Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam Pengendalian Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai
POTENSI KITOSAN DAN AGENS ANTAGONIS DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.)
KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ABSTRAK
HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam
Pengendalian Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai. Dibimbing
oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Penyakit karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) merupakan penyakit utama
pada tanaman kedelai yang mampu menurunkan produksi hingga 90%.
Kemampuan penyebaran inokulum yang cepat, adanya inang alternatif, dan
potensi yang tinggi untuk melakukan perubahan yang mengatur virulensi
P.pachyrhizi mengondisikan penyakit ini sulit dikendalikan. Studi ini bertujuan
untuk mengevaluasi potensi kitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis,
dan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. pada dua galur kedelai. Percobaan
dilakukan menggunakan rancangan faktorial acak lengkap (4x2) dengan 3
ulangan. Peubah yang diamati adalah perkembangan tanaman, kejadian penyakit,
dan keparahan penyakit karat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
T.harzianum, B.subtilis, dan kitosan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp.
efektif memiliki keparahan penyakit penyakit yang lebih rendah daripada kontrol
pada kedua galur kedelai. Perlakuan T.harzianum merupakan taktik pengendalian
yang paling efektif dan efisien menghambat penyakit karat dan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tanaman tanpa menimbulkan fitotoksik.
Kata kunci: B.subtilis, kitosan, penyakit karat, Streptomyces sp., T.harzianum.
ABSTRACT
HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potential Uses of Chitosan and Antagonist Agents
in Controlling Soybean Rust Disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Supervised
by MEITY SURADJI SINAGA.
The soybean rust disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.) is the most
important disease of soybean and may cause 90% yield loss. The ability to spread
rapidly, present of alternative hosts, and the rapid changes of P.pachyrhizi
virulence are the causal of the difficulty to control the disease. This study is to
evaluate potential uses of chitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, and
chitosan-Streptomyces sp. combination to control the rust disease in two soybean
lines. The experiments were conducted using a complete randomized factorial
design (4x2) with three replications. Plant developments, disease incidence and
severity of rust infection were observed. The studies have shown that all
treatments have significantly suppressed soybean rust disease incidence and
severity in both soybean lines compared to that of control. The use of
T.harzianum has found the most effective and efficient in suppressing disease
severity and in increasing plant vegetative growth with no phytotoxic effect.
Keywords: B.subtilis, chitosan, rust disease, Streptomyces sp., T.harzianum.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI KITOSAN DAN AGENS ANTAGONIS DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.)
KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi
: Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam Pengendalian
Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai
Nama Mahasiswa: Hagia Sophia Khairani
NIM
: A34100003
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, Msi
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
petunjuknya sehingga usulan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tugas akhir ini akan dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Maret 2014
dengan topik pengendalian penyakit karat pada tanaman kedelai.
Terima kasih penulis ucapkan Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc
selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang banyak memberi
arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir dan
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc sebagai dosen penguji yang memberikan
masukan untuk penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Dr. Ir. Desta Wirnas, M.Si dari Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk
ketersediaan galur kedelai uji, Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc dari Departemen
Agronomi dan Hortikultura yang mengizinkan penggunaan rumah plastik sebagai
area pengujian; dan Dr. Ir. Giyanto, M.Si yang mengizinkan penggunaan isolat
bakteri endofit uji.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Nana, Bapak Milin,
Bapak Saefudin; Bapak Yusuf; Bapak Endang untuk bantuannya dalam
penyediaan benih inokulum, perizinan penggunaan rumah kaca, kegiatan-kegiatan
teknis penyiapan peralatan dan bahan penelitian, dan diskusi; Bapak Dadang
Surachman untuk bantuan dan arahannya pada saat orientasi laboratorium; rekanrekan Laboratorium Mikologi Tumbuhan untuk dukungan, kerjasama, dan
diskusinya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, dan
seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekanrekan Proteksi Tanaman angkatan 47, dan rekan-rekan lain yang banyak
membantu kelancaran studi hingga menyelesaikan program pendidikan S1 dengan
memberikan semangat dan dukungan. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Hagia Sophia Khairani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
BAHAN DAN METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Bahan dan Alat
4
Metode Penelitian
4
Sumber Inokulum Karat
4
Persiapan Agens Antagonis Uji
5
Penyiapan Larutan Kitosan
5
Rancangan Percobaan
5
Pengamatan
6
Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Penyebab Penyakit Karat Kedelai
8
Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit
Karat Kedelai pada Uji In Planta
9
Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan Kitosan
dan Agens Antagonis
17
KESIMPULAN DAN SARAN
19
Kesimpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20
DAFTAR TABEL
1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak
2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST
3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
5 Laju infeksi penyakit karat
6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan
kitosan dan agens antagonis
7 Jumlah tanaman berbunga dan berpolong dengan perlakuan kitosan
dan agens antagonis
7
9
10
12
13
17
18
DAFTAR GAMBAR
1 Gejala karat daun kedelai (makroskopis dan mikroskopis)
2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai perlakuan
pada galur Kresna 15 dan Kresna 8
3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai perlakuan
pada galur Kresna 15 dan Kresna 8
4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik
8
11
12
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Larutan kitosan dan agens antagonis yang digunakan
Kejadian penyakit karat 40 sampai 60 HST
Laju infeksi penyakit karat 40 sampai 60 HST
Keparahan penyakit karat 40 sampai 60 HST
26
26
26
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga di
Indonesia setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai mengalami peningkatan
baik terhadap produk asli maupun produk olahan seperti tahu, tempe, dan kecap.
Produksi kedelai Indonesia hanya memenuhi 35%-40% dari kebutuhan (Sumartini
2010). Berdasarkan data dari BPS (2013), produksi kedelai pada tahun 2012
mengalami penurunan sebesar 0.96% dibandingkan dengan tahun 2011. Pada
tahun 2013, produksi kedelai yang sebelumnya diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 0.47% ternyata mengalami penurunan sebesar 7.47% (BPS
2014). Penurunan produksi kedelai pada tahun 2013 terjadi karena adanya
penuruan produktivitas sebesar 4.65% dan penurunan luas panen sebesar 2.96%.
Kedelai optimal dibudidayakan pada ketinggian tidak lebih tinggi dari 500
mdpl, suhu 23-27 ºC untuk pertumbuhan, dan suhu dan 30 ºC untuk
perkecambahan (Balitkabi 2012). Area produksi mayor kedelai adalah pada
daerah subtropis (Hartman et al. 1999). Budidaya kedelai pada kondisi tropis di
Indonesia mengalami beberapa kendala seperti lahan penanaman kedelai terdesak
ke lahan marginal yang kondisinya kering karena kompetisi dengan padi dan
jagung. Faktor lain yang secara signifikan dapat mempengaruhi produktivitas
kedelai adalah gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT).
Berbagai penyakit tanaman merupakan faktor pembatas yang penting dalam
produksi kedelai, seperti penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopshora
pachyrhizi (Balitkabi 2012). Penyakit ini menyebar di sentra-sentra produksi
kedelai di Indonesia sejak awal tahun 1900-an. Kehilangan hasil akibat penyakit
karat bergantung pada ketahanan varietas yang digunakan. Namun, secara umum
diketahui bahwa penyakit karat mampu menurunkan produksi sebesar 36%-91%
(Sumartini 2010). Patogen ini menyebar dan mengokulasi pada fase uredospora.
Uredospora berukuran 18-34 µm terbentuk di dalam uredium yang berdiameter
25-50 µm. Uredium berkumpul dan terlihat sebagai bercak pustul. Uredospora
berbentuk bulat dan berwarna coklat. Uredospora akan berkembang menjadi
teliospora namun fase ini tidak ditemukan di lapangan (Sumartini 2010). Gejala
penyakit karat kedelai berupa bercak-bercak klorotik kecil berwarna kecoklatan
pada daun dan batang. Bercak daun karat merupakan halangan fisik dari daun
untuk berfotosintesis (Santoso dan Sumarmi 2013).
Secara umum, inokulum patogen karat mudah menyebar dengan bantuan
angin dan hujan pada suhu optimum 25 ºC dan kelembapan udara 80% (Sinaga
dan Wiyono 1997). Penyebab karat kedelai dapat menginfeksi tanaman kedelai
mulai 3-4 MST hingga fase generatif (Sinaga dan Wiyono 2007). Infeksi karat
pada daun dapat menyebabkan daun rontok dan polong kosong. Kerontokan daun
dapat terjadi ketika patogen karat menginfeksi berat pada 40 HST, sedangkan
polong kosong dapat terjadi ketika infeksi karat terjadi pada musim hujan
menjelang fase generatif kedelai (Santosa 2013). Karat merupakan patogen
obligat yang sporanya dapat bertahan pada gulma golongan daun lebar dan 27
jenis tanaman dari famili Fabaceae ketika tidak terdapat tanaman kedelai (Ramlan
dan Nurjanani 2011).
2
Sejak diketahui infeksi patogen karat kedelai berpotensi tinggi menurunkan
hasil, telah dikembangkan beberapa metode untuk pengendaliannya. Pada awal
pengembangan teknologi pengendalian, penggunaan fungisida masih menjadi
pilihan utama. Pengendalian lain yang dilakukan untuk menekan perkembangan
P.pachyrhizi adalah perakitan varietas tahan dengan pemuliaan tanaman namun
belum diperoleh varietas yang tahan karat. Pengendalian dengan fungisida dan
perakitan varietas tahan yang awalnya dianggap efektif, ternyata dalam jangka
waktu tidak terlalu lama tidak efektif lagi karena terjadi perubahan virulensi yang
cepat dari P.pachyrhizi (Fikri 1994). Oleh karena itu, perlu dikembangkan taktik
pengendalian yang tidak menstimulasi perubahan virulensi patogen yang lebih
ganas. Beberapa agens antagonis yang telah diketahui berpotensi dalam
pengendalian P.pachyrhizi adalah Gliocladium dan Pseudomonas sp. (Fikri 1994),
cendawan mikoparasit dan minyak cengkeh (Ramlan dan Nurjanani 2011),
berbagai mikrob filosfer (Santoso dan Sumarmi 2013).
Kitosan adalah poli–(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan biopolimer alami kedua
terbanyak di alam. Kitosan banyak dikenal di masyarakat karena dapat
dimanfaatkan sebagai suplemen makanan, peningkatan produksi pangan dengan
teknologi pelapisan benih, penghambatan ganti kulit serangga hama, pencegahan
dan penekanan perkembangan penyakit tanaman, sampai eliminasi organoklorin
dari air yang tercemar (Goosen 1997). Kitosan telah banyak diteliti untuk
mengendalikan penyakit tanaman. Menurut penelitian Benhamou et al. (1994),
kitosan mampu menginduksi ketahanan tomat terhadap busuk buah dengan
perlakuan benih. Penelitian Hamdayanti et al. (2012) juga menunjukkan bahwa
perlakuan kitosan dapat menghambat infeksi Colletotrichum gloesporioides pada
pepaya baik secara in vitro maupun in vivo. Asetil amino dan glukosamin pada
kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan bagian negatif dari
makromolekul cendawan. Hal inilah yang menyebabkan cendawan mengalami
gangguan dalam pertumbuhannya. Kitosan juga menstimulasi biosintesis asam
salisilat yang berperan dalam pengendalian patogen. Selain menghambat
perkembangan patogen, pelapisan kitosan tersebut juga dapat menunda
pematangan, mengurangi respirasi, dan mengurangi kerusakan tanaman.
Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa kitosan menunjukkan banyak
aktivitas sebagai antimikrob. Keefektifan dari aktivitas tersebut bergantung pada
jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat,
dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan
peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut. Patogen-patogen yang telah
diketahui berhasil dikendalikan oleh kitosan berdasarkan kajian pustaka Hadrami
(2010) adalah virus PVX (Potato Virus X), TMV (Tobacco Mozaic Virus), AMV
(Alfalfa Mozaic Virus); bakteri Escherichia coli, Staphylococus aureus, dan
beberapa spesies Bacillus patogenik; cendawan Botrytis cinerea, Pyricularia
oryzae, dan Neurospora crassa.
Selain memanfaatkan kitosan, dalam penelitian ini juga dievaluasi perlakuan
Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, dan Streptomyces sp. sebagai agens
antagonis. Trichoderma harzianum merupakan salah satu agens antagonis yang
disarankan untuk pengendalian karat kedelai. T.harzianum memiliki sifat dapat
menyebar melalui tanah, berkoloni pada akar tanaman, membantu tanaman dalam
pengikatan nutrisi dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap OPT.
3
T.harzianum telah banyak digunakan dalam pengendalian cendawan patogen
karena mengeluarkan antibiotik antifungi yang disebut trichodermin. T.harzianum
juga dapat memicu biosintesis enzim kitinase, memiliki kemampuan berkompetisi
yang tinggi, dan hiperparasit. Selain itu, T.harzianum memiliki potensi dalam
menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Hermosa et al. 2012).
Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.harzianum adalah
Ganoderma boninense pada kelapa sawit, Sclerotium spp. pada kacang tanah, dan
Colletotrichum truncatum pada kedelai. T.harzianum (Santoso 2013).
Bacillus subtilis adalah agens antagonis yang banyak digunakan dalam
pengendalian penyakit tanaman karena mengeluarkan senyawa antimikrob.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi potensi antimikrob dari
B.subtilis. Beberapa penelitian yang menunjukkan patogen yang dapat
dikendalikan oleh B. subtilis adalah Erwinia carotovora pada kentang (Javandira
et al. 2013), Peronosclerospora maydis pada jagung (Zainudin et al. 2014),
Colletotrichum capsici pada cabai (Gunawan 2005), dan Fusarium oxysporum
f.sp gladioli pada gladiol (Wardhana et al. 2009). Potensi B.subtilis sebagai
pengendali cendawan patogen salah satunya dipicu oleh produksi enzim kitinolitik
(Khaeruni dan Rahman 2012). Leifert et al. (1995) bahkan menyatakan bahwa
B.subtilis mampu mengendalikan Botrytis cinerea dengan aktivitas penghambatan
yang sama dengan fungisida komersial.
Streptomyces merupakan genus terbesar dari aktinomiset dan dapat
memproduksi senyawa bioaktif yang bersifat antifungi dalam spektrum luas.
Misalnya, Streptomyces aurofaciens mampu melawan infeksi Candida albicans
pada jahe merah. Selain menjadi pesaing terhadap cendawan-cendawan patogen,
Streptomyces dapat memberikan pengaruh baik terhadap tanaman. Streptomyces
berinteraksi dengan mekanisme lain dalam proses fisiologi, biokimia, sitologi, dan
molekuler sehingga menghasilkan fenomena pembentukan ketahanan tanaman
(Hasegawa et al. 2006). Penggunaan filtrat Streptomyces spp. dapat menurunkan
intensitas penyakit karat berdasarkan penelitian dari Kurniawan (2006). Potensi
Streptomyces spp. terhadap pengendalian penyakit karat tersebut diketahui bahwa
terdapat senyawa aktif yang mampu menghambat perkecambahan uredospora dari
P.pachyrhizi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kitosan dan agens
antagonis dalam mengendalikan perkembangan Phakopsora pachyrhizi penyebab
penyakit karat pada kedelai dan mengetahui pengaruh fitotoksiknya terhadap
tanaman kedelai.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan
strategi metode pengendalian hayati penyakit karat pada tanaman kedelai.
4
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2013 hingga Maret 2014 di
Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor,
Rumah Kaca dan Rumah Plastik University Farm Unit Lapangan Cikabayan,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah benih kedelai
varietas Anjasmoro untuk sumber inokulum patogen, benih kedelai galur IPB
Kresna 15 dan IPB Kresna 8 untuk tanaman uji, top soil, pupuk kandang, pupuk
NPK, media PDA (Potato Dextrose Agar), media NA (Nutrient Agar), media
YCED (Casamino Acid-yeast extract-glucose agar), isolat Trichoderma
harzianum, isolat Bacillus subtilis, isolat Streptomyces sp., jagung pipil (pakan
burung) steril, beras steril, asam asetat konsentrasi 1.5%, dan serbuk kitosan.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah laminar air flow, oven,
mikropipet, autoklaf, dan polibag.
Metode Penelitian
Sumber Inokulum Karat
Sumber inokulum karat dibiakkan pada varietas kedelai rentan (Anjasmoro)
dari Laboratorium Benih Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura
IPB. Benih ditanam sebanyak dua butir per lubang menggunakan polibag
berkapasitas 2 kg. Media tanam yang digunakan adalah top soil, kompos, dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman dilakukan dalam dua
tahap karena pada penanaman tahap pertama terjadi etiolasi sehingga penanaman
tahap kedua dilakukan di dua tempat, yaitu di dalam dan di luar rumah kaca
masing-masing sebanyak 10 polibag. Perawatan dilakukan dengan penyiraman
satu kali sehari pada sore hari (intensitas cahaya matahari sudah berkurang) dan
pemberian pupuk NPK. Pupuk NPK diberikan dengan dosis 75 kg urea, 100 kg
SP36, dan 100 kg KCl per hektar. Penularan penyakit karat dilakukan dengan
melakukan pemanenan karat dari lapangan.
Uredium karat dari tanaman kedelai terinfeksi di lapangan diambil sebanyak
20 daun yang dipotong kecil dan dimasukkan ke dalam 100 ml air steril. Air berisi
potongan daun dikocok selama 15 menit untuk membuat uredospora terlepas dari
uredium dan tersuspensi dengan air. Tanaman sumber inokulum yang berumur 3
MST diinokulasi dengan suspensi uredospora sebanyak 200 ml/liter air. Sebelum
diinokulasi, larutan ditambah Agristick dengan konsentrasi 1% (v/v). Persiapan
tanaman sumber inokulum karat dilakukan dengan tujuan mengondisikan
keberadaan penyakit karat di lapangan. Hal tersebut berkaitan dengan bioekologi
patogen penyebab penyakit karat yang bersifat obligat.
Inokulasi dilakukan ulang pada umur 5 MST karena sebelumnya kondisi
suhu rumah kaca yang terlalu tinggi mengakibatkan infeksi tidak berhasil.
Inokulasi kedua dilakukan di luar rumah kaca dengan kondisi kelembaban, suhu,
dan angin yang mendukung perkecambahan dan pemencaran spora karat. Gejala
5
karat muncul 9 hari setelah inokulasi. Gejala karat terlihat jelas pada umur
tanaman 43 hari berupa pustul-pustul yang menyebar di permukaan bawah daun.
Persiapan Agens Antagonis Uji
1. Trichoderma harzianum
Isolat Trichoderma harzianum yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman IPB. Trichoderma harzianum diremajakan pada media PDA dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Pembiakan massal dilakukan pada 300
gram jagung pipil steril yang telah direndam satu malam dan disterilisasi. Inkubasi
dilakukan selama 14 hari untuk mendapatkan massa T.harzianum yang telah
menutupi seluruh permukaan jagung.
2. Bacillus subtilis
Isolat B.subtilis yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Peremajaan isolat B.subtilis dilakukan pada media NA miring dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 24 jam. Biakan B.subtilis yang telah tumbuh disimpan pada
lemari pendingin untuk dijadikan stok kultur. Ketika akan digunakan, satu lup
inokulum digoreskan pada media NA cawan gores dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 24 jam. Selanjutnya, sebanyak 20 ml air steril dituang ke masingmasing cawan yang berisi biakan B.subtilis untuk membuat suspensi bakteri.
Konsentrasi B.subtilis yang digunakan dalam percobaan adalah 1x107 cfu/ml.
3. Streptomyces sp.
Isolat Streptomyces sp. yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman IPB. Peremajaan isolat Streptomyces sp. dilakukan pada media YCED,
kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Isolat Streptomyces sp. yang telah berumur
12 hari disuspensikan pada 20 ml air steril dan diinokulasi pada beras steril yang
telah direndam semalam untuk pembiakan massal Streptomyces sp. Sebanyak 2 ml
Streptomyces sp. disemprotkan pada media beras steril dan diinkubasi selama 14
hari. Biakan Streptomyces sp. dihaluskan dengan menggunakan blender.
Konsentrasi Streptomyces yang digunakan dalam percobaan adalah 1x106 cfu/ml.
Penyiapan Larutan Kitosan
Kitosan yang digunakan didapatkan dari koleksi Departemen Teknologi
Hasil Perairan. Kitosan yang digunakan berasal dari cangkang udang. Sebanyak 1
gram kitosan dicampurkan dengan 20 ml asam asetat 1.5% dan 80 ml aquades
untuk menghasilkan 100 ml larutan kitosan dengan konsentrasi 1%. Kitosan
disiapkan sebanyak 600 ml untuk setiap aplikasi. Aplikasi dilakukan sebanyak
dua kali yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah berkecambah.
Rancangan Percobaan
Pengujian metode pengendalian karat dilakukan dengan menggunakan benih
kedelai galur koleksi Laboratorium Pemuliaan Tananaman Departemen Agronomi
dan Hortikultura IPB (IPB Kresna-8 dan IPB Kresna-15). Penanaman dilakukan
di dalam rumah kaca dan pada hari kesepuluh dilakukan pemindahan tanaman ke
6
rumah plastik untuk mencegah terjadinya etiolasi. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap (4x2) dengan tiga ulangan
dan terdapat lima unit percobaan untuk setiap ulangan. Percobaan dilakukan
dengan empat perlakuan dan satu pembanding, yaitu: (1) Kontrol; (2) B.subtilis.
Benih kedelai direndam pada suspensi B.subtilis sebanyak 200 ml selama 15
menit. Selanjutnya, benih dikering-anginkan sebelum ditanam. Aplikasi suspensi
B.subtilis juga dilakukan pada 2 MST dengan dosis 10 ml/tanaman; (3)
T.harzianum. T.harzianum diletakkan pada lubang tanam lima hari sebelum
penanaman benih dengan dosis 10 gram/lubang tanam; (4) Kitosan. Kitosan
dengan konsentrasi 1% disemprotkan pada batang kedelai dengan dosis 10
ml/tanaman pada 2 dan 4 minggu setelah benih berkecambah; dan (5) Kombinasi
kitosan dan Streptomyces sp. Kitosan dengan konsentrasi 1% dan suspensi
Streptomyces sp. dengan konsentrasi 100 ml/liter air disemprotkan pada batang
kedelai masing-masing dengan dosis 10 ml/tanaman. Hasil pengujian diamati
dengan menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit penyakit karat pada
40, 45, 50, 55, dan 60 HST.
Pengamatan
Peubah yang diukur untuk menilai keefektifan metode pengendalian uji
yaitu periode laten, kejadian penyakit (KjP) (%), dan keparahan penyakit penyakit
(KpP) (%). Pengukuran dilakukan dari masing-masing dua daun bagian atas,
n
tengah, dan bawah. Kejadian penyakit karat dihitung dengan persamaan: KjP =
N
x 100% dengan n adalah jumlah tanaman yang terinfeksi dan N adalah jumlah
tanaman yang diamati.
Keparahan penyakit penyakit dihitung dengan menggunaan persamaan:
KpP =
7
i=0 ni .vi
N.V
x 100%
ni : jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi : skor ke-i
N : jumlah tanaman yang diamati
V : skor tertinggi
Skoring penyakit karat dilakukan dengan pengamatan berdasarkan metode
Santosa (2003) yang dimodifikasi.
Tabel 1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak
Skor
0
1
2
3
4
5
6
7
Bercak karat/daun (%)
Jumlah bercak per cm2
0 65
0-10
11-20
21-40
41-60
61-80
81-100
101-120
121-140
7
Selain itu, diamati laju infeksi karat dari kitosan dan agens antagonis yang
Xt
Xo
e
digunakan. Laju infeksi dihitung dengan persamaan: r = (log 1−Xt - log 1−Xo )
t
dengan r adalah laju infeksi, e adalah konstanta hasil konversi yang nilainya
adalah 2.3, t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit
penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan
sebelumnya. Pengamatan lain adalah gejala fitotoksik kitosan dan agens antagonis
terhadap tanaman kedelai.
Analisis Data
Tabel dan grafik dari hasil percobaan diolah menggunakan Microsoft Office
Excel versi 2007. Analisis sidik ragam dari data percobaan dilakukan dengan
menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) for Windows versi 9.1.3.
Hasil yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji taraf berganda Duncan pada taraf
nyata 5%.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Penyakit Karat Kedelai
Phakopsora pachyrhizi dapat ditemukan di lapangan dengan gejala bercak
kecoklatan dan adanya pustul pada daun kedelai. Tanaman kedelai yang terinfeksi
P.pachyrhizi akan menunjukkan bercak kecoklatan pada permukaan atas daun
dengan dikelilingi oleh halo berwarna kuning terang. Pada daun terinfeksi tersebut
menunjukkan adanya pustul yang umumnya bergerombol dan tidak dibatasi oleh
tulang daun. Pustul karat tersebut berukuran sekitar 2 mm. Patogen ini melakukan
penetrasi ke jaringan daun melalui stomata yang banyak terdapat pada permukaan
bawah daun. Gejala ini sesuai dengan pernyataan Hartman et al. (1999) bahwa
gejala karat kedelai adalah bercak berwarna kecoklatan dengan uredia yang
menonjol pada permukaan bawah daun. Keparahan penyakit yang tinggi dapat
menimbulkan gejala pustul karat menyebar pada petiol, polong, dan batang.
Gambar 1
Gejala karat pada permukaan atas daun (a), gejala karat pada
permukaan bawah daun (b), kumpulan uredium (c), mikroskopis
uredospora P.pachyrhizi dengan perbesaran 40x10
Cendawan P.pachyrhizi yang berasal dari daun kedelai terinfeksi dapat
berkecambah pada media PDA da WA (water agar). Pengamatan mikroskopis
menunjukkan bahwa uredospora P.pachyrhizi berwarna kecoklatan dan berbentuk
bulat. Menurut Hartman et al. (1999), uredospora P.pachyrhizi memiliki ukuran
15-24 x 18-34 µm dengan bentuk membulat dan memiliki ketebalan dinding
sekitar 1.0 µm, tidak berwarna atau berwarna kuning pucat dan berkecambah pada
3 sampai 6 jam setelah inkubasi pada suhu 14-29 ºC. Hasil pengamatan
makroskopis dan mikroskopis serta data pendukung menunjukkan bahwa gejala
yang ditemukan pada daun kedelai merupakan gejala infeksi P.pachyrhizi.
Gejala yang ditimbulkan oleh P.pachyrhizi pada daun kedelai dapat
berbeda sesuai dengan genotip kedelai dan ras dari patogen. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dari warna bercak pustul, jumlah uredia yang muncul, dan periode
laten penyakit. Bercak pustul yang timbul umumnya berkorelasi dengan klorosis
daun. Jumlah bercak yang tinggi dapat menyebabkan gugur daun prematur dan
kematangan dini pada tanaman baik pada fase vegetatif maupun generatif.
Umumnya, kejadian penyakit karat yang tinggi terjadi pada suhu di bawah
28 ºC dan kelembapan udara di atas 80%. Perkecambahan dan penetrasi
uredospora membutuhkan film air dan terjadi pada suhu 8-28 ºC. Uredia muncul
sekitar 9-10 hari setelah terjadi infeksi dan uredospora muncul 3 minggu setelah
9
infeksi. Seluruh fase penanaman kedelai rentan terhadap infeksi karat, namun
biasanya gejala muncul pada pertengahan hingga akhir musim tanam, berkaitan
dengan kondisi suhu dan kelembaban tanaman yang mendukung terjadinya infeksi
dan sporulasi. Uredospora karat menyebar dengan bantuan angin. P.pachyrhizi
bukan merupakan patogen tular benih pada kedelai.
Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit
Karat Kedelai pada Uji In Planta
Berdasarkan hasil pengujian potensi penghambatan in planta, kitosan,
Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, serta kombinasi kitosan dengan
Streptomyces sp. dapat mengendalikan perkembangan penyakit karat kedelai
dibandingkan dengan kontrol. Pada awalnya, percobaan mengevaluasi potensi
antagonisme Streptomyces sp. secara tunggal terhadap perkembangan penyakit
karat. Namun, hasil penelitian Kurniawan (2006) telah menyatakan bahwa filtrat
Streptomyces sp. dapat menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora
pachyrhizi dan menahan perkembangan penyakit pada percobaan in planta. Hasil
penelitian tersebut mendorong dilaksanakannya evaluasi potensi kitosan jika
dikombinasikan dengan Streptomyces sp. Hasil dari pengujian tersebut dapat
memberikan informasi tentang sinergisme kitosan dengan agens antagonis dari
golongan aktinomiset dalam pengendalian penyakit karat kedelai.
Tabel 2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST
Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Proporsi daun terinfeksi
per daun total (%)a
3.18d
25.39c
55.28a
39.34b
64.43a
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
10.19d
11.53d
43.11 b
14.91 cd
41.63 b
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan penyakit karat pada perlakuan
T.harzianum dan B.subtilis lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dalam satu
tanaman. Sementara itu, perlakuan kitosan dan kombinasi kitosan dengan
Streptomyces sp. pada galur Kresna 15 dan perlakuan kitosan pada galur Kresna 8
menunjukkan proporsi daun terinfeksi yang sama dengan kontrol. Proporsi daun
kedelai yang terinfeksi penyakit karat paling kecil terdapat pada perlakuan
T.harzianum pada galur Kresna 15. Proporsi daun terinfeksi tidak dapat
memberikan informasi tentang keparahan penyakit pada masing-masing perlakuan.
Namun, proporsi daun terinfeksi dapat memberikan informasi tentang potensi
10
penghambatan kitosan dan agens antagonis pada lingkungan mikro dalam hal ini
satuan percobaan.
Tabel 3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
Galur
Kresna 15
Kresna 8
Perlakuan
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kejadian penyakit (%)a
20.00d
53.30c
100.00a
86.70b
100.00a
40.00d
46.67c
80.00b
53.30c
100.00a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Kejadian penyakit karat dapat ditekan oleh aplikasi T.harzianum dan
Bacillus subtilis serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces (Tabel 3).
Sementara itu, perlakuan kitosan menunjukkan tingkat kejadian yang sama
dengan kontrol. Efektivitas kitosan bergantung pada konsentrasi yang digunakan,
jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat,
dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan
peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut (Hadrami et al. 2010).
Spesifisitas dari karateristik kitosan tersebut membutuhkan ukuran parametrik
yang tepat dalam aplikasinya terhadap penekanan perkembangan penyakit
tanaman. Penggunaan kitosan pada konsentrasi yang berlebihan dapat
menurunkan ekfektivitas penghambatan patogen dan juga dapat menyebabkan
pengaruh negatif lain pada tanaman.
Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai meningkat relatif pada 50
HST (hari setelah tanam) yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada 50 HST,
tanaman kedelai berada pada awal fase generatif yaitu pembungaan. Intensitas
infeksi penyakit karat meningkat pada awal fase pembungaan tersebut. Hal ini
sesuai dengan teori dari Hartman et al. (1999) yang menyatakan bahwa seluruh
fase perkembangan kedelai reseptif terhadap infeksi P.pachyrhizi namun gejala
paling umum ditemukan pada akhir masa vegetatif (awal fase generatif). Hal
tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi syarat cukup
perkembangan bunga relatif sama dengan syarat cukup perkembangan dan
pemencaran dari spora P.pachyrhizi yaitu pada suhu di atas 24 ºC dan kelembaban
di atas 70%.
11
100
A
Kejadian penyakit (%)
90
80
70
T.harzianum
60
B.subtilis
50
Kitosan
40
Kitosan + Streptomyces
30
Kontrol
20
10
0
35
100
45
50
55
60
B
90
Kejadian penyakit (%)
40
80
70
60
T.harzianum
50
B.subtilis
40
Kitosan
30
Kitosan +Streptomyces
20
Kontrol
10
0
35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam
Gambar 2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai
perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)
Berdasarkan hasil percobaan, diketahu bahwa perlakuan kitosan,
T.harzianum, B.subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. mampu
menekan perkembangan penyakit karat. Gambar 3 menunjukkan bahwa
perkembangan keparahan penyakit karat meningkat untuk semua perlakuan
selama waktu pengamatan. Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan
memiliki keparahan penyakit yang lebih rendah dari kontrol. Keparahan penyakit
terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum baik pada galur Kresna 15 maupun
Kresna 8. Penekanan perkembangan keparahan penyakit karat oleh B subtilis
sama dengan T.harzianum dan lebih tinggi dari penekanan keparahan penyakit
oleh kitosan dan kombinasi antara kitosan dan Streptomyces sp. Peningkatan
keparahan penyakit pada keempat perlakuan memiliki slope yang relatif landai.
Sementara itu, peningkatan keparahan penyakit pada kontrol memiliki slope yang
relatif lebih curam.
12
Tabel 4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
Galur
Keparahan penyakit
penyakit (%)a
6.99c
12.72bc
17.75b
19.71b
39.10a
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
9.37c
7.50bc
12.52b
9.94b
26.19a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Keparahan penyakit (%)
40
A
35
30
T.harzianum
25
B.subtilis
20
Kitosan
15
Kitosan + Streptomyces
10
Kontrol
5
0
35
Keparahan penyakit (%)
40
35
40
45
50
55
60
B
30
25
T.harzianum
20
B.subtilis
15
Kitosan
10
Kitosan +Streptomyces
5
Kontrol
0
35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam
Gambar 3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai
perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)
13
Tabel 5 Laju infeksi penyakit karat kedelai
Rata-rata laju infeksi pada perlakuan-xa
Galur
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan +
Streptomyces
Kontrol
Kresna 15
0.160a
0.274ab
0.413b
0.402b
0.971c
Kresna 8
0.313ab
0.262ab
0.464b
0.366ab
0.751c
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Perhitungan laju infeksi penyakit karat untuk masing-masing perlakuan
pada kedua galur dapat dilihat pada tabel 4. Laju infeksi setiap perlakuan secara
signifikan lebih rendah dari kontrol. Nilai rata-rata laju infeksi setiap perlakuan
yang lebih rendah dari 0.5 dapat disebabkan karena patogen tidak terlalu agresif,
varietas inang tahan, dan faktor lingkungan internal dan eksternal yang tidak
mendukung perkembangan patogen (Manengkey dan Senewe 2011). Laju infeksi
terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15.
Perbandingan antar kontrol menunjukkan bahwa galur Kresna 8 relatif lebih tahan
terhadap infeksi penyakit karat.
Berdasarkan data perkembangan kejadian dan keparahan penyakit karat,
diketahui bahwa kitosan, T.harzianum, B.subtilis, dan kombinasi antara kitosan
dan Steptomyces sp. efektif dalam pengendalian penyakit karat pada tanaman
kedelai. Penghambatan Trichoderma harzianum terhadap cendawan patogen
secara umum dapat terjadi dengan beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut
adalah hiperparasitisme dengan cara pelilitan hifa, produksi toksin yang bersifat
antibiotik, perusakan sitoplasma yang menyebabkan terganggunya rangkaian
sistesis protein cendawan patogen, penguasaan rhizosfer dan nutrisi, dan produksi
enzim kitinase sebagai penghancur dinding sel cendawan (Howell 2014). Namun,
mekanisme yang terjadi pada percobaan diduga merupakan hasil induksi
ketahanan tanaman oleh T.harzianum terhadap patogen karat. Sriram et al. (2009)
menyatakan bahwa T.harzianum dapat meningkatkan aktivitas enzim glukanase
pada tanaman sebesar 22% dan meningkatkan kandungan fenol. Induksi
ketahanan oleh T.harzianum tidak menyebabkan reaksi hipersensitif, nekrosis, dan
fitotoksik. Hasil pengamatan agronomi juga menunjukkan bahwa perlakuan
T.harzianum memiliki jumlah daun, jumlah bunga, dan jumlah polong yang lebih
tinggi dari perlakuan lain.
Potensi T.harzianum dalam pengendalian patogen-patogen tular tanah telah
banyak diketahui. Potensi T.harzianum tersebut berkaitan dengan produksi toksin
(trichodermin). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh
T.harzianum adalah Rhizoctonia solani, Sclerotinia americana, Pythium ultimum,
dan Macrophomia phaseolina (Howell 2014). Potensi antifungi T.harzianum
dapat dioptimalkan dengan stimulasi tertentu. Penelitian terkini tentang
pemanfaatan toksin dari T.harzianum adalah penambahan gen mutan untuk
peningkatan efektivitas dari toksin tersebut.
T.harzianum diketahui memiliki berbagai mekanisme yang memberikan
pengaruh positif terhadap tanaman. T.harzianum dapat melakukan penetrasi ke
jaringan epidermis dan korteks akar tanaman yang terinfeksi tanpa memberikan
14
pengaruh negatif jaringan tanaman yang tidak terinfeksi. T.harzianum memiliki
dua jenis enzim kitinase, yaitu endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase
T.harzianum dapat meningkatkan ketahanan tanaman tembakau dan kentang
terhadap patogen dalam spektrum yang luas, sementara eksokitinase dapat
meningkatkan ketahanan tanaman apel terhadap penyakit kudis (Venturia
inaequalis). Penelitian tentang peningkatan efektivitas T.harzianum juga
dilakukan oleh Limon et al. (1999) dengan peningkatan ekspresi dari 33-kda
kitinase. Perlakuan T.harzianum yang memiliki tingkat kejadian dan keparahan
penyakit paling rendah pada percobaan ini didukung oleh peningkatan ketahahan
tanaman. Peningakatan ketahanan tanaman tersebut terjadi dengan peningkatan
kandungan enzim peroksidase dan peningkatan kandungan kalosa pada dinding
sel tanaman. Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi
penghalang fisik dan kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun
daun (Howell et al. 2014).
Penekanan penyakit karat kedelai juga dapat dilakukan oleh Bacillus subtilis.
Kejadian dan keparahan penyakit karat pada perlakuan B.subtilis relatif rendah
dan perkembangan penyakit pada perlakuan B.subtilis relatif tidak signifikan. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat aktivitas antagonisme yang tinggi dari B.subtilis
terhadap P.pachyrhizi. Selain sering digunakan sebagai agens biokontrol,
beberapa strain B.subtilis juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman
dengan memicu peningkatan produksi asam salisilat pada tanaman (Saharan dan
Nehra 2011).
Umumnya, mekanisme kerja bakteri sebagai agens biokontrol adalah
produksi antibiotik. Produksi antibiotik bakteri memiliki aktivitas antifungi pada
spektrum yang luas. Beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh bakteri dan
patogenik terhadap cendawan adalah asam sianida, hidrogen sianida, mutan
negatif sianida. Setiap bakteri antagonis memiliki antibiotik spesifik yang dapat
berspektrum sempit maupun luas terhadap cendawan patogen. B.subtilis dapat
menghasilkan mikosubtilin yang dapat mengendalikan Saccharomyces cerevisiae,
Pythium sp., (Leclare et al. 2005) dan basicubin yang dapat mengendalikan
Pyricularia oryzae, Sclerotinia scleotiorum, Rhizoctonia solani, Alternaria
oleracea, A.brassicae, dan Botrytis cinerea (Yongfei et al. 2006).
Fiddaman dan Rosall (1993) melakukan deteksi terhadap antibiotik volatil
yang diproduksi oleh B.subtilis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
aktivitas produksi antibiotik B.subtilis sangat bervariasi tergantung dari media dan
suhu inkubasi yang digunakan. Media yang paling baik dalam menunjang
produksi antibiotik tersebut adalah media potato dextrose agar (PDA) dan
produksi antibiotik tidak optimal pada media nutrient agar (NA) dan tryptic soy
agar (TSA). Untuk suhu inkubasi, produksi senyawa antibiotik volatil tersebut
optimal pada suhu 30 ºC dan produksi tidak dapat berlangsung di bawah suhu 25
ºC. Aktivitas penghambatan B.subtilis terhadap cendawan patogen adalah
kombinasi akumulasi toksin dan enzim pendegradasi sel cendawan. Dua kelas
cendawan yang dapat dikendalikan secara efektif oleh B.subtilis adalah oomycetes
dan basidiomycetes. B.subtilis dapat mengganggu pembentukan hifa dan
mengganggu metabolisme di dalam vakuola.
Streptomyces sp. merupakan bakteri berfilamen gram positif yang berasal
dari golongan aktinomiset. Banyak spesies dan strain Streptomyces sp. yang
sering dimanfaatkan sebagai agens biokontrol. Streptomyces sp. memiliki peran-
15
peran fisiologis yang bermanfaat untuk tanaman. Peran-peran tersebut di
antaranya adalah peningkatan fungsi fisiologis tanaman inang, peningkatan
toleransi tanaman terhadap kekeringan, dan penekanan populasi mikrob patogen
dengan antibiosis dan kompetisi. Streptomyces sp. memproduksi berbagai
senyawa bioaktif yang patogenik terhadap fungi, seperti novobiosin, alnomisin,
munumbisin, kakadumisin, dan coronamisin.
Mekanisme kerja dari Streptomyces sp. adalah mendegradasi dinding sel
cendawan penyebab penyakit karat. Proses penghancuran tersebut merupakan
aktivitas dari enzim kitinase. Penelitian Kim et al. (2003) menyatakan bahwa
enzim kitinase dari Streptomyces sp. bekerja apaling optimal pada pH 5.0 sampai
pH 6.0 dan suhu 30 ºC. Pada pH di bawah 4.0 dan suhu mencapai 60 ºC, enzim
kitinase Streptomyces sp. kehilangan aktivitas antagonismenya. Pada kondisi
optimal, enzim kitinase dapat digunakan untuk menghidrolisis kitin, kitotriosa,
dan kitooligosakarida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel cendawan
patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa metabolit sekunder dari
S.aureofaciens CMUAc 130 dapat mengendalikan Colletotrichum musae dan
Fusarium oxysporum dengan produksi metabolit sekunder 5,7-dhimethoxy-4-pmethoxylphenilcoumarine yang dalam uji in vitro menyebabkan pengacauan
sinyal pembentukan hifa sehingga terjadi penggumpalan metabolit pada
pertumbuhan hifa cendawan (Taechowisan et al. 2005). Aktivitas antifungi pada
aktinomiset lain (S.campsonii) terjadi karena adanya produksi antibiotik poliene
yang dapat menyebabkan hidrolisis pati, kasein, gelatin, dan reduksi nitrat (Jain
dan Jain 2007).
Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam pengendalian cendawan patogen.
Komponen utama kitosan dalam aktivitas antagonismenya adalah polikationik.
Aasetil amino dan glukosamin pada kitosan yang bermuatan positif akan berikatan
dengan bagian negatif dari makromolekul cendawan sehingga pertumbuhan
cendawan terganggu. Selain menghambat pertumbuhan cendawan, kitosan juga
dapat menyebabkan gangguan pada morfologi, struktur sel, dan molekuler
cendawan patogen (Banos et al. 2006). Perubahan morfologi cendawan patogen
yang disebabkan oleh kitosan adalah percabangan miselia yang terlalu banyak,
bentuk miselia yang abnormal, dan reduksi ukuran hifa. Mekanisme ini terjadi
pada cendawan Fusarium oxysporum, Rhizopus stolonifer, dan Slerotinia
sclerotiorum yang diberi perlakuan kitosan.
Selain penekanan terhadap patogen, kitosan memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman dan peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen.
Banos et al. (2006) juga menyatakan bahwa aktivitas kitinase dan pengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman kedelai lebih bergantung pada periode pemaparan
kitosan dibandingkan denhan konsentrasi dari kitosan tersebut. Kelebihan kitosan
dibandingkan dengan agens pengendali lainnya adalah dapat dimanfaatkan pada
setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan berbagai organ tanaman.
Contoh dari pernyataan tersebut adalah kitosan dapat memperlambat munculnya
gejala busuk akar pada tanaman hortikultura dan menekan perkembangan
penyakit tular tanah pada perbenihan (Banos et al. 2006), menekan perkembangan
penyakit busuk buah pada jambu kristal (Kusumawardhany 2013) dan pepaya
(Barus 2013). Selain dapat diaplikasikan secara tunggal, aktivitas kitosan juga
sinergis dengan agens antagonis lain sepertiaktinomiset. Hal ini dibuktikan oleh
16
Amallia (2013) bahwa kombinasi kitosan dengan aktinomiset dapat mencegah
penyakit antraknosa dan meningkatkan daya simpan buah cabai sampai 10 hari.
Fitotoksisitas adalah potensi terjadinya keracunan pada tanaman pokok
akibat aplikasi dari input eksternal baik input fisik, input kimia, dan input biologi.
Fitotoksisitas pada tanaman dapat disebabkan karena adanya interaksi negatif dari
input eksternal dengan ekosistem mikro tanaman. Fitotoksisitas merupakan salah
satu rangkaian pengujian kelayakan dalam penggunaan bahan dan agens yang
akan digunakan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman. Gejala fitotoksik
yang dapat ditemui akibat aplikasi input biologi diantaranya adalah daun
menguning, layu, kerdil, bercak, dan mosaik dengan sebaran yang relatif merata
baik dalam satu bagian tanaman maupun dalam satu tanaman.
Gambar 4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik dari perlakuan Bacillus
subtilis (a dan b), kitosan (c)
Perlakuan T.harzianum serta kombinasi kitosan dan Streptomyces sp. tidak
menunjukkan gejala fitotoksik. Tanaman yang diduga mengalami gejala fitotoksik
ditemui pada perlakuan B.subtilis dan kitosan. Gambar 4 menunjukkan beberapa
contoh tanaman yang diduga mengalami gejala keracunan akibat aplikasi kitosan
dan agens antagonis yang digunakan. Pada perlakuan B.subtilis ditemukan 6 dari
15 tanaman yang pada bagian daunnya terdapat bercak berwarna merah
kecoklatan. Bercak tersebut berbentuk bulat beraturan, menyebar pada permukaan
atas daun, dan memiliki ukuran yang relatif sama. Hasil isolasi dan uji gram
dengan larutan KOH 3% menunjukkan bahwa bercak tersebut disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif dengan ciri terdapat lendir pada saat pengujian gram.
Gejala lain pada perlakuan B.subtilis yang awalnya diduga merupakan
gejala fitotoksik adalah layu. Gejala tersebut ditemui pada 4 dari 15 tanaman pada
galur Kresna 15 dan 2 dari 15 tanaman pada galur Kresna 8. Tanaman pada gejala
tersebut berwarna coklat terang merata pada keseluruhan bagian tanaman. Hasil
isolasi dan uji gram juga menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif.
Pada uji fitotoksisitas dengan menggunakan kitosan, ditemukan 7 dari 15
tanaman pada galur Kresna 15 yang batang bagian bawahnya terkelupas.
Terkelupasnya batang bagian bawah tersebut ditunjukkan dengan kulit batang
yang mengering dan jaringannya terpisah seperti serabut. Batang bagian bawah
yang mengalami gejala tersebut merupakan area aplikasi kitosan pada 2 dan 4
MST. Penelitian Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi kitosan
mempengaruhi aktivitasnya terhadap tanaman. Pernyataan lanjutan dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa jika diaplikasikan pada konsentrasi yang terlalu
tinggi, kitosan dapat menyebabkan gejala seperti gosong pada buah, kering pada
17
daun dan batang tanaman, serta penggumpalan. Konsentrasi kitosan minimal yang
dapat digunakan untuk menekan perkembangan cendawan patogen adalah 1 000
sampai 5 000 ppm sedangkan percobaan ini menggunakan konsentrasi 20 000
ppm. Hasil pengamatan terhadap gejala terkelupasnya batang bagian bawah
kedelai diduga disebabkan oleh konsentrasi aplikasi kitosan yang terlalu tinggi,
yaitu 1%. Gejala terkelupasnya batang bagian bawah juga terjadi pada tanaman
dalam uji antagonisme namun dalam jumlah yang lebih sedikit dari tanaman
dalam plot uji fitotoksisitas. Gejala tersebut diduga juga dapat disebabkan oleh
aktivitas asam asetat yang konsentrasinya relatif tinggi dalam larutan kitosan,
yaitu 20%.
Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan
Kitosan dan Agens Antagonis
Perlakuan kitosan dan ketiga agens antagonis tidak hanya memberikan
pengaruh terhadap penekanan perkembangan penyakit, tetapi juga memberikan
pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Parameter yang diamati
pada pengamatan karakter agronomi kedelai adalah ukuran daun, jumlah tanaman
berbunga dan jumlah tanaman berpolong pada awal fase generatif. Menurut
Balitkabi (2013), awal fase generatif tanaman kedelai adalah pada 35 HST.
Ukuran daun terbesar terdapat pada perlakuan T.harzianum. Ukuran daun
yang besar dapat meningkatkan kapasitas penerimaan cahaya matahari untuk
fotosintesis. Proses fotosintesis yang optimal akan mendukung perkembangan
tanaman yang dapat diukur dari keragaan tanaman dan hasil panen yang tinggi.
Hasil tersebut merupakan interaksi antara potensi kitosan agens antagonis yang
diaplikasikan dengan karakter genetik dari masing-masing galur.
Tabel 6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan
kitosan dan agens antagonis
Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Rata-rata jumlah dauna
Uji antagonisme
Uji fitotoksisitas
21a
16a
10ab
12ab
11ab
10ab
12ab
9bc
9bc
13ab
14ab
11ab
11ab
11ab
10ab
19a
11ab
12ab
13ab
11ab
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Jumlah daun kedelai pada aplikasi T.harzianum lebih tinggi daripada
kontrol sedangkan perlakuan lain mem
PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.)
KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ABSTRAK
HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam
Pengendalian Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai. Dibimbing
oleh MEITY SURADJI SINAGA.
Penyakit karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) merupakan penyakit utama
pada tanaman kedelai yang mampu menurunkan produksi hingga 90%.
Kemampuan penyebaran inokulum yang cepat, adanya inang alternatif, dan
potensi yang tinggi untuk melakukan perubahan yang mengatur virulensi
P.pachyrhizi mengondisikan penyakit ini sulit dikendalikan. Studi ini bertujuan
untuk mengevaluasi potensi kitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis,
dan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. pada dua galur kedelai. Percobaan
dilakukan menggunakan rancangan faktorial acak lengkap (4x2) dengan 3
ulangan. Peubah yang diamati adalah perkembangan tanaman, kejadian penyakit,
dan keparahan penyakit karat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
T.harzianum, B.subtilis, dan kitosan kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp.
efektif memiliki keparahan penyakit penyakit yang lebih rendah daripada kontrol
pada kedua galur kedelai. Perlakuan T.harzianum merupakan taktik pengendalian
yang paling efektif dan efisien menghambat penyakit karat dan meningkatkan
pertumbuhan vegetatif tanaman tanpa menimbulkan fitotoksik.
Kata kunci: B.subtilis, kitosan, penyakit karat, Streptomyces sp., T.harzianum.
ABSTRACT
HAGIA SOPHIA KHAIRANI. Potential Uses of Chitosan and Antagonist Agents
in Controlling Soybean Rust Disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.). Supervised
by MEITY SURADJI SINAGA.
The soybean rust disease (Phakopsora pachyrhizi Syd.) is the most
important disease of soybean and may cause 90% yield loss. The ability to spread
rapidly, present of alternative hosts, and the rapid changes of P.pachyrhizi
virulence are the causal of the difficulty to control the disease. This study is to
evaluate potential uses of chitosan, Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, and
chitosan-Streptomyces sp. combination to control the rust disease in two soybean
lines. The experiments were conducted using a complete randomized factorial
design (4x2) with three replications. Plant developments, disease incidence and
severity of rust infection were observed. The studies have shown that all
treatments have significantly suppressed soybean rust disease incidence and
severity in both soybean lines compared to that of control. The use of
T.harzianum has found the most effective and efficient in suppressing disease
severity and in increasing plant vegetative growth with no phytotoxic effect.
Keywords: B.subtilis, chitosan, rust disease, Streptomyces sp., T.harzianum.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI KITOSAN DAN AGENS ANTAGONIS DALAM
PENGENDALIAN PENYAKIT KARAT (Phakopsora pachyrhizi Syd.)
KEDELAI
HAGIA SOPHIA KHAIRANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi
: Potensi Kitosan dan Agens Antagonis dalam Pengendalian
Penyakit Karat (Phakopsora pachyrhizi Syd.) Kedelai
Nama Mahasiswa: Hagia Sophia Khairani
NIM
: A34100003
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, Msi
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
petunjuknya sehingga usulan tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tugas akhir ini akan dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Maret 2014
dengan topik pengendalian penyakit karat pada tanaman kedelai.
Terima kasih penulis ucapkan Ibu Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc
selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang banyak memberi
arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir dan
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc sebagai dosen penguji yang memberikan
masukan untuk penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Dr. Ir. Desta Wirnas, M.Si dari Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk
ketersediaan galur kedelai uji, Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc dari Departemen
Agronomi dan Hortikultura yang mengizinkan penggunaan rumah plastik sebagai
area pengujian; dan Dr. Ir. Giyanto, M.Si yang mengizinkan penggunaan isolat
bakteri endofit uji.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Nana, Bapak Milin,
Bapak Saefudin; Bapak Yusuf; Bapak Endang untuk bantuannya dalam
penyediaan benih inokulum, perizinan penggunaan rumah kaca, kegiatan-kegiatan
teknis penyiapan peralatan dan bahan penelitian, dan diskusi; Bapak Dadang
Surachman untuk bantuan dan arahannya pada saat orientasi laboratorium; rekanrekan Laboratorium Mikologi Tumbuhan untuk dukungan, kerjasama, dan
diskusinya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga, dan
seluruh dosen dan tenaga kependidikan Departemen Proteksi Tanaman, rekanrekan Proteksi Tanaman angkatan 47, dan rekan-rekan lain yang banyak
membantu kelancaran studi hingga menyelesaikan program pendidikan S1 dengan
memberikan semangat dan dukungan. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Hagia Sophia Khairani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
BAHAN DAN METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Bahan dan Alat
4
Metode Penelitian
4
Sumber Inokulum Karat
4
Persiapan Agens Antagonis Uji
5
Penyiapan Larutan Kitosan
5
Rancangan Percobaan
5
Pengamatan
6
Analisis Data
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Penyebab Penyakit Karat Kedelai
8
Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit
Karat Kedelai pada Uji In Planta
9
Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan Kitosan
dan Agens Antagonis
17
KESIMPULAN DAN SARAN
19
Kesimpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20
DAFTAR TABEL
1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak
2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST
3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
5 Laju infeksi penyakit karat
6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan
kitosan dan agens antagonis
7 Jumlah tanaman berbunga dan berpolong dengan perlakuan kitosan
dan agens antagonis
7
9
10
12
13
17
18
DAFTAR GAMBAR
1 Gejala karat daun kedelai (makroskopis dan mikroskopis)
2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai perlakuan
pada galur Kresna 15 dan Kresna 8
3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai perlakuan
pada galur Kresna 15 dan Kresna 8
4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik
8
11
12
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Larutan kitosan dan agens antagonis yang digunakan
Kejadian penyakit karat 40 sampai 60 HST
Laju infeksi penyakit karat 40 sampai 60 HST
Keparahan penyakit karat 40 sampai 60 HST
26
26
26
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga di
Indonesia setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai mengalami peningkatan
baik terhadap produk asli maupun produk olahan seperti tahu, tempe, dan kecap.
Produksi kedelai Indonesia hanya memenuhi 35%-40% dari kebutuhan (Sumartini
2010). Berdasarkan data dari BPS (2013), produksi kedelai pada tahun 2012
mengalami penurunan sebesar 0.96% dibandingkan dengan tahun 2011. Pada
tahun 2013, produksi kedelai yang sebelumnya diperkirakan mengalami
peningkatan sebesar 0.47% ternyata mengalami penurunan sebesar 7.47% (BPS
2014). Penurunan produksi kedelai pada tahun 2013 terjadi karena adanya
penuruan produktivitas sebesar 4.65% dan penurunan luas panen sebesar 2.96%.
Kedelai optimal dibudidayakan pada ketinggian tidak lebih tinggi dari 500
mdpl, suhu 23-27 ºC untuk pertumbuhan, dan suhu dan 30 ºC untuk
perkecambahan (Balitkabi 2012). Area produksi mayor kedelai adalah pada
daerah subtropis (Hartman et al. 1999). Budidaya kedelai pada kondisi tropis di
Indonesia mengalami beberapa kendala seperti lahan penanaman kedelai terdesak
ke lahan marginal yang kondisinya kering karena kompetisi dengan padi dan
jagung. Faktor lain yang secara signifikan dapat mempengaruhi produktivitas
kedelai adalah gangguan dari organisme pengganggu tanaman (OPT).
Berbagai penyakit tanaman merupakan faktor pembatas yang penting dalam
produksi kedelai, seperti penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopshora
pachyrhizi (Balitkabi 2012). Penyakit ini menyebar di sentra-sentra produksi
kedelai di Indonesia sejak awal tahun 1900-an. Kehilangan hasil akibat penyakit
karat bergantung pada ketahanan varietas yang digunakan. Namun, secara umum
diketahui bahwa penyakit karat mampu menurunkan produksi sebesar 36%-91%
(Sumartini 2010). Patogen ini menyebar dan mengokulasi pada fase uredospora.
Uredospora berukuran 18-34 µm terbentuk di dalam uredium yang berdiameter
25-50 µm. Uredium berkumpul dan terlihat sebagai bercak pustul. Uredospora
berbentuk bulat dan berwarna coklat. Uredospora akan berkembang menjadi
teliospora namun fase ini tidak ditemukan di lapangan (Sumartini 2010). Gejala
penyakit karat kedelai berupa bercak-bercak klorotik kecil berwarna kecoklatan
pada daun dan batang. Bercak daun karat merupakan halangan fisik dari daun
untuk berfotosintesis (Santoso dan Sumarmi 2013).
Secara umum, inokulum patogen karat mudah menyebar dengan bantuan
angin dan hujan pada suhu optimum 25 ºC dan kelembapan udara 80% (Sinaga
dan Wiyono 1997). Penyebab karat kedelai dapat menginfeksi tanaman kedelai
mulai 3-4 MST hingga fase generatif (Sinaga dan Wiyono 2007). Infeksi karat
pada daun dapat menyebabkan daun rontok dan polong kosong. Kerontokan daun
dapat terjadi ketika patogen karat menginfeksi berat pada 40 HST, sedangkan
polong kosong dapat terjadi ketika infeksi karat terjadi pada musim hujan
menjelang fase generatif kedelai (Santosa 2013). Karat merupakan patogen
obligat yang sporanya dapat bertahan pada gulma golongan daun lebar dan 27
jenis tanaman dari famili Fabaceae ketika tidak terdapat tanaman kedelai (Ramlan
dan Nurjanani 2011).
2
Sejak diketahui infeksi patogen karat kedelai berpotensi tinggi menurunkan
hasil, telah dikembangkan beberapa metode untuk pengendaliannya. Pada awal
pengembangan teknologi pengendalian, penggunaan fungisida masih menjadi
pilihan utama. Pengendalian lain yang dilakukan untuk menekan perkembangan
P.pachyrhizi adalah perakitan varietas tahan dengan pemuliaan tanaman namun
belum diperoleh varietas yang tahan karat. Pengendalian dengan fungisida dan
perakitan varietas tahan yang awalnya dianggap efektif, ternyata dalam jangka
waktu tidak terlalu lama tidak efektif lagi karena terjadi perubahan virulensi yang
cepat dari P.pachyrhizi (Fikri 1994). Oleh karena itu, perlu dikembangkan taktik
pengendalian yang tidak menstimulasi perubahan virulensi patogen yang lebih
ganas. Beberapa agens antagonis yang telah diketahui berpotensi dalam
pengendalian P.pachyrhizi adalah Gliocladium dan Pseudomonas sp. (Fikri 1994),
cendawan mikoparasit dan minyak cengkeh (Ramlan dan Nurjanani 2011),
berbagai mikrob filosfer (Santoso dan Sumarmi 2013).
Kitosan adalah poli–(2-amino-2-deoksi-β-(1-4)-D-glukopiranosa) dengan
rumus molekul (C6H11NO4)n yang merupakan biopolimer alami kedua
terbanyak di alam. Kitosan banyak dikenal di masyarakat karena dapat
dimanfaatkan sebagai suplemen makanan, peningkatan produksi pangan dengan
teknologi pelapisan benih, penghambatan ganti kulit serangga hama, pencegahan
dan penekanan perkembangan penyakit tanaman, sampai eliminasi organoklorin
dari air yang tercemar (Goosen 1997). Kitosan telah banyak diteliti untuk
mengendalikan penyakit tanaman. Menurut penelitian Benhamou et al. (1994),
kitosan mampu menginduksi ketahanan tomat terhadap busuk buah dengan
perlakuan benih. Penelitian Hamdayanti et al. (2012) juga menunjukkan bahwa
perlakuan kitosan dapat menghambat infeksi Colletotrichum gloesporioides pada
pepaya baik secara in vitro maupun in vivo. Asetil amino dan glukosamin pada
kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan bagian negatif dari
makromolekul cendawan. Hal inilah yang menyebabkan cendawan mengalami
gangguan dalam pertumbuhannya. Kitosan juga menstimulasi biosintesis asam
salisilat yang berperan dalam pengendalian patogen. Selain menghambat
perkembangan patogen, pelapisan kitosan tersebut juga dapat menunda
pematangan, mengurangi respirasi, dan mengurangi kerusakan tanaman.
Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa kitosan menunjukkan banyak
aktivitas sebagai antimikrob. Keefektifan dari aktivitas tersebut bergantung pada
jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat,
dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan
peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut. Patogen-patogen yang telah
diketahui berhasil dikendalikan oleh kitosan berdasarkan kajian pustaka Hadrami
(2010) adalah virus PVX (Potato Virus X), TMV (Tobacco Mozaic Virus), AMV
(Alfalfa Mozaic Virus); bakteri Escherichia coli, Staphylococus aureus, dan
beberapa spesies Bacillus patogenik; cendawan Botrytis cinerea, Pyricularia
oryzae, dan Neurospora crassa.
Selain memanfaatkan kitosan, dalam penelitian ini juga dievaluasi perlakuan
Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, dan Streptomyces sp. sebagai agens
antagonis. Trichoderma harzianum merupakan salah satu agens antagonis yang
disarankan untuk pengendalian karat kedelai. T.harzianum memiliki sifat dapat
menyebar melalui tanah, berkoloni pada akar tanaman, membantu tanaman dalam
pengikatan nutrisi dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap OPT.
3
T.harzianum telah banyak digunakan dalam pengendalian cendawan patogen
karena mengeluarkan antibiotik antifungi yang disebut trichodermin. T.harzianum
juga dapat memicu biosintesis enzim kitinase, memiliki kemampuan berkompetisi
yang tinggi, dan hiperparasit. Selain itu, T.harzianum memiliki potensi dalam
menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Hermosa et al. 2012).
Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh T.harzianum adalah
Ganoderma boninense pada kelapa sawit, Sclerotium spp. pada kacang tanah, dan
Colletotrichum truncatum pada kedelai. T.harzianum (Santoso 2013).
Bacillus subtilis adalah agens antagonis yang banyak digunakan dalam
pengendalian penyakit tanaman karena mengeluarkan senyawa antimikrob.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi potensi antimikrob dari
B.subtilis. Beberapa penelitian yang menunjukkan patogen yang dapat
dikendalikan oleh B. subtilis adalah Erwinia carotovora pada kentang (Javandira
et al. 2013), Peronosclerospora maydis pada jagung (Zainudin et al. 2014),
Colletotrichum capsici pada cabai (Gunawan 2005), dan Fusarium oxysporum
f.sp gladioli pada gladiol (Wardhana et al. 2009). Potensi B.subtilis sebagai
pengendali cendawan patogen salah satunya dipicu oleh produksi enzim kitinolitik
(Khaeruni dan Rahman 2012). Leifert et al. (1995) bahkan menyatakan bahwa
B.subtilis mampu mengendalikan Botrytis cinerea dengan aktivitas penghambatan
yang sama dengan fungisida komersial.
Streptomyces merupakan genus terbesar dari aktinomiset dan dapat
memproduksi senyawa bioaktif yang bersifat antifungi dalam spektrum luas.
Misalnya, Streptomyces aurofaciens mampu melawan infeksi Candida albicans
pada jahe merah. Selain menjadi pesaing terhadap cendawan-cendawan patogen,
Streptomyces dapat memberikan pengaruh baik terhadap tanaman. Streptomyces
berinteraksi dengan mekanisme lain dalam proses fisiologi, biokimia, sitologi, dan
molekuler sehingga menghasilkan fenomena pembentukan ketahanan tanaman
(Hasegawa et al. 2006). Penggunaan filtrat Streptomyces spp. dapat menurunkan
intensitas penyakit karat berdasarkan penelitian dari Kurniawan (2006). Potensi
Streptomyces spp. terhadap pengendalian penyakit karat tersebut diketahui bahwa
terdapat senyawa aktif yang mampu menghambat perkecambahan uredospora dari
P.pachyrhizi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi kitosan dan agens
antagonis dalam mengendalikan perkembangan Phakopsora pachyrhizi penyebab
penyakit karat pada kedelai dan mengetahui pengaruh fitotoksiknya terhadap
tanaman kedelai.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan
strategi metode pengendalian hayati penyakit karat pada tanaman kedelai.
4
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2013 hingga Maret 2014 di
Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor,
Rumah Kaca dan Rumah Plastik University Farm Unit Lapangan Cikabayan,
Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah benih kedelai
varietas Anjasmoro untuk sumber inokulum patogen, benih kedelai galur IPB
Kresna 15 dan IPB Kresna 8 untuk tanaman uji, top soil, pupuk kandang, pupuk
NPK, media PDA (Potato Dextrose Agar), media NA (Nutrient Agar), media
YCED (Casamino Acid-yeast extract-glucose agar), isolat Trichoderma
harzianum, isolat Bacillus subtilis, isolat Streptomyces sp., jagung pipil (pakan
burung) steril, beras steril, asam asetat konsentrasi 1.5%, dan serbuk kitosan.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah laminar air flow, oven,
mikropipet, autoklaf, dan polibag.
Metode Penelitian
Sumber Inokulum Karat
Sumber inokulum karat dibiakkan pada varietas kedelai rentan (Anjasmoro)
dari Laboratorium Benih Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura
IPB. Benih ditanam sebanyak dua butir per lubang menggunakan polibag
berkapasitas 2 kg. Media tanam yang digunakan adalah top soil, kompos, dan
pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Penanaman dilakukan dalam dua
tahap karena pada penanaman tahap pertama terjadi etiolasi sehingga penanaman
tahap kedua dilakukan di dua tempat, yaitu di dalam dan di luar rumah kaca
masing-masing sebanyak 10 polibag. Perawatan dilakukan dengan penyiraman
satu kali sehari pada sore hari (intensitas cahaya matahari sudah berkurang) dan
pemberian pupuk NPK. Pupuk NPK diberikan dengan dosis 75 kg urea, 100 kg
SP36, dan 100 kg KCl per hektar. Penularan penyakit karat dilakukan dengan
melakukan pemanenan karat dari lapangan.
Uredium karat dari tanaman kedelai terinfeksi di lapangan diambil sebanyak
20 daun yang dipotong kecil dan dimasukkan ke dalam 100 ml air steril. Air berisi
potongan daun dikocok selama 15 menit untuk membuat uredospora terlepas dari
uredium dan tersuspensi dengan air. Tanaman sumber inokulum yang berumur 3
MST diinokulasi dengan suspensi uredospora sebanyak 200 ml/liter air. Sebelum
diinokulasi, larutan ditambah Agristick dengan konsentrasi 1% (v/v). Persiapan
tanaman sumber inokulum karat dilakukan dengan tujuan mengondisikan
keberadaan penyakit karat di lapangan. Hal tersebut berkaitan dengan bioekologi
patogen penyebab penyakit karat yang bersifat obligat.
Inokulasi dilakukan ulang pada umur 5 MST karena sebelumnya kondisi
suhu rumah kaca yang terlalu tinggi mengakibatkan infeksi tidak berhasil.
Inokulasi kedua dilakukan di luar rumah kaca dengan kondisi kelembaban, suhu,
dan angin yang mendukung perkecambahan dan pemencaran spora karat. Gejala
5
karat muncul 9 hari setelah inokulasi. Gejala karat terlihat jelas pada umur
tanaman 43 hari berupa pustul-pustul yang menyebar di permukaan bawah daun.
Persiapan Agens Antagonis Uji
1. Trichoderma harzianum
Isolat Trichoderma harzianum yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari koleksi Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman IPB. Trichoderma harzianum diremajakan pada media PDA dan
diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Pembiakan massal dilakukan pada 300
gram jagung pipil steril yang telah direndam satu malam dan disterilisasi. Inkubasi
dilakukan selama 14 hari untuk mendapatkan massa T.harzianum yang telah
menutupi seluruh permukaan jagung.
2. Bacillus subtilis
Isolat B.subtilis yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari koleksi
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Peremajaan isolat B.subtilis dilakukan pada media NA miring dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 24 jam. Biakan B.subtilis yang telah tumbuh disimpan pada
lemari pendingin untuk dijadikan stok kultur. Ketika akan digunakan, satu lup
inokulum digoreskan pada media NA cawan gores dan diinkubasi pada suhu
ruang selama 24 jam. Selanjutnya, sebanyak 20 ml air steril dituang ke masingmasing cawan yang berisi biakan B.subtilis untuk membuat suspensi bakteri.
Konsentrasi B.subtilis yang digunakan dalam percobaan adalah 1x107 cfu/ml.
3. Streptomyces sp.
Isolat Streptomyces sp. yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman IPB. Peremajaan isolat Streptomyces sp. dilakukan pada media YCED,
kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Isolat Streptomyces sp. yang telah berumur
12 hari disuspensikan pada 20 ml air steril dan diinokulasi pada beras steril yang
telah direndam semalam untuk pembiakan massal Streptomyces sp. Sebanyak 2 ml
Streptomyces sp. disemprotkan pada media beras steril dan diinkubasi selama 14
hari. Biakan Streptomyces sp. dihaluskan dengan menggunakan blender.
Konsentrasi Streptomyces yang digunakan dalam percobaan adalah 1x106 cfu/ml.
Penyiapan Larutan Kitosan
Kitosan yang digunakan didapatkan dari koleksi Departemen Teknologi
Hasil Perairan. Kitosan yang digunakan berasal dari cangkang udang. Sebanyak 1
gram kitosan dicampurkan dengan 20 ml asam asetat 1.5% dan 80 ml aquades
untuk menghasilkan 100 ml larutan kitosan dengan konsentrasi 1%. Kitosan
disiapkan sebanyak 600 ml untuk setiap aplikasi. Aplikasi dilakukan sebanyak
dua kali yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah berkecambah.
Rancangan Percobaan
Pengujian metode pengendalian karat dilakukan dengan menggunakan benih
kedelai galur koleksi Laboratorium Pemuliaan Tananaman Departemen Agronomi
dan Hortikultura IPB (IPB Kresna-8 dan IPB Kresna-15). Penanaman dilakukan
di dalam rumah kaca dan pada hari kesepuluh dilakukan pemindahan tanaman ke
6
rumah plastik untuk mencegah terjadinya etiolasi. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Lengkap (4x2) dengan tiga ulangan
dan terdapat lima unit percobaan untuk setiap ulangan. Percobaan dilakukan
dengan empat perlakuan dan satu pembanding, yaitu: (1) Kontrol; (2) B.subtilis.
Benih kedelai direndam pada suspensi B.subtilis sebanyak 200 ml selama 15
menit. Selanjutnya, benih dikering-anginkan sebelum ditanam. Aplikasi suspensi
B.subtilis juga dilakukan pada 2 MST dengan dosis 10 ml/tanaman; (3)
T.harzianum. T.harzianum diletakkan pada lubang tanam lima hari sebelum
penanaman benih dengan dosis 10 gram/lubang tanam; (4) Kitosan. Kitosan
dengan konsentrasi 1% disemprotkan pada batang kedelai dengan dosis 10
ml/tanaman pada 2 dan 4 minggu setelah benih berkecambah; dan (5) Kombinasi
kitosan dan Streptomyces sp. Kitosan dengan konsentrasi 1% dan suspensi
Streptomyces sp. dengan konsentrasi 100 ml/liter air disemprotkan pada batang
kedelai masing-masing dengan dosis 10 ml/tanaman. Hasil pengujian diamati
dengan menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit penyakit karat pada
40, 45, 50, 55, dan 60 HST.
Pengamatan
Peubah yang diukur untuk menilai keefektifan metode pengendalian uji
yaitu periode laten, kejadian penyakit (KjP) (%), dan keparahan penyakit penyakit
(KpP) (%). Pengukuran dilakukan dari masing-masing dua daun bagian atas,
n
tengah, dan bawah. Kejadian penyakit karat dihitung dengan persamaan: KjP =
N
x 100% dengan n adalah jumlah tanaman yang terinfeksi dan N adalah jumlah
tanaman yang diamati.
Keparahan penyakit penyakit dihitung dengan menggunaan persamaan:
KpP =
7
i=0 ni .vi
N.V
x 100%
ni : jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi : skor ke-i
N : jumlah tanaman yang diamati
V : skor tertinggi
Skoring penyakit karat dilakukan dengan pengamatan berdasarkan metode
Santosa (2003) yang dimodifikasi.
Tabel 1 Skoring penyakit karat daun kedelai berdasarkan jumlah bercak
Skor
0
1
2
3
4
5
6
7
Bercak karat/daun (%)
Jumlah bercak per cm2
0 65
0-10
11-20
21-40
41-60
61-80
81-100
101-120
121-140
7
Selain itu, diamati laju infeksi karat dari kitosan dan agens antagonis yang
Xt
Xo
e
digunakan. Laju infeksi dihitung dengan persamaan: r = (log 1−Xt - log 1−Xo )
t
dengan r adalah laju infeksi, e adalah konstanta hasil konversi yang nilainya
adalah 2.3, t adalah selang waktu pengamatan, Xt adalah keparahan penyakit
penyakit pada waktu-t, dan Xo adalah keparahan penyakit pada pengamatan
sebelumnya. Pengamatan lain adalah gejala fitotoksik kitosan dan agens antagonis
terhadap tanaman kedelai.
Analisis Data
Tabel dan grafik dari hasil percobaan diolah menggunakan Microsoft Office
Excel versi 2007. Analisis sidik ragam dari data percobaan dilakukan dengan
menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) for Windows versi 9.1.3.
Hasil yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji taraf berganda Duncan pada taraf
nyata 5%.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebab Penyakit Karat Kedelai
Phakopsora pachyrhizi dapat ditemukan di lapangan dengan gejala bercak
kecoklatan dan adanya pustul pada daun kedelai. Tanaman kedelai yang terinfeksi
P.pachyrhizi akan menunjukkan bercak kecoklatan pada permukaan atas daun
dengan dikelilingi oleh halo berwarna kuning terang. Pada daun terinfeksi tersebut
menunjukkan adanya pustul yang umumnya bergerombol dan tidak dibatasi oleh
tulang daun. Pustul karat tersebut berukuran sekitar 2 mm. Patogen ini melakukan
penetrasi ke jaringan daun melalui stomata yang banyak terdapat pada permukaan
bawah daun. Gejala ini sesuai dengan pernyataan Hartman et al. (1999) bahwa
gejala karat kedelai adalah bercak berwarna kecoklatan dengan uredia yang
menonjol pada permukaan bawah daun. Keparahan penyakit yang tinggi dapat
menimbulkan gejala pustul karat menyebar pada petiol, polong, dan batang.
Gambar 1
Gejala karat pada permukaan atas daun (a), gejala karat pada
permukaan bawah daun (b), kumpulan uredium (c), mikroskopis
uredospora P.pachyrhizi dengan perbesaran 40x10
Cendawan P.pachyrhizi yang berasal dari daun kedelai terinfeksi dapat
berkecambah pada media PDA da WA (water agar). Pengamatan mikroskopis
menunjukkan bahwa uredospora P.pachyrhizi berwarna kecoklatan dan berbentuk
bulat. Menurut Hartman et al. (1999), uredospora P.pachyrhizi memiliki ukuran
15-24 x 18-34 µm dengan bentuk membulat dan memiliki ketebalan dinding
sekitar 1.0 µm, tidak berwarna atau berwarna kuning pucat dan berkecambah pada
3 sampai 6 jam setelah inkubasi pada suhu 14-29 ºC. Hasil pengamatan
makroskopis dan mikroskopis serta data pendukung menunjukkan bahwa gejala
yang ditemukan pada daun kedelai merupakan gejala infeksi P.pachyrhizi.
Gejala yang ditimbulkan oleh P.pachyrhizi pada daun kedelai dapat
berbeda sesuai dengan genotip kedelai dan ras dari patogen. Perbedaan tersebut
dapat dilihat dari warna bercak pustul, jumlah uredia yang muncul, dan periode
laten penyakit. Bercak pustul yang timbul umumnya berkorelasi dengan klorosis
daun. Jumlah bercak yang tinggi dapat menyebabkan gugur daun prematur dan
kematangan dini pada tanaman baik pada fase vegetatif maupun generatif.
Umumnya, kejadian penyakit karat yang tinggi terjadi pada suhu di bawah
28 ºC dan kelembapan udara di atas 80%. Perkecambahan dan penetrasi
uredospora membutuhkan film air dan terjadi pada suhu 8-28 ºC. Uredia muncul
sekitar 9-10 hari setelah terjadi infeksi dan uredospora muncul 3 minggu setelah
9
infeksi. Seluruh fase penanaman kedelai rentan terhadap infeksi karat, namun
biasanya gejala muncul pada pertengahan hingga akhir musim tanam, berkaitan
dengan kondisi suhu dan kelembaban tanaman yang mendukung terjadinya infeksi
dan sporulasi. Uredospora karat menyebar dengan bantuan angin. P.pachyrhizi
bukan merupakan patogen tular benih pada kedelai.
Keefektifan Kitosan dan Agens Antagonis dalam Penghambatan Penyakit
Karat Kedelai pada Uji In Planta
Berdasarkan hasil pengujian potensi penghambatan in planta, kitosan,
Trichoderma harzianum, Bacillus subtilis, serta kombinasi kitosan dengan
Streptomyces sp. dapat mengendalikan perkembangan penyakit karat kedelai
dibandingkan dengan kontrol. Pada awalnya, percobaan mengevaluasi potensi
antagonisme Streptomyces sp. secara tunggal terhadap perkembangan penyakit
karat. Namun, hasil penelitian Kurniawan (2006) telah menyatakan bahwa filtrat
Streptomyces sp. dapat menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora
pachyrhizi dan menahan perkembangan penyakit pada percobaan in planta. Hasil
penelitian tersebut mendorong dilaksanakannya evaluasi potensi kitosan jika
dikombinasikan dengan Streptomyces sp. Hasil dari pengujian tersebut dapat
memberikan informasi tentang sinergisme kitosan dengan agens antagonis dari
golongan aktinomiset dalam pengendalian penyakit karat kedelai.
Tabel 2 Proporsi jumlah daun kedelai terinfeksi karat 60 HST
Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Proporsi daun terinfeksi
per daun total (%)a
3.18d
25.39c
55.28a
39.34b
64.43a
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
10.19d
11.53d
43.11 b
14.91 cd
41.63 b
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa perkembangan penyakit karat pada perlakuan
T.harzianum dan B.subtilis lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dalam satu
tanaman. Sementara itu, perlakuan kitosan dan kombinasi kitosan dengan
Streptomyces sp. pada galur Kresna 15 dan perlakuan kitosan pada galur Kresna 8
menunjukkan proporsi daun terinfeksi yang sama dengan kontrol. Proporsi daun
kedelai yang terinfeksi penyakit karat paling kecil terdapat pada perlakuan
T.harzianum pada galur Kresna 15. Proporsi daun terinfeksi tidak dapat
memberikan informasi tentang keparahan penyakit pada masing-masing perlakuan.
Namun, proporsi daun terinfeksi dapat memberikan informasi tentang potensi
10
penghambatan kitosan dan agens antagonis pada lingkungan mikro dalam hal ini
satuan percobaan.
Tabel 3 Kejadian penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
Galur
Kresna 15
Kresna 8
Perlakuan
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kejadian penyakit (%)a
20.00d
53.30c
100.00a
86.70b
100.00a
40.00d
46.67c
80.00b
53.30c
100.00a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Kejadian penyakit karat dapat ditekan oleh aplikasi T.harzianum dan
Bacillus subtilis serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces (Tabel 3).
Sementara itu, perlakuan kitosan menunjukkan tingkat kejadian yang sama
dengan kontrol. Efektivitas kitosan bergantung pada konsentrasi yang digunakan,
jenis kitosan (murni atau turunan), derajat polimerasi, inang, komposisi substrat,
dan kondisi lingkungan. Aktivitas antimikroba juga meningkat seiring dengan
peningkatan bobot molekul dari kitosan tersebut (Hadrami et al. 2010).
Spesifisitas dari karateristik kitosan tersebut membutuhkan ukuran parametrik
yang tepat dalam aplikasinya terhadap penekanan perkembangan penyakit
tanaman. Penggunaan kitosan pada konsentrasi yang berlebihan dapat
menurunkan ekfektivitas penghambatan patogen dan juga dapat menyebabkan
pengaruh negatif lain pada tanaman.
Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai meningkat relatif pada 50
HST (hari setelah tanam) yang ditunjukkan pada Gambar 2. Pada 50 HST,
tanaman kedelai berada pada awal fase generatif yaitu pembungaan. Intensitas
infeksi penyakit karat meningkat pada awal fase pembungaan tersebut. Hal ini
sesuai dengan teori dari Hartman et al. (1999) yang menyatakan bahwa seluruh
fase perkembangan kedelai reseptif terhadap infeksi P.pachyrhizi namun gejala
paling umum ditemukan pada akhir masa vegetatif (awal fase generatif). Hal
tersebut berkaitan dengan kondisi lingkungan yang menjadi syarat cukup
perkembangan bunga relatif sama dengan syarat cukup perkembangan dan
pemencaran dari spora P.pachyrhizi yaitu pada suhu di atas 24 ºC dan kelembaban
di atas 70%.
11
100
A
Kejadian penyakit (%)
90
80
70
T.harzianum
60
B.subtilis
50
Kitosan
40
Kitosan + Streptomyces
30
Kontrol
20
10
0
35
100
45
50
55
60
B
90
Kejadian penyakit (%)
40
80
70
60
T.harzianum
50
B.subtilis
40
Kitosan
30
Kitosan +Streptomyces
20
Kontrol
10
0
35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam
Gambar 2 Perkembangan kejadian penyakit karat kedelai berbagai
perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)
Berdasarkan hasil percobaan, diketahu bahwa perlakuan kitosan,
T.harzianum, B.subtilis, serta kombinasi kitosan dengan Streptomyces sp. mampu
menekan perkembangan penyakit karat. Gambar 3 menunjukkan bahwa
perkembangan keparahan penyakit karat meningkat untuk semua perlakuan
selama waktu pengamatan. Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh perlakuan
memiliki keparahan penyakit yang lebih rendah dari kontrol. Keparahan penyakit
terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum baik pada galur Kresna 15 maupun
Kresna 8. Penekanan perkembangan keparahan penyakit karat oleh B subtilis
sama dengan T.harzianum dan lebih tinggi dari penekanan keparahan penyakit
oleh kitosan dan kombinasi antara kitosan dan Streptomyces sp. Peningkatan
keparahan penyakit pada keempat perlakuan memiliki slope yang relatif landai.
Sementara itu, peningkatan keparahan penyakit pada kontrol memiliki slope yang
relatif lebih curam.
12
Tabel 4 Keparahan penyakit karat oleh P.pachyrhizi pada 60 HST
Galur
Keparahan penyakit
penyakit (%)a
6.99c
12.72bc
17.75b
19.71b
39.10a
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
9.37c
7.50bc
12.52b
9.94b
26.19a
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Keparahan penyakit (%)
40
A
35
30
T.harzianum
25
B.subtilis
20
Kitosan
15
Kitosan + Streptomyces
10
Kontrol
5
0
35
Keparahan penyakit (%)
40
35
40
45
50
55
60
B
30
25
T.harzianum
20
B.subtilis
15
Kitosan
10
Kitosan +Streptomyces
5
Kontrol
0
35
40
45
50
55
60
Hari setelah tanam
Gambar 3 Perkembangan keparahan penyakit karat kedelai berbagai
perlakuan pada galur Kresna 15 (A) dan Kresna 8 (B)
13
Tabel 5 Laju infeksi penyakit karat kedelai
Rata-rata laju infeksi pada perlakuan-xa
Galur
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan +
Streptomyces
Kontrol
Kresna 15
0.160a
0.274ab
0.413b
0.402b
0.971c
Kresna 8
0.313ab
0.262ab
0.464b
0.366ab
0.751c
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Perhitungan laju infeksi penyakit karat untuk masing-masing perlakuan
pada kedua galur dapat dilihat pada tabel 4. Laju infeksi setiap perlakuan secara
signifikan lebih rendah dari kontrol. Nilai rata-rata laju infeksi setiap perlakuan
yang lebih rendah dari 0.5 dapat disebabkan karena patogen tidak terlalu agresif,
varietas inang tahan, dan faktor lingkungan internal dan eksternal yang tidak
mendukung perkembangan patogen (Manengkey dan Senewe 2011). Laju infeksi
terendah terdapat pada perlakuan T.harzianum pada galur Kresna 15.
Perbandingan antar kontrol menunjukkan bahwa galur Kresna 8 relatif lebih tahan
terhadap infeksi penyakit karat.
Berdasarkan data perkembangan kejadian dan keparahan penyakit karat,
diketahui bahwa kitosan, T.harzianum, B.subtilis, dan kombinasi antara kitosan
dan Steptomyces sp. efektif dalam pengendalian penyakit karat pada tanaman
kedelai. Penghambatan Trichoderma harzianum terhadap cendawan patogen
secara umum dapat terjadi dengan beberapa mekanisme. Mekanisme tersebut
adalah hiperparasitisme dengan cara pelilitan hifa, produksi toksin yang bersifat
antibiotik, perusakan sitoplasma yang menyebabkan terganggunya rangkaian
sistesis protein cendawan patogen, penguasaan rhizosfer dan nutrisi, dan produksi
enzim kitinase sebagai penghancur dinding sel cendawan (Howell 2014). Namun,
mekanisme yang terjadi pada percobaan diduga merupakan hasil induksi
ketahanan tanaman oleh T.harzianum terhadap patogen karat. Sriram et al. (2009)
menyatakan bahwa T.harzianum dapat meningkatkan aktivitas enzim glukanase
pada tanaman sebesar 22% dan meningkatkan kandungan fenol. Induksi
ketahanan oleh T.harzianum tidak menyebabkan reaksi hipersensitif, nekrosis, dan
fitotoksik. Hasil pengamatan agronomi juga menunjukkan bahwa perlakuan
T.harzianum memiliki jumlah daun, jumlah bunga, dan jumlah polong yang lebih
tinggi dari perlakuan lain.
Potensi T.harzianum dalam pengendalian patogen-patogen tular tanah telah
banyak diketahui. Potensi T.harzianum tersebut berkaitan dengan produksi toksin
(trichodermin). Beberapa cendawan tular tanah yang dapat dikendalikan oleh
T.harzianum adalah Rhizoctonia solani, Sclerotinia americana, Pythium ultimum,
dan Macrophomia phaseolina (Howell 2014). Potensi antifungi T.harzianum
dapat dioptimalkan dengan stimulasi tertentu. Penelitian terkini tentang
pemanfaatan toksin dari T.harzianum adalah penambahan gen mutan untuk
peningkatan efektivitas dari toksin tersebut.
T.harzianum diketahui memiliki berbagai mekanisme yang memberikan
pengaruh positif terhadap tanaman. T.harzianum dapat melakukan penetrasi ke
jaringan epidermis dan korteks akar tanaman yang terinfeksi tanpa memberikan
14
pengaruh negatif jaringan tanaman yang tidak terinfeksi. T.harzianum memiliki
dua jenis enzim kitinase, yaitu endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase
T.harzianum dapat meningkatkan ketahanan tanaman tembakau dan kentang
terhadap patogen dalam spektrum yang luas, sementara eksokitinase dapat
meningkatkan ketahanan tanaman apel terhadap penyakit kudis (Venturia
inaequalis). Penelitian tentang peningkatan efektivitas T.harzianum juga
dilakukan oleh Limon et al. (1999) dengan peningkatan ekspresi dari 33-kda
kitinase. Perlakuan T.harzianum yang memiliki tingkat kejadian dan keparahan
penyakit paling rendah pada percobaan ini didukung oleh peningkatan ketahahan
tanaman. Peningakatan ketahanan tanaman tersebut terjadi dengan peningkatan
kandungan enzim peroksidase dan peningkatan kandungan kalosa pada dinding
sel tanaman. Peningkatan enzim peroksidase dan kalosa dapat menjadi
penghalang fisik dan kimia terhadap penetrasi patogen pada bagian akar maupun
daun (Howell et al. 2014).
Penekanan penyakit karat kedelai juga dapat dilakukan oleh Bacillus subtilis.
Kejadian dan keparahan penyakit karat pada perlakuan B.subtilis relatif rendah
dan perkembangan penyakit pada perlakuan B.subtilis relatif tidak signifikan. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat aktivitas antagonisme yang tinggi dari B.subtilis
terhadap P.pachyrhizi. Selain sering digunakan sebagai agens biokontrol,
beberapa strain B.subtilis juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman
dengan memicu peningkatan produksi asam salisilat pada tanaman (Saharan dan
Nehra 2011).
Umumnya, mekanisme kerja bakteri sebagai agens biokontrol adalah
produksi antibiotik. Produksi antibiotik bakteri memiliki aktivitas antifungi pada
spektrum yang luas. Beberapa antibiotik yang dapat dihasilkan oleh bakteri dan
patogenik terhadap cendawan adalah asam sianida, hidrogen sianida, mutan
negatif sianida. Setiap bakteri antagonis memiliki antibiotik spesifik yang dapat
berspektrum sempit maupun luas terhadap cendawan patogen. B.subtilis dapat
menghasilkan mikosubtilin yang dapat mengendalikan Saccharomyces cerevisiae,
Pythium sp., (Leclare et al. 2005) dan basicubin yang dapat mengendalikan
Pyricularia oryzae, Sclerotinia scleotiorum, Rhizoctonia solani, Alternaria
oleracea, A.brassicae, dan Botrytis cinerea (Yongfei et al. 2006).
Fiddaman dan Rosall (1993) melakukan deteksi terhadap antibiotik volatil
yang diproduksi oleh B.subtilis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
aktivitas produksi antibiotik B.subtilis sangat bervariasi tergantung dari media dan
suhu inkubasi yang digunakan. Media yang paling baik dalam menunjang
produksi antibiotik tersebut adalah media potato dextrose agar (PDA) dan
produksi antibiotik tidak optimal pada media nutrient agar (NA) dan tryptic soy
agar (TSA). Untuk suhu inkubasi, produksi senyawa antibiotik volatil tersebut
optimal pada suhu 30 ºC dan produksi tidak dapat berlangsung di bawah suhu 25
ºC. Aktivitas penghambatan B.subtilis terhadap cendawan patogen adalah
kombinasi akumulasi toksin dan enzim pendegradasi sel cendawan. Dua kelas
cendawan yang dapat dikendalikan secara efektif oleh B.subtilis adalah oomycetes
dan basidiomycetes. B.subtilis dapat mengganggu pembentukan hifa dan
mengganggu metabolisme di dalam vakuola.
Streptomyces sp. merupakan bakteri berfilamen gram positif yang berasal
dari golongan aktinomiset. Banyak spesies dan strain Streptomyces sp. yang
sering dimanfaatkan sebagai agens biokontrol. Streptomyces sp. memiliki peran-
15
peran fisiologis yang bermanfaat untuk tanaman. Peran-peran tersebut di
antaranya adalah peningkatan fungsi fisiologis tanaman inang, peningkatan
toleransi tanaman terhadap kekeringan, dan penekanan populasi mikrob patogen
dengan antibiosis dan kompetisi. Streptomyces sp. memproduksi berbagai
senyawa bioaktif yang patogenik terhadap fungi, seperti novobiosin, alnomisin,
munumbisin, kakadumisin, dan coronamisin.
Mekanisme kerja dari Streptomyces sp. adalah mendegradasi dinding sel
cendawan penyebab penyakit karat. Proses penghancuran tersebut merupakan
aktivitas dari enzim kitinase. Penelitian Kim et al. (2003) menyatakan bahwa
enzim kitinase dari Streptomyces sp. bekerja apaling optimal pada pH 5.0 sampai
pH 6.0 dan suhu 30 ºC. Pada pH di bawah 4.0 dan suhu mencapai 60 ºC, enzim
kitinase Streptomyces sp. kehilangan aktivitas antagonismenya. Pada kondisi
optimal, enzim kitinase dapat digunakan untuk menghidrolisis kitin, kitotriosa,
dan kitooligosakarida yang digunakan untuk pembentukan dinding sel cendawan
patogen. Penelitian lain menunjukkan bahwa metabolit sekunder dari
S.aureofaciens CMUAc 130 dapat mengendalikan Colletotrichum musae dan
Fusarium oxysporum dengan produksi metabolit sekunder 5,7-dhimethoxy-4-pmethoxylphenilcoumarine yang dalam uji in vitro menyebabkan pengacauan
sinyal pembentukan hifa sehingga terjadi penggumpalan metabolit pada
pertumbuhan hifa cendawan (Taechowisan et al. 2005). Aktivitas antifungi pada
aktinomiset lain (S.campsonii) terjadi karena adanya produksi antibiotik poliene
yang dapat menyebabkan hidrolisis pati, kasein, gelatin, dan reduksi nitrat (Jain
dan Jain 2007).
Kitosan telah banyak dimanfaatkan dalam pengendalian cendawan patogen.
Komponen utama kitosan dalam aktivitas antagonismenya adalah polikationik.
Aasetil amino dan glukosamin pada kitosan yang bermuatan positif akan berikatan
dengan bagian negatif dari makromolekul cendawan sehingga pertumbuhan
cendawan terganggu. Selain menghambat pertumbuhan cendawan, kitosan juga
dapat menyebabkan gangguan pada morfologi, struktur sel, dan molekuler
cendawan patogen (Banos et al. 2006). Perubahan morfologi cendawan patogen
yang disebabkan oleh kitosan adalah percabangan miselia yang terlalu banyak,
bentuk miselia yang abnormal, dan reduksi ukuran hifa. Mekanisme ini terjadi
pada cendawan Fusarium oxysporum, Rhizopus stolonifer, dan Slerotinia
sclerotiorum yang diberi perlakuan kitosan.
Selain penekanan terhadap patogen, kitosan memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman dan peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen.
Banos et al. (2006) juga menyatakan bahwa aktivitas kitinase dan pengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman kedelai lebih bergantung pada periode pemaparan
kitosan dibandingkan denhan konsentrasi dari kitosan tersebut. Kelebihan kitosan
dibandingkan dengan agens pengendali lainnya adalah dapat dimanfaatkan pada
setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan berbagai organ tanaman.
Contoh dari pernyataan tersebut adalah kitosan dapat memperlambat munculnya
gejala busuk akar pada tanaman hortikultura dan menekan perkembangan
penyakit tular tanah pada perbenihan (Banos et al. 2006), menekan perkembangan
penyakit busuk buah pada jambu kristal (Kusumawardhany 2013) dan pepaya
(Barus 2013). Selain dapat diaplikasikan secara tunggal, aktivitas kitosan juga
sinergis dengan agens antagonis lain sepertiaktinomiset. Hal ini dibuktikan oleh
16
Amallia (2013) bahwa kombinasi kitosan dengan aktinomiset dapat mencegah
penyakit antraknosa dan meningkatkan daya simpan buah cabai sampai 10 hari.
Fitotoksisitas adalah potensi terjadinya keracunan pada tanaman pokok
akibat aplikasi dari input eksternal baik input fisik, input kimia, dan input biologi.
Fitotoksisitas pada tanaman dapat disebabkan karena adanya interaksi negatif dari
input eksternal dengan ekosistem mikro tanaman. Fitotoksisitas merupakan salah
satu rangkaian pengujian kelayakan dalam penggunaan bahan dan agens yang
akan digunakan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman. Gejala fitotoksik
yang dapat ditemui akibat aplikasi input biologi diantaranya adalah daun
menguning, layu, kerdil, bercak, dan mosaik dengan sebaran yang relatif merata
baik dalam satu bagian tanaman maupun dalam satu tanaman.
Gambar 4 Tanaman dengan gejala yang diduga fitotoksik dari perlakuan Bacillus
subtilis (a dan b), kitosan (c)
Perlakuan T.harzianum serta kombinasi kitosan dan Streptomyces sp. tidak
menunjukkan gejala fitotoksik. Tanaman yang diduga mengalami gejala fitotoksik
ditemui pada perlakuan B.subtilis dan kitosan. Gambar 4 menunjukkan beberapa
contoh tanaman yang diduga mengalami gejala keracunan akibat aplikasi kitosan
dan agens antagonis yang digunakan. Pada perlakuan B.subtilis ditemukan 6 dari
15 tanaman yang pada bagian daunnya terdapat bercak berwarna merah
kecoklatan. Bercak tersebut berbentuk bulat beraturan, menyebar pada permukaan
atas daun, dan memiliki ukuran yang relatif sama. Hasil isolasi dan uji gram
dengan larutan KOH 3% menunjukkan bahwa bercak tersebut disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif dengan ciri terdapat lendir pada saat pengujian gram.
Gejala lain pada perlakuan B.subtilis yang awalnya diduga merupakan
gejala fitotoksik adalah layu. Gejala tersebut ditemui pada 4 dari 15 tanaman pada
galur Kresna 15 dan 2 dari 15 tanaman pada galur Kresna 8. Tanaman pada gejala
tersebut berwarna coklat terang merata pada keseluruhan bagian tanaman. Hasil
isolasi dan uji gram juga menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh
infeksi bakteri gram negatif.
Pada uji fitotoksisitas dengan menggunakan kitosan, ditemukan 7 dari 15
tanaman pada galur Kresna 15 yang batang bagian bawahnya terkelupas.
Terkelupasnya batang bagian bawah tersebut ditunjukkan dengan kulit batang
yang mengering dan jaringannya terpisah seperti serabut. Batang bagian bawah
yang mengalami gejala tersebut merupakan area aplikasi kitosan pada 2 dan 4
MST. Penelitian Hadrami et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi kitosan
mempengaruhi aktivitasnya terhadap tanaman. Pernyataan lanjutan dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa jika diaplikasikan pada konsentrasi yang terlalu
tinggi, kitosan dapat menyebabkan gejala seperti gosong pada buah, kering pada
17
daun dan batang tanaman, serta penggumpalan. Konsentrasi kitosan minimal yang
dapat digunakan untuk menekan perkembangan cendawan patogen adalah 1 000
sampai 5 000 ppm sedangkan percobaan ini menggunakan konsentrasi 20 000
ppm. Hasil pengamatan terhadap gejala terkelupasnya batang bagian bawah
kedelai diduga disebabkan oleh konsentrasi aplikasi kitosan yang terlalu tinggi,
yaitu 1%. Gejala terkelupasnya batang bagian bawah juga terjadi pada tanaman
dalam uji antagonisme namun dalam jumlah yang lebih sedikit dari tanaman
dalam plot uji fitotoksisitas. Gejala tersebut diduga juga dapat disebabkan oleh
aktivitas asam asetat yang konsentrasinya relatif tinggi dalam larutan kitosan,
yaitu 20%.
Perbandingan Karakter Agronomi Tanaman Kedelai dari Perlakuan
Kitosan dan Agens Antagonis
Perlakuan kitosan dan ketiga agens antagonis tidak hanya memberikan
pengaruh terhadap penekanan perkembangan penyakit, tetapi juga memberikan
pengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Parameter yang diamati
pada pengamatan karakter agronomi kedelai adalah ukuran daun, jumlah tanaman
berbunga dan jumlah tanaman berpolong pada awal fase generatif. Menurut
Balitkabi (2013), awal fase generatif tanaman kedelai adalah pada 35 HST.
Ukuran daun terbesar terdapat pada perlakuan T.harzianum. Ukuran daun
yang besar dapat meningkatkan kapasitas penerimaan cahaya matahari untuk
fotosintesis. Proses fotosintesis yang optimal akan mendukung perkembangan
tanaman yang dapat diukur dari keragaan tanaman dan hasil panen yang tinggi.
Hasil tersebut merupakan interaksi antara potensi kitosan agens antagonis yang
diaplikasikan dengan karakter genetik dari masing-masing galur.
Tabel 6 Jumlah daun kedelai galur Kresna 15 dan Kresna 8 dengan perlakuan
kitosan dan agens antagonis
Galur
Perlakuan
Kresna 15
T.harzianum
B.subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Kresna 8
T.harzianum
B. subtilis
Kitosan
Kitosan + Streptomyces
Kontrol
Rata-rata jumlah dauna
Uji antagonisme
Uji fitotoksisitas
21a
16a
10ab
12ab
11ab
10ab
12ab
9bc
9bc
13ab
14ab
11ab
11ab
11ab
10ab
19a
11ab
12ab
13ab
11ab
a
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α=5%.
Jumlah daun kedelai pada aplikasi T.harzianum lebih tinggi daripada
kontrol sedangkan perlakuan lain mem