Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus Asper) Pada Berbagai Perlakuan Jumlah Lapisan dan Waktu Pengempaan

SIFAT FISIS DAN MEKANIS LAMINASI BAMBU BETUNG (Dendrocalamus asper) PADA BERBAGAI PERLAKUAN JUMLAH LAPISAN DAN WAKTU PENGEMPAAN
SKRIPSI Oleh:
Riza Rivani 101201033
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014
Universitas Sumatera Utara

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian: Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung

(Dendrocalamus Asper) Pada Berbagai Perlakuan Jumlah

Lapisan dan Waktu Pengempaan

Nama

: Riza Rivani

NIM


: 101201033

Program Studi : Kehutanan

Minat Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Luthfi Hakim, S.Hut., M.Si. Ketua

Tito Sucipto, S. Hut, M.Si Anggota

Mengetahui :

Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph. D Ketua Program Studi Kehutanan
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
RIZA RIVANI. Physical and Mechanical Properties of Laminated Bamboo (Dendrocalamus asper) Under Various Treatment of Layers Number and Pressing Time. Supervised by LUTHFI HAKIM and TITO SUCIPTO
Limitations of the wood raw material supply constraints in meeting the needs of derivative wood products. Alternative raw materials other than wood of choice in manufacturing derivative wood products which have the same properties of the wood. Laminated Bamboo (Dendrocalamus asper Schult.F Backer Ex. Heyne) under various treatment of layers number and pressing time became one of the alternative technologies in making new wood derived products. The objective of this was to evaluate the physical (moisture content, water absorbtion, delamination) and mechanical (modulus of rupture/MOR, modulus of elaticity/MOE, deflection and surface bonding strength) poperties according JAS SE-7 2003 about flooring testing and SNI ISO 16981-2012 about panels product.

The results showed that the performance of laminated bamboo was fulfill JAS SE-7 2003 standard for moisture content, delamination and deflection. Unfortunately, the water absorbtion was not fulfill standard. Surface bending strength of laminated bamboo was fulfill SNI ISO 16981-2012. Although MOR and MOE are not required in the standards, but both showed a value equivalent to the strength of the wood. The best of laminate is laminated bamboo with two layers and pressing treatment for 72 hours. Keyword: Dendrocalamus asper, layers, pressing time, laminated bamboo.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
RIZA RIVANI. Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper) pada Berbagai Perlakuan Jumlah Lapisan dan Waktu Pengempaan. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan TITO SUCIPTO
Keterbatasan pasokan bahan baku kayu menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan produk turunan kayu. Alternatif bahan baku selain kayu menjadi pilihan dalam menciptakan produk turunan kayu yang mempunyai sifat sama dengan kayu. Laminasi bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.F. Backer Ex Heyne) dengan variasi perlakuan jumlah lapisan dan waktu pengempaan menjadi salah satu alternatif teknologi dalam membuat produk turunan kayu yang baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung dengan berbagai perlakuan jumlah lapisan dan waktu pengempaan. Pengujian sifat fisis dan mekanis dilakukan berdasarkan pada standar JAS SE-7 2003 tentang Flooring SNI ISO 16981-2012 tentang produk panel.
Hasil penelitian menunjukkan kualitas papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian kadar air, delaminasi, dan defleksi. Namun, untuk pengujian daya serap air tidak memenuhi. Keteguhan rekat permukaan laminasi bambu telah memenuhi syarat standar SNI ISO 169812012. Meskipun MOR dan MOR tidak di persyaratkan pada kedua standar, tetapi laminasi bambu yang dihasilkan memiliki kekuatan yang setara dengan kayu. Papan laminasi bambu terbaik diperoleh dari papan laminasi 2 lapisan dengan waktu pengempaan selama 72 jam. Kata kunci: Dendrocalamus asper, lapisan, laminasi bambu, waktu pengempaan.
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, 13 September 1992 dari Pasangan Syarifuddin H. dan Trisnawani. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Swasta Al-Ikhlas Medan dan lulus pada tahun 2004, melanjutkan ke SMP Negeri 6 Medan dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 13 Medan dan pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU) melalui seleksi UMB-PTN.
Selain mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan organisasi, diantaranya adalah Badan Kenaziran Musholla Baitul Asyjaar Kehutanan USU tahun 2012-2013, Rain Forest Community tahun 2011-2013. Penulis juga pernah menjadi asisten Praktikum Geodesi dan Kartografi, Praktikum Inventarisasi Hutan, serta Praktikum Anatomi dan Identifikasi Kayu.
Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo pada tahun 2012. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Divisi Regional III Jawa Barat dan Banten, KPH Bandung Selatan, mulai tanggal 8 Februari - 10 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWTatas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper) pada Berbagai Perlakuan Jumlah Lapisan dan Waktu Pengempaan“ yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kehutanan pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Syarifuddin H. dan Ibunda Trisnawani, serta kedua saudara penulis Trisna Sari dan Arif Kurniawan, yang senantiasa memberikan kasih sayang sepanjang masa, dan dukungan berupa moril maupun materil kepada penulis. 2. Bapak Luthfi Hakim, S.Hut., M.Si dan Bapak Tito Sucipto, S.Hut., M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan memberikan saran terhadap penulisan skripsi ini. 3. Rekan tim peneliti (Annisa Nadia, Mariah Ulfa, Putri Rafika Wulandari, Reza Nachsybandi, Selvy Puspikasari dan Sri Wardani Rambe) yang telah memberikan semangat dan kerjasama saat melakukan penelitian. 4. Terkhusus kepada Laboran Workshop Teknologi Hasil Hutan, Robi Hidayat yang telah memberikan banyak bantuan dalam proses pembuatan papan laminasi bambu ini.
Universitas Sumatera Utara


Penulis berharap semoga kedepannya skripsi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan.
Medan, Agustus 2014 Penulis
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i

ABSTRACT.................................................................................................... ii

ABSTRAK .................................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP....................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................. v

DAFTAR ISI................................................................................................. vii


DAFTAR TABEL......................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x

PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan ........................................................................................................... Manfaat Penelitian ........................................................................................ Hipotesis........................................................................................................

1 3 3 3

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Bambu Betung .................................................................. Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung ........................................................ Kandungan Kimia Bambu Betung ................................................................ Teknologi Laminasi ...................................................................................... Bambu Laminasi ........................................................................................... Perekat Polivinil Asetat (PVac) .................................................................... Proses Perekatan ............................................................................................ Jumlah Lapisan dan Gaya pengempaanpada Produk Laminasi .....................

4 5 7 8 10 11 12 13

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ........................................................................................ 15

Universitas Sumatera Utara

Alat dan Bahan.............................................................................................. Prosedur Penelitian .......................................................................................
Pemotongan Bambu Betung.................................................................... Pembuatan Laminasi Bambu Betung ...................................................... Pemotongan Contoh Uji..........................................................................
Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung.............. Analisis Statistika....................................................................................


15 15 15 17 19 19 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisis Papan Laminasi Bambu Betung...................................................
Pengujian Kadar Air (KA) ...................................................................... Pengujian Daya Serap Air (DSA) ........................................................... Delaminasi............................................................................................... Sifat Mekanis Papan Laminasi Bambu Betung............................................. Pengujian Bending Strength....................................................................
1. Modulus of Elasticity (MOE) .......................................................... 2. Modulus of Rupture (MOR) ............................................................ 3. Perubahan Defleksi.......................................................................... Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)...................................... Kualitas Papan Laminasi Bambu Betung......................................................

26 26 28 29 31 31 32 33 35 36 38

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ................................................................................................... Saran .............................................................................................................

41 41

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL
No. Halaman 1. Dimensi dan Proporsi Sel Bambu Betung............................................ 7 2. Komponen Kimia Bambu Betung........................................................ 7 3. Berat Labur Perekat Yang Dibutuhkan................................................ 17 4. Standar Mutu Sifat Fisis Dan Mekanis Papan Partikel Berdasarkan
JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012........................................... 23 5. Nilai Rata-rata Hasil Pengujian Sifat Fisis Papan Laminasi
Bambu Betung...................................................................................... 26 6. Nilai Rata-rata Hasil Pengujian Sifat Mekanis Papan Laminasi

Bambu Betung...................................................................................... 31 7. Rekapitulasi Kualitas Papan Laminasi Bambu Betung Berdasarkan
JAS SE-7 2003 dan SNI ISO 16981-2012 ........................................... 38
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR
No. Halaman 1. Bambu Betung (Dendrocalamus asper) .............................................. 5 2. Cara Pembelahan Bambu Menjadi Bilah Bambu ................................ 16 3. Reka Bentuk Laminasi Bambu 2 Lapisan............................................ 18 4. Reka Bentuk Laminasi Bambu 4 Lapisan............................................ 18 5. Ukuran Pemotongan Contoh Uji.......................................................... 19 6. Pembebanan Pengujian MOR dan MOE ............................................. 22 7. Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)................................... 23 8. Bagan Alir (Flow Chart) Penelitian..................................................... 25 9. Diagram Presentase Kadar Air Papan Laminasi Bambu Betung......... 26 10. Diagram Presentase Daya Serap Air Papan Laminasi Bambu Betung 28 11. Diagram Presentase Delaminasi Papan Laminasi Bambu Betung....... 30 12. Diagram Nilai MOE Papan Laminasi Bambu Betung ......................... 32 13. Diagram Nilai MOR Papan Laminasi Bambu Betung........................ 34 14. Diagram Nilai Perubahan Defleksi Papan Laminasi Bambu Betung .. 35 15. Diagram Nilai KRP Papan Laminasi Bambu Betung .......................... 36
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
RIZA RIVANI. Physical and Mechanical Properties of Laminated Bamboo (Dendrocalamus asper) Under Various Treatment of Layers Number and Pressing Time. Supervised by LUTHFI HAKIM and TITO SUCIPTO
Limitations of the wood raw material supply constraints in meeting the needs of derivative wood products. Alternative raw materials other than wood of choice in manufacturing derivative wood products which have the same properties of the wood. Laminated Bamboo (Dendrocalamus asper Schult.F Backer Ex. Heyne) under various treatment of layers number and pressing time became one of the alternative technologies in making new wood derived products. The objective of this was to evaluate the physical (moisture content, water absorbtion, delamination) and mechanical (modulus of rupture/MOR, modulus of elaticity/MOE, deflection and surface bonding strength) poperties according JAS SE-7 2003 about flooring testing and SNI ISO 16981-2012 about panels product.
The results showed that the performance of laminated bamboo was fulfill JAS SE-7 2003 standard for moisture content, delamination and deflection. Unfortunately, the water absorbtion was not fulfill standard. Surface bending strength of laminated bamboo was fulfill SNI ISO 16981-2012. Although MOR and MOE are not required in the standards, but both showed a value equivalent to the strength of the wood. The best of laminate is laminated bamboo with two layers and pressing treatment for 72 hours. Keyword: Dendrocalamus asper, layers, pressing time, laminated bamboo.
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
RIZA RIVANI. Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper) pada Berbagai Perlakuan Jumlah Lapisan dan Waktu Pengempaan. Dibimbing oleh LUTHFI HAKIM dan TITO SUCIPTO
Keterbatasan pasokan bahan baku kayu menjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan produk turunan kayu. Alternatif bahan baku selain kayu menjadi pilihan dalam menciptakan produk turunan kayu yang mempunyai sifat sama dengan kayu. Laminasi bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.F. Backer Ex Heyne) dengan variasi perlakuan jumlah lapisan dan waktu pengempaan menjadi salah satu alternatif teknologi dalam membuat produk turunan kayu yang baru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung dengan berbagai perlakuan jumlah lapisan dan waktu pengempaan. Pengujian sifat fisis dan mekanis dilakukan berdasarkan pada standar JAS SE-7 2003 tentang Flooring SNI ISO 16981-2012 tentang produk panel.
Hasil penelitian menunjukkan kualitas papan laminasi bambu betung telah memenuhi standar JAS SE-7-2003 untuk pengujian kadar air, delaminasi, dan defleksi. Namun, untuk pengujian daya serap air tidak memenuhi. Keteguhan rekat permukaan laminasi bambu telah memenuhi syarat standar SNI ISO 169812012. Meskipun MOR dan MOR tidak di persyaratkan pada kedua standar, tetapi laminasi bambu yang dihasilkan memiliki kekuatan yang setara dengan kayu. Papan laminasi bambu terbaik diperoleh dari papan laminasi 2 lapisan dengan waktu pengempaan selama 72 jam. Kata kunci: Dendrocalamus asper, lapisan, laminasi bambu, waktu pengempaan.
Universitas Sumatera Utara


PENDAHULUAN
Latar Belakang Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang
peranan sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifatsifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu juga bambu relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat pedesaan.
Beberapa masalah yang timbul dalam pemanfaatan bambu sebagai bahan konstruksi adalah keterbatasan bentuk dan dimensinya. Sebagai bahan substitusi kayu, bambu harus memiliki dimensi tebal, lebar dan panjang seperti papan atau balok kayu. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik peningkatan kualitas bambu. Salah satu teknik peningkatan kualitas bambu adalah melalui teknik laminasi. Menurut Tsoumis (1991) beberapa kelebihan balok atau bambu laminasi antara laindapat dihasilkan balok dengan berbagai bentuk dan ukuran yang sesuai dengan tujuanpemakaian, dapat memanfaatkan bambu yang berdimensi kecil, dan kekuatan dapat ditingkatkan dengan perlakuan-perlakuan tertentu.
Apabila bambu ingin digunakan sebagai pengganti papan atau balok kayu, maka bambu tersebut harus memenuhi persyaratan lebar dan tebal tertentu. Dalam bentuk bilah, bambu mempunyai ketebalan yang relatif kecil, sehingga untuk mengatasi masalah ini diperlukan teknik laminasi dengan jumlah lapisan yang disesuaikan dengan ukuran produk yang diinginkan. Sari dan Praja (2006) dalam penelitiannya mengenai pengaruh jumlah lapisan pada papan lamina kayu
Universitas Sumatera Utara

meranti merah menyebutkan bahwa jumlah lapisan yang digunakan akan

berpengaruh terhadap sifat mekanis dari suatu produk lamina yang dihasilkan.

Hal ini diduga berhubungan dengan luas bidang rekat yang meningkat seiring

dengan banyaknya jumlah lapisan pada suatu produk lamina. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, waktu pengempaan yang sering kali digunakan pada

produk laminasi hanya

24 jam. Oleh karena itu, penelitian ini akan


menggunakan waktu kempa sampai dengan 72 jam, yang diasumsikan akan

meningkatkan kualitas produk karena perekat sudah benar-benar matang setelah

dikeluarkan dari alat kempa. Berdasarkan beberapa hal tersebut, dilakukan

penelitian untuk menganalisa perbedaan sifat-sifat bambu laminasi pada jumlah

lapisan dan waktu pengempaan yang berbeda.

Dalam penelitian ini, jenis bambu yang akan digunakan untuk dijadikan

laminasi bambu adalah bambu betung (Dendrocalamus asper). Bambu betung

dipilih selain karena kekuatan dan kelas keawetannya yang tinggi, bambu ini juga

memiliki ukuran yang besar serta dinding bilah yang cukup tebal (1-1,5 cm)

sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Laminasi


bambu ini menggunakan perekat sebagai bahan sambungannya, jenis perekatnya

adalah polivinil asetat (PVAc). Sedangkan standar yang digunakan dalam

pengujian laminasi bambu ini adalah Japanese Agricultural Standart (JAS)

SE-7-2003 for Flooring dan SNI ISO 16981-2012.

Tujuan 1. Menghitung sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung dengan berbagai
jumlah lapisan dan waktu pengempaan.

Universitas Sumatera Utara

2. Menentukan jumlah lapisan dan waktu pengempaan yang paling baik dalam pembuatan laminasi bambu betung.
Manfaat Penelitian 1. Mengoptimalkan pemanfaatan dan meningkatkan nilai ekonomi bambu
betung. 2. Memudahkan penggunaan bambu betung dengan mengubah dimensinya dan
menjadikannya sebagai bambu laminasi. 3. Sebagai informasi dan menambah wawasan pembaca untuk permasalahan
bambu di Indonesia. Hipotesis 1. Jumlah lapisan akan berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi
bambu betung. 2. Waktu pengempaan akan berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis

laminasi bambu betung.
Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Umum Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

Bambu betung memiliki nama-nama daerah diantaranya bambu betung

coklat (Bengkulu), betung hijau (Lampung), buluh batung (Sumatera Utara) dan

betung hitam (Banyuwangi). Berikut ini adalah klasifikasi taksonomi bambu

betung (Kemenhut, 2012) :

Kingdom : Plantae

Divisi

: Spermatophyta


Kelas

: Monocotiledonae

Ordo

: Graminales

Famili

: Graminae

Genus

: Dendrocalamus

Spesies

: Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex Heyne

Jenis bambu ini mempunyai rumpun yang agak rapat. Warna batang hijau

kekuning-kuningan. Ukurannya lebih besar dan lebih tinggi dari jenis bambu yang

lain. Tinggi batang mencapai 20 m dengan diameter batang sampai 20 cm.

Ruas bambu betung cukup panjang dan tebal, panjangnya antara 40-60 cm dan

ketebalan dindingnya 1-1,5 cm. Jenis bambu ini dapat ditemui di dataran rendah

sampai ketinggian 2.000 mdpl. Bambu ini akan tumbuh baik bila tanahnya cukup

subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering. Bambu betung

sifatnya keras dan baik untuk bahan bangunan karena seratnya besar-besar serta

ruasnya panjang. Dapat dimanfaatkan untuk saluran air, penampungair aren yang

disadap, dinding rumah yang dianyam (gedek atau bilik) dan berbagai jenis

Universitas Sumatera Utara

barang kerajinan. Rebung bambu betung terkenal paling enak untuk disayur diantara jenis-jenis bambu lainnya (Kemenhut, 2012).
Gambar 1. Bambu Betung (Dendrocalamus asper) Sumber : Kemenhut, 2012
Bambu betung memiliki sifat yang keras dan baik untuk bahan bangunan. Perbanyakan bambu betung dilakukan dengan potongan batang atau cabangnya. Bambu betung adalah bambu yang kuat dan banyak digunakan untuk bahan bangunan rumah maupun jembatan. Bambu betung bisa dipanen pada umur 3-4 tahun dengan produksi sekitar 8 ton/ha. Kerapatan serat bambu betung adalah 0,8 g/cm3 (Dransfield dan Widjaja, 1995). Sifat Fisis dan Mekanis Bambu Betung
Bambu bersifat higroskopis, artinya bambu mempunyai afinitas terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cairan. Kayu atau bambu mempunyai kemampuan mengabsorpsi atau desorpsi yang tergantung dari suhu dan kelembaban. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) kadar air batang bambu merupakan faktor penting dan dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya.
Kadar air dinyatakan sebagai kandungan air yang berada dalam bambu. Kandungan air dalam batang bambu bervariasi baik arah memanjang maupun arah melintang. Hal itu tergantung dari umur, waktu penebangan dan jenis bambu.
Universitas Sumatera Utara

Pada umur satu tahun batang bambu mempunyai kandungan air yang relatif tinggi, yaitu kurang lebih 120 hingga 130%, baik pada pangkal maupun ujungnya. Sedangkan pada bagian ruas, kandungan air lebih rendah daripada bagian nodia (Liese, 1980 dalam Pathurahman, 1998).
Kadar air batang bambu merupakan faktor penting dan dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya. Kadar air pada bambu bervariasi menurut jenis, posisi dalam batang, umur batang dan musim. Pada umumnya jika bambu sudah berumur lebih dari tiga tahun akan mengalami penurunan kadar air. Pada batang bambu muda penurunan kadar air berkisar antara 50-90%, sedangkan pada bambu tua berkisar antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja, 1995).
Kadar air bambu betung adalah 42,61%. Hal ini berhubungan erat dengan tebal bilah masing-masing bambu tersebut. Makin tebal dinding/bilah bambu maka makin tinggi air yang dapat dikandung bambu tersebut. Bambu betung memiliki tebal bilah 10 – 25 mm (Pujirahayu, 2012).
Subyakto dan Sudijono (1994) telah meneliti bahwa berat jenis bambu betung bertambah besar dengan meningkatnya posisi ketinggian ruas pada batang. Pada ruas yang sama, kekuatan lentur (MOE dan MOR) bambu betung pada bagian tanpa buku lebih tinggi dibandingkan dengan buku. Pada ruas yang sama, nilai MOR pada posisi pengujian telentang (bagian kulit bambu di bawah) lebih kecil dibandingkan posisi telungkup (bagian kulit bambu di atas). Nilai MOE bertambah besar dengan semakin tinggi posisi ruas pada batang, sedangkan nilai MOR mengalami sedikit penurunan pada ujung batang.
Nilai Modulus Elastisitas berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan bentuk yang terjadi. Besarnya nilai defleksi dipengaruhi oleh besar dan
Universitas Sumatera Utara

lokasi pembebanan, panjangnya, ukuran penampang, dan nilai MOE. Hubungan antara MOE dengan defleksi yaitu apabila semakin tinggi MOE suatu balok, maka semakin berkurang defleksinya dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk (Haygreen dan Bowyer, 2003).

Kandungan Kimia Bambu Betung

Menurut Manuhuwa dan Loiwatu (2007) kandungan holoselulosa

(73,63%), lignin (27,37%) dan tebal dinding sel serat (0,90 mikron) bambu betung

lebih banyak dari bambu sero (71,96%; 26,18%; 0,80 mikron) dan bambu tui

(72,77%; 26,05%; 0,77 mikron). Ketebalan dinding sel akan sangat

mempengaruhi penyusutan. Semakin tebal dinding sel, maka akan semakin besar

pula penyusutan yang akan terjadi. Selain faktor ketebalan dinding sel, faktor lain

yang berhubungan dengan kandungan air dalam bambu adalah jumlah sel pori. Sel

pori mengandung air yang lebih banyak dibandingkan dengan sel serat.

Dalam penelitiannya, Manuhuwa dan Loiwatu (2007) menghasilkan nilai

dimensi dan proporsi sel pada bambu betung seperti pada Tabel 1.

abel 1. Dimensi dan Proporsi Sel Bambu Betung

Panjang Serat (mm)

Diameter Serat
(Mikron)

Diameter Lumen (Mikron)

Tebal Dinding Sel
(Mikron)

3,90 4,91 3,10 0,90

Sel Parenkim
(%) 54,79

Sel Serat (%) 32,64

Sel Pori (%) 12,58

Selain sifat anatomi, Manuhuwa dan Loiwatu (2007) juga meneliti

kandungan kimia bambu betung, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Komponen Kimia Bambu Betung

Ekstraktif

Ekstraktif

Ekstraktif

Larut

Larut

Larut

Alfa-Selulosa

Air Dingin

Air Panas

Alkohol Bz

(%)

(%) (%) (%)

Holo-Selulosa (%)

Lignin (%)

Universitas Sumatera Utara

3,59

5,70

3,49 45,65

72,77

26,05

Teknologi Laminasi Teknologi laminasi adalah teknik penggabungan bahan dengan bantuan
perekat. Bahan bangunan berukuran kecil dapat direkatkan membentuk komponen bahan sesuai keperluan. Teknik laminasi juga merupakan cara penggabungan bahan baku yang tidak seragam atau dari berbagai kualitas (Prayitno, 1996).
Sebagai contoh kayu yang berkualitas rendah digabungkan dengan kayu berkualitas tinggi disesuaikan dengan distribusi gaya beban yang akan diterima oleh produk tersebut. Dengan demikian teknik laminasi merupakan teknik penggabungan bahan yang sangat efisien untuk menghasilkan produk bahan bangunan yang efektif. Akhirnya teknik laminasi mampu menggunakan semua bahan baku yang ada untuk tujuan penggunaan yang lebih besar sehingga mampu mendukung program pemerintah untuk memberi waktu kepada hutan untuk bernafas kembali dan berubah menjadi hutan yang ideal kembali. Dengan kata lain teknik laminasi mampu mendukung konservasi hutan atau kelestarian hutan yang diinginkan masyarakat Indonesia maupun internasional.
Produk laminasi pada umunya menghasilkan produk bahan bangunan dengan sifat-sifat sebagai berikut: a) Bentuk seragam pada bidang tertentu sesuai dengan tujuan pembuatannya dan mempunyai kekuatan tinggi. Hal ini lebih baik dibandingkan kayu utuh atau bambu utuh yang selalu dipengaruhi oleh posisi aksial dan radial batang.

Universitas Sumatera Utara

b) Deformasi akan lebih sedikit karena setiap komponen laminasi akan menerima beban sesuai dengan kemampuannya. Defleksi produk dapat diatur dalam desain struktur bangunan.
c) Mutu produk laminasi dapat diatur dengan mutu lapisan lamina yang digunakan sehingga mampu menghasilkan laminasi yang sesuai dengan tuntutan dan efisien.
d) Cacat bahan pada laminasi dapat dihilangkan karena titik lemah tersebut diatur kembali sehingga tidak menampakkan pengaruh yang signifikan.
e) Bentuk laminasi dapat dibuat sesuai selera pengguna seperti balok laminasi lurus, melengkung atau kubah, trapesium dan bentuk lain. Disebabkan ukuran bahan baku laminasi jauh lebih kecil daripada dimensi bahan bangunan yang dikehendaki maka banyak faktor yang harus diteliti dalam pembuatan laminasi yaitu sebagai berikut :
a) Jenis perekat yang digunakan dalam laminasi. b) Banyaknya perekat yang digunakan untuk penggabungan. c) Jenis bambu yang digunakan dalam laminasi d) Ukuran bilah bambu berupa galar atau bilah yang digunakan dalam laminasi. e) Jenis dan posisi sambungan yang dipakai dalam penyambungan laminasi. f) Ukuran bahan bangunan dengan titik lemah (kegagalan) lentur atau geser
merupakan kelemahan balok laminasi (Gunawan, 2007). Pada produk laminasi, kualitas perekatan ditentukan oleh kualitas perekat,
kualitas sirekat, proses perekatan dan kondisi penggunaan produk hasil perekatan.Kualitas perekat dipengaruhi oleh viskositas, kandungan resin padat, pH perekat, working life dan sebagainya. Kualitas sirekat dipengaruhi oleh kadar air,
Universitas Sumatera Utara

kehalusan permukaan, keterbasahan, kadar zat ekstaktif, pH kayu, struktur anatomi kayu dan lain-lain. Proses perekatan berkaitan dengan teknik perekatan dan pengempaan dari dari produk perekatan. Produk hasil perekatan digunakan sesuai dengan tujuan penggunaan produk, jenis perekat dan jenis sirekat (Ruhendi dan Sucipto, 2012).
Bambu Laminasi Teknologi bambu laminasi pada awalnya didasari oleh pemikiran dari
balok glulam. Balok glulam dibuat dari lapisan-lapisan kayu yang relatif tipis yang dapat digabungkan dan direkatkan sedemikian rupa untuk menghasilkan balok kayu dalam berbagai ukuran dan panjang (Breyer, 1988).
Laminasi bambu merupakan produk yang dibuat dengan merekatkan dua atau lebih lapisan bahan menjadi satu. Diperoleh dari pengolahan batang bambu yang dimulai dengan pemotongan, perekatan dan pengempaan hingga diperoleh bentuk lamina dengan ketinggian/ketebalan yang diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak bedajauh dari sifat bambu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya nodia/ruas yang ada pada satu batang dan perekat yang dipergunakan (Widjaja, 1995).
Proses laminasi dan penyambungan sangat terkait dengan proses perekatan. Dalam proses perekatan bambu ada tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil perekatan, yaitu aspek bahan yang direkat (bambu), aspek bahan perekat dan aspek teknologi perekatan. Aspek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan anatomi bambu (susunan sel, arah serat) dan sifat fisika (kerapatan, kadar air, kembang susut dan porositas). Aspek perekatan meliputi jenis, sifat dan kegunaan perekat. Aspek teknologi perekatan meliputi
Universitas Sumatera Utara

komposisi perekat, berat laburan, pengempaan dan kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan) (Budi, 2007).
Perekat Polivinil Asetat (PVAc) Pembuatan balok laminasi mutlak memerlukan perekat sebagai bahan
pengikat bagian kayu lamina yang satu dengan yang lainnya. Menurut Manik (1997), perekat digunakan untuk merekatkan lapisan antar papan dengan papan sehingga terjadi pertemuan antara serat kayu dengan perekat yang membentuk satu kesatuan konstruksi yang lebih kaku dan kuat.
Menurut Ruhendi dan Hadi (1997), polivinil asetat diperoleh dari polimerisasi vinil asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan maupun polimerisasi emulsi. Yang paling banyak digunakan adalah polimerisasi emulsi. Reaksinya dimulai dan dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalisionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat dilakukan dengan metode katalis, termasuk katalis redoks atau aktivasi dengan cahaya.
Kelebihan polivinil asetat yaitu mudah penanganannya, storage life-nya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu serta tekanan kempanya rendah. Kekurangan polivinil asetat yaitu sangat sensitif terhadap air sehingga penggunaannya hanya untuk interior saja, kekuatan rekatnya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta viskoelastisitasnya tidak baik (Ruhendi dkk, 2007).
Pizzi (1983) dalam Ruhendi dkk, (2007) menyatakan bahwa perekat polivinil asetat tidak memerlukan kempa panas. Dalam penggunaan secara luas dapat menghasilkan keteguhan rekat yang baik, dengan biaya yang relatif rendah. Keuntungan utama dari polivinil asetat melebihi perekat urea formaldehida,
Universitas Sumatera Utara

karena menghasilkan ikatan rekat yang cepat pada suhu kamar. Keuntungan lainnya yaitu dapat menghindari kempa panas yang memerlukan biaya tinggi. Perekat polivinil asetat mempunyai sifat termoplastik, yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai. Penggunaan khusus polivinil asetat dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat.
Proses Perekatan Menurut Prayitno (1996) perekatan merupakan usaha penggabungan dua
buah permukaan bahan dengan ikatan permukaan yang terdiri atas bermacammacam gaya ikatan. Alat penyambung berupa perekat, termasuk alat penyambung yang terbaik, karena kayu yang disambung untuk konstruksi tidak berkurang luas penampangnya.
Menurut Prayitno (1996) terdapat dua cara perekatan, cara pertama adalah bila kedua bidang permukaan dilabur, disebut dengan double spread atau pelaburan dua sisi. Cara ini perekat dilaburkan pada kedua permukaan bahan yang direkatkan sehingga kedua bahan yang akan direkatkan dilapisi dengan perekat, sebelum keduanya direkatkan, cara ini memerlukan perekat tambahan sebanyak 10%. Cara kedua adalah single spread atau peleburan satu sisi. Pada cara ini perekat hanya dilaburkan pada satu permukaan saja dari bahan yang akan direkatkan. Model perekatan sistem dua sisi memiliki kecendrungan peningkatan kekuatan perekatan.
Universitas Sumatera Utara

Jumlah Lapisan dan Gaya Pengempaanpada Produk Laminasi Menurut Sari dan Praja (2006) jumlah lapisan yang digunakan akan
berpengaruh terhadap sifat mekanis dari suatu produk lamina yang dihasilkan. Hal ini diduga berhubungan dengan luas bidang rekat yang meningkat seiring dengan banyaknya jumlah lapisan pada suatu produk lamina. Semakin luas bidang rekat maka kekuatan ikat yang dibentuk akan semakin kuat untuk menahan beban yang diterima dan dengan banyaknya jumlah lapisan maka tahan-menahan tiap lapisan juga akan semakin banyak.
Pengempaan bertujuan untuk menempelkan lebih rapat sehingga garis perekat dapat terbentuk serata dan sepejal mungkin dengan ketebalan setipis mungkin. Semakin tebal garis perekat ternyata kekuatan rekatan yang dihasilkan justru semakin rendah (Prayitno, 1996).
Proses pengempaan dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe pengempaan dingin dan pengempaan panas. Pengempaan dingin lebih unggul dibandingkan tipe pengempaan panas karena pengempaan dingin biayanya lebih murah dan dapat dilaksanakan pada pembuatan produk laminasi struktural (Prayitno, 1996).
Pemberian gaya kempa yang terlalu tinggi akan mengakibatkan menurunnya kekuatan rekatan. Tekanan tinggi menyebabkan terdesaknya molekul-molekul perekat pada garis perekat dan berpindah dari permukaan bahan ke dalam bahan yang direkat (penetrasi) dan perpindahan kesamping dan ke luar dari rakitan perekat (Prayitno, 1995).
Menurut Anshari (1996) dalam Manik (1997) untuk menghasilkan suatu balok kayu laminasi yang memenuhi standar struktur pada proses perancangan juga harus memperhatikan proses pengempaan. Proses pengempaan ini ditujukan
Universitas Sumatera Utara

untuk menghasilkan garis perekat setipis mungkin, bahkan mendekati ketebalan molekul bahan perekat karena kekuatan meningkat seiring berkurangnya tebal garis rekatan. Pengempaan yang terlalu rendah menyebabkan cacat perekatan, seperti melepuh, perekat tebal dan pecah muka.
Pengempaan terlampau tinggi juga menyebabkan terjadi cacat perekatan seperti kurang perekat atau tembus akibat penetrasi berlebih. Pemberian tekanan pengempaan yang terlalu besar juga dapat mengakibatkan terjadinya kelemahan perekatan yang berupa proses keluarnya perekat yang berlebihan (starved glue line) dan rusaknya lapisan permukaan vinir secara mekanis sehingga menurunkan kekuatan perekatan yang dihasilkan (Widjaja, 1995).
Universitas Sumatera Utara

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan
Juli 2014. Proses pencarian bahan baku sampai proses pembuatan contoh uji bambu laminasi dilakukan pada bulan November 2013 hingga Juni 2014, pengujian serta analisis data dilakukan pada bulan Juli 2014. Bertempat di Laboraturium dan Workshop Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah parang, gergaji tangan,
alat untuk melaburkan perekat (skrap), mesin ampelas, mesin serut, oven, timbangan analitik, cold press (alat kempa dingin), moisture meter, Universal Testing Machine (UTM) merk Tensilon RTF-1350, alat tulis, kamera dan kalkulator. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu betung dan perekat polivinil asetat (PVAc) merk Fox.
Prosedur Penelitian Pemotongan Bambu Betung
Batang bambu betung dipotong sepanjang 30 cm, dibuang kulitnya dan dibelah menjadi 4-6 bagian dengan lebar ± 4-5 cm. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan dengan menjemur bambu tersebut di tengah sinar matahari sampai kadar air mencapai ± 15%. Masing-masing bagian tersebut dibentuk menjadi bilah dengan ukuran dan tebal yang berbeda untuk masing-masing sampel jumlah
Universitas Sumatera Utara

lapisan.Serangkaian proses pembelahan bambu menjadi balok dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Cara Pembelahan Bambu Menjadi Balok
Sumber : Mahdavi (2011)
Ukuran keseluruhan contoh uji laminasi bambu betung adalah 30 x 2,5 x 1,8 cm. Ukuran ini sesuai dengan Standard Internasional JAS (Japan Agricultural Standard) SE-7-2003 for Flooring dan SNI ISO 16981-2012 dengan modifikasi. Dibutuhkan sampel sebanyak 18 buah untuk perlakuan jumlah lapisan (2 lapisan dan 4 lapisan), masing-masing 3 ulangan untuk setiap perlakuan lama pengempaan (24 jam, 48 jam, dan 72 jam).
Untuk sampel 2 lapis, masing-masing bagian bambu betung yang sudah dibelah kemudian dibentuk menjadi bilah dengan ukuran 30 x 2,5 x 0,9 cm sebanyak 72 buah. Sedangkan untuk sampel 4 lapis, masing-masing bagian bambu betung yang sudah dibelah kemudian dibentuk menjadi bilah dengan ukuran 30 x 2,5 x 0,45 cm sebanyak 144 buah.
Universitas Sumatera Utara

Pembuatan Laminasi Bambu Betung

Berat labur yang di butuhkan adalah 360 g/m2 dengan perhitungan seperti

di tampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Berat Labur Perekat yang Dibutuhkan.

Berat labur (g/m2)

Berat perekat untuk satu
permukaan bilah perekatan ke arah
tebal (A)(g)

Berat perekat untuk satu
permukaan bilah perekatan ke arah
lebar (B)(g)

Berat perekat yang dibutuhkan untuk satu
contoh uji (g)

360

0,036 x p x l

0,036 x p x t

0,036 x (A x a) x (B x b)

Keterangan: p = panjang bilah l = lebar bilah t = tebal bilah a = jumlah permukaan yang direkatkan ke arah tebal b = jumlah permukaan yang direkatkan ke arah lebar
Setelah bahan perekat disiapkan, proses selanjutnya adalah pelaburan
perekat. Pelaburan perekat dilakukan pada masing-masing bilah bambu secara
perlahan-lahan menggunakan metode pelaburan dua permukaan (double spread)
dengan sekrap sebagai aplikatornya. Selanjutnya, bilah-bilah bambu tersebut
direkatkan satu sama lain dan diusahakan agar perekat tidak tumpah atau keluar
dari bilah bambu.
Untuk sampel 2 lapisan, sebanyak 2 bilah bambu berukuran
30 x 2,5 x 0,9 cm direkatkan kearah tebal dan dibuat sebanyak 4 buah.
Selanjutnya, ke 4 buah laminasi bambu tersebut direkatkan kembai ke arah lebar
sehingga membentuk ukuran keseluruhan, yakni 30 x 10 x 1,8 cm (Gambar 3).
Dibuat sampel sebanyak 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan lama
pengempaan.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 3. Reka BentukLaminasi Bambu 2 Lapisan
Untuk sampel 4 lapisan, sebanyak 4 bilah bambu berukuran 0,45 x 2,5 x 90 cm direkatkan kearah tebal dan dibuat sebanyak 4 buah. Selanjutnya, ke 4 buah laminasi bambu tersebut direkatkan kembali ke arah lebar sehingga membentuk ukuran keseluruhan yakni 30 x 10 x 1,8 cm (Gambar 4). Dibuat sampel sebanyak 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan lama pengempaan.
Gambar 4. Reka Bentuk Laminasi Bambu 4 Lapisan Proses pengempaan dilakukan menggunakan kempa dingin atau cold press dengan metode pengempaan dua tahap (pengempaan ke arah tebal dan pengempaan ke arah lebar) selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam pada setiap bidang rekatnya. Karena alat kempa yang digunakan manual, maka untuk memperoleh tekanan yang maksimal dilakukan dengan mengunci baut kempa hingga kuat. Setelah proses pengempaan selesai, laminasi bambu betung dikeluarkan dari alat kempa lalu dikondisikan selama 1 minggu. Setelah proses conditioning selesai, dilakukan penyerutan dan pengampelasan agar permukaan sampel lebih rata dan halus.
Universitas Sumatera Utara

Pemotongan Contoh Uji Pemotongan contoh uji dapat dilakukan seperti pola pada Gambar 5.

Gambar 5. Ukuran Pemotongan Contoh Uji Keterangan :
A = contoh uji kadar air 2 x 2 x 1 cm B = contoh uji delaminasi 7,5 x 7,5 x 1 cm C = contoh uji daya serap air 5 x 5 x 1 cm D = contoh uji keteguhan rekat internal (KRP) 5 x 5 x 1 cm E = contoh uji MOE dan MOR 28 x 1 x 1 cm

Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung

Sifat fisis laminasi bambu betung yang akan diuji adalah kadar air (KA),

daya serap air (DSA) dan delaminasi (D). Sifat mekanis diperoleh dengan

pengujian bending yang menghasilkan modulus of elasticity (MOE), modulus of

rupture (MOR), serta pengujian keteguhan rekat permukaan (KRP). Pengujian

sifat fisis dan mekanis laminasi bambu ini mengacu pada Standar Internasional

JAS (Japanese Agricultural Standard) SE-7-2003 for Flooring dan SNI ISO

16981-2012. Semua sampel akan diuji sifat fisis dan mekanisnya.

Untuk uji kadar air (KA), contoh uji berukuran 2 x 2 x 1 cm. Penentuan

kadar air laminasi bambu dilakukan dengan menghitung selisih berat awal dan

berat setelah dikeringkan dalam oven sampai mencapai berat konstan pada suhu

103±2oC. Kadar air tersebut dihitung dengan rumus :

BA − BKO

KA =

x 100%

BKO

Universitas Sumatera Utara

Keterangan: KA = kadar Air (%) BA = berat awal contoh uji (g) BKO = berat tetap contoh uji setelah dikeringkan dalam oven (g)
Untuk uji daya serap air (DSA), contoh uji untuk pengujian DSA berukuran 5 x 5 x 1 cm. Pengujian dilakukan dengan menghitung selisih berat sebelum dan setelah perendaman. Contoh uji direndam secara horizontal kedalam air dengan suhu 25±1oC sedalam 3 cm dari permukaan air selama 24 jam. Kemudian daya serap air dihitung dengan rumus :
B2 − B1 DSA = B1 x 100% Keterangan : DSA = daya serap air (%) B1 = berat contoh uji sebelum perendaman (g) B2 = berat contoh uji setelah perendaman (g)
Untuk Uji Delaminasi (D), contoh uji untuk pengujian delaminasi berukuran 7,5 x 7,5 x 1 cm. Contoh uji direndam kedalam air dengan suhu 70±3oC selama 2 jam, kemudian dikeringkan ke dalam oven selama 3 jam dengan suhu 60±3oC. Selanjutnya diukur delaminasi pada setiap garis rekat pada setiap sisi kemudian dijumlahkan. Penentuan nisbah delaminasi dalam persen (%) didapat dengan rumus :
Jumlah panjang delaminasi Nisbah Delaminasi (%) = Jumlah panjang garis rekat x 100%
Universitas Sumatera Utara

Untuk uji Modulus of Elasticity (MOE), contoh uji dan perhitungan MOE dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama dengan MOR. Ukuran contoh uji 28 x 1 x 1 cm. Pada pengujian ini yang dicatat adalah perubahan defleksi setiap perubahan beban tertentu. Nilai MOE dihitung dengan rumus :
ΔPL3 MOE = 4Δybh3 Keterangan : MOE = modulus of Elasticity (kgf/cm2) L = bentang (cm) ΔP = perubahan beban yang digunakan (kg) Δy = perubahan defleksi setiap perubahan beban (cm) h = tebal contoh uji (cm) b = lebar contoh uji (cm)
Untuk Uji Modulus of Rupture (MOR), pengujian MOR dilakukan bersamaan dengan pengujian MOE. Contoh pengujian MOE dan MOR dapat dilihat pada Gambar 6. Nilai MOR dihitung dengan menggunakan rumus :
3PL MOR = 2bh2
Keterangan : MOR = modulus of Rupture (kgf/cm2) L = bentang (cm) P = beban maksimum (kg) h = tebal contoh uji (cm) b = lebar contoh uji (cm)
Universitas Sumatera Utara

0,5 cm 1cm

P
30 cm 1 cm

0,5cm

L = 29 cm
Gambar 6. Pembebanan Pengujian MOR dan MOE Keterangan : P = posisi dan arah pembebanan L = bentang (cm)
Untuk uji keteguhan rekat permukaan (KRP), contoh uji KRP berbentuk persegi dengan ukuran 5 x 5 x 1 cm, dibuat alur melingkar dengan diameter alur 35,7±0,1 mm dan kedalaman alur 0,3±0,1 mm. Kemudian direkatkan pada lempengan baja berbentuk jamur menggunakan perekat PVAc pada permukaannya (dengan berat labur 360 g/m2), lalu dikondisikan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah itu contoh uji ditarik dengan arah pembebanan tegak lurus arah serat contoh uji sampai tarikan maksimum (contoh uji rusak) dicapai dalam waktu 60±30 detik. Pengujian KRP dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP) Universitas Sumatera Utara

KRP dapat dihitung dengan rumus :

Keterangan:

F KRP =
A

KRP = keteguhan Rekat Permukaan (MPa)

F = gaya maksimum (N) A = luas permukaan (mm2)

Pengujian sifat fisis dan mekanis papan lamina mengacu pada ketetapan

standar JAS SE-7-2003 dan SNI ISO 16981-2012, seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 4. Standar Mutu Sifat Fisis dan Mekanis Papan Partikel Berdasarkan JAS SE-7-2003

dan SNI ISO 16981-2012

No Sifat Fisis dan Mekanis

JAS SE-7-2003 SNI ISO 16981-2012

1. Kadar air (%)

≤ 14 -

2. Daya Serap Air (%)

≤ 20 -

3. Delaminasi (%)

< 2/3

-

4. Bending Strenght

Perbedaan tiap defleksi < 3,5 mm

-

5. Modulus of Elasticity (kg/cm2) 6. Modulus of Rupture (kg/cm2)

-

-

7. KRP (Mpa)

- ≥ 0,01

Analisis Statistika Analisis pengujian sifat fisis dan mekanis laminasi bambu
betungmenggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial, dengan faktor 1 adalah jumlah lapisan (2 lapisan dan 4 lapisan) dan faktor 2 adalah waktu pengempaan (24 jam, 48 jam, dan 72 jam).
Formulasi yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = μ + αi + βj + τ αiβj + ε ijk

Universitas Sumatera Utara

Keterangan : Yijk = respon yang diperoleh dari perlakuan jumlah lapisan
ke-i, waktu pengempaan ke-j, dan ulangan ke-k. μ = rataan umum αi = pengaruh jumlah lapisan ke-i βj = pengaruh waktu pengempaan ke-j ταiβj = pengaruh interaksi antara jumlah lapisan ke-i dan waktu
pengempaan ke-j εijk = galat dari perlakuan jumlah lapisan ke-i, waktu
pengempaan ke-jdan ulangan ke-k i = perlakuan jumlah lapisan (2 lapisan dan 4 lapisan) j = perlakuan waktu pengempaan (24 jam, 48 jam, 72 jam ) k = ulangan (ulangan ke-1, ke-2, dan ke-3)
Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang diberikan, maka dilakukan analisis keragaman (ANOVA). Jika Fhitung > FTabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka jumlah lapisan dan waktu pengempaan berpengaruh nyata terhadap sifat fisis dan mekanis laminasi bambu betung yang diuji. Bila Fhitung > Ftabel maka selanjutnya akan dilakukan uji lanjutan menggunakan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).
Universitas Sumatera Utara

Secara singkat bagan alir penelitian disajikan pada gambar Gambar 8. Penebangan bambu
Proses cutting atau pemotongan bambu sepanjang 30 cm Proses splitting atau pembelahan bambu menjadi bilah-bilah
dengan jumlah 4-6 bilah (lebar ± 4-5 cm)
Pengeringan bambu hingga mencapai KA ±15 %
Pembuatan bilah bambu dengan ukuran 30 x 2,5 x 0,9 cm sebanyak 72 buah (untuk 2 lapisan); dan ukuran 30 x 2,5 x 0,45 cm sebanyak 144 buah (untuk 4 lapisan)
Pembuatan laminasi bambu menggunakan perekat PVAc, dengan berat labur 360 g/m2
Pengempaan dingin selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam dengan tekanan maksimal
Conditioning selama 1 minggu
Pemotongan contoh uji
Penyerutan dan pengampelasan

Proses pengujian sifat fisis, yaitu kadar air, daya serap air, dan delaminasi dengan
standart JAS SE-7-2003 for Flooring dan

Proses pengujian sifat mekanis, yaitu MOE, MOR, dan KRP menggunakan UTM dengan standart JAS SE-7-2003 for

Gambar 8. Bagan Alir (Flow Chart) Penelitian
Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisis Papan Laminasi Bambu Betung Pengujian sifat fisis yang telah dilakukan menghasilkan data seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rata-rata hasil pengujian sifat fisis papan laminasi bambu betung

Jumlah Lapisan

Lama Pengempaan

Nilai KA (%)

Nilai DSA (%)

Nilai Delaminasi
(%)

24 jam

12,20 28 66,47

2 Lapisan

48 jam

12,05

36,74

64,17

72 jam

11,39

35,37

52,24

24 jam

11,78

34,32

44,33

4 Lapisan

48 jam

11,59

36,11

51,47

72 jam

11,90

35,43

55,78

Pengujian Kadar Air (KA) Pengujian kadar air bertujuan untuk mengetahui persentase banyaknya air
yang terkandung dalam papan laminasi bambu betung. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui nilai kadar air yang diperoleh berkisar 11,39% hingga 12,20%. Persentase kadar air papan laminasi bambu betung dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram persentase kadar air papan laminasi bambu betung Universitas Sumatera Utara

Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai kadar air tertinggi terdapat pada sampel 2 lapisan dengan waktu pengempaan selama 24 jam yaitu 12,2%, sedangkan nilai kadar a