Profil Protein Larut Air dan Histamin serta Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase pada Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Profil Protein Larut
Air dan Histamin serta Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase
pada Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Stevy Imelda Murniati Wodi
NIM C351120011

iii

RINGKASAN
STEVY IMELDA MURNIATI WODI. Profil Protein Larut Air dan Histamin

serta Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase pada Tuna Mata
Besar (Thunnus obesus). Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan MALA
NURILMALA
Tuna sebagai salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai
ekonomis tinggi dan merupakan komoditas ekspor Indonesia terbesar kedua
setelah udang masih menghadapi berbagai permasalahan mutu dan keamanan
pangan (fish quality and fish safety), diantaranya tingginya kandungan histamin
yang mengindikasikan menurunnya mutu dan berkaitan dengan perubahan protein
pada dagingnya. Permasalahan ini perlu dikaji lebih dalam untuk dijadikan dasar
dalam memanaj risiko berkembangnya histamin dan perubahan protein serta
memenuhi tuntutan konsumen akan produk yang bermutu prima dan aman.
Penelitian ini bertujuan menentukan profil protein larut air, kadar histamin,
total bakteri dan total bakteri penghasil histidin dekarboksilase, serta
mengidentifikasi bakteri penghasil histidin dekarboksilase tuna mata besar pada
penyimpanan suhu chilling (0-4 °C) selama 9 hari. Penelitian ini terdiri dari
preparasi dan penyimpanan sampel serta analisis kimia dan mikrobiologi yang
meliputi analisis kandungan mioglobin, profil protein larut air, histamin dan pH,
serta analisis mikrobiologi, total bakteri, total bakteri penghasil histidin
dekarboksilase dan identifikasi jenis bakteri penghasil histidin dekarboksilase.
Perbedaan bagian daging dan lama waktu penyimpanan berpengaruh nyata

terhadap proporsi dan penurunan kandungan mioglobin tuna (fast muscle) yaitu
dari 148,20 mg/100g turun hingga 31,34 mg/100g, begitu juga pada daging gelap
(dark muscle) lama waktu penyimpanan menurunkan kandungan mioglobin dari
446,21 mg/100g menjadi 58,34 mg/100g. Hasil elektroforesis secara umum
mengindikasikan protein larut air dengan kisaran 10-180 kDa. Protein utama
adalah protein dengan berat molekul antara 14-72 kDa. Protein yang terdeteksi
antara berat molekul 14-15,4 kDa diduga sebagai protein mioglobin yang larut air
Selama penyimpanan terjadi peningkatan kadar histamin, jumlah TPC, dan
jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase secara nyata, baik pada bagian
perut, punggung maupun ekor. Kandungan histamin daging tuna di semua bagian
(perut, punggung, ekor) yang disimpan pada 0, 3, dan 6 hari tidak melebihi 50
ppm, namun pada penyimpanan hari ke-9 daging tuna pada semua bagian
mengalami peningkatan dan telah melebihi batas standar yang telah ditetapkan
FDA yaitu 50 ppm. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa Bacillus subtilis
dengan persentase identifikasi 99% merupakan bakteri penghasil histidin
dekarboksilase pada tuna mata besar.
Kata kunci : Histamin, mioglobin, penyimpanan, protein, suhu, tuna

iv


SUMMARY
STEVY IMELDA MURNIATI WODI. Profiles of Water Soluble Protein and
Histamine and Identification of Histidine Decarboxylase Producing Bacteria on
Big Eye Tuna (Thunnus obesus). Supervised by WINI TRILAKSANI and MALA
NURILMALA.
Tuna as one of protein sources which has high economic value and play an
important role as export commodities along with shrimp still have obstacle of fish
quality and safety, for example high content of histamine indicating changes in
quality, which correlated with the changes of protein in tuna meat. This problem
need to be comprehensively analyzed in order to manajed the risk of histamine,
protein changes and to ensure high quality and safety product as well.
This study aimed to determine the profiles of water-soluble protein,
histamine level, total bacteria and histidine decarboxylase producing bacteria, as
well as to identify bacterial species of histidine decarboxylase producing bacteria
in big eye tuna at chilling temperature storage (0-4 °C) for 9 days.
Tuna meat location and the storage time had effect to lower the content of
its myoglobin (fast muscle) from 148.20 mg /100g to 31.34 mg/100g, as well as
the dark muscle from 446.21 mg/100g to 58.34 mg/100g. Analysis of SDS-PAGE
showed water-soluble proteins in the range of 10-180 kDa. The main proteins
were a protein with 14-72 kDa of molecular weight. Protein detected in the range

of 14 to 15.4 kDa molecular weight was indicated as myoglobin protein.
The histamine level, TPC, and total of histidine decarboxylase bacteria
during of storage significantly increased in all tuna meat (the abdomen, back and
tail). Histamine content in all portion of tuna which stored at 0, 3, and 6 days was
lower than 50 ppm, although it increased at 9th over standard of FDA (50 ppm).
The identification of bacterial species showed the Bacillus subtilis was the
histidine decarboxylase-producing bacteria with the 99% of identity.
Keywords: Histamine, myoglobin, protein, storage, temperature, tuna

v

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vi

PROFIL PROTEIN LARUT AIR DAN HISTAMIN SERTA
IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL HISTIDIN
DEKARBOKSILASE PADA TUNA MATA BESAR
(Thunnus obesus)

STEVY IMELDA MURNIATI WODI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

vii

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol

viii

Judul Tesis : Profil Protein Larut Air dan Histamin serta Identifikasi Bakteri
Penghasil Histidin Dekarboksilase pada Tuna Mata Besar
(Thunnus obesus)
Nama
: Stevy Imelda Murniati Wodi
NIM
: C351120011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Ketua

Dr Mala Nurilmala, SPi MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 03 Februari 2015

Tanggal Lulus:


ix

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
limpahan karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan tesis ini dengan judul “Profil Protein Larut Air dan
Histamin serta Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase pada
Tuna Mata Besar (Thunnus obesus)”. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil
Perairan, Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor.
Penulisan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku Ketua komisi pembimbing serta Ketua
Program Studi Teknologi Hasil Perairan dan Dr Mala Nurilmala, Spi MSi
sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu
dan kesabarannya dalam membimbing penulis selama penelitian dan
penulisan tesis ini.
2.
Prof Dr Ir Joko Santoso, MSi sebagai Ketua Departemen Teknologi Hasil

Perairan yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama
penulis menempuh studi di Program Studi Teknologi Hasil Perairan IPB.
3.
Dr Ir Agoes M. Jacoeb, Dipl-Biol sebagai dosen penguji luar komisi yang
telah memberikan banyak masukan dalam melengkapi penulisan tesis.
4.
Kedua orang tua tercinta Papi dan Mami, Cici, Bobby, Irma, Leon, Chello
dan Aidil atas doa, semangat, motivasi dan kasih sayang yang selalu
diberikan selama ini.
5.
Dosen dan Staf pegawai Program Studi Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB
yang telah memberikan ilmu maupun pengalaman berharga bagi penulis
selama menempuh pendidikan.
6.
Keluarga besar Politeknik Negeri Nusa Utara atas doa, semangat dan
motivasi yang selalu diberikan.
7.
Pimpinan dan karyawan PT. Nutrindo Fresfood Internasional baik yang ada
di Bitung maupun di Jakarta atas bantuan dan kerjasamanya.
8.

Kementrian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan
beasiswa BPPS selama penulis menempuh pendidikan.
9.
Teman-teman seperjuangan S2 THP 2010, 2011, 2012 dan 2013 atas
semangat, kerjasama dan kebersamaan yang terjalin erat.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, walau
demikian sangat diharapkan tesis ini dapat memberi manfaat untuk pengembangan
penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2015
Stevy Imelda M. Wodi

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
3

2 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Pelaksanaan Penelitian
Analisis Mioglobin
Analisis Protein Larut Air dengan Metode SDS-PAGE
Analisis Kadar Histamin
Analisis Total Plate Count (TPC)
Analisis Total Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase (Hdc)
Identifikasi Bakteri Penghasil Hisitidin Dekarboksilase (Hdc)
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

4
4
4
5
6
6
7
8
9
11
13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Pengambilan dan Preparasi Sampel
Kandungan Mioglobin
Profil Protein Larut Air
Kadar Histamin
Nilai pH
Nilai Total Plate Count (TPC)
Total Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase

14
14
15
18
20
22
24
25
27

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

29
29
29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

58

xi

DAFTAR TABEL
1
2
3

Rata-rata nilai log TPC dalam satuan CFU/g
Rata-rata nilai log bakteri penghasil Hdc dalam satuan CFU/g
Hasil analisis BLAST

24
25
28

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Tahapan penelitian
Ikan tuna mata besar (Thunnus obesus)
Bagian daging perut, daging punggung dan daging Ekor
Kandungan mioglobin daging tuna (a) fast muscle); (b) dark muscle
Perubahan warna daging bagian perut
Perubahan warna daging bagian punggung
Perubahan warna daging bagian ekor
Profil protein larut air daging tuna 0, 3 dan 6 hari
Profil protein larut air hari ke-9
Kadar histamin tuna mata besar
Nilai pH daging tuna
Media niven agar dan media yang ditumbuhi bakteri Hdc
Elektroforegram hasil PCR DNA

5
14
15
16
17
17
17
19
19
21
23
27
28

12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Uji normalitas menggunakan one sample uji Kolmogorov-Smirnov
Tabel sidik ragam TPC tuna mata besar
Uji lanjut Duncan TPC tuna mata besar
Tabel sidik ragam BPH tuna mata besar
Uji lanjut Duncan BPH tuna mata besar
Tabel sidik ragam histamin tuna mata besar
Uji lanjut Duncan histamin tuna mata besar
Tabel analisis ragam mioglobin daging terang tuna mata besar
Uji lanjut Duncan mioglobin daging terang tuna mata besar
Tabel analisis ragam mioglobin daging gelap tuna mata besar
Uji lanjut Duncan mioglobin daging gelap tuna mata besar
Tabel sidik ragam pH tuna mata besar
Uji lanjut Duncan nilai pH tuna mata besar
Interaksi daging dan waktu TPC tuna mata besar
Interaksi daging dan waktu BPH tuna mata besar
Interaksi daging dan waktu histamin tuna mata besar
Interaksi mioglobin daging terang daging dan waktu
Interaksi mioglobin daging gelap daging dan waktu
Interaksi nilai pH daging dan waktu
Tabel perhitungan berat molekul protein tuna mata besar
Kurva standar marker 0, 3, dan 6 hari
Kurva standar marker hari ke-9
Data awal bahan baku
Data suhu penyimpanan 0-6 hari
Data suhu penyimpanan 9 hari
Kromatogram sequence gen 16S rRNA
Hasil pencarian homolog dengan BLAST primer 27F
Hasil pencarian homolog dengan BLAST primer 1494R
Termocouple
Data logger
Penyimpanan dalam styrofoam
Koloni bakteri penghasil histidin dekarboksilase pada Niven agar

38
38
38
39
39
40
40
40
41
41
41
42
42
43
43
44
44
45
45
46
47
47
48
49
50
52
53
54
55
55
56
57

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ikan tuna merupakan spesies ikan yang penting karena berperan
meningkatkan sumber protein hewani, memiliki nilai ekonomis yang tinggi dalam
dunia perdagangan, dan merupakan komoditas ekspor kedua terbesar setelah
udang. Nilai ekspor ikan tuna tiap tahun umumnya meningkat. Pada tahun 2012
total volume ekspor ikan tuna madidihang (T.albacares) 3,770,828 ton, albakor
(T. alalunga) 2,493,167 ton, tuna mata besar (T. obesus) 2,306,384 ton, tuna sirip
biru (T. maccoyii) 69,740 ton. Negara yang menduduki peringkat atas sebagai
tujuan ekspor tuna Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa
(KKP 2013).
Tuna mata besar merupakan spesies tuna yang memiliki nilai jual tinggi,
hidup di perairan tropis hingga subtropis yaitu Samudera Atlantik dan Samudera
Hindia pada kedalaman 20-250 meter termasuk di wilayah Selatan Jawa dan
pantai utara Jawa. Jumlah produksi tuna mata besar di Indonesia merupakan
produksi terbesar setelah tuna madidihang (Syarief et al. 2010). Permasalahan
pokok pada perdagangan tuna seperti halnya produk perikanan lainnya, yang
sangat penting untuk diperhatikan adalah mutu dan keamanan pangan ikan (fish
quality and fish safety). Mutu daging tuna dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain: faktor alami, biologis, cara penangkapan dan penanganan setelah ikan mati.
Setelah ikan ditangkap dan mati berbagai proses perubahan fisik, kimia dan
organoleptik terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh enzim dan mikroba.
Warna daging tuna dijadikan indikator dalam penentuan kesegaran ikan tuna
terutama bila digunakan sebagai konsumsi sashimi dan sushi. Selama proses
penyimpanan, daging merah pada tuna akan mengalami perubahan warna, dari
warna merah menjadi coklat. Perubahan warna terjadi akibat oksidasi mioglobin
menjadi metmioglobin. Perubahan ini juga bisa menjadi indeks mutu kesegaran
ikan (Chow et al. 1989).
Mioglobin merupakan salah satu protein larut air yang terdapat pada daging
yang berfungsi menyimpan oksigen yang terikat dan mentransportkannya ke
mitokondria yang mempergunakan oksigen selama oksidasi nutrien sel.
Mioglobin mempunyai rantai polipeptida tunggal yang mengandung 147 residu
asam amino pada teleostei dengan berat molekul berkisar 14.000 - 17.000 Da dan
gugus “heme” yang mengandung zat besi (Chow et al. 2009). Daging ikan tuna
lebih banyak mengandung mioglobin dibanding ikan lainnya (Zapata et al. 2011).
Kandungan mioglobin pada daging gelap (dark muscle) ikan tuna dapat lebih dari
3.500 mg/100 g. Kestabilan struktur mioglobin tuna berbeda satu dengan yang
lain (Ochiai et al. 2009). Selain itu akibat proses autooksidasi juga timbul bau dan
rasa tengik serta terjadi perubahan kelarutan protein (Ochiai 2010). Perubahan
juga terjadi pada salah satu asam amino yaitu histidin yang terdegradasi menjadi
histamin.
Histamin merupakan parameter yang sangat penting dalam perdagangan
tuna dan kadarnya sangat dibatasi agar dapat diterima baik di United States (US),
Uni Eropa (UE), Jepang dan negara lainnya. Kadar histamin dijadikan indikator
mutu dan keamanan pangan produk tuna, karena histamin yang tinggi

2

menyebabkan efek keracunan pada manusia. Histamin adalah senyawa amina
biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dekarboksilase
oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum reaksi adalah 25 °C
(Kim et al. 1999). Gejala keracunan ditandai oleh muntah, diare, kejang perut,
berkeringat terus menerus, timbul tanda kemerahan, sakit kepala dan rasa terbakar
pada daerah mulut. Keracunan histamin terjadi dalam beberapa menit sampai
beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi
(Taylor 1983).
Data laporan Food and Drug Administration (FDA) menunjukkan, dari
tahun 2001-2005 terdapat 350 penolakan pada produk tuna Indonesia, karena
kasus histamin dan logam berat. Pada bulan Mei tahun 2004, komisi kesehatan
perlindungan konsumen Uni Eropa melarang impor sementara ikan tuna segar dari
16 perusahaan Indonesia, karena mengalami pembusukan, kadar histamin
melebihi batas standar yang ditetapkan. Tahun 2007 Rapid Alert System for Feed
and Food (RASFF) melaporkan terdapat 17 kasus impor tuna, dan data FDA juga
menunjukkan catatan penolakan produk tuna Indonesia dari 8 perusahaan karena
kasus histamin sepanjang tahun 2009, 6 kasus tahun 2010, 4 kasus tahun 2011
dan 1 kasus tahun 2012 (FDA 2010; 2012).
Pembentukan histamin sering disebabkan oleh penyimpanan suhu tinggi dan
kesalahan penanganan yang dipengaruhi oleh kombinasi waktu dan suhu (Silva et
al.1998). Suhu optimum, batas suhu terendah, jenis bakteri pembentuk histamin
dan jumlah kandungan histamin bervariasi tergantung lingkungan perairan (Lopez
et al. 1996). Tingginya kandungan histamin di tiap bagian daging ikan
dipengaruhi oleh jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase. Hasil
penelitian Frank et al. (1981) menunjukkan pada suhu 37 °C histamin ikan
mencapai 213 mg/100g pada bagian punggung dan 31,7 mg/100g di bagian ekor
pada penyimpanan hari ke-18, hari ke-24 meningkat menjadi 481 mg/100g bagian
punggung dan 289 mg/100g bagian ekor. Hasil penelitian Trilaksani et al. (2009)
rata-rata kadar histamin tuna yang terbentuk pada proses pembongkaran ikan tuna
di transit 14 Muara Baru – Jakarta Utara, ikan tuna grade A 2,02±0,85 ppm, grade
B 2,94±0,28 ppm, grade C 3,43±0,49 ppm, dan grade D 4,42±0,47 ppm, dengan
jumlah bakteri penghasil histidin dekarboksilase 2/3 dari jumlah total bakteri
(TPC) dan tersebar di kulit, insang dan di usus. Satuan kadar histamin dalam
daging ikan dapat dinyatakan dalam mg/100g atau ppm (mg/kg). Histamin tetap
menjadi salah satu kendala dalam ekspor tuna dari daerah tropis dan sub tropis ke
pasar dunia. The Food and Drug Administration (FDA, 1998) menetapkan batas
standar keamanan histamin adalah 5 mg/100 g (50 ppm), sedangkan Uni Eropa
menetapkan bahwa kandungan rata-rata histamin dalam ikan tidak boleh lebih dari
10 mg/100 g (100 ppm).
Berbagai jenis bakteri penghasil histamin yang ditemukan pada tuna
diantaranya Morganella morganii, Enterobacter aerogenes, Raoultella planticola,
Raoultella ornithinolytica, Photobacterium damselae, Hafnia alvei. Kung et al.
(2009) menyatakan bahwa Hafnia alvei diidentifikasi sebagai pembentuk histamin
yang lemah, sedangkan Raoultella ornithinolytica dan Raoultella planticola dapat
menghasilkan histamin lebih dari 500 ppm dalam media TSBH. Du et al. (2002)
menemukan Enterobacter sp. P.agglomerans, K.varriocola dan S. marcescens
pada produk olahan tuna (pangsit) merupakan bakteri pembentuk histamin. Hasil
penelitian Wahyuni (2011) menunjukkan Pseudomonas putida dan Raoultella

3

ornithinolytica merupakan bakteri pembentuk histamin pada tuna. Bacillus
amyloliquefaciens, Bacillus subtilis dan B. Megaterium yang diisolasi dari miso;
Bacillus pumilus, Bacillus sp. yang diisolasi dari anggur merupakan bakteri
penghasil histamin (Kung et al. 2007; Chang et al. 2009).
Banyak faktor yang menentukan kecepatan penurunan kesegaran ikan. Suhu
penyimpanan merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting pada
ikan setelah mati. Perbedaan kesegaran ikan tuna juga dipengaruhi oleh perbedaan
waktu penangkapan, kematian ikan, cara kematian, aktivitas penanganan ikan tuna
di kapal, sanitasi kapal, serta efektivitas penerapan rantai dingin di palka kapal
(Trilaksani et al. 2009). Penggunaan suhu rendah 0 °C setelah ikan mati dapat
memperpanjang rigormortis, menekan kegiatan enzimatis, bakterial, kimiawi dan
perubahan fisik sehingga dapat memperpanjang daya awet ikan. Suhu mempunyai
pengaruh besar terhadap jenis bakteri pembusuk. Pertumbuhan bakteri pembusuk
tertahan pada suhu -1 sampai 5 °C. Dengan demikian penurunan suhu tubuh ikan
bisa mencegah penguraian bakteri secara efektif (Suwetja 2013).
Penanganan adalah kunci utama dalam menghambat terbentuknya histamin,
perubahan warna, kelarutan protein, dan pertumbuhan mikroba pada tuna.
Penanganan ikan dimaksudkan untuk mempertahankan kesegaran, dalam arti
masih memenuhi syarat untuk bisa dikonsumsi manusia dengan jalan
menghambat terjadinya pembusukan ikan. Untuk menghambat kemunduran mutu
ikan, dapat dilakukan upaya pengawetan dengan teknik suhu rendah, meliputi
pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dan pembekuan yang cepat segera
setelah ikan mati serta lama waktu penyimpanan merupakan tindakan yang sangat
penting dalam upaya mencegah proses kemunduran mutu ikan tuna. Uni Eropa
melalui European Commission (EC) menentukan bahwa suhu lebur es (melting
ice), yakni (0-1) °C merupakan suhu yang tepat dalam penanganan tuna (EC
2004), sedangkan Food and Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis
suhu untuk perkembangan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 °C (FDA 2011).
Permasalahan mutu tuna tersebut di atas, sangat perlu untuk dikaji secara
mendalam. Konsumen domestik maupun konsumen luar negeri saat ini, semakin
menuntut produk perikanan, termasuk tuna dengan mutu prima dan aman, bebas
patogen, bebas bau, dan tetap mempertahankan warna alami dari tuna. Kajian ini
meliputi analisis profil protein yang larut air, mioglobin, kadar histamin, nilai pH,
jumlah total bakteri dan total bakteri penghasil histidin dekarboksilase, serta jenis
bakteri penghasil histidin dekarboksilase ikan tuna dalam hal ini ikan tuna mata
besar.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menentukan profil protein larut air, kadar histamin,
total bakteri dan total bakteri penghasil histidin dekarboksilase, serta
mengidentifikasi bakteri penghasil histidin dekarboksilase tuna mata besar pada
penyimpanan suhu chilling (0-4 °C) selama 9 hari.

4

2 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan Agustus
2014. Bertempat di Laboratorium Balai Besar Pengujian Penerapan Hasil
Perikanan (BBP2HP), Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan dan Bioteknologi
II, Departemen Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Laboratorium Bioteknologi Hewan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Center of Excellence Indigenous Biological
Resources-Genome Studies (IBR-GS) FMIPA Universitas Indonesia.

Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan tuna mata
besar. Bahan kimia yang digunakan untuk pengujian protein larut air meliputi
larutan 0,5 M Tris-HCl pH 6,8, 1,5 M Tris-HCl pH 8,8, larutan acrylamide/Bis
30%, larutan SDS 10%, larutan sampel buffer (SDS reducing buffer), larutan
running buffer 10x, pH 8,3, larutan APS 10%, larutan TEMED, larutan CBB
staining, larutan destaining. Bahan untuk pengujian mioglobin meliputi potassium
buffer, NaNO3, KCN. Bahan untuk pengujian kadar histamin meliputi metanol,
glass wool, HCl 1 N, NaOH 1 N, HCl 0,1 N, orto-ptalatdikarbosildehid (OPT)
0,1%, H3PO4 3,57 N, resin penukar ion, dan histamin dihidroklorida. Bahan untuk
analisis angka lempeng total (ALT) diantaranya plate count agar dan larutan
butterfield’s phosphate buffered. Analisis jumlah bakteri histamin membutuhkan
butterfield’s phosphate buffered dan larutan agar Niven yang terdiri dari: 0,5%
trypton, 0,5% yeast exstract, 2,7% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,0%
agar, dan 0,006% phenol red. Bahan untuk isolasi bakteri berupa media Niven,
Trypticase Soy Agar (TSA) dan Trypticase Soy Broth Histidine (TSBH).
Karakterisasi bakteri, yakni pewarnaan Gram membutuhkan kristal violet, iodin,
safranin, minyak imersi, alkohol 95%; Uji motilitas membutuhkan agar semi
solid; Uji oksidase membutuhkan kertas oxidase test strip; Uji katalase
membutuhkan 3% H2O2.
Alat penyimpanan sampel pada suhu 4 °C selama penyimpanan
menggunakan styrofoam, dengan termometer, termocouple dan data logger
sebagai pengontrol suhu selama penyimpanan berlangsung. Alat-alat yang
dibutuhkan untuk pengujian adalah timbangan analitik, homogenizer, cawan
petri, erlenmeyer, gelas ukur, labu takar, tabung reaksi, kertas saring, pipet, ose,
inkubator, membran filter, alat penghitung koloni (acolyte), pH meter, laminary
flow, inkubator, heater, sentrifuse, kolom resin, stirer, autoclave, waterbath,
spektroflorometer, spektrofotometri, Go Taq® PCR Core System I (Promega).
Gen 16S rRNA dengan panjang basa kurang lebih 1500 bp diamplifikasi dengan
primer universal 27F (5’-AGAGTTTGATCATGGCTCGA-3’) dan primer 1494R
(5’-GGCTACCTTGTTACGACTT-3’) untuk identifikasi bakteri.

5

Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari: Preparasi dan penyimpanan sampel, serta analisis
kimia dan mikrobiologi yang meliputi analisis perubahan kandungan mioglobin,
profil protein larut air dengan metode SDS PAGE, analisis kadar histamin,
analisis pH, analisis Total Plate Count (TPC) dan total bakteri penghasil histidin
dekarboksilase (Hdc) serta isolasi, karakterisasi dan identifikasi bakteri penghasil
histidin dekarboksilase. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Penangkapan

15 hari setelah
penangkapan,
menggunakan alat
tangkap long line

Ikan tuna mata
besar

Pendaratan

Suhu -0,1 – (-0,4), grade B,
ukuran 25-30 kg

Preparasi dan Loining

Pengemasan dalam Plastik Polypropylene
dan penyimpanan dalam Styrofoam

Penyimpanan suhu chilling (0-4 °C)
Selama 0, 3, 6 dan 9 hari

Pengambilan sampel bagian perut,
punggung dan ekor, untuk di analisis
mioglobin, analisis protein larut air,
kadar histamin, TPC, BPH, pH,
identifikasi secara molekuler bakteri
penghasil Hdc.

Gambar 1 Tahapan penelitian

6

Analisis Mioglobin (Chow et al. 2009)
Sampel diblender hingga homogen, kemudian ditimbang 1 g dalam tabung
sentrifuse 50 mL dan ditambah 7 mL akuabidest dingin. Tabung beserta isinya
disentrifuse pada kecepatan 3000 G selama 15 menit, dan disaring dengan
menggunakan kertas saring 0,2 µm. 1 mL ekstrak dipipet, kemudian ditambah 0,5
mL potasium bufer (25 µm pH 7), divortex, ditambah 25µL larutan NaNo3 5%,
divortex kembali dan selanjutnya ditambah 25 µL KCN 1%, divortex dan
didiamkan selama 1 menit. Larutan yang diperoleh diukur serapannya dengan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang 540 nm.
Perhitungan konsentrasi mioglobin diukur berdasarkan koefisien extinction
(11300) dan berat molekul (16000) dengan rumus :

Analisis Protein Larut Air dengan Metode SDS-PAGE (Sodium Dodecyl
Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) (Laemmli 1970)
Teknik pemisahan protein dengan elektroforesis dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu ekstraksi protein dari sampel, pembuatan gel dengan menggunakan sodium
dodecyl sulfat-polyacrilamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan pendeteksian
pita-pita atau fraksi-fraksi protein yang terbentuk.
Pembuatan sampel buffer
Preparasi sampel menggunakan sampel buffer yang terdiri dari 4 mL dH2O;
1 mL larutan 0,5 M Tris - HCl pH 6,8; 0,8 mL gliserol; 1,6 mL larutan SDS 10%;
0,4 mL larutan β-mercaptoethanol; 0,2 mL larutan bromophenol blue 0,05%.
Supernatannya diambil 20 µL lalu ditambah lemle 20 µL dengan perbandingan
1:1. Setelah itu supernatan tercampur dengan lemle dipanaskan pada suhu 100 °C
selama 5 menit. Tujuannya agar terjadi denaturasi protein. Setelah dingin baru
dimasukkan kedalam sumur 20 µL, kemudian dianalisis pola-pola atau pitapitanya menggunakan SDS-PAGE.
Pembuatan gel pemisah
Pembuatan gel pemisah (separating gel) konsentrasi 12% (resolving
gel/lapisan bawah) terdiri dari 3.200 µL dH2O ditambah 2.500 µL larutan 1,5 M
Tris -HCL pH 8,8; 100 µL larutan SDS 10%; 4.050 µL larutan akrilamid 30%; 50
µL larutan APS 10%; 16 µL TEMED) dan 4% stacking gel (lapisan atas) terdiri
dari 3.050 µL dH2O ditambahkan 1.250 µL larutan 0,5 M Tris – HCL pH 6,8; 50
µL larutan SDS 10%; 650 µL larutan akrilamid 30%; 25 µL larutan APS 10%; 6
µL TEMED (harus selalu dalam keadaan baru dilarutkan). Untuk preparasi gel
pengumpul (stacking gel) dicetak dengan bantuan “sisir” (comb) untuk membuat
sumur-sumur memasukkan contoh yang akan dipisahkan. Ketebalan gel yang
dibuat adalah 4 mm. Gel yang didapat kemudian dipasang. Sisir diangkat ketika
gel mengeras.

7

Elektroforesis
Proses pemisahan protein menggunakan buffer pemisah (running buffer)
yang terdiri dari Tris HCL 9 g; glycine 43,2 g; SDS 10% 3 g dan H2O 600 mL.
Sampel lalu dimasukkan ke dalam sumur dengan menggunakan pipet mikro 10-20
μL, tergantung tebal tipisnya pita protein yang diinginkan. Perangkat
elektroforesis dijalankan pada suhu rendah dengan tegangan 100 volt dan arus 125
mA selama 1-1,5 jam hingga bromphenol blue mencapai 1 cm dari batas bawah
gel. Setelah elektroforesis selesai, gel difiksasi dengan larutan Commassie brilian
blue R-250 (larutan 0,05% commassie blue 0,50 gram yang dilarutkan dalam 45%
methanol 225 mL dan 10% acetic acid 50 mL dalam 45% dH2O), kemudian gel
dipucatkan dengan larutan destain yang terdiri dari campuran 50% dH2O 250 mL;
10% acetic acid 50 mL; 40% methanol 200 mL, gel direndam dengan pewarnaan
biru konasi (sambil digoyang-goyang) selama 24 jam. Setelah itu gel dipucatkan
dengan larutan peluntur dan digoyang-goyangkan sampai terlihat pita-pita protein
(Laemmli 1970). Pita-pita protein yang muncul dan hasil SDS-PAGE dihitung
retardation faktor (Rf) dengan menggunakan rumus : Rf = Jarak pergerakan pita
protein dari tempat awal/Jarak pergerakan warna pelacak dari tempat awal.
Berdasarkan nilai Rf berat molekul dihitung dengan persamaan regresi logaritma
dengan rumus : Y =( a x Ln(X)) + b. Persamaan ini diperoleh dari grafik antar
Log BM sebagai ordinat dan Rf sebagai absis. Berdasarkan kurva kalibrasi maka
dapat dihitung BM masing-masing pita protein.
Keterangan : Y = berat molekul
X = nilai Rf sampel
a = nilai koefisien
b = nilai konstanta

Analisis Kadar Histamin (SNI 2354.10:2009)
Prinsip penentuan histamin adalah zat histamin dalam contoh dikonversikan
ke dalam bentuk –OH, kemudian diisolasi dengan resin penukar ion dan diubah ke
bentuk derivatnya dengan ortoptalatdikarboksilaldehida (OPT) dan diukur secara
fluorometer. Hasil yang diperoleh dalam ekivalen histamin level. Prosedur kerja
analisis histamin terdiri atas tiga tahap yaitu 1) Tahap ekstraksi, 2) Tahap clean
up atau elusi, dan 3) Tahap pembentukan.
Tahap ekstraksi
Sampel ikan diblender hingga homogen, kemudian ditimbang 10 ± 0,1 g
dalam beaker glass 250 mL dan ditambah 50 mL metanol. Sampel dalam keadaan
tertutup dipanaskan di dalam waterbath selama 15 menit pada suhu 60 ºC dan
didinginkan dalam suhu kamar. Sampel tersebut dituang ke dalam labu takar 100
mL sampai tanda tera dengan metanol, serta disaring menggunakan kertas saring
dan filtrat ditampung dalam botol contoh. Filtrat dapat disimpan dalam
refrigerator.

8

Tahap clean up atau tahap elusi
Glass wool yang telah diberi aquades dimasukkan ke dalam kolom resin
setinggi 1,5 cm. Resin netral dalam medium air dimasukkan ke kolom resin
setinggi 8 cm dengan volume air di atas resin setinggi 1 cm. Labu takar 50 mL
yang berisi 5 mL HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin untuk menampung
elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin.
Filtrat contoh 1 mL dipipet ke dalam kolom resin, kran kolom resin dalam
posisi terbuka dan hasil elusi dibiarkan menetes lalu ditampung dalam labu takar
50 mL. Aquades ditambahkan pada saat tinggi cairan 1 cm di atas resin dan cairan
dibiarkan terelusi. Prosedur tersebut diulangi hingga hasil elusi dalam labu takar
tepat 50 mL. Hasil elusi dapat disimpan dalam refrigerator.
Tahap pembentukan
Tiga tabung reaksi 50 mL disiapkan untuk sampel, standar, dan blanko.
Filtrat sampel, larutan standar kerja, dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet masingmasing 5 mL ke dalam tabung reaksi tersebut berturut-turut ditambahkan 10 mL
HCl 0,1 N dan diaduk; 3 mL NaOH 1 N dan diaduk, kemudian didiamkan selama
5 menit; 1 mL OPT 0,1% lalu diaduk dan didiamkan selama 4 menit; 3 mL H3PO4
3,57 N dan diaduk. Pengukuran flourescene dilakukan terhadap sampel, standar,
dan blanko sesegera mungkin dengan alat spektroflorometri pada panjang
gelombang eksitasi 350 nm dan emisi 444 nm dalam waktu 90 menit.

Analisis Total Plate Count (TPC)
(SNI 01-2332.3-2006)
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah total mikroba pada
sampel. Sampel ditimbang secara aseptik 25 g dan ditambah 225 mL larutan
butterfield’s phospate buffered, kemudian dihomogenkan selama 1 menit.
Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dengan menggunakan pipet
steril, diambil 1 mL homogenat dan masukkan ke dalam botol berisi 9 mL larutan
butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh sampel dengan pengenceran
10-2 10-3 10-4 10-5 , dan seterusnya sesuai kondisi sampel. Selanjutnya untuk
metode cawan tuang (pour plate method), masing-masing pengenceran dipipet 1
mL dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril secara duplo menggunakan pipet
steril. Ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi sampel, ditambahkan
12-15 mL media Plate Count Agar yang sudah didinginkan hingga mencapai suhu
45 °C. Setelah agar menjadi padat, cawan petri yang telah berisi agar dan larutan
sampel tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48
jam pada suhu 35 °C. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung
jumlah koloni bakteri yang ada dalam cawan petri menggunakan alat penghitung
koloni. Jumlah koloni yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni
bakteri antara 25-250 koloni.

9

Analisis Total Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase (Hdc)
(Niven et al. 1981)
Analisis bakteri pembentuk histamin dilakukan untuk mengetahui jenis
bakteri yang berperan dalam pembentukan histamin. Prinsip dari analisis bakteri
pembentuk histamin adalah Enterobactericeae akan mengubah histidin menjadi
histamin melalui proses dekarboksilasi yang akan menaikkan pH dan mengubah
warna pada media (Niven et al. 1981).
Media Niven agar dipersiapkan dengan cara 0,5% trypton, 0,5% yeast
extract, 2,7% L-histidin, 0,1% CaCO3, 0,5% NaCl, 2,0% agar, dan 0,006% phenol
red dicampurkan, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan diencerkan
menggunakan akuades pada pH 5,3. Selanjutnya dipanaskan hingga mendidih dan
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit.
Sampel 25 gram dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 mL larutan
butterfield’s phospate buffered steril, kemudian diblender hingga larutan
homogen. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dari campuran
tersebut kemudian diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam botol berisi 9 mL
larutan butterfield’s phospate buffered sehingga diperoleh contoh dengan
pengenceran 10-2, kemudian dikocok hingga homogen. Pengenceran dilakukan
hingga 10-4. Satu mL larutan sampel di setiap pengenceran dimasukkan ke dalam
cawan petri, lalu 12-15 mL media Niven bersuhu 45 °C dituangkan ke dalam
cawan berisi sampel. Setelah media Niven memadat, cawan petri dimasukkan
dalam inkubator dengan posisi terbalik selama 48 jam pada suhu 35 °C.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni berwarna merah muda
dengan halo pink hingga purpe halo yang merupakan koloni bakteri pembentuk
histamin pada latar belakang berwarna kuning.

Isolasi Bakteri (Niven et al. 1981; Kung et al. 2009; Hwang et al. 2010)
Isolasi dan pemurnian bakteri bertujuan memperoleh isolat bakteri murni
dari sampel, sehingga dapat dilakukan karakterisasi dan identifikasi bakteri yang
diperoleh. Isolasi bakteri yang dilakukan menggunakan metode gores kuadran,
yaitu menggoreskan larutan sampel beberapa kali menggunakan lup inokulasi di
permukaan media kultur.
Larutan sampel dari setiap pengenceran untuk analisis jumlah bakteri
pembentuk histamin atau ALT dipipet 0,1 mL dan dituang ke media Niven lalu
diinkubasi selama 4 hari pada suhu 35 ºC. Koloni berwarna biru atau ungu
digoreskan pada media trypticase soy agar (TSA) untuk memperoleh kultur
murni. Penggoresan yang sempurna akan menghasilkan koloni yang terpisah.
Isolat bakteri digolongkan murni jika diperoleh bentuk sel dan morfologi koloni
yang seragam.
Karakterisasi Bakteri (Niven et al. 1981)
Karakterisasi bakteri meliputi pengujian terhadap morfologi koloni dan sel
bakteri serta sifat fisiologis isolat murni yang diperoleh. Sebelum karakterisasi
bakteri dilakukan, penting dilakukan pengujian kemampuan bakteri menghasilkan

10

histamin. Pengujian tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwa isolat bakteri
yang dimiliki merupakan BPH.
Kultur murni ditumbuhkan dalam 10 mL trypticase soy broth (TSB) yang
ditambahkan 1% L-histidin atau disebut sebagai media trypticase soy broth
histidine (TSBH), kemudian diinkubasi pada suhu 35 °C selama 24 jam. Biakan
tersebut digunakan untuk pengujian kadar histamin yang dihasilkan bakteri sesuai
BSN (2009a).
Morfologi koloni
Pengamatan morfologi koloni bertujuan mengetahui bentuk koloni dari atas,
bentuk tepi, bentuk elevasi, dan warna koloni secara visual.
Morfologi sel
Pengamatan morfologi sel meliputi pewarnaan Gram dan uji motilitas.
Pewarnaan Gram merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi bakteri berdasarkan perbedaan warna karena perbedaan
komposisi kimia dan fisika dinding sel bakteri.
Pewarnaan gram diawali dengan mengolesi inokulum yang berumur 24 jam
pada kaca obyek dan difiksasi di atas api hingga kering. Kaca objek ditetesi
larutan kristal violet dan didiamkan selama 1 menit. Larutan kristal violet dibuang
dengan memiringkan kaca obyek dan dibilas dengan akuades lalu dikeringkan
dengan tisu. Selanjutnya kaca obyek digenangi dengan larutan iodin selama 1
menit dan dibilas dengan alkohol 95% selama 15 detik, kemudian ditetesi dengan
safranin selama 45 detik dan dibilas dengan akuades serta dikeringkan dengan
tisu. Saat pengamatan dengan mikroskop, kaca objek ditetesi minyak imersi.
Mikroskop di-setting memiliki perbesaran lensa objek 100 kali dan perbesaran
lensa okuler 10 kali. Bila terbentuk warna merah muda, menandakan bakteri Gram
negatif, sedangkan bila terbentuk warna ungu, menandakan bakteri Gram positif.
Bentuk sel dari preparat bakteri juga dapat diamati melalui pewarnaan gram.
Sel bakteri yang berbentuk seperti bola atau elips dinamakan kokus. Sel bakteri
yang berbentuk silindris atau batang dinamakan basilus. Bakteri berbentuk spiral
atau spirilum terurtama dijumpai sebagai individu sel yang tidak saling melekat.
Uji motilitas dilakukan dengan cara menusukkan isolat bakteri ke dalam
media semi solid agar dengan jarum ose tusuk steril, kemudian diinkubasi selama
semalam pada suhu 37 ºC. Bila pertumbuhan bakteri menyebar, maka bakteri
tersebut motil dan bila pertumbuhan bakteri tidak menyebar atau hanya berupa
segaris mengikuti arah tusukan, maka bakteri bersifat non-motil.
Uji sifat fisiologis
Uji sifat fisiologis meliputi uji oksidase dan uji katalase. Diambil satu ose
koloni bakteri digoreskan pada kertas Oxidase Test Strip untuk pengujian
oksidase. Perubahan warna yang terjadi pada tes strip diamati setelah 10-15 detik.
Bila terjadi perubahan warna menjadi biru violet menandakan oksidase positif dan
bakteri termasuk bakteri non-enterik, sedangkan bila tidak terjadi perubahan
warna menandakan oksidase negatif dan bakteri termasuk bakteri enterik. Uji
katalase dilakukan dengan cara satu ose koloni bakteri dioleskan pada kaca objek
kering dan ditetesi 2-3 tetes 3% H2O2. Bila terbentuk gelembung udara, maka

11

bakteri dinyatakan katalase positif. Bakteri aerob memberikan reaksi positif,
sebaliknya pada bakteri anaerob.

Identifikasi Bakteri Penghasil Histidin Dekarboksilase
(Kuhnert et al. 1996; 2000)
Identifikasi bakteri dilakukan dengan berdasarkan data sekuen gen 16S
Ribosomal RNA dengan tahapan sebagai berikut:
Peremajaan isolat bakteri
Satu ose biakan bakteri diinokulasikan ke dalam cawan petri yang berisi
medium Nutrient Agar (NA). Biakan diinkubasi selama dua hari pada suhu ruang
(28 °C).
Isolasi DNA
Isolasi DNA bakteri menggunakan PrepMan®Ultra (Applied Biosystems).
Satu ose koloni yang diperoleh pada tahap sebelumnya (butir 1), dipindahkan ke
dalam microtube berukuran 1,5 mL yang berisi 200 µL akuades steril untuk
isolasi DNA. Sel disuspensikan secara homogen dengan vortex. Selanjutnya
suspensi sel disentrifugasi pada kecepatan 13.300 rpm selama 1 menit, supernatan
dibuang. Tambahkan 100 µL PrepMan®Ultra untuk melarutkan pelet sel,
kemudian suspensi sel divorteks selama 2 menit. Selanjutnya suspensi sel
diinkubasi pada suhu 95 °C selama 10 menit, kemudian disentrifugasi pada
13.300 rpm selama 2 menit. 50 µL supernatan dipindahkan ke dalam tabung baru
steril, selanjutnya supernatan digunakan sebagai DNA template untuk reaksi PCR.
Amplifikasi gen 16S rRNA
Setelah DNA diperoleh, selanjutnya dilakukan menggunakan Go Taq® PCR
Core System I (Promega). Gen 16S rRNA dengan panjang basa kurang lebih 1500
bp
diamplifikasi
dengan
primer
universal
27F
(5’AGAGTTTGATCATGGCTCGA-3’)
dan
primer
1494R
(5’GGCTACCTTGTTACGACTT-3’).
Volume cocktail PCR 20 µL disiapkan dengan komposisi sebagai berikut: 1
µL hasil isolasi DNA, 12,5 µL dH2O, 2 µL 10x polymerase buffer, 2 µL of 25
mM MgCl2, 1 µL primer 27F (10 M), dan 1 µL primer 1494R (10 M), 0.5 µL of
(10mM) dNTP, dan 1 µL 1U/ µL Taq polymerase.
Kondisi PCR adalah sebagai berikut: 95 °C selama 5 menit diikuti dengan
35 siklus pada 95 oC selama 1 menit, 55 °C selama 1 menit dan 72 °C selama 2
menit dengan satu siklus ekstensi final pada 72 °C selama 10 menit.
Gel elektroforesis hasil amplifikasi gen 16S rRNA
Hasil amplifikasi dielektroforesis pada gel agarosa 1% dalam larutan buffer
Tris Acetat-EDTA (TAE) selama 25 menit pada tegangan 100 volt. Gel hasil
elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi 1 µL
/100 mL selama 20 menit. Hasil pemisahan divisualisasi pada Gel Doc
menggunakan UV transluminator dengan menggunakan standar 1.000 bp DNA
ladder (Promega) untuk mengetahui hasil dan ukuran pita DNA hasil amplifikasi.

12

Purifikasi produk PCR
Purifikasi produk PCR dilakukan setelah hasil elektroforesis menunjukkan
adanya pita DNA target PCR. Seluruh produk PCR dimasukkan ke dalam
microtube berukuran 1,5 mL yang berisi 2 µL larutan sodium asetat 3 M,
kemudian ditambahkan 50 µL ETOH absolut dan microtube diketuk-ketuk dengan
jari hingga larutan menjadi putih. Selanjutnya microtube disimpan di dalam
freezer (-20 °C) selama 30 menit, kemudian disentrifugasi pada 13.000 rpm
selama 15 menit. Supernatan dibuang secara hati-hati dengan micropipette. Pelet
kemudian dikeringkan dengan vacuum concentrator selama 30 menit. Selanjutnya
DNA dilarutkan dengan nuclease free water (NFW) 13 µL, kemudian disimpan di
freezer (-20 °C).
Cycle sequencing
Reaksi PCR Cycle sequencing dilakukan setelah purifikasi produk PCR.
Reaksi yang dilakukan hampir mirip dengan PCR, tapi dengan menggunakan 1
primer untuk masing-masing reaksi. Untuk memperoleh sequence dari gen 16S
rRNA, digunakan 2 primer. Primer yang digunakan adalah primer 27F dan primer
1494R. Komposisi cocktail PCR yang digunakan untuk setiap tabung adalah 0,5
µL primer 10 pmol, 4 µL DNA hasil purifikasi, 1 µL Big Dye Terminator ver. 3.1
(Applied Biosystems), 4 µL sequencing buffer, dan 0,5 µL nuclease free water
sampai volume 10 µL. Pada tahap PCR Cycle sequencing, masing-masing primer
direaksikan dalam tabung yang terpisah.
PCR Cycle sequencing dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:
pemanasan pertama pada suhu 96 ºC selama 1 menit, diikuti dengan 30 siklus
yang terdiri dari denaturasi 10 detik pada suhu 96 °C, annealing 5 detik pada suhu
50 °C dan 1,5 menit ekstensi pada suhu 60 °C.
Pemurnian produk PCR Cycle-sequencing
Produk PCR cycle-sequencing dipindahkan ke dalam microtube steril
berukuran 1,5 mL, kemudian ditambahkan 2 µL asam asetat dan 50 µL ETOH
100%, diaduk secara perlahan. Selanjutnya microtube diinkubasi pada suhu ruang
selama 15 menit, kemudian disentrifugasi pada 5.000 rpm selama 30 menit.
Supernatan dibuang secara hati-hati menggunakan micropipette. 70 µL etanol
70% dingin ditambahkan ke dalam tabung berisi pelet yang terbentuk setelah
proses sentrifugasi, kemudian dihomogenkan perlahan menggunakan
micropipette. Tabung disentrifugasi kembali pada 5.000 rpm selama 15 menit.
Supernatan dibuang dengan mikropipet secara hati-hati. Pelet dikeringkan
menggunakan vacuum concentrator selama 30 menit. Produk cycle-sequencing
yang telah dipurifikasi disimpan di dalam freezer. Produk pemurnian PCR cyclesequencing ditambahkan 13 µL Hi-Di Formamide kemudian dihomogenkan
menggunakan micropipette. Sampel dipindahkan ke dalam tabung PCR baru
ukuran 0,2 mL yang steril. Sampel didenaturasi pada suhu 95 °C selama 5 menit
menggunakan alat thermal cycler. Selanjutnya tabung sampel dipindahkan ke
dalam es secepat mungkin. Sampel kemudian disimpan di dalam freezer sampai
digunakan untuk sequencing.

13

Sequencing
Sampel 13 µL dipindahkan ke dalam tabung sampel sequencing berukuran
0,5 mL. Tabung kemudian ditutup dengan septa dan diberi label. Tabung
diletakkan pada sample tray dalam ABI 310 automated DNA sequencer.
Sequencing dilakukan menggunakan kapiler dengan panjang 61 cm dan polymer
POP-6 (Performance Optimized Polymer) (Applied Biosystems). Waktu
sequencing setiap sampel adalah 120 menit. Analisis DNA untuk identifikasi
menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) pada
database Bank gen National Center for Biotechnology Information (NCBI).
Sampel yang memiliki homologi sequence 16S rDNA ≥ 99% terhadap spesies
terdekat dari hasil BLAST, diidentifikasi sebagai anggota dari spesies yang sama.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan
rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lokasi
daging yang terdiri dari 3 taraf (perut, punggung dan ekor). Faktor kedua adalah
waktu penyimpanan, terdiri dari 4 taraf (0, 3, 6 dan 9 hari). Masing-masing
perlakuan diulang 3 kali. Pengaruh perlakuan terhadap faktor respon dianalisis
menggunakan Analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1993).
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Dimana :
Yijk
µ
αi
βj
(αβ)ij
€ijk

= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan faktor α taraf ke-i dan faktor β taraf ke-j
= Nilai tengah umum
= Pengaruh lokasi daging faktor α taraf ke-i ( i = 1,2,3)
= Pengaruh waktu penyimpanan faktor β taraf ke-j ( j=1,2,3,4)
= Pengaruh faktor interaksi pengaruh lokasi daging taraf ke-i dan lama
penyimpanan taraf ke-j
= galat percobaan

Sebelum dilakukan analisis ragam dilakukan terlebih dahulu uji
kenormalan data dengan uji distribusi normal. Uji kenormalan yang digunakan
adalah uji Kolmogorov-Smirnov.
Berdasarkan Analysis of variance (ANOVA), perlakuan yang memberikan
pengaruh nyata (P