Keanekaragaman Amfibi di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI KABUPATEN
MURUNG RAYA, KALIMANTAN TENGAH
MILA RAHMANIA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman
Amfibi di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Mila Rahmania
NIM E34070104
ABSTRAK
MILA RAHMANIA, Keanekaragaman Amfibi di Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS
PRIYONO KARTONO.
Keanekaragaman spesies adalah salah satu variabel penting unuk
manajemen konservasi. Penelitian mengenai keanekaragaman amfibi masih sangat
sedikit terutama di Kalimantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keanekaragaman amfibi pada habitat akuatik dan terestrial di Kabupaten Murung
Raya, Kalimantan Tengah menggunakan Indeks Shannon Wiener. Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus sampai 30 September 2013. Tiga-puluhtujuh spesies amfibi dari lima famili ditemukan selama survey. Berdasarkan IUCN
red list, sebagian besar spesies yang ditemukan termasuk kedalam katagori Least
Concern, tetapi satu spesies, Leptolalax hamidi masuk ke dalam klasifikasi
Vulnerable. Hampir sepertiga dari keseluruhan spesies yang ditemukan (11
spesies) merupakan endemik Kalimantan. Sungai Satai memiliki nilai
keanekaragaman (nilai Index Shannon Wiener sebesar 2,47) dan sungai Luan
merupakan yang terendah (2,05). Keanekaragaman amfibi pada penelitian ini
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian amfibi di beberapa lokasi yang
berbeda di Kalimantan.
Kata Kunci : amfibi, Kalimantan Tengah, keanekaragaman
ABSTRACT
MILA RAHMANIA, Amphibian Diversity in Murung Raya, Central Kalimantan.
Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.
Species diversity is one of variable that needed for conservation
management. The research about amphibian diversity is still lack, especially on
Kalimantan. The objective of this study is to identify amphibian diversity on
aquatic and terrestrial habitats also level of amphibian diversity. The research
conducted on 1st August until September 30rd 2011. The study shows that
Leptolalax hamidi classified as Vulnereable base on IUCN Red List and 11
amphibian species are endemic on Kalimantan. Satai river have the highest
number of diversity, about 2,47 and Luan river is the lowest, about 2,05. The
diversity number in this study is better than another amphibian research in the
diferent location on Kalimantan.
Keywords : amphibian, Central Kalimantan, diversity
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI KABUPATEN
MURUNG RAYA, KALIMANTAN TENGAH
MILA RAHMANIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konsevasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keanekaragaman Amfibi di Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan Tengah
: Mila Rahmania
: E34070104
Disetujui oleh
Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi.
Pembimbing I
Dr Ir Agus P Kartono, MSi.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas seluruh karunia
yang telah diberikan sehingga karya ilmiah “Keanekaragaman Amfibi di
Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah” berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak 1 Agustus hingga 30 September 2011 didukung dan
dibiayai oleh BRINCC (Barito River Intiative for Nature Conservation and
Communities Expedition).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan
Dr Ir Agus P Kartono, MSi yang selalu sabar membimbing penulis selama
penyusunan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada BRINCC, Dominic Rowland, Peter Houlihan, Katherine Breslin, Laurio
dan seluruh tim serta para pemandu yang ada di dalamnya atas kesempatan dan
kerjasamanya yang terbentuk selama penelitian ini berlangsung. Ungkapan terima
kasih juga penulis haturkan kepada kedua orangtua, keluarga besar, M.
Ramadhon, Aronika Kaban, Retno D Hastiti, Genggong, keluarga besar Beruang
Madu 44, HIMAKOVA, serta seluruh sahabat lainnya atas kepercayaan, doa,
dorongan serta kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Mila Rahmania
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
2
Pengumpulan Data
7
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Hasil
9
Pembahasan
14
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
DAFTAR TABEL
1. Ketinggian wilayah ibukota kecamatan di Kabupaten Murung
Raya, tahun 2008
2. Lokasi pengamatan amfibi
3. Usaha yang dilakukan di setiap lokasi pengamatan
4. Persentase jumlah individu tiap jenis amfibi
5. Indeks keanekaragaman dan kemerataan amfibi
3
4
8
11
14
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah
2. Foto lokasi pengamatan di sungai Luan
3. Foto lokasi pengamatan di sungai Satai
4. Foto lokasi pengamatan di hilir sungai Bule
5. Foto lokasi pengamatan pada transek A dan pada transek D
6. Foto lokasi pengamatan di sungai Keramu
7. Foto lokasi pengamatan di sungai Jala
8. Foto lokasi pengamatan di jalan ladang
9. Jumlah individu dan spesies amfibi
10. Presentase jumlah individu amfibi di tiap famili
11. Staurois sp.
12. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi di lokasi pengamatan
13. Kurva penambahan jenis amfibi
14. Dendogram kesamaan komunitas
2
4
5
5
6
6
7
7
10
10
10
12
13
14
DAFTAR LAMPIRAN
1. Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
2. Jenis amfibi di beberapa tipe habitat
3. Kisaran ukuran SVL dan berat tubuh amfibi
21
34
36
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Amfibi merupakan salah satu komponen ekosistem yang memegang
peranan penting pada rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi
keseimbangan alam. Amfibi merupakan satwa nokturnal yang hidupnya secara
umum adalah pada habitat akuatik dan terestrial (Bennet 1999). Amfibi terutama
dari bangsa anura memiliki respon yang sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan.
Terjadinya penurunan jumlah populasi anura dapat disebabkan oleh faktor polusi,
perubahan iklim, dan hilangnya habitat serta lahan basah (Kusrini 2003).
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi
tujuan manajemen pengelolaan dalam konservasi (Nichols et al. 1998). Penelitian
mengenai keanekaragaman amfibi adalah langkah awal dari kajian amfibi
selanjutnya. Namun penelitian mengenai hal tersebut di Indonesia, terutama di
Kalimantan belum banyak dilakukan. Beberapa laporan amfibi di Kalimantan
antara lain dilakukan di wilayah Borneo – Malaysia seperti di Sabah Sarawak
(Zainudin et al. 2002, Voris & Inger 1995, Grafe & Keller 2009, Malkmus et al.
2002). Di Kalimantan – Indonesia laporan mengenai amfibi antara lain berasal
dari kegiatan penelitian maupun ekspedisi yang antara lain dilakukan di Taman
Nasional Betung Kerihun (Iskandar et al. 1998), HPH PT Intracawood (Utama
2003), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (HIMAKOVA 2008), Hutan
Lindung Beratus (Mistar 2008), Taman Nasional Gunung Palung (Mediansyah
2008), Taman Nasional Kayan Mentarang (Iskandar 2001), Sungai Lesan –
Kalimantan Timur (Abdiansyah 2011) dan hutan lindung Bukit Batikap Kalimantan Tengah (van Berkel et. al 2012).
Kabupaten Murung Raya terletak di bagian utara Kalimantan Tengah yang
membentang dari Pegunungan Muller di bagian utara sampai ke Sungai Busang.
Kabupaten Murung Raya yang memiliki luas wilayah sekitar 23.700 Km² adalah
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Barito Utara yang meliputi 5 wilayah
kecamatan, yang terdiri dari 116 desa dan 2 kelurahan. Kecamatan U’ut Murung
adalah pemekaran dari Kecamatan Sumber Barito dengan luas 1.227 Km2.
Kekayaan hayati terutama amfibi pada lokasi penelitian ini belum pernah diamati
dan ditelaah sebelumnya. Diperlukan kajian biodiversitas terutama mengenai
amfibi yang kemudian dapat digunakan untuk mengetahui prioritas perlindungan
yang diperlukan untuk lokasi tersebut.
Tujuan
Penelitian mengenai keanekaragaman amfibi di beberapa lokasi di
Kabupaten Murung Raya memiliki tujuan, antara lain :
1. Mengidentifikasi keanekaragaman jenis amfibi di habitat akuatik dan
terrestrial
2. Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi berdasarkan tipe habitat
2
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Murung Raya dengan fokus pada
Sungai Busang, Barito Hulu, Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan pada
tanggal 1 Agustus-30 September 2011 dengan jumlah hari pengamatan sebanyak
30 hari (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kabupaten Murung Raya terletak di daerah khatulistiwa
berada di wilayah bagian utara Kalimantan Tengah, yaitu antara 113° 20`– 115°
55’ BT dan 0°53’48” LS – 0° 46’ 06” LU. Batas-batas wilayah Kabupaten
Murung Raya secara administratif adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi
Kalimantan Barat dan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat Provinsi
Kalimantan Timur dan Kecamatan Lahei Kabupaten Barito Utara
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten
Barito Utara dan Kecamatan Kapuas Hulu Kabupaten Kapuas.
3
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kahayan Hulu Utara
Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Kabupaten Murung Raya terletak pada daerah beriklim panas dan lembab, karena
dengan suhu berkisar 22° C - 35° C. Sebagian kecil Kecamatan Sumber Barito
(243.675 ha) memiliki curah Hujan > 4000 mm/tahun, curah hujan 3000 – 4000
mm/tahun meliputi Kecamatan Tanah Siang, sebagian Kecamatan Sumber Barito
dan Kecamatan Laung Tuhup, curah hujan antara 3000 – 3500 mm/tahun
meliputi Kecamatan Tanah Siang, Kecamatan Laung Tuhup, Permata Intan dan
sebagian kecil Kecamatan Sumber Barito, curah hujan antara 2500 – 3000
mm/tahun sebagian Kecamatan Murung, Laung Tuhup, dan Kecamatan Permata
Intan. Jumlah hari hujan rata-rata adalah 228 hari/tahun. Periode curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan November sampai dengan April.
Pada umumnya Kabupaten Murung Raya dari wilayah bagian selatan
hingga bagian Timur merupakan dataran agak rendah, sedangkan ke arah Utara
dengan bentuk daerah berbukit-bukit lipatan, patahan yang dikelilingi oleh
hamparan pegunungan Muller/Schwaner. Apabila dilihat dari ketinggiannya,
maka sebagian besar (72,08%) dari luas wilayah Kabupaten Murung Raya terletak
pada ketinggian 500-1.000 meter dari permukaan laut, terutama di daerah
Kecamatan Sumber Barito kemudian 5,18% terletak pada ketinggian 100-500
meter dari permukaan laut (Tabel 1).
Bagian wilayah dengan lereng atau kemiringan 0 – 2 % terdapat di bagian
selatan tepi Sungai Barito, bagian wilayah dengan kemiringan 2 – 15% tersebar di
semua kecamatan seluas 1.785 km² (21,94%), bagian wilayah dengan kemiringan
15 – 40% tersebar di semua kecamatan seluas 4.275 km² (52,55%) dan wilayah di
atas 40% seluas 2.075 km² (25,51%).
Tabel 1 Ketinggian wilayah ibukota kecamatan di Kabupaten Murung Raya,
tahun 2008
Kecamatan
Kota
Ketinggian (mdpl)
1. Permata Intan
Tumbang Lahung
137
2. Sungai Babuat
Tumbang Bantian
137
3. Murung
Puruk Cahu
125
4. Laung Tuhup
Muara Laung
123
5. Barito Tuhup Raya
Makunjung
123
6. Tanah Siang
Saripoi
145
7. Tanah Siang Selatan
Dirung Lingkin
145
8. Sumber Barito
Tumbang Kunyi
700
9. Seribu Riam
Muara Joloi
700
10. Uut Murung
Tumbang Olong
700
Wilayah Kabupaten Murung Raya dilintasi oleh Sungai Barito dan
beberapa cabang anak sungainya dengan panjang dan kedalaman dasar sungai
sangat bervariasi. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai urat nadi transportasi
untuk angkutan barang dan penumpang di sebagian besar wilayah Kabupaten
Murung Raya. Beberapa cabang atau anak sungai yang dapat dilayari yaitu :
Sungai Laung sepanjang 35,75 km, Sungai Babuat sepanjang 29,25 km, Sungai
Joloi sepanjang 40,75 km dan Sungai Busang sepanjang 75,25 km. Kedalaman
dasar berkisar antara 3-8 m dan lebar badan sungai lebih dari 25 m.
4
Pengamatan amfibi di wilayah sekitar Sungai Busang dibagi menjadi 2
habitat besar, yaitu akuatik dan terestrial. Habitat akuatik meliputi sungai kecil
dan sungai sedang sedangkan habitat terestrial meliputi hutan primer dan area
terbuka menuju ladang. Lokasi pengamatan amfibi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Lokasi pengamatan amfibi
Tipe Tutupan Tipe
Keterangan
Lahan
Habitat
Sungai Luan (SL)
Sungai
Akuatik
Hutan adat
Desa
Tumbang Tujang
Sungai Satai (SS)
Sungai
Akuatik
Hutan Bora
Sungai Boule (SB)
Sungai
Akuatik
Hutan Bora
Transek A (TA)
Hutan primer Terestrial
Hutan Bora
Transek D (TD)
Hutan primer Terestrial
Hutan Bora
Sungai Keramu (SK) Sungai
Akuatik
Desa Kelasin
Jalan lading (JL)
Jalan lokal
Terestrial
Desa Kelasin
Sungai Jala (SJ)
Sungai
Akuatik
Desa Kelasin
No Nama Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
Sungai Luan terletak di pinggir hutan adat Desa Tumbang Tujang yang
jaraknya sekitar lima menit menggunakan ketinting atau perahu motor kecil dari
desa. Hutan adat Desa Tumbang Tujang awalnya merupakan hutan tempat
kediaman sementara beberapa kelompok pendulang emas. Akibat kerusakan yang
timbul atas berbagai aktifitas yang dilakukan di hutan tersebut, serta mengingat
pentingnya fungsi hutan bagi masyarakat desa, maka hampir 10 tahun terakhir
masyarakat dilarang melakukan aktifitas apapun kecuali mengambil air dan
berburu di hutan adat tersebut. Sungai Luan merupakan sungai yang memiliki
substrat kerikil dan berbatu dengan aliran tenang serta kedalaman air maksimal
sekitar 100 cm pada hulu. Sungai Luan yang berfungsi sebagai sumber mata air
utama bagi masyarakat Desa Tumbang Tujang memiliki lebar maksimal sekitar 8
m dan panjang kurang dari 200 m. Tajuk yang menutupi Sungai Luan rapat di
bagian hulu dan tidak ada di bagian hilir (Gambar 2).
(a)
(b)
Gambar 2 Lokasi pengamatan di Sungai Luan. (a) Hulu Sungai Luan; (b) Hilir
Sungai Luan masih dipenuhi oleh bangunan penambang emas
5
Hutan Bora tergolong hutan perawan yang hanya digunakan sebagai
tempat singgah masyarakat yang menjala ikan, berburu, atau memanen sarang
walet liar. Sungai Satai terletak di hilir Hutan Bora, yaitu 1,5 jam perjalanan dari
Desa Tumbang Tujang menggunakan ketinting. Bagian hilir Sungai Satai
biasanya digunakan sebagai lokasi menjala bagi masyarakat. Sungai Satai dengan
lebar 10-15 m dan panjang lebih dari 1 km ini didominasi oleh substrat bebatuan
berukuran besar dan kecil dengan aliran air tenang. Rata rata kedalaman air di
Sungai Satai dalam keadaan tidak hujan adalah semata kaki, atau sekitar 10-15
cm, kecuali pada bagian ceruk sekitar 40 cm. Tajuk pohon hanya menutupi kedua
pinggir Sungai Satai (Gambar 3).
(a)
(b)
Gambar 3 Lokasi pengamatan di Sungai Satai.
Sungai Boule merupakan sungai aliran kecil yang berada di hulu Hutan
Bora, atau sekitar 10 m dari camp. Sungai ini memiliki lebar 5 meter dan panjang
kurang dari 100 m yang terpisah oleh 2 tebing. Sungai yang didominasi oleh
substrat batu dan kerikil ini memiliki tutupan tajuk yang sangat rapat sehingga
hampir tidak ada cahaya matahari yang sampai ke permukaan. Kedalaman air
berkisar antara 5 sampai 10 cm (Gambar 4).
Gambar 4 Lokasi pengamatan di hilir Sungai Bule
Jalur transek TA sepanjang 800 m dari camp menuju Sungai Satai
memiliki tutupan tajuk yang rapat.Jalur yang memiliki substrat tanah ini hanya
dilintasi satu aliran air yang kecil dan tidak memiliki kubangan (Gambar 5a). Jalur
transek TD sepanjang 400 meter tegak lurus dengan jalur transek TA tidak
6
memiliki sumber mata air ataupun kubanga. Jalur transek TD memiliki substrat
tanah dengan tutupan tajuk yang cukup rapat (Gambar 5b).
(a)
(b)
Gambar 5 Foto lokasi pengamatan (a) pada transek A; (B) pada transek D
Sungai keramu merupakan sungai besar yang berada di batas desa Kelasin
sebelah barat. Pengamatan pada sungai ini dilakukan dengan menyusuri pinggir
kanan dan kiri sungai menggunakan bantuan ketinting. Lebar sungai sekitar 20
meter berarus deras. Substrat di pinggir sungai ini berpasir dan tajuk pohon
tergolong cukup rapat (Gambar 6).
Gambar 6 Foto lokasi pengamatan di Sungai Keramu
Sungai Jala merupakan sungai kecil yang berada cukup jauh dari Desa
Kelasin, yaitu berjarak sekitar 10 menit menggunakan ketinting. Sungai Jala
dimanfaatkan masyarakat sebagai mata air saat berburu satwa liar di hutan sekitar
Sungai Jala. Tutupan tajuk di daerah tersebut tergolong rapat dan bersubstrat batu
serta berarus sedang. Lebar sungai berkisar antara 4-6 meter dengan panjang
kurang lebih 100 meter. (Gambar 7).
Jalan ladang merupakan akses utama jalan menuju ladang masyarakat serta
dipergunakan sebagai jalan utama dari dan menuju Desa Kelasin baik dengan
berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor. Jalan ladang memiliki
lebar sekitar 5-8 meter dengan substrat berbatu dan berpasir. Pada sisi kanan dan
kiri jalan ladang terdapat aliran sungai kecil yang tertutup tajuk dengan cukup
rapat (Gambar 8).
7
Gambar 7 Lokasi pengamatan di Sungai Jala
Gambar 8 Lokasi pengamatan di jalan ladang
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data amfibi menggunakan metode Visual Encounter
Survey (Heyer et al. 1994) yang diterapkan di lapangan, yaitu pengambilan jenis
satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terestrial
maupun akuatik. Pengamatan malam dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WIB
untuk mengambil data amfibi. Pengamatan tidak dilakukan secara khusus,
pengamat hanya berjalan pada jalur yang telah ada.
Cara pengambilan data saat pengamatan malam adalah dengan cara
menyorotkan sinar senter pada tempat-tempat yang umumnya dipakai oleh amfibi
dan reptil beraktivitas. Tempat tersebut adalah lubang-lubang pada tanah, dahandahan pohon atau daun, diantara serasah, di bawah atau celah bebatuan, dan pada
kubangan air. Jumlah pengamat di setiap lokasi pengamatan adalah 3-4 orang.
Amfibi yang tertangkap dicatat data jenis, jumlah individu tiap jenis,
ukuran, perilaku, posisi satwa di lingkungan habitatnya serta perubahan morfologi
jika ada. Pengukuran morfometri katak dilakukan dengan mengukur panjang dari
ujung moncong sampai kloaka atau snout vent length (SVL) menggunakan caliper
serta pengukuran berat badan menggunakan timbangan pegas merek Pesola.
Katak yang sudah diukur lalu dilepas kembali ke tempat semula. Tidak ada
pengambilan spesimen pada penelitian ini karena kendala perijinan namun
8
demikian dilakukan pengambilan foto amfibi sebanyak mungkin untuk membantu
identifikasi. Penamaan jenis menggunakan Frost (2004).
Data habitat dicatat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi:
tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/ lingkungan tempat
ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horinzontal terhadap badan air,
posisi vertikal terhadap permukaan air, sifat naungan dan penutupan oleh vegetasi
atau obyek lain, dan data fisik lainnya.
Secara total, pengamatan dilakukan selama 119 orang-jam. Adapun rincian
usaha pencarian di setiap lokasi adalah sebagai berikut (Tabel 3).
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tabel 3 Usaha yang dilakukan di setiap lokasi pengamatan
Σ hari
Usaha
Σ
pengamatan
Lokasi
Jam : menit :
pengamat
Menit
detik
2
Sungai Luan
3
240
4:00:00
6
Sungai Bule
4
690
12:00:00
4
Sungai Satai
4
450
8:00:00
3
Transek A
4
360
6:00:00
3
Transek D
4
420
7:00:00
4
Jalan Ladang
3
420
7:00:00
Sungai
4
4
480
8:00:00
Keramu
4
Sungai Jala
4
480
8:00:00
Analisis Data
Data amfibi yang diperoleh dianalisis untuk mendapat nilai indeks
keanekaragaman jenis berdasarkan Shannon-Wiener dan Kemerataan Jenis.
Adapun rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997):
H’= -∑Pi Ln Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jenis ke-i
Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan
Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks
Kemerataan Jenis (Brower & Zar 1997) adalah :
E= H’/Ln S
Keterangan :
E = Indeks Kemerataan Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
9
Kesamaan jenis amfibi dikelompokkan berdasarkan habitatnya, yaitu
akuatik dan terestrial dengan menggunakan Ward`s Linkage Clustering dalam
Minitab 15. Untuk mengetahui pola aktivitas dan penyebaran jenis herpetofauna
dilakukan pencatatan data aktivitas yang dilakukan dan posisi (vertikal dan
horizontal) pada setiap lokasi pengamatan. Data aktivitas dan posisi yang
diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif. Data
habitat dianalisis secara deskriptif sesuai dengan kondisi di lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi
penelitian yaitu sebanyak 36 jenis dari 5 famili.Jumlah jenis dari masing-masing
famili antara lain famili Bufonidae (9 jenis), famili Megophrydae (5 jenis), family
Dicroglossidae (9 jenis), family Ranidae (8 jenis), dan famili Rhacophoridae (5
jenis). Hasil penemuan amfibi saat pengamatan selengkapnya dapat dilihat di
Lampiran 2.
Gambar 9 Jumlah individu dan spesies amfibi
Sebanyak 452 individu katak dan kodok ditemukan selama penelitian.
Secara umum jumlah individu yang terbanyak di temukan di sungai Satai,
dilanjutkan dengan sungai Keramu, Bule, Jala, Luan, transek D, jalan ladang, dan
transek A. Jumlah spesies amfibi yang terbanyak di temukan di sungai Satai,
dilanjutkan dengan Sungai Bule, Luan, Jala, Keramu, transek A, transek D dan
jalan ladang. (Gambar 9).
Dari 452 individu dari 36 jenis amfibi yang ditemukan, famili
Dicroglossidae dan Bufonidae memiliki jumlah individu terbanyak (25%),
kemudian famili Ranidae (22 %), famili Rhacophoridae (16 %), dan family
Megophryidae (13%) (Gambar 10).
10
Gambar 10 Presentase jumlah individu amfibi di tiap famili
Terdapat sebanyak 33 inividu dari satu jenis katak sejati yang belum
teridentifikasi yang ditemukan saat pengamatan di Sungai Boule dan Sungai Satai.
Katak jenis ini masuk kedalam genus Saurois dan hampir mirip dengan jenis
Staurois tuberlingus dengan beberapa perbedaan. Katak yang belum
teridentifikasi ini memiliki ciri-ciri berwarna hijau terang hingga kecoklatan
dengan bintik merah bata di bagian atas tubuh dan coklat muda di bagian sisi
tubuh, selaput di kaki belakang tidak sepenuhnya berselaput dan kaki depan tidak
berselaput. Panjang moncong mendekati ukuran diameter mata, dengan ujung
meruncing. Katak ini memiliki ukuran tubuh antara 1,8 – 5,6 cm dengan berat 3 –
15 gr. (Gambar 11).
Gambar 11 Staurois sp.
Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah Limnonectes
leporinus (28.10%) dan Limnonectes kuhlii (10.84%). Jenis amfibi yang
ditemukan paling sedikit adalah Ansonia minuta, Pedostibes hosii, Pedostibes
rugosus, Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi,
Limnonectes blythii, Limnonectes palavanensis, Polypedates colleti, Rhacophorus
gadingensis, dan Rhacophorus pictus sebesar 0.22% (Tabel 4).
11
No
1
2
3
4
5
8
9
6
7
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Tabel 4 Persentase jumlah individu tiap jenis amfibi
Nama Jenis
Ʃ Individu
Bufonidae
Ansonia albomaculata
6
Ansonia leptopus
16
Ansonia longidigita
14
Ansonia minuta
1
Ansonia spinulifer
7
Pedostibes hosii
2
Pedostibes rugosus
1
Phrynoidis asper
29
Phrynoidis juxtaspera
6
Megophrydae
Leptobrachium abbotti
1
Leptobrachium nigrops
1
Leptolalax dringi
1
Leptolalax hamidi
2
Megophrys nasuta
2
Dicroglossidae
Limnonectes blythii
1
Limnonectes finchi
2
Limnonectes ibanorum
7
Limnonectes ingeri
8
Limnonectes kuhlii
49
Limnonectes laticeps
17
Limnonectes leporinus
127
Limnonectes palavanensis
1
Limnonectes paramacrodon
20
Ranidae
Hylarana chalconota
4
Hylarana picturata
4
Hylarana raniceps
5
Hylarana signata
37
Merystogenys phaeomerus
2
Odorrana hosii
21
Staurois natator
9
Staurois sp.
33
Rhacophoridae
Nyctixalus pictus
3
Polypedates colletti
1
Polypedates macrotis
7
Rhacophorus gadingensis
1
Rhacophorus pardalis
4
%
1.33
3.54
3.10
0.22
1.55
0.44
0.22
6.42
1.33
0.22
0.22
0.22
0.44
0.44
0.22
0.44
1.55
1.77
10.84
3.76
28.10
0.22
4.42
0.88
0.88
1.11
8.19
0.44
4.65
1.99
7.30
0.66
0.22
1.55
0.22
0.88
12
Frekuensi jenis amfibi yang sering ditemukan adalah Limnonectes kuhlii
(100%) dilanjutkan dengan Limnonectes leporinus (75%), Phrynoidis aspera, dan
Limnonectes paramacrodon (65%). Jenis yang paling jarang ditemukan adalah
Ansonia minuta, Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi,
Limnonectes blythii, Limnonectes finchi, Limnonectes ibanorum, Limnonectes
palavanensis, Megophrys nasuta, Pedostibes rugosus, Polypedates colletti,
Odorrana hosii, dan Rhacophorus gadingensis masing-masing sebesar 12.5%
(Gambar 12).
Frekuensi penemuan jenis
Rhacophorus pardalis
Rhacophorus gadingensis
Polypedates macrotis
Polypedates colletti
Nyctixalus pictus
Staurois sp.
Staurois natator
Odorrana hosii
Merystogenys phaeomerus
Hylarana signata
Hylarana raniceps
Hylarana picturata
Hylarana chalconota
Limnonectes paramacrodon
Limnonectes palavanensis
Limnonectes leporinus
Limnonectes laticeps
Limnonectes kuhlii
Limnonectes ingeri
Limnonectes ibanorum
Limnonectes finchi
Limnonectes blythii
Megophrys nasuta
Leptolalax hamidi
Leptolalax dringi
Leptobrachium nigrops
Leptobrachium abbotti
Phrynoidis juxtaspera
Phrynoidis asper
Pedostibes rugosus
Pedostibes hosii
Ansonia spinulifer
Ansonia minuta
Ansonia longidigita
Ansonia leptopus
Ansonia albomaculata
0
20 40 60 80 100 120
Gambar 12 Frekuensi perjumpaan setiap jenis amfibi di lokasi pengamatan
Kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat akuatik sudah
mendatar atau tidak ditemukan adanya penambahan jenis pada enam hari terakhir.
Sedangkan pada kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat
terestrial, terlihat masih ada kenaikan akibat ditemukannya jenis baru pada hari
terakhir pengamatan. Kurva akumulasi gabungan masih beranjak naik akibat
13
pengaruh kenaikan kurva akumulasi jenis amfibi pada habitat terestrial (Gambar
13).
Kurva Penambahan Jenis Amfibi
40
Variable
Akuatik
Terestrial
Total
Jumlah Spesies
30
20
10
0
3
6
9
12
15
18
21
Hari Pengamatan
24
27
30
Gambar 13 Kurva penambahan jenis amfibi
Katak yang ditemukan umumnya sedang diam. Jenis yang melompat ke air
saat pengamat hendak menangkap adalah Phrynoidis aspera, Leptolalax dringi,
Leptolalax hamidi, Limnonectes kuhlii dan Limnonectes leporinus. Jenis yang
bersuara saat ditemukan pengamat adalah Limnonectes kuhlii.
Interval kisaran panjang tubuh terbesar dimiliki oleh jenis Phrynoidis
aspera dengan panjang minimum 3,4 cm dan panjang maksimum 12,3 cm dengan
jumlah 29 individu. Interval kisaran panjang tubuh terkecil dimiliki oleh jenis
Rhacophorus pardalis dengan panjang minimum 5,7 cm dan panjang maksimum
6,1 cm dengan jumlah 4 individu. Sedangkan interval kisaran berat tubuh terbesar
dimiliki oleh jenis Phrynoidis aspera, yaitu dengan berat minimum 5 gr dan berat
maksimum 230 gr dari 29 individu. Interval kisaran berat tubuh terkecil dimiliki
oleh Ansonia spinulifer dan Rhacophorus pardalis. Dari 7 individu Ansonia
spinulifer dan 4 individu Rhacophorus pardalis masing masing didapat berat
minimum sebesar 7 gr dan berat maksimum 8 gr (Lampiran 3).
Hasil pehitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukan
bahwa habitat yang memiliki nilai keanekaragaman tertinggi adalah Sungai Satai
(H’= 2.47), Sungai Luan (H’= 2,34), dan Sungai Bule (H’= 2,05). Sungai Keramu
memiliki keanekaragaman yang paling rendah (H’= 1,08). Dari delapan tipe
habitat tersebut, yang memiliki kemerataan jenis yang paling tinggi adalah
Transek A (E= 1) dan yang paling rendah adalah Sungai Keramu (E= 0,52)
(Tabel 5).
14
Tabel 5 Indeks keanekaragaman dan kemerataan amfibi
Lokasi Pengamatan
∑ Famili
∑ Individu
∑ Spesies
H'
Sungai Luan
4
24
13
2,34
Sungai Bule
4
103
14
2,05
Sungai Satai
5
147
23
2,47
Sungai Keramu
2
116
8
1,08
Sungai Jala
4
32
11
1,56
Transek A
4
7
7
1,95
Transek D
4
14
6
1,57
Jalan Ladang
3
9
5
1,43
E
0,91
0,78
0,79
0,52
0,65
1,00
0,89
0,87
Hasil perhitungan indeks kesamaan menunjukkan bahwa terdapat dua
kelompok besar. Kelompok Pertama adalah Sungai Luan mengelompok dengan
Sungai Satai dan Keramu yang juga mengelompok dengan Sungai Boule, dan
Jala. Kelompok kedua adalah transek TA yang mengelopok dengan transek TD,
dan jalan ladang. (Gambar 14)
Dendrogram
Kesamaan Komunitas
Nilai Kesamaan
33.16
55.44
77.72
100.00
SL
SS
SK
SB
SJ
Titik Pengamatan
TA
TD
JL
Gambar 14 Dendogram kesamaan komunitas
Pembahasan
Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi
penelitian di Kabupaten Murung Raya lebih banyak dibandingkan dengan
Abdiansyah (2013) yang menemukan 31 jenis amfibi di Kawasan Lindung Sungai
Lesan, HIMAKOVA (2008) 29 jenis amfibi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit
Raya, van Berkel et al. (2012) sebanyak 28 jenis di hutan lindung Bukit Batikap,
Utama (2003) sebanyak 27 jenis di areal PT Intracawood Manufacturing. Jumlah
15
jenis yang ditemukan pada Gunung Palung oleh Mediansyah (2008) sama
banyaknya dengan pada lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya. Namun jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (1998) di
Taman Nasional Betung Kerihun yaitu sebanyak 55 jenis amfibi, tergolong
rendah. Perbedaan jumlah jenis amfibi yang ditemukan antara lain disebabkan
oleh perbedaan dalam waktu usaha pencarian, perbedaan habitat dan ketinggian.
dan perbedaan kemampuan pengamat. Banyaknya jumlah spesies yang tercatat
pada penelitian berbanding lurus dengan banyaknya lokasi pegamatan yang
dilakukan.
Berdasarkan status IUCN Red List, jenis katak yang tecatat di Kabupaten
Murung Raya dikatagorikan sebagai Vulnerable, Near Threatened, Least
Concern, dan Not Evaluated (IUCN 2013). Leptolalax hamidi dikatagorikan dalan
IUCN (2013) sebagai spesies Vurnerable. Jefferies (1997) dan IUCN (2014)
menyatakan bahwa klasifikasi ini disebabkan oleh distribusi spesies yang
terfragmentasi, penurunan kualitas habitat, penurunan populasi serta resiko tingkat
kepunahan jangka panjang. Sebanyak 12 jenis amfibi diklasifikasikan sebagai
Near Threatened karena dimungkinkan berada dalam status terancam dalam
waktu yang tidak lama jika tidak ada tindakan konservasi. Sebanyak 21 jenis
amfibi, termasuk ke dalam status Least Concern karena diduga memiliki distribusi
spesies yang besar dan luas. Jenis Staurois sp.masuk ke dalam kriteria Not
Evaluated.
Penemuan individu yang belum diketahui jenisnya dari genus Staurois
menunjukkan bahwa di lokasi ini terdapat kemungkinan adanya jenis baru yang
belum dideskripsikan. Genus Staurois memiliki ciri piringan jari yang sangat
besar, dan sepenuhnya berselaput (Boulenger 1918, Inger 1966 diacu dalam
Matsui et al. 2007). Terdapat empat spesies Staurois yang ditemukan di
Kalimantan, yaitu S. leptopalmatus, S. natator, S. parvus dan S. tuberilinguis.
Staurois latopalmatus hidup di sungai berbatu berukuran sedang hingga besar
dengan arus deras. Ukuran tubuh jantan maksimal 50 mm dan betina 70 mm.
Staurois leptopalmatus memiliki moncong yang membulat dan pendek, hampir
satu kali diameter mata. Staurois natator ditemukan pada sungai berbatu
berukuran kecil hingga besar serta dapat ditemukan hingga ketinggian diatas
1.500 m dpl. Ukuran tubuh jantan lebih dari 30 mm dan betina lebih dari 55 mm.
Staurois parvus memiliki moncong yang meruncing dan pendek, hampir seukuran
diameter mata. Ukuran tubuh jantan 20-24 mm sedangkan betina 26-31 mm.
Staurois tuberilinguis berukuran lebih kecil dibandingkan dengan S. natator, yaitu
jantan ± 25 mm dan betina ± 35 mm. Jenis ini ditemukan pada hutan primer di
ketinggian diatas 1.600m dpl (Inger & Stuebing 2005).
Pada (Gambar 12) grafik frekuensi penemuan jenis amfibi ditemukan
bahwa Frekuensi jenis amfibi yang sering ditemukan adalah Limnonectes kuhlii
sebesar 100%. Hal ini disebabkan oleh jenis Limnonectes kuhlii dapat ditemukan
disemua lokasi pengamatan baik terestrial maupun akuatik dalam jumlah yang
banyak. Jenis yang palimg sedikit ditemukan adalah Ansonia minuta,
Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi, Limnonectes
blythii, Limnonectes finchi, Limnonectes ibanorum, Limnonectes palavanensis,
Megophrys nasuta, Nyctixalus pictus, Pedostibes rugosus, Polypedates colletti,
Odorrana hosii, Rhacophorus gadingensis, dan Rhacophorus pictus masing-
16
masing sebesar 12,5%. Sebagian besar jenis ini memiliki sebaran yang sempit,
hanya ditemukan di satu tipe habitat saja.
Pada (Gambar 13) kurva akumulasi jenis amfibi mengalami peningkatan
dan mendatar hingga hari ke 29 dan kemudian menanjak. Hal ini dikarenakan
ditemukannya satu jenis baru pada pada hari terakhir pengamatan. Menurut Zug
(1998) jika kurva kekayaan jenis suatu spesies jika telah mendekati titik asimptot
dan sudah cenderung mendatar maka jumlah spesies dalam suatu lokasi survei
telah bisa diprediksi. Kurva akumulasi jenis amfibi yang menanjak menunjukkan
bahwa masih memungkinkan adanya penambahan jenis baru lagi jika waktu
penelitian dilakukan lebih lama.
Pengukuran dapat dilakukan untuk melihat struktur populasi, sexual
dimorphism, atau kondisi tubuh dari satu populasi pada saat tertentu (Kusrini
2007). Interval kisaran panjang tubuh terbesar dimiliki oleh jenis Phrynoidis
aspera dengan panjang minimum 3,4 cm dan panjang maksimum 12,3 cm dengan
jumlah 29 individu. Interval kisaran panjang tubuh terkecil dimiliki oleh jenis
Rhacophorus pardalis dengan panjang minimum 5,7 cm dan panjang maksimum
6,1 cm dengan jumlah 4 individu. Adanya perbedaan yang mencolok pada hasil
pengukuran menunjukkan adanya tingkatan umur untuk masing masing jenis
tersebut.
Nilai keanekaragaman jenis amfibi dihitung berdasarkan proporsi jumlah
individu pada tiap jenis terhadap jumlah keseluruhan individu. Nilai
keanekaragaman jenis amfibi tertinggi yaitu sungai Satai (H’= 2,47) dan terendah
ditemukan pada sungai (H’= 1,08). Rendahnya nilai H ini bisa saja tidak
mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun juga disebabkan oleh bias
pengamat. Sungai Luan memiliki nilai keanekaragaman yang rendah karena
kesulitan pengamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Pengamat hanya dapat menyisiri sisi sungai dengan menggunakan ketinting dan
sesekali naik ke permukaan untuk mengamati amfibi sehingga jumlah jenis yang
ditemukan lebih sedikit. Jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman amfibi
di Kawasan Lindung Sungai Lesanyang berkisar antara 1,29 sampai 1.77
(Abdiansyah 2013) dan di areal PT Intracawood Manufacturing yang berkisar
antara 1.40 sampai 2.154 (Utama 2003), nilai keanekaragaman jenis yang
diperoleh dari hasil pengamatan di Kabupaten Murung Raya tidak jauh berbeda.
Menurut Jeffries (1997), faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
meliputi lokasi, ketinggian dan keragaman habitat. Lokasi penelitian yang lebih
luas menghasilkan keanekaragaman habitat yang lebih besar. Vallan (2000)
menyatakan bahwa gangguan seperti perubahan habitat dan kebakaran hutan dapat
menyebabkan terbentuknya fragmen kecil pada hutan sehingga dapat mengurangi
habitat mikro. Fragmentasi juga memotong akses amfibi ke badan air yang
mereka butuhkan untuk menjaga kelembaban, hidup dan berkembang biak.
Menurut Primack et al. (1998), satwaliar akan semakin beranekaragam
bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Ada enam faktor yang saling
berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas,
yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan
lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978).
Nilai kekemerataan jenis amfibi digunakan untuk membandingkan jumlah
individu pada tiap spesies pada habitat tertentu. Nilai kemerataan yang mendekati
1 mengindikasikan bahwa jumlah individu tiap spesies relatif sama dan
17
diindikasikan memiliki jenis yang dominan pada habitat tersebut jika nilai
kemerataan jenis mendekati 0. Nilai kemerataan jenis amfibi tertinggi dari delapan
tipe habitat adalah Transek A (E= 1) dan yang paling rendah adalah sungai
Keramu (E= 0,52). Tidak adanya jenis yang dominan di transek A menunjukkan
bahwa jenis amfibi yang ditemukan di titik pengamatan tersebut memiliki relung
yang berbeda satu sama lain. Pada tipe sungai Keramu terdapat jenis yang
memiliki jumlah individu lebih dominan yaitu Limnonectes leporinus (82
individu). Kemerataan dapat digunakan sebagai indikator adanya jenis yang
mendominasi pada suatu komunitas (Santosa 1995). Sehingga dominasi suatu
jenis akan tinggi jika kemerataan rendah, begitu juga sebaliknya.
Kesamaan komunitas digunakan untuk melihat kepadatan individu tiap
spesies di tiap lokasi. Kesamaan komunitas dihitung menggunakan jarak
Euclidean dan di kelompokkan menggunakan metode Ward, minitab 15. Seperti
yang ditunjukkan dalam gambar 14, terdapat dua habitat yang terklasifikasi, yaitu
habitat akuatik dan terestrial. Pada kelompok komunitas pertama sungai Satai dan
Keramu mejadi cabang pertama yang kemudian mengelompok dengan sungai
Luan. Ketiga lokasi ini memiliki kesamaan yang lebih banyak terhadap satu sama
lain dibandingkan dengan cabang kedua yang kemudian mengelompok dengan
cabang pertama, yaitu Sungai Bule dan Jala. Untuk habitat teresterial, sama sekali
tidak mengelompok dengan habitat akuatik. Transek D mengelompok dengan
jalan ladang membentuk cabang yang kemudian mengelompok dengan transek A.
Pada habitat akuatik, karakteristik Sungai Satai dan Keramu lebih mirip
dibandingkan dengan titik pengamatan akuatik lainnya, yaitu lebar sungai sekitar
10 – 15 m dengan tutupan tajuk di bahu sungai cukup rapat (masih ada cahaya
matahari menembus areal sungai). Sungai Luan memiliki lebar 10-15 meter juga
namun tutupan tajuk lebih rapat. Sungai Bule dan Jala memiliki karakteristik
yang mirip, yaitu sungai berukuran kecil (lebar 3-5 m) dengan tutupan tajuk yang
rapat, dan kedalaman ± 10 cm.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Murung
Raya, dapat disimpulkan bahwa jumlah jenis amfibi yang ditemukan sebanyak 37
jenis. Nilai keanekaragaman amfibi di Kabupaten Murung Raya tergolong sedang.
Jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman di lokasi penelitian yang berbeda
di Kalimantan, keanekaragaman amfibi di lokasi penelitian ini masih lebih baik.
Saran
Perlu dilakukan monitoring secara berkala untuk mendapatkan gambaran
mengenai hubungan antara daftar jenis amfibi yang ditemukan terhadap
perubahan habitat
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdiansyah R. 2011. Studi Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung
Sungai Lesan, Kalimantan Timur. [Skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian
Bogor.
Beebee TJC, Griffiths RA. 2005. The Amphibian Decline Crisis : A Watershed
for Conservation Biology. Biological Conservation 125 : 271–285.
Bennet D. 1999. Reptils and Amphibians. Expedition Field Techniques Series.
London UK: The Expedition Advisory Center, Royal Geographic Society.
Brower JE dan JH Zar. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Iowa: Brown.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi Kelima – Jilid 3.
Jakarta:Erlangga.
Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi
Kasus di Eks-HPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi. [Skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.
Frost DR, 2012. Amphibian Species of the World: An Online Reference. Version
5.6 (1 October 2012). Electronic database accessible at
htpp://research.amnh.org/herpetology/amphibian/index.php.
Grafe TU, Keller A. 2009. A Bornean Amphibian Hotspot: The Lowland Mixed
Dipterocarp Rainforest at Ulu Temburong National Park, Brunei
Darussalam. Deutsche Gesellschaft fur Herpetologie und Terrarienkunde.
45 (1): 25-38
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC dan Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr.
[HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) 2006 : Eksplorasi Keanekaragam Hayati Flora
Fauna di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
Inger RF, Stuebing RB. 1966. The Systematics and Zoogeography of the
Amphibia of Borneo. Chicago : Field Museum of Natural History.
Inger RF, Stuebing RB. 2005. A Field Guide to The Frog of Borneo. Sabah :
Natural History Publication
Inger RF, Stuebing RB, Lian TF. 1995. New Species and New Record of Anuras
of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology 43(1): 115-131.
Inger RF, Lian TF, Yambun p. 2001. A New Species of Toad of the Genus
Ansonia (anura:Bufonidae) from Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology
49(1):35-37.
Iskandar DT, Setyanto DY, Liswanto D. 1998. Keanekaragaman Herpetofauna di
Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Prosiding : RPTN
Betung Kerihun 2000-2004.
Iskandar DT. 2001. The Amphibians and Reptiles of Malinau Region, Bulungan
Research Forest, East Kalimatan: Annonated checklist with notes on
ecological preferences of the species and local utilization. CIFOR. Bogor,
Indonesia.
19
[IUCN] Internastional Union for Conservation of Nature and Naturan Resources.
2013. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2.
. Downloaded on 21 November 2013.
Jeffries MJ. 1997. Biodiversity and Conservation. New York: Routledge.
Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Ecological Methodology. New York: Harper dan Row
Publisher
Kusrini MD. 2003. Predicting the Impact of the Frog Leg Trade in Indonesia: An
Ecological View of the Indonesian Frog Leg Trade, Emphasizing Javanese
Edible Frog Species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey
2003 Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas
Kehutanan IPB. Hal. 27-44.
Kusrini MD, Endarwin W, UI-Hasanah A, Yazid M. 2007. Metode Pengamatan
Herpetofauna di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi
Selatan. Modul Pelatihan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Malkmus R, Manthey U, Vogel G, Hoffmann P, Kosuch J. 2002. Amphibians and
Reptiles of Mount Kinabalu (North Borneo). Gantner Verlag, Ruggell. 424
pp.
Mediansyah. 2008. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Stasiun Riset
Cabang Panti Taman Nasional Gunung Palung Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat. [Skripsi] Pontianak : Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura.
Mistar. 2003. Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor : The
Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.
Matsui M, Mohamed M, Shimada T, Sudin A. 2007. Resurrection of Staurois
parvus from S. tuberilinguis from Borneo (Amphibia, Ranidae).
Zoological Sciences, 24, 101–106.
Nichols JD, Boulinier THE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating Rates
of Local Species Extinction, Colonization and Turnover in Animal
Communities. Ecological Application 8(4): 1213-1225.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Utama H. 2003. Studi Keanekaragaman Amfibi (Ordo Anura) di Areal PT
Intracawood Manufacturing, Kalimantan Timur. [Skripsi] Bogor : Fakultas
Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut
Pertanian Bogor.
Vallan D. 2000. Influence of Forest Fragmentation on Amphibian Diversity in the
Nature Reserve of Ambohitantely, highland Madagascar. Biol. Conserv.
96: 31–43.
van Berkel TBT, Rogers LD, Kilburn HJ, Munir M, Mortiboys DM, Goodchild R.
2012. A Premliminary Biodiversity Survey of a Lowland Rainforest in
Bukit Batikap Protection Forest, Central Kalimantan, Indonesian Boreno.
20
Murung Raya Expedition 2010-2011 Scientific Report. Heart of Borneo
Project.
Voris HK, Inger RF. 1995. Frog Abundance Along Streams in Bornean Forest.
Conservation Biology 9 (3): 679-683.
Zainudin R, Wasly L, Ali H. 2002. An Account of Anuran at Crocker Range
National Park, Sabah. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental
Conservation (ARBEC) July-September:8.
Zug GR, Win H, Thin T, Min TZ, Lhon LZ, Kyaw K. 1998. Herpetofauna of The
Chatthin Wildlife Sanctuary, North-Central Myanmar with Preliminary
Observations of Their Natural History. Hamadryad. 23(2) : 111-120.
21
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
Bufonidae
1. Ansonia albomaculata Inger, 1960
Nama Inggris : White-lipped Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan sedikit berbintil.
Berwarna sedikit terang di bagian rahang atas di
bawah mata dan terkadang hingga bahu.
Ukuran tubuh jantan 20-30 mm sedangkan
betina 30-35 mm. Kodok jenis ini diketahui
terdistribusi luas dan dapat ditemukan pada
sungai di hutan yang tidak terganggu dengan
ketinggian dibawah 900 mdpl. Jenis ini tersebar
di Brunei, Kalimantan serta Malaysia.
2. Ansonia leptopus Günther, 1872
Nama Inggris : Brown Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan berbintil serta
berwarna kecoklatan. Jantan memiliki satu
baris duri kecil berwarna jingga atau coklat di
bawah dagu. Kodok ini biasanya berwarna
coklat di bagian belakang dan atas kepala,
sedikit gelao di bagian sisi. Ukuran tubuh
jantan 30-40 mm, dan betina 45-65 mm. Jenis
ini dapat ditemukan pada dataran rendah
dengan ketinggian dibawah 600 mdpl di
Semenanjung Malaysia dan Kalimantan..
3. Ansonia longidigita Inger, 1960
Nama Inggris : Long-fingered Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan berbintil yang
ujungnya tajam dengan ujung kreatin. Jari
kaki belakang setengah berselaput. Ukuran
tubuh jantan 35-50 mm dan betina 45-70
mm. Kodok jenis ini biasa ditemukan di anak
sungai dan sungai yang jernih. Jenis ini
tersebar di Brunei, Kalimantan serta
Malaysia.
4. Ansonia minuta Inger, 1960
Nama Inggris : Dwarf Slender Toad
Kodok jantan berukuran di 20-23 mm, dan betina 23-28 mm. Jari terluar pada kaki
depan melebar. Jari kaki belakang sepenuhnya berselaput. Jenis ini biasa
ditemukan pada sungai di dataran rendah dengan ketinggian dibawah 700 mdpl.
Jenis ini merupakan endemik Kalimantan dan tersebar di Brunei, Kalimantan serta
Malaysia.
22
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
(lanjutan)
5. Ansonia spinulifer Mocquad, 1890
Nama Inggris : Spiny Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dengan moncong
yang menyempit di bagian mulut. Ujung jari
membulat
dengan
jaribelakang
tidak
berselaput. Seluruh permukaan tubuh bagian
atas ditutupi oleh kutil berduri berukuran
besar. Ukuran tubuh jantan 30-40 mm dan
betina 40-45 mm. Kodok ini biasa terlihat
bertengger di belukar dan tumbuhan bawah
sepanjang sungai berarus deras, jernih dan
berbatu. Tersebar di Kalimantan.
6. Pedostibes hosii Boulenger, 1892
Nama Inggris : Brown Tree Toad
Kodok puru pohon berbadan tegap dengan
tulang menonjol dari mata menyambung
sampai kelenjar paratoid, tympanum jelas,
kaki belakang panjang. Kaki depan berselaput
tipis pada bagian dasar. Ukuran tubuh jantan
53-78 mm dan betina 89-105 mm. Kodok
jenis ini hidup di atas pohon sekitar dua
sampai lima belas meter dari permukaan
tanah. Biasa hidup dalam hutan primer
dengan ketinggian di bawah 600 mdpl. Jenis ini tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Thailand, dan Semenanjung Malaysia.
7. Pedostibes rugosus Inger, 1958
Nama Inggris : Marbeled Tree Toad
Kodok berukuran sedang dengan kulit
berkerut dan paratoid berentuk lonjong.
Tympanum terlihat jelas. Seluruh jari kaki
belakang berselaput penuh kecuali pada jari
ke empat. Berwarna hijau dengan bintik
coklat atau coklat kemerahan. Ukuran tubuh
jntan 74-77 mm dan betina 80-95 mm.
Spesies ini hanya dapat ditemukan pada hutan
primer berbukit dengan ketinggian 150-1050
mdpl di sekitr sungai berarus deras dan
berbatu. Diketahui tersebar di Malaysia dan Kalimantan.
8. Phrynoidis aspera Gravenhorst, 1829
Nama Inggris : River Toad
Kodok berukuran besar, tekstur kulit berbintik. Alur supraorbital dihubungkan
dengan kelenjar paratoid oleh alur supratimpanik.
23
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
(lanjutan)
Berwarna coklat tua hingga kehitaman. Jari
kaki berselaput renang penuh hingga ujung,
kecuali pada jari ke empat. Ukuran tubuh
jantan 70-100 mm, dan betina 95-140 mm.
Umum ditemukan di sungai dan anak sungai
serta hutan sampai ketinggian 1.400 mdpl.
Kodok jenis ini tersebar di Thailand,
Myanmar, Indonesia (Sumatera, Kalimanta,
Jawa dan Sulawesi).
9. Phrynoidis juxtaspera Inger, 1964
Nama Inggris : Giant River Toad
Deskripsi : Kodok berukuran besar, berbadan lebar, kepala tumpul, tidak ada
tulang tengkorak pada kepala, tympanum jelas, kelenjar paratoid memanjang dari
mata belakang, biasanya dua sampai empat kali panjang lebar kelenjar paratoid.
Ukuran tubuh jantan 90-120 mm dan betina 125-215 mm. Kodok jenis ini
menempati berbagai macam habitan hutan sekunder dan hutan primer sampai
dengan ketinggian 1.600 mdpl. Tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Megophrydae
10. Leptobrachium abbotti Cochran, 1926
Nama Inggris : Lowland Litter Frog
Katak serasah ini berasosiasi dengan serasah
dan jarang ditemukan. Berwarna coklat gelap
dengan corak berwarna gelap atau leb
MURUNG RAYA, KALIMANTAN TENGAH
MILA RAHMANIA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman
Amfibi di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Mila Rahmania
NIM E34070104
ABSTRAK
MILA RAHMANIA, Keanekaragaman Amfibi di Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI KUSRINI dan AGUS
PRIYONO KARTONO.
Keanekaragaman spesies adalah salah satu variabel penting unuk
manajemen konservasi. Penelitian mengenai keanekaragaman amfibi masih sangat
sedikit terutama di Kalimantan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
keanekaragaman amfibi pada habitat akuatik dan terestrial di Kabupaten Murung
Raya, Kalimantan Tengah menggunakan Indeks Shannon Wiener. Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus sampai 30 September 2013. Tiga-puluhtujuh spesies amfibi dari lima famili ditemukan selama survey. Berdasarkan IUCN
red list, sebagian besar spesies yang ditemukan termasuk kedalam katagori Least
Concern, tetapi satu spesies, Leptolalax hamidi masuk ke dalam klasifikasi
Vulnerable. Hampir sepertiga dari keseluruhan spesies yang ditemukan (11
spesies) merupakan endemik Kalimantan. Sungai Satai memiliki nilai
keanekaragaman (nilai Index Shannon Wiener sebesar 2,47) dan sungai Luan
merupakan yang terendah (2,05). Keanekaragaman amfibi pada penelitian ini
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian amfibi di beberapa lokasi yang
berbeda di Kalimantan.
Kata Kunci : amfibi, Kalimantan Tengah, keanekaragaman
ABSTRACT
MILA RAHMANIA, Amphibian Diversity in Murung Raya, Central Kalimantan.
Supervised by MIRZA DIKARI KUSRINI and AGUS PRIYONO KARTONO.
Species diversity is one of variable that needed for conservation
management. The research about amphibian diversity is still lack, especially on
Kalimantan. The objective of this study is to identify amphibian diversity on
aquatic and terrestrial habitats also level of amphibian diversity. The research
conducted on 1st August until September 30rd 2011. The study shows that
Leptolalax hamidi classified as Vulnereable base on IUCN Red List and 11
amphibian species are endemic on Kalimantan. Satai river have the highest
number of diversity, about 2,47 and Luan river is the lowest, about 2,05. The
diversity number in this study is better than another amphibian research in the
diferent location on Kalimantan.
Keywords : amphibian, Central Kalimantan, diversity
KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI KABUPATEN
MURUNG RAYA, KALIMANTAN TENGAH
MILA RAHMANIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konsevasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Keanekaragaman Amfibi di Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan Tengah
: Mila Rahmania
: E34070104
Disetujui oleh
Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi.
Pembimbing I
Dr Ir Agus P Kartono, MSi.
Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas seluruh karunia
yang telah diberikan sehingga karya ilmiah “Keanekaragaman Amfibi di
Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah” berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak 1 Agustus hingga 30 September 2011 didukung dan
dibiayai oleh BRINCC (Barito River Intiative for Nature Conservation and
Communities Expedition).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan
Dr Ir Agus P Kartono, MSi yang selalu sabar membimbing penulis selama
penyusunan skripsi ini berlangsung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada BRINCC, Dominic Rowland, Peter Houlihan, Katherine Breslin, Laurio
dan seluruh tim serta para pemandu yang ada di dalamnya atas kesempatan dan
kerjasamanya yang terbentuk selama penelitian ini berlangsung. Ungkapan terima
kasih juga penulis haturkan kepada kedua orangtua, keluarga besar, M.
Ramadhon, Aronika Kaban, Retno D Hastiti, Genggong, keluarga besar Beruang
Madu 44, HIMAKOVA, serta seluruh sahabat lainnya atas kepercayaan, doa,
dorongan serta kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Mila Rahmania
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
1
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
2
Pengumpulan Data
7
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
Hasil
9
Pembahasan
14
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
21
DAFTAR TABEL
1. Ketinggian wilayah ibukota kecamatan di Kabupaten Murung
Raya, tahun 2008
2. Lokasi pengamatan amfibi
3. Usaha yang dilakukan di setiap lokasi pengamatan
4. Persentase jumlah individu tiap jenis amfibi
5. Indeks keanekaragaman dan kemerataan amfibi
3
4
8
11
14
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah
2. Foto lokasi pengamatan di sungai Luan
3. Foto lokasi pengamatan di sungai Satai
4. Foto lokasi pengamatan di hilir sungai Bule
5. Foto lokasi pengamatan pada transek A dan pada transek D
6. Foto lokasi pengamatan di sungai Keramu
7. Foto lokasi pengamatan di sungai Jala
8. Foto lokasi pengamatan di jalan ladang
9. Jumlah individu dan spesies amfibi
10. Presentase jumlah individu amfibi di tiap famili
11. Staurois sp.
12. Grafik frekuensi setiap jenis amfibi di lokasi pengamatan
13. Kurva penambahan jenis amfibi
14. Dendogram kesamaan komunitas
2
4
5
5
6
6
7
7
10
10
10
12
13
14
DAFTAR LAMPIRAN
1. Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
2. Jenis amfibi di beberapa tipe habitat
3. Kisaran ukuran SVL dan berat tubuh amfibi
21
34
36
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Amfibi merupakan salah satu komponen ekosistem yang memegang
peranan penting pada rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi
keseimbangan alam. Amfibi merupakan satwa nokturnal yang hidupnya secara
umum adalah pada habitat akuatik dan terestrial (Bennet 1999). Amfibi terutama
dari bangsa anura memiliki respon yang sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai bio-indikator kerusakan lingkungan.
Terjadinya penurunan jumlah populasi anura dapat disebabkan oleh faktor polusi,
perubahan iklim, dan hilangnya habitat serta lahan basah (Kusrini 2003).
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi
tujuan manajemen pengelolaan dalam konservasi (Nichols et al. 1998). Penelitian
mengenai keanekaragaman amfibi adalah langkah awal dari kajian amfibi
selanjutnya. Namun penelitian mengenai hal tersebut di Indonesia, terutama di
Kalimantan belum banyak dilakukan. Beberapa laporan amfibi di Kalimantan
antara lain dilakukan di wilayah Borneo – Malaysia seperti di Sabah Sarawak
(Zainudin et al. 2002, Voris & Inger 1995, Grafe & Keller 2009, Malkmus et al.
2002). Di Kalimantan – Indonesia laporan mengenai amfibi antara lain berasal
dari kegiatan penelitian maupun ekspedisi yang antara lain dilakukan di Taman
Nasional Betung Kerihun (Iskandar et al. 1998), HPH PT Intracawood (Utama
2003), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (HIMAKOVA 2008), Hutan
Lindung Beratus (Mistar 2008), Taman Nasional Gunung Palung (Mediansyah
2008), Taman Nasional Kayan Mentarang (Iskandar 2001), Sungai Lesan –
Kalimantan Timur (Abdiansyah 2011) dan hutan lindung Bukit Batikap Kalimantan Tengah (van Berkel et. al 2012).
Kabupaten Murung Raya terletak di bagian utara Kalimantan Tengah yang
membentang dari Pegunungan Muller di bagian utara sampai ke Sungai Busang.
Kabupaten Murung Raya yang memiliki luas wilayah sekitar 23.700 Km² adalah
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Barito Utara yang meliputi 5 wilayah
kecamatan, yang terdiri dari 116 desa dan 2 kelurahan. Kecamatan U’ut Murung
adalah pemekaran dari Kecamatan Sumber Barito dengan luas 1.227 Km2.
Kekayaan hayati terutama amfibi pada lokasi penelitian ini belum pernah diamati
dan ditelaah sebelumnya. Diperlukan kajian biodiversitas terutama mengenai
amfibi yang kemudian dapat digunakan untuk mengetahui prioritas perlindungan
yang diperlukan untuk lokasi tersebut.
Tujuan
Penelitian mengenai keanekaragaman amfibi di beberapa lokasi di
Kabupaten Murung Raya memiliki tujuan, antara lain :
1. Mengidentifikasi keanekaragaman jenis amfibi di habitat akuatik dan
terrestrial
2. Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi berdasarkan tipe habitat
2
METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Murung Raya dengan fokus pada
Sungai Busang, Barito Hulu, Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan pada
tanggal 1 Agustus-30 September 2011 dengan jumlah hari pengamatan sebanyak
30 hari (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya, Provinsi
Kalimantan Tengah
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kabupaten Murung Raya terletak di daerah khatulistiwa
berada di wilayah bagian utara Kalimantan Tengah, yaitu antara 113° 20`– 115°
55’ BT dan 0°53’48” LS – 0° 46’ 06” LU. Batas-batas wilayah Kabupaten
Murung Raya secara administratif adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi
Kalimantan Barat dan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur.
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat Provinsi
Kalimantan Timur dan Kecamatan Lahei Kabupaten Barito Utara
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Teweh Tengah Kabupaten
Barito Utara dan Kecamatan Kapuas Hulu Kabupaten Kapuas.
3
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kahayan Hulu Utara
Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat.
Kabupaten Murung Raya terletak pada daerah beriklim panas dan lembab, karena
dengan suhu berkisar 22° C - 35° C. Sebagian kecil Kecamatan Sumber Barito
(243.675 ha) memiliki curah Hujan > 4000 mm/tahun, curah hujan 3000 – 4000
mm/tahun meliputi Kecamatan Tanah Siang, sebagian Kecamatan Sumber Barito
dan Kecamatan Laung Tuhup, curah hujan antara 3000 – 3500 mm/tahun
meliputi Kecamatan Tanah Siang, Kecamatan Laung Tuhup, Permata Intan dan
sebagian kecil Kecamatan Sumber Barito, curah hujan antara 2500 – 3000
mm/tahun sebagian Kecamatan Murung, Laung Tuhup, dan Kecamatan Permata
Intan. Jumlah hari hujan rata-rata adalah 228 hari/tahun. Periode curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan November sampai dengan April.
Pada umumnya Kabupaten Murung Raya dari wilayah bagian selatan
hingga bagian Timur merupakan dataran agak rendah, sedangkan ke arah Utara
dengan bentuk daerah berbukit-bukit lipatan, patahan yang dikelilingi oleh
hamparan pegunungan Muller/Schwaner. Apabila dilihat dari ketinggiannya,
maka sebagian besar (72,08%) dari luas wilayah Kabupaten Murung Raya terletak
pada ketinggian 500-1.000 meter dari permukaan laut, terutama di daerah
Kecamatan Sumber Barito kemudian 5,18% terletak pada ketinggian 100-500
meter dari permukaan laut (Tabel 1).
Bagian wilayah dengan lereng atau kemiringan 0 – 2 % terdapat di bagian
selatan tepi Sungai Barito, bagian wilayah dengan kemiringan 2 – 15% tersebar di
semua kecamatan seluas 1.785 km² (21,94%), bagian wilayah dengan kemiringan
15 – 40% tersebar di semua kecamatan seluas 4.275 km² (52,55%) dan wilayah di
atas 40% seluas 2.075 km² (25,51%).
Tabel 1 Ketinggian wilayah ibukota kecamatan di Kabupaten Murung Raya,
tahun 2008
Kecamatan
Kota
Ketinggian (mdpl)
1. Permata Intan
Tumbang Lahung
137
2. Sungai Babuat
Tumbang Bantian
137
3. Murung
Puruk Cahu
125
4. Laung Tuhup
Muara Laung
123
5. Barito Tuhup Raya
Makunjung
123
6. Tanah Siang
Saripoi
145
7. Tanah Siang Selatan
Dirung Lingkin
145
8. Sumber Barito
Tumbang Kunyi
700
9. Seribu Riam
Muara Joloi
700
10. Uut Murung
Tumbang Olong
700
Wilayah Kabupaten Murung Raya dilintasi oleh Sungai Barito dan
beberapa cabang anak sungainya dengan panjang dan kedalaman dasar sungai
sangat bervariasi. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai urat nadi transportasi
untuk angkutan barang dan penumpang di sebagian besar wilayah Kabupaten
Murung Raya. Beberapa cabang atau anak sungai yang dapat dilayari yaitu :
Sungai Laung sepanjang 35,75 km, Sungai Babuat sepanjang 29,25 km, Sungai
Joloi sepanjang 40,75 km dan Sungai Busang sepanjang 75,25 km. Kedalaman
dasar berkisar antara 3-8 m dan lebar badan sungai lebih dari 25 m.
4
Pengamatan amfibi di wilayah sekitar Sungai Busang dibagi menjadi 2
habitat besar, yaitu akuatik dan terestrial. Habitat akuatik meliputi sungai kecil
dan sungai sedang sedangkan habitat terestrial meliputi hutan primer dan area
terbuka menuju ladang. Lokasi pengamatan amfibi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Lokasi pengamatan amfibi
Tipe Tutupan Tipe
Keterangan
Lahan
Habitat
Sungai Luan (SL)
Sungai
Akuatik
Hutan adat
Desa
Tumbang Tujang
Sungai Satai (SS)
Sungai
Akuatik
Hutan Bora
Sungai Boule (SB)
Sungai
Akuatik
Hutan Bora
Transek A (TA)
Hutan primer Terestrial
Hutan Bora
Transek D (TD)
Hutan primer Terestrial
Hutan Bora
Sungai Keramu (SK) Sungai
Akuatik
Desa Kelasin
Jalan lading (JL)
Jalan lokal
Terestrial
Desa Kelasin
Sungai Jala (SJ)
Sungai
Akuatik
Desa Kelasin
No Nama Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
Sungai Luan terletak di pinggir hutan adat Desa Tumbang Tujang yang
jaraknya sekitar lima menit menggunakan ketinting atau perahu motor kecil dari
desa. Hutan adat Desa Tumbang Tujang awalnya merupakan hutan tempat
kediaman sementara beberapa kelompok pendulang emas. Akibat kerusakan yang
timbul atas berbagai aktifitas yang dilakukan di hutan tersebut, serta mengingat
pentingnya fungsi hutan bagi masyarakat desa, maka hampir 10 tahun terakhir
masyarakat dilarang melakukan aktifitas apapun kecuali mengambil air dan
berburu di hutan adat tersebut. Sungai Luan merupakan sungai yang memiliki
substrat kerikil dan berbatu dengan aliran tenang serta kedalaman air maksimal
sekitar 100 cm pada hulu. Sungai Luan yang berfungsi sebagai sumber mata air
utama bagi masyarakat Desa Tumbang Tujang memiliki lebar maksimal sekitar 8
m dan panjang kurang dari 200 m. Tajuk yang menutupi Sungai Luan rapat di
bagian hulu dan tidak ada di bagian hilir (Gambar 2).
(a)
(b)
Gambar 2 Lokasi pengamatan di Sungai Luan. (a) Hulu Sungai Luan; (b) Hilir
Sungai Luan masih dipenuhi oleh bangunan penambang emas
5
Hutan Bora tergolong hutan perawan yang hanya digunakan sebagai
tempat singgah masyarakat yang menjala ikan, berburu, atau memanen sarang
walet liar. Sungai Satai terletak di hilir Hutan Bora, yaitu 1,5 jam perjalanan dari
Desa Tumbang Tujang menggunakan ketinting. Bagian hilir Sungai Satai
biasanya digunakan sebagai lokasi menjala bagi masyarakat. Sungai Satai dengan
lebar 10-15 m dan panjang lebih dari 1 km ini didominasi oleh substrat bebatuan
berukuran besar dan kecil dengan aliran air tenang. Rata rata kedalaman air di
Sungai Satai dalam keadaan tidak hujan adalah semata kaki, atau sekitar 10-15
cm, kecuali pada bagian ceruk sekitar 40 cm. Tajuk pohon hanya menutupi kedua
pinggir Sungai Satai (Gambar 3).
(a)
(b)
Gambar 3 Lokasi pengamatan di Sungai Satai.
Sungai Boule merupakan sungai aliran kecil yang berada di hulu Hutan
Bora, atau sekitar 10 m dari camp. Sungai ini memiliki lebar 5 meter dan panjang
kurang dari 100 m yang terpisah oleh 2 tebing. Sungai yang didominasi oleh
substrat batu dan kerikil ini memiliki tutupan tajuk yang sangat rapat sehingga
hampir tidak ada cahaya matahari yang sampai ke permukaan. Kedalaman air
berkisar antara 5 sampai 10 cm (Gambar 4).
Gambar 4 Lokasi pengamatan di hilir Sungai Bule
Jalur transek TA sepanjang 800 m dari camp menuju Sungai Satai
memiliki tutupan tajuk yang rapat.Jalur yang memiliki substrat tanah ini hanya
dilintasi satu aliran air yang kecil dan tidak memiliki kubangan (Gambar 5a). Jalur
transek TD sepanjang 400 meter tegak lurus dengan jalur transek TA tidak
6
memiliki sumber mata air ataupun kubanga. Jalur transek TD memiliki substrat
tanah dengan tutupan tajuk yang cukup rapat (Gambar 5b).
(a)
(b)
Gambar 5 Foto lokasi pengamatan (a) pada transek A; (B) pada transek D
Sungai keramu merupakan sungai besar yang berada di batas desa Kelasin
sebelah barat. Pengamatan pada sungai ini dilakukan dengan menyusuri pinggir
kanan dan kiri sungai menggunakan bantuan ketinting. Lebar sungai sekitar 20
meter berarus deras. Substrat di pinggir sungai ini berpasir dan tajuk pohon
tergolong cukup rapat (Gambar 6).
Gambar 6 Foto lokasi pengamatan di Sungai Keramu
Sungai Jala merupakan sungai kecil yang berada cukup jauh dari Desa
Kelasin, yaitu berjarak sekitar 10 menit menggunakan ketinting. Sungai Jala
dimanfaatkan masyarakat sebagai mata air saat berburu satwa liar di hutan sekitar
Sungai Jala. Tutupan tajuk di daerah tersebut tergolong rapat dan bersubstrat batu
serta berarus sedang. Lebar sungai berkisar antara 4-6 meter dengan panjang
kurang lebih 100 meter. (Gambar 7).
Jalan ladang merupakan akses utama jalan menuju ladang masyarakat serta
dipergunakan sebagai jalan utama dari dan menuju Desa Kelasin baik dengan
berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor. Jalan ladang memiliki
lebar sekitar 5-8 meter dengan substrat berbatu dan berpasir. Pada sisi kanan dan
kiri jalan ladang terdapat aliran sungai kecil yang tertutup tajuk dengan cukup
rapat (Gambar 8).
7
Gambar 7 Lokasi pengamatan di Sungai Jala
Gambar 8 Lokasi pengamatan di jalan ladang
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data amfibi menggunakan metode Visual Encounter
Survey (Heyer et al. 1994) yang diterapkan di lapangan, yaitu pengambilan jenis
satwa berdasarkan perjumpaan langsung pada jalur baik di daerah terestrial
maupun akuatik. Pengamatan malam dilakukan pada pukul 20.00-22.00 WIB
untuk mengambil data amfibi. Pengamatan tidak dilakukan secara khusus,
pengamat hanya berjalan pada jalur yang telah ada.
Cara pengambilan data saat pengamatan malam adalah dengan cara
menyorotkan sinar senter pada tempat-tempat yang umumnya dipakai oleh amfibi
dan reptil beraktivitas. Tempat tersebut adalah lubang-lubang pada tanah, dahandahan pohon atau daun, diantara serasah, di bawah atau celah bebatuan, dan pada
kubangan air. Jumlah pengamat di setiap lokasi pengamatan adalah 3-4 orang.
Amfibi yang tertangkap dicatat data jenis, jumlah individu tiap jenis,
ukuran, perilaku, posisi satwa di lingkungan habitatnya serta perubahan morfologi
jika ada. Pengukuran morfometri katak dilakukan dengan mengukur panjang dari
ujung moncong sampai kloaka atau snout vent length (SVL) menggunakan caliper
serta pengukuran berat badan menggunakan timbangan pegas merek Pesola.
Katak yang sudah diukur lalu dilepas kembali ke tempat semula. Tidak ada
pengambilan spesimen pada penelitian ini karena kendala perijinan namun
8
demikian dilakukan pengambilan foto amfibi sebanyak mungkin untuk membantu
identifikasi. Penamaan jenis menggunakan Frost (2004).
Data habitat dicatat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi:
tanggal dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/ lingkungan tempat
ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horinzontal terhadap badan air,
posisi vertikal terhadap permukaan air, sifat naungan dan penutupan oleh vegetasi
atau obyek lain, dan data fisik lainnya.
Secara total, pengamatan dilakukan selama 119 orang-jam. Adapun rincian
usaha pencarian di setiap lokasi adalah sebagai berikut (Tabel 3).
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tabel 3 Usaha yang dilakukan di setiap lokasi pengamatan
Σ hari
Usaha
Σ
pengamatan
Lokasi
Jam : menit :
pengamat
Menit
detik
2
Sungai Luan
3
240
4:00:00
6
Sungai Bule
4
690
12:00:00
4
Sungai Satai
4
450
8:00:00
3
Transek A
4
360
6:00:00
3
Transek D
4
420
7:00:00
4
Jalan Ladang
3
420
7:00:00
Sungai
4
4
480
8:00:00
Keramu
4
Sungai Jala
4
480
8:00:00
Analisis Data
Data amfibi yang diperoleh dianalisis untuk mendapat nilai indeks
keanekaragaman jenis berdasarkan Shannon-Wiener dan Kemerataan Jenis.
Adapun rumusan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997):
H’= -∑Pi Ln Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jenis ke-i
Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada suatu lokasi digunakan
Indeks Kemerataan Jenis. Persamaan yang digunakan untuk menghitung Indeks
Kemerataan Jenis (Brower & Zar 1997) adalah :
E= H’/Ln S
Keterangan :
E = Indeks Kemerataan Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan
9
Kesamaan jenis amfibi dikelompokkan berdasarkan habitatnya, yaitu
akuatik dan terestrial dengan menggunakan Ward`s Linkage Clustering dalam
Minitab 15. Untuk mengetahui pola aktivitas dan penyebaran jenis herpetofauna
dilakukan pencatatan data aktivitas yang dilakukan dan posisi (vertikal dan
horizontal) pada setiap lokasi pengamatan. Data aktivitas dan posisi yang
diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan secara deskriptif. Data
habitat dianalisis secara deskriptif sesuai dengan kondisi di lapang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi
penelitian yaitu sebanyak 36 jenis dari 5 famili.Jumlah jenis dari masing-masing
famili antara lain famili Bufonidae (9 jenis), famili Megophrydae (5 jenis), family
Dicroglossidae (9 jenis), family Ranidae (8 jenis), dan famili Rhacophoridae (5
jenis). Hasil penemuan amfibi saat pengamatan selengkapnya dapat dilihat di
Lampiran 2.
Gambar 9 Jumlah individu dan spesies amfibi
Sebanyak 452 individu katak dan kodok ditemukan selama penelitian.
Secara umum jumlah individu yang terbanyak di temukan di sungai Satai,
dilanjutkan dengan sungai Keramu, Bule, Jala, Luan, transek D, jalan ladang, dan
transek A. Jumlah spesies amfibi yang terbanyak di temukan di sungai Satai,
dilanjutkan dengan Sungai Bule, Luan, Jala, Keramu, transek A, transek D dan
jalan ladang. (Gambar 9).
Dari 452 individu dari 36 jenis amfibi yang ditemukan, famili
Dicroglossidae dan Bufonidae memiliki jumlah individu terbanyak (25%),
kemudian famili Ranidae (22 %), famili Rhacophoridae (16 %), dan family
Megophryidae (13%) (Gambar 10).
10
Gambar 10 Presentase jumlah individu amfibi di tiap famili
Terdapat sebanyak 33 inividu dari satu jenis katak sejati yang belum
teridentifikasi yang ditemukan saat pengamatan di Sungai Boule dan Sungai Satai.
Katak jenis ini masuk kedalam genus Saurois dan hampir mirip dengan jenis
Staurois tuberlingus dengan beberapa perbedaan. Katak yang belum
teridentifikasi ini memiliki ciri-ciri berwarna hijau terang hingga kecoklatan
dengan bintik merah bata di bagian atas tubuh dan coklat muda di bagian sisi
tubuh, selaput di kaki belakang tidak sepenuhnya berselaput dan kaki depan tidak
berselaput. Panjang moncong mendekati ukuran diameter mata, dengan ujung
meruncing. Katak ini memiliki ukuran tubuh antara 1,8 – 5,6 cm dengan berat 3 –
15 gr. (Gambar 11).
Gambar 11 Staurois sp.
Spesies yang memiliki jumlah individu terbanyak adalah Limnonectes
leporinus (28.10%) dan Limnonectes kuhlii (10.84%). Jenis amfibi yang
ditemukan paling sedikit adalah Ansonia minuta, Pedostibes hosii, Pedostibes
rugosus, Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi,
Limnonectes blythii, Limnonectes palavanensis, Polypedates colleti, Rhacophorus
gadingensis, dan Rhacophorus pictus sebesar 0.22% (Tabel 4).
11
No
1
2
3
4
5
8
9
6
7
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Tabel 4 Persentase jumlah individu tiap jenis amfibi
Nama Jenis
Ʃ Individu
Bufonidae
Ansonia albomaculata
6
Ansonia leptopus
16
Ansonia longidigita
14
Ansonia minuta
1
Ansonia spinulifer
7
Pedostibes hosii
2
Pedostibes rugosus
1
Phrynoidis asper
29
Phrynoidis juxtaspera
6
Megophrydae
Leptobrachium abbotti
1
Leptobrachium nigrops
1
Leptolalax dringi
1
Leptolalax hamidi
2
Megophrys nasuta
2
Dicroglossidae
Limnonectes blythii
1
Limnonectes finchi
2
Limnonectes ibanorum
7
Limnonectes ingeri
8
Limnonectes kuhlii
49
Limnonectes laticeps
17
Limnonectes leporinus
127
Limnonectes palavanensis
1
Limnonectes paramacrodon
20
Ranidae
Hylarana chalconota
4
Hylarana picturata
4
Hylarana raniceps
5
Hylarana signata
37
Merystogenys phaeomerus
2
Odorrana hosii
21
Staurois natator
9
Staurois sp.
33
Rhacophoridae
Nyctixalus pictus
3
Polypedates colletti
1
Polypedates macrotis
7
Rhacophorus gadingensis
1
Rhacophorus pardalis
4
%
1.33
3.54
3.10
0.22
1.55
0.44
0.22
6.42
1.33
0.22
0.22
0.22
0.44
0.44
0.22
0.44
1.55
1.77
10.84
3.76
28.10
0.22
4.42
0.88
0.88
1.11
8.19
0.44
4.65
1.99
7.30
0.66
0.22
1.55
0.22
0.88
12
Frekuensi jenis amfibi yang sering ditemukan adalah Limnonectes kuhlii
(100%) dilanjutkan dengan Limnonectes leporinus (75%), Phrynoidis aspera, dan
Limnonectes paramacrodon (65%). Jenis yang paling jarang ditemukan adalah
Ansonia minuta, Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi,
Limnonectes blythii, Limnonectes finchi, Limnonectes ibanorum, Limnonectes
palavanensis, Megophrys nasuta, Pedostibes rugosus, Polypedates colletti,
Odorrana hosii, dan Rhacophorus gadingensis masing-masing sebesar 12.5%
(Gambar 12).
Frekuensi penemuan jenis
Rhacophorus pardalis
Rhacophorus gadingensis
Polypedates macrotis
Polypedates colletti
Nyctixalus pictus
Staurois sp.
Staurois natator
Odorrana hosii
Merystogenys phaeomerus
Hylarana signata
Hylarana raniceps
Hylarana picturata
Hylarana chalconota
Limnonectes paramacrodon
Limnonectes palavanensis
Limnonectes leporinus
Limnonectes laticeps
Limnonectes kuhlii
Limnonectes ingeri
Limnonectes ibanorum
Limnonectes finchi
Limnonectes blythii
Megophrys nasuta
Leptolalax hamidi
Leptolalax dringi
Leptobrachium nigrops
Leptobrachium abbotti
Phrynoidis juxtaspera
Phrynoidis asper
Pedostibes rugosus
Pedostibes hosii
Ansonia spinulifer
Ansonia minuta
Ansonia longidigita
Ansonia leptopus
Ansonia albomaculata
0
20 40 60 80 100 120
Gambar 12 Frekuensi perjumpaan setiap jenis amfibi di lokasi pengamatan
Kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat akuatik sudah
mendatar atau tidak ditemukan adanya penambahan jenis pada enam hari terakhir.
Sedangkan pada kurva akumulasi jenis amfibi yang ditemukan pada habitat
terestrial, terlihat masih ada kenaikan akibat ditemukannya jenis baru pada hari
terakhir pengamatan. Kurva akumulasi gabungan masih beranjak naik akibat
13
pengaruh kenaikan kurva akumulasi jenis amfibi pada habitat terestrial (Gambar
13).
Kurva Penambahan Jenis Amfibi
40
Variable
Akuatik
Terestrial
Total
Jumlah Spesies
30
20
10
0
3
6
9
12
15
18
21
Hari Pengamatan
24
27
30
Gambar 13 Kurva penambahan jenis amfibi
Katak yang ditemukan umumnya sedang diam. Jenis yang melompat ke air
saat pengamat hendak menangkap adalah Phrynoidis aspera, Leptolalax dringi,
Leptolalax hamidi, Limnonectes kuhlii dan Limnonectes leporinus. Jenis yang
bersuara saat ditemukan pengamat adalah Limnonectes kuhlii.
Interval kisaran panjang tubuh terbesar dimiliki oleh jenis Phrynoidis
aspera dengan panjang minimum 3,4 cm dan panjang maksimum 12,3 cm dengan
jumlah 29 individu. Interval kisaran panjang tubuh terkecil dimiliki oleh jenis
Rhacophorus pardalis dengan panjang minimum 5,7 cm dan panjang maksimum
6,1 cm dengan jumlah 4 individu. Sedangkan interval kisaran berat tubuh terbesar
dimiliki oleh jenis Phrynoidis aspera, yaitu dengan berat minimum 5 gr dan berat
maksimum 230 gr dari 29 individu. Interval kisaran berat tubuh terkecil dimiliki
oleh Ansonia spinulifer dan Rhacophorus pardalis. Dari 7 individu Ansonia
spinulifer dan 4 individu Rhacophorus pardalis masing masing didapat berat
minimum sebesar 7 gr dan berat maksimum 8 gr (Lampiran 3).
Hasil pehitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menunjukan
bahwa habitat yang memiliki nilai keanekaragaman tertinggi adalah Sungai Satai
(H’= 2.47), Sungai Luan (H’= 2,34), dan Sungai Bule (H’= 2,05). Sungai Keramu
memiliki keanekaragaman yang paling rendah (H’= 1,08). Dari delapan tipe
habitat tersebut, yang memiliki kemerataan jenis yang paling tinggi adalah
Transek A (E= 1) dan yang paling rendah adalah Sungai Keramu (E= 0,52)
(Tabel 5).
14
Tabel 5 Indeks keanekaragaman dan kemerataan amfibi
Lokasi Pengamatan
∑ Famili
∑ Individu
∑ Spesies
H'
Sungai Luan
4
24
13
2,34
Sungai Bule
4
103
14
2,05
Sungai Satai
5
147
23
2,47
Sungai Keramu
2
116
8
1,08
Sungai Jala
4
32
11
1,56
Transek A
4
7
7
1,95
Transek D
4
14
6
1,57
Jalan Ladang
3
9
5
1,43
E
0,91
0,78
0,79
0,52
0,65
1,00
0,89
0,87
Hasil perhitungan indeks kesamaan menunjukkan bahwa terdapat dua
kelompok besar. Kelompok Pertama adalah Sungai Luan mengelompok dengan
Sungai Satai dan Keramu yang juga mengelompok dengan Sungai Boule, dan
Jala. Kelompok kedua adalah transek TA yang mengelopok dengan transek TD,
dan jalan ladang. (Gambar 14)
Dendrogram
Kesamaan Komunitas
Nilai Kesamaan
33.16
55.44
77.72
100.00
SL
SS
SK
SB
SJ
Titik Pengamatan
TA
TD
JL
Gambar 14 Dendogram kesamaan komunitas
Pembahasan
Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi
penelitian di Kabupaten Murung Raya lebih banyak dibandingkan dengan
Abdiansyah (2013) yang menemukan 31 jenis amfibi di Kawasan Lindung Sungai
Lesan, HIMAKOVA (2008) 29 jenis amfibi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit
Raya, van Berkel et al. (2012) sebanyak 28 jenis di hutan lindung Bukit Batikap,
Utama (2003) sebanyak 27 jenis di areal PT Intracawood Manufacturing. Jumlah
15
jenis yang ditemukan pada Gunung Palung oleh Mediansyah (2008) sama
banyaknya dengan pada lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya. Namun jika
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (1998) di
Taman Nasional Betung Kerihun yaitu sebanyak 55 jenis amfibi, tergolong
rendah. Perbedaan jumlah jenis amfibi yang ditemukan antara lain disebabkan
oleh perbedaan dalam waktu usaha pencarian, perbedaan habitat dan ketinggian.
dan perbedaan kemampuan pengamat. Banyaknya jumlah spesies yang tercatat
pada penelitian berbanding lurus dengan banyaknya lokasi pegamatan yang
dilakukan.
Berdasarkan status IUCN Red List, jenis katak yang tecatat di Kabupaten
Murung Raya dikatagorikan sebagai Vulnerable, Near Threatened, Least
Concern, dan Not Evaluated (IUCN 2013). Leptolalax hamidi dikatagorikan dalan
IUCN (2013) sebagai spesies Vurnerable. Jefferies (1997) dan IUCN (2014)
menyatakan bahwa klasifikasi ini disebabkan oleh distribusi spesies yang
terfragmentasi, penurunan kualitas habitat, penurunan populasi serta resiko tingkat
kepunahan jangka panjang. Sebanyak 12 jenis amfibi diklasifikasikan sebagai
Near Threatened karena dimungkinkan berada dalam status terancam dalam
waktu yang tidak lama jika tidak ada tindakan konservasi. Sebanyak 21 jenis
amfibi, termasuk ke dalam status Least Concern karena diduga memiliki distribusi
spesies yang besar dan luas. Jenis Staurois sp.masuk ke dalam kriteria Not
Evaluated.
Penemuan individu yang belum diketahui jenisnya dari genus Staurois
menunjukkan bahwa di lokasi ini terdapat kemungkinan adanya jenis baru yang
belum dideskripsikan. Genus Staurois memiliki ciri piringan jari yang sangat
besar, dan sepenuhnya berselaput (Boulenger 1918, Inger 1966 diacu dalam
Matsui et al. 2007). Terdapat empat spesies Staurois yang ditemukan di
Kalimantan, yaitu S. leptopalmatus, S. natator, S. parvus dan S. tuberilinguis.
Staurois latopalmatus hidup di sungai berbatu berukuran sedang hingga besar
dengan arus deras. Ukuran tubuh jantan maksimal 50 mm dan betina 70 mm.
Staurois leptopalmatus memiliki moncong yang membulat dan pendek, hampir
satu kali diameter mata. Staurois natator ditemukan pada sungai berbatu
berukuran kecil hingga besar serta dapat ditemukan hingga ketinggian diatas
1.500 m dpl. Ukuran tubuh jantan lebih dari 30 mm dan betina lebih dari 55 mm.
Staurois parvus memiliki moncong yang meruncing dan pendek, hampir seukuran
diameter mata. Ukuran tubuh jantan 20-24 mm sedangkan betina 26-31 mm.
Staurois tuberilinguis berukuran lebih kecil dibandingkan dengan S. natator, yaitu
jantan ± 25 mm dan betina ± 35 mm. Jenis ini ditemukan pada hutan primer di
ketinggian diatas 1.600m dpl (Inger & Stuebing 2005).
Pada (Gambar 12) grafik frekuensi penemuan jenis amfibi ditemukan
bahwa Frekuensi jenis amfibi yang sering ditemukan adalah Limnonectes kuhlii
sebesar 100%. Hal ini disebabkan oleh jenis Limnonectes kuhlii dapat ditemukan
disemua lokasi pengamatan baik terestrial maupun akuatik dalam jumlah yang
banyak. Jenis yang palimg sedikit ditemukan adalah Ansonia minuta,
Leptobracium abbotii, Leptobracium nigrops, Leptolalax dringi, Limnonectes
blythii, Limnonectes finchi, Limnonectes ibanorum, Limnonectes palavanensis,
Megophrys nasuta, Nyctixalus pictus, Pedostibes rugosus, Polypedates colletti,
Odorrana hosii, Rhacophorus gadingensis, dan Rhacophorus pictus masing-
16
masing sebesar 12,5%. Sebagian besar jenis ini memiliki sebaran yang sempit,
hanya ditemukan di satu tipe habitat saja.
Pada (Gambar 13) kurva akumulasi jenis amfibi mengalami peningkatan
dan mendatar hingga hari ke 29 dan kemudian menanjak. Hal ini dikarenakan
ditemukannya satu jenis baru pada pada hari terakhir pengamatan. Menurut Zug
(1998) jika kurva kekayaan jenis suatu spesies jika telah mendekati titik asimptot
dan sudah cenderung mendatar maka jumlah spesies dalam suatu lokasi survei
telah bisa diprediksi. Kurva akumulasi jenis amfibi yang menanjak menunjukkan
bahwa masih memungkinkan adanya penambahan jenis baru lagi jika waktu
penelitian dilakukan lebih lama.
Pengukuran dapat dilakukan untuk melihat struktur populasi, sexual
dimorphism, atau kondisi tubuh dari satu populasi pada saat tertentu (Kusrini
2007). Interval kisaran panjang tubuh terbesar dimiliki oleh jenis Phrynoidis
aspera dengan panjang minimum 3,4 cm dan panjang maksimum 12,3 cm dengan
jumlah 29 individu. Interval kisaran panjang tubuh terkecil dimiliki oleh jenis
Rhacophorus pardalis dengan panjang minimum 5,7 cm dan panjang maksimum
6,1 cm dengan jumlah 4 individu. Adanya perbedaan yang mencolok pada hasil
pengukuran menunjukkan adanya tingkatan umur untuk masing masing jenis
tersebut.
Nilai keanekaragaman jenis amfibi dihitung berdasarkan proporsi jumlah
individu pada tiap jenis terhadap jumlah keseluruhan individu. Nilai
keanekaragaman jenis amfibi tertinggi yaitu sungai Satai (H’= 2,47) dan terendah
ditemukan pada sungai (H’= 1,08). Rendahnya nilai H ini bisa saja tidak
mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun juga disebabkan oleh bias
pengamat. Sungai Luan memiliki nilai keanekaragaman yang rendah karena
kesulitan pengamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Pengamat hanya dapat menyisiri sisi sungai dengan menggunakan ketinting dan
sesekali naik ke permukaan untuk mengamati amfibi sehingga jumlah jenis yang
ditemukan lebih sedikit. Jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman amfibi
di Kawasan Lindung Sungai Lesanyang berkisar antara 1,29 sampai 1.77
(Abdiansyah 2013) dan di areal PT Intracawood Manufacturing yang berkisar
antara 1.40 sampai 2.154 (Utama 2003), nilai keanekaragaman jenis yang
diperoleh dari hasil pengamatan di Kabupaten Murung Raya tidak jauh berbeda.
Menurut Jeffries (1997), faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
meliputi lokasi, ketinggian dan keragaman habitat. Lokasi penelitian yang lebih
luas menghasilkan keanekaragaman habitat yang lebih besar. Vallan (2000)
menyatakan bahwa gangguan seperti perubahan habitat dan kebakaran hutan dapat
menyebabkan terbentuknya fragmen kecil pada hutan sehingga dapat mengurangi
habitat mikro. Fragmentasi juga memotong akses amfibi ke badan air yang
mereka butuhkan untuk menjaga kelembaban, hidup dan berkembang biak.
Menurut Primack et al. (1998), satwaliar akan semakin beranekaragam
bila struktur habitatnya juga beranekaragam. Ada enam faktor yang saling
berkaitan yang menentukan naik turunnya keragaman jenis suatu komunitas,
yaitu: waktu, heterogenitas, ruang, persaingan, pemangsaan, kestabilan
lingkungan dan produktivitas (Krebs 1978).
Nilai kekemerataan jenis amfibi digunakan untuk membandingkan jumlah
individu pada tiap spesies pada habitat tertentu. Nilai kemerataan yang mendekati
1 mengindikasikan bahwa jumlah individu tiap spesies relatif sama dan
17
diindikasikan memiliki jenis yang dominan pada habitat tersebut jika nilai
kemerataan jenis mendekati 0. Nilai kemerataan jenis amfibi tertinggi dari delapan
tipe habitat adalah Transek A (E= 1) dan yang paling rendah adalah sungai
Keramu (E= 0,52). Tidak adanya jenis yang dominan di transek A menunjukkan
bahwa jenis amfibi yang ditemukan di titik pengamatan tersebut memiliki relung
yang berbeda satu sama lain. Pada tipe sungai Keramu terdapat jenis yang
memiliki jumlah individu lebih dominan yaitu Limnonectes leporinus (82
individu). Kemerataan dapat digunakan sebagai indikator adanya jenis yang
mendominasi pada suatu komunitas (Santosa 1995). Sehingga dominasi suatu
jenis akan tinggi jika kemerataan rendah, begitu juga sebaliknya.
Kesamaan komunitas digunakan untuk melihat kepadatan individu tiap
spesies di tiap lokasi. Kesamaan komunitas dihitung menggunakan jarak
Euclidean dan di kelompokkan menggunakan metode Ward, minitab 15. Seperti
yang ditunjukkan dalam gambar 14, terdapat dua habitat yang terklasifikasi, yaitu
habitat akuatik dan terestrial. Pada kelompok komunitas pertama sungai Satai dan
Keramu mejadi cabang pertama yang kemudian mengelompok dengan sungai
Luan. Ketiga lokasi ini memiliki kesamaan yang lebih banyak terhadap satu sama
lain dibandingkan dengan cabang kedua yang kemudian mengelompok dengan
cabang pertama, yaitu Sungai Bule dan Jala. Untuk habitat teresterial, sama sekali
tidak mengelompok dengan habitat akuatik. Transek D mengelompok dengan
jalan ladang membentuk cabang yang kemudian mengelompok dengan transek A.
Pada habitat akuatik, karakteristik Sungai Satai dan Keramu lebih mirip
dibandingkan dengan titik pengamatan akuatik lainnya, yaitu lebar sungai sekitar
10 – 15 m dengan tutupan tajuk di bahu sungai cukup rapat (masih ada cahaya
matahari menembus areal sungai). Sungai Luan memiliki lebar 10-15 meter juga
namun tutupan tajuk lebih rapat. Sungai Bule dan Jala memiliki karakteristik
yang mirip, yaitu sungai berukuran kecil (lebar 3-5 m) dengan tutupan tajuk yang
rapat, dan kedalaman ± 10 cm.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Murung
Raya, dapat disimpulkan bahwa jumlah jenis amfibi yang ditemukan sebanyak 37
jenis. Nilai keanekaragaman amfibi di Kabupaten Murung Raya tergolong sedang.
Jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman di lokasi penelitian yang berbeda
di Kalimantan, keanekaragaman amfibi di lokasi penelitian ini masih lebih baik.
Saran
Perlu dilakukan monitoring secara berkala untuk mendapatkan gambaran
mengenai hubungan antara daftar jenis amfibi yang ditemukan terhadap
perubahan habitat
18
DAFTAR PUSTAKA
Abdiansyah R. 2011. Studi Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung
Sungai Lesan, Kalimantan Timur. [Skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian
Bogor.
Beebee TJC, Griffiths RA. 2005. The Amphibian Decline Crisis : A Watershed
for Conservation Biology. Biological Conservation 125 : 271–285.
Bennet D. 1999. Reptils and Amphibians. Expedition Field Techniques Series.
London UK: The Expedition Advisory Center, Royal Geographic Society.
Brower JE dan JH Zar. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Iowa: Brown.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Edisi Kelima – Jilid 3.
Jakarta:Erlangga.
Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi
Kasus di Eks-HPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi. [Skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor.
Frost DR, 2012. Amphibian Species of the World: An Online Reference. Version
5.6 (1 October 2012). Electronic database accessible at
htpp://research.amnh.org/herpetology/amphibian/index.php.
Grafe TU, Keller A. 2009. A Bornean Amphibian Hotspot: The Lowland Mixed
Dipterocarp Rainforest at Ulu Temburong National Park, Brunei
Darussalam. Deutsche Gesellschaft fur Herpetologie und Terrarienkunde.
45 (1): 25-38
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC dan Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr.
[HIMAKOVA IPB] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Institut Pertanian Bogor. 2006. Laporan Studi Konservasi
Lingkungan (SURILI) 2006 : Eksplorasi Keanekaragam Hayati Flora
Fauna di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
Inger RF, Stuebing RB. 1966. The Systematics and Zoogeography of the
Amphibia of Borneo. Chicago : Field Museum of Natural History.
Inger RF, Stuebing RB. 2005. A Field Guide to The Frog of Borneo. Sabah :
Natural History Publication
Inger RF, Stuebing RB, Lian TF. 1995. New Species and New Record of Anuras
of Borneo. Raffles Bulletin of Zoology 43(1): 115-131.
Inger RF, Lian TF, Yambun p. 2001. A New Species of Toad of the Genus
Ansonia (anura:Bufonidae) from Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology
49(1):35-37.
Iskandar DT, Setyanto DY, Liswanto D. 1998. Keanekaragaman Herpetofauna di
Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Prosiding : RPTN
Betung Kerihun 2000-2004.
Iskandar DT. 2001. The Amphibians and Reptiles of Malinau Region, Bulungan
Research Forest, East Kalimatan: Annonated checklist with notes on
ecological preferences of the species and local utilization. CIFOR. Bogor,
Indonesia.
19
[IUCN] Internastional Union for Conservation of Nature and Naturan Resources.
2013. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2013.2.
. Downloaded on 21 November 2013.
Jeffries MJ. 1997. Biodiversity and Conservation. New York: Routledge.
Krebs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. Ecological Methodology. New York: Harper dan Row
Publisher
Kusrini MD. 2003. Predicting the Impact of the Frog Leg Trade in Indonesia: An
Ecological View of the Indonesian Frog Leg Trade, Emphasizing Javanese
Edible Frog Species. Dalam: MD Kusrini, A Mardiastuti dan T Harvey
2003 Konservasi Amfibi dan Reptil di Indonesia. Bogor: Fakultas
Kehutanan IPB. Hal. 27-44.
Kusrini MD, Endarwin W, UI-Hasanah A, Yazid M. 2007. Metode Pengamatan
Herpetofauna di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi
Selatan. Modul Pelatihan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tidak
dipublikasikan.
Malkmus R, Manthey U, Vogel G, Hoffmann P, Kosuch J. 2002. Amphibians and
Reptiles of Mount Kinabalu (North Borneo). Gantner Verlag, Ruggell. 424
pp.
Mediansyah. 2008. Keanekaragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Stasiun Riset
Cabang Panti Taman Nasional Gunung Palung Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat. [Skripsi] Pontianak : Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura.
Mistar. 2003. Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor : The
Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement.
Matsui M, Mohamed M, Shimada T, Sudin A. 2007. Resurrection of Staurois
parvus from S. tuberilinguis from Borneo (Amphibia, Ranidae).
Zoological Sciences, 24, 101–106.
Nichols JD, Boulinier THE, Hines KH, Pollock, Sauer JR. 1998. Estimating Rates
of Local Species Extinction, Colonization and Turnover in Animal
Communities. Ecological Application 8(4): 1213-1225.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Bogor: Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Utama H. 2003. Studi Keanekaragaman Amfibi (Ordo Anura) di Areal PT
Intracawood Manufacturing, Kalimantan Timur. [Skripsi] Bogor : Fakultas
Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut
Pertanian Bogor.
Vallan D. 2000. Influence of Forest Fragmentation on Amphibian Diversity in the
Nature Reserve of Ambohitantely, highland Madagascar. Biol. Conserv.
96: 31–43.
van Berkel TBT, Rogers LD, Kilburn HJ, Munir M, Mortiboys DM, Goodchild R.
2012. A Premliminary Biodiversity Survey of a Lowland Rainforest in
Bukit Batikap Protection Forest, Central Kalimantan, Indonesian Boreno.
20
Murung Raya Expedition 2010-2011 Scientific Report. Heart of Borneo
Project.
Voris HK, Inger RF. 1995. Frog Abundance Along Streams in Bornean Forest.
Conservation Biology 9 (3): 679-683.
Zainudin R, Wasly L, Ali H. 2002. An Account of Anuran at Crocker Range
National Park, Sabah. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental
Conservation (ARBEC) July-September:8.
Zug GR, Win H, Thin T, Min TZ, Lhon LZ, Kyaw K. 1998. Herpetofauna of The
Chatthin Wildlife Sanctuary, North-Central Myanmar with Preliminary
Observations of Their Natural History. Hamadryad. 23(2) : 111-120.
21
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
Bufonidae
1. Ansonia albomaculata Inger, 1960
Nama Inggris : White-lipped Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan sedikit berbintil.
Berwarna sedikit terang di bagian rahang atas di
bawah mata dan terkadang hingga bahu.
Ukuran tubuh jantan 20-30 mm sedangkan
betina 30-35 mm. Kodok jenis ini diketahui
terdistribusi luas dan dapat ditemukan pada
sungai di hutan yang tidak terganggu dengan
ketinggian dibawah 900 mdpl. Jenis ini tersebar
di Brunei, Kalimantan serta Malaysia.
2. Ansonia leptopus Günther, 1872
Nama Inggris : Brown Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan berbintil serta
berwarna kecoklatan. Jantan memiliki satu
baris duri kecil berwarna jingga atau coklat di
bawah dagu. Kodok ini biasanya berwarna
coklat di bagian belakang dan atas kepala,
sedikit gelao di bagian sisi. Ukuran tubuh
jantan 30-40 mm, dan betina 45-65 mm. Jenis
ini dapat ditemukan pada dataran rendah
dengan ketinggian dibawah 600 mdpl di
Semenanjung Malaysia dan Kalimantan..
3. Ansonia longidigita Inger, 1960
Nama Inggris : Long-fingered Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dan berbintil yang
ujungnya tajam dengan ujung kreatin. Jari
kaki belakang setengah berselaput. Ukuran
tubuh jantan 35-50 mm dan betina 45-70
mm. Kodok jenis ini biasa ditemukan di anak
sungai dan sungai yang jernih. Jenis ini
tersebar di Brunei, Kalimantan serta
Malaysia.
4. Ansonia minuta Inger, 1960
Nama Inggris : Dwarf Slender Toad
Kodok jantan berukuran di 20-23 mm, dan betina 23-28 mm. Jari terluar pada kaki
depan melebar. Jari kaki belakang sepenuhnya berselaput. Jenis ini biasa
ditemukan pada sungai di dataran rendah dengan ketinggian dibawah 700 mdpl.
Jenis ini merupakan endemik Kalimantan dan tersebar di Brunei, Kalimantan serta
Malaysia.
22
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
(lanjutan)
5. Ansonia spinulifer Mocquad, 1890
Nama Inggris : Spiny Slender Toad
Kodok bertubuh ramping dengan moncong
yang menyempit di bagian mulut. Ujung jari
membulat
dengan
jaribelakang
tidak
berselaput. Seluruh permukaan tubuh bagian
atas ditutupi oleh kutil berduri berukuran
besar. Ukuran tubuh jantan 30-40 mm dan
betina 40-45 mm. Kodok ini biasa terlihat
bertengger di belukar dan tumbuhan bawah
sepanjang sungai berarus deras, jernih dan
berbatu. Tersebar di Kalimantan.
6. Pedostibes hosii Boulenger, 1892
Nama Inggris : Brown Tree Toad
Kodok puru pohon berbadan tegap dengan
tulang menonjol dari mata menyambung
sampai kelenjar paratoid, tympanum jelas,
kaki belakang panjang. Kaki depan berselaput
tipis pada bagian dasar. Ukuran tubuh jantan
53-78 mm dan betina 89-105 mm. Kodok
jenis ini hidup di atas pohon sekitar dua
sampai lima belas meter dari permukaan
tanah. Biasa hidup dalam hutan primer
dengan ketinggian di bawah 600 mdpl. Jenis ini tersebar di Sumatera, Kalimantan,
Thailand, dan Semenanjung Malaysia.
7. Pedostibes rugosus Inger, 1958
Nama Inggris : Marbeled Tree Toad
Kodok berukuran sedang dengan kulit
berkerut dan paratoid berentuk lonjong.
Tympanum terlihat jelas. Seluruh jari kaki
belakang berselaput penuh kecuali pada jari
ke empat. Berwarna hijau dengan bintik
coklat atau coklat kemerahan. Ukuran tubuh
jntan 74-77 mm dan betina 80-95 mm.
Spesies ini hanya dapat ditemukan pada hutan
primer berbukit dengan ketinggian 150-1050
mdpl di sekitr sungai berarus deras dan
berbatu. Diketahui tersebar di Malaysia dan Kalimantan.
8. Phrynoidis aspera Gravenhorst, 1829
Nama Inggris : River Toad
Kodok berukuran besar, tekstur kulit berbintik. Alur supraorbital dihubungkan
dengan kelenjar paratoid oleh alur supratimpanik.
23
Lampiran 1 Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di Kabupaten Murung Raya
(lanjutan)
Berwarna coklat tua hingga kehitaman. Jari
kaki berselaput renang penuh hingga ujung,
kecuali pada jari ke empat. Ukuran tubuh
jantan 70-100 mm, dan betina 95-140 mm.
Umum ditemukan di sungai dan anak sungai
serta hutan sampai ketinggian 1.400 mdpl.
Kodok jenis ini tersebar di Thailand,
Myanmar, Indonesia (Sumatera, Kalimanta,
Jawa dan Sulawesi).
9. Phrynoidis juxtaspera Inger, 1964
Nama Inggris : Giant River Toad
Deskripsi : Kodok berukuran besar, berbadan lebar, kepala tumpul, tidak ada
tulang tengkorak pada kepala, tympanum jelas, kelenjar paratoid memanjang dari
mata belakang, biasanya dua sampai empat kali panjang lebar kelenjar paratoid.
Ukuran tubuh jantan 90-120 mm dan betina 125-215 mm. Kodok jenis ini
menempati berbagai macam habitan hutan sekunder dan hutan primer sampai
dengan ketinggian 1.600 mdpl. Tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Megophrydae
10. Leptobrachium abbotti Cochran, 1926
Nama Inggris : Lowland Litter Frog
Katak serasah ini berasosiasi dengan serasah
dan jarang ditemukan. Berwarna coklat gelap
dengan corak berwarna gelap atau leb