Penerapan Metode Common Reflection Surface (CRS) pada Data Seismik Laut 2D di Laut Flores.

PENERAPAN METODE COMMON REFLECTION
SURFACE (CRS) PADA DATA SEISMIK LAUT 2D
DI LAUT FLORES

ITA WULANDARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Metode
Common Reflection Surface (CRS) pada Data Seismik Laut 2D di Laut Flores
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Ita Wulandari
NIM C54110056

ABSTRAK
ITA WULANDARI. Penerapan Metode Common Reflection Surface (CRS) pada
Data Seismik Laut 2D di Laut Flores. Dibimbing oleh HENRY MUNANDAR
MANIK dan SUBARSYAH.
Penelitian bertujuan untuk membandingkan penampang hasil pengolahan
data seismik menggunakan stack konvensional dan metode Common Reflection
Surface (CRS), dan membuktikan bahwa metode CRS mampu memberikan
pencitraan yang lebih baik dibandingkan dengan metode stack konvensional.
Penelitian menggunakan satu lintasan data seismik hasil akusisi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) pada Juni 2012 di Laut Flores.
Penelitian mengolah data seismik mulai dari input data sampai stack, kemudian
dilanjutkan dengan metode CRS. Metode CRS menggunakan beberapa
penyesuaian pada aperture. Penampang yang optimal menggunakan dip aperture
300 m dan stack aperture 100 m. Hasil menunjukkan penampang data seismik

menggunakan metode CRS mampu memberikan pencitraan yang lebih baik
dibandingkan dengan metode stack konvensional. Metode CRS dapat
meningkatkan kualitas penampang karena reflektor yang terlihat jelas dan kontinu.
Kata kunci: Common Reflection Surface, laut, reflektor, seismik, stacking

ABSTRACT
ITA WULANDARI. Application of Common Reflection Surface (CRS) Methods
for 2D Marine Seismic Data in the Flores Sea. Supervised by HENRY
MUNANDAR MANIK and SUBARSYAH.
The aim of the research is to compare the results of seismic data processing
using conventional stack and Common Reflection Surface (CRS) methods, also
proves that the CRS method capable for providing better imaging than conventional
stack method. Seismic data on June 2012 in Flores Sea from Marine Geological
Institute (MGI) is used in this research. Processing start from input data to stack,
then using CRS method. The CRS method used some adjustment on aperture. The
optimal visualization used dip aperture 300 m and stack aperture 100 m. Results
show the seismic data using the CRS provide better imaging than conventional
stack method. CRS method can improve the quality of the stack result because the
reflector more visible and continuous.
Key words: Common Reflection Surface, marine, reflector, seismic, stacking


PENERAPAN METODE COMMON REFLECTION
SURFACE (CRS) PADA DATA SEISMIK LAUT 2D
DI LAUT FLORES

ITA WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
akustik, dengan judul Penerapan Metode Common Reflection Surface (CRS) pada
Data Seismik Laut 2D di Laut Flores.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Henry M. Manik, S.Pi., M.T.,
Ph.D. dan Bapak Subarsyah S.Si, M.T. selaku pembimbing. Selain itu, terima kasih
penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
atas data survey yang digunakan dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluarga dan teman-teman atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Ita Wulandari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv


DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1


METODE

2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Pengolahan Data

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Data Seismik

13

Preprocessing

14

Velocity Analysis

16

Perbandingan Konvensional Stack dan CRS Stack

17


SIMPULAN DAN SARAN

25

Simpulan

25

Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

27


RIWAYAT HIDUP

30

DAFTAR TABEL
1

Parameter lapangan data seismik untuk proses pengolahan dalam
geomery

5

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5


6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

19
20

21


22
23
24
25
26

Lokasi Akusisi Data Seismik (
)
Alur pengolahan data dengan ProMAX
Spesifikasi parameter dalam SEG-D Input dalam proses input data
Proses pemilihan batas untuk Autocorrelation dengan (A) sinyal yang
dihasilkan dari kolom air, (B) dan (C) sinyal yang dihasilkan dari bidang
reflektor
Penggunaan batas atas dan batas bawah yang akan digunakan dalam
proses Deconvolution dengan (A) sinyal yang dihasilkan akibat derau, (B)
sinyal yang dihasilkan kolom air, (C) sinyal yang dihasilkan pada dasar
perairan, dan (D) sinyal yang terdeteksi sebagai multiple
Spesifikasi filter bandpass dengan Ormsby bandpass
Spesifikasi True Amplitude Recovery
Tampilan hasil Autocorrelation
Spesifikasi Predictive Deconvolution
Spesifikasi Velocity Analysis
Ilustrasi NMO untuk satu reflektor horizontal
Spesifikasi Normal Moveout Correction
Spesifikasi CDP/ Ensemble Stack
Atribut CRS
Spesifikasi 2D CRS ZO Search
Spesifikasi 2D CRS Precompute
Spesifikasi 2D CRS Stack
Tampilan raw data seismik yang akan diolah. Bagian (A) hasil refleksi
gelombang seismik dengan permukaan air laut, bagian (B) hasil refleksi
gelombang seismik dengan dasar laut, dan bagian (C) multiple (noise pada
hasil perekaman seismik).
Tampilan data geometry yang di-stack
Tampilan data seismik hasil analisis spektral sebelum di filter bandpass
dengan (A) domain waktu, (B) spektrum amplitudo, (C) domain fasa, (D)
domain F-X
Tampilan data seismik hasil analisis spektral setelah di filter bandpass
dengan (A) domain waktu, (B) spektrum amplitudo, (C) domain fasa, (D)
domain F-X
Perbandingan nilai parameter test pada True Amplitude Recovery
Hasil CRS stack
Picking Velocity untuk stack konvensional
Picking Velocity untuk stack CRS
Hasil stack data CRS dengan Dip Aperture 300 m (a), dengan Dip
Aperture 600 m (b), dan dengan Dip Aperture 900 m (c).

2
3
4

6

6
8
8
8
8
9
9
10
10
10
11
12
13

14
14

15

15
16
16
17
17
19

27 Hasil stack data CRS dengan Stack Aperture 50 m (a), dan dengan Stack
Aperture 100 m (b)
28 Hasil stack konvensional
29 Hasil CRS stack
30 Daerah yang dianalisa pada penampang seismik. Penampang dibagi dan
difokuskan dalam tiga bagian yaitu bagian I, bagian II dan bagian III.
Garis (
) merupakan pemisah antar bagian.
31 Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B) pada bagian I.
Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak biru(
)
32 Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B) pada bagian II.
Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak biru (
)
33 Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B) pada bagian III.
Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak biru (
)

20
21
22

23
23
24
24

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kapal Riset Geomarin III
2 Akusisi Data Seismik Kapal Riset Geomarin III

27
29

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan eksplorasi bawah laut erat kaitannya dengan pemetaan struktur
bawah laut. Metode seismik menjadi bagian dalam metode pemetaan struktur
bawah laut dengan teknologi akustik. Metode ini memanfaatkan perambatan,
pemantulan, dan pembiasan gelombang suara.
Tahapan dalam metode seismik salah satunya yaitu pengolahan data. Melalui
pengolahan data seismik dihasilkan gambaran struktur bawah permukaan bumi.
Proses ini melakukan perbaikan kualitas data dengan meningkatkan resolusi
temporal, meningkatkan kualitas signal to noise ratio (SNR) dan meningkatkan
resolusi lateral (Yilmaz, 2001; Liu 2011). Adanya teknologi komputasi yang
semakin berkembang memungkinkan untuk dihasilkan penampang data seismik
yang akurat dan resolusi lebih baik.
Berbagai penelitian mengenai pengolahan data seismik untuk meningkatkan
kualitas data seperti penerapan bandpass filter dan automatic gain control (AGC)
pada data seismik laut (2D) di Laut Flores (Adi, 2014), pengukuran kecepatan
gelombang seismik laut 2D menggunakan prestack time migration dengan Metode
Kirchhoff (Reza, 2013), dan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa penelitian
mengenai pengolahan data seismik sangat bermanfaat dalam keberlanjutan
informasi dalam bidang ilmu hidroakustik.
Pengolahan data seismik memiliki beberapa tahapan, salah satu tahapan
utama yaitu stack. Tujuannya yaitu meningkatkan kualitas SNR. Penelitian ini
menggunakan dua metode stack yaitu konvensional dan CRS. Kedua metode ini
memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode konvensional stack tidak memakai
data keseluruhan /multicoverage, metode ini hanya menggunakan beberapa data
seismik tertentu dalam proses stacking (Hertweck et al., 2004). Konvensional stack
rawan terjadi kesalahan karena penentuan model kecepatan makro dilakukan secara
manual (Majana et al., 2004). Metode Common Reflection Surface (CRS) stack
menjadi solusi alternatif bagi konvensional stack karena mampu meningkatkan
kualitas penampang seismik sehingga memudahkan dalam identifikasi batas lapisan
dan menampilkan gambaran semirip mungkin dengan keadaan sebenarnya.
Metode CRS stack menggunakan data seismik keseluruhan dalam kondisi
zero offset (Garabito et al., 2012). Selain itu metode ini tidak menggantungkan
model kecepatan secara makro namun kecepatan diestimasi melalui pendekatan
geometri dengan mensubtitusikan atribut sudut antara sinar dan garis normal (α),
radius kelengkungan gelombang Normal Incident Point (RNIP) dan radius
kelengkungan gelombang normal (RN) pada CDP (Tygel et al. 1997; Hertwerck et
al., 2004; Garabito et al., 2012).
Penelitian ini melakukan pengolahan data dengan dua metode yaitu
konvensional stack dengan CRS stack. Hasil stack akan dibandingkan untuk
melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah 1) membandingkan penampang hasil pengolahan
data seismik menggunakan stack konvensional dan metode CRS, dan 2)

2
membuktikan bahwa metode CRS mampu memberikan pencitraan yang lebih baik
dibandingkan dengan metode stack konvensional.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2015. Lokasi objek
penelitian berada di Laut Flores. Akusisi data seismik dilakukan oleh P3GL pada
Juni 2012 dalam rangka pemetaan geologi bawah laut di sekitar Laut Flores.
Penelitian ini menggunakan satu lintasan yaitu lintasan 15 (WTAR-15.1) yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Pengolahan data dilakukan di Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Bandung, Jawa Barat.

Tahun 2010

Gambar 1. Lokasi Akusisi Data Seismik (

)

Bahan
Bahan penelitian ini adalah data hasil akusisi dalam bentuk soft file yang
dilakukan oleh P3GL Bandung pada bulan Juni 2012. Data yang digunakan dalam
penelitian beresktensi SEG-D dengan satu lintasan yaitu lintasan 15.1.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Linux yang memiliki perangkat lunak ProMAX 2D Versi

3
5000.0.0.0 ©Landmark Graphics Corporation 1989-2008. All Rights
Reserveduntuk pengolahan data seismik laut. Pembuatan peta akusisi dilakukan
dengan perangkat lunak ArcMAP 10 Copyright © 2010.All Rights Reserved.
Prosedur Pengolahan Data
Proses pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahapan pada ProMAX.
Data yang telah diolah akan menghasilkan gambaran reflektor bawah laut dalam
dua dimensi. Tahapan pengolahan data ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2.Alur pengolahan data dengan ProMAX
Proses pengolahan data dimulai dengan memasukkan data ke dalam ProMAX
melalui proses input data. Kemudian dilanjutkan dengan mencocokan data seismik
dengan parameter lapang dalam proses geometry. Setelah itu, proses menentukan
batas-batas untuk memfokuskan pengolahan data seismik dilakukan dalam proses
editing. Selanjutnya data seismik difilter agar mendapatkan data yang baik dalam
preprocessing. Selanjutnya pemilihan kecepatan dalam Velocity Analysis. Data
seismik dilakukan koreksi waktu tempuh akibat pengaruh jarak antara sumber dan
penerima gelombang seismik pada Normal Moveout Correction. Lalu dilakukan
penggabungan beberapa trace yang memiliki CDP yang sama dalam stack. Proses
selajutnya yaitu metode CRS diawali dengan pemilihan dip aperture yang sesuai
dalam proses 2D CRS ZO Search. Proses selanjutnya yaitu penentuan kecepatan
dengan pemilihan spektrum kecepatan suara yang sesuai pada 2D CRS Precompute.
Setelah pemilihan dip dan kecepatan suara yang sesuai proses selanjutnya yaitu 2D
CRS Stack.
Input Data
Tujuan input data yaitu untuk menggabungkan data agar dapat diproses.
Pengolahan data dimulai dengan memasukkan data ke ProMAX. Data digital yang

4
dimasukkan memiliki ekstensi berupa SEG-D. Format perekaman data yaitu
demultiplexed, artinya data tersusun berdasarkan urutan trace seismik. Penyusunan
data berdasarkan urutan trace lebih mudah karena data tersusun berdasarkan
penerima atau kanal. Tipe secrel (alat penerima gelombang seismik) yang
digunakan yaitu 408XL untuk akusisi data di laut. Proses SEG-D input ditunjukkan
dalam Gambar 3 yang menerangkan mengenai spesifikasi SEG-D Input dalam
pengolahan data dengan ProMAX.

Gambar 3. Spesifikasi parameter dalam SEG-D Input dalam proses input data
Geometry
Tujuan dari proses geometri yaitu untuk menambahkan data parameter lapang
ke dalam data seismik. Proses ini perlu dilakukan untuk mencocokkan parameter
lapang dengan data seismik. Beberapa parameter lapang dalam proses geometri
ditunjukkan dalam Tabel 1. Pada ProMAX menu yang digunakan yaitu 2D Marine
Geometry Spreadsheet.
Parameter Shoot Interval menunjukkan jarak antar stasiun tembakan dalam
satuan meter. Parameter Group Interval menunjukkan jarak antar stasiun penerima
pada streamer dalam satuan meter. Parameter Near Channel menunjukkan nomor
kanal yang terdekat dari kapal. Parameter Far Channel menunjukkan nomor kanal
yang terjauh dari kapal. Parameter Interval Channel menunjukkan spasi antar kanal.
Parameter Near/Minimum Offset menunjukkan jarak antara sumber hingga ke
channel pertama dalam satuan meter. Parameter Nominal Source Depth
menunjukkan kedalaman sumber (Gun) dibawah permukaan laut dalam satuan
meter. Parameter Nominal Receiver Depth menunjukkan kedalaman penerima
(Streamer) dibawah permukaan laut dalam satuan meter. Parameter Distance
between CDP menunjukkan titik tengah dalam resolusi spasial dalam satuan meter.
Parameter Number of shots menunjukkan banyaknya tembakan yang dilakukan oleh
sumber. Parameter Sail Line Azimuth menunjukkan sudut antara tembakan pertama
koordinat x dan y.

5
Tabel 1. Parameter lapangan data seismik untuk proses pengolahan dalam
geomery
Parameter
Nilai
Shot Inteval
25 m
Group Interval
12.5 m
Near Channel
1
Far Channel
48
Interval Channel
12.5 m
Near/Minimum Offset
90 m
Nominal Source Depth
4m
Nominal Receiver Depth
7m
Distance between CDP
6.25 m
Number of shots
2544
Sail Line Azimuth
143̊
Editing
Tujuan dari proses editing yaitu menentukan batas-batas yang digunakan
dalam proses autocorrelation dan deconvolution. Proses autocorrelation dan
deconvolution termasuk dalam tahap preprocessing. Tahap editing dilakukan
penentuan batas atas untuk proses autocorrelation dan batas atas-bawah untuk
proses deconvolution. Pemilihan batas dilakukan untuk memfokuskan pengolahan
data seismik.
Proses editing yang dilakukan yaitu memilih batasan-batasan untuk
pengolahan selanjutnya yaitu Autocorrelation dan Deconvolution. Proses pemilihan
batas dilakukan dalam menu Pick Miscellaneous Time Gates. Setelah itu mulai
pemilihan batas pada tiap-tiap ensemble trace. Gambar 4 menunjukkan penampang
data seismik dalam pemilihan batas untuk proses Autocorrelation.
Pada Gambar 4 garis warna merah menunjukkan bagian yang telah di-pick
dan garis warna hijau menunjukkan pola yang dihasilkan dari hasil pick sebelumnya.
Proses pick mengikuti pola ensemble trace di tiap-tiap FFID. Selanjutnya untuk
proses pemilihan batas untuk Deconvolution terdiri dari dua yaitu batas atas dan
batas bawah. Proses yang digunakan hampir sama dengan proses Autocorrelation,
yaitu dengan menu Pick Miscellaneous Time Gates namun yang membedakan yaitu
dengan menambah layer dengan cara memilih New Layer pada bagian pick yang
telah dibuat sebelumnya. Layer kedua ditempatkan pada bagian sebelum pantulan
kedua. Selanjutnnya Gambar 5 menunjukkan penampang data seismik dalam
pemilihan batas untuk proses Deconvolution.
Preprocessing
Beberapa tahapan dalam preprocessing yaitu Bandpass Filter, True
Amplitude Recovery, Autocorrelation dan Deconvolution. Proses Bandpass Filter
yaitu menerapkan filter pada frekuensi tertentu untuk mengurangi noise. Untuk
mengetahui frekuensi yang tepat, dilakukan proses Interactive Spectral Analysis.
Bandpass filter dilakukan type Ormsby bandpass, yaitu filter yang

6

Gambar 4. Proses pemilihan batas untuk Autocorrelation dengan (A) sinyal
yang dihasilkan dari kolom air, (B) dan (C) sinyal yang dihasilkan
dari bidang reflektor

Gambar 5. Penggunaan batas atas dan batas bawah yang akan digunakan
dalam proses Deconvolution dengan (A) sinyal yang dihasilkan
akibat derau, (B) sinyal yang dihasilkan kolom air, (C) sinyal
yang dihasilkan pada dasar perairan, dan (D) sinyal yang
terdeteksi sebagai multiple

7
menggunakan empat frekuensi. Proses filter bandpass ditunjukkan dalam Gambar
6 yang menerangkan mengenai spesifikasi BandpassFilter dalam pengolahan data
dengan ProMAX.
Proses True Amplitude Recovery dilakukan untuk mengkompensasi
pelemahan, penurunan energi dalam satuan luas (spherical divergence) dan efek
lainnya dengan menyesuaikan amplitudo data. Tujuannya untuk memperoleh
amplitudo gelombang seismik yang seharusnya. Proses True Amplitude Recovery
ditunjukkan dalam Gambar 7 yang menerangkan mengenai spesifikasi True
Amplitude Recovery dalam pengolahan data dengan ProMAX.
Proses Autocorrelation dalam preprocessing yaitu menghitung autokorelasi
pada input batas traces yang telah ditentukan. Proses ini berfungsi dalam
identifikasi multiple atau sinyal berulang secara teratur dan merancang filter
dekonvolusi untuk melemahkan multiple. Berikut ini Gambar 8 menunjukkan
penampang data seismik dalam pemilihan batas untuk proses Autocorrelation.
Berdasarkan gambar diketahui nilai decon operator length yaitu 120.
Secara sederhana, hasil rekaman sesimik adalah bagian dari konvolusi antara
wavelet seismik dan reflektifitas bumi. Proses Deconvolution yaitu proses untuk
menghilangkan wavelet seismik sehingga yang seakan-akan yang terlihat yaitu
estimasi dari reflektifitas lapisan bumi. Selain itu, proses ini berfungsi dalam
meningkatkan resolusi vertikal dengan cara mengompres wavelet seismik agar
wavelet seismik yang terekam menjadi tajam dan tinggi. Tujuan dari proses
dekonvolusi yaitu memulihkan frekuensi tinggi, melemahkan multiple,
menyamakan amplitudo, dan menghasilkan wavelet fase-nol. Tipe dekonvolusi
yang dilakukan yaitu Predictive Deconvolution. Proses Predictive Deconvolution
ditunjukkan dalam Gambar 9 yang menerangkan mengenai spesifikasi Predictive
Deconvolution dalam pengolahan data dengan ProMAX.
Prinsip dari Predictive Deconvolution yaitu waktu kedatangan dari refleksi
pertama digunakan untuk memprediksi waktu kedatangan dari multiple yang akan
dihilangkan. Fungsi proses autocorrelation yaitu untuk menentukan operator
dekonvolusi. Sedangkan operator prediction distance berfungsi dalam
memprediksi error filter.
Velocity Analysis
Tujuan dari Velocity Analysis yaitu menghilangkan jeda waktu akibat
terpisahnya sumber (Gun) dan penerima (Streamer) di permukaan. Tahap ini dilakukan untuk mengoreksi bagian kecepatan suara dengan memilih kecepatan suara
yang sesuai agar hasil stack yang dihasilkan maksimum. Proses Velocity Analysis
dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu 2D Supergather Formation, Velocity
Analysis Precompute, dan Velocity Analysis. Proses 2D Supergather Formation
berfungsi dalam mengumpulkan CDP. Proses Velocity Analysis Precompute
berfungsi dalam membuat semblance atau spektrum kecepatan. Proses Velocity
Analysis berfungsi dalam penentuan kecepatan yang akan mempengaruhi hasil
stack. Proses Velocity Analysis ditunjukkan dalam Gambar 10 yang menerangkan
mengenai spesifikasi Velocity Analysis dalam pengolahan data dengan ProMAX.

8

Gambar 6. Spesifikasi filter bandpass dengan Ormsby bandpass

Gambar 7. Spesifikasi True Amplitude Recovery

Gambar 8. Tampilan hasil Autocorrelation

Gambar 9. Spesifikasi Predictive Deconvolution

9

Gambar 10. Spesifikasi Velocity Analysis
NMO correction
Normal Moveout Correction yaitu koreksi waktu tempuh akibat pengaruh
jarak antara sumber dan penerima gelombang seismik. Persamaan waktu tempuh
sebagai fungsi offset sebagai berikut :
�2

�� 2 = �0 2 + 2 ....................................................................................................... (1)

Keterangan :
tx
= waktu tempuh dengan fungsi offset
t0
= waktu tempuh saat offset nol
x
= titik tengah antara sumber dan penerima
v
= kecepatan suara dalam medium
Perbedaan waktu tempuh antara tx dan t0 dinamakan ΔtNMO. Persamaan (1)
meruapakan persamaan hiperbolik NMO. Pada reflektor horizontal, persamaan
waktu tempuh NMO dapat dilihat ilustrasinya dalam Gambar 11. Waktu tempuh t
bergerak dari sumber S menuju penerima G. Titik tengah antara sumber dan
penerima yaitu M, sedangkan jarak antara sumber dan penerima yaitu x. Titik pada
reflektor yang dilalui oleh t yaitu D.

Gambar 11. Ilustrasi NMO untuk satu reflektor horizontal
Sumber : Yilmaz (2001)
Proses koreksi NMO ditunjukkan dalam Gambar 12 yang menerangkan
mengenai spesifikasi koreksi NMO dalam pengolahan data dengan ProMAX.
Koreksi NMO membutuhkan parameter tabel kecepatan yang dihasilkan dari proses
Velocity Analysis.

10

Gambar 12. Spesifikasi Normal Moveout Correction
Konvensional Stack
Stacking yaitu penggabungan beberapa trace dalam satu titik pantul atau CDP
yang sama. Tujuannya yaitu mempertinggi SNR karena sinyal yang kohern akan
saling memperkuat dan yang tidak kohern akan saling menghilangkan. Proses
stacking konvensional yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan setelah data
dikoreksi NMO. Proses stack ditunjukkan dalam Gambar 13 yang menerangkan
mengenai spesifikasi CDP/ Ensemble Stack dalam pengolahan data dengan
ProMAX.

Gambar 13. Spesifikasi CDP/ Ensemble Stack
Input trace tersusun berdasarkan CDP. Metode penjumlahan trace yaitu
mean artinya penjumlahan trace diurutkan berdasarkan nomor sampel.
Metode Common Reflection Surface (CRS)
Metode Common Reflection Surface merupakan metode yang dikembangkan pada akhir 1990-an oleh Muller, Jager dan Hocht. Parameter stacking
CRS didasarkan pada penjalaran gelombang Normal Incidence Point (NIP) dan
gelombang Normal (N). Penjalaran gelombang dalam metode CRS ditunjukkan
dalam Gambar 14 yang menerangkan mengenai atribut dalam metode CRS.

Distance

Gambar 14. Atribut CRS
Sumber : Mann et al.(1999)

11
Pada Gambar 14 terdapat beberapa parameter yaitu RN, RNIP dan α. Parameter
RN merupakan jari-jari gelombang yang dihasilkan oleh sumber berupa segmen
reflektor (exploding reflector). Parameter RN memberi informasi bentuk kelengkungan reflektor. Parameter RNIP yaitu jari-jari gelombang normal incidence
point merupakan jari-jari dari gelombang yang dibangkitkan oleh sumber berupa
titik pada suatu titik disekitar reflektor yang akan membangkitkan gelombang yang
merambat ke permukaan. Parameter α yaitu emergence angle merupakan sudut
datang sinyal seismik yang dipantulkan yang dihitung dari sumbu vertikal.
Parameter αmenentukan kemiringan reflektor. Persamaan waktu tempuh pada CRS
ditunjukkan dalam persamaan (2)
� 2 � , ℎ = [�0 +

Keterangan :
t0
xm
x0
h
v0
t
α
RN
RNIP

2 � � �� −�0 2
�0

] +

2 0 cos2 � �� −�0 2
[ �
�0


ℎ2

+�

���

] ........................ (2)

= waktu tempuh saat offset nol
= midpoint sumber/penerima
= pusat gelombang normal
= half-offset antara sumber dan penerima
= kecepatan dekat pemukaan
= waktu tempuhsuara dekat permukaan
= atribut sudut antara sinar dan garis normal
= radius kelengkungan gelombang normal
= radius kelengkungan gelombang normal incident point

2D CRS ZO Search
Proses 2D CRS ZO Search dilakukan untuk memperoleh dips refleksi dalam
data penampang zero-offset yang telah diproses stack. Dip ini berupa α dan RN yang
berasal dari muka gelombang zero-offset. Proses 2D CRS ZO Search ditunjukkan
dalam Gambar 15 yang menerangkan mengenai spesifikasi 2D CRS ZO Search
dalam pengolahan data dengan ProMAX.

Gambar 15. Spesifikasi 2D CRS ZO Search
Parameter yang ditentukan dalam 2D CRS ZO Search yaitu dip aperture,
waktu tempuh dan kecepatan permukaan. Parameter aperture dip diperlukan uji
parameter agar mendapatkan dip yang sesuai. Parameter ini digunakan untuk
mencari besarnya kemiringan reflektor yang dibatasi oleh radius zona Fresnel.
Semakin tinggi nilai Dip Search Aperture membutuhkan proses yang lebih lama.
Parameter CDP search spacing berfungsi dalam menentukan banyaknya spasi yang
digunakan dalam tiap titik CDP pada operator CRS search secara horizontal.

12
Parameter Time search spacing merupakan banyaknya spasi waktu untuk
menentukan lokasi analisis CRS search secara vertikal. Parameter V0 (to limit
maximum dip) yaitu kecepatan awal untuk mendapatkan nilai kemiringan (dip)
maksimum. Parameter Maximum search dip yaitu maksimum kelengkungan dari
bentuk reflektor terhadap besar sudut kemiringan.
Penelitian ini melakukan pengujian nilai Parameter Dip Search Aperture pada
beberapa tingkat diantaranya 300 m, 600 m, dan 900 m. Penentuan nilai aperture
disesuaikan dengan kemiringan reflektor pada data seismik. Penampang dengan
tingkat kemiringan tersebut ditunjukkan pada Gambar 25.
Penampang dengan Dip Aperture 300 m memiliki penggambaran terbaik
karena cukup baik dalam menggambarkan reflektor dari Dip Aperture 600 m dan
900 m. Pada Dip Aperture 600m dan 900m reflektor terlihat jelas namun terdapat
bintik putih karena hasil pemilihan aperture yang kurang maksimal.
2D CRS Precompute
Tahapan metode CRS selanjutnya yaitu 2D CRS Precompute. Proses ini
dilakukan untuk inisialisasi sebelum proses velocity Analysis yang dilakukan dalam
tahapan CRS. Tahapan 2D CRS Precompute dilakukan sebagai subtitusi proses
Velocity Analysis Precompute. Proses Precompute yang dilakukan yaitu
memasukkan parameter semblance, gather yang digunakan dalam tampilan saat
proses velocity analysis. Proses 2D CRS Precompute ditunjukkan dalam Gambar
16 yang menerangkan mengenai spesifikasi 2D CRS Precompute dalam
pengolahan data dengan ProMAX.

Gambar 16. Spesifikasi 2D CRS Precompute
2D CRS Stack
CRS Stack dilakukan untuk membangun ZO stack atau gather dengan
peningkatan SNR menggunakan kemiringan (dips) dan kecepatan suara. Sebagai
perbandingan stack konvensional, dilakukan CRS Stack. Proses 2D CRS Stack
ditunjukkan dalam Gambar 17 yang menerangkan mengenai spesifikasi 2D CRS
Stack dalam pengolahan data dengan ProMAX.

13

Gambar 17. Spesifikasi 2D CRS Stack
Parameter stack aperture dalam tahap ini berperan dalam menentukan
besarnya radius data yang akan di stack dengan titik reflektor yang tepat dalam
domain CDP yang berpengaruh pada resolusi reflektor. Aperture yang terlalu kecil
menghasilkan penampang yang tidak optimal, sedangkan nilai aperture yang terlalu
besar akan mempengaruhi kualitas sinyal, sehingga penampang yang dihasilkan
terlalu halus. Jika nilai aperture bernilai nol akan menyebabkan data seperti stack
konvensional. Penelitian ini melakukan pengujian nilai aperture pada 50 m dan 100
m. Penampang perbandingan Stack Aperture ditunjukkan pada Gambar 26.
Penampang dengan Stack Aperture 100 m memiliki penggambaran terbaik
karena lebih baik dalam menggambarkan reflektor dari Stack Aperture 50 m. Pada
stack aperture 100 m, penampang yang dihasilkan lebih halus dan reflektor terlihat
lebih jelas. Pada stack aperture 50 m, penampang yang dihasilkan memiliki noise
yang lebih banyak, sehingga gambar yang dihasilkan kurang baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Seismik
Proses awal pengolahan data seismik diawali dengan memasukkan data
seismik digital ke dalam ProMAX. Gambar 18 menunjukan tampilan ensemble
trace dari raw data yang akan diolah. Sumbu mendatar dalam Gambar 18
menunjukkan domain waktu dalam mili detik dan sumbu menegak menunjukkan
kanal. Wavelet seismik tersusun berdasarkan FFID. Tampilan wavelet
menunjukkan kanal 1-48. Panjang perekaman gelombang yaitu 12000 ms. Pada
panjang perekaman gelombang kurang dari 1000 ms menunjukkan derau akibat
interaksi gelombang seismik dengan permukaan air. Gelombang seismik dengan
refleksi bumi ditunjukkan pada 5000 ms. Nilai ini juga menunjukkan dasar laut
berada pada kedalaman tersebut. Hasil data geometry yang di stack ditunjukkan
pada Gambar 19.
Pada rekaman seimik menunjukkan adanya derau (noise). Derau merupakan
gangguan pada data seismik yang menyebabkan adanya energi yang tidak
diinginkan seperti ground roll, gelombang permukaan, multiple, pengaruh cuaca
dan aktivitas manusia. Derau berupa ground roll memiliki karakteristik yaitu
memiliki frekuensi rendah dan amplitudo tinggi. Untuk meminimalisasi derau
dalam pengolahan data dilakukan proses filter dan stack.

14

A

B

C
Gambar 18. Tampilan raw data seismik yang akan diolah. Bagian (A) hasil
refleksi gelombang seismik dengan permukaan air laut, bagian (B)
hasil refleksi gelombang seismik dengan dasar laut, dan bagian
(C) multiple (noise pada hasil perekaman seismik).

Gambar 19. Tampilan data geometry yang di-stack
Preprocessing
Beberapa tahapan dalam preprocessing yaitu Bandpass Filter, True
Amplitude Recovery, Autocorrelation dan Deconvolution. Tahapan awal dalam
preprocessing yaitu bandpass filter. Proses bandpass dilakukan untuk mengurangi
noise. Untuk mendapatkan nilai frekuensi yang tepat dalam bandpass filter,
dilakukan proses interactive spectral analysis. Efek dari bandpass filter akan
dibandingkan tampilan sebelum dan sesudah. Tampilan data seismik sebelum di
bandpass filter ada pada Gambar 20.
Terdapat empat bagian dalam Gambar 21 yang menunjukkan nilai spektral
dalam tampilan interactive spectral analysis yaitu visualisasi terhadap hubungan
FFID dengan waktu yang ditunjukkan pada bagian kiri atas (A) yaitu domain waktu.
Hasil visualisasi kedua yaitu hubungan antara frekuensi dengan nilai intensitas dB
yang ditunjukkan pada bagian kanan atas (B) yaitu spektrum amplitudo. Tampilan
ini digunakan untuk mengetahui frekuensi filter yang sesuai pada proses bandpass

15
filter. Hasil visuaisasi ketiga yaitu hubungan antara FFID dengan frekuensi yang
ditunjukkan bagian kiri bawah (C) yaitu domain fasa. Hasil visualisasi keempat
yaitu hubungan antara frekuensi dengan fase gelombang seismik (D) yaitu domain
F-X.
Berdasarkan Gambar 20 dan 21 dapat dilihat perubahan nilai spektral. Pada
bagian spektrum amplitudo yaitu nilai spektral yang menghubungkan nilai
frekuensi dan intensitas dB dapat dilihat terjadi peningkatan nilai intensitas.
Perubahan juga terjadi pada tampilan domain waktu, yaitu lebih menunjukkan
bagian batas reflektor pada kedalaman 5000 ms.
Menurut Yilmaz (2001) bandpass filter digunakan untuk melemahkan
random noise. Namun proses yang lebih kuat untuk melemahan efek random noise
yaitu stack. Efek random noise dihasilkan oleh beberapa faktor diantaranya
gelombang laut, angin dan sebagainya.

Gambar 20. Tampilan data seismik hasil analisis spektral sebelum di filter
bandpass dengan (A) domain waktu, (B) spektrum amplitudo, (C)
domain fasa, (D) domain F-X

Gambar 21. Tampilan data seismik hasil analisis spektral setelah di filter
bandpass dengan (A) domain waktu, (B) spektrum amplitudo, (C)
domain fasa, (D) domain F-X

16
Tahap selanjutnya yaitu True Amplitude Recovery. Tahap ini bertujuan
untuk memperoleh amplitudo gelombang seismik yang seharusnya dengan
mengkompensasi efek pelemahan dan penuruanan energi dalam satuan luas. Selain
itu dilakukan parameter test untuk mendapatkan nilai True Amplitude Recovery
yang sesuai. Parameter nilai intensitas yang digunakan sebagai pembanding yaitu
-2, -1, 0, 1, 2, dan 3 dB/s. Berikut ini Gambar 22 menunjukkan tampilan parameter
test.

Gambar 22. Perbandingan nilai parameter test pada True Amplitude Recovery
Nilai pembanding seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 22 menunjukkan
pengaruh yang didapatkan pada masing-masing reflektor. Dapat terlihat dalam
gambar yaitu dengan pemilihan nilai koreksi yang tepat reflektor dapat terlihat
semakin jelas.
Tahap selanjutnya yaitu Autocorrelation yang berfungsi untuk menentukan
decon operator length dalam proses Deconvolution. Menurut Yilmaz (2001) nilai
deconvolution operator adalah invers dari fase minimum wavelet yang ekuivalen
dengan input wavelet. Hal ini sesuai dengan fungsi dekonvolusi yaitu
menghilangkan wavelet seismik, sehingga memunculkan reflektifitas lapisan bumi.
Velocity Analysis
Hasil visualisasi data seismik sangat dipengaruhi oleh kecepatan gelombang
seismik. Untuk mendapatkan kecepatan yang sesuai dibutuhkan proses velocity
analysis. Metode yang digunakan dalam pemilihan kecepatan yaitu metode
semblance velocity. Metode ini menggunakan nilai semblance yang merupakan
normalisasi dari perbandingan antara total energi setelah di-stack dengan total
energy yang belum di-stack. Pada Gambar 23 dan 24 merupakan proses picking
velocity pada metode konvensional dan CRS. Pada gambar dapat diamati semblance

17
velocity memiliki beberapa bagian diantaranya sinyal reflektor yang memiliki
warna merah. Kecepatan gelombang seismik di-pick pada bagian ini
menghasilkanaVRMS.
Terdapat perbedaan pada nilai semblance antara metode konvensional dan
metode CRS seperti ditunjukkan dalam Gambar 23 dan 24. Pada metode CRS sinyal
reflektor terlihat lebih bersih dari adanya noise, sehingga proses picking kecepatan
lebih mudah dan nilai VRMS yang dihasilkan lebih optimal.

Gambar 24. Picking Velocity untuk stack konvensional

Gambar 25. Picking Velocity untuk stack CRS
Perbandingan Konvensional Stack dan CRS Stack
Proses stack bertujuan untuk menghasilkan visualisasi data seismik. Tahap
stack melakukan penjumlahan trace pada data seismik untuk menghasilkan
penampang data seismik. Proses ini dilakukan setelah data seismik di koreksi
Normal Moveout. Koreksi ini berfungsi untuk menghilangkan pengaruh offset
dengan bantuan fungsi kecepatan. Fungsi kecepatan dihasilkan dari proses Velocity
Annalysis. Visualisasi stack konvensional ditunjukkan pada Gambar 27.

18
Proses stack data NMO menghasilkan penampang seismik. Sumbu x
menunjukkan CDP dan sumbu y menunjukkan waktu. Tujuan proses stack yaitu
meningkatkan nilai SNR. Data stack konvensional menunjukkan reflektor yang
kurang maksimal karena saat komputasi stack hanya mengandalkan CDP gather.
CDP gather yaitu refleksi seismik yang berasal dari beberapa titik tembak dan
penerima yang dipantulkan pada satu titik pantul yang sama. Selanjutnya pada
Gambar 28 menunjukkan penampang hasil CRS stack.
Dari hasil stack konvensional dan CRS stack terlihat beberapa perubahan
seperti kemenerusan reflektor yang ditunjukkan pada CDP 1181, 5311 dan 9411.
Kemenerusan reflektor ditunjukan dalam Gambar 31, Gambar 32 dan Gambar 33.
Menurut Asrori (2015) dan Yudiana (2014), penampang stack metode CRS
menunjukkan kemenerusan reflektor yang lebih baik ketika dibandingkan dengan
hasil stack metode konvensional. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dan
ditunjukkan dalam Gambar 27 dan 28. Kemenerusan reflektor pada metode CRS
dapat disebabkan oleh penggunaan data multicoverage/keseluruhan pada saat
penjumlahan seismik wavelet, sehingga mampu menghasilkan penampang reflektor
yang lebih jelas dari stack konvensional (Mann et al.1999). Penampang hasil stack
CRS menunjukkan noise yang lebih sedikit dari stack konvensional (Garabito
2012). Hal ini memudahkan proses interpretasi penampang seismik.
Pada CDP 13571 dalam Gambar 27 dan 28 koreksi kemiringan pada stack
CRS menunjukkan perbedaan susunan reflektor dari stack konvensional. Pada stack
konvensional, reflektor terlihat lurus dan pada stack CRS, reflektor seperti berpisah
menjadi dua bagian. Hal ini disebabkan oleh pola difraksi dan refleksi. Koreksi
kemiringan pada metode CRS mempertahankan pola difraksi dan refleksi.
Bertentangan dengan metode CRS, metode konvensional melemahkan pola tersebut
sehingga reflektor terlihat lurus (Yilmaz 2001).

19

Gambar 26. Hasil stack data CRS dengan Dip Aperture 300 m (a), dengan Dip
Aperture 600 m (b), dan dengan Dip Aperture 900 m (c).

20

Gambar 27. Hasil stack data CRS dengan Stack Aperture 50 m (a), dan dengan
Stack Aperture 100 m (b)

Gambar 28. Hasil stack konvensional

21

Gambar 29. Hasil CRS stack

22

23

I

II

III

Gambar 30. Daerah yang dianalisa pada penampang seismik. Penampang dibagi
dan difokuskan dalam tiga bagian yaitu bagian I, bagian II dan
bagian III. Garis (
) merupakan pemisah antar bagian.

A

B
B

Gambar 31. Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B) pada
bagian I.
Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak
biru(
)

24

A

B

Gambar 32. Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B)
pada bagian II. Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak
biru (
)
A

B

Gambar 33. Perbandingan stack konvensional (A) dan stack CRS (B) pada
bagian III. Reflektor semakin jelas terlihat dalam kotak biru
(
)

25

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penampang hasil pengolahan data seismik menggunakan metode CRS
mampu memberikan pencitraan yang lebih baik dibandingkan dengan metode stack
konvensional. Metode CRS dapat meningkatkan kualitas penampang karena
reflektor yang terlihat jelas dan kontinu.
Saran
Penggunaan metode CRS membutuhkan pemilihan nilai aperture untuk
mendapatkan titik reflektor yang tepat. Selain itu, pemilihan kecepatan suara yang
tepat dapat meningkatkan kualitas data.

DAFTAR PUSTAKA
Adi Ahmad Azhar Wasito. 2014. Penerapan Bandpass Filter dan Automatic Gain
Control (AGC) pada Data Seismik Laut (2D) di Laut Flores [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Asrori ADH, Santosa BJ. 2015. Migrasi Domain Kedalaman Menggunakan Model
Kecepatan Interval dari Atribut Common Reflection Surface Studi Kasus pada
Data Seismik Laut 2D. Jurnal Sains dan Seni ITS 4(1):32-37.
Garabito G, Stoffa P, Lucena LS, Cruz JCR. 2012. Part I CRS stack: Global
optimization of the 2D CRS. Journal of Applied Geophysics. (85): 92-101.
doi:10.1016/j.jappgeo.2012.07.005.
Garabito G, Stoffa P, Ferreira CAS, Cruz JCR. 2012. Part II CRSbeam PSDM:
Kirchhoff-beam prestack depth migration using the 2D CRS stacking operator.
JournaliofiAppliediGeophysics.i(85):102..110.idoi:10.1016/j.jappgeo.2012.07.
004.
Hertwerck T, Jäger C, Mann J, Duveneck E, Heilmann Z. 2004. A Seismik
Reflection Imaging Workflow based on the Common Reflection Surface (CRS)
Stack: Theoretical Background and Case Study. Geophysical Institute
University of Karlsruhe Germany.
Liu G, Xiao M. 2011. 2D Common-reflection-surface stacking workflow in seismic
data processing. Di dalam: Communication Software and Networks IEEE
International Conference on Communication Software and Networks (ICCSN)
3RD; 2011 Mei 27-29; Xi’an, China. [Tempat terbit tidak diketahui]: IEEE. hlm
312-315.
Mann J, Jäger R, Müller T, Höcht G, Hübral P. 1999. Common Reflection Surface
Stack A Real Data Example. Journal of Applied Geophysics. (42): 301-318.
Majana F, Mascarenhas W, Tygel M, Santos LT. 2003. Refinment Step For
Parameter Estimation in CRS Method. Brazilian Journal of Geophysics. 21
(3):275-287.
[PPPGL] Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut. 2012. Pemetaan
Geologi dan Geofisika Bersistem Lembar Peta 2408 dan 2409 Laut Flores.
Bandung

26
Reza Stefany. 2013. Pengukuran Kecepatan Gelombang Seismik Laut 2D
Menggunakan Prestack Time Migration dengan Metode Kirchhoff [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Tygel M, Müller T, Hubral P, Schleicher J. 1997. Eigenwave based Multiparameter
Traveltime Expansions. 67th SEG (Society of Explore Geophysicists) Meeting.
Yilmaz. 2001. Seismik Data Analysis: Processing, Inversion, and Interpretation.
Doherty SM, editor. Tulsa (US). Society of Exploration Geophysicists.
Yudiana B, TB Nainggolan, ND Ardi. 2014. Analisis Penampang CRS pada Data
Seismik 2D Multichannel di Perairan Utara Papua. Fibusi Jurnal online Fisika.
2(1):1-8.

27

LAMPIRAN
Lampiran 1. Kapal Riset Geomarin III























Spesifikasi teknis KR Geomarin III sebagai berikut :
Scientist and Technicians 29 orang,
Total Complement onboard 51 orang
Lengthoverall 61.7 m
Length between perpendiculars 55.00 m
Breadth moulded 6 m
Draught design 3.7
Gross Tonnage 1300 GT
Maximum speed 13.5 knot
Service speed 12.5 knot
Survey speed 4 knot
Range at speed of 12.5 knot 5400 miles
Endurance 30 hari
Control maneuver DP-1
Main engine 2 x 1000 HP
Propeller 2 x 4 blades CPP
Main generator 3x 350 kW
Fuel oil tank (100%) 267 m3
Lub oil tank (100%) 11 m3
Fresh water tank (100%) 124 m3
Ballast water tank (100%) 110 m3
Food/consumable/miscellaneous 17 Ton
Geomarin III dilegkapi dengan peralatan survey antara lain :

28











Dual Frequency Echosounder
Medium to Low Frequency Multibeam Echosounder
Chirp Depp Sea Sub-bottom Profiler
Side Scan Sonar
Magnetometer
Gravitymeter
2D Seismic System 480 Channel
2D Seismic Navigation System
Onboard Seismic Data Processing
Sediment Coring System dan Onboard Laboratorium

29
Lampiran 2. Akusisi Data Seismik Kapal Riset Geomarin III

Konfigurasi Array Gun dan Streamer yang digunakan selama akusisi data
seismik multichannel. Digunakan 48 channel dipergunakan untuk akusisi data.
Streamer ditarik pada kedalaman 4-7 meter dari permukaan laut. TES (Tail
Elastic Section) dipasang di belakang streamer untuk mengurangi noise dari Tail
Buoy.

30

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 1994
dari ayah yang bernama Keri dan ibu Siti Aminah. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2009-2011
penulis telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah
Atas (SMA) Negeri 99 Jakarta. Tahun 2011 penulis diterima
sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) melalui jalur SNMPTN Tulis.
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah
menjadi asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis periode 2014-2015. Penulis aktif
dalam beberapa kepanitian seperti PORIKAN 2013, KONSURV 2013, Fieldtrip
Akustik Kelautan 2014. Penulis pernah mengikuti magang di Indonesian
Biodiversity Research Center, Bali tahun 2014. Penulis melakukan sertifikasi selam
Open Water Scuba Diving A1 Sertifikasi POSSI (Persatuan Olah Raga Selam
Seluruh Indonesia) - CMAS (Confédération Mondiale del Activités Scubatiques)
pada 2014. Dalam menyelesaikan pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Penerapan Metode
Common Reflection Surface (CRS) pada Data Seismik Laut di Laut Flores”.