Hubungan kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN
PENERIMAAN DIRI REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI
ASUHAN
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar Sarjana Psikologi

• ••&

L

II I.____

iterin·,·.

Oleh :

·. , .. - -... MNセ@

---:I/
,,.,._. .J


g,&; . セ@ t'.:l-..
. . . ;.W .Q0. . . . ..

dari

: .. _..•

I gl.

:

.. .... Lセ

NL@

0

'h lnrluk : ............:::..
\NセlGQ@

...\...
k1.i;;ifikasi : .........•............•••...............

LIA RACHMAWATI
NIM: 105070002337
FAKUL TAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2009

JBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENERIMAAN
DIRI REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN
... セ@

..----

-·-··"-'""'""""""''''\

PERPUSTAKAAN UTi\MI.\
UIM SYAH!O JAl\i\RTI\


Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidaya u ah Jakarta untuk
memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:
LIA RACHMAWATI

NIM.105070002337
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II

Pembimbing I

M. Avicenna, M.H.Sc
NIP: 19770906 20012 1004

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA


1430 H / 2009

I

_j

PENGESAHAN PANITIA UJIAN
psi yang berjudul HUBUNGAN ANT ARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN
セeriman@
DIRI REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN telah diujikan
1m sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
3yatullah Jakarta pada tanggal 7 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai
1h satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 7 Desember 2009
Sidang Munaqasyah,
Dekan/
ua Merangkap Anggota,

Pembantu Dekan/

Sekretaris Merangkap Anggota,

ja Umar, Ph.D
. 130 885 522

ッイ。Nセmウ[@

NIP.19561223 1983 032001
Anggota

Penguji I

-2(?_...o"----, Rahmat Mulyono, M.Si
'150 293 240
Pembimbing I

ah M.Si
. Zahrotu Ni
: 19620724 1 8903 2001


Pembimbing II

M. Avicenna, M.H.Sc
NIP: 19770906 20012 1004

Syuk,uri .Jlpa rr-ane 1.(ita
9difikj

e:l
£ak,uNg,n rr-ane crer6aik,

ABSTRAKSI
(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(B) Desember 2009
(C) Lia Rachmawati
(D) Hubungan Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang
Tinggal di Panti Asuhan
(E) Halaman : 78 hal + lampiran
(F) Penerimaan diri diperlukan oleh setiap remaja yang tinggal dipanti
asuhan agar mereka dapat mengenali diri mereka serta menerima

keberadaannya dipanti asuhan. Penerimaan diri ini berasal dari dalam
diri seseorang yang didasari dari proses dimana seseorang pada
akhirnya mampu menerima segala kelebihan serta kekurangan yang
mereka miliki.
Penerimaan diri remaja panti asuhan dapat muncul ketika tingkat
emosi remaja tersebut telah stabil dan melalui perbaikan diri di masa
lalu. Tingkat emosi tersebut merupakan proses dimana seseorang
mampu mengontrol emosinya dan tidak meledakkan emosinya
dihadapan orang lain sehingga individu tersebut bisa mencapai
tingkat kematangan, hal ini dikenal dengan istilah kematangan emosi..
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal
dipanti asuhan serta mengetahui seberapa besar sumbangan yang
diberikan pada kematangan emosi terhadap penerimaan diri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitaif dan dilakukan
dipanti asuhan Yayasan Masjid At-Taubah dengan subjek penelitian
sebanyak populasi yang berada dipanti tersebut, yaitu 49 orang
remaja dengan rentang usia 17 tahun sampai 18 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diperoleh koefisien
korelasi sebesar 0,773. Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan

positif yang sang at signifikan antara kematangan emosi dengan
penerimaan diri. Artinya, semakin tinggi kematangan emosi maka
semakin tinggi pula tingkat penerimaan diri seseorang. Sumbangan
efektif yang diperoleh sebesar 59,7%, hal ini menggambarkan bahwa

kematangan emosi memberikan sumbangan yang besar tehadap
penerimaan diri, sedangkan 41,3% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
yang mempengaruhi penerimaan diri, seperti dukungan sosial, pola
asuh, harga diri, dan alain-lain.
Dari hasil penelitian ini disarankan agar peneliti selanjutnya
melakukan wawancara dan observasi agar mendapatkan hasil yang
lebih lengkap, pemilihan subjek dilakukan tidak hanya pada remaja
panti asuhan, namun pada remaja pada umumnya yang memiliki
orang tua serta berusaha menambahkan variabel yang mungkin
menjadi faktor penentu penerimaan diri, seperti harga diri, pola asuh,
dukungan sosial, dan lain-lain.

(G) Daftar Pustaka: 23 (1963-2008)

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu Wata'ala atas
rahmat dan hidayah-Nya atas semua yang diberikan kepada umatnya.
Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam beserta sahabat dan keluarganya.
Dengan
Rasa syukur yang tiada henti atas terwujudnya skripsi yang berjudul
"Hubungan Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang
Tinggal di Panti Asuhan". Skripsi ini diajukan guna melengkapi syarat dalam
mencapai gelar Sarjana Psikologi Jenjang pendidikan Strata Satu Program
Studi Psikologi pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak yang bersedia membimbing, membantu, dan
mendoakan kelancaran skripsi ini. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Jahja
UmarPh.D
2. lbu Zahrotun Nihayah, M.Si sebagai dosen pembimbing I dan Bapak
M. Avicenna M.H.Sc sebagai dosen pembimbing II yang dengan sabar

dan berbesar hati dalam membimbing saya menuju terwujudnya
skripsi ini
3. Bapak dan lbu staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
atas kesabaran dan kerjasamanya.

4. Papa dan Mama tercinta atas segala kasih sayang, doa, dan
dukungannya.
5. Kakak dan adikku tersayang "Lusiyana Zuriyawati dan Fajri Abdillah"
serta kakak iparku "Yudi Ferdianto", atas pengertian dan
dukungannya.
6. Seluruh sahabat terbaik yang tidak tergantikan, lndri Dilapanga, Nuri
Hafni, Diah Ayu, Dwinita, Dedi Ansyah, Nessa, Ima, Dijah, Nurul
Kamilia, Hesty, Ari Pratiwi, Hani, Rahma,.Novitasari,K'Niken, Arum,
lntan, Risti, Purwa Dewi, De'Ria,atas doa, dukungan dan
perhatiannya.
7. Kepada pihak-pihak Panti Asuhan At-Taubah beserta subjek penelitian
yang ikut terlibat dalam penelitian ini.
8. Juga kepada seluruh angkatan 2005 dan semua pihak yang tidak
mungkin saya sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam
penulisan skripsi ini.

Dengan ini saya selaku peneliti mempersembahkan sebuah karya tulis yang
lnsya Allah bermanfaat yang berjudul . "Hubungan Kematangan Emosi

dengan Penerimaan Diri Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan".
Penulis menyadari keterbatasan dari skripsi ini, maka saya mohon kesediaan
para pembaca untuk memaklumi segala kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini.

Jakarta, Desember 2009

Penulis

DAFTAR ISi

ABSTRAKSI ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................iii
DAFTAR ISi ............................................................................................... v
DAFTAR TABEL. ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
1.2 ldentifikasi Masalah .................................................................... 7
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 7
1.3.1 Pembatasan Masalah ........................................................ 7
1.3.2 Perumusan Masalah ......................................................... 8
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
1.4.1 Tujuan Penelitian .............................................................. 8
1.4.2 Manfaat Penelitian ............................................................. 8
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................ 9

Bab 2 Kajian Pustaka
2.1 Penerimaan Diri ........................................................................ 11

2.1.1 Definisi Penerimaan Diri .................................................. 11
2.1.2 Tahap-tahap Penerimaan Diri ......................................... 13
2.1.3Kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan diri .......... 18
2.1.4 Aspek-sapek penerimaan diri. ......................................... 23
2.1.5 Dampak penerimaan diri bagi individu ............................ 24
2.2 Kematangan Emosi ................................................................. 26
2.2.1 Definisi kematangan emosi. ............................................26
2.2.2 Karakteristik kematangan emosi ..................................... 28
2.2.3 Ciri-ciri orang yang matang emosinya ............................. 30
2.3 Remaja .................................................................................... 30
2.3.1 Definisi remaja ................................................................30
2.3.2 Fase-fase masa remaja .................................................. 31
2.3.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja ...37
2.3.4 Remaja panti asuhan ...................................................... 38
2.3.4.1 Karakteristik remaja panti asuhan ...........................39
Kerangka Berpikir ................................................................. 39

Bab 3 Metode Penelitian
3.1 Jen is penelitian ........................................................................ 42
3.3.1 Pendekatan Dan Metode Penelitian ................................ 42
3.3.2 Definisi Variabel Dan Operasional ................................... 43
3.2 Pengambilan Sampel. .............................................................. 44

3.2.1 Populasi Dan Sampel. .................................................... .44
3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel. .......................................... 45
3.3 Pengumpulan Data .................................................................. 46
3.3.1 Metode dan instrumen penelitian ................................... 46
3.3.2 Teknik Uji lntrumen Penelitian ........................................ 50
3.4 Teknik Analisis Data ................................................................ 54
3.5 Prosedur Penelitian ................................................................. 55

Bab 4 Hasil Penelitian
4.1 Gambaran Umum subjek penelitian ........................................ 57
4.2 Presentasi data ........................................................................ 60
4.2.1 Deskripsi Statistik ............................................................ 60
4.3 Uji Persyaratan ........................................................................ 62
4.3.1 Uji Normalitas .................................................................. 63
4.3.2 Uji Linearitas ................................................................... 63
4.4 Uji Hipotesis ............................................................................. 64
4.4.1 Hasil Uji Hipotesis Statitisk Pertama ............................... 64
4.4.2 Hasil Uji Hipotesis Statitisk kedua ................................... 66
4.5 Penelitian tambahan ................................................................ 68

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi Dan Saran
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 71

5.2 Diskusi ..................................................................................... 71
5.3 Saran ....................................................................................... 74
5.3.1 Saran teoritis ................................................................... 74
5.3.2 Saran praktis ................................................................... 75

Daftar Pustaka .......................................................................................... 77
LAMPIRAN - LAMPIRAN

DAFTARTABEL

Tabel 3.1

Format Skoring Skala Likert

Tabel 3.2

Blue print skala kematangan Emosi

Tabel 3.3

Blue print skala Penerimaan Diri

Tabel 3.4

Blue Print Field Study Kematangan Emosi

Tabel 3.5

Blue Print Field Study Penerimaan Diri

Tabel 4.1

Gambaran subjek berdasarkan jenis kelamin

Tbel 4.2

Gambaran subjek berdasarkan Usia

Tabel 4.3

Gambaran subjek berdasarkan kelas

Tabel 4.4

Gambaran subejk berdasarkan lama berada diasrama

Tabel 4.5

Gambaran subjek berdasarkan status saat ini

Tabel 4.6

Deskripsi statistik

Tabel 4.7

Uji normalitas skala Kematangan emosi

Tabel 4.8

Uji normalitas skala penerimaan diri

Tabel 4.9

Model Summary and Parameter Estimates

Tabel 4.10

Korelasi antar variabel

Tabel 4.11

Korelasi antara aspek-aspek kematangan emosi dengan
Variabel penerimaan diri

Tabel 4.12

ANOVA

Tabel 4.13

Model Summary

Tabel 4.14

Coefficients

DAFT AR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Surat permohonan izin penelitian

Lampiran 2

Surat keterangan benar mengadakan penelitian

Lampiran 3

Kuesioner field study pertama dan kedua

Lampiran 4:

Skor field study kematangan emosi dan penerimaan diri

Lampiran 5

Hasil uji reliabilitas dan uji validitas

Lampiran 6

Hasil uji persyaratan dan uji Hipotesis

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan
seorang anak. Orang tua mempunyai peran penting dalam kaitannya dengan
pendidikan, kebutuhan menumbuhkan rasa aman, kasih sayang, yang semua
itu merupakan faktor kebutuhan psikologis anak. Penelantaran yang
dilakukan oleh orang tua akan menganggu proses tumbuh kembang anak,
karena anak yang tidak berkembang secara optimal dan kurang mendapat
dukungan dari keluarga dan lingkungan akan tumbuh menjadi remaja yang
tidak tangguh.

Hurlock (1999) juga mengatakan masa remaja merupakan masa transisi,
yaitu peralihan dari usia anak-anak menuju usia dewasa, pola emosi masa
remaja adalah sama dengan masa kanak-kanak. Perbedaannya terletak
pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya
pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Meningginya emosi dikarenakan mereka berada dibawah tekanan sosial, dan

2

menghadapi kondisi baru, sebab selama masa kanak-kanak mereka kurang
mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan tersebut.

Moedjiono (2007) mengungkapkan remaja berada dalam pencarian kepastian
hidup, misalnya mengenai masa depan, identitas diri, apa yang akan
dikerjakan dalam hidup. Jika pengalaman yang ada tidak sesuai dengan
harapan, anak akan merasa tidak ada kepastian diri, tidak memiliki masa
depan sehingga remaja merasa tidak berarti. Kasus bunuh diri di kalangan
remaja meningkat, setidaknya itu yang terekam oleh media massa. Menurut
Dwidjo Saputro, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Klinik Perkembangan
Anak dan Kesulitan Belajar, umumnya anak atau remaja bunuh diri karena
ada stresor psikososial. ltu bisa berupa tekanan dari keluarga, lingkungan,
atau kondisi sosial ekonomi yang rendah.

Ada beberapa remaja yang dihadapkan pada pilihan yang sulit ketika mereka
harus berpisah dari keluarganya karena ketidakmampuan orang tuanya
dalam membiayai hidup hingga mereka terlantar, ada pula remaja yang
kehilangan orang tuanya sehingga mereka menjadi yatim, piatu atau bahkan
yatim piatu. Dan mereka biasanya di tampung di sebuah tempat yang biasa
dikenal dengan panti asuhan.

3

Radio Nederland Wereldomroep (2009), mengungkapkan Organisasi amal
Save the Children baru saja menerbitkan laporan yang
menunjukkan bahwa di beberapa negara, 90% di Ghana, 95% di Indonesia
dan 98% di Eropa Timur dan Tengah setidaknya empat dari setiap lima anak
yatim punya satu dan kadang dua orangtua yang tidak mampu merawat
mereka.

Saat ini, pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak dini (1999)
mengungkapkan bahwa sasaran pelayanan panti asuhan tidak hanya
diperuntukkan bagi anak yatim, piatu atau yatim piatu, tetapi juga untuk anak
yang salah satu atau kedua orang tuanya sakit kronis, terpidana, korban
bencana dan lain-lain.

Hanya saja kehidupan remaja yang tinggal dipanti asuhan tidak sama dengan
kehidupan remaja pada umumnya, mereka kurang memperoleh perhatian,
kasih sayang ataupun bimbingan karena pengasuh harus berbagi kasih
sayang dan perhatian dengan yang lain yang banyak jumlahnya dan tidak
bisa memperhatikan secara mendalam. Menu rut Bustam (dalam Farid, 1993)
karakteristik anak panti asuhan atau yatim piatu adalah kurang perhatian,
kurang kasih sayang dan bimbingan dari orang tua, lingkungan hidup
keluarganya bersifat kurang membantu bagi pertumbuhannya, kurang
pendidikan dan pengetahuan, tidak memiliki bekal keterampilan untuk

4

hidupnya di hari-hari yang akan datang, kurang pakaian, kurang gizi dan
vitamin, kurang bermain, dan tiada kepastian tentang hari esok.

Tidak adanya orang tua disekeliling mereka, akan membuat emosi mereka
terganggu, karena di dalam panti asuhan hanya terdapat pengasuh yang
tidak bisa memberikan perhatian penuh seperti orang tua pada umumnya.
Terutama pada remaja awal, ini adalah masa yang tidak realistik serta
mereka mengalami ketidakstabilan emosi. Hall dalam Al-Mighwar (2006)
menjelaskan pada remaja awal, mereka memandang diri sendiri dan orang
lain berdasarkan keinginannya, bukan berdasarkan keyataan yang
sebenarnya. Tidak heran bila sikap dan sifat remaja yang sangat antusias
bekerja tiba-tiba menjadi lesu, dari sangat gembira menjadi sangat sedih, dari
merasa percaya diri menjadi sangat ragu.

Namun, seiring bertambahnya usia, remaja akan mengalami kestabilan emosi
di usia 17 tahun, sebagaimana yang diungkapkan Al-Mighwar (2006), dalam
aspek fisik dan psikis, laki-laki muda dan wanita muda menunjukkan
kestabilan emosi.

Hasil wawancara yang dilakukan Wulandari (1999) pada pengasuh panti
asuhan, beberapa anak yang tinggal di panti asuhan dengan usia sekitar 13
tahun, mereka cenderung meluapkan emosi mereka dengan cara-cara yang

5

sering mengkhawatirkan pengasuh panti, seperti bertengkar dengan teman
sekamar sampai terjadi pemukulan. Berbeda halnya dengan remaja yang
berusia 18 tahun, ketika saya mewawancarai pengasuhnya mengenai emosi
remaja tersebut, pengasuhnya pun menjawab bahwa remaja pada usia itu
lebih banyak diam ketika bertengkar dengan teman sekolahnya atau teman
sekamarnya. Mereka lebih sering mengungkapkan pada buku harian atau
bercerita pada guru.

Hurlock (1999) juga mengungkapkan remaja dikatakan sudah mencapai
kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak segera melampiaskan
emosi dihadapan orang lain melainkan menunggu pada saat dan tempat
yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih
tepat, dan dengan cara-cara yang dapat diterima.

Katkovsky, W & Garlow (1976), kematangan emosi merupakan suatu proses
dimana kepribadian secara terus menerus barusaha mencapai keadaan
tingkat emosi yang sehat baik secara intra maupun interpersonal.

Dalam jurnal Endah Puspita Sari (2002) yang berjudul "Penerimaan Diri Pada
Lanjut Usia ditinjau dari Kematangan Emosi " menunjukkan bahwa
kematangan emosi berkorelasi positif dengan penerimaan diri. Semakin tinggi
kematangan emosi individu lanjut usia maka semakin tinggi pula penerimaan

6

dirinya, dan sebaliknya semakin rendah kematangan emosi individu lanjut
usia maka semakin rendah pula penerimaan dirinya. Dalam penelitian ini
subjek memiliki penerimaan terhadap kondisi ketuaannya dengan baik
karena memiliki kematangan emosi yang baik.

Menurut Pannes (dalam Hurlock 1973) penerimaan diri adalah suatu
keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta
mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Jadi, individu
dengan penerimaan diri memiliki penilaian yang realistis tentang potensi yang
dimilikinya, yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya secara
keseluruhan. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan kelebihankelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya.

Penerimaan diri juga terjadi melalui proses hingga akhimya seseorang dapat
menerima dirinya secara utuh. Sedih, kecewa, marah, depresi, akan
membawa seseorang pada penerimaan diri dan penyesuaian diri,
sebagaimana yang diungkapkan Kubler-Ross (dalam Gargiulo, 1985).

Berdasarkan uraian diatas, penting untuk diteliti bagaimana hubungan antara
penerimaan diri dengan kematangan emosi remaja yang tinggal dipanti
asuhan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

7

Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri Remaja yang
tinggal di Panti Asuhan.

1.2 ldentifikasi Masalah
a. Bagaimana tingkat kematangan emosi remaja yang tinggal dipanti
asuhan?
b. Bagaimana tingkat penerimaan diri remaja yang tinggal dipanti
asuhan?
c. Apakah ada hubungan yang signifikan antara kematangan emosi
dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti asuhan?

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3.1 Pembatasan Masalah
1. Remaja yang dimaksud menurut Al-Mighwar (2006) ialah remaja akhir
yang berusia 17-18 tahun yang tinggal dipanti asuhan.
2. Kematangan emosi Katkovsky, W & Garlow (1976) adalah proses
dimana kepribadian secara terus menerus berusaha mencapai
keadaan emosi yang sehat baik secara intra maupun interpersonal.
3. Penerimaan diri menurut Pannes (dalam Hurlock, 1973) ialah suatu
keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya,
serta mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut,

8

sehingga ia mampu menerima kelebihan serta kekurangan yang
dimilikinya.
1.3.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah
pada penelitian ini adalah "Apakah ada hubungan yang signifikan antara
kematangan emosi dengan penerimaan diri remaja yang tinggal di panti
asuhan?"

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kematangan emosi dan
penerimaan diri pada remaja yang tinggal dipanti asuhan, serta memperoleh
gambaran mengenai korelasi antara kematangan emosi dengan penerimaan
diri pada remaja yang tinggal dipanti asuhan.

1.4.2 Manfaat Penelitian
1.

Dalam melengkapi kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan.

2

Dari sisi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dan pemahaman tentang kematangan emosi dan penerimaan diri
remaja yang tinggal dipanti asuhan

9

3

Sebagai bekal ilmu pengetahuan dan dapat menggugah pemahaman
bagi pengasuh panti asuhan untuk melatih dan berperan aktif dalam
merawat anak asuhnya agar memiliki emosi yang matang sehingga
penerimaan diri mereka juga semakin baik.

1.4

Sistematika Penulisan

Peneliti menggunakan teknik penulisan American Psychological Association
(APA) Style. Dan secara garis besar sistematika penulisan penelitian ini
adalah:
1. Bab 1 pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab 2 kajian pustaka, yang meliputi: kematangan emosi, penerimaan diri,
dan remaja. Pada penerimaan diri akan dipaparkan ; definisi penerimaan
diri, tahap-tahap penerimaan diri, kondisi-kondisi yang menentukan
penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri, dan dampak penerimaan
diri bagi individu. Pada kematangan emosi akan dipaparkan ; definisi
kematangan emosi, karakteristik kematangan emosi dan ciri-ciri orang
yang matang emosinya. Pada remaja akan dipaparkan ; definisi
remaja,fase-fase masa remaja, perubahan-perubahan yang terjadi pada
remaja, remaja panti asuhan dan karakteristik remaja panti asuhan.

10

3. Bab 3 metodologi penelitian, yang meliputi: jenis penelitian (pendekatan
dan metode penelitian), definisi variabel dan operasional variabel,
pengambilan sampel (populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel),
pengumpulan data (metode dan instrumen penelitian dan teknik uji
instrumen penelitian), dan teknik analisa data serta prosedur penelitian
4. Bab 4 presentasi dan analisa data
5. Bab 5 kesimpulan, diskusi, dan saran

BAB2
KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini, akan diuraikan kajian tentang kematangan emosi, penerimaan
diri, dan remaja. Pada penerimaan diri akan dipaparkan ; definisi penerimaan
diri, tahap-tahap penerimaan diri, kondisi-kondisi yang menentukan
penerimaan diri, aspek-aspek penerimaan diri, dan dampak penerimaan diri
bagi individu. Pada kematangan emosi akan dipaparkan ; definisi
kematangan emosi, karakteristik kematangan emosi dan ciri-ciri orang yang
matang emosinya. Pada remaja akan dipaparkan ; definisi remaja,fase-fase
masa remaja, perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja, remaja panti
asuhan dan karakteristik remaja panti asuhan.

2.1

Penerimaan diri

2.1.1

Definisi Penerimaan Diri

Menurut Pannes (dalam Hurlock 1973) penerimaan diri adalah suatu
keadaan dimana individu memiliki keyakinan akan karakteristik dirinya, serta
mampu dan mau untuk hidup dengan keadaan tersebut. Jadi, individu
dengan penerimaan diri memiliki penilaian yang realistis tentang potensi yang
dimilikinya, yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya secara

11

12

keseluruhan. Artinya, individu ini memiliki kepastian akan kelebihankelebihannya, dan tidak mencela kekurangan-kekurangan dirinya. lndividu
yang memiliki penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan dapat
menerima kelemahannya.

Hjelle dan Ziegler (1981) menyatakan bahwa individu dengan penerimaan diri
memiliki toleransi terhadap frustrasi atau kejadian-kejadian yang
menjengkelkan, dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya tanpa
harus menjadi sedih atau marah. lndividu ini dapat menerima dirinya sebagai
seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadi, individu
yang mampu menerima dirinya adalah individu yang dapat menerima
kekurangan dirinya sebagaimana dirinya mampu menerima kelebihannya.

Jersild (1965) mendefinisikan penerimaan diri sebagai penilaian yang realistis
terhadap potensi yang dimilikinya, memahami karakteristik dirinya dan
mampu menerima kondisi yang ada dengan sesungguhnya. Penerimaan diri
pada remaja yaitu dengan menyadari segala potensi-potensi yang dimiliki
sehingga mereka mampu melakukan sesuatu yang diharapkannya. Hal
tersebut sama dengan mereka mengetahui apa yang menjadi kekurangan,
serta tidak menjadi suatu kesalahan bagi mereka.

14

1. Primary phase

a. Shock
Periode ini ditandai dengan tingkah laku seperti menangis berlebihan dan
rasa ketidakberdayaan.
b. Denial

Penolakan merupakan sikap yang bertahan dapat timbul disebabkan
ketakutan seperti ketidakmampuan potensi anak dimasa depan. Terkejut,
tidak percaya, merasa terpukul dan menyangkal pernyataan bahwa
kehilangan itu benar-benar terjadi. Secara sadar maupun tidak sadar
seseorang yang berada pada tahap ini menolak semua fakta, informasi dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang dialaminya. lndividu
merasa hidupnya menjadi tidak berarti lagi. Pada saat itu dia dalam keadaan
terguncang dan pengingkaran, merasa ingin mati saja. Pada tahap ini
seseorang tidak mampu berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk
keluar dari masalahnya. Dia tidak siap untuk menerima kondisinya. Oleh
karenanya tahap pengingkaran merupakan suatu tahap yang sangat tidak
nyaman dan situasi yang sangat menyakitkan.
c. Grief and Depression

Sedih merupakan reaksi yang penting dan berguna dan tidak harus
disangkal. Perasaan ini sebagai tanda adanya perubahan mengenai konsep
seorang anak menuju pada kenyataan yang terjadi. Depresi seringkali
menjadi penyebab dari proses kesedihan. Depresi adalah kemarahan yang

15

berada di dalam. Moses (dalam Gargiulo, 1985) percaya kebanyakan orang
memiliki perasaan kemahakuasaan didalam dirinya. Semua kejadian yang
tidak menyenangkan tidak akan dialaminya. Masyarakat berpendapat bahwa
depresi merupakan perasaan yang tidak pantas dan tidak dapat ditoleransi.
Padahal ini merupakan proses yang normal, alami dan penting. Keadaan
depresi ini dapat diubah menjadi reaksi yang pantas dan masuk aka!. Karena
keadaan ini dapat memungkinkan anak untuk menerima segala sesuatu yang
tidak dapat diubah.
Penarikan diri dari sosial juga termasuk dalam tahap ini. lni menunjukkan
tahap penyembuhan. lndividu sering menunjukkan sikap menarik diri, tidak
mau berbicara, takut, perasaan tidak menentu dan putus asa. Seseorang
yang berada pada tahap ini setidaknya sudah mulai menerima apa yang
terjadi padanya adalah kenyataan yang memang harus dia hadapi

2. Secondary phase
a. Ambivalence
Pada masa ini anak merasakan perasaan yang bertentangan antara
menerima dan menolak kondisi yang terjadi. Perasaan negatif ini biasanya
muncul dengan perasaan bersalah.
b. Guilt
Perasaan bersalah mungkin menjadi reaksi yang paling sulit untuk
dilewati.Moses (dalam Gargiulo, 1985) percaya bahwa bukan karena rasa

16

bersalahnya itu saja, tetapi apa yang menyebabkan rasa bersalah itulah yang
menyebabkan rasa sakit.
Rasa bersalah itu identik dengan kata-kata "seandainya" yang berada dalam
pikirannya. Selama tahap ini, reaksi yang umum adalah keinginan untuk
membayar kesalahannya. Rasa bersalah adalah suatu hal yang normal dan
penting, tetapi tidak harus dirasakan secara irasional dan berlebihan.

c. Anger
Marah merupakan sebuah penghadang untuk menuju penerimaan. Marah
dapat disebabkan dua tipe. Tipe pertama secara umum dapat diterima, sering
mengekspresikan keadilan dan bertanya "kenapa saya?". Tipe kedua adalah
merubah marah kepada diri sendiri menjadi kepada orang lain, jauh dari
orang lain dengan alasan harus ada yang disalahkan atas terjadinya ini
semua.
Wentworth (dalam Gargiulo, 1985) mengobservasi bahwa kemarahan tidak
menyelesaikan apa-apa. Jika perasaan ini meningkat, maka mereka
membutuhkan lingkungan yang mendukung dan menyadarkan bahwa
perasaan itu merupakan sebuah proses yang normal dan natural. Kemarahan
yang dialami oleh seseorang dapat diungkapkan dengan berbagai cara.
lndividu mungkin menyalahkan dirinya sendiri dan atau orang lain atas apa
yang terjadi padanya, serta pada lingkungan tempat dia tinggal. Pada kondisi
ini individu tidak memerlukan nasihat, baginya nasihat adalah sebuah bentuk
pengadilan Uudgement) yang sangat membuatnya menjadi lebih terganggu.

17

d. Shame and Embarrasment
Perasaan ini timbul saat anak menghadapi lingkungan sosial yang menolak,
mengasihani atau mengejek. Cunningham & Davis (dalam Bromley, dkk,
1998) menyatakan bahwa pada tahap ini seseorang mulai menerima dan
mengenali bahwa kehidupannya memerlukan perubahan dan adaptasi.

3. Tertiary phase

a. Bergaining
Tahap ini merupakan tahap yang bersifat sangat personal dan jarang
diketahui oleh orang lain. Bergaining (tawar-menawar) adalah suatu strategi
dimana anak membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau
pihak manapun yang mampu membuatnya kembali normal. Pada tahap ini
seseorang berpikir seandainya dia dapat menghindari kehilangan itu. Reaksi
yang sering muncul adalah dengan mengungkapkan perasaan bersalah atau
ketakutan pada dosa yang pernah dilakukan, baik itu nyata ataupun hanya
imajinasinya saja. Seringkali seseorang yang berada tahap ini berusaha
tawar menawar dengan Tuhan agar merubah apa yang telah terjadi supaya
tidak menimpanya. Sering juga dinyatakan dengan kata-kata "seandainya
saya hati-hati", "kenapa harus terjadi pada keluarga saya". Sesungguhnya

bargaining yang dilakukan seseorang tidak memberikan solusi apapun bagi
permasalahan yang dia hadapi.

b. Adaptation and Reorganization

18

Adaptasi merupakan proses yang membutuhkan waktu dan berkurangnya
rasa cemas serta reaksi emosional lainnya. Tahap ini merupakan kondisi
dimana anak mulai merasa nyaman dengan situasi yang ada.

c. Acceptance and adjusment
Penerimaan merupakan suatu proses yang aktif dimana anak secara sadar
berusaha untuk mengenali, memahami, dan memecahkan masalah. Tetapi
perasaan-perasaan negatif yang sebelumnya tidak akan hilang sepenuhnya.
Dalam penerimaan diikuti dengan penyesuaian yang merupakan sebagai
sebuah tingkah laku. Tingkah laku yang mengarah ke sisi positif dan
bergerak maju. Penyesuaian memerlukan suatu perubahan dan pengaturan
ulang tujuan dan ambisi. Hal ini merupakan sesuatu yang sulit dan sangat
berhubungan dengan
kepribadian seseorang. Wentworth (dalam gargiulo, 1985) berpendapat
penyesuaian akan terjadi setelah penerimaan, saat mereka memahami
keadaan mereka maka saat itulah anak berpikir membutuhkan penyesuaian.

2.1.3 Kondisi-kondisi yang menentukan penerimaan diri
Dalam penerimaan diri, terdapat beberapa kondisi yang dapat menentukan
bagaimana seseorang dapat menyukai dan menerima dirinya. Hurlock (1974)
menjelaskan kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain :

19

a. Self understanding (pemahaman diri)
Pemahaman akan diri sendiri adalah persepsi tentang diri sendiri yang dapat
timbul jika seseorang mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta
mau mencoba kemampuannya tersebut. lndividu dapat memahami dirinya
sendiri tidak hanya bergantung pada kemampuan intelektual dirinya saja,
melainkan juga pada setiap kesempatannya untuk mengenali diri sendiri.
Pemahaman diri dan penerimaan diri berjalan secara berdampingan. lndividu
yang memahami dirnya dengan baik, maka akan menerima dirinya sendiri
dan tidak ada keinginan untuk berpura-pura menjadi orang lain, begitu juga
sebaliknya. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami dirinya sendiri,
maka semakin ia dapat menerima dirinya.
b. Realistic expectations (harapan yang rea/istis)
Ketika harapan seseorang akan sesuatu hal adalah realistis, maka
kesempatan untuk mencapainya akan terwujud apabila sesuai dengan
harapannya. Hal ini dapat memberikan kepuasan pada diri sendiri yang
sangat berkaitan dengan penerimaan diri. Harapan yang realistis bisa timbul
bila individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan
pemahaman mengenai kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain
dalam mencapai tujuannya. Jadi, ketika individu mamiliki harapan,
seharusnya ia telah mampertimbangkan kemampuan dirinya dalam mencapai
tujuannya tersebut.

20

c. Absence of environmental obstacles (tidak adanya hambatan lingkungan)
Ketidakmampuan individu mencapai tujuannya dapat ditimbulkan dari
lingkungan. Jika lingkungan sekitarnya menghalangi individu untuk
menunjukkan potensinya atau untuk mengekspresikan dirinya, maka
penerimaan dirinya tentu akan sulit tercapai. Sebaliknya, apabila didalam
lingkungan individu mendapatkan dukungan dari orang tua, guru, dan temanteman, maka individu dapat mencapai tujuannya, merasa puas atas apa yang
telah diraihnya, dan harapannya pun menjadi realistis.
d. Favorable social attitudes (tingkah laku sosial yang sesuai)
Ketika individu menunjukkan tingkah laku yang dapat diterima oleh
masyarakat, Hal tersebut akan membantu untuk dapat menerima diri. Yang
dimaksud favorable social attitudes disini adalah tidak adanya prasangka
terhadap diri atau anggota keluarganya, lndividu mengakui akan kemampuan
sosial yang dimiliki orang lain, tidak memandang buruk terhadap orang lain,
serta adanya kesediaan individu untuk menerima kebiasaan atau norma
lingkungan yang ada.
e. Absence of severe emotional stress (tidak adanya stress emosional yang
berat)
Stress menandai kondisi tidak seimbang dalam diri individu yang
menyebabkan individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh
lingkungannya. Perubahan pandangan ini menyebabkan pandangan individu
terhadap dirinya juga berubah ke arah yang negatif, sehingga berpengaruh

21

terhadap penerimaan dirinya. Selain itu, tidak adanya gangguan stress
emosional yang berat memungkinkan seseorang untuk melakukan yang
terbaik dan tidak hanya mementingkan kepentingan dirinya saja, tatapi juga
orang lain.
f. Preponderance of successes (kenangan akan keberhasilan)
Kegagalan yang dialami oleh individu akan menimbulkan penolakan dalam
dirinya, sedangkan keberhasilan dapat berpengaruh pada penerimaan
dirinya. Ketika seseorang menerima kegagalan, maka ketika ia mengingat
keberhasilan dapat membantu memunculkan penerimaan diri. Sebaliknya,
kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan penolakan dalam dirinya.
g. Identification with well-adjusted people (identifikasi dengan orang yang
memi/iki penyesuaian diri yang baik)
Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan baik akan mampu
beradaptasi dengan baik, Hal ini dapat membantu dirinya untuk
mengembangkan sikap-sikap yang positif dalam hidupnya dan bersikap baik,
sehingga dapat menilai diri dan menerima dirinya dengan baik
h. Self perspective (perspektif diri)
Seseorang yang mampu memperhatikan pandangan orang lain terhadap
dirinya seperti ia memandang dirinya sendiri adalah seseorang yang memiliki
pemahaman diri yang cukup baik,. Hal inilah yang membuat ia bisa menerima
dirinya dengan baik dibandingkan seseorang yang memiliki perspektif yang
sempit mengenai dirinya. Perspektif diri yang luas diperoleh melalui

22

pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat pendidikaN
memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan
perspektif dirinya.

i. Good childhood training (po/a asuh masa kecil yang baik)
Meskipun ada bermacam-macam cara penyesuaian diri yang dilakukan
seseorang untuk membuat perubahan dalam hidupnya, namun yang
menentukan penyesuaian diri seseorang dalam hidupnya adalah pola asuh di
masa kecil. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis didalamnya
akan ada peraturan yang dapat mengajarkan kepada anak bagaimana ia
menerima dirinya sebagai individu, dan cenderung berkembang untuk
menghargai dirinya sendiri. Pola asuh yang diterapkan ini akan membentuk
konsep diri anak, sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada
meskipun usia individu terus bertambah.
j. Stable self-concept (konsep diri yang stabil)

Konsep diri yang stabil adalah satu cara bagaimana seseorang mampu
melihat dirinya sendiri dengan cara yang sama dari waktu ke waktu. Hanya
pada konsep diri yang sesuai seseorang mampu menerima dirinya sendiri.
Karena apabila individu memiliki konsep diri yang tidak sesuai dengan
dirinya, maka dapat terjadi penolakan dalam diri. lndividu yang tidak memiliki
konsep diri yang stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya, pada
waktu lain ia membenci dirinya sendiri. lni akan membuatnya kesulitan untuk

23

menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain karena ia sendiri merasa
bertentangan terhadap dirinya sendiri.

2.1.4 Aspek-aspek Penerimaan Diri

Sheerer

(dalam

Cronbach,1963)

menjelaskan

lebih

lanjut

mengenai

karakteristik individu yang dapat menerima dirinya, yaitu:
a. lndividu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi
persoalan.
b. lndividu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan
sederajat dengan orang lain.
c.

lndividu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada
harapan ditolak orang lain.

d. lndividu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri.
e. lndividu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
f.

lndividu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif.

Sifat ini

tampak dari perilaku individu yang mau menerima pujian, saran dan
kritikan dari orang lain untuk pengembangan kepribadiannya lebih lanjut.
g. lndividu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya ataupun
mengingkari kelebihannya.

25

yang tertuju padanya untuk dijadikan sebagai perbaikan alas segala
kekurangan dalam diri.
Penerimaan diri yang disertai dengan rasa aman dalam diri dapat
mendukung seseorang untuk mengembangkan dirinya dan memungkinkan
seseorang untuk menilai dan mengevaluasi dirinya secara realistis, sehingga
dapat menggunakan potensinya secara efektif. Yang terpenting adalah,
seseorang yang mampu menerima dirinya tidak akan mau untuk menjadi
orang lain. la akan merasa puas dengan dirinya sendiri, dan tidak berpikir
untuk berpura-pura menjadi orang lain.

b. Dampak penerimaan diri dalam penyesuaian sosial
Dalam penerimaan diri, biasanya disertai dengan adanya penerimaan akan
orang lain. Penerimaan akan orang lain inilah yang mendukung penyesuaian
sosial yang positif bagi seseorang. Seseorang yang dapat menerima dirinya
akan merasa cukup aman untuk menerima orang lain, menaruh minat pada
orang lain serta dapat menunjukkan empatinya kepada orang lain, sehingga
ia memiliki penyesuaian sosial yang cukup baik daripada seseorang yang
merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat yang cenderung bersikap
dimana ia hanya berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented) dan sulit
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

26

2.2

Kematangan Emosi

2.2.1 Definisi Kematangan Emosi
Katkovsky, W & Garlow (1976), mengatakan istilah kematangan
menunujukkan adanya proses menjadi. lndividu yang dianggap telah
memenuhi persyaratan untuk disebut matang juga masih akan terus
berkembang, sehingga pada tiap-tiap individu mungkin memiliki taraf
kematangan yang berbeda pada waktu yang lalu maupun masa yang akan
datang. Kematangan emosi merupakan suatu proses dimana kepribadian
secara terus menerus barusaha mencapai keadaan tingkat emosi yang sehat
baik secara intra maupun interpersonal.

Menu rut Chaplin (2006), emotional maturity (kedewasaan emosional) adalah
suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari
perkembangan emosional, dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak
lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak, namun
mereka mampu menekan atau mengontrolnya lebih baik, khususnya
ditengah-tengah situasi sosial.

Hurlock (1999) mengatakan bahwa kematangan emosi dapat dikatakan
sebagai sebagai suatu kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil
terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk mengambil suatu
keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu pertimbangan dan

27

tidak mudah berubah-ubah dari satu suasana hati ke dalam suasana hati
yang lain.

Menurit Hurlock (1999), anak laki-laki dan perempuan dikatakan sudah
mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak
"meledakkan" emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat dan
tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara
yang lebih diterima. Petunjuk kematangan emosi yang lain bahwa individu
menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi tanpa pikir
sebelumnya seperti anak-anak yang tidak matang.

Al-Mighwar (2006) mengatakan bahwa kematangan emosi bisa dicapai bila
remaja memperoleh gambaran tentang berbagai kondisi yang dapat
menimbulkan reaksi emosional. Caranya, antara lain dengan membicarakan
masalah pribadinya denganorang lain. Sebab, keterbukaan dan perasaan
serta masalah pribadi dipengaruhi oleh rasa aman dalam interaksi sosial dan
tingkat penerimaan orang lain terhadapnya.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi ialah suatu
proses dimana individu mampu mengontrol emosinya dalam menghadapi
berbagai situasi,hingga akhirnya mencapai tingkat dimana individu telah
mampu menguasai emosinya dengan baik.

28

2.2.2 Karakteristik kematangan emosi
Menurut Smitson (dalam Katkovsky & Garlow, 1976), ada beberapa
karakteristik yang dapat digunakan untuk melihat suatu tingkat kematangan
emosi diantaranya :
a. Ke arah kemandirian (toward independence)
Yang dimaksud dengan kea rah kemandirian disini adalah dapat
menemukan apa yang dikehendaki serta bertanggung jawab akan
keputusannya itu.
b. Kemampuan untuk menerima realitas (ability to accept reality)
Maksudnya adalah kemampuan untuk menerima kenyataan bahwa ia
memiliki kesempatan, kemampuan serta tingkat intelegensi yang
berbeda dengan orang lain. Dengan menyadari hal tersebut ia dapat
menentukan pola tingkah laku yang tepat.
c. Kemampuan beradaptasi (adaptability)
Kemampuan untuk mudah menerima orang lain atau situasi tertentu
dengan cara-cara yang berbeda. Salah satu hal yang paling
membedakan antara orang yang emosinya sehat adalah pada tingkat
fleksibility ini, dimana pada orang yang tidak sehat emosinya akan
berespon secara kaku dalam menghadapi orang lain atau situasi
tertentu.

29

d. Kesiapan merespon (readines to respond)
Kesiapan merespon ini harus melibatkan kesadaran kita bahwa setiap
individu adalah unit dan bahwa setiap orang memiliki hak-haknya
sendiri. Dengan demikian diharapkan kita mampu merespon dengan
tepat pada keunikan masing-masing individu.
e. Kemampuan untuk seimbang (capacity to balance)
lndividu dengan kematangan emosi yang tinggi menyadari bahwa
sebagai makhluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain,
namun ia tidak harus takut bahwa ketergantungan itu akan
menyebabkan ia diperalat oleh orang lain.
f.

Kemampuan berempati (empathic understanding)
Maksudnya adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam
kedudukan orang lain, sehingga dapat memahami perasaan dan
pikirannya.

g. Kemampuan menguasai amarah (challenging anger)
Untuk dapat mengendalikan amarahnya, seseorang harus mengenal
batas sensitivitas dirinya. Jadi, dengan mengetahui hal-hal apa saja
yang dapat membuat dirinya marah, ia akan dapat mengendalikan
perasaan amarahnya.

30

2.2.3 Ciri-ciri orang yang matang emosinya
Menurut Hollingwort seperti yang dikutip oleh Jersild (1978), ciri-ciri orang
yang matang emosinya ialah :
a. Mampu memberikan reaksi emosional secara bertahap
b. lndividu yang matang emosinya dapat mengendalikan emosi bila
menghadapi
situasi tertentu, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon
yang
tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi.
c. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan. lni terlihat pada caranya
memberikan atau mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri.

2.3

Remaja

2.3.1 Definisi Remaja
Dalam Hurlock (1999), istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin
adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti
"tumbuh" atau "tumbuh menjadi dewasa". Awai masa remaja biasanya
disebut sebagai "usia belasan", kadang-kadang bahkan disebut "usia belasan
yang tidak menyenangkan". Meskipun remaja yang lebih tua sebenarnya
masih tergolong anak belasan tahun, sampai ia mencapai usia dua puluh
satu tahun, namun usia belasan tahun yang secara populer dihubungkan
dengan pola khas perilaku remaja muda-jarang jarang dikenakan pada

31

remaja yang lebih tua.biasanya disebut "pemuda" atau "pemudi'', atau
malahan disebut "kawula muda" yang menunjukkan bahwa masyarakat
belum melihat adanya perilaku yang matang selama awal masa remaja.

Sarwono (2003) menjelaskan masa remaja merupakan masa transisi antara
masa kanak-kanak dan dewasa. Masa ini seringkali menghadapkan individu
yang bersangkutan pada situasi yang membingungkan, di satu pihak ia masih
kanak-kanak, tetapi di lain pihak ia sudah harus bertingkah laku seperti orang
dewasa.

Al-Mighwar (2006) berpendapat bahwa istilah adolescence atau remaja
berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang bararti
remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi. Dalam bahasa lnggris,
murahaqoh adalah adolescence yang berarti at-tadarruj (berangsur-angsur).
Jadi, artinya adalah berangsur-angsur menuju kematangan secara fisik, akal,
kejiwaan dan sosial serta emosional. Hal ini mengisyaratkan pada hakikat
umumnya, yaitu pertumbuhan tidak berpindah dari satu fase ke fase lainnya
secara tiba-tiba, tetapi pertumbuhan itu berlangsung setahap demi setahap.

2.3.2 Fase-Fase Masa Remaja
Hurlock {dalam Al-Mighwar, 2006) membagi masa remaja menjadi 2 bagian,
yaitu:

32

a. Remaja awal (13 - 17 tahun)
Ciri khas remaja awal yang tidak dimiliki masa-masa yang lain, diantaranya:
1. Tidak stabilnya emosi
Menurut Hall dalam Al-Mighwar (2006), perasaan masa ini sangatlah peka,
yaitu perasaan dan emosinya laksana hembusan badai dan topan dalam
kehidupan. Karena itu, tidak heran bila sikap dan sifat remaja yang sangat
antusias bekerja tiba-tiba menjadi lesu, dari sangat gembira menjadi sangat
sedih, dari merasa percaya diri menjadi sangat ragu, termasuk dalam
menentukan cita-cita. Dia belum bisa merencanakan dan menentukan
pendidikan dan lapangan kerja lebih lanjut, terlebih lagi dalam persahabatan
dan cinta ; plin-plan dalam bersahabat dan memilih pasangan
2. Lebih menonjolnya sikap dan moral
Matangnya organ-organ seks mendorong masa remaja untuk mendekati
lawan seksnya, sehingga terkadang berperilaku berlebihan yang dinilai tidak
sopan oleh sebagian masyarakat, muncul keberaniannya untuk melakukan
hal-hal yang hampir membahayakan, sehingga masalah dengan orang tua
atau dewasa lainnya sering terjadi.
3. Mulai sempurnanya kemampuan mental dan kecerdasan
Binet dalam Al Mighwar (2006) menjelaskan bahwa pada usia 12 tahun,
kemampuan anak untuk mengerti informasi abstrak, baru sempurna. Dan
pada usia 14 tahun, mulailah sempurna kemampuannya untuk mengambil
kesimpulan dan informasi abstrak, sehingga remaja awal suka menolak hal-

33

hal yang tidak masuk akal. Bila dipaksa untuk menerima pendapat tanpa
alasan rasional, mereka sering menentangnya, baik terhadap orangtua, guru
atau orang dewasa lainnya.
4. Membingungkannya status
Hal yang tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan ialah
status remaja awal, sehingga orang dewasa sering memperlakukannya
secara berganti-ganti, karena masih ragu memberi tanggung jawab dengan
alasan mereka masih kanak-kanak.
5. Banyaknya masalah yang dihadapi
Banyak faktor yang menjadi masalah bagi remaja. Selain adanya ciri-ciri
remaja tersebut diatas, sifat emosional remaja awal juga menjadikannya
menghadapi banyak masalah. Karena emosionalistasnya lebih mendominasi
kemampuan, dia kurang mampu untuk menyepakati pendapat orang lain
yang kontradiktif dengan pendapatnya, sehingga seringkali muncul masalah
baru, yaitu konflik sosial. Penyebab lain adalah semakin minimnya peran
orang tua atau orang dewasa lain dalam membantu pemecahan masalahnya,
meskipun hal itu terjadi karena ulahnya sendiri, yaitu menolak bantuan itu.
Hal ini terjadi karena mereka menganggap bahwa orang dewa

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENERIMAAN DIRI REMAJA DHUAFA DI PANTI ASUHAN Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Remaja Dhuafa Di Panti Asuhan.

0 3 18

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN PENERIMAAN DIRI REMAJA DHUAFA DI PANTI ASUHAN Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Penerimaan Diri Remaja Dhuafa Di Panti Asuhan.

0 2 19

PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN (STUDY KASUS PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN YATIM PIATU MUHAMMADIYAH KLATEN).

0 2 21

PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN PENYESUAIAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN (STUDY KASUS PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN YATIM PIATU MUHAMMADIYAH KLATEN).

0 2 15

KONSEP DIRI REMAJA BERPRESTASI YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN KONSEP DIRI REMAJA BERPRESTASI YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN.

1 10 102

Peran Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial Terhadap Konsep Diri Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan di Bali.

0 1 14

PENERIMAAN DIRI DAN RESILIENSI HUBUNGANNYA DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN

0 1 7

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN DENGAN REMAJA YANG TINGGAL BERSAMA KELUARGA

0 0 15