Keanekaragaman Jenis Amfibi di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Amfibi merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang menghuni

habitat perairan, daratan hingga arboreal. Menurut Kusrini (2009) amfibi
merupakan salah satu biota yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian di
Indonesia meskipun keberadaannya memiliki peranan penting sebagai bagian dari
rantai makanan dan juga memiliki berbagi kegunaan bagi manusia. Amfibi
merupakan indikator yang baik untuk menilai kondisi hutan karena amfibi sangat
sensitif terhadap ekologi dan perubahan iklim (Iskandar 2001).
Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar kedua di Indonesia setelah
Irian Jaya dan sebagai pulau dengan beragam ekosistem dari pantai sampai
pegunungan, belum banyak dilakukan penelitian mengenai amfibi sehingga
informasi mengenai amfibi di pulau Kalimantan masih terbatas, baik komposisi
jenis maupun penyebarannya, kecuali di Sabah dan Sarawak yang telah diteliti
dan disurvei secara intensif oleh para ahli sejak dahulu (Zainuddin et al. 2002),
antara lain di Nanga Terkalit Sarawak (Voris & Inger 1996) dan di bagian Sabah
dan Sarawak (Inger & Stuebing 1991). Catatan mengenai keanekaragaman amfibi

antara lain bisa ditemukan dari hasil survei yang tidak dipublikasikan dalam jurnal
seperti penelitian di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (HIMAKOVA
2008), Hutan Lindung Beratus (Mistar 2008), Taman Nasional Gunung Palung
(Mediyansyah 2008), Taman Nasional Betung Kerihun (Iskandar et al. 1998) dan
HPH PT Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur (Utama 2003). Di pulau
Kalimantan kini tercatat sebanyak 141 jenis katak yang termasuk kedalam enam
famili, 88 jenis diantaranya (62,41%) merupakan jenis endemik (Inger dan Voris
2001).
Keanekaragaman jenis merupakan salah satu variabel yang berguna bagi
tujuan manajemen dalam konservasi. Perubahan dalam kekayaan jenis dapat
digunakan sebagai dasar dalam memprediksi dan mengevaluasi respon komunitas
tersebut terhadap kegiatan manajemen (Nichols et al. 1998). Menurut SK Dirjen
Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam (PHPA) No. 129 Tahun 1996, kawasan
hutan lindung merupakan salah satu bagian dari kawasan konservasi yang

2
berfungsi sebagai pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya baik di dalam maupun di luar habitatnya agar tidak punah. Kawasan
Lindung Sungai Lesan merupakan kawasan yang memiliki luas kawasan
11.342,61 ha yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tingkat

keanekaragaman mamalia dan burung sudah diketahui di kawasan ini, tetapi
keberadaan amfibi di kawasan ini belum diketahui tingkat keanekaragaman
jenisnya dikarenakan di kawasan ini belum pernah dilakukan penelitian amfibi.
Penelitian tentang keanekaragaman amfibi di kawasan lindung Sungai Lesan
perlu dilakukan agar dapat mengetahui tingkat keanekaragaman yang dapat
digunakan sebagai data informasi bagi pengelola Kawasan Lindung Sungai Lesan.
1.2

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.

Menentukan tingkat keanekaragaman jenis amfibi di Kawasan Lindung
Sungai Lesan.

2.

Membandingkan komposisi jenis di setiap plot pengamatan di Kawasan
Lindung Sungai Lesan.


1.3

Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian keanekaragaman amfibi adalah

untuk melengkapi data dan informasi jenis amfibi di kawasan lindung Sungai
Lesan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi
badan pengelola untuk dapat mengelola kawasan lindung khususnya pengelolaan
satwa liar.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Taksonomi
Katak dengan warna kulitnya, cara hidup, hingga bentuknya yang


beranekaragam menjadi daya tarik tersendiri. Hampir semua orang mengenal
katak atau kodok, terutama karena ekologinya yang khas yaitu mengalami
metamorfosis. Akan tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa katak
(anura) bukan satu-satunya amfibi. Selain katak (anura) masih ada bangsa Caudata
atau salamander yang tidak dijumpai di Indonesia dan bangsa Gymnophiona atau
sesilia yang berbentuk menyerupai cacing (Kusrini 2009). Amfibi merupakan
vertebrata pertama yang beralih dari darat ke air. Diketahui bahwa jenis amfibi
pertama yang beralih dari darat ke air adalah Ichthyostega dan Acanthostega
(Cogger & Zweifel 2003). Amfibi menghuni habitat yang sangat bervariasi, dari
tergenang di bawah permukaan air sampai yang hidup di puncak pohon yang
tinggi (Iskandar 1998). Menurut Cogger (1999) amfibi terbagi menjadi tiga
bangsa atau kelompok besar yaitu salamander (Caudata), sesilia (Gymnophiona),
dan katak (Anura).
Bangsa Caudata atau salamander merupakan satu-satunya bangsa yang tidak
terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Daerah terdekat
yang dihuni salamander adalah Vietnam Utara dan Thailand Utara. Ordo
Gymnophiona atau yang lebih dikenal dengan sebutan sesilia merupakan satwa
yang dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya di alam. Jumlah jenis
dari ordo ini adalah sebanyak 170 jenis dari seluruh jenis amfibi. Ichthyophiidae
merupakan salah satu famili yang terdapat di Asia Tenggara. Tidak semua ordo

dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia (Iskandar 1998). Caudata merupakan
satu-satunya ordo dari Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura
terdiri dari katak dan kodok. Menurut laporan IUCN (2008) saat ini terdapat lebih
dari 6.260 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 363 jenis.
Di Indonesia terdapat sepuluh famili dari Ordo Anura yang ada di dunia.
Famili-famili tersebut adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae
(Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Microhylidae,
Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).

4

2.2

Ekologi
Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air karena air dapat menjaga

perubahan temperatur pada tubuhnya sehingga amfibi selalu berada dekat dengan
air (Iskandar 1998). Menurut Hofrichter (2000) jumlah air dalam tubuh kira – kira
70 – 80% dari berat tubuh amfibi. Ada beberapa jenis amfibi yang tinggal tidak
dekat dengan air, sehingga mereka menggunakan berbagai strategi untuk

mempertahankan air di dalam tubuhnya.
Amfibi bernafas dengan meggunakan paru-paru, sedangkan pada berudu
(amfibi muda) umumnya bernafas dengan menggunakan insang. Pada saat
metamorfosis, terjadi perubahan morfologis dimana berudu yang berbentuk ikan
dan bernapas dengan meggunakan insang berubah menjadi vertebrata bertungkai
dan bernafas dengan paru-paru. Menurut Mistar (2003) air merupakan keharusan
dalam fase berudu dan fase berudu merupakan bagian dari proses evolusi pada
amfibi yang paling komplek, dan apabila gagal dalam fase ini maka selamanya
tidak akan pernah menjadi katak atau kodok.
Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa
spesies seluruh hidupnya tidak bisa lepas dari air (Iskandar 1998). Sekitar 70
sampai 80% dari berat tubuhya adalah air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan
kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan pada kulitnya
(Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan
selain paru-paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000). Amfibi merupakan
spesies yang menghabiskan siklus hidupnya dalam habitat riparian dan
memanfaatkan sungai untuk berkembangbiak dan perkembangan larva (Inger &
Vorris 1993).
Amfibi merupakan satwa poikilotherm atau ektotermik yang berarti amfibi
tidak dapat menggunakan proses metabolisme di dalam tubuhnya untuk dijadikan

sebagai sumber panas, tetapi amfibi memperoleh sumber panas dari lingkungan
untuk mendapatkan energi. Oleh karena itu amfibi mempunyai ketergantungan
yang tinggi terhadap kondisi lingkungan (Mistar 2003).
Untuk mempertahakan diri dari pemangsa dan penyakit, amfibi mempunyai
berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri. Menurut Iskandar (1998) cara amfibi
untuk mempertahankan diri dari bahaya antara lain:

5

1.

Mengandalkan kaki belakang untuk melompat dan menghindar

2.

Berkamuflase dengan lingkungan untuk menghindari predator

3.

Mengeluarkan racun dari kulitnya.

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar

anura melompat untuk melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki
yang relatif pendek memiliki strategi dengan cara menyamarkan

warnanya

menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa jenis
anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae
(Iskandar 1998).
2.3

Habitat
Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada daerah pemukiman manusia,

pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air yang
mengalir, hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Menurut Mistar (2003)
habitat utama amfibi adalah hutan primer, hutan rawa, sungai besar, sungai
sedang, anak sungai, serta kolam dan danau. Amfibi mempunyai habitat yang
sangat bervariasi, dari genangan di bawah permukaan air sampai yang hidup di

puncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis hidup di kawasan berhutan dan ada
juga hidup di sekitar sungai dan tidak pernah meninggalkan sungai. Tidak ada
jenis katak yang tahan terhadap air asin atau air payau, kecuali pada dua jenis
katak, salah satunya adalah Fejervarya cancrivora atau katak sawah, jenis katak
yang sangat dekat hubungannnya dengan kegiatan manusia (Iskandar 1998).
Mistar (2003) mengelompokkan amfibi menjadi empat menurut tipe habitat
dan kebiasaan hidupnya, yaitu:
1.

Terestrial-hidup di atas permukaan tanah, diantaranya Megophrys nasuta, M.
montana, M. aceras, Bufo quadriporcatus, B. parvus, Pedostibes hosii,
Kalophrynus pleurostigma, K. punctatus, Rhacophorus sp, Philautus.

2.

Arboreal-kelompok yang hidup di atas pohon yang diwakili oleh famili:
Rhacophoridae, dua spesies family Microhylidae dan satu spesies katak puru
pohon Pedostibes hosii.

6


3.

Akuatik-kelompok amfibi yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar
sungai atau air diantaranya Bufo asper, B. juxtasper, Occidozyga sumatrana,
Rana kampeni, R. sigana; Limnonectes spp.

4.

Fossorial-kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah yamg diwakili
oleh family Microhylidae.

2.4

Penyebaran dan Keanekaragaman Amfibi di Kalimantan
Amfibi dapat hidup di berbagai tipe habitat mulai dari hutan pantai, hutan

dataran rendah hingga hutan pegunungan yang esktrim, kecuali daerah kutub dan
gurun (Mistar 2003). Ordo Gymnophiona terdapat di wilayah tropis dan subtropis
(Nussbaum 1998). Di Indonesia Ordo Gymnophiona dapat ditemukan di Pulau

Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Ordo Caudata tidak ditemukan di Indonesia,
tetapi daerah terdekat yang dapat ditemukan ordo ini adalah Vietnam Utara dan
Thailand Utara (Iskandar 1998).
Borneo adalah nama Kalimantan secara keseluruhan yang merupakan
pelabuhan keanekaragaman hayati endemik termasuk didalamnya amfibi dan
reptil. Menurut Mistar (2008) terdapat 100 jenis amfibi endemik yang terdapat di
Kalimantan.

Salah

satu

jenis

endemik

Kalimantan

yaitu

Borbourula

kalimantanensis yang merupakan katak yang tidak mempunyai paru-paru
(Bickford et al. 2008).
Ordo anura terdapat diseluruh Indonesia dari Sumatera sampai Papua
(Iskandar 1998). Amfibi yang ditemukan di Kalimantan terdiri atas Ichtyophidae,
Bufonidae, Megophryidae, Microhylidae, Ranidae, Rhacophoridae. Menurut Inger
& Voris (2001) tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan Kalimantan lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat kesamaan jenis katak di Jawa dengan
Sumatera. Katak yang terdapat di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan
dan Jawa berasal dari wilayah gugusan Sunda Besar.
Di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya ditemukan 29 jenis yang
termasuk dalam enam famili, yakni: Ichtyophidae, Bufonidae, Megophryidae,
Microhylidae, Ranidae, dan Rhacophoridae (HIMAKOVA 2008). Mediyansyah
(2008) menemukan 25 jenis amfibi di Gunung Palung Kabupaten Ketapang,
sedangkan Mediyansyah dan Rachman (2010) menemukan 30 jenis amfibi dari 6

7

famili di Gunung Palung Kabupaten Ketapang. Mistar (2008) menemukan 37
jenis amfibi dari 6 famili di hutan lindung Beratus dan 20 jenis amfibi yang
ditemukan di areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma (Mistar 2008). Di areal HPH PT
Intracawood Manufacturing ditemukan 27 jenis amfibi dari 5 famili (Utama 2003)
dan Iskandar et al. (1998) menemukan 55 jenis amfibi (termasuk satu jenis yang
tidak umum, Ichthyopis sp) yang termasuk kedalam 6 famili di Taman Nasional
Betung Kerihun.
2.5

Konservasi Katak di Kalimantan
Pulau Kalimantan merupakan pulau yang sangat besar, kira-kira 1200 km

dari Utara ke Selatan dan dari Timur ke Barat dengan variasi topografi yang besar
dan elevasi maksimum 4100 m (Inger 2003), belum banyak dilakukan penelitian
mengenai amfibi, padahal banyak jenis baru yang mungkin ditemukan. Konsumsi
katak oleh manusia dalam beberapa kasus jarang menimbulkan masalah jika
dibandingkan dengan perubahan habitat. Salah satu jenis asli penghuni hutan yang
mungkin dapat terpengaruh oleh perubahan yaitu Limnonectes leporinus karena
jenis ini lambat perkembangbiakannya (Inger & Stuebing 1997).
Menurut Veith et al. (2004) keanekaragaman amfibi yang tinggi di
Kalimantan dijelaskan oleh beberapa faktor: (i) Borneo terletak di khatulistiwa
yang memiliki daerah tropis yang lembab. (ii) Borneo berulang kali terhubung dan
terputus dari daratan dan pulau-pulau lainnya. (iii) Tingkat endemik yang tinggi
(misal, 25% ular, 45% kadal, dan 65% katak). Kesamaan jenis antara amfibi
melayu dan amfibi sumatera jauh lebih besar daripada amfibi Borneo (Inger &
Vorris 2001).
Ancaman utama keanekaragaman hayati saat ini adalah hilangnya habitat,
fragmentasi habitat dan penangkapan atau perburuan terhadap keanekaragaman
yang tidak sesuai dengan tingkat pengembaliannya (Primack et al. 1998). Dengan
semakin meningkatnya kerusakan habitat amfibi dan perburuan amfibi untuk
dibudidayakan dan di konsumsi manusia, dikhawatirkan jumlah spesies amfibi
akan semakin menurun serta proses kepunahan akan berjalan cepat.

8

2.6

Status Amfibi di Dunia
Tahun 2008 IUCN melaporkan hasil analisis 650 pakar amfibi dari 60

negara terhadap status amfibi. Data dari hasil studi itu menjadi dasar untuk
konservasi amfibi global dan digunakan untuk merancang menyelamatkan amfibi
dari penurunan populasi. Hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan:
1. Hampir sepertiga (32%) spesies amfibi di dunia terancam punah, 43%
tidak terancam, dan 25% memiliki data yang cukup untuk menentukan
status ancamannya.
2. Sebanyak 159 spesies amfibi mungkin sudah punah, setidaknya 38 spesies
yang diketahui punah, salah satunya punah di alam, sedangkan 120 spesies
lainnya belum ditemukan dalam beberapa tahun terakhir dan kemungkinan
punah.
3. Setidaknya 42% dari semua spesies mengalami penurunan populasi dan
kurang dari satu persen spesies menunjukkan peningkatan populasi.
4. Jumlah spesies terancam terbesar terjadi di negara Amerika Latin seperti
Kolombia (214), Meksiko (211), dan Ekuador (171). Namun, tingkat
ancaman tertinggi berada di Kribia dimana lebih dari 80% spesies amfibi
terancam punah.
Jumlah jenis amfibi yang diketahui di dunia mengalami perubahan seiring
dengan makin banyaknya penelitian. Laporan IUCN tahun 2008 menyatakan
pada tahun 2004 terdapat 5.743 spesies amfibi di dunia dan pada tahun 2006
meningkat menjadi 5.918 serta tahun 2008 sampai sekarang terdapat 6.260 spesies
amfibi. Tidak semua spesies tambahan merupakan spesies baru, tetapi beberapa
spesies merupakan subspesies yang dijadikan spesies.

9

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1

Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Lindung Sungai Lesan. Pengambilan

data dilakukan pada tanggal 31 Juli sampai 19 Agustus 2010 di Kawasan Lindung
Sungai Lesan, Kalimantan Timur (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Kawasan lindung Sungai Lesan.
3.2

Alat dan Bahan
Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman amfibi di

kawasan lidung Sungai Lesan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan
pada Tabel 1.

10

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
No. Alat
A. Pembuatan transek pengamatan
1.
Meteran (50m)
2.
Kompas
3.
Alat GPS
4.
Tali rafia
5.
Peta
B. Pengumpulan spesimen
1.
Headlamp dan baterai
2.
Kantong spesimen
3.
Spidol permanen
4.
Jam tangan/stop watch
5.
Alat tulis
6.
Buku panduan identifikasi jenis amfibi
7.
Kaliper
8.
Timbangan/neraca pegas (5, 10, 100, 250 gr)
9.
Tabung sampel
10.
Kapas
11.
Alat suntik
12.
Kertas label dan benang
13.
Kaca pembesar
C. Pengukuran faktor lingkungan
1.
Termometer
2.
Higrometer
3.
pH meter
D. Alat Dokumentasi
1.
Kamera, film dan baterai

Penggunaan
Pengukuran panjang transek
Pengukuran arah transek
Pembuatan transek dan titik lokasi
Penandaan transek pengamatan
Penentuan lokasi pembuatan transek
Alat penerang survey malam
Tempat pengumpulan spesimen sementara
Penulisan label
Pengukur waktu
Pencatatan data lapangan
identifikasi jenis amfibi
Pengukuran panjang tubuh amfibi (SVL)
Pengukuran berat tubuh amfibi
Tempat penyimpanan spesimen
Pembuatan spesimen
Pengawetan spesimen
Label spesimen
Pengamatan ciri amfibi
Pengukuran suhu udara dan air
Pengukuran kelembaban udara
Pengukuran kemasaman air
Pengambilan foto

Bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol
70% yang digunakan untuk pengawetan spesimen.
3.3

Pengumpualan Data

3.3.1

Jenis data yang dikumpulkan
Adapun jenis-jenis data yang dikumpulkan yaitu :

1. Data satwa amfibi, meliputi : jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran
snout-vent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka tiap
jenis, waktu saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa di lingkungan
habitatnya.

Gambar 2 Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hitam : a - b).

11

2. Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), meliputi: tanggal
dan waktu pengambilan data, nama lokasi, substrat/lingkungan tempat
ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, posisi horisontal terhadap badan
air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara, suhu air,
kelembaban udara dan pH air.
3. Data sekunder yang diperlukan adalah informasi tentang amfibi yang
pernah ditemukan dan studi literatur tentang amfibi pada habitatnya.
Selain itu, curah hujan dan iklim dari stasiun klimatologi setempat juga
diperlukan untuk menunjang data habitat.
3.3.2 Teknik pengumpulan data
Metode yang digunakan dalam pengambilan data keanekaragaman amfibi
yaitu Survei Penjumpaan Visual (Visual Encounter Survey) (Heyer et al. 1994)
dan time search selama 2 jam. Teknik pelaksanaan metode di lapangan yaitu :
1) Orientasi lapangan dan penjelajahan sebagai langkah awal. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap
lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi.
2) Penetapan lokasi survei. Setiap plot pengamatan dibuat dua jalur yaitu
akuatik dan terestrial kemudian dilakukan dua kali ulangan untuk setiap
jalurnya. Jalur pengamatan (akuatik & terestrial) dibuat lurus sepanjang
±400 meter, dan menandai jalur untuk setiap 10 m. Sedangkan lebar jalur
dibuat sejauh 5 m pada kanan dan kiri jalur, hal ini dilakukan untuk
mempermudah pencarian. Untuk metode time search dilakukan pencarian
selama 2 jam tidak tergantung pada panjang dan lebar jalur.
3) Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi
jalur pengamatan pada malam hari selama dua kali ulangan untuk setiap
jalur. Pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 19.00-22.00.
Pencarian amfibi dilakukan dengan bantuan senter. Pengamatan dimulai
saat di titik nol pada jalur dan difokuskan pada tempat-tempat yang
diperkirakan menjadi sarang atau tempat persembunyian amfibi, seperti
ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah –
celah batu, di lubang bawah tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di
tepi sungai. Setiap individu amfibi yang terlihat akan ditangkap lalu

12

dimasukan ke dalam kantong plastik untuk kemudian dicatat waktu
ditemukan, aktivitas/perilaku, posisi horizontal dan vertikal, tipe subtrat,
dan informasi lain (Heyer et al. 1994).
4) Pengawetan spesimen amfibi yang belum teridentifikasi. Jenis-jenis yang
sudah diketahui namanya dilepas kembali ke habitat semula. Sementara
untuk jenis-jenis yang belum teridentifikasi dibuat spesimen. Amfibi yang
diawetkan hanya diambil maksimal dua individu untuk setiap jenis.
Sementara

untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya

diambil gambarnya secara menyeluruh. Tata cara preservasi yaitu :
- Terlebih dahulu identifikasi terhadap ciri umum dan ambil gambar pada
saat spesimen masih hidup. Lalu menyiapkan alat dan bahan preservasi.
- Sebelum dimatikan, spesimen dibuat pingsan dengan cara memasukan
ke dalam air yang sudah dicampur dengan MS222. Setelah itu, amfibi
dimatikan dengan cara menyuntik amfibi dengan alkohol 70% dibagian
bawah tengkorak.
- Setelah mati, spesimen disuntik dengan alkohol 70% ke dalam bagian
tubuh seperti perut, femur, tibia, tarsus dan bisep.
- Sebelum spesimen kaku, mulut spesimen dimasukan kapas untuk
memudahkan identifikasi dan diberi kertas label yang berisi keterangan
spesimen tesebut.
- Untuk sementara spesimen tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang
telah beralaskan kapas yang sudah dibasahi alkohol 70%. Bentuk
spesimen diatur supaya mudah untuk keperluan identifikasi.
- Spesimen kemudian dipindahkan ke dalam botol yang berisi alkohol
70% sampai terendam.
5). Setelah spesimen dipreservasi kemudian akan diidentifikasi. Identifikasi
jenis amfibi dengan menggunakan buku

panduan identifikasi amfibi

“Frogs of Borneo” (Inger & Stuebing, 1997) dan buku panduan lapangan
amfibi & reptil di areal Mawas Provinsi Kalimantan Tengah (Mistar
2008) dengan penamaan spesies mengikuti Iskandar dan Colijn (2000).
Jenis anura yang ditemukan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
anura seperti: anura terestrial, akuatik dan arboreal. Pengelompokan jenis

13

anura ini berdasarkan hasil temuan di lapangan serta studi literatur yang
menggunakan literatur Inger & Stuebing (1997). Adapun data habitat
yang diambil berupa data suhu dan kelembaban hanya diambil di satu
titik lokasi karena posisi lokasi yang dekat sehingga diasumsikan bahwa
mempunyai nilai suhu dan kelembaban yang sama, hal ini dinyatakan
oleh Handoko (1995) bahwa suhu di permukaan bumi akan berubah dan
makin rendah dengan bertambahnya lintang. Suhu, kelembaban serta
cuaca diambil setiap kali kegiatan pengamatan dilakukan. Komponen
habitat yang diamati meliputi kondisi cuaca, suhu udara, kelembaban
udara, suhu air, pH air, rata-rata lebar badan air, rata-rata kedalaman
badan air, substrat dasar perairan, jenis dan komposisi vegetasi
3.4. Analisis Data
1. Keanekaragaman jenis amfibi
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener
(Brower & Zar 1997). Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan
kenekaragaman amfibi berdasarkan habitatnya.

H'  

ni

ni

 N  ln N

Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu seluruh jenis
2. Kemerataan jenis amfibi
Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis
pada lokasi penelitian (Bower & Zar 1977).
E

H'
lnS

Keterangan:
E = Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan

14
3. Frekuensi jenis
Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dapat dihitung untuk mengetahui jenis yang
paling sering ditemukan di lokasi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Frekuensi Jenis 

Jumlah plot ditemukan jenis
Jumlah total plot pengamatan

15

BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1

Letak Kawasan Lindung Sungai Lesan
Kawasan lindung Sungai Lesan terletak di Kecamatan Kelai Kabupaten

Berau Kalimantan Timur dalam koordinat antara 01032’20,26”-01040’29,67”
Lintang Utara dan antara 117003’58,19”-117011’13,47” Bujur Timur, dengan
luasan 12.192 ha, kawasan tersebut terbagi dalam wilayah administrasi empat
kampung yaitu Lesan Dayak, Muara Lesan, Sidobangen, dan Merapun. Kawasan
Lindung Sungai Lesan sebelah Utara berbatasan dengan Sidobangen, sebelah
Timur dengan Lesan Dayak dan Muara Lesan; sebelah Selatan berbatasan dengan
kampung Merapun dan sebelah Barat berbatasan dengan HPH PT. Mardhika Insan
Mulia dan PT. Karya Lestari (PEMDA Berau 2005).
Menurut surat rekomendasi Gubernur Kalimantan Timur No. 521/9038/EK
tanggal 10 November 2005 tentang perubahan kawasan yang ditujukan kepada
menteri Kehutanan, luasan kawasan yang direkomendasikan mencapai 11.342,61
ha dari luasan 12.192 ha yang diusulkan oleh bupati Berau. Berkurangnya luasan
kawasan tersebut disebabkan adanya kajian ulang Dinas Kehutanan Provinsi
Kalimantan Timur yang menemukan bahwa sebagian wilayah Kawasan Lesan
yang semula diusulkan merupakan wilayah IUPHHKT PT. Belantara Pusaka.
4.2

Kondisi Iklim
Stasiun iklim terdekat yang ada diwilayah ini terletak di desa Merasa dan

stasiun iklim camp 37 PT. Inhutani I Labanan (berjarak sekitar 30 km dari
kawasan lindung Sungai Lesan), serta stasiun iklim Kalimarau (berjarak kurang
lebih 130 km dari kawasan lindung Sungai Lesan). Rata-rata curah hujan tahunan
selama 30 tahun pencatatan (1971-2000) mencapai 2.012 mm dengan distribusi
yang relatif merata sepanjang tahun yaitu tidak mempunyai bulan kering (curah
hujan bulanan 200 mm) terjadi
pada bulan November, Desamber, Januari, dan Maret sedangkan sisanya
merupakan bulan lembab (curah hujan antara 100-200 mm per bulan). Curah
hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Juli sampai September. Rata-rata

16

jumlah hari hujan pertahun mencapai 161 hari atau rata-rata tiap bulan terjadi 13
hari hujan. Jumlah hari hujan dibawah rata-rata biasanya terjadi pada bulan Mei
sampai September (PEMDA Berau 2005).
4.3

Kondisi Hidrologi
Kawasan lindung Sungai Lesan diapit oleh dua sungai yaitu sungai Kelai di

bagian Utara dan Sungai Lesan di bagian Timur. Sungai Kelai merupakan salah
satu dari dua sungai utama di Kabupaten Berau, dengan lebar kurang lebih 120 m
dan debit air yang stabil sepanjang tahun. Sungai Lesan dengan lebar 30 m adalah
salah satu sungai yang memberi kontribusi kepada sungai Kelai atau DAS Sungai
Lesan merupakan sub DAS Kelai (bagian Utara). Dalam kawasan juga terdapat
beberapa sub DAS yang lain yaitu sub DAS Sungai Lesan dan sub DAS sungai
Leja’ (PEMDA Berau 2005).
4.4

Topografi
Dari hasil identifikasi melalui sistem informasi data Demographic Elevation

Model (DEM), data-data kontur, data-data RepPProt dan yang lainnya serta
pengecekan lapangan, diperoleh informasi tentang kelas lereng dan keadaan
topografi kawasan Lesan. Data dari RePPProt tahun 1987 menunjukkan bahwa
10.664 ha atau sekitar 87% areal pada kawasan ini memiliki kelas kemiringan
lereng (slope) lebih dari 40%. Kemiringan lahan sangat ekstrim di kawasan Lesan
ini menjadi indikator tingkat bahaya erosi sangat berat dan sudah seharusnya
dijadikan hutan lindung (PEMDA Berau 2005).
4.5

Kondisi Penutupan Lahan
Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat dan hasil cek lapangan tim survei

Berau Forest Management Project (BFMP) tahun 1999-2000 diketahui kondisi
hutan kawasan ini masih sangat baik (85% hutan bekas tebangan sehat). Kondisi
hutan semakin baik karena selama 2000-2007 tidak ada aktifitas yang cukup berat
di kawasan ini selain pengambilan hasil hutan non kayu atau non timber forest
product (NTFP) dan perburuan terbatas oleh masyarakat sekitar. Kawasan hutan
lindung Sungai Lesan terdiri dari hutan bekas tebangan yang masih sehat, hutan

17

bekas tebangan sangat terganggu, hutan tanaman industri dengan komoditi
tanaman karet, alang-alang dan belukar (PEMDA Berau 2005).
4.6

Tingkat Bahaya Erosi
Dari survei tingkat bahaya erosi diketahui kawasan lindung Sungai Lesan

mempunyai tingkat bahaya erosi ringan sampai berat. Mengacu pada kriteria
bahaya erosi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh RLKT Departemen
Kehutanan 1994, kawasan lindung Sungai Lesan termasuk dalam tingkat bahaya
erosi sedang sampai tinggi. Dengan tingginya nilai erosi di dalam kawasan sangat
berat cocok dengan kriteria kelas bahaya erosi untuk hutan lindung dan penyangga
yaitu kelas IV-V atau nilai erosi antara 60-180 ton/ha/thn dan diatas 180
ton/ha/thn (PEMDA Berau 2005).
4.7

Keanekaragaman Flora dan Fauna
Hutan Sungai Lesan sebagian besar merupakan hutan sekunder. Tercatat ada

45 jenis pohon pakan primata dan sarang Orangutan (Nardiyono 2007). Adapun
jenis-jenis pohon yang ditemukan pada kawasan ini adalah jenis pohon jambujambu, kayu kacang, resak, kayu arang, kecundai, majau, meranti merah, ulin,
kapur, keranji, medang, kenari, rengas, meranti pandan, pasang, meranti kuning,
empilung, mata kucing, mersawa, bengkal, nyatoh, meranti putih, semangkok,
terap, sengkuang, penjalin, dan marsolo dan berbagai jeis pohon buah-buahan.
Sebagian dari jenis kayu yang ditemui sangat cocok bagi sarang dan pakan
Orangutan.
Keanekaragaman satwa yang ada di kawasan Sungai Lesan sangat tinggi.
Menurut Nardiyono (2007) beberapa jenis satwa yang berhasil diobservasi,
tercatat ada 52 jenis mamalia (18 jenis kelelawar), 118 jenis burung, 12 amfibi
dan lima jenis reptil. Dari data survei yang dilakukan The Nature Conservancy
(TNC) beberapa jenis amfibi yang ditemukan seperti Pedostibes hosii, Ansonia sp,
Limnonectes leporinus, Polypedates otilophus dan Limnonectes kuhlii, sedangkan
tujuh jenis lainnya belum teridentifikasi yang terdiri dari famili Bufonidae,
Megophryidae, Ranidae dan Rhacophoridae.

18

4.8

Sosial Budaya
Kampung Lesan Dayak dan transmigrasi Sidobangen merupakan kampung

terdekat dari kawasan lindung Sungai Lesan. Penduduk kampung di Sungai Lesan
terdiri dari masyarakat asli Dayak Lebo (kampung Merapun), Dayak Gaai
(Kampung Lesan Dayak), suku Berau/Benuag (Kampung Muara Lesan), dan
kampung transmigrasi Sidobangen yang memiliki penduduk dari 14 suku bangsa
di Indonesia. Mayoritas penduduk kampung Merapun dan Lesan Dayak beragama
Kristen, sedangkan muara Lesan dan Sidobangen beragam Islam (Bina Swadaya
2006).
Mata pencaharian mayarakat secara umum adalah berladang dan berkebun.
Hasil dari perladangan lebih banyak digunakan utuk kebutuhan sendiri
(subsistem). Uang tunai diperoleh dengan memungut dari alam. Kampung
merekapun memilki kekayaan berupa gua-gua karst (limestone) yang dihuni oleh
burung Wallet (Colocallia sp.). Kampung Lesan Dayak mendapatkan uang tunai
selain dari perkebunan (palawija) juga dari menjual hasil buruan.
Kampung Sidobangen memiliki pertanian dan perkebunan yang relatif lebih
maju, mendapatkan uang tunai dari bertani dan hasil kebun kakao dan karet.
Kampung Muara Lesan juga mengandalkan hasil berkebun, gaji pegawai dan
karyawan perusahaan serta hasil hutan berupa kayu dan non kayu. Masyarakat
kampung yang berada di sekitar kawasan pada umumnya berburu untuk
mendapatkan sumber protein hewani, dan memetik buah di hutan setiap musim
buah. Masyarakat memanfaatkan Kawasan Lesan untuk mendapatkan berbagai
keperluan seperti madu, gaharu, rotan, damar, klepiai (sejenis damar), daun pinus
(palem), dan berburu. Kekayaan alam masih menjadi sumber utama kehidupan
masyarakat di Sungai Lesan, menurunnya fungsi sumberdaya alam utamanya
hutan dan sungai akan berakibat hilangnya sumber penghidupan
(Bina Swadaya 2006).

masyarakat

19

4.9

Kondisi Setiap Plot Pengamatan yang Diteliti
Plot pengamatan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tiga plot yaitu

anak Sungai Lejak, Sungai Lejak dan Sungai Lesan. Setiap lokasi dibagi menjadi
dua jalur pengamatan yaitu akuatik dan terestrial.
4.9.1

Anak sungai Lejak
Plot pengamatan pertama yaitu anak Sungai Lejak. Jalur terestrial pada plot

ini merupakan bekas jalur pengamatan orangutan yang sudah lama dibuat dan
memiliki karakteristik berupa hutan yang memiliki tutupan kanopi yang rapat,
sedikit alang dan semak dengan ketebalan serasah mencapai 10 cm dan
didominasi tumbuhan ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada jalur ini dijumpai
kubangan yang memotong dua aliran air berupa sungai yang kecil yang
berlumpur, tipe jalur berbukit dan sedikit dijumpai tumbuhan besar yang tumbang
dan lapuk yang merupakan mikrohabitat bagi satwa tertentu.

Gambar 3 Jalur terestrial Anak sungai Lejak dan kubangan dalam jalur
Jalur akuatik pada plot ini berupa sungai kecil beraliran tenang, dangkal dan
jernih dengan dasar sungai berupa bebatuan kecil, namun pada bagian sungai yang
lebih dalam, dasar sungai berisikan serasah, pasir dan bebatuan yang lebih besar
dan kedalaman akan bertambah setiap habis hujan serta disekitar sungai banyak
terdapat serasah. Tingkat kedalaman semakin tinggi pada setiap tikungan. Suhu
air pada saat pengamatan yaitu 25° C dengan kelembapan 87,5 % dan pH 7. Lebar
rata-rata sungai 3 m dengan kedalaman hanya 20 cm pada saat cerah. Plot ini
memiliki karakteristik berupa sungai yang mengalir sepanjang tahun yang

20

disekitar sungai banyak didominasi oleh tumbuhan bintangur (Calophyllum
inophyllum) dengan tinggi rata-rata 1 m.

Gambar 4 Jalur akuatik Anak sungai Lejak
4.9.2

Sungai Lejak
Plot pengamatan kedua yaitu Sungai Lejak. Pada plot ini Jalur akuatiknya

merupakan sungai yang alirannya berasal dari lokasi pertama dengan karakteristik
yang berbeda. Lokasi ini memiliki aliran air yang lebih tenang dan badan sungai
yang lebih lebar dibandingkan plot pertama.
Jalur terestrial pada plot ini merupakan jalur yang baru dibuat berbeda
dengan jalur terestrial pada plot pertama. Di luar jalur ini terdapat sungai berarus
tenang dengan air berwarna gelap bercampur dengan lumpur. Jalur ini berupa
berupa hutan dengan tutupan kanopi rapat yang didominasi tumbuhan tingkat
semai dan pancang dari jenis meranti (Shorea sp.). Terdapat dua aliran sungai
yang masih mengalir dan satu bekas aliran air, serta kontur jalur yang berbukit
dan bersemak cukup rapat. Ketebalan serasah mencapai 10 cm dan banyak
ditemukan pohon tumbang. Banyak dijumpai pohon dengan banir besar yang
dijadikan tempat berlindung.

21

Gambar 5 Jalur terestrial Sungai Lejak
Jalur akuatik pada plot ini merupakan induk dari jalur akuatik plot pertama.
Jalur ini merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun yang disekitar sungai
didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dengan tinggi rata-rata 1 m, namun
banyak juga dijumpai pandan-pandanan dibagian tepi sungai. Rata-rata lebar
sungai pada plot ini sebesar 10 m. Sungai ini memiliki tiga cabang sungai kecil di
sepanjang jalur. Arus sungai pada plot ini sangat tenang tetapi ada juga yang
berarus deras. Sungai ini berwarna keruh dan banyak ditemukan pohon tumbang
disekitar pinggir sungai. Substrat dasar sungai didominasi oleh pasir dan serasah
namun pada beberapa titik didominasi oleh bebatuan besar. Suhu air pada saat
pengamatan yaitu 24° C dengan kelembapan 80 % dan pH 8.

Gambar 6 Jalur akuatik sungai Lejak

22

4.9.3

Sungai Lesan
Plot pengamatan ketiga yaitu Sungai Lesan. Sungai Lesan merupakan satu-

satunya sungai yang dilewati untuk menuju ke kawasan lindung Sungai Lesan.
Jalur akuatik yang digunakan adalah anak sungai yang mengalir langsung ke
Sungai Lesan.
Jalur terestrial pertama pada plot ini merupakan jalur yang dilalui untuk
menuju plot pertama dan plot kedua. Jalur ini berupa hutan yang memiliki tutupan
kanopi cukup rapat dengan kontur jalur yang berbukit dan ditemukan satu
kubangan yang sudah kering serta melewati satu aliran sungai kecil. Tegakan
dominan berupa tumbuhan tingkat pancang dan rapat dengan ketebalan serasah
lebih dari 10 cm.

Gambar 7 Jalur terestrial pertama sungai Lesan dan kubangan dipinggir jalur
Jalur terestrial kedua pada plot ini merupakan jalur utama masuk lokasi
Lesan, plot ini merupakan jalur yang paling berbeda dari plot lainnya karena jalur
pengamatannya sudah dibangun jalan yang permanen dan di sepanjang jalur
terdapat bangunan rumah sehingga kondisi habitatnya sudah tidak alami lagi. Plot
ini diambil sebagai pembanding tingkat keanekaragaman terhadap plot lainnya.
plot ini merupakan hutan dengan tutupan kanopi yang rapat namun dengan
vegetasi dominan tingkat pohon.

23

Gambar 8 Jalur terestrial kedua sungai Lesan
Jalur akuatik pada plot ini merupakan sungai kecil yang mengalir sepanjang
tahun yang disekitar sungai didominasi oleh tumbuhan jambu-jambuan dan rotan
(Daemonorops sp.). Sungai berarus tenang dan banyak dijumpai genangan namun
terdapat arus yang cukup deras pada beberapa titik. Aliran sungai ini langsung
mengalir ke Sungai Lesan dimana sungai ini merupakan sungai terbesar di
Kawasan Lindung Sungai Lesan. Dasar sungai ini berpasir dan berserasah dengan
tutupan kanopi yang cukup rapat dan semak yang lebat sehingga hanya terdapat
sedikit celah matahari masuk, yang mengakibatkan plot ini lebih lembab
dibanding lokasi lainnya.

Gambar 9 Jalur akuatik sungai Lesan

24

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
5.1.1

Hasil Penelitian
Keanekaragaman jenis Anura
Jumlah jenis amfibi yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian

di kawasan lindung Sungai Lesan yaitu 31 jenis dari lima famili dimana 22 jenis
dijumpai dalam plot pengamatan dan sembilan jenis di luar plot pengamatan.
Jumlah jenis dari masing-masing famili antara lain famili Bufonidae (5 jenis),
famili Megophryidae (4 jenis), famili Microhylidae (3 jenis), famili Ranidae (11
jenis), dan famili Rhacophoridae (8 jenis). Ordo Gymnophiona tidak ditemukan
selama pengamatan. Sebanyak 12 (38%) jenis katak yang ditemukan merupakan
katak endemik Borneo. Secara umum, total jenis yang ditemukan pada
pengamatan akuatik (22 jenis) lebih tinggi dibandingkan pada pengamatan
terestrial (16 jenis). Status katak yang ditemukan di lokasi penelitian menurut
IUCN terbagi 2 status yaitu Near Threatened (NT) dan Least Concern (LC).
Kecuali untuk jenis Bufo asper, Rana nicobariensis, dan Staurois natator semua
jenis lainnya diambil untuk spesimen awetan yang disimpan di Laboratorium
Satwaliar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata, Fakultas
Kehutanan IPB. Keterangan diatas dapat tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Daftar jenis amfibi yang ditemukan di lokasi penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Jenis
Ansonia leptopus*
Ansonia longidigita*
Bufo asper
Leptophryne
borbonica*
Pedostibes hosii
Leptobrachella
mjobergi*
Leptobrachium
abbotti
Leptobrachium
hendricksoni*
Leptolalax gracilis
Chaperina fusca
Kalophrynus
pleurostigma
Microhyla borneenis

Jumlah
Individu
1
1
5
1

%

Terestrial

0.46
0.46
2.30
0.46



7
1

3.22
0.46






LC
LC

5

2.30





LC

1

0.46



2
1
1

0.92
0.46
0.46





1

0.46





Akuatik

Endemik









Status
NT
NT
LC
LC

LC


NT
LC
LC
LC

25

Tabel 2 (Lanjutan)
No

Jenis

Jumlah
Individu
45

%

Limnonectes
20.73
ibanorum
14 Limnonectes kuhli
7
3.22
15 Limnonectes
1
0.46
leporinus*
16 Limnonectes
1
0.46
malesianus
17 Limnonectes
39
17.97
paramacrodon
18 Meristogenys
2
0.92
phaeomerus*
19 Meristogenys
1
0.46
whiteheadi*
20 Rana chalconota
40
18.43
21 Rana nicobariensis*
1
0.46
22 Rana picturata
25
11.52
23 Staurois natator
1
0.46
24 Nyctixalus pictus
1
0.46
25 Polypedates colletti
9
4.14
26 Polypedates macrotis
1
0.46
27 Rhacophorus
8
3.68
appendiculatus
28 Rhacophorus
2
0.92
cyianopunctatus
29 Rhacophorus gauni
1
0.46
30 Rhacophorus
1
0.46
harrissoni
31 Rhacophorus pardalis
4
1.84
Total Jenis
217
100
Keterangan: *
= Di luar plot pengamatan
NT = Near Threatened
LC = Least Concern
13

Terestrial

Akuatik

Endemik

Status







NT








NT
NT












NT



NT





NT





NT











16



22

LC
LC
LC
LC
NT
LC
LC
LC
LC




NT
NT
LC

12

Dari total 217 individu yang ditemukan yang terdiri dari 31 jenis, famili
Ranidae memiliki jumlah individu terbanyak (75,11%), selanjutnya famili
Rhacophoridae (12,44%), famili Bufonidae (6,91%), famili Megophryidae
(4,14%), dan famili Microhylidae (1,38%), sedangkan spesies yang memiliki
jumlah individu yang terbanyak adalah Limnonectes ibanorum (20,73%), Rana
chalconota (18,43%) dan Limnonectes paramacrodon (17,97%), sedangkan 17
jenis memiliki jumlah individu yang sedikit hanya satu individu saja.
Kurva penambahan jenis yang ditemukan dalam 20 hari pengamatan
menunjukkan bahwa penambahan jenis amfibi pada pengamatan terestrial belum
ada penambahan jenis sampai hari ke 5. Penambahan jenis mulai terjadi pada
pengamatan ke 6 dimana terdapat penambahan 3 jenis. Pada hari ke 18

26

penambahan jenis sudah tidak lagi ditemukan pada pengamatan terestrial.
Penambahan jenis pada pengamatan akuatik sudah terjadi pada hari pertama
pengamatan dimana terdapat 4 jenis. Pada hari ke 12 penambahan jenis sudah
tidak lagi ditemukan pada pengamatan akuatik. Melihat grafik gabungan antara
penambahan jenis pada akuatik dan terestrial dari 20 hari pengamatan terdapat
kemungkinan adanya penambahan jenis, hal ini ditunjukkan dari kurva yang terus
meningkat hingga hari ke-18.

Gambar 10 Grafik perbandingan jumlah jenis dan individu tiap famili.
Keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan menggunakan berbagai
parameter diantaranya dengan menghitung nilai indeks keanekaragaman. Indeks
yang dihitung meliputi indeks keanekaragaman jenis (H’) dan indeks kemerataan
jenis (E). Perhitungan hanya dilakukan terhadap jenis yang ditemukan di dalam
jalur lokasi penelitian sedangkan perbandingan tingkat keanekaragaman yang
digunakan berdasarkan tipe habitat yaitu akuatik dan terestrial.
Nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi untuk habitat akuatik terdapat
pada plot pengamatan Sungai Lejak dengan nilai 2,00 sedangkan untuk habitat
terestrial terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 1,87. Plot
pengamatan anak Sungai Lejak memiliki nilai keanekaragaman (H’) terendah
pada habitat akuatik maupun terestrial dengan nilai 1,53 dan 0,75 (gambar 11).
Nilai keanekaragaman (H’) gabungan antara habitat akuatik dan terestrial
menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman pada habitat akuatik (1,77) lebih
tinggi dari pada habitat terestrial (1,29). Plot pengamatan Sungai Lejak memiliki

27

nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat akuatik dengan nilai 0,87 sedangkan
nilai kemerataan (E) tertinggi pada habitat terestrial terdapat pada plot
pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,90. Nilai kemerataan (E) terendah pada
habitat akuatik terdapat pada plot pengamatan Sungai Lesan dengan nilai 0,84
sedangkan untuk habitat terestrial terdapat pada plot pengamatan anak Sungai
Lejak dengan nilai 0,54. Gambar 12 menunjukkan bahwa habitat akuatik memiliki
nilai kemerataan lebih tinnggi dibandingkan habitat terestrial, nilai tersebut
diperoleh bila ketiga lokasi dipisah.

Gambar 11 Nilai indeks keanekaragaman jenis

Gambar 12 Nilai indeks kemerataan jenis

28

5.1.2

Sebaran ekologis
Sebaran ekologis merupakan sebaran posisi katak pada habitatnya. Sebaran

ini dibagi menjadi sebaran horisontal dan vertikal. Sebaran horisontal merupakan
sebaran posisi anura terhadap badan air sedangkan vertikal merupakan sebaran
posisi katak terhadap permukaan tanah. Kisaran posisi beberapa jenis anura
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kisaran posisi beberapa jenis anura saat ditemukan di kawasan lindung
Sungai Lesan
Jenis
Bufo asper
Pedostibes hosii

Posisi Horisontal
Ditengah aliran hingga ditepi sungai
hingga 3 m dari tepian air
Ditengah aliran hingga ditepi sungai
hingga 8 m dari tepian air

Leptobrachium abbotti

Ditepi sungai hingga 2 m dari tepian air

Leptolalax gracilis

Diserasah pada meter ke 40 dan ditepi
sungai.
Terdapat pada meter ke 406 pengamatan
terestrial
Terdapat pada meter ke 60 pengamatan
terestrial
Terdapat pada meter ke 200 pengamatan
terestrial
Ditengah aliran hingga ditepi sungai
hingga 2 m dari tepian air

Chaperina fusca
Kalophrynus pleurostigma
Microhyla borneensis
Limnonectes ibanorum

Limnonectes kuhli
Limnonectes malaisianus
Limnonectes paramacrodon
Rana chalconota
Rana picturata
Staurois natator
Nyctixalus pictus

Terdapat pada meter ke 230 pengamatan,
terestrial hingga ditepian sungai
Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian
air
Ditengah aliran hingga ditepi sungai
hingga 2 m dari tepian air
Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian
air
Ditepian sungai hingga 0.5 m dari tepian
air
Di tengah aliran air

Rhacophorus cyianopunctatus

Terdapat pada meter ke 406 pengamatan
terestrial
Terdapat pada meter ke 40 pengamatan
terestrial di sekitar kubangan
Terdapat pada meter ke 75 pengamatan
terestrial
Terdapat pada meter ke 40 pengamatan
terestrial di sekitar kubangan
Ditepian sungai hingga 1 m dari tepian air

Rhacophorus gauni

Ditepian sungai hingga 3 m dari tepian air

Rhacophorus harrissoni

Terdapat pada meter ke 100 pengamatan
terestrial
Ditepian sungai hingga 3 m dari tepian air

Polypedates colletti
Polypedates macrotis
Rhacophorus appendiculatus

Rhacophorus pardalis

Posisi Vertikal
Diatas Batu dan kerikil
Diatas batu dengan ketinggian
hingga 1 m dari permukaan
air
Diserasah pinggir sungai
hingga diatas batu
Diatas serasah dan diatas batu
Diatas
pohon
tumbang
dengan ketinggian 50 cm
Diatas serasah
Diatas serasah
Diserasah pada pengamatan
terestrial hingga diatas batu
ditengah sungai
Dikubangan dan diatas batu
pinggiran sungai
Diatas batu tepian sungai
hingga ketinggian 3 m
Diatas batu hingga ketinggian
1m
Diatas
pohon
pinggiran
sungai hingga ketinggian 2 m
Diatas
pohon
pinggiran
sungai hingga ketinggian 2 m
Diatas batu dengan ketinggian
2 m dari permukaan air
Diatas
pohon
tumbang
dengan ketinggian 50 cm
Diatas
pohon
hingga
ketinggian 3 m
Diatas
pohon
dengan
ketinggian 1 m
Diatas
pohon
hingga
ketinggian 3 m
Diatas
pohon
dengan
ketinggian hingga 2 m
Diatas
pohon
dengan
ketinggian hingga 2 m
Dikubangan dan diatas pohon
dengan ketinggian 2 m
Diatas pohon

29

5.1.3

Kisaran ukuran tubuh
Kisaran ukuran tubuh dinyatakan dalam panjang dari ujung moncong hingga

kloaka (Snout-Vent Length). Dari kisaran tubuh ini dapat menggambarkan
perbandingan antara individu dewasa dan individu anak. Adapun kisaran ukuran
tubuh (SVL) beberapa jenis anura disajikan pada Tabel 4. Jenis yang tercantum
dalam tabel ditemukan dengan jumlah individu ≥ 2.
Tabel 4 Kisaran ukuran tubuh (SVL) beberapa jenis anura di Kawasan Lindung
Sungai Lesan, Kalimantan Timur
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Jenis
Bufo asper
Leptobrachium abbotti
Leptolalax gracilis
Limnonectes ibanorum
Limnonectes kuhli
Limnonectes paramacrodon
Pedostibes hosii
Polypedates colletti
Rana chalconota
Rana picturata
Rhacophorus appendiculatus
Rhacophorus cyianopunctatus
Rhacophorus pardalis

n
5
3
2
3
7
24
7
4
37
10
3
2
4

Min.
3.75
4.85
2.94
3.73
2.46
4.13
5.40
4.12
3.12
2.87
3.15
2.99
4.51

SVL
Max.
5.87
6.43
3.90
5.90
4.10
8.85
6.65
4.97
4.53
3.50
3.64
3.12
5.84

Rata2
4.44
5.47
3.42
4.48
3.13
5.17
6.00
4.66
3.75
3.16
3.45
3.06
5.48

Dari hasil pengukuran terhadap semua individu yang tertangkap
dilapangan, kisaran terbesar adalah jenis Limnonectes paramacrodon dengan
ukuran minimum 4,13 cm dan ukuran maksimum 8,85 cm, dengan jumlah
individu tertangkap sebanyak 39 individu. Sedangkan kisaran terkecil adalah jenis
Rhacophorus cyianopunctatus dengan ukuran minimum 2,99 cm dan ukuran
maksimum 3,12 cm, dengan jumlah individu tertangkap sebanyak dua individu.
5.1.4

Aktifitas saat dijumpai
Aktivitas diam merupakan aktivitas yang paling banyak dijumpai pada

amfibi yang ditemukan. Pada saat ditangkap sebagian besar amfibi dalam keadaan
diam diatas batu, daun, dan serasah. Aktivitas loncat juga ditemukan pada amfibi
hal ini dibuktikan bahwa ada sebagian jenis amfibi yang ditemukan meloncat pada
saat hendak ditangkap. Pada lokasi pengamatan juga ditemukan jenis amfibi yang
sedang bertelur yaitu jenis Leptophryne borbonica yang pada saat pengamatan
sedang bertelur.

30

Untuk jenis-jenis yang ditemukan di habitat sungai yaitu Ansonia
longidigita, Ansonia leptopus, Bufo asper, Limnonectes ibanorum dan Pedostibes
hosii, umumnya ditemukan dalam keadaan diam menandakan jenis ini kurang
sensitif terhadap gerakan. Beberapa jenis yang ditemukan lebih sering loncat dari
pada diam yaitu Limnonectes kuhlii, Rana chalconota dan Rana picturata,
menandakan jenis ini termasuk jenis yang sensitif terhadap gerakan bahkan sering
sekali tidak tertangkap dan atau lepas kembali.
Beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat kedalam air yaitu
jenis Bufo asper, Limnonectes kuhlii, Limnonectes ibanorum dan Rana picturata,
beberapa jenis yang jika terganggu lebih memilih loncat dari batu ke batu atau
substrat

keras

(kayu)

yaitu

Limnonectes

paramacrodon,

Meristogenys

phaeomerus dan Staurois natator yang jika terganggu akan meloncat dari batu ke
batu, serta beberapa jenis yang jika terganggu memilih loncat ke ranting-ranting
tumbuhan yaitu Rana picturata, Polypedates macrotis dan Rhacophorus pardalis.
5.2

Pembahasan
Jumlah jenis amfibi yang ditemukan pada semua plot pengamatan di lokasi

penelitian di kawasan lindung Sungai Lesan lebih tinggi bila dibandingkan dengan
Mediyansyah (2008) yang menemukan 25 jenis Anura di Gunung Palung
Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat ataupun Utama (2003) yang menemukan
27 jenis Anura di PT. Intracawood Manufacturing Kalimantan Timur dan
Himakova (2008) yang menemukan 29 jenis amfibi di Taman Nasional Bukit
Baka Bukit Raya Kalimantan Barat. Kawasan Lindung Sungai Lesan sebelumnya
tercatat terdapat 12 jenis amfibi dari 4 Famili yang ditemukan pada survei
keanekaragaman hayati yang dilakukan TNC tetapi hanya 5 jenis saja yang
berhasil diidentifikasi. Dibandingkan dengan hasil penelitian di Taman Nasional
Betung Kerihun (TNBK), total jenis hasil penelitian ini relatif lebih rendah dan
komposisi jenis yang berbeda. Komposisi spesies amfibi dapat berubah sangat
cepat dalam kaitannya dengan kondisi ekologi (Iskandar 2001). Sebagian besar
jenis yang ditemukan pada penelitian ini terdapat di TNBK tetapi ada lima jenis
yang tidak ditemukan di TNBK seperti: Ansonia longidigita, Staurois natator,
Kalophrynus pleurostigma, Polypedates colletti dan Rhacophorus gauni. Hal ini

31

dikarenakan perbedaan dalam usaha pencarian dan metode yang digunakan. Hasil
penelitian di Taman Nasional Betung Kerihun menggunakan modifikasi dari
metode Heyer et al. (1994) dengan melakukan analisis kuantitatif dengan
menggunakan petak (30 m x lebar sungai) sehingga memungkinkan untuk
mendapatkan jenis amfibi yang tinggi. Menurut Iskandar, et al (1998) di TNBK
telah tercatat 55 jenis amfibi yang termasuk ke dalam enam famili