Keanekaragaman Amfibi di Hutan Tanaman Industri PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat.

KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI HUTAN TANAMAN
INDUSTRI PT. WANA HIJAU PESAGUAN,
KALIMANTAN BARAT

YUSUF MUHAMMAD

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman
Amfibi di Hutan Tanaman Industri PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Yusuf Muhammad
NIM E34100095

ii

ABSTRAK
YUSUF MUHAMMAD. Keanekaragaman Amfibi di Hutan Tanaman Industri
PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh MIRZA DIKARI
KUSRINI dan CECEP KUSMANA.
Adanya perubahan kawasan alami menjadi hutan tanaman industri (HTI)
menyebabkan potensi turunnya keanekaragaman hayati. Penelitian ini bertujuan
untuk menelaah komposisi, status konservasi, serta keanekaragaman jenis amfibi
di wilayah kerja PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat di dalam maupun
luar kawasan lindung. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 20-29 Mei 2014
dengan metode Visual Encounter Survey (VES) with Transect Design dan VES
with Time-Constrained Technique. Selama penelitian didapatkan 27 jenis amfibi
dari enam famili. Terdapat bias dalam penelitian karena sebagian luar kawasan

lindung yang ditelaah meliputi areal yang belum dibuka sehingga menghasilkan
data keanekaragaman yang lebih tinggi daripada kawasan lindung. Namun
demikian, terlihat jelas pada komposisi areal terganggu didominasi oleh jenisjenis yang biasa hidup dekat hunian manusia seperti Fejervarya limnocharis dan
Polypedates leucomystax. Jika areal di luar kawasan lindung tersebut dibuka
untuk penanaman akasia, diperkirakan jumlah jenis akan turun.
Kata kunci: amfibi, Kalimantan, keanekaragaman, hutan tanaman produksi

ABSTRACT
YUSUF MUHAMMAD. Amphibian Diversity in Industrial Timber Plantation PT.
Wana Hijau Pesaguan, West Kalimantan. Supervised by MIRZA DIKARI
KUSRINI and CECEP KUSMANA.
The change of natural areas into industrial timber plantations will
potentially decrease biodiversity. This study aimed to examine the composition,
conservation status, as well as the diversity of amphibians in the region of PT.
Wana Hijau Pesaguan, West Kalimantan, within its protected areas and
surrounding areas. Data were collected on 20th to 29th May 2014, using Visual
Encounter Survey (VES) method with Transect Design and Time-Constrained
Technique. We found 27 amphibian species from six families. There is a bias in
the study because several location categorized as outside protected areas were still
unopened, resulting amphibian diversity is higher than protected areas.

Nevertheless, it is clear that the composition of amphibian in disturbed areas is
dominated by species that used to live near human civilization such as Fejervarya
limnocharis and Polypedates leucomystax. If areas in outside protected area will
be opened for acacia planting, it is estimated that the number of the species will
decrease.
Keywords: amphibians, diversity, Kalimantan, industrial timber plantation

iii

KEANEKARAGAMAN AMFIBI DI HUTAN TANAMAN
INDUSTRI PT. WANA HIJAU PESAGUAN,
KALIMANTAN BARAT

YUSUF MUHAMMAD

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iv

vi

PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya sehingga
skripsi yang berjudul: “Keanekaragaman Amfibi di Hutan Tanaman Industri PT.
Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat” dapat tersusun atas bimbingan Dr Ir
Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS. Penelitian ini
dilaksanakan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat pada bulan Mei 2014.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS selaku pembimbing, yang telah banyak
memberikan dorongan semangat, ilmu, saran, nasihat, dan atas kesabarannya
dalam membimbing selama penelitian maupun penulisan karya ilmiah ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada PT Wana Hijau Pesaguan, Catur Sotaradu
Radja Gultom, S.Hut, Dinen Bintang, S.Hut, Rifky Wahyuningtyas, dan pihak
lainnya yang telah banyak membantu selama pengambilan data. Terima kasih juga
kepada keluarga, ayah, ibu, kakak, adik, dan kerabat lainnya atas doa dan
semangat yang telah diberikan. Penulis ucapkan terima kasih juga kepada
Paguyuban Karya Salemba Empat yang telah membiayai uang bulanan penulis
sejak 2011 hingga 2015. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
teman satu bimbingan (Novi, Eko, Dhila, Habib, Andri) serta segenap keluarga
besar Fahutan IPB, DKSHE, Himakova, DKM ‘Ibaadurrahman, Birena AlHurriyyah, Marboth Al-Hurriyyah, JY (Fahutan 47), dan Nepenthes rafflesiana
(KSHE 47) yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu atas kebersamaannya
selama penulis kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Semoga semua kebaikan yang diberikan dibalas oleh Allah SWT. Aamiin.

Bogor, Agustus 2015

Yusuf Muhammad


vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

METODE

3

Lokasi dan Waktu

3

Metode Pengumpulan Data

6

Analisis Data


7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

8
8
13
17

Simpulan

17

Saran

18


DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

22

viii

DAFTAR TABEL
1
2
3

Klasifikasi daerah pengamatan, metode yang digunakan, serta lama
pengamatan dan jumlah transek
Penemuan amfibi pada berbagai tempat pengamatan di lokasi penelitian
Status konservasi dan endemisitas spesies


5
9
10

DAFTAR GAMBAR
1
2

3
4
5
6
7
8
9

Peta lokasi penelitian di PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat
(a) Hutan dan anak sungai sekitar bekas tebangan; (b) Hutan dan sungai
di pinggir jalan mobil; (c) Lahan terbuka; (d) Kubangan bekas kerukan

mesin; (e) Hutan; (f) Hutan riparian; (g) Sungai
Kurva pertambahan jenis amfibi selama pengamatan di PT WHP,
Kalimantan Barat
Dendrogram kesamaan jenis amfibi berdasarkan lokasi pengamatan
Frekuensi relatif pertemuan spesies di beberapa lokasi di luar kawasan
lindung
Frekuensi relatif pertemuan spesies di beberapa lokasi di kawasan
lindung
Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis amfibi di dalam dan di
luar kawasan lindung
I. divergens yang ditemukan bersembunyi di balik kulit kayu sisa
penebangan di tepi hutan, dekat jalan mobil (off-road)
H. baramica (a) dan H. glandulosa (b) yang ditemukan di tepi hutan,
dekat jalan mobil (off-road)

3

4
9
12
12
12
13
16
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Deskripsi jenis amfibi yang ditemukan di PT. Wana Hijau Pesaguan
Tabel data spesimen yang diawetkan

22
35

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Amfibi adalah hewan bertulang belakang (vertebrata) yang kehidupannya
tergantung terhadap kondisi lingkungan. Menurut Carey dan Alexander (2003),
populasi amfibi sensitif dan mempunyai respons kuat terhadap perubahan serta
variabilitas temperatur udara dan air, curah hujan, dan hydroperiod (jangka waktu
dan musim kehadiran air) dari lingkungan mereka. Sensitivitas terhadap
perubahan lingkungan membuat amfibi dapat dijadikan indikator terhadap
perubahan kualitas atau kondisi lingkungan.
Kalimantan memiliki paling tidak dua dari tiga bangsa amfibi, yaitu bangsa
Gymnophiona atau sesilia dan Anura atau katak. Caudata atau salamander
merupakan satu-satunya bangsa di amfibi yang tidak terdapat di Asia Tenggara
kecuali Vietnam Utara dan Thailand Utara (Iskandar 1998). Menurut Nishikawa et
al. (2012), sesilia (Gymnophiona) berbentuk seperti cacing, merupakan amfibi
yang sebagian besar hidup di bawah tanah (fossorial). Kebiasaan mereka di bawah
tanah membuat mereka menjadi urutan pertama tetrapod paling terkenal. Menurut
Iskandar (1998), terdapat dua marga sesilia yang berada di Kalimantan, yaitu
marga Caudacaecilia dan Ichthyophis. Kedua marga tersebut termasuk dalam
suku Ichthyophiidae.
Terdapat sekitar 150 jenis katak di Borneo (Thiessen 2012). Pada tahun
1997 Inger dan Stuebing menyatakan bahwa kurang lebih ada 140 spesies katak di
Borneo. Jumlah tepat tidak bisa dipastikan sebab spesies baru ditemukan setiap
tahun (Inger dan Stuebing 1997). Menurut Pio (2005), tujuh jenis katak baru
ditemukan sejak 1994 hingga 2004 di Borneo. Beberapa di antaranya adalah
Ansonia anotis yang ditemukan pertama kali di dataran tinggi Sabah pada Maret
1996. Philautus erythrophthalmus ditemukan pertama kali pada April 1999 di
Sabah. Ditemukan juga spesies baru di dataran tinggi Sarawak, Kalophrynus eok,
pada September 2001. Penemuan terbaru juga didapati oleh Mistar (2008).
Ansonia jenis baru (bukan Ansonia anotis) ditemukan di Hutan Lindung Beratus,
Provinsi Kalimantan Tengah. Katak tersebut termasuk dalam daftar jenis amfibi
endemik yang ada di Kalimantan.
Amfibi sebenarnya mempunyai persebaran yang luas, mulai dari hutan
primer, hutan sekunder, habitat yang terganggu (sawah, kebun, ladang, hutan
produksi, pemukiman manusia), serta terdapat di dataran rendah maupun dataran
tinggi (Iskandar 1998). Jenis-jenis amfibi yang menghuni berbagai habitat ini
berbeda, tergantung adaptasi dari masing-masing spesies dengan karakteristik
habitat yang ada. Habitat amfibi secara garis besar terdapat empat, yaitu perairan
(akuatik), darat (terestrial), pepohonan (arboreal), dan dalam tanah (fossorial)
(Mistar 2008). Menurut Sudrajat (2001), amfibi dibagi menurut perilaku dan
habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu: 1). Jenis yang terbuka berasosiasi
dengan manusia dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang dapat berasosiasi
dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak
berasosiasi dengan manusia.
Penelitian amfibi untuk mengetahui keanekaragaman amfibi di hutan
produksi penting digunakan terutama sebagai basis data keanekaragaman jenis

2

amfibi sebelum adanya perubahan tutupan lahan atau deforestasi. Menurut
Sumargo et al.. (2011), luas deforestasi di Kalimantan sejak tahun 2000-2009
adalah sebesar 5.505.863,93 Ha atau sebesar 16,76% dari total tutupan lahan di
Kalimantan pada tahun 2000. Kalimantan juga mempunyai persentase terbesar
deforestasi sejak 2000-2009 dibandingkan dengan Sumatera, Jawa, Bali-Nusa
Tenggara (digabung), Sulawesi, Maluku, dan Papua, yaitu sebesar 36,32%.
Pengalihan habitat alami menjadi hutan produksi atau hutan tanaman
industri akan merubah bentuk lanskap yang ada. Setiap pengusahaan hutan
maupun hutan industri saat ini diharuskan memiliki hutan lindung di dalam
konsesi mereka sebagai komitmen untuk konservasi jenis. Kawasan lindung ini
umumnya memiliki luasan terbatas dan membentuk fragmen-fragmen kecil di
dalam lanskap. Fragmentasi habitat dan isolasi, hilangnya habitat, serta penurunan
kualitas habitat merupakan ancaman utama terhadap populasi amfibi (Hamer dan
McDonnell 2008). Luasan daerah dan jarak area terfragmentasi juga menentukan
keanekaragaman jenis dan kelimpahan herpetofauna (Fitrian 2013).
Penelitian amfibi di kawasan hutan produksi di Indonesia telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, antara lain oleh Utama (2003) di HPH (Hak Pengusahaan
Hutan) PT. Intracawood Manufacturing dan Darmawan (2008) di Eks-HPH PT.
Rimba Karya Indah. Kedua peneliti ini melakukan penelitian terutama di hutan
produksi (HPH). Penelitian di atas tidak melihat perbandingan antara kawasan
lindung dan luar kawasan lindung tapi melihat keanekaragaman amfibi antara
areal bekas tebangan dengan periode tebangan beberapa tahun. Penelitian tersebut
menemukan bahwa keanekaragaman amfibi di areal bekas tebangan lebih dari
sepuluh tahun memiliki keanekaragaman lebih tinggi dibanding dengan areal
bekas tebangan kurang dari satu tahun.
Hampir tidak ada penelitian yang melihat fungsi hutan lindung dalam
kawasan hutan tanaman industri bagi amfibi. Oleh karena itu dirasa perlu untuk
melakukan penelitian ini. PT. Wana Hijau Pesaguan merupakan perusahaan HTI
(Hutan Tanaman Industri) yang memiliki izin mengelola sejak tahun 2009 dengan
nomor SK 719/Menhut-II/2009. Luas kawasan sebesar 104.975 Ha dan berlokasi
di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan 2010). Di dalam kawasan ini
ditetapkan kawasan lindung berupa KPSL (Kawasan Pelepasliaran Satwa Liar),
KPPN (Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah), dan Buffer Zone (Zona Penyangga).
Oleh karena itu, lokasi ini sangat baik untuk melihat kemungkinan adanya
perbedaan keanekaragaman hayati amfibi antara kawasan lindung dengan
kawasan di luar kawasan lindung dengan mempertimbangkan adanya gangguan
dari kegiatan manusia sebagai dasar terjadinya perbedaan.

Tujuan Penelitian
Penelitian tentang keanekaragaman amfibi di hutan tanaman industri ini
dilakukan dengan tujuan untuk: menelaah komposisi, status konservasi serta
keanekaragaman jenis amfibi di wilayah kerja PT. Wana Hijau Pesaguan (PT.
WHP) yang meliputi area dalam kawasan lindung berupa KPSL (Kawasan
Pelepasliaran Satwa Liar), KPPN (Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah), dan
Buffer Zone, serta area di luar kawasan lindung.

3

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di dalam dan luar kawasan lindung, PT. Wana Hijau
Pesaguan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Gambar 1). Terdapat dua
kawasan lindung, yaitu Bukit Buru Bayan dan Bukit Tukul. Penelitian di kawasan
lindung meliputi tiga zona, yaitu KPSL (Kawasan Pelepasliaran Satwa Liar),
KPPN (Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah), dan Buffer Zone (Zona Penyangga).
Daerah luar kawasan lindung yang diambil datanya meliputi Arboretum Distrik
Pesaguan, Sungai Pos Jaga Distrik Pesaguan, Pesaguan 2, dan Pesaguan 1.
Pengambilan data dilakukan di dua habitat, yaitu darat dan sungai. Waktu
pengambilan data dilakukan pada tanggal 20-29 Mei 2014.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di PT. Wana Hijau Pesaguan, Kalimantan Barat

4

Pengambilan data dilakukan di dalam hutan alam, hutan riparian, sungai,
danau, sekitar bekas tebangan, pinggir jalan mobil (off-road), lahan terbuka, dan
kubangan bekas kerukan mesin (Gambar 2). Daerah pengamatan diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu daerah luar kawasan lindung dan kawasan lindung (Tabel 1).

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)
Gambar 2 (a) Hutan dan anak sungai sekitar bekas tebangan; (b) Hutan dan
sungai di pinggir jalan mobil; (c) Lahan terbuka; (d) Kubangan bekas
kerukan mesin; (e) Hutan; (f) Hutan riparian; (g) Sungai

5

Tabel 1

Klasifikasi
Kawasan
Daerah
Luar
Kawasan
Lindung

Daerah
Kawasan
Lindung

Klasifikasi daerah pengamatan, metode yang digunakan, serta lama
pengamatan dan jumlah transek

PengaDaerah
N
N
N Omatan
Pengamat- Tipe Habitat Metode
HaJam rang
(jaman
ri
orang)
Arboretum Hutan dan
1
2
2
4
Pesaguan
Sungai
Pesaguan 2 Kubangan
1
2
2
4
bekas
kerukan
mesin dan
Sekitar
VES –
tebangan
Sungai Pos Sungai
Time
1
2
3
6
Jaga
ConPesaguan
strained
Pesaguan 1 Lahan
2
1,5
3
4,5
terbuka (1)
serta
Kubangan
dan Pinggir
jalan mobil
(1)
Buru
Bayan
Hutan
1
1
3
3
riparian
KPSL
KPPN
Hutan alam
1
1
3
3
Tukul
KPSL
Sungai (1)
2
2
3
6
dan Pinggir
VES –
jalan mobil
Transect
dan Danau
Design
(1)
KPPN
Hutan
3
4
3
12
riparian (1)
dan Sungai
(2)
Buffer
Hutan alam
3
4
3
12
Zone
(1) dan
Sungai (2)

6

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode Visual Encounter Survey
(VES) dengan dua pendekatan berbeda. Visual Encounter Survey merupakan
metode yang menghitung jenis dan jumlah individu yang terlihat secara visual saat
pengamatan. Pengambilan data di kawasan lindung (KPSL, KPPN, dan Buffer
Zone) menggunakan metode VES with Transect Design (survei perjumpaan visual
dengan pola transek) sepanjang 100 m. Metode VES dengan pola transek dapat
digunakan di habitat darat maupun akuatik, bahkan cocok untuk pengambilan
sampel data pada habitat mikro yang berbeda. Menurut Hedley dan Buckland
(2004), transek garis merupakan salah satu teknik yang paling sering digunakan
dalam memperkirakan ukuran populasi satwaliar. Total transek di dalam kawasan
lindung berjumlah 10. Sepuluh transek dengan panjang transek 100 m pada area
pengamatan yang luas dianggap sudah sesuai (Heyer et al. 1994).
Pengambilan data di luar kawasan lindung (Arboretum Distrik Pesaguan,
Sungai Pos Jaga Distrik Pesaguan, Pesaguan 2, dan Pesaguan 1) menggunakan
metode VES with Time-Constrained Technique (survei perjumpaan visual dengan
teknik pembatasan waktu) selama dua jam. Metode ini memiliki beberapa asumsi,
yaitu: 1). Setiap individu dari setiap spesies memiliki kesempatan yang sama
untuk diamati, 2). Setiap spesies tidak memiliki perbedaan efek musiman dari
aktivitas, cuaca, predator, atau kompetitor, 3). Satu individu hanya dicatat sekali
selama survei, 4). Tidak ada perbedaan hasil antar pengamat (bila pengamat lebih
dari satu) (Heyer et al. 1994). Pengamatan di luar kawasan lindung ini dilakukan 5
kali pada habitat berbeda.
Pengumpulan data satwa dilakukan pada malam hari setelah dilakukan
survei lokasi terlebih dahulu pada siang hari. Saat survei siang, peneliti
menggunakan peta, kompas, dan GPS untuk menentukan dan menandai lokasi
pengamatan. Panjang jalur pengamatan diukur dengan meteran (50 m) dan per
sepuluh meter diberikan tagging yang terbuat dari tali rafia dan selotip. Saat
pengamatan malam headlamp dan GPS diperlukan agar dapat melihat dan tidak
tersesat di dalam hutan. Lama pengamatan dalam satu malam berbeda-beda
disebabkan metode dan kondisi lapang yang berbeda. Waktu tercepat dimulai
pengamatan adalah pukul 18:30 WIB dan waktu terlama akhir pengamatan adalah
pukul 01:20 WIB. Rata-rata waktu yang terpakai untuk pengamatan dalam satu
malam adalah dua jam delapan menit.
Data satwa yang diambil saat pengamatan berupa data jenis (nama spesies),
waktu, substrat, posisi, aktivitas, panjang tubuh atau SVL (Snout-Vent Lenght),
dan massa tubuh. Tidak semua individu dicatat data SVL dan massa tubuh karena
tidak semua individu ditangkap. Individu yang ditangkap dimasukkan ke dalam
plastik spesimen lalu dikumpulkan dalam kantong atau tas agar memudahkan
pengangkutan. Penulisan data di lapangan dapat menggunakan spidol permanen di
atas plastik spesimen ataupun dicatat di buku lapangan dengan pensil. Pengukuran
SVL menggunakan jangka sorong sementara pengukuran massa tubuh
menggunakan neraca pegas (30 g dan 60 g). Identifikasi jenis dilakukan dengan
bantuan buku identifikasi, seperti “A Field Guide to The Frogs of Borneo” (Inger
dan Stuebing 1997), “Amphibians and Reptiles of Brunei: A Pocket Guide” (Das
2007), dan “Panduan Lapang Amfibi Sekitar Hulu Belantikan” (Kirono dan

7

Santoso 2010). Kaca pembesar (lup) dipakai apabila penciri jenis sulit dilihat
dengan mata telanjang.
Pengawetan perwakilan spesies yang ditemukan dilakukan untuk tujuan
koleksi ilmu pengetahuan. Satwa diawetkan dengan cara dipingsankan terlebih
dahulu memakai alkohol 70%. Setelah pingsan satwa disuntik alkohol 70% ke
dalam otaknya agar mati. Spesimen yang telah mati disuntik alkohol ke dalam
perut dan kaki belakangnya melalui anus agar tidak terjadi pembusukan dari
dalam. Mulut spesimen disumpal dengan kapas yang sudah diberi alkohol agar
mulut spesimen selalu terbuka. Terbukanya mulut dimaksudkan agar ketika
dipindahkan ke dalam tabung spesimen, alkohol dapat masuk ke dalam perut
awetan. Awetan yang akan dibawa ke laboratorium disusun dalam boks sampel
yang telah dilapisi oleh tisu dapur. Data awetan ditulis di atas kertas karkir dengan
menggunakan pensil. Kertas karkir diikatkan ke awetan dengan menggunakan
benang jahit agar tidak tertukar. Setelah semua awetan telah masuk ke dalam boks
sampel, boks ditutup dan dilapisi oleh lakban hitam hingga menutupi semua
bagian boks. Pelapisan oleh lakban hitam dimaksudkan agar boks tidak terbuka
selama perjalanan.
Karakteristik habitat tempat pengamatan diambil siang hari saat survei
lokasi pengamatan. Semua data yang didapatkan di lapangan lalu dicatat dan
dianalisis menggunakan program statistika sederhana.

Analisis Data
Keanekaragaman jenis
Keanekaragaman jenis amfibi didapatkan dengan menggunakan Indeks
Keanekaragaman Jenis Shannon (Brower dan Zar 1997, Magurran 2004). Nilai ini
kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragaman amfibi
berdasarkan habitatnya. Persamaan indeks keanekaragaman jenis Shannon adalah
sebagai berikut:
H’ = -∑ pi Log pi
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon
pi = Proporsi jenis ke-i (diperoleh dari jumlah individu jenis ke-i dibagi
jumlah seluruh individu yang diperoleh di suatu lokasi)
Nilai indeks keanekaragaman jenis berdasarkan Magurran (1988) diacu
dalam Hilwan et al. (2013) dapat diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan,
yaitu: Jika nilai H’ < 2 nilai H’ tergolong rendah, jika nilai H’ = 2-3 tergolong
sedang, dan jika nilai H’ > 3 tergolong tinggi.
Kemerataan jenis
Derajat kemerataan jenis amfibi didapatkan dengan menggunakan Derajat
Kemerataan Jenis Shannon (Magurran 2004). Persamaan derajat kemerataan jenis
Shannon adalah sebagai berikut:
J’ = (H’) / (Ln S)
Keterangan:
J’ = Derajat kemerataan jenis Shannon

8

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon
S = Jumlah jenis yang ditemukan
Lambang J’ dalam Magurran (2004) adalah sama dengan lambang E
menurut Magurran (1988) diacu dalam Hilwan et al. (2013). Menurut Magurran
(1988) diacu dalam Hilwan et al. (2013) besaran nilai E < 0,3 menunjukkan
kemerataan jenis rendah, E = 0,3-0,6 menunjukkan kemerataan jenis tergolong
sedang, dan E > 0,6 maka kemerataan jenis tergolong tinggi.
Frekuensi jenis
Frekuensi jenis dan frekuensi relatif dihitung untuk mengetahui jenis yang
paling sering ditemukan di berbagai tipe habitat. Persamaan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Frekuensi Jenis =

Frekuensi Relatif Jenis =

x 100%

Kesamaan jenis antar habitat
Kesamaan jenis amfibi antar habitat dianalisis dengan program minitab 16
menggunakan Ward’s Linkage Clustering berdasarkan nilai kehadiran (presenceabsent) amfibi. Analisis klaster (cluster analysis) adalah proses membagi suatu set
objek data menjadi kelompok-kelompok sedemikian rupa sehingga objek yang
berasal dari klaster yang sama mempunyai kemiripan dan objek yang berasal dari
klaster berbeda tidak memiliki kemiripan (Long et al. 2010). Data habitat
dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kondisi habitat amfibi pada lokasi
penelitian untuk dikaitkan dengan data satwa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Komposisi jenis, status konservasi, dan endemisitas
Jumlah jenis amfibi yang ditemukan di PT. WHP (kawasan lindung dan di
luar kawasan lindung) adalah sebanyak 27 jenis dari enam famili dengan total
individu 206 ekor. Amfibi yang ditemukan di luar kawasan lindung sebanyak 19
jenis amfibi dari enam famili, sedangkan hasil pengamatan di kawasan lindung
sebanyak 17 jenis amfibi dari 4 famili. Terdapat dua famili yang tidak ditemukan
di kawasan lindung yaitu famili Microhylidae dan Rhacophoridae. Daftar
penemuan jenis amfibi di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Kurva
pertambahan jenis yang ditemukan selama pengamatan (sembilan hari)
menunjukkan bahwa sampai pengamatan terakhir jumlah jenis amfibi yang
ditemukan terus meningkat (Gambar 3).

9

Gambar 3 Kurva pertambahan jenis amfibi selama pengamatan di PT WHP,
Kalimantan Barat
Tabel 2 Penemuan amfibi pada berbagai tempat pengamatan di lokasi penelitian
Kawasan Lindung
Luar Kawasan
Buru
Famili
Lindung
Tukul
Bayan
Nama Spesies
AR PS2 PJ PS1 SL PN SL PN BZ
1
2
2
1
1
0
2
3
4
Bufonidae
Ansonia leptopus
+
+
+
+
+
+
+
Ansonia spinulifer
+
+
+
+
Ingerophrynus divergens
+
+
+
Leptophryne borbonica
+
+
Phrynoidis asper
3
4
2
1
1
0
2
1
2
Dicroglossidae
+
+
Fejervarya cancrivora
+
+
+
Fejervarya limnocharis
+
Limnonectes ibanorum
+
+
+
Limnonectes kuhlii
+
+
Limnonectes malesianus
+
+
+
+
+
Limnonectes paramacrodon
0
0
0
1
0
1
0
2
0
Megophryidae
+
+
Leptolalax gracilis
+
Leptolalax hamidi
+
Megophrys nasuta
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Microhylidae
+
Microhyla borneensis
1
1
2
3
2
0
3
3
3
Ranidae
+
+
Hylarana baramica
+
+
+
+
+
+
Hylarana chalconota
+
Hylarana erythraea
+
Hylarana glandulosa

10

Tabel 2 Penemuan amfibi pada berbagai tempat pengamatan di lokasi penelitian
(lanjutan)
Kawasan Lindung
Luar Kawasan
Buru
Famili
Lindung
Tukul
Bayan
Nama Spesies
AR PS2 PJ PS1 SL PN SL PN BZ
+
Hylarana nicobariensis
+
+
+
+
+
Meristogenys phaeomerus
+
+
Staurois natator
0
2
3
3
0
0
0
0
0
Rhacophoridae
+
Nyctixalus pictus
+
+
Polypedates leucomystax
+
+
Polypedates macrotis
+
+
Polypedates otilophus
+
Rhacophorus pardalis
5
9
9 10
4
1
7
9
9
Total Spesies
Keterangan:
AR : Arboretum Distrik Pesaguan
PJ : Sungai Pos Jaga Distrik Pesaguan
SL : Kawasan Pelepasliaran Satwa Liar (KPSL)
PN : Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN)

PS2 : Pesaguan 2
PS1 : Pesaguan 1
BZ : Buffer Zone

Berdasarkan status konservasi, tidak ada spesies yang terdaftar di Apendiks
CITES dan Lampiran PP RI No. 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi. Status IUCN spesies yang ditemukan terbagi menjadi
empat, yaitu not yet been assessed, LC (Least Concern), NT (Near Threatened),
dan VU (Vulnerable). Selain itu ditemukan enam spesies yang termasuk endemik
Borneo. Status perlindungan amfibi dan endemisitas disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Status konservasi dan endemisitas spesies
Status
Famili
Nama Spesies
IUCN
Endemisitas
Bufonidae
Ansonia leptopus
NT
Endemik
Ansonia spinulifer
NT
Endemik
Ingerophrynus divergens
LC
Tidak
Leptophryne borbonica
LC
Tidak
Phrynoidis Casper
LC
Tidak
Dicroglossidae
Fejervarya cancrivora
LC
Tidak
Fejervarya limnocharis
LC
Tidak
Limnonectes ibanorum
NT
Endemik
Limnonectes kuhlii
LC
Tidak
Limnonectes malesianus
NT
Tidak
Limnonectes paramacrodon
NT
Tidak

11

Tabel 3 Status konservasi dan endemisitas spesies (lanjutan)
Status
Famili
Nama Spesies
IUCN
Endemik
Megophryidae
Leptolalax gracilis
NT
Tidak
Leptolalax hamidi
VU
Endemik
Megophrys nasuta
LC
Tidak
Microhylidae
Microhyla borneensis
LC
Endemik
Ranidae
Hylarana baramica
LC
Tidak
Hylarana chalconota
LC
Tidak
Hylarana erythraea
LC
Tidak
Hylarana glandulosa
LC
Tidak
Hylarana nicobariensis
LC
Tidak
Meristogenys phaeomerus
NT
Endemik
Staurois natator
*
Tidak
Rhacophoridae
Nyctixalus pictus
NT
Tidak
Polypedates leucomystax
LC
Tidak
Polypedates macrotis
LC
Tidak
Polypedates otilophus
LC
Tidak
Rhacophorus pardalis
LC
Tidak
Keterangan:

* : Not yet been assessed
NT : Near Threatened

LC : Least Concern
VU : Vulnerable

Pengelompokan dan keanekaragaman jenis amfibi di kawasan lindung
dengan luar kawasan lindung
Hasil analisis kesamaan jenis amfibi menunjukkan bahwa terdapat
pengelompokan komunitas amfibi berdasarkan kesamaan jenis yang ditemukan.
Pengelompokan terbesar berada antara KPPN Tukul dengan Buffer Zone Tukul
sebesar 83,34% serta antara Arboretum Distrik Pesaguan dengan Pesaguan 2
sebesar 73,60%. Selanjutnya KPSL Tukul bergabung dengan KPPN Tukul dan
Buffer Zone Tukul dengan nilai sebesar 58,82%. Sungai di Pos Jaga Distrik
Pesaguan bergabung dengan KPSL Buru Bayan sebesar 57,37%. Lokasi dengan
persentase kesamaan jenis terendah adalah Pesaguan 1 yang bergabung dengan
Sungai di Pos Jaga dan KPSL Buru Bayan dengan nilai sebesar 49,47% dan
KPPN Buru Bayan yang bergabung dengan Arboretum, Pesaguan 2, Sungai Pos
Jaga, KPSL Buru Bayan, dan Pesaguan 1 sebesar 35,67% (Gambar 4).
Hasil perhitungan frekuensi relatif, spesies dengan frekuensi relatif terbesar
di luar kawasan lindung adalah Ingerophrynus divergens, Fejervarya limnocharis,
Limnonectes paramacrodon, dan Hylarana chalconota, sebesar 9% (Gambar 5).
Keempat spesies tersebut ditemukan di tiga lokasi dari total empat lokasi
pengamatan yang ada di luar kawasan lindung (Tabel 2). Spesies dengan frekuensi
terbesar di kawasan lindung adalah Leptophryne borbonica, Limnonectes kuhlii,
Hylarana chalconota, dan Meristogenys phaeomerus, sebesar 10% (Gambar 6).

12

Keempat spesies tersebut ditemukan di setiap lokasi pengamatan di kawasan
lindung (Tabel 2).

Keterangan:
AR : Arboretum Distrik Pesaguan
PJ : Sungai Pos Jaga Distrik Pesaguan
PS1 : Pesaguan 1
SLT : KPSL Tukul
BZT : Buffer Zone Tukul

PS2 : Pesaguan 2
SLB : KPSL Buru Bayan
PNB : KPPN Buru Bayan
PNT : KPPN Tukul

Gambar 4 Dendrogram kesamaan jenis amfibi berdasarkan lokasi pengamatan

Gambar 5 Frekuensi relatif pertemuan spesies di beberapa lokasi di luar kawasan
lindung

Gambar 6 Frekuensi relatif pertemuan spesies di beberapa lokasi di kawasan
lindung

13

Indeks keanekaragaman jenis di luar kawasan lindung sebesar 2,57 hasil ini
relatif lebih tinggi dibandingkan nilai indeks di kawasan lindung sebesar 2,21
(Gambar 7). Nilai indeks kemerataan di kedua kawasan relatif rendah, yaitu 0,13
di kawasan lindung dan 0,14 di luar kawasan lindung.

Gambar 7 Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis amfibi di dalam dan di
luar kawasan lindung

Pembahasan
Spesies amfibi yang ditemukan di PT. Wana Hijau Pesaguan (WHP),
Kalimantan Barat sebanyak 27 spesies dari enam famili dengan jumlah total
individu 206 ekor. Hasil tersebut sama dengan penemuan Utama (2003) di PT.
Intracawood Manufacturing, Kalimantan Timur. Adapun jumlah yang lebih
sedikit ditemukan oleh Sardi et al. (2014) sebanyak 24 spesies di Resort Lekawai
Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya, Kalimantan Barat, Yani et al.
(2015) sebanyak 18 spesies di Kawasan Hutan Lindung Gunung Semahung,
Kalimantan Barat, serta Mistar (2008) sebanyak 15 spesies di Areal Mawas,
Kalimantan Tengah. Akan tetapi jumlah yang ditemukan di PT. WHP lebih
sedikit jika dibandingkan dengan Kolanus et al. (2009) dan Himakova (2008) di
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya sebanyak 29 spesies, Abdiansyah (2011)
sebanyak 31 spesies di Kawasan Lindung Sungai Lesan, Kalimantan Timur,
Rahmania (2014) sebanyak 36 spesies di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan
Tengah, Iskandar et al. (1998) sebanyak 55 spesies di Taman Nasional Bentuang
Karimun, Kalimantan Barat, maupun Iskandar et al. (2007) sebanyak 56 spesies di
Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.
Sedikitnya jumlah spesies yang ditemukan di PT. WHP disebabkan jumlah
hari pengamatan yang lebih sedikit dibandingkan Abdiansyah (2011), Rahmania
(2014), maupun Iskandar et al. (2007). Total 31 spesies yang ditemukan
Abdiansyah (2011) didapatkan dalam kurun waktu 17 hari pengamatan dari total
20 hari pengamatan (tidak ada penambahan spesies sejak hari ke-18). Sedangkan
36 spesies yang ditemukan Rahmania (2014) didapatkan dalam kurun waktu 29
hari dari total 30 hari pengamatan. Adapun total 56 spesies yang ditemukan
Iskandar et al. (2007) didapatkan dalam kurun waktu 19 hari. Hasil penelitian di
PT. WHP dan Iskandar et al. (2007) sama-sama masih menunjukkan grafik yang
meningkat pada kurva penambahan spesies. Menurut Iskandar et al. (2007), grafik

14

penambahan spesies yang masih menunjukkan peningkatan menunjukkan masih
adanya potensi penambahan spesies jika dilakukan penelitian lebih lanjut di
daerah tersebut.
Selain jumlah hari pengamatan, hal yang mempengaruhi lebih sedikitnya
jumlah spesies yang ditemukan di PT. WHP adalah luas dan kondisi lokasi
pengamatan. Penelitian Iskandar et al. (1998) di Taman Nasional Bentuang
Karimun dan Iskandar et al. (2007) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
mendapatkan banyak jumlah spesies karena luasnya lokasi pengamatan dan
beragamnya jenis habitat. Kondisi lokasi yang terganggu juga mempengaruhi
sedikitnya jumlah spesies amfibi yang didapatkan (Utama 2003).
Berdasarkan penelitian Utama (2003), didapatkan hasil bahwa jumlah
spesies anura berkorelasi negatif dengan usaha pembukaan wilayah hutan (PWH).
Pembukaan wilayah hutan (PWH) merupakan kegiatan pembuatan sarana dan
prasarana untuk mengeluarkan kayu tebangan dari hutan. Lebih lanjut lagi Utama
(2003) menyatakan hutan alami mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak
dibandingkan kawasan hutan yang telah mengalami pembukaan lahan. Kegiatan
PWH berpengaruh pada terjadinya fragmentasi-fragmentasi di habitat terestrial.
Sementara pada habitat sungai, kegiatan PWH memiliki pengaruh yang lebih
besar dibandingkan penebangan karena pembukaan lahan menyebabkan adanya
erosi yang mengotori kejernihan sungai. Erosi berasal dari tanah yang tergerus
akibat dijadikan jalan sarad. Penelitian Darmawan (2008) di lima habitat (hutan
primer, hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit, dan areal bekas tebangan) juga
menunjukkan bahwa kawasan hutan memiliki keanekaragaman dan kemerataan
amfibi yang lebih besar dibandingkan kawasan kebun dan areal bekas tebangan.
Spesies-spesies endemik Borneo yang ditemukan sepanjang pengamatan
adalah Ansonia leptopus, Ansonia spinulifer, Limnonectes ibanorum, Leptolalax
hamidi, Microhyla borneensis, dan Meristogenys phaeomerus (Inger dan Stuebing
1997). Meskipun keenam spesies tersebut adalah endemik Borneo, yang banyak
ditemukan hanya dua spesies, yaitu M. phaeomerus (45 individu) dan A. leptopus
(15 individu). Sisanya hanya ditemukan satu individu ataupun di bawah lima
individu, yaitu A. spinulifer (4 individu), L. ibanorum (2 individu), L. hamidi (1
individu), dan M. borneensis (1 individu). Sebagian besar spesies yang ditemukan
termasuk kategori LC, yaitu sebanyak 17 jenis. Sisanya sebanyak delapan jenis
masuk kategori NT, satu jenis VU, dan satu jenis belum dinilai, yaitu Staurois
natator. Selain alasan kerusakan atau kehilangan habitat, salah satu ancaman
kepunahan adalah perburuan oleh manusia. Tiga spesies yang ditemukan selama
penelitian yang biasa diburu manusia pada umumnya adalah Fejervarya
cancrivora, Fejervarya limnocharis, dan Limnonectes kuhlii (van Dijk et al.
2004a, Zhigang et al. 2004, van Dijk et al. 2009, Saputra et al. 2014). Beberapa
jenis katak di lokasi penelitian juga biasa diburu oleh masyarakat lokal (Suku
Dayak) meski belum diketahui jenisnya secara pasti. Secara umum 27 jenis katak
yang ditemukan dianggap tidak memiliki catatan perdagangan atau perburuan
yang membahayakan, sehingga tidak ada yang terdaftar di apendiks CITES
maupun lampiran PP No. 7 tahun 1999.
Leptolalax hamidi menjadi satu-satunya spesies yang ditemukan dengan
kategori VU. Menurut Inger et al. (2004a), L. hamidi terdaftar sebagai Rentan
(Vulnerable), karena cakupan distribusi kurang dari 20.000 km2 dengan area
hunian kurang dari 2.000 km2, distribusi sangat terfragmentasi, serta penurunan

15

terus menerus luas dan kualitas habitat hutan. Katak L. hamidi juga ditemukan
hanya sekali dengan total satu individu pada penelitian ini. Satu individu ini
ditemukan di KPPN Bukit Tukul.
Habitat terganggu di lokasi penelitian mencakup habitat sekitar bekas
tebangan, pinggir jalan mobil (off-road), lahan terbuka, dan kubangan bekas
kerukan mesin. Sementara habitat tidak terganggu di lokasi penelitian mencakup
habitat hutan alam, hutan riparian, sungai, dan danau. Berdasarkan gambar 3
terlihat bahwa lokasi penelitian dengan indeks kesamaan > 50% memiliki tiga
kelompok, yaitu AR-PS2 (habitat terganggu), PJ-SLB (habitat tidak terganggu),
dan SLT-PNT-BZT (habitat tidak terganggu). Terdapat dua lokasi penelitian yang
tidak memiliki kesamaan jenis yang besar dengan lokasi lainnya (indeks
kesamaan < 50%), yaitu PS1 (habitat terganggu) dan PNB (habitat tidak
terganggu). Habitat terganggu (disturbed area) adalah daerah di mana vegetasi,
lapisan atas tanah (topsoil), atau lapisan penutup (overburden) telah hilang, atau di
mana lapisan atas tanah (topsoil) rusak dan ditemukannya limbah olahan (Ecology
Dictionary 2008). Menurut Biology Online (2005), daerah terganggu (disturbed
area) merupakan daerah di mana vegetasi, tanah, dan/atau hidrologi telah berubah
secara signifikan, sehingga membuat sulit penentuan lahan basah.
Nilai indeks keanekaragaman jenis di luar kawasan lindung sebesar 2,57
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lindung sebesar 2,21 disebabkan
beragamnya mikrohabitat di luar kawasan lindung. Terdapat enam tipe habitat di
tempat pengamatan luar kawasan lindung, yaitu hutan alam, sungai, kubangan
bekas kerukan mesin, hutan atau anak sungai sekitar bekas tebangan, lahan
terbuka, dan pinggir jalan mobil (off-road). Sementara itu hanya terdapat lima tipe
habitat di tempat pengamatan kawasan lindung, yaitu hutan alam, hutan riparian,
sungai, pinggir jalan mobil (off-road), dan danau. Menurut Kusrini (2009),
keanekaragaman tumbuhan dan habitat dapat meningkatkan kekayaan jenis.
Selain itu, terdapat kemungkinan bias. Saat penelitian, penebangan di Pesaguan 2
yang merupakan salah satu lokasi pengamatan di luar kawasan lindung belum
terlalu besar. Selama pengambilan data tidak ditemukan aktivitas manusia yang
intensif di sana, selain itu lokasinya berdekatan dengan kawasan lindung dan jauh
dari pemukiman manusia. Tidak diketahui pula kapan aktivitas penebangan
terakhir dilakukan di daerah tersebut. Hal ini membuat keanekaragaman amfibi di
lokasi ini tinggi dibandingkan daerah kawasan lindung.
Indeks kemerataan di dua macam kawasan relatif rendah, yaitu 0,13 di
kawasan lindung dan 0,14 di luar kawasan lindung. Nilai indeks yang rendah
tersebut disebabkan pembagian jumlah pengamatan antar habitat baik antara
daerah terganggu dengan daerah tidak terganggu atau antara habitat terestrial
dengan akuatik tidak merata. Jumlah pengamatan di habitat akuatik atau semiakuatik lebih banyak, sehingga jumlah individu amfibi yang hidup di habitat
akuatik dan semi-akuatik lebih banyak ditemukan dibandingkan amfibi terestrial,
arboreal, maupun fossorial. Beberapa spesies yang hanya ditemukan satu individu
sepanjang pengamatan (sembilan hari) adalah Leptolalax hamidi, Megophrys
nasuta, M. borneensis, Nyctixalus pictus, dan Rhacophorus pardalis. Sementara
spesies yang paling banyak ditemukan adalah M. phaeomerus, yaitu sebanyak 45
individu.
Dilihat dari kedekatannya dengan air, maka jenis-jenis yang ditemukan
dekat sumber air ada 23 spesies. Empat spesies lainnya hanya ditemukan di

16

habitat terestrial (jauh dari sumber air), yaitu M. nasuta (Megophyridae), M.
borneensis (Microhylidae), serta Hylarana glandulosa dan Hylarana
nicobariensis (Ranidae). Menurut Baker et al. (2011), amfibi yang hidup di
habitat terestrial tetap sangat tergantung pada aIr Mereka memiliki kulit
permeabel yang membuat mereka rentan terhadap pengeringan, meskipun
toleransi kondisi kering bervariasi antarspesies.
Menurut Inger dan Stuebing (1997), M. borneensis dan H. glandulosa
merupakan spesies yang tinggal di serasah-serasah daun di lantai hutan, sementara
M. nasuta biasa ditemukan di sekitar sungai hutan, tetapi katak dewasanya tinggal
di habitat terestrial (Malkmus et al. 2002). Adapun di lokasi penelitian, H.
nicobariensis ditemukan di pinggir jalan mobil (off-road). Menurut Inger dan
Stuebing (1997), H. nicobariensis tersebar luas di daerah terganggu termasuk di
sepanjang sisi jalan.
Spesies yang dominan ditemukan di daerah terganggu adalah F. limnocharis
(15 individu) dan Polypedates leucomystax (12 individu). Sementara di daerah
tidak terganggu, spesies yang dominan ditemukan adalah amfibi akuatik, yaitu M.
phaeomerus (45 individu), A. leptopus (17 individu), Leptophryne borbonica (15
individu), dan L. kuhlii (12 individu).
Beberapa spesies yang menurut Inger dan Stuebing (1997) tidak hidup di
daerah terganggu tetapi ditemukan di daerah terganggu saat penelitian adalah
Ingerophrynus divergens, Phrynoidis asper, M. borneensis, L. gracilis, Hylarana
baramica, dan H. glandulosa. Phrynoidis asper ditemukan di anak sungai sekitar
bekas tebangan, Pesaguan 2. Ingerophrynus divergens ditemukan di sekitar bekas
tebangan (Pesaguan 2) dan sekitar jalan mobil (off-road) (Pesaguan 1) (Gambar
8). Jenis M. borneensis hanya ditemukan di lahan terbuka (Pesaguan 1) di tempat
penanaman semai akasia, sedangkan L. gracilis, H. baramica, dan H. glandulosa
ditemukan di sekitar jalan mobil (off-road) menuju KPSL Pesaguan 1 di Bukit
Buru Bayan (Gambar 9). Keberadaan P. asper di luar kawasan lindung (Pesaguan
2) dan jenis-jenis lainnya yang tidak toleran terhadap gangguan besar diperkirakan
akan hilang jika sudah terjadi penebangan.

Gambar 8 I. divergens yang ditemukan bersembunyi di balik kulit kayu sisa
penebangan di tepi hutan, dekat jalan mobil (off-road)

17

(a)
(b)
Gambar 9 H. baramica (a) dan H. glandulosa (b) yang ditemukan di tepi hutan,
dekat jalan mobil (off-road)
Menurut Inger dan Stuebing (1997), I. divergens hidup di hutan primer dan
sekunder, sedangkan L. gracilis hidup di hutan primer dan sekunder tua.
Leptolalax gracilis membutuhkan aliran air yang bersih untuk berkembang biak,
sehingga ditemukannya L. gracilis di tempat tersebut menunjukkan meski terdapat
pembukaan jalan dan beberapa penebangan, secara garis besar habitat di sana
masih baik. Menurut Marks (2006), kebanyakan amfibi memiliki kemampuan
dispersal yang buruk dan sering tidak dapat pindah ke daerah alternatif ketika
habitatnya terganggu. Berdasarkan hal tersebut, wajar jika L. gracilis dan I.
divergens masih dapat ditemukan di tepi hutan samping jalan mobil (off-road)
karena intensitas gangguan di sana juga masih sangat rendah. Suatu saat jika
tempat tersebut dibuka untuk penanaman akasia, terdapat ancaman besar terhadap
populasi dua jenis tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Inger et al. (2004b)
dan van Dijk et al. (2004b) yang mengatakan bahwa deforestrasi dan penebangan
hutan menjadi ancaman terbesar terhadap populasi dua jenis tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai indeks keanekaragaman jenis amfibi PT. WHP di dalam maupun luar
kawasan lindung relatif baik terutama sekitar bagian daerah aliran sungai.
Terdapat bias dalam hasil penelitian disebabkan perbedaan metode pengambilan
data antara kawasan lindung dan luar kawasan lindung, serta jumlah pengamatan
yang tidak berimbang antara habitat terestrial dan habitat akuatik. Akan tetapi
hasil penelitian tetap bisa menjadi gambaran umum tentang keanekaragaman jenis
amfibi yang ada di PT. WHP.
Komunitas amfibi yang ditemukan bisa dikelompokkan menjadi amfibi
yang hidup di habitat terganggu dan habitat tidak terganggu. Semua lokasi di
dalam kawasan lindung masuk dalam kategori tidak terganggu, meski terdapat
sedikit gangguan di Bukit Tukul berupa jalan mobil. Lokasi di luar kawasan

18

lindung terbagi menjadi dua, yaitu terganggu dan tidak terganggu. Masing-masing
tipe habitat memiliki komunitas amfibi tersendiri meskipun terdapat beberapa
spesies yang tersebar di banyak tipe habitat.

Saran
Perlu dilakukan kajian mengenai pergerakan atau wilayah jelajah amfibi
untuk memperhitungkan dampak apabila terjadi kerusakan habitat. Perbedaan
metode dalam pengambilan data membuat pembandingan kurang tepat sehingga
diperlukan kesamaan metode dan jumlah pengamatan yang sama di berbagai tipe
habitat untuk mendapatkan nilai keanekaragaman dan kemerataan jenis yang lebih
baik. Beragamnya spesies amfibi yang berada di luar kawasan lindung
mengharuskan pengelola kawasan untuk juga menjaga habitat di luar kawasan
lindung.

DAFTAR PUSTAKA

[Himakova] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
(ID). 2008. Laporan Studi Konservasi Lingkungan (Surili) 2008: Eksplorasi
Keanekaragaman Hayati Flora Fauna di Taman Nasional Bukit Baka Bukit
Raya.
Abdiansyah R. 2011. Studi keanekaragaman jenis amfibi di Kawasan Lindung
Sungai Lesan, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Baker J, Beebee T, Buckley J, Gent A, Orchard D. 2011. Amphibian Habitat
Management Handbook. Bournemouth: Amphibian and Reptile
Conservation.
Biology Online. 2005. Disturbed Area. [internet]. [diunduh 31 Agustus 2014].
Tersedia pada: http://www.biology-online.org/dictionary/Disturbed_area.
Brower JE, Zar JH. 1997. Field and Laboratory Methods for General Ecology.
Iowa: Brown.
Carey C, Alexander MA. 2003. Climate change and Amphibian declines: Is there
a link? Diversity and Distributions 9: 111-121.
Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di berbagai tipe habitat: studi kasus
di Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Das I. 2007. Amphibians and Reptiles of Brunei: A Pocket Guide. Kinabalu:
Natural History Publications (Borneo).
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan
Hutan. 2010. Pemanfaatan Kawasan. [internet]. [diunduh 7 Mei 2014].
Tersedia
pada:
http://web1.comeze.com/index.php/mainindex/KAT/HTI/260.

19

Ecology Dictionary. 2008. Definition of: Disturbed Area. [internet]. [diunduh 31
Oktober
2014].
Tersedia
pada:
http://www.ecologydictionary.org/DISTURBED_AREA.
Fitrian F. 2013. Pengaruh luasan dan jarak dari daerah inti pada area
terfragmentasi terhadap keanekaragaman herpetofauna [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Hamer AJ, McDonnell MJ. 2008. Amphibian ecology and conservation in the
urbanising world: are view. Biological Conservation 141 (2008) 2432–
2449.
Hedley SL, Buckland ST. 2004. Spatial models for line transect sampling. Journal
of Agricultural, Biological, and Environmental Statistics Volume 9, Number
2, Pages 181–199.
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994.
Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods for
Amphibians. Washington: Smihsonian Institution Press.
Hilwan I, Mulyana D, Pananjung WD. 2013. Keanekaragaman spesies tumbuhan
bawah pada tegakan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb.) dan
trembesi (Samanea saman Merr.) di lahan pasca tambang batubara PT
Kitadin, Embalut, Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur
Tropika 4 (1): 6-10.
Inger R, Iskandar D, Das I, Stuebing R, Lakim M, Yambun P. 2004a. Leptolalax
hamidi. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3.
[internet].
[diunduh
17
Desember
2014].
Tersedia
pada:
http://www.iucnredlist.org/details/57566/0.
Inger R, Stuebing R, Iskandar D, Mumpuni. 2004b. Ingerophrynus divergens. The
IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2. [internet]. [diunduh
3
November
2014].
Tersedia
pada:
http://www.iucnredlist.org/details/54629/0.
Inger RF dan Stuebing RB. 1997. A Field Guide to The Frogs of Borneo.
Kinabalu: Natural History Publications.
Iskandar DT, Bickford DP, Ruyani A, Karyado B, Gusman D. 2007. Laporan
Ekspedisi Sumatra-Kalimantan: Aquatic Biodiversity of Sundaland.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Iskandar DT, Setyanto DY, Liswanto D. 1998. Keanekaragaman herpetofauna di
Taman Nasional Bentuang Karimun, Kalimantan. Makalah pada Lokakarya
“Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bentuang Karimun: Usaha
Mengintegrasikan Konservasi Keanekaragaman Hayati Dengan
Pembangunan Propinsi Kalimantan Barat.” Pontianak, 29 April - 1 Mei
1998.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor:
Puslitbang LIPI.
Kirono S dan Santoso E. 2010. Panduan Lapangan Amfibi Sekitar Hulu
Belantikan. Indonesia: Pustaka Yayorin.
Kolanus F, Yunanti BD, Kaban A, R. Faid Abdul M. 2009. Keanekaragaman
amfibi di Kawasan Penyangga Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
(Studi kasus PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat) [PKM-AI]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.

20

Kusrini MD. 2009. Pedoman Penelitian dan Survey Amfibi di Alam. Bogor:
Fakultas Kehutanan IPB.
Long B, Zhang Z, Yu PS. 2010. Relational Data Clustering: Models,
Alghorithma, and Applications. New York: CRC Press.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Oxford: Blackwell
Publishing.
Malkmus R, Manthey U, Vogel G, Hoffmann P, KosuchJ. 2002. Amphibians and
Reptiles of Mount Kinabalu (North Borneo). Ruggell: ARG Gantner Verlag
KG.
Marks R. 2006. Amphibians and Reptiles. Fish and Wildlife Habitat Management
Leaflet Number 35. Washington: US Department of Agriculture (USDA).
Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Areal Mawas Propinsi
Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). Mawas: BOS.
Nishikawa K, Matsui M, Yong HS, Ahmad N, Yambun P, Belabut DM, Sudin A,
Hamidy A, Orlov NL, Ota H, et al. 2012. Molecular phylogeny and
biogeography of Caecilians from Southeast Asia (Amphibia, Gymnophiona,
Ichthyophiidae), with Special reference do High cryptic species diversity in
Sundaland. Molecular Phylogenetics and Evolution 63 (2012) 714–723.
Pio D. 2005. Borneo’s Lost World. Newly Discovered Species on Borneo. Jakarta:
WWF-Indonesia.
Rahmania M. 2014. Keanekaragaman amfibi di Kabupaten Murung Raya,
Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Saputra D, Setyawati TR, Yanti AH. 2014. Karakteristik populasi katak sawah
(Fejervarya cancrivora) di persawahan Sungai Raya Kalimantan Barat.
Protobiont Vol 3 (2) : 81 – 86.
Sardi M, Erianto, Siahaan S. 2014. Keragaman herpetofauna di Resort Lekawai
Kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Lestari Vol. 2 (1).
Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan ekologi herpetofauna (reptil dan amfibi) di
Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sumargo W, Nanggara SG, Nainggolan FA, Apriani I. 2011. Potret Keadaan
Hutan Indonesia. Edisi Pertama. Bogor: Forest Watch Indonesia.
Thiessen T. 2012. Borneo: Sabah-Brunei-Sarawak. Edition 2. Guilford: The
Globe Pequot Press Inc.
Utama H. 2003. Studi keanekaragaman amfibi (ordo Anura) di areal PT
Intracawood Manufacturing, Kalimatan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
van Dijk PP, Inger R, Sukumaran J, Chuaynkern Y. 2004b. Leptolalax gracilis.
The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2. [internet].
[diunduh
3
November
2014].
Tersedia
pada:
http://www.iucnredlist.org/details/57565/0.
van Dijk PP, Iskandar D, Inger R, Lau MWN, Datong Y, Ohler A, Shunqing L,
Sengupta S, Bordoloi S. 2004a. Limnonectes kuhlii. The IUCN Red List of
Threatened Species. Version 2014.3. [internet]. [diunduh 17 Desember
2014]. Tersedia pada: http://www.iucnredlist.org/details/58346/0.
van Dijk PP, Iskandar D, Inger R, Lau MWN, Ermi Z, Baorong G, Dutta S,
Arachchi KM, de Si