109 Kuala Lumpur.
Pizzi, A. 1983. Wood Adhesives, Chemistry and Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.
Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Pujirahayu, N. 2012. Kajian Sifat Fisik beberapa Jenis Bambu di Kecamatan Tonggauna kabupaten konawe, Skripsi, Universitas Haluoleo, Kendari.
Ruhendy, S. D. N. Koroh, F. A. Syamani, H. Yanti, Nurhaida, S. Saad, dan T. Sucipto. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
(61)
Sturiale, A. A. Vazquez, A. Cisilino, LB. Manfredi. 2006. Enhancement of the Adhesive Joint Strength of the Epoxy–Amine System via the Addition of a Resole-Type Phenolic Resin. International Journal of Adhesion & Adhesives 27 (2007) 156–164.
Tsoumis, G. 1991. Science and Technology Wood. Structur, Properties, Utilization. Van Vostrand Reinhold Inc. USA.
Ulfah, D. 1999. Sifat dan Variasi Tiga Jenis Bambu (Apus, Ori, Wulung) pada Ketinggian Tempat Tumbuh yang Berbeda. Thesis tidak Dipublikasikan. Yogyakarta.
Widjaja, W. S. 1995. Perilaku Mekanika Batang Struktur Komposit Lamina Bambu dan Phenol Formaldehida, Thesis S2, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak diterbitkan). http://mediats.uns.ac.id [10 Oktober 2013].
Widjaja, W. S. 2001. Identifikasi Jenis-Jenis Bambu Di Jawa. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor.
(62)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan perekat
Kebutuhan perekat untuk satu garis ke arah tebal (A)
= Berat labur (g/m2) x Luas permukaan bilah yang akan direkat (m2) = 360 g/m2 x 0,0075 m2
= 2,7 g
Kebutuhan perekat untuk satu garis ke arah lebar (B)
= Berat labur (g/m2) x Luas permukaan bilah yang akan direkat (m2) = 360 g/m2 x 0,0054 m2
= 1,95 g
Kebutuhan perekat untuk pembuatan sampel 2 lapisan (3 ulangan) = (Axa) + (Bxb) x 3
= (2,7 g x 4) + (1,95 g x 3) x 3 = (10,8 g + 5,85 g) x 3
= 16,65 g x 3
= 49,95 g
Lampiran 2. Hasil analisis sidik ragam sifat fisis dan mekanis papan laminasi bambu betung pada selang kepercayaan 95%
Analisis Sidik Ragam Pengujian Kadar Air
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4.209a 5 .842 2.476 .092
Intercept 2303.411 1 2303.411 6773.328 .000
(63)
Error 4.081 12 .340
Total 2311.701 18
Corrected Total 8.290 17
a. R Squared = .508 (Adjusted R Squared = .303)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Daya Serap Air
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1184.967a 5 236.993 2.514 .089
Intercept 12980.364 1 12980.364 137.689 .000
Posisi 1094.924 2 547.462 5.807 .017
Perekat 81.536 1 81.536 .865 .371
Posisi * Perekat 8.506 2 4.253 .045 .956
Error 1131.274 12 94.273
Total 15296.605 18
Corrected Total 2316.240 17
a. R Squared = .512 (Adjusted R Squared = .308)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Delaminasi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2400.706a 5 480.141 .843 .544
Intercept 9192.324 1 9192.324 16.145 .002
Posisi 887.990 2 443.995 .780 .480
Perekat 7.644 1 7.644 .013 .910
Posisi * Perekat 1505.072 2 752.536 1.322 .303
Error 6832.313 12 569.359
Total 18425.342 18
Corrected Total 9233.018 17
(64)
Analisis Sidik Ragam Pengujian MOE
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model .656a 5 .131 2.225 .119
Intercept 5.814 1 5.814 98.590 .000
Posisi .387 2 .194 3.282 .073
Perekat .068 1 .068 1.161 .302
Posisi * Perekat .200 2 .100 1.699 .224
Error .708 12 .059
Total 7.178 18
Corrected Total 1.364 17
a. R Squared = .481 (Adjusted R Squared = .265)
Analisis Sidik Ragam Pengujian MOR
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2221458.662a 5 444291.732 3.877 .025
Intercept 22479256.761 1 22479256.761 196.165 .000
Posisi 101632.480 2 50816.240 .443 .652
Perekat 1159314.243 1 1159314.243 10.117 .008
Posisi * Perekat 960511.938 2 480255.969 4.191 .042
Error 1375121.746 12 114593.479
Total 26075837.169 18
Corrected Total 3596580.408 17
(1)
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan perekat
Kebutuhan perekat untuk satu garis ke arah tebal (A)
= Berat labur (g/m
2) x Luas permukaan bilah yang akan direkat (m
2)
=
360
g/m
2x 0,0075 m
2= 2,7 g
Kebutuhan perekat untuk satu garis ke arah lebar (B)
= Berat labur (g/m
2) x Luas permukaan bilah yang akan direkat (m
2)
=
360
g/m
2x 0,0054 m
2= 1,95 g
Kebutuhan perekat untuk pembuatan sampel 2 lapisan (3 ulangan)
= (Axa) + (Bxb) x 3
= (2,7 g x 4) + (1,95 g x 3) x 3
= (10,8 g + 5,85 g) x 3
= 16,65 g x 3
=
49,95
g
Lampiran 2. Hasil analisis sidik ragam sifat fisis dan mekanis papan laminasi
bambu betung pada selang kepercayaan 95%
Analisis Sidik Ragam Pengujian Kadar Air
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 4.209a 5 .842 2.476 .092
(2)
Error 4.081 12 .340
Total 2311.701 18
Corrected Total 8.290 17
a. R Squared = .508 (Adjusted R Squared = .303)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Daya Serap Air
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 1184.967a 5 236.993 2.514 .089
Intercept 12980.364 1 12980.364 137.689 .000
Posisi 1094.924 2 547.462 5.807 .017
Perekat 81.536 1 81.536 .865 .371
Posisi * Perekat 8.506 2 4.253 .045 .956
Error 1131.274 12 94.273
Total 15296.605 18
Corrected Total 2316.240 17
a. R Squared = .512 (Adjusted R Squared = .308)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Delaminasi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2400.706a 5 480.141 .843 .544
Intercept 9192.324 1 9192.324 16.145 .002
Posisi 887.990 2 443.995 .780 .480
Perekat 7.644 1 7.644 .013 .910
Posisi * Perekat 1505.072 2 752.536 1.322 .303
Error 6832.313 12 569.359
Total 18425.342 18
Corrected Total 9233.018 17
(3)
Analisis Sidik Ragam Pengujian MOE
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model .656a 5 .131 2.225 .119
Intercept 5.814 1 5.814 98.590 .000
Posisi .387 2 .194 3.282 .073
Perekat .068 1 .068 1.161 .302
Posisi * Perekat .200 2 .100 1.699 .224
Error .708 12 .059
Total 7.178 18
Corrected Total 1.364 17
a. R Squared = .481 (Adjusted R Squared = .265)
Analisis Sidik Ragam Pengujian MOR
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 2221458.662a 5 444291.732 3.877 .025
Intercept 22479256.761 1 22479256.761 196.165 .000
Posisi 101632.480 2 50816.240 .443 .652
Perekat 1159314.243 1 1159314.243 10.117 .008
Posisi * Perekat 960511.938 2 480255.969 4.191 .042
Error 1375121.746 12 114593.479
Total 26075837.169 18
Corrected Total 3596580.408 17
(4)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Defleksi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model .030a 5 .006 4.448 .016
Intercept .084 1 .084 62.007 .000
Posisi .011 2 .005 3.969 .048
Perekat .015 1 .015 11.371 .006
Posisi * Perekat .004 2 .002 1.466 .269
Error .016 12 .001
Total .131 18
Corrected Total .047 17
a. R Squared = .650 (Adjusted R Squared = .504)
Analisis Sidik Ragam Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)
Tests of Between-Subjects EffectsDependent Variable: Ulangan
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model .720a 5 .144 2.514 .089
Intercept 6.337 1 6.337 110.633 .000
Posisi .342 2 .171 2.982 .089
Perekat .245 1 .245 4.277 .061
Posisi * Perekat .133 2 .067 1.163 .345
Error .687 12 .057
Total 7.744 18
Corrected Total 1.407 17
(5)
Lampiran 3. Dokumentasi pengujian sifat fisis dan mekanis papan laminasi
bambu betung
Pengujian Kadar Air
Pengujian Daya Serap Air
Pengujian Delaminasi
(6)