Deteksi Dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus Dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo

DETEKSI DAN KARAKTERISASI PARSIAL
PARAMYXOVIRUS DARI KELELAWAR ASAL HUTAN
BAKAU OLIBUU, KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI,
KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

DESI SYAHRENI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Karakterisasi
Parsial Paramyxovirus dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan
Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2016
Desi Syahreni
NIM B253140081

RINGKASAN
DESI SYAHRENI. Deteksi dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus dari
Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo. Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan
LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Penyakit zoonotik didefinisikan oleh World Health Organization (WHO)
sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara alamiah antara hewan dan
manusia. Dilaporkan bahwa 75% penyakit menular baru pada manusia merupakan
penyakit zoonotik. Penyakit zoonotik baru yang muncul pada manusia
kebanyakan ( sekitar 60,3%) akibat kontak dengan satwa liar. Pengendalian
penyakit zoonotik saat ini belum dilaksanakan secara efektif dan efisien, hal ini
disebabkan oleh banyak faktor dan kendala baik di dalam kebijakan pemerintah
maupun masalah teknis di lapangan. Tindakan pencegahan dan pengendalian

penyakit zoonotik yang paling efektif dan efisien adalah tindakan yang dilakukan
pada sumber penyakit, salah satunya kelelawar. Virus merupakan patogen yang
dapat menginfeksi hewan, tumbuhan, dan manusia. Salah satu virus yang perlu
diwaspadai adalah berasal dari famili Paramyxoviridae seperti measles, mumps,
Respiratory Syncitial Virus (RSV), Hendara dan Nipah virus yang di perantarai
oleh kelelawar buah sebagai resevoar alami.
One Health merupakan suatu konsep interaksi kerjasama berbagai disiplin
ilmu dan sektor yang bekerja di tingkat lokal, nasional dan global untuk mencapai
kesehatan yang optimal untuk manusia, hewan dan lingkungan. Adanya interaksi
antara kelelawar dan manusia (human-animal interface), khususnya anggota
masyarakat Gorontalo sebagai penangkap kelelawar dan mendistribusikan hasil
tangkapannya ke Sulawesi Utara (suku Minahasa), mengindikasikan kemungkinan
terdapatnya risiko penularan agen penyebab penyakit dari kelelawar kepada
manusia. Di sisi lain, suku Minahasa dikenal sebagai konsumen satwa liar salah
satunya kelelawar, hal ini mungkin dapat meningkatkan risiko tertularnya
manusia terhadap penyakit zoonotik. Tujuan penelian ini untuk mendeteksi dan
karakterisasi parsial materi genetik dari kelelawar di daerah Hutan Bakau Olibuu,
Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo dan
membandingkan tingkat kekerabatan genetik virus yang dideteksi dan
diidentifikasi dari kelelawar yang berasal dari daerah tersebut. Penelitian ini

menggunakan 95 sampel dari specimen feses atau rectal swab dari spesies
kelelawar pemakan buah (Pteropus alecto) dengan metoda Polymerase Chain
Reaction (PCR), dilanjutkan dengan sekuensing kemudian dianalisis
menggunakan program BioEdit menggunakan teknik Basic Local Alignment
Search Tool (BLAST), NCBI dan program Molecular Evolutionary Genetics
Analysis 6 (MEGA 6) untuk pembuatan pohon filogenetik.
Hasil penelitian menunjukkan dari 95 sampel yang merupakan spesimen
feses atau rectal swab (usap rektal) kelelawar besar pemakan buah (Pteropus
alecto) yang diuji, 10 sampel dinyatakan presumptive positive paramyxovirus
yang diindikasikan dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), ditandai
dengan munculnya pita sebesar 561 bp pada elektroforesis DNA, selanjutnya
setelah dilakukan sekuensing terhadap 10 hasil PCR tersebut, tiga sampel
dikonfirmasi memiliki runutan yang sesuai dengan paramyxovirus. Tiga sampel

yang dikonfirmasi memiliki runutan nukleotida sesuai dengan paramyxovirus
dianalisis lebih lanjut menggunakan sistem bioinformatika, salah satunya untuk
melihat kekerabatan dengan membuat pohon filogenetik menggunakan program
Bioedit dan MEGA6. tiga sampel, yaitu: INDSWBT-105, INDSWBT-107 dan
INDSWBT-190 merupakan sampel yang dikonfirmasi positif terhadap
paramyxovirus. Ketiga sampel positif paramyxovirus tersebut memiliki

kekerabatan cukup dekat dengan beberapa paramyxovirus yang sudah
dipublikasikan.
Kata kunci: Paramyxovirus, Pteropus alecto, Consensus PCR, Indonesia.

SUMMARY
DESI SYAHRENI. Detection and Partial Characterization of Paramyxovirus from
Bats Originated From Mangroves Olibuu, Paguyaman Pantai Subdistrict, Boalemo
Regency, Gorontalo Province. Supervised by JOKO PAMUNGKAS dan LIGAYA

ITA TUMBELAKA.
Zoonotic disease defined by the World Health Organization (WHO) as the
diseases naturally transmitted between animals and humans. It was reported that
75% of new infectious diseases in humans are zoonotic diseases. Emerging
zoonotic diseases in humans most (approximately 60.3%) due to contact with
wildlife. Control of zoonotic diseases currently not implemented effectively and
efficiently, it is caused by many factors and obstacles both within government
policy and technical issues in the field. Prevention and control of zoonotic
diseases are most effective and efficient are the actions performed on the source of
the disease, one of them bats. The virus is a pathogen that can infect animals,
plants, and humans. One virus to watch is derived from the family

Paramyxoviridae such as measles, mumps, syncitial Respiratory Virus (RSV),
Hendara and Nipah virus mediated by fruit bats as the natural resevoar.
One Health is a concept of interaction and cooperation of various
disciplines who work in the sector locally, nationally and globally to achieve
optimal health for people, animals and the environment. The interaction between
bats and humans (human-animal interface), especially members of the community
as a catcher bat Gorontalo and distribute their catches to the North Sulawesi
(Minahasans tribe), indicate the possible presence of disease-causing agents the
risk of transmission from bats to humans. On the other hand, is known as a
consumer Minahasans wildlife one bat, it may increase the risk of human
transmission of the zoonotic diseases. The purpose of this study presented for the
detection and partial characterization of the genetic material of bats in the area
Mangrove Olibuu, District Paguyaman Beach, Boalemo district, Gorontalo and
compared the genetic relationship viruses are detected and identified from the bats
coming from the area. This study using 95 samples from specimen of stool or
rectal swab of species of fruit bats (Pteropus Alecto) by the method of Polymerase
Chain Reaction (PCR), followed by sequencing and analyzed using the program
Bioedit using techniques Basic Local Alignment Search Tool (BLAST), NCBI
and Molecular Evolutionary Genetics Analysis program 6 (MEGA 6) for the
manufacture of phylogenetic trees.

The results showed 95 samples a specimen of stool or rectal swab (swab
rectal) bat big fruit eater (Pteropus Alecto) were tested, 10 samples expressed
presumptive positive paramyxovirus indicated by polymerase chain reaction
(PCR), characterized by the emergence of a ribbon of 561 bp on DNA
electrophoresis, then after the sequencing of the 10 PCR results, three samples
were confirmed to have sequences corresponding to the paramyxovirus. Three
samples were confirmed to have the nucleotide sequences according to the
paramyxovirus further analyzed using bioinformatics systems, one of them to see
kinship with making the phylogenetic tree using Bioedit and MEGA6 program.
three samples, namely: INDSWBT-105, INDSWBT-107 and INDSWBT-190 is a

confirmed positive sample against paramyxovirus. The paramyxovirus third
positive samples have fairly close kinship with some of the paramyxovirus that
has been published.
Keywords: Paramyxovirus, Pteropus alecto, Consensus PCR, Indonesia.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DETEKSI DAN KARAKTERISASI PARSIAL
PARAMYXOVIRUS DARI KELELAWAR ASAL HUTAN
BAKAU OLIBUU, KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI,
KABUPATEN BOALEMO, PROVINSI GORONTALO

DESI SYAHRENI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi Medik

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Drh Surachmi Setiyaningsih, Ph.D

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Sub
hanahuWaTa’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah dengan judul Deteksi dan Karakterisasi Parsial Paramyxovirus
dari Kelelawar Asal Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai,
Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo. Penelitian ini di danai oleh
Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang
bekerjasama dengan PREDICT USAID. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan untuk Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Rasa terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Drh. Joko
Pamungkas, M.Sc dan Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, M.Sc., Sp.MP selaku
pembimbing yang banyak memberikan arahan, masukan, bimbingan dan
waktunya selama proses penelitian dan penulisan tesis ini.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drh. Fachriyan H

Pasaribu selaku ketua Prodi Mikrobiologi Medik, terima kasih kepada Drh.
Surachmi Setiyaningsih, Ph.D selaku dosen penguji luar komisi pembimbing atas
saran dan masukan untuk perbaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih kepada semua Ibu dan Bapak Dosen Program Studi
Mikrobiologi Medik yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, terima kasih
kepada seluruh staf dan laboran di Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa
Primata Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis selama melakukan
penelitian.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan
di Program Studi Mikrobiologi Medik 2014 yang turut membantu dan
memberikan motivasi dalam penulisan tesis ini, terima kasih juga kepada
angkatan 2013, 2015 atas saran, masukan dan berbagi ilmunya serta semua pihak
yang telah membantu selama studi dan pelaksanaan penelitian.
Ungkapan terima kasih dan hormat juga penulis sampaikan kepada
Ayahanda tercinta Syahrial dan Ibunda tercinta Elizarni, kakak- kakak (Novi
Eljeri S, SE, Dede Saputra S, Nofiana Latifa, Sri Maira, S. Pt, Bendri Yanuf, S.
Pt), adik- adik (Hari Aksa Mulya dan Husnil Fajri), serta seluruh keluarga atas
segala doa, kasih sayang dan dukungannya. Penulis juga mengucapakan terimasih
kepada Abang Rabbul Zukri atas semangat, motivasi dan kesabarannya dalam
menunggu sampai penulis menyelesaikan pendidikan Magister. Penulis juga

berkesempatan mengucapan terima kasih kepada anggota Karona Cantik dan
GaGaCa Minang atas dukungan moril selama menempuh studi di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

Desi syahreni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN


xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Paramyxovirus
Kelelawar

3
3
9

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Sampel Penelitian
Alat dan Bahan
Analisis Laboratorium
Analisis Hasil Sekuensing
Analisis Data

14
14
14
14
14
16
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

18

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

22
22
22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1. Kode, Lokasi dan Fungsi Protein Viral
2. Runutan nukleotida primer Paramyxovirus
3. Daftar sampel positif dan persentase tingkat kemiripan Paramyxovirus

6
16

hasil analisis menggunakan BLAST
4. Daftar wabah ( Outbreaks) Nipah virus: Malaysia, Singapura,
Bangladesh dan India

18
20

DAFTAR GAMBAR
1. Struktur Virus berdasarkan komposisi kelengkapan proteinnya.
2. Strand Negatif Genom linear RNA, berukuran sekitar 17 kb dapat

5

menyimpan 9 Protein (Hulo, et al., 2011)
Proses replikasi virus Paramyxoviridae (Madigan et al., 2012)
Black flying-fox (Pteropus alecto).
Visualisasi hasil Nested PCR dari 3 sampel usap rectum kelelawar asal
hutan bakau Olibuu, Sulawesi Utara dengan primer PAR-F2 dan PAR R.
M: marker Vc 100 bp, lane 1-3: Hasil positif nested PCR
Pohon filogenetik menggunakan metode Neighbor joining berdasarkan
fragmen gen L. Tiga sampel positif dibandingkan dengan runutan
nukleotida yang memiliki kemiripan dengan runutan nukleotida
paramyxovirus yang terdapat di GenBank.

7
8
12

3.
4.
5.

6.

18

19

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil Visualisasi Elektroforesis menggunakan GelDog (BioRad)
2. Pensejajaran sekuens Bat paramyxovirus INDSWBT regio gen L isolat

hasil studi menggunakan BioEdit

29
32

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sekitar 75% penyakit infeksius yang baru muncul (emerging infectious
diseases/ EID) pada manusia merupakan penyakit zoonotik (Wolfe et al. 2005;
Naipospos 2010). Penyakit zoonotik atau zoonosis didefinisikan oleh World
Health Organization (WHO) sebagai penyakit-penyakit yang ditularkan secara
alamiah antara hewan dan manusia (Shakespeare 2009). Penyakit zoonotik baru
pada manusia kebanyakan (sekitar 60.3%) terjadi sebagai akibat kontak dengan
satwa liar (Wolfe et al. 2005). Pengendalian penyakit zoonotik saat ini belum
dilaksanakan secara efektif dan efisien, hal ini disebabkan oleh banyak faktor dan
kendala baik di dalam kebijakan pemerintah maupun masalah teknis di
lapangan. Tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik yang paling
efektif dan efisien adalah tindakan yang dilakukan pada sumber penyakit, salah
satunya kelelawar (Shakespeare 2009).
Virus merupakan patogen yang dapat menginfeksi hewan, tumbuhan, dan
manusia. Salah satu virus yang perlu diwaspadai adalah berasal dari famili
Paramyxoviridae merupakan penyebab penyakit mayor pada anak-anak seperti
measles dan mumps. Anggota lain dari famili ini, yaitu Respiratory Syncitial Virus
(RSV) merupakan penyebab infeksi pernafasan ringan pada bayi dan anak-anak di
seluruh dunia dan penyakit saluran pernafasan akut pada orang tua. Parainfluenza
virus tipe 1, 2, dan 3 menyebabkan penyakit pernafasan akut pada orang dewasa
dan anak-anak (Engleberg et al. 2006). Anggota baru dari famili virus ini yaitu
virus Hendra dan virus Nipah diketahui bersifat zoonotik yang mengakibatkan
infeksi yang fatal pada manusia (Van Boheemen et al. 2012). Berdasarkan
penelitian lebih lanjut ternyata virus tersebut memiliki inang perantara utama
yaitu kelelawar buah (Dodet & Vicari 2001). Kelelawar termasuk dalam ordo
Chiroptera dengandua subordo yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera.
Kelompok kelelawar di Indonesia mencapai 32% dari keanekaragaman
mamalia yang ada (Baillie et al. 2014). Kelimpahan, distribusi dan tingkat
mobilitasnya memberi risiko tinggi untuk transmisi zoonosis dari hewan lain
(Calisher et al. 2006). Kelelawar mampu terbang 15- 1800 kilometer (Wong et al.
2007 & Calisher et al. 2006) sehingga mampu mentransmisikan virus lebih
mudah. Semakin dekat interaksi antara kelelawar dengan manusia semakin tinggi
kemungkinan penularannya. Interaksi satwa liar dengan manusia tersebut
diperantarai oleh beberapa pemicu (drivers): pembukaan hutan, industri
penambangan, ekowisata, transportasi, perburuan dan perdagangan satwa liar.
Masyarakat Sulawesi (suku Minahasa) dikenal sebagai konsumen berbagai hewan
domestik maupun hewan liar. Kelelawar adalah salah satu daging yang paling
disukai, bahkan menjadi extreme culinary (Whitten et al. 1987).
One Health merupakan suatu konsep interaksi kerjasama berbagai disiplin
ilmu dan sektor yang bekerja di tingkat lokal, nasional dan global untuk mencapai
kesehatan yang optimal untuk manusia, hewan dan lingkungan (Barret dan
Osofksy 2013). Mempertimbangkan perubahan aktivitas manusia Indonesia yang
berakibat meningkatnya kontak atau interaksi antara manusia dangan satwa liar

2
salah satunya kelelawar, pengembangan sistem peringatan dini (early warning
system) termasuk di dalamnya implementasi konsep Satu Kesehatan atau One
Health diperlukan dalam pencegahan penularan agen penyakit dari satwa liar
kepada manusia. Kegiatan surveilans yang sistematik dan pengembangan
kapasitas diagnostik terhadap ancaman penyakit zoonotik yang berbahaya bagi
manusia perlu ditegakkan. Hal ini dapat memberi gambaran keterdapatan patogen
tertentu dan sebarannya pada satwa liar agar membantu tindakan antisipasi
pencegahan dan penanggulangannya pada manusia.
Adanya interaksi antara kelelawar dan manusia (human-animal interface),
khususnya anggota masyarakat Gorontalo sebagai penangkap kelelawar dan
mendistribusikan hasil tangkapannya ke Sulawesi Utara (suku Minahasa),
mengindikasikan kemungkinan terdapatnya risiko penularan agen penyebab
penyakit dari kelelawar kepada manusia. Di sisi lain, suku Minahasa dikenal
sebagai konsumen satwa liar salah satunya kelelawar, hal ini mungkin dapat
meningkatkan risiko tertularnya manusia terhadap penyakit zoonotik.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan karakterisasi parsial materi
genetik dari kelelawar di daerah Hutan Bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman
Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo dan membandingkan tingkat
kekerabatan genetik virus yang dideteksi dan diidentifikasi dari kelelawar yang
berasal dari daerah tersebut.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai virus yang
dideteksi dan diidentifikasi pada kelelawar serta tingkat kekerabatan genetiknya
sehingga dapat membantu pihak yang berwenang untuk membuat suatu kebijakan.

Ruang Lingkup Penelitian
Sampel spesimen merupakan feses atau usap rektum dari kelelawar besar
pemakan buah pada daerah yang memiliki human-animalinterface di hutan bakau
alami di Olibuu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi
Gorontalo. Spesimen yang akan diperiksa merupakan spesimen arsip milik Pusat
Studi Satwa Primata IPB yang dikoleksi dari proyek PREDICT Indonesia.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Paramyxovirus
Klasifikasi
Paramyxovirus adalah virus kelompok lima dari klasifikasi Baltimore yang
merupakan virus dengan genom non segmented, negative single stranded (-) sense
RNA yang memiliki ukuran sebesar 15-19 kilo-basepairs, kapsid heliks, memiliki
amplop dan diselimuti duri-duri. Paramyxoviridae dibagi dalam dua sub family
yakni Paramyxovirinae dan Pneumovirinae yang awalnya terdiri dari tiga genus
yakni Respirovirus, Rubulavirus dan Morbilivirus, namun selanjutnya ditemukan
genus Pneumovirus dan Metapneumovirus. Pengelompokkan ini berdasarkan
kriteria morfologi, organisasi gen, kegiatan biologis protein dan hubungan sekuen
encode protein. Sedangkan hubungan evolusi dari family paramyxoviridae
berdasarkan nukleokapsid dan sekuen asam amino phospoprotein (Fridell et al.,
2004).
Menurut (Lamb et al., 2005; Nylund et al., 2008) bahwa pada subfamili
Paramyxovirinae, ditemmukan adanya genera baru berikutnya yakni Henipavirus
dan Avulavirus. Meskipun telah ditemukan adanya genera baru berikutnya yang
dapat meningkatkan diversitas dari subfamili Paramyxovirinae, namun beberapa
virus belum diketahui (unclassified) pada subfamili tersebut. Pada family
Paramyxoviridae terdapat dua subfamily yang didalamnya terdiri dari tiga genus
dan yang lain terdiri dari dua genus, adapun spesies dari virus yang terdapat dari
masing-masing genus tersebut yakni:
1. Subfamili Paramyxovirinae
Genus Respirovirus contoh spesies yakni:
a. Bovine parainfluenza virus 3 (BPIV-3)
b. Human parainfluenza virus 1 (HPIV-1)
c. Human parainfluenza virus 3 (HPIV-3)
d. Sendai virus (murine parainfluenzavirus1)
e. Simain parainfluenza virus 10 (SPIV-10)
Genus Morbillivirus
a. Canine distemper virus (CDV)
b. dolphin distemper virus (DMV)
c. measles virus (MeV)
d. Peste des petits ruminants virus (PPRV)
e. phocine (seal) distemper virus (PDV)
f. porpoise distemper virus
g. rinderpest virus (RPV)
Genus Rubulavirus
a. Avian paramyxovirus 2 (APMV-2)
b. Avian paramyxovirus 3 (APMV-3)
c. Avian paramyxovirus 4 (APMV-4)
d. Avian paramyxovirus 5 (APMV-5)

4
e. Avian paramyxovirus 6 (APMV-6)
f. Avian paramyxovirus 7 (APMV-7)
g. Avian paramyxovirus 8 (APMV-8)
h. Avian paramyxovirus 9 (APMV-9)
i. Human parainfluenza virus 2 (HPIV-2)
j. Human parainfluenza virus 4a (HPIV-4a)
k. Human parainfluenza virus 4b (HPIV-4b)
l. Mumps virus
m. Newcastle disease virus (avian paramyxovirus 1 (NDV; APMV-1)
n. Porcine rubulavirus
o. Simian parainfluenza virus 5 (SV-5)
p. Simian parainfluenza virus 41 (SV-41)
2. Subfamili Pneumovirinae
Genus: Pnuemovirus
a. Bovine respiratory syncytial virus (BRSV)
b. Human respiratory syncytial virus (HRSV)
c. Pneumonia virus of mice (PVM)
Genus: Metepneumovirus
a. Turkey rhinotracheitis virus (TRTV)
b. Fer-de-Lance virus of reptiles (FDLV)
c. Mapuera virus (MPRV)
d. Nariva virus (NARV)
Dari klasifikasi/pengelompokkan virus berdasarkan subfamili dan genusnya,
seluruhnya hanya ditemukan pada hewan-hewan darat seperti reptile, aves dan
mamalia termasuk manusia.
Virologi
Rata-rata virus paramyxovirus memiliki ukuran 150-350 nm dengan struktur
yang terdiri dari spike, amplop, dan nukleokapsid. Tidak seperti virus influenza
yang memiliki 8 segmen, virus pramyxoviridae tidak memiliki segmen, dan pada
influenza terdapat dua glikoprotein (spike) yakni hemaglutinin dan
neuraminidase, namun pada paramyxoviridae juga memiliki dua spike tapi HA
dan NA berada di satu spike dan spike yang lain mengandung fusion F protein
yang digunakan untuk fusion/penetrasi. Virus ini berbentuk bulat (spherical) atau
plemorpik. Nukleokapsidnya berbentuk heliks dikelilingi oleh amplop, pada
bahan genetiknya terdapat untai tunggal genetik dengan RNA sense negative 1517 kb yang mengandung nucleoprotein, phospoprotein, dan protein L (large).
Pada nukleoproteinnya dilengkapi dengan enzim kompleks polymerase. Jenisjenis protein ini sangat penting untuk digunakan dalam mengidentifiksi jenis-jenis
virus pada famili paramyxoviridae. Pada struktur genomiknya memiliki 9 elemen
transkripsional (spesies mRNA). ORF utama merupakan untai templet karena
dimulai dari 3’ ke 5’ (Hulo et al., 2011).
Virus ini juga memiliki kelengkapan protein lain yakni hemagglutinasi
(penghmbat RBCs), semua anggota labil atau sensitif pada faktor-faktor
lingkungan, namun bisa survive pada permukaan sel beberapa jam (6-10 jam).
Virus ini melakukan penetrasi di dalam sel dengan cara fusi dan keluar dari sel
dengan pertunasan (budding) dari membrane plasma (Springer and Verlag, 1998).
Paramyxoviridae juga memiliki inti nucleucapsid yang mengandung protein dan

5
tiga nucleocapsid mengandung protein yang tersusun atas sebuah RNA binding
protein, sebuah phospoprotein dan Large protein. Matriks potein berada diantara
inti dan amplop virus. Amplop tersebut ditutupi dengan spike yang tersusun atas
satu glikoprotein yang berfungsi pada pelekatan sel, dan glikoprotein lain yang
terlibat dalam fusi virus pada membrane sel (Kvellestad et al., 2003).

Gambar 1 Struktur Virus berdasarkan komposisi kelengkapan proteinnya.
Tidak seperti virus strand positif, virus strand negatif seperti
Paramyxoviridae tidak dapat lansung diterjemahkan dalam proses translasi,
namun terlebih dahulu harus melalui tahapan transkripsi menggunakan enzim
yang dibawa. Proses ini terjadi di sitoplasma sehingga menghasilkan dua bentuk
RNA, pertama adalah mRNA yang mengkode setiap protein virus dan yang kedua
berfungsi sebagai template untuk sintesis salinan RNA genomic.
Karakteristik virus ini memiliki amplop untuk perlindungan saat berada
diluar sel (ekstraseluler), amplop tersusun atas lipoprotein yang berhubungan
dengan spike yang juga tersusun atas glikoprotein. Glikoprotein tersusun atas HN
80 kb (Hemaglutin dan Neuraminidase glikoprotein) dan Fusion protein F 65 kb.
Repirovirus memiliki F dan HN, Morbillivirus memiliki F dan H, dan
Pneumovirus memiliki G dan F. Virus ini hanya memiliki singel strand RNA,
dengan jumlah genom 7-8. Nucleocapsidnya berbentuk heliks dengan panjang 18
nm. Virus ini mempunyai pleomorphic dan RNA strand negatif dengan jumlah
nucleik acid 5%. Untuk aktifitas metabolisme intraseluler, virus ini dilengkapi
dengan enzim polymerase untuk pembentukan strand RNA positifnya. Virus ini
juga tidak memiliki segmen genom seperti pada rhabdoviridae dan filoviridae
(Kvellestad et al., 2003).

6
Tabel 1 Kode, Lokasi dan Fungsi Protein Viral
Produk Gen
Nukleoprotein
(N)
Polymerase
Phospoprotein
(P)
Matrix (M)

Lokasi
Major
Internal
Protein
Berasosiasi dengan
Nukleoprotein

Fungsi
Melindungi Viral RNA
Memungkinkan
Transkripsi

Ukuran
59 kDa

proses 63 kDa

Di dalam Amplop Untuk perakitan virion
Virion
Fusion factor Glikoprotein
Faktor aktif untuk fusion
(F)
amplop
sel,
hemolisis
dan
pemasukan viral
Hemaglutinin- Glikoprotein
Pelekatan Protein viral
Neuraminidase amplop
(HN),
Hemaglutinin
(H),
Glikoprotein
(G)
Large Protein Berasosiasi dengan Sebagai
enzim
(L)
Nukleoprotein
Polimerase
C protein
Non
structural Berasal dari transkripsi
protein
mRNA sebagai P namun
berbeda RF
V protein
Non
structural Diproduksi
dari
P
protein
transkrip melalui editing
RNA

39 kDa
60 kDa

62 kDa

249 kDa
25 kDa

42 kDa

Nukleukapsid tersusun atas sense negative, single strand RNA yang
terasosiasi dengan Nucleoprotein (NP), Plomerase Phospoprotein (P), dan Large
Protein (L). L protein merupakan RNA polymerase, P protein memiliki fungsi
dalam memfasilitasi pembentukan RNA dan NP protein membantu dalam
maintain struktur genom. Nukleukapsid juga berasosisasi dengan Matriks protein
(M) yang terdapat dalam amplop virus, sedangkan amplop virus juga tersusun atas
fusion protein (F) yang berfungsi sebagai promoter fusi dari virus ke sel inang dan
terdapat juga sebuah protein untuk pelekatan yakni Hemagglutinin neuraminidase
(HN), Hemaglutinin (H) atau G protein. Protein F harus diaktivasi dari
pembelahan proteolitik dengan memproduksi F1 dan F2 glikopeptida yang
dilaksanakan oleh obligasi disulfide untuk aktifitas fusi membrane. Sehingga
virus ini memiliki ORF (Open Reading Frame) yang tersusun atas 3’-N-P/C/V-MF-HN-L-5’ (Nylund et al., 2008).

7

Gambar 2 Strand Negatif Genom linear RNA, berukuran sekitar 17 kb
dapat menyimpan 9 Protein (Hulo, et al., 2011)
Replikasi Virus
Menurut Hulo et al. (2011) replikasi virus ini dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Attachment, atau pelekatan pada reseptor di permukaan sel inang melalui HN
glikoprotein. Virus akan menemukan reseptor yang sesuai untuk berikatan
dengan protein virus.
2. Fusion, atau penetrasi melalui membrane plasma, spike yang menempel pada
membrane sel dilepaskan sehingga ribonukleokapsid masuk dalam sel dan
kemudian melepaskan kapsid sitoplasma, sehingga bahan genetic saja yang
masuk ke dalam inti sel.
3. Transkripsi sequential yakni transkripsi yang terjadi secara menerus dengan
tujuan membentuk mRNA. Terlebih dahulu dibentuk RNA rantai positif,
kemudian rantai positif tersebut akan ditranskripsi menjadi mRNA untuk
ditranslasi di sitoplasma menjadi protein baru sebagai bahan perakitan
(Assembling).
4. Replikasi akan dimulai ketika nukleoprotein cukup untuk pembentukan
encapsidate antigenomes neo-sintesis dan genom untuk perakitan. Replikasi
ini dilakukan pada double strand RNA yang kemudian rantai negative RNA
akan dijadikan bahan genetic untuk virus baru.
5. Ribonucleocapsid yang telah dirakit kemudian berikatan dengan protein
matriks dan membentuk pertunasan (binding) melalui kompleks ESCRT inang
yang terjadi pada membrane plasma, kemudian virus keluar sel.

8
Adapun proses infeksi virus dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3 Proses replikasi virus Paramyxoviridae (Madigan et al., 2012)
Patogenesis
Beberapa jenis virus dari famili Paramyxoviridae yang menyerang manusia
antara lain, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Mumps Virus (Muv), dan
Parainfluenza Virus (PIV), sedangkan pada hewan antara lain Newcastle Disease
Virus (NDV) dan Rinderpest Virus (RPV). Paramyxovirus dikenal sebagai
patogen yang banyak ditemukan dan memiliki berbagai macam inang, antara lain
burung (termasuk ayam dan kalkun), hewan perairan (salmon, paus, anjing laut,
lumba-lumba), rodensia (tikus dan mencit), anjing, kucing, domba, reptil (ular dan
kadal), kuda, babi, kelelawar, simian, dan manusia (Tong et al. 2008). Spektrum
inang yang luas disebabkan persamaan reseptor inang dari Paramyxovirus yang
dapat dikenali oleh anti reseptor pada virus. Virus ini dapat ditransmisikan
melalui udara (airborne) dan melalui cairan tubuh dari inang yang terinfeksi virus
ini. Pada manusia, paramyxovirus dikaitkan dengan penyakit pada saluran
pernapasan seperti bronchiolitis, pneumonia, enchepalitis, meningitis, parotitis,
orchitis, penyakit ruam, infeksi persisten, measles (campak) (Krauss et al. 2003).
Famili dari Paramyxoviridae merupakan penyebab penyakit utama pada
anak-anak seperti measles dan mumps. Anggota lain dari famili ini, yaitu
Respiratory Syncitial Virus (RSV) merupakan penyebab infeksi pernafasan ringan
pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia dan penyakit saluran pernafasan akut
pada orang tua. Parainfluenza virus tipe 1, 2, dan 3 menyebabkan penyakit
pernafasan akut pada orang dewasa dan anak-anak (Engleberg et al. 2006).

9
Anggota baru dari famili virus ini yaitu Hendra dan Nipah Virus diketahui bersifat
zoonosis yang mengakibatkan infeksi yang fatal pada manusia (van Boheemen et
al. 2012). Berdasarkan penelitian lebih lanjut ternyata kedua virus tersebut
memiliki inang perantara utama yaitu kelelawar buah (Dodet dan Vicari 2001).
Hal ini menyebabkan kelelawar menjadi sumber potensi signifikan dari penyakit
menular infeksius. Jumlah dan keragaman virus yang diidentifikasi pada
kelelawar semakin hari kian meningkat (Wynne dan Wang 2013).

Kelelawar
Kalsifikasi kelelawar menurut Kunz (1991) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Chiroptera
Sub Ordo
: -Megachiroptera
-Microchiroptera
Diperkirakan keanekaragaman jenis kelelawar lebih dari 50% dari
keanekaragaman seluruh mamalia. Hampir seperempat dari seluruh jenis mamalia
di dunia merupakan anggota ordo Chiroptera (Zimmer 1998). Jenis kelelawar
yang sudah diketahui di Indonesia berkisar 205 jenis yang terbagi menjadi 9
famili dan 52 genus. Kesembilan family tersebut antara lain Pteropididae,
Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae,
Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Mollosidae (Suyanto 2001).
Morfologi kelelwar
Kelelawar termasuk ordo Chiroptera. Chiroptera berasal dari bahasa Yunani
“Cheir” yang berarti tangan, dan “pteros” yang berarti selaput, atau dapat
diartikan sebagai “sayap tangan”, karena kaki depannya termodifikasi menjadi
sayap. Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari
kaki depan, kaki belakang, dan ekornya. Pada kelelawar betina, patagium
berfungsi untuk memegang anaknya yang baru dilahirkan dengn kepala di bawah.
Selain untuk terbang, sayap kelelawar berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya
ketika cuaca dingin dan mengipaskan sayapnya jika cuaca panas, kelelawar aktif
pada malam hari karena pada siang hari dapat mengakibatkan radiasi yang
merugikan sayap yang disebabkan karena terkena cahaya matahari sehingga lebih
banyak panas yang diserap daripada yang dikeluarkan. Hal ini dikarenakan sayap
kelelawar hanya berupa selaput kulit yang tipis yang sangat rentan terkena sinar
matahari (Cobert dan Hill 1992).
Kelelawar memiliki dua sub-ordo yaitu Megachiroptera dan
Microchiroptera. Megachiroptera umumnya herbivore dan memiliki cirri- cirri
mata besar, penciuman yang baik, memiliki struktur telinga yang sederhana, tidak
memiliki tragus/ antitragus, ekor biasanya pendek bahkan tidak ada, jari sayap
kedua umumnya bercakar, kecuali Eonycteris, Dobsonia, dan Neopteryx.
Megachiroptera yang paling kecil ( Balionycteris, Chironax, dan aethalops)

10
berbobot 10 gram, dan yang paling besar Kalong kapuk ( Pteropus vampyrus) bisa
mencapai berat 1500 gram, bentangan sayapnya mencapai 1700 mm, dari lengan
bawah sayapnya 36-228 mm, sedangkan Microchiroptera merupakan insektivora,
dan sebagian kecil merupakan omnivore, karnivora, piscivora, frugivora dan
nectarivora. Microchiroptera umumnya berukuran kecil, memiliki struktur telinga
yang kompleks, memiliki tragus/ antitragus. Tragus adalah bagian menonjol dari
dalam daun telinga seperto tongkat, sedangkan antitragus adalah bagian menonjol
dari luar daun telinga yang berbentuk bundar atau tumpul (Suyanto 2001).
Microchiroptera paling kecil berbobot 2 gram dan paling besar 196 gram,
dan lengan bawah sayapnya 22-115 mm. jenis kelelawar tertentu, terutama family
Rhinolophidae dan Hipposideridae memiliki bagian khusus pada wajah, terutama
bagian lubang hidung, yang disebut daun hidung. Bagian ini merupakan tonjolan
kulit. Pada jenis- jenis kelelawar lain, daun hidungnya sangat sederhana, berupa
lipatan kulit yang kecil tunggal dan tumbuh di ujung hidung saja. Jari sayap
kedua tidak bercakar, tetapi pada genus Miniopterus memiliki panjang ruas akhir
(kedua) jari sayap nomor tiga hampir tiga kali panjang ruas jari pertama (Suyanto
2001).
Habitat dan Daerah Jelajah Kelelawar
Kelompok kelelawar saja mencapai 32% dari keanekaragaman mamalia
yang ada di Indonesia (Baillie et al. 2014). Kelelawar hidup pada beberapa tipe
habitat seperti gua, hutan alami, hutan buatan dan perkebunan. Kelelawar
mempunyai banyak alternative dalam memilih tempat bertengger. Jenis kelelawar
seperti Kalong kapuk (Pteropus vampyrus), Cecadu pisang besar (Macroglosus
sobrinus) dan banyak jenis sub ordo Megachiroptera lainnya memilih tempat
bertengger untuk tidur pada pohon- pohon yang tergolong besar, sebaliknya
beberapa jenis kelelawar yang termasuk sub ordo Microchiroptera lebih banyak
memilih tempat berlindung pada lubang- lubang batang pohon, celah bambu
maupun gua. Beberapa jenis hidup secara berkoloni, berkelompok kecil,
berpasangan, dan bahkan hidup soliter (Cobert dan Hill 1992).
Kelelawar gua sebagian besar termasuk sub ordo Microchiroptera. Ukuran
tubuhnya relative kecil, bola mata kecil dan tidak berfungsi sebagai alat
penglihatan merupakan penyesuaian dengan keadaan di dalam gua yang gelap.
Kemampuan penglihatan kelelawar untuk terbang dalam kegelapan digantikan
oleh kemampuan penala gema yang dikenal dengan istilah ekholokasi. Ketika
terbang, kelelawar mengeluarkan suara berfrekuensi tinggi (ultrasonic) rata- rata
50 Khz yang tidak terdengar oleh telinga manusia yang hanya dapat menangkap
suara 3- 18 Khz (Suyanto 2001). Daerah jelajah kelelawar ketika mencari makan
bervariasi seperti Cecadu pisang besar (Macroglosus sobrinus), yang mencapai
radius 3 km, sedangkan Lalai kembang (Eonycteris spelaea) mencapai radius 40
km, sementara Kalong kapuk (Pteropus vampyrus) mencapai radius 60 km.
kelelawar pada waktu terbang membutuhkan oksigen yang jauh lebih banyak
dibandingkan ketika tidak terbang (27 ml berbanding 7 ml Oksigen/l gram bobot
tubuhnya), dengan denyut jantung berdetak lebih kencang (822 kali berbanding
522 kali permenit), untuk mendukung kebutuhan tersebut, jantung kelelawar
berukuran relative lebih besar dibandingkan kelompok lain (0.9% berbanding
0.5% bobot tubuh) (Suyanto 2001).

11
Prilaku Makan Kelelawar
Kebiasaan makan kelelawar bervariasi seperti kebanyakan mamalia pada
umumnya. Keanekaragaman makanan disesuaikan dengan morfologi dan fisiologi
pada kelelawar. Jenis pakan dari beberapa kelelawar adalah arthropoda, serangga,
mamalia kecil, burung, reptile, amfibi, ikan, bangkai, buah, bunga, nectar, polen
dan daun (Altringham 1996). Sub ordo Megachiroptera memiliki komposisi pakan
sebagian besar terdiri atas buah, bunga, daun, polen dan nectar. Lebih dari 250
jenis kelelawar memakan satu atau beberapa jenis tumbuhan, dengan memakan
buah ataupun nectar bunga, sedangkan sub ordo Microchiroptera sebagian besar
adalah pemakan serangga, selain itu beberapa terdapat jenis sub ordo
Microchiroptera penghisap darah misalnya Desmodus rotundus dan pemakan
madu misalnya Leptonecteris curasoae (Altringham 1996). Meskipun serangga
merupakan komponen utama dari kebanyakan pakan kelelawar tetapi laba- laba,
kalajengking, udang- udangan dan arthropoda lainnya juga dimakan, sekitar 70%
dari semua spesies kelelawar pemakan serangga.
Kelelawar pemakan buah dapat menyebarkan biji sekitar 47 spesies
tanaman berbeda pada setiap jenis kelelawar (Lopez dan Chistoper 2007).
Menurut Suyanto (2001). Bahwa penyebaran biji ini dapat meningkatkan kualitas
hidup tumbuhan itu sendiri. Kelelawar pemakan buah atau madu ini mempunyai
peranan sangat penting di dalam regenerasi hutan dan penyerbuk tanaman yang
memilki nilai komersial tinggi. Kelompok kelelawar ini sering memakan buah
tidak di lokasi tanaman yang sedang berbuah, akan tetapi membawa dan
membuang sepah dan biji buah jauh dari tempat lokasi tanaman tersebut (Sinaga
2006). Kelelawar pemakan nectar dan polen memiliki prilaku makan yang unik,
yaitu terbang mengelilingi pohon sebelum mendarat pada kelopak bunga,
melayang- laying di atas kelopak bunga kemudian secara perlahan mendekati
bunga dan mulai menghisap nektar. Kelelawar menghisap nektar dari 2 sampai 3
bunga sebelum pergi (Elangovan 2000).
Kelelawar pemakan serangga memiliki tubuh yang kecil, keunggulan dari
ukuran tubuh yang kecil memudahkan kelelawar melakukan maneuver kegiatan
dalam hal menangkap serangga yang sedang terbang yang tertangkap oleh system
ekholokasi jarak dekat. Serangga yang dijadikan mangsa disesuaikan dengan
ukuran tubuh kelelawar, serangga dengan ukuran yang besar hanya akan
menyulitkan pada saat penangkapan, penaklukan dan proses makan, hal ini akan
banyak membuang energy kelelawar. Apabila ukuran serangganya terlalu kecil,
penangkapan sulit dilakukan dan tidak mencukupi kebutuhan energy harian
(Altringham 1996).
Family Pteropodidae spesies Pteropus alecto
Klasifikasi dari Kelelawar sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mammalia
Order
: Chiroptera
Family
: Pteropodidae
Gebus
: Pteropus
Species
: Pteropus alecto. Sumber: (Global Biodiversity Information
Facility).

12

Gambar 4 Black flying-fox (Pteropus alecto).
Sumber : Nick Edards (www.enigmatech.com.au)
Kelelawar dari family Pteropodidae berukuran kecil hingga besar ini
(lengan bawah 40-220 mm) memiliki warna rambut mulai dari coklat, abu-abu
hingga hitam. Wajahnya yang menyerupai anjing menjadi ciri khas famili ini.
Mata yang relatif besar, telinga yang kecil, mocong yang kuat dan hidung yang
sederhana melengkapi penampakan famili Pteropodidae. Semua jenis dari famili
ini memiliki cakar kecuali Marga Dobsonia, Eonycteris, Neopteryx, Melonycteris,
Notopteris. Ekordan selaput ekor berukuran relatif kecil atau tidak terdapat sama
sekali (Corbet dan Hill 1992).
Kelelawar dari famili Pteropodidae beraktivitas pada malam hari
(nocturnal) ([UCMP] 2009). Makanan utama famili ini adalah buah,bunga, nektar
dan serbuk sari. Sebagian besar kelelawar ini menggelantung di cabang pohon
atau dedaunan, sendiri atau membentuk kelompok hingga ratusan individu.
Kelelawar dari famili Pteropodidae tidak dapat melakukan ekolokasi namun
terdapat satu jenis dari Marga Rousettus yang melakukan ekolokasi dengan
menggunakan suara decak yang dihasilkan oleh lidah, dan jenis ini dapat
ditemukan di gua (Corbet dan Hill 1999; Altringham 1996).Secara ekologi jenisjenis kelelawar dari famili Pteropodidae memiliki peran sebagai penyerbuk,
penyebar biji tumbuhan ataupun tanaman komersial. Sehingga keberadaan mereka
merupakan salah satu kunci keberhasilan regenereasi hutan maupun dan produksi
buah-buahan. Famili Pteropodidae terdiri dari 42 Marga dan 169 jenis di dunia
(Nowak 1999).
Kelelawar sebagai reservoir agen penyakit
Menurut Simmon (2005) kelelawar di dunia dibagi menjadi 18 famili yang
terdiri dari 1030 spesies. Di Indonesia diketahui terdapat sembilan famili yang
terdiri 225 spesies, dan di Sumatera terdapat 72 spesies dari sembilan famili, serta
terdapat 12 spesies di Sulawesi. Suyanto (2001), menyatakan bahwa di Indonesia
dapat ditemukan 205 spesies atau 21% jenis kelelawar dunia yang telah diketahui,

13
sembilan famili dari jenis tersebut termasuk ke dalam 52 genus. Megachiroptera
memiliki satu famili yaitu Pteropodidae yang memiliki 42 genus dan 166
spesies. Microchiroptera memiliki 16 famili yang memiliki 135 genus dan 179
spesies (Calisher et al. 2006). Salah satu spesies kelelawar yang memiliki ukuran
tubuh lebih besar, yang hidup tersebar di beberapa habitat hutan hujan tropis di
Gorontalo adalah rubah hitam terbang (Black flying fox) Pteropus alecto.
Kelelawar merupakan reservoir pembawa berbagai jenis virus. Rabies
merupakan penyakit yang paling banyak diketahui dibawa oleh kelelawar. Salah
satu penyakit yang perlu diwaspadai adalah Famili dari Paramyxoviridae
merupakan penyebab penyakit utama pada anak-anak seperti measles dan mumps.
Anggota lain dari famili ini, yaitu Respiratory Syncitial Virus (RSV) merupakan
penyebab infeksi pernafasan ringan pada bayi dan anak-anak di seluruh dunia dan
penyakit saluran pernafasan akut pada orang tua. Parainfluenza virus tipe 1, 2,
dan 3 menyebabkan penyakit pernafasan akut pada orang dewasa dan anak-anak
(Engleberg et al. 2006). Anggota baru dari famili virus ini yaitu Hendra dan
Nipah Virus diketahui bersifat zoonosis yang mengakibatkan infeksi yang fatal
pada manusia (van Boheemen et al. 2012).
Densitas populasi kelelawar yang padat dan perilaku bersarang dengan
populasi besar meningkatkan transmisi virus intra dan antar spesies. Kelelawar
dapat bertahan terhadap infeksi virus dan menjaga perkembangan virus dalam
tubuhnya. Hal ini didukung oleh kemampuannya untuk berhibernasi. Suhu tubuh
kelelawar saat hibernasi adalah 8°C sampai dengan 24°C. Suhu dingin dapat
mengendalikan viremia yang terjadi dalam tubuh kelelawar sehingga kelelawar
tetap bertahan hidup. Akibatnya, kelelawar dapat menularkan virus melalui
sekretnya dan individu yang rentan terhadap virus terinfeksi (Calisher et al. 2006).
Indonesia merupakan jalur migrasi kelelawar antara Australia dan Papua Nugini
(Calisher et al., 2006; Breed et al., 2010). Jarak terbang kelelawar yang jauh dan
peranannya sebagai reservoir berbagai virus memungkinkan penyebarannya dan
penularan virus antar wilayah. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya wabah
penyakit, termasuk penyakit baru (emerging disease).

14

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai Mei 2016 di
Laboratorium Bioteknologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor ( PSSP LPPM- IPB).

Sampel Penelitian
Sebanyak 95 sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesimen
feses atau usapan rectum dari spesies kelelawar pemakan buah (Pteropus alecto)
yang berasal dari hutan bakau Olibuu, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten
Boalemo, Provinsi Gorontalo. Sampel yang diperiksa merupakan koleksi sampel
Laboratorium Bioteknologi PSSP LPPM-IPB yang diperoleh sebagai bagian dari
kegiatan Prediction (PREDICT) Indonesia yang merupakan salah satu komponen
program dari Emerging Pandemic Threats dari USAID.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Biosafety cabinet 2A (NUAIR), laminar air
flow cabinet (ESCO), tabung mikrosentrifugasi (vial), mesin sentrifugasi, pipet
mikro dan tips, mesin PCR (GeneAmp® PCR System 9700, Applied Biosystem
dan Veriti 96 Well Thermal Cycler, Applied Biosystem), perangkat elektroforesis
(Bio- Rad), dan GelDoc (Bio-Rad).
Bahan yang digunakan adalah sampel rectal swab dari Kelelawar asal
Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara milik PREDICT Indonesia PSSP- IPB,
QIAamp® RNA Viral Mini Kit (QIAGEN), SuperScript™ III First-Strand
Synthesis System fir RT-PCR (Invitrogen), KAPA Taq ReadyMix PCR Kit,
primer Paramyxovirus yaitu PAR-F1, P A R - F 2 , dan PAR-R. Selain itu, untuk
elektroforesis dibutuhkan gel agarosa, etidium bromida (EtBr), buffer TAE 1x
(Tris Acetic Acid), dan DNA 100 bp sebagai marker.

Analisis Laboratorium
Ekstraksi Sample RNA
Sample usap rectum atau feses dari kelelawar (Pteropus alecto) diekstraksi
menggunakan QIAamp® RNA Viral Mini kit (QIAGEN, Hilden, Germany).
Sampel didapat dari arsip milik PREDICT Indonesia-PSSP-IPB. Buffer (AVL)

15
disiapkan sesuai dengan jumlah sampel yang ada. Proses ekstraksi Ribonucleic
Acid (RNA) terdiri atas beberapa tahapan besar, yaitu penghancuran (lisis),
ekstraksi (pemisahan RNA), dan pemurnian RNA. Pada kit ini digunakan
membran gel silika dan teknologi sentrifugasi untuk ektraksi RNA. Buffer AVL
yang mengandung carrier RNA sebanyak 560 µL dimasukkan ke dalam vial.
Sampel usap rectum diambil sebanyak 140 µL dan dimasukkan ke dalam vial,
lalu divorteks selama 15 detik. Setelah itu, campuran diinkubasi pada suhu ruang
selama 10 menit. Hal ini dilakukan bertujuan untuk melisis sel. Ethanol absolute
sebanyak 560 µL ditambahkan ke dalam sampel, lalu divorteks kembali selama
15 detik. Campuran dimasukkan ke dalam kolom spin sebanyak 630 µL,
kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama 1 menit.
Tabung koleksi diganti baru, kemudian semua sisa sampel dimasukkan ke
dalam kolom spin dan disentrifugasi 8000 g selama 1 menit. Hal ini dilakukan
untuk pengikatan virus RNA pada membran di dalam kolom spin. Tabung
koleksi diganti baru lagi, kemudian buffer (AW1) dimasukkan sebanyak 500
µ L dan disentrifugasi 8000 g selama 1 menit. Kolom spin dipindahkan ke dalam
tabung koleksi baru, kemudian buffer AW2 dimasukkan sebanyak 500 µL dan
disentrifugasi dengan kecepatan 13.300 g selama 3 menit.
Buffer AW1 dan AW2 digunakan untuk mencuci RNA dari berbagai
pengotor seperti protein, nuklease, dan berbagai kontaminan lainnya serta inhibitor.
Kolom spin dipindahkan ke dalam 1.5 mL vial, lalu ditambahkan 60 µL buffer
AVE. Campuran diinkubasi pada suhu ruang selama 1 menit. Setelah itu,
disentrifugasi 8000 g selama 1 menit untuk proses elusi RNA. RNA yang
diekstraksi akan masuk ke dalam vial yang baru.
Transkripsi Balik
Ribonucleic Acid (RNA) yang telah berhasil diekstraksi akan ditranskripsi
balik (reverse transcription) untuk menghasilkan cDNA. Metode transkripsi
balik ini dilakukan dengan SuperScript™III First-Strand Synthesis System for
RT-PCR (Life technology, California, USA). Master mix disiapkan terlebih
dahulu. Master mix pertama berisi random hexamer, dNTP 10 mM, air steril,
dan RNA. Random hexamer berfungsi sebagai primer non-spesifik yang akan
mensintesis utas pertama cDNA dan deoxyribonucleotide triphosphate (dNTP)
digunakan sebagai sumber nukleotida untuk mensintesis cDNA. Semua campuran
master mix yang pertama dibuat dengan volume 1 µL, kecuali RNA dengan
volume 10 µL. Setelah itu, campuran diinkubasi 65oC selama 5 menit dan 4oC
selama 2 menit. Tahap pertama ini bertujuan untuk menempelkan primer.
Setelah diinkubasi master mix kedua disiapkan terlebih dahulu. Master mix
kedua berisi 10x RT buffer 2 µL, 2.5 mM MgCl2 4 µL , Dithiothreitol (DTT)
0.1M 2 µL, RNAse OUT 1 µL, dan SuperScript III RT 1 µL. 10x RT buffer,
berfungsi untuk menghasilkan produk dengan jumlah yang tinggi. Pemberian
MgCl2 berfungsi sebagai kofaktor yang akan menstimulasi aktivitas DNA
polymerase dan meningkatkan interaksi primer dengan templat. Dithiothreitol
(DTT) berfungsi untuk memecah ikatan disulfida dan membantu inisiasi
transkripsi untuk sintesis cDNA. RNAse OUT digunakan untuk menghilangkan
kemungkinan adanya enzim RNAse sebagai inhibitor dari luar reaksi. Setelah itu,
diinkubasi kembali dengan kondisi 25oC selama 10 menit, 50oC selama 50

16
menit, 85oC selama 5 menit, dan 4oC selama 2 menit. Tahap ini bertujuan
untuk memperpanjang primer sehingga terbentuk cDNA.
Amplifikasi Paramyxovirus.
Amplifikasi materi genetik paramyxovirus dilakukan dengan metode Nested
Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan dua set primer berbeda. Proses
amplifikasi dibagi menjadi dua protokol. Protokol pertama menggunakan primer
PAR-F1 dan PAR-R yang dilanjutkan dengan protokol kedua menggunakan
primer PAR-F2 dan PAR-R (Tong et al. 2008).
Untuk memulai proses amplifikasi, terlebih dahulu dibuat campuran
dengan komposisi 1 µl primer PAR-F1, 1 µl primer PAR-R, 12.5 µl Kappa
HotStart ready mix (Wilmington, USA), 8.5 µl nuclease-free water, dan 1 µl
cDNA. Setelah campuran dibuat, reaksi PCR diawali dengan pre-denaturation
pada suhu 94 oC selama 5 menit, denaturation 94 oC selama 1 menit, annealing
48 oC selama 1 menit, elongation 72 oC selama 1 menit, dan post-elongation 72
o
C selama 10 menit, serta hold pada suhu 4 oC. Pada tahap denaturation sampai
elongation dilakukan 40 siklus PCR. Setelah diamplifikasi, proses dilanjutkan
dengan running PCR yang kedua. Campuran PCR yang digunakan sama dengan
proses PCR pertama hanya berbeda pada pre-denaturation pada suhu 94 oC
selama 2 menit, denaturation 94 oC selama 15 detik, annealing 48 oC selama 30
detik, elongation 72 oC selama 30 detik, dan post-elongation 72 oC selama 7
menit, serta hold pada suhu 4 oC dan primernya yaitu PAR-F2 dan PAR-R, dan
jumlah cDNA yang dimasukkan dari PCR pertama sebanyak 1 µl.
Tabel 2 Runutan nukleotida primer Paramyxovirus
Nama Primer

Urutan Basa

PAR-F1

GAAGGITATTGTTCAIAARNTNTGGAC

PAR-R

GCTGAAGTTACIGGITCICCDATRTTNC

PAR-F2

GTTGCTTCAATGGTTCARGGNGAYAA

PAR-R

GCTGAAGTTACIGGITCICCDATRTTNC

Besar
Amplikon

Gen Target

~639 bp

Gen L

~561 bp

Gen L

(Tong et al. 2008)

Visualisasi Has