Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi Dan Sapi Perah Di Desa Cikahuripan Lembang.

KAJIAN SISTEM USAHATANI TERPADU SERAIWANGI
DAN SAPI PERAH DI DESA CIKAHURIPAN LEMBANG

AMALIA DIENA LISTYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Sistem Usahatani
Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Amalia Diena Listyanti
NIM P052110051

RINGKASAN
AMALIA DIENA LISTYANTI. Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi
dan Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang. Dibimbing oleh SRI MULATSIH
dan SUWARTO.
Kecamatan Lembang merupakan daerah dengan populasi ternak sapi perah
terbanyak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Desa Cikahuripan
merupakan salah satu desa penghasil susu sapi yang masih berpotensi untuk
memproduksi hijauan untuk pakan ternak. Di desa tersebut terdapat Kebun
Percobaan Manoko milik Balai Penelitian Rempah dan Obat yang
mengembangkan tanaman seraiwangi penghasil minyak atsiri. Pada proses untuk
menghasilkan minyak atsiri terdapat limbah penyulingan seraiwangi yang dapat
digunakan untuk pakan ternak sapi perah. Integrasi yang telah dilakukan di KP
Manoko berpotensi untuk dikembangkan di tingkat petani peternak rakyat di Desa
Cikahuripan.
Tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengetahui potensi ekologi tanaman
seraiwangi di Desa Cikahuripan yang dilihat dari kesesuaian tanah dan kualitas
pupuk organik dari kotoran ternak sapi perah, (2) mengetahui sistem usahaternak

sapi perah di Desa Cikahuripan, serta (3) menentukan skala ekonomi usahatani
terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan.
Studi dilaksanakan pada April hingga Oktober 2014. Responden berasal
dari pengelola dan staf Kebun Percobaan Manoko (KP Manoko) serta peternak
rakyat. Metode analisis untuk aspek ekologi tanaman seraiwangi dan sistem
usahaternak sapi perah adalah dengan analisis deskriptif, sementara skala
usahatani terpadu usaha seraiwangi dan sapi perah menggunakan analisis sistem
dinamik dengan program STELLA 9.0.2. Usahatani terpadu sejalan dengan
konsep Low External Input Sustainability (LEISA) yang mengacu pada
pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal dengan mengombinasikan
komponen-komponen sistem usahatani.
Tanaman seraiwangi dapat tumbuh baik di KP Manoko. Berdasarkan
kandungan hara makro pada sampel diketahui bahwa kandungan hara tanah, lahan
di Desa Cikahuripan sesuai untuk ditanami seraiwangi dengan metode budidaya
seperti di KP Manoko yang hanya menggunakan pupuk organik dari kotoran sapi
perah. Kandungan pupuk kandang sampel menunjukkan bahwa pupuk kandang di
Desa Cikahuripan memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat.
Usahaternak sapi perah rakyat dijalankan secara turun-temurun dengan
metode tradisional di tingkat rumah tangga. Mayoritas kepemilikan ternak adalah
3−5 ekor. Usahaternak sapi perah di KP Manoko menggunakan metode yang

hampir sama. Pakan hijauan yang digunakan di KP Manoko adalah limbah
seraiwangi dari kegiatan penyulingan. Penggunaan limbah seraiwangi sebagai
salah satu sumber pakan sapi perah tidak memberi dampak yang negatif bagi
produksi susu. Kandungan gizinya relatif cukup baik, dengan serat kasarnya yang
lebih rendah dibandingkan jerami dan rumput gajah.
Kotoran ternak berupa feses digunakan sebagai sumber biogas yang akan
menghasilkan pupuk kandang sebagai hasil sampingannya. Pupuk kandang

vi
tersebut digunakan untuk lahan seraiwangi. Pupuk kandang yang dihasilkan dari
alat penghasil biogas adalah sekitar 40% dari total kotoran ternak yang dihasilkan.
Penilaian kelayakan secara ekonomi didasarkan pada kebutuhan rumah
tangga minimum bulanan, sementara kelayakan secara ekologi berdasarkan
jumlah limbah seraiwangi yang dapat memenuhi kebutuhan sapi perah serta suplai
pupuk kandang untuk lahan seraiwangi. Berdasarkan penghitungan skala usaha
ekonomi usaha berdasarkan model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
rakyat, skala usaha yang layak secara ekonomi dan ekologi adalah dengan luas
minimum lahan tanaman seraiwangi seluas 3 000 m2 dan kepemilikan sapi perah
sebanyak 3 ekor. Jika sumber hijauan untuk ternak hanya berupa seraiwangi,
setiap ekor sapi perah membutuhkan pakan hijauan yang setara dengan lahan

seraiwangi seluas 2 667 m2. Kelayakan ekonominya baru dapat dipenuhi dengan
sapi sejumlah 3 ekor dan luas lahan seluas 8 000 m2.
Usahatani seraiwangi tidak menggunakan pupuk dan pestisida buatan.
Tanaman seraiwangi juga baik digunakan sebagai tanaman konservasi. Dengan
pemanfaatan limbah seraiwangi untuk pakan ternak, peternak tidak tergantung
dengan pakan hijauan dari luar. Usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
memiliki nilai positif karena meminimalisir pencemaran lingkungan dan
mengurangi ketergantungan input dari luar. Hal tersebut sesuai dengan konsep
LEISA yang memaksimalkan daur ulang dan mengurangi kerusakan lingkungan,
sehingga usahatani terpadu tersebut dapat menjadi usahatani yang lebih
berkelanjutan.
Kata kunci: limbah seraiwangi, pakan sapi perah, usahatani terpadu, model

SUMMARY
AMALIA DIENA LISTYANTI. Integrated Farming System of Lemongrass and
Dairy Cattle Study in Cikahuripan Village Lembang. Supervised by SRI
MULATSIH and SUWARTO.
Lembang District is an area with the highest population of dairy cattle in
West Bandung Regency, West Java Province. Cikahuripan Village is a dairy
cattle-producing village that still has the potential to produce dairy cattle feed

grass. In Cikahuripan Village, there is Manoko Agricultural Experimental Station
owned by Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute, develops the
lemongrass plant producing essential oils. Lemongrass wastes from distillery can
be used to feed dairy cattle. The integration which has been done there potentially
to develop at the micro scale dairy farmer’s level.
The purpose of this research is: (1) to know ecological potency of
lemongrass based on soil suitability and dairy cattle feces quality, (2) to know the
dairy cattle system in Cikahuripan Village, and (3) to determine the micro
economic scale of integrated farming of lemongrass and dairy cattle in
Cikahuripan Village.
This study was conducted in April to October 2014. The respondents are
from Manoko Agricultural Experimental Station’s manager and staffs and also 30
micro scale dairy farmers. The method of data analysis for the ecological aspect
and dairy farming system is descriptive analysis, while integrated farming of
lemongrass and dairy cattle farmings’s economic scale is calculated by using
dynamic system approach with STELLA 9.0.2 program. Integrated farming is in
line with Low External Input Sustainability (LEISA) concept, refers to the
utilization of local resources optimally by combining the components of farming
systems.
Lemongrass can grow well at Manoko Agricultural Experimental Station.

Based on sample’s soil nutrient content, Cikahuripan Village’s land area can be
planted with lemongrass suitably by the same method at Manoko Agricultural
Experimental Station which only uses dairy cattle’s organic fertilizer. The nutrient
contents of samples’ organic fertilizer prove that organic fertilizer from
Cikahuripan Village fulfils technical requirements of solid organic fertilizer.
Micro scale dairy farming operates hereditarily using traditional method at
the household level. The majority of dairy cattle ownership is 3−5 heads. Dairy
cattle farming at Manoko Agricultural Experimental Station use almost similar
method. Forage supplied for dairy cattle is lemongrass waste from lemongrass
distillation. The using of lemongrass waste does not give negative impact to milk
production. Lemongrass waste nutrition is relatively good, with raw fibre which is
lower than hay and cane grass.
Dairy cattle feces is used as biogas resource that will produce organic
fertilizer as a side output. The amount of fertilizer from the biogas maker is 40%
of total cattle feces put in the tool.
Economical assessment based on the minimum amount of household
needs, while ecologically assessment based on the amount of lemongrass waste to
feed dairy cattle as a green feed source and also the amount of dairy cattle feces as

viii

an organic fertilizer basic material for lemongrass plantation. The micro economic
scale of integrated farming that economically and ecologically feasible of
lemongrass and dairy cattle are minimum land area measuring 3 000 m2 of
lemongrass and 3 heads of dairy cattle. If the forage source for dairy cattle is
lemongrass waste only without another input such as grass, dairy cattle needs
forage that equal with 2 667 m2 of lemongrass areal. The micro economic scale of
integrated farming that economically and ecologically feasible of lemongrass and
dairy cattle are minimum land area measuring 8 000 m2 of lemongrass and 3
heads of dairy cattle.
Lemongrass farming does not use chemical fertilizers and pesticides.
Lemongrass is also can be used well as a conservation plant. Lemongrass waste
usage for dairy cattle makes farmers are not dependent on the external input.
Integrated farming of lemongrass and dairy cattle has positive values because it
minimize pollution and lessen external input dependence. That is in line with
LEISA concept which maximise recycle and reduce the environmental damage, so
that integrated farming can become a more sustainable farming.
Keywords: lemongrass waste, dairy cattle feed, integrated farming, model

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN SISTEM USAHATANI TERPADU SERAIWANGI
DAN SAPI PERAH DI DESA CIKAHURIPAN LEMBANG

AMALIA DIENA LISTYANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Hariyadi, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah
pertanian terpadu, dengan judul Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi dan
Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Mulatsih serta Bapak
Dr Ir Suwarto yang telah membimbing selama proses penelitian dan penyusunan
tesis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Hariyadi sebagai komisi
penguji luar pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Ketua Program Studi Prof Dr Ir Cecep Kusmana dan Sekretaris Program Magister
Dr Ir Lailan Syaufina, serta kepada seluruh dosen dan staf di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ir Dedi Suheryadi

beserta staf dari KP Manoko Desa Cikahuripan Lembang serta petani peternak di
Desa Cikahuripan Lembang yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Amalia Diena Listyanti

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xviii

DAFTAR GAMBAR

xviii


DAFTAR LAMPIRAN

xix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat

1
1
2
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sektor Pertanian di Indonesia
Potensi Seraiwangi
Budidaya Seraiwangi
Usahaternak Sapi Perah
Pertanian dengan Penggunaan Input Luar Rendah
Pertanian Berkelanjutan

4
4
5
6
7
8
8

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

9
9
9
9
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Cikahuripan
Potensi Ekologi Tanaman Seraiwangi
Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Seraiwangi
Kualitas Pupuk Organik dari Limbah Kotoran Ternak
Sistem Usahaternak Sapi Perah di Desa Cikahuripan
Usahaternak Sapi Perah Rakyat
Usahaternak Sapi Perah di KP Manoko
Skala Ekonomi Usaha Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah Rakyat
Penerapan Integrasi Tanaman Seraiwangi dan Ternak Sapi Perah
di Desa Cikahuripan

13
13
13
14
15
18
18
20
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

31
31
32

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

41

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tahun 2009−2013
Hasil analisis sampel tanah di Desa Cikahuripan
Hasil analisis sampel pupuk kandang di Desa Cikahuripan
Hasil analisis sampel feses sapi perah di Desa Cikahuripan
Hasil analisis sampel urin sapi perah di Desa Cikahuripan
Kepemilikan lahan pertanian dan sapi perah responden peternak rakyat
Kebutuhan minimum rumah tangga peternak
Potensi keuntungan penggunaan biogas di KP Manoko
Perbandingan kandungan gizi limbah seraiwangi, rumput gajah, dan
jerami
Komponen data teknis usahatani seraiwangi
Komponen data teknis usahaternak rakyat
Kelayakan ekonomi usahatani seraiwangi parsial dengan lahan milik
sendiri dan lahan sewa
Kelayakan ekonomi usahatani sapi perah parsial dengan hijauan rumput
gajah dan campuran rumput gajah dan jerami
Kelayakan ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
Kelayakan ekologi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
Usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah yang layak secara ekonomi
dan ekologi

5
15
16
17
17
19
20
21
21
22
22
24
25
27
27
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Ilustrasi kerangka pemikiran
3
Lokasi penelitian
10
Komponen analisis usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
12
Diagram input-output usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
12
Model usahatani seraiwangi parsial
23
Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput)
25
Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput dan jerami)
25
Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat (hijauan limbah
seraiwangi)
26
9 Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat (hijauan limbah
seraiwangi dan rumput gajah)
27
10 Budidaya sayuran pada lahan-lahan miring di Desa Cikahuripan
30

xix

DAFTAR LAMPIRAN
1 Keterangan rumus persamaan dalam model usahatani seraiwangi dan
sapi perah
2 Foto usahatani seraiwangi di Kebun Percobaan Manoko Desa
Cikahuripan
3 Foto usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan

35
39
40

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia yang terletak di khatulistiwa mendapat sinar matahari yang
cukup untuk mengembangkan sektor pertanian. Kondisi agroklimatnya pun relatif
baik sehingga kondisi lahan relatif subur. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan produksi pertanian yang dapat
menunjang industri, meningkatkan ekspor, sekaligus menjaga kelestarian
sumberdaya alam dan lingkungan (Soekartawi 2005). Peluang tersebut harus
dimanfaatkan dengan pengembangan dan peningkatan sektor pertanian termasuk
subsektornya, seperti subsektor peternakan dan perkebunan.
Salah satu bagian dari subsektor peternakan yang berpotensi untuk
dikembangkan di Indonesia adalah peternakan sapi perah. Upaya pengembangan
tersebut guna memenuhi peningkatan kebutuhan susu sapi dalam negeri.
Berdasarkan data Ditjennak (2014b), pemasok lokal hanya dapat memenuhi
sekitar 27 persen total kebutuhan susu nasional. Kendala pemenuhan pasokan susu
nasional tersebut terkait dengan sistem produksi usahaternak sapi perah yang
umumnya masih dilakukan secara tradisional dengan skala kecil serta penurunan
jumlah sapi perah.
Berdasarkan data, pada tahun 2013, populasi sapi perah di Indonesia
menurun, yaitu berkurang dari sekitar 611 ribu ekor menjadi sekitar 444 ribu ekor.
Pada tahun 2014, pemerintah berupaya meningkatkan kembali populasi sapi perah
nasional, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 21 persen. Populasi sapi perah di
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 sekitar 103 ribu ekor atau 23,4 persen dari
populasi sapi perah di Indonesia (Ditjennak 2014a).
Upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan sapi perah untuk
memenuhi pasokan susu akan meningkatkan kebutuhan pakan ternak. Masalah
dari pasokan pakan adalah terbatasnya lahan untuk memproduksi hijauan pakan
ternak tersebut (Zahra 2012). Pada usaha peternakan, lahan menjadi faktor
produksi utama untuk kandang dan sumber pakannya. Peningkatan perubahan
fungsi lahan menjadi permukiman semakin mengurangi luasan lahan untuk
ditanami hijauan pakan ternak.
Lembang merupakan daerah dengan populasi ternak sapi perah terbanyak
di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Jumlah ternak sapi perah di
Lembang sudah melebihi daya dukung sumber pakan yang ada (Zahra 2012).
Keterbatasan pasokan tersebut mengharuskan peternak membeli hijauan ternak di
luar daerah Lembang. Berdasarkan penelitian Zahra (2012), di Lembang terdapat
beberapa desa yang berpotensi dikembangkan untuk memproduksi hijauan
sebagai pakan ternak, antara lain di Desa Suntenjaya, Cibodas, dan Cikahuripan.
Desa Cikahuripan merupakan salah satu desa penghasil susu sapi di
Kecamatan Lembang. Di desa tersebut terdapat Kebun Percobaan Manoko (KP
Manoko) milik Balai Penelitian Tanaman Aromatik (Balittro) yang
mengembangkan tanaman seraiwangi (Cymbopogon nardus L). Seraiwangi adalah
salah satu tanaman utama penghasil minyak atsiri. Komponen utamanya ialah
sitronela dan geraniol yang menjadi standar mutu minyak seraiwangi. Minyak,
komponen utama, serta turunan dari seraiwangi banyak digunakan dalam industri

2
kosmetik, parfum, sabun, dan farmasi (Balittro 2010). Minyak seraiwangi juga
dapat digunakan sebagai insektisida, antibakteri, antijamur, serta hama dan jamur
kontaminan lainnya (Sukamto & Djazuli 2011).
Pada proses untuk menghasilkan minyak atsiri terdapat limbah
penyulingan seraiwangi yang dapat digunakan untuk pakan ternak sapi perah
(Sukamto et al. 2011). Secara umum limbah seraiwangi lebih baik kualitasnya
dibandingkan dengan jerami, sedangkan jika dibandingkan dengan rumput gajah,
kualitas seraiwangi lebih baik pada kandungan serat kasarnya yang lebih rendah
(Sukamto & Djazuli 2011). Secara umum seraiwangi relatif mudah
dibudidayakan. Seraiwangi dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi
1 200 m dpl pada berbagai tipe tanah (Daswir & Kusuma 2006).
Dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, diperlukan pengembangan
diversifikasi pertanian yang lebih terarah. Pengembangan diversifikasi pertanian
tersebut dapat dilakukan melalui keterpaduan subsektor pertanian (Dillon 2009).
Keterpaduan misalnya antara subsektor perkebunan dan peternakan, yaitu
tanaman seraiwangi dan ternak sapi perah. Integrasi peternakan dan pertanian
melalui penyediaan pakan sapi dalam bentuk hijauan dan konsentrat dengan
kuantitas serta kualitas yang memadai, mendukung usaha-usaha pengembangan
peternakan sapi perah dalam negeri yang berkelanjutan (Saragih 2010).
Sebaliknya, limbah yang berasal dari sapi perah dapat menjadi pupuk bagi
tanaman seraiwangi.

Kerangka Pemikiran
Di daerah Lembang, dengan ketinggian sekitar 1 200 m di atas permukaan
laut, tanaman seraiwangi masih dapat berproduksi. Daerah Lembang juga
merupakan daerah peternakan sapi perah sejak sekitar tahun 1900, yang semuanya
merupakan rumpun sapi Fries Holland (FH) murni, berasal dari Belanda. Sapi FH
unggul yang diimpor tersebut dapat memproduksi susu dengan jumlah yang
hampir sama dengan negara asalnya (Subandriyo & Adiarto 2009).
Limbah yang berasal dari peternakan sapi perah berpotensi untuk
mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik, seperti langsung dialirkan
ke sungai atau ditimbun di tempat terbuka. Meskipun berpotensi mencemari,
limbah dari kotoran ternak juga memiliki manfaat. Jika diolah menjadi pupuk,
pupuk tersebut dapat memperbaiki kualitas tanah di lahan pertanian atau lahan
perkebunan. Lahan pertanian atau perkebunan tersebut memiliki potensi sebagai
sumber hijauan bagi ternak. Jadi, dengan pola integrasi, antara usahatani dan
usahaternak diharapkan dapat saling memberi pengaruh positif.
Di lokasi penelitian, KP Manoko, Desa Cikahuripan, usahatani yang
dikembangkan adalah kebun seraiwangi dan ternak sapi perah. Daun seraiwangi
yang telah disuling digunakan sebagai pakan ternak sapi perah. Limbah kotoran
ternak yang dihasilkan diolah menjadi biogas untuk kompor rumah tangga. Dari
proses tersebut, limbah ternak akan menjadi pupuk kandang yang dapat
dimanfaatkan kembali untuk lahan perkebunan seraiwangi. Jadi, di dalam sistem
usaha tersebut ada proses daur ulang yang berjalan.
Di Desa Cikahuripan banyak terdapat peternak sapi perah tradisional.
Sebagian dari peternak tersebut telah menggunakan instalasi biogas untuk

3
pengelolaan limbah ternak mereka. Usahatani yang menggunakan komponen
sistem yang ada dengan penggunaan input luar rendah atau Low External Input
Sustainability (LEISA) termasuk dalam upaya mendukung pertanian yang
berkelanjutan. Kajian tersebut ditelaah melalui nilai ekonomi serta manfaat
lingkungan dan sosial dalam usahatani terpadu yang ramah lingkungan. Kerangka
pemikiran kajian pemanfaatan limbah dalam usahatani tersebut disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi kerangka pemikiran

Perumusan Masalah
Pengembangan subsektor peternakan, termasuk sapi perah membutuhkan
adanya pasokan pakan bagi ternak tersebut. Peningkatan populasi ternak sapi
perah berpotensi meningkatkan limbah kotoran ternak. Dengan sistem integrasi
dengan pola nirlimbah, sistem usahatani tersebut akan menjadi ramah lingkungan
dan menjadi lebih menguntungkan secara ekonomi. Limbah yang dapat diolah
menjadi tidak berbahaya dari unit usaha yang satu dapat menjadi input bagi unit
usaha yang lainnya.
Konsep LEISA dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan
kerusakan lingkungan bertujuan pada produksi usahatani yang stabil hingga
jangka panjang (Reijntjes et al. 1999). Sesuai konsep LEISA, sistem usahatani

4
terpadu yang ideal adalah jika kegiatan usaha tersebut tetap ramah lingkungan,
menguntungkan, serta mudah pelaksanaannya, tidak hanya untuk saat ini, namun
juga di waktu mendatang.
Integrasi yang telah dilakukan di KP Manoko berpotensi untuk
dikembangkan di tingkat petani peternak rakyat di Desa Cikahuripan. Melalui
integrasi seraiwangi dengan peternakan sapi perah, petani peternak dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya dengan mengusahakan lahan
yang terbatas.
Terkait hal tersebut, beberapa pertanyaan yang harus dijawab adalah:
1. Bagaimana potensi ekologi tanaman seraiwangi di Desa Cikahuripan?
2. Bagaimana sistem usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan?
3. Bagaimana menentukan skala usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
rakyat di Desa Cikahuripan?

Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:
1. Mengetahui potensi ekologi tanaman seraiwangi di Desa Cikahuripan yang
dilihat dari kesesuaian tanah dan kualitas pupuk organik dari kotoran ternak
sapi perah.
2. Mengetahui sistem usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan.
3. Menentukan skala ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
rakyat di Desa Cikahuripan.

Manfaat
Manfaat penelitian yang dilakukan yaitu penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan dalam pengembangan usahatani terpadu di perdesaan,
khususnya di Desa Cikahuripan. Dengan konsep keterpaduan diharapkan
usahatani masyarakat desa menjadi lebih berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sektor Pertanian di Indonesia
Pertanian tidak hanya dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan manusia,
namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu
bangsa (Anwar 2005). Sektor pertanian memberikan manfaat yang sangat luas
baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan (Irawan 2005). Pertanian tidak
semata-mata menyangkut aspek perdagangan seperti yang terjadi di negara maju
(Khudori 2004).
Pembahasan awal teori pembangunan adalah mengenai ”Teori
Pertumbuhan”, yaitu pandangan ekonomi ortodok yang melihat pembangunan

5
semata sebagai pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan standar kehidupan
yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (Syahyuti 2006). Melalui
standar tersebut, kita dapat melihat kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
nasional. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB cenderung menunjukkan
sedikit penurunan dari tahun ke tahun (Tabel 1).
Tabel 1 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tahun 2009−2013
Pertanian
Pertanian Sempit
Tanaman Bahan Makanan
Tanaman Perkebunan
Peternakan dan Hasil-hasilnya

2009
15,29
11,33
7,48
1,99
1,87

2010
15,29
11,44
7,48
2,11
1,85

Tahun
2011
14,71
10,96
7,14
2,07
1,74

2012
14,50
10,73
6,99
1,98
1,77

2013
14,43
10,59
6,85
1,93
1,82

Sumber: Pusdatin (2014)

Potensi Seraiwangi
Pertanian yang khas seperti jenis tanaman perkebunan tertentu mampu
segera bangkit setelah krisis (Saragih 2009). Indonesia sebaiknya
mengembangkan agroindustri yang berbasis tropis, seperti pangan dan pakan,
serat alam, biofarmasi (obat, pestisida, antibiotik, produk kecantikan, energi
nabati, dan industri floris (tanaman hias). Indonesia berpeluang untuk unggul
secara internasional karena didukung keunggulan komparatif yang tidak banyak
dimiliki oleh negara yang lain (Saragih 2010). Terkait dengan keunggulan
komparatif Indonesia dalam ketersediaan bahan baku, industri minyak atsiri
berpotensi untuk dikembangkan. Peningkatan kebutuhan dunia akan seraiwangi
menjadi peluang Indonesia untuk mengembangkan produknya.
Sebelum Perang Dunia II, jumlah minyak sitronela yang diekspor oleh
Indonesia sangat tinggi. Minyak sitronela dari Indonesia sangat terkenal,
khususnya yang berasal dari Pulau Jawa, sehingga dikenal dengan ‘Java
Citronella Oil’. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak
menghasilkan minyak sitronela. Penurunan volume ekspor disebabkan oleh mutu
minyak sitronela yang semakin berkurang (Isdijoso & Samsuri 1975). Penurunan
ekspor juga disebabkan semakin berkurangnya produksi minyak sitronela atau
minyak seraiwangi, padahal kebutuhan pasar meningkat sebesar 3−5% per tahun
(Daswir & Kusuma 2006).
Produksi seraiwangi dipengaruhi secara nyata oleh penggunaan varietas
yang unggul. Produksi varietas unggul lebih baik secara kuantitas. Hal tersebut
tentunya terkait dengan pendapatan yang dapat diperoleh. Pendapatan diperoleh
lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan varietas lokal (Damanik 2007).
Berdasarkan data produksi tahun 2009−2013, jumlah produksi daun dari
perkebunan rakyat seraiwangi meningkat, yaitu dari sekitar 1 700 ton tahun-1
menjadi 2 500 ton tahun-1 (BPS 2014).
Minyak yang dihasilkan dari tanaman seraiwangi dapat digunakan sebagai
insektisida, antibakteri, dan antijamur alami. Dari beberapa penelitian,
penggunaan seraiwangi bisa menjadi alternatif untuk mengendalikan vektor
nyamuk penyebab demah berdarah (Nerio et al. 2009; Ulfah et al. 2009). World

6
Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya 40% dari total penduduk di
seluruh dunia beresiko terinfeksi demam berdarah (Kusumawardani & Achmadi).
Permasalahan tersebut membuka peluang untuk pengembangan pengendali
nyamuk Aedes aegypti yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan kimia dalam
waktu yang terus-menerus akan semakin mencemari lingkungan dan membuat
nyamuk menjadi semakin resisten.
Minyak seraiwangi juga dapat mencegah lalat pada pengolahan ikan
(Fardaniyah 2007), serta mengendalikan hama pada produk hortikultur seperti
cabai (Setiawati et al. 2011). Seraiwangi berpotensi untuk dikembangkan sebagai
insektisida alami karena relatif mudah diperoleh, mudah dibudidayakan, serta
mudah terurai. Minyak seraiwangi dapat menjadi bagian pengendalian hama tanpa
merusak kualitas hasil panen atau buah (Setiawati et al. 2011; Ulfah et al. 2009).
Minyak seraiwangi juga memiliki kegunaan sebagai bahan bioaditif bahan bakar
minyak (BBM) kendaraan bermotor. Dengan bioaditif tersebut, penghematan
BBM mencapai 15−40% dan kadar emisi yang dihasilkan kendaraan tersebut juga
menjadi lebih rendah (Balittro 2010).
Tanaman seraiwangi berpotensi sebagai tanaman konservasi. Seraiwangi
dapat ditanam di lahan-lahan kritis dengan kemiringan >30% untuk mengurangi
tingkat erosi tanah dan volum aliran permukaan pada saat hujan (Daswir 2010).
Limbah seraiwangi juga memiliki potensi sebagai pakan ternak (Sukamto &
Djazuli 2011).

Budidaya Seraiwangi
Seraiwangi (Andropogon nardus L.) adalah tanaman sejenis rumput yang
termasuk dalam famili Gramineae. Penyulingan daun seraiwangi akan
menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak sitronela. Tanaman
seraiwangi mudah tumbuh di hampir semua jenis tanah di dataran rendah hingga
ketinggian 4 000 mdpl, namun tanaman tersebut tumbuh optimal di tanah dengan
jenis andosol, latosol, regosol, podsolik, dan kambisol pada ketinggian maksimal
sekitar 1 200 mdpl (Ditjenbun & Balittro 2010). Tanaman seraiwangi
membutuhkan iklim yang lembab, sehingga pertumbuhannya menjadi agak lambat
di musim kemarau (Isdijoso & Samsuri 1975; Daswir & Kusuma 2006).
Tanaman seraiwangi yang dibudidayakan oleh rakyat di Indonesia terdiri
dari dua klon, yaitu jenis Maha Pengiri dan Lena Batu. Kementerian Perindustrian
menentukan syarat mutu minyak sitronela dan Balittro Bogor telah menghasilkan
4 klon yang memenuhi syarat mutu tersebut, yaitu G1, G2, G3, dan G113 yang
berasal dari klon Maha Pengiri. Seluruh klon yang dihasilkan tersebut dilepas oleh
Menteri Pertanian pada tahun 1992, dengan nama Seraiwangi 1, Seraiwangi 2,
Seraiwangi 3, dan Seraiwangi 4. Rata-rata rendemen minyak 1,01% dengan
produksi minyak melebihi 450 kg ha-1 tahun-1 (Daswir & Kusuma 2006).
Lebih jauh menurut Daswir dan Kusuma, usia produktif tanaman
seraiwangi jika ditanam sebagai tanaman sela hanya sekitar 5 tahun, namun
seraiwangi dapat tumbuh lebih lama lagi jika bukan sebagai tanaman sela.
Tanaman seraiwangi ditanam dengan jarak 1 m x 1 m, lubang tanam berukuran
sekitar 30 cm x 30 cm x 30 cm, dan dengan sistem parit. Jika lahan memiliki

7
kemiringan lebih dari 30o dan curah hujan 3 500 mm tahun-1, sebaiknya
seraiwangi ditanam dengan metode terasering.
Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan agar dapat tumbuh
cepat. Kegiatan utama pemeliharaan pada tanaman seraiwangi ialah penyulaman,
penyiangan, penggemburan, pembumbunan, dan pemupukan. Sampat saat ini
belum ditemukan hama dan penyakit berbahaya yang menyerang tanaman
seraiwangi. Kegiatan panen pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 6
bulan. Daun yang dipanen kemudian dibawa ke penyulingan. Sebelum dilakukan
penyulingan, cara yang ideal adalah menjemur daun selama 3−4 jam atau
menyimpan di tempat teduh selama 3−4 hari (Daswir & Kusuma 2006).

Usahaternak Sapi Perah
Pada umumnya, sistem produksi usaha peternakan sapi perah di Indonesia
dilakukan oleh rakyat secara tradisional dengan skala yang relatif tidak besar.
Berdasarkan data tahun 2013, populasi sapi perah yang ada di Indonesia adalah
444 266 ekor, dengan 98,5 persen yang tersebar di Pulau Jawa. Jumlah sapi perah
di Jawa Barat sekitar 103 794 ekor atau 23,4 persen dari seluruh populasi sapi
perah di Indonesia (Ditjennak 2014a).
Berdasarkan fakta yang ada, jumlah produk susu sapi yang dihasilkan oleh
peternakan lokal di Indonesia masih kurang. Pemenuhan produk susu sapi masih
didominasi oleh impor. Dari data Ditjennak (2014b), kemampuan pemasok lokal
baru mencapai sekitar 27 persen dari total kebutuhan susu nasional. Hingga saat
ini, pemerintah terus mendorong peningkatan usaha peternakan sapi perah dalam
negeri guna memenuhi kebutuhan susu nasional yang terus meningkat.
Peningkatan produksi dalam negeri tersebut tentunya harus
memperhatikan hal-hal lain yang terkait. Di dalam kegiatan produksi, hasil akhir
produk umumnya disertai dengan limbah, termasuk di dalam usaha peternakan
sapi perah. Limbah yang dihasilkan oleh sapi perah terdiri dari limbah padat dan
limbah cair. Limbah padat tersebut berupa feses dan sisa pakan. Limbah cair
berupa urin sapi, air limbah pencucian kandang, dan air limbah sanitasi ternak.
Setiap harinya, rata-rata limbah padat berupa feses yang dihasilkan oleh satu ekor
sapi perah setiap hari adalah sekitar 10 kg (Nugraha 2006).
Limbah ternak adalah hasil buangan metabolisme atau feses yang
terkadang bercampur dengan urin (Sahidu 1983). Limbah ternak merupakan salah
satu sumber pupuk organik. Pupuk organik mempunyai manfaat-manfaat di
antaranya sebagai pembenah tanah yang baik. Pemberian pupuk organik tersebut
di antaranya dapat memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan kemampuan
tanah dalam mengikat air. Di samping itu, kandungan hara dalam pupuk organik
rendah sehingga pemakaian menjadi lebih banyak. Pupuk organik lambat dalam
menyediakan unsur hara. Hal tersebut menjadi kekurangan sekaligus kelebihan
pupuk organik. Kandungan hara mikro dalam pupuk organik cukup besar,
sementara itu bahan organik akan melepas nitrogen dan unsur hara lain dengan
perlahan melalui proses mineralisasi. Jika ditambahkan secara berkesinambungan,
pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah (Sutanto 2002).
Biogas merupakan gas yang dilepas jika bahan organik difermentasi atau
mengalami metanisasi. Gas-gas penyusunnya terdiri dari campuran metana

8
(50−75%), CO2 (25−45%), serta sejumlah kecil H2, N2, dan H2S. Biogas yang
ramah lingkungan tersebut dapat menjadi sumber energi alternatif khususnya di
area-area dengan sumber limbah organik yang dapat mencemari lingkungan.
Limbah ternak berupa feses dan urin cocok untuk sistem biogas sederhana, karena
bahan organiknya homogen (Hambali et al. 2008).
Pembuatan biogas dari kotoran hewan ternak tersebut akan memberi
berbagai dampak positif, seperti energi alternatif dan sisa fermentasi berupa pupuk
cair dan pupuk kandang padat. Melalui fermentasi, dihasilkan 0,20−0,38 m3 gas
untuk setiap 1 kg bahan organik, serta meninggalkan sekitar 32%−60% C-organik
untuk pupuk organik (Sutanto 2002). Kualitas pupuk organik melalui proses
biogas ini memiliki kelebihan dibandingkan pupuk kandang biasa. Bakteri
patogen dan biji gulma akan mati selama proses pengomposan (Hambali et al.
2008), selain itu, N dan P menjadi lebih tersedia (Sutanto 2002).
Penerapan teknologi biogas juga akan memberikan dampak terhadap
perkembangan peternakan di Indonesia. Populasi ternak akan meningkat seiring
peningkatan jumlah petani peternak. Biogas yang diperoleh untuk memasak
merupakan energi yang lebih bersih, murah, dan tentunya ramah lingkungan.
Anggaran negara untuk subsidi BBM dapat semakin dihemat. Sektor ekonomi
rakyat juga diharapkan menjadi semakin membaik (Hambali et al. 2008)

Pertanian dengan Penggunaan Input Luar Rendah
Pertanian dengan penggunaan input luar rendah atau LEISA mengacu pada
bentuk pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal yang mengombinasikan
komponen-komponen sistem usahatani, seperti tanaman, ternak, ikan, tanah, air,
iklim, dan manusia agar saling melengkapi dan memberi dampak sinergi paling
besar. LEISA juga mengacu pada penggunaan input luar hanya jika diperlukan
atau hanya sebagai pelengkap unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan
juga untuk meningkatkan sumber daya yang telah ada. Mekanisme daur ulang
serta minimalisasi kerusakan lingkungan sebagai perhatian utama metode LEISA
memungkinkan penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari, karena
penggunaan input luar masih diperbolehkan jika keadaan penting, mendesak, dan
tidak ada pilihan lain. Konsep LEISA menjaga toleransi keseimbangan
penggunaan input internal dan eksternal (Reijntjes et al. 1999).
Lebih lanjut menurut Reijntjes et al., LEISA mengandung prinsip-prinsip
ekologi dasar yang di antaranya yaitu, menjamin kondisi tanah yang mendukung
pertumbuhan tanaman, mengoptimalkan ketersediaan unsur hara, meminimalkan
kerugian terkait radiasi matahari, udara, dan air dengan pengelolaan iklim mikro,
pengelolaan air, dan pengendalian erosi, serta meminimalkan serangan hama dan
penyakit pada tanaman.

Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan dapat mengacu pada konsep pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan terkait aspek ekologi, aspek ekonomi,
dan aspek sosial (Rustiadi et al. 2009). Konsep pembangunan berkelanjutan

9
tersebut memperhitungkan kesinambungan aspek penawaran, permintaan, dan
produksi jangka panjang (Saragih 2009). Pertimbangan tersebut menunjukkan
bahwa perlu adanya pengelolaan dalam usahatani agar usaha tersebut tidak hanya
menguntungkan, namun juga memberi pengaruh positif lainnya pada masyarakat.
Masyarakat sangat mengharapkan pembangunan pertanian Indonesia yang
berwawasan lingkungan (Gumbira-Sa’id 2009). Pembangunan tersebut di
antaranya dengan mengembangkan teknologi pertanian ramah lingkungan. Di
dalam usahatani, pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sekaligus melestarikan lingkungan
(Dillon 2009).
Konsep ekoefisiensi dan nirlimbah dalam usahatani ramah lingkungan
berhubungan dengan proses pendaurulangan limbah organik seperti di suatu
usahatani. Beberapa prinsip ekoefisiensi di antaranya yaitu mengurangi bahan
baku dalam proses produksi, mengurangi energi, mengurangi limbah berbahaya,
meningkatkan proses daur ulang, dan memaksimalkan penggunaan sumberdaya
yang dapat diperbaharui secara berkelanjutan. Inti pelaksanaan ekoefisiensi adalah
pada penciptaan nilai tambah dengan cara memenuhi kebutuhan produksi serta
mengurangi dampak terhadap lingkungan (Gumbira-Sa’id 2009). Konsep
ekoefisiensi tersebut akan mendukung pertanian yang berkelanjutan.

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada bulan April hingga Oktober 2014
(Gambar 2).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan di dalam penelitian yaitu pedoman wawancara dan
kuesioner. Alat yang digunakan ialah kamera dan wadah sampel.

Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan metode survei dan wawancara dengan responden yang
ditetapkan secara purposive. Survei awal dilakukan untuk mengetahui gambaran
umum tentang lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui pihak pengelola
KP Manoko, instansi terkait, serta studi pustaka.
Data yang terkait dengan tanaman seraiwangi diambil dari wawancara
dengan key person (kepala kebun, pegawai administrasi, dan pegawai lapang) di
KP Manoko yang melakukan integrasi tanaman seraiwangi dengan peternakan

10
sapi perah. Data yang terkait dengan sapi perah rakyat diambil dari responden
peternak sapi perah di Desa Cikahuripan.

Gambar 2 Lokasi penelitian
Responden ditetapkan berdasarkan pertimbangan tertentu (judgment
sampling) (Suharso 2009), yaitu peternak yang berasal dari 6 Rukun Warga (RW)
yang mayoritas warganya adalah peternak, yaitu RW 01, RW 02, RW 04, RW 05,
RW 08, dan RW 10. Responden dari masing-masing RW ditetapkan sebanyak 5
peternak, sehingga total responden adalah 30 orang.
Pengambilan sampel tanah untuk mengetahui kualitas tanah untuk melihat
kesesuaiannya bagi tanaman seraiwangi dilakukan di 3 lokasi yang mewakili
ketinggian tempat di Desa Cikahuripan, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah.
Pada tiap lokasi diambil sampel tanah dari 3 titik dengan radius sekitar 1 000 m.
Lokasi pengambilan sampel adalah di RW 01 (bagian bawah), RW 02 (bagian
tengah), dan RW 08 (bagian atas). Lokasi pengambilan sampel di RW 02 adalah
di lahan seraiwangi KP Manoko, sementara di RW 01 dan RW 08 adalah lahan
milik petani yang juga sebagai peternak rakyat.
Data primer lain yang diambil yaitu sampel feses, urin, serta pupuk
kandang yang berasal dari alat penghasil biogas. Sampel tersebut berasal dari

11
usahaternak di KP Manoko dan dari 3 peternak rakyat. Seluruh sampel diuji ke
laboratorium agar diperoleh data kandungan hara makro dan mikronya.

Metode Analisis Data
Metode analisis data yang dilakukan adalah dengan analisis deskriptif serta
dengan analisis sistem dinamik. Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan potensi ekologi tanaman seraiwangi serta sistem usahaternak
sapi perah rakyat dan penggunaan limbah seraiwangi sebagai pakan ternak sapi
perah di Desa Cikahuripan. Analisis sistem dinamik untuk menentukan skala
ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat.
Analisis pada usahatani seraiwangi dan usahaternak sapi perah yang
dilakukan meliputi aspek lingkungan dan ekonomi. Pada aspek lingkungan, unsurunsur yang dianalisis ialah kesesuaian tanah dan kualitas pupuk organik dari
kotoran ternak sapi perah untuk budidaya seraiwangi di Desa Cikahuripan. Pada
aspek ekonomi, analisis yang dilakukan ialah analisis sistem usahatani dan
analisis kelayakan hidup keluarga tani. Aspek sosial yang dianalisis adalah
persepsi peternak terkait penerapan integrasi seraiwangi dan sapi perah. Usia
peternak dan tingkat pendidikan peternak digunakan sebagai data pendukung.
Analisis pendapatan usahatani dengan imbangan penerimaan dan biaya
(R/C ratio) dilakukan untuk mengetahui efisiensi kegiatan usahatani. Analisis
tersebut dapat diketahui melalui perbandingan antara total penerimaan pada tiap
usahatani dengan total biaya. Rasio R/C menunjukkan besaran penerimaan bagi
tiap satuan mata uang biaya pada usahatani. Nilai R/C > 1 menunjukkan bahwa
usahatani tersebut menguntungkan. Semakin tinggi nilai R/C, artinya keuntungan
juga semakin besar.
Penilaian usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah yang berkelanjutan
dapat diperoleh dengan pendekatan sistem dinamik. Kriteria kelayakan usahatani
secara ekonomi dan ekologi dilihat sebagai ukuran skala usahatani yang menjadi
alternatif model usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa
Cikahuripan. Skala usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat tersebut
dibuat dengan membuat model integrasi kedua usaha tersebut dengan bantuan
program STELLA 9.0.2. Model sistem dinamik dapat menunjukkan perubahan
dinamis, umpan balik, dan proses lainnya dalam suatu sistem (Fu et al. 2012).
Dengan model integrasi seraiwangi dan sapi perah akan diketahui jumlah
minimum luas lahan untuk seraiwangi dan jumlah ternak sapi perah agar usahatani
terpadu tersebut dapat dikatakan layak secara ekonomi dan layak secara ekologi.
Kelayakan ekonomi dilihat dari income usahatani yang dapat memenuhi
kebutuhan bulanan rumah tangga petani peternak. Kelayakan ekologi dilihat dari
luas minimum lahan seraiwangi yang dapat menyuplai hijauan ternak sapi perah
serta produksi pupuk kandang dari usahaternak sapi perah yang dapat memenuhi
kebutuhan pupuk kandang di lahan seraiwangi.
Pada usahatani terpadu, komponen input pada tiap sub usahatani ada yang
disubstitusi sebagian atau seluruhnya dari limbah sub usahatani yang lain. Pada
sistem usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah, hasil produksi seraiwangi
berupa daun dibawa ke penyulingan yang menggunakan metode sistem rebus
(water destillation). Hasil penyulingan adalah minyak sitronela, salah satu jenis

12
minyak atsiri. Limbah penyulingan berupa daun seraiwangi yang telah direbus
beberapa jam digunakan sebagai pakan ternak sapi perah.
Dari usaha sapi perah, dihasilkan kotoran ternak yang dijadikan sebagai
sumber biogas. Pada proses pembuatan biogas juga akan dihasilkan pupuk
kandang yang dapat digunakan di lahan seraiwangi. Model sistem usahatani
terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat disusun dengan mengikuti sistem
usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah di Kebun Percobaan Manoko, namun
tidak menghitung unit penyulingan serta tidak menghitung biogas yang
dihasilkan. Komponen analisis usahatani terpadu sistem usaha terpadu seraiwangi
dan sapi perah rakyat disajikan pada Gambar 3. Diagram input-output model
sistem usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3 Komponen analisis usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah

Gambar 4 Diagram input-output usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah

13
Diagram input-output pada Gambar 4 menggambarkan hubungan antara
output yang akan diperoleh dengan input yang didasarkan pada analisis kebutuhan
dan formulasi permasalahan. Diagram tersebut disebut juga sebagai diagram kotak
gelap (black box) karena diagram tersebut tidak menerangkan proses yang dialami
input untuk menjadi output yang diinginkan (Hartrisari 2007).
Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah menginginkan output
berupa pendapatan petani peternak yang meningkat, hijauan ternak yang tersedia,
serta lingkungan yang bersih. Jenis input yang terkendali adalah lahan pertanian
dan ternak sapi perah yang dimiliki, hasil produksi usahatani, serta upaya
pengelolaan limbah di usahatani. Manajemen pengendalian pada usahatani
seraiwangi dan sapi perah juga dilakukan guna mengendalikan output yang tidak
diinginkan, seperti berkurangnya luas lahan untuk hijauan, tidak tersedianya
sumber hijauan untuk ternak, pendapatan yang menurun, serta lingkungan yang
tercemar. Input yang tak terkendali adalah perilaku petani peternak serta luas
lahan yang dapat disewa oleh petani peternak rakyat.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Cikahuripan
Desa Cikahuripan terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Barat, dengan koordinat 6o45’33”−6o50’45” LS dan 107o35’30”−107o37’00” BT.
Wilayah Desa Cikahuripan berbatasan dengan areal hutan Perhutani dan
Kabupaten Subang di sebelah utara, Desa Gudang Kahuripan di sebelah selatan,
Desa Jayagiri di sebelah timur, serta Desa Sukajaya di sebelah barat. Luas total
wilayah desa ialah sekitar 749,25 ha. Desa Cikahuripan termasuk ke dalam iklim
basah yang memiliki enam bulan basah dan enam bulan kering. Curah hujan ratarata sekitar 2 700 mm, suhu rata-rata sekitar 19−21 oC, dan kelembaban udara
rata-rata sekitar 80%. Jumlah total penduduk di Desa Cikahuripan berdasarkan
data tahun 2012 adalah 10 578 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 5 529 jiwa
dan perempuan sebanyak 5 049 jiwa. Mayoritas pendidikan masyarakat Desa
Cikahuripan ialah lulusan Sekolah Dasar (37%), lulusan Sekolah Menengah
Pertama (9%), dan lulusan Sekolah Menengah Atas (9%). Mata pencaharian di
Desa Cikahuripan sebagian besar ialah yang berhubungan dengan sektor
pertanian, seperti petani dan peternak.

Potensi Ekologi Tanaman Seraiwangi
Penanaman seraiwangi di KP Manoko (KP Manoko) untuk produksi
dimulai pada tahun 2008, dengan luas lahan sekitar 0,5 ha. Pada tahun-tahun
sebelumnya, sebagian besar lahan di kebun percobaan tersebut disewa oleh
masyarakat untuk menanam sayuran. Hal tersebut menimbulkan masalah karena
pihak penyewa menyewakan lahannya ke pihak ketiga. Pada tahun 2009, tidak ada
lagi lahan yang dapat disewa oleh pihak luar. Pada tahun-tahun berikutnya, luas

14
lahan seraiwangi di KP Manoko berkembang dari 0,5 ha menjadi 12 ha. Pada
sekitar tahun 2011−2012, luas lahan seraiwangi berkurang, terkait lahan yang
dipinjam pakai oleh Sekjen Penguatan Varietas Tanaman dan Perijinan
Kementerian Pertanian untuk dibangun kantor beserta kebun seluas 3 ha. Pada
tahun 2013, luas lahan untuk tanaman seraiwangi di KP Manoko adalah 9 ha,
terbagi menjadi 90 petak.
Tanaman seraiwangi ditanam dengan jarak tanam 1 m x 1 m. Jumlah bibit
per lubang yaitu 1−2 bibit. Seraiwangi diberi pupuk kandang dua kali dalam
setahun pada awal musim tanam. Pemberian pertama sekitar 5 kg per rumpun,
kemudian pemberian kedua sekitar 1−2 kg tiap rumpunnya. Masa produktif
tanaman seraiwangi sekitar 6−10 tahun. Panen dilakukan setiap 3 bulan sekali,
kecuali panen pertama kali yang dilakukan setelah usia tanaman 6 bulan.
Seraiwangi dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi 1 200 m dpl
pada berbagai tipe tanah (Daswir & Kusuma 2006). Berdasarkan jumlah petak
yang ada, setiap harinya daun seraiwangi yang dipanen hanya dari 1 petak saja.
Hasil panen dari tiap petak yaitu minimal sebanyak 700 kg dan maksimal dapat
mencapai 2 000 kg. Rata-rata hasil panen per hari sekitar 1 125 kilogram. Harga
daun seraiwangi segar yaitu Rp500 kg-1 hingga Rp600 kg-1.
Berdasarkan data produksi tersebut, tanaman seraiwangi yang diberi pupuk
kandang dapat tumbuh baik di lahan KP Manoko. Hal tersebut menjadi gambaran
awal bahwa tanaman seraiwangi dapat dibudidayakan pada lahan-lahan di Desa
Cikahuripan. Dengan demikian, potensi ekologi tanaman seraiwangi perlu dikaji
lebih lanjut berdasarkan kesesuaian tanah untuk tanaman seraiwangi serta kualitas
pupuk organik yang berasal dari limbah kotoran ternak.
Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Seraiwangi
Secara umum, Desa Cikahuripan yang terletak di Kecamatan Lembang
memiliki tanah yang relatif subur. Tanah di Lembang merupakan jenis tanah
andosol. Tanah andosol adalah salah satu jenis yang subur, berasal dari erupsi
gunung berapi (Sukarman & Dariah 2014). Jenis tanah tersebut sesuai untuk
pertanian, khususnya tanaman hortikultura dataran tinggi yang diusahakan oleh
para petani di Desa Cikahuripan, seperti sayuran dan bunga potong.
Berdasarkan data tahun 1961 hingga tahun 2008, kandungan C-organik
pada jenis tanah andosol yang subur akan menurun jika digunakan untuk tanaman
hortikultura maupun perkebunan. Kandungan hara tanah sampel dari hasil uji
laboratorium digunakan untuk melihat kandungan hara tanah Desa Cikahuripan
secara keseluruhan. Perbandingan kandungan hara tanah di lahan seraiwangi KP
Manoko (RW 02, bagian tengah) dengan tanah di RW 01 (bagian bawah) dan RW
08 (bagian atas) disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengujian, tanah di KP Manoko serta Desa Cikahuripan
secara umum memiliki pH asam, kandungan C-org tinggi, kandungan N tinggi,
C/N ratio rendah, serta P2O5 yang tinggi. Di KP Manoko nilai Ca dan Na sedang,
serta Mg dan K rendah. Pada 2 lokasi lainnya, hanya nilai Na yang rendah,
sementara nilai Ca, Mg, dan K sedang atau tingg