Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (Grk) Pada Ekosistem Mangrove Di Pulau Kelong, Bintan

(1)

VARIASI SPASIAL EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) PADA

EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU KELONG, BINTAN

I WAYAN EKA DHARMAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

I Wayan Eka Dharmawan NRP. C551120121


(4)

RINGKASAN

I WAYAN EKA DHARMAWAN. Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan HAWIS H. MADDUPPA.

Ekosistem mangrove dikenal dengan baik dalam mitigasi dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dengan mampu menyerap CO2 dan menyimpannya dalam bentuk biomassa. Walaupun demikian, proses biokimia yang terjadi dalam sedimen menghasilkan gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Mangrove Pulau Kelong bagian tenggara memiliki simpanan karbon yang sangat tinggi, dibandingkan dengan seluruh kawasan mangrove di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara mencakup kondisi kajian vegetasi, dekomposisi maupun lingkungan pada tiap zona yang berbeda, yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S); Menghitung besaran laju emisi GRK secara spasial serta menganalisis hubungan kondisi komunitas mangrove, parameter lingkungan dan laju dekomposisi terhadap fluks GRK yang dihasilkan. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pelindungan kawasan untuk mitigasi perubahan iklim global.

Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong memiliki zonasi yang sangat jelas antara zona darat (L) dengan zona tengah (M) dan laut (S). Zonasi terbentuk berdasarkan sebaran jenis mangrove serta parameter lingkungan. Jenis Rhizophora apiculata, mendominasi penuh pada zona (S) dan mulai menurun pada zona (M). Pada zona L, Xylocarpus granatum lebih mendominasi dibandingkan dengan R. apiculata. Parameter suhu, pH, TOC, TP dan TN pada sedimen, menunjukkan kedekatan zona M dengan S dan berbeda nyata dengan L. Persentase tutupan kanopi mangrove pada seluruh zona adalah >75%, sehingga kondisi kesehatan komunitas mangrove masih sangat baik. Laju dekomposisi serasah juga tergolong tinggi (k = 0,025 ± 0,023), yaitu: 0,78 ±0,70 gr/m2/hari (S); 0,83  0,89 gr/m2/hari (M); dan 1,40  0,82 gr/m2/hari (L). Laju emisi GRK ke atmosfer menunjukkan nilai yang cukup rendah jika dibandingkan dengan penelitian lainnya. Tren laju emisi gas metana (CH4) meningkat dari zona L ke zona S dan berlawanan dengan laju CO2. Sementara itu, gas NO2 tidak memiliki pola emisi yang jelas secara spasial. Emisi gas CH4 dan N2O tidak berkorelasi nyata dengan kondisi lingkungan, namun laju emisi gas CO2 sangat dipengaruhi oleh pH dan TOC tanah serta TDS dan salinitas perairan. Cadangan karbon yang tinggi, emisi GRK yang rendah, kondisi komunitas masih alami menunjukkan bahwa kawasan mangrove bagian tenggara Pulau Kelong memiliki potensi mitigasi perubahan iklim yang sangat tinggi.

Kata kunci: gas rumah kaca, laju dekomposisi, mangrove, perubahan iklim global, zonasi.


(5)

SUMMARY

I WAYAN EKA DHARMAWAN. Spatial Variation of Greenhouse Gases (GHGs) Emission on Mangrove Ecosystem in Kelong Island, Bintan, as one of perspective for mangrove ecosystem conservation. Supervised by NEVIATY P. ZAMANI and HAWIS H. MADDUPPA.

Mangrove ecosystem is well-known in climate change impact mitigation in coastal area in order to sequester CO2 and reform it to be biomasses. On the other hand, biochemical processess inner sediment produce greenhouse gases (GHGs) through atmosphere. Previous study found that mangrove area in south-easth Kelong Island has the highest carbon stock among other sites in Local Waters Conservation Area (KKPD) Bintan. Objectives of this research are: to analyze mangrove ecosystem condition in south-eastern Kelong island including community structure, decomposition rate and environmental parameters in three different zones; to quantify GHGs emission fluxes among those zones; and to analyze correlation between mangrove ecosystem to GHGs emission. Hopefully, resulted data might be used to upgrade the conserving status for global climate change mitigation.

Mangrove ecosystem in Kelong Island was clearly devided to be three zones, landward (L), middle zone (M) and seaward (S). It was performed based on species composition and environmental parameters. Domination of Rhizophora apiculata was total in seaward and decreased in middle zone. On landward area, Xylocarpus granatum had more domination than R. apiculata. Temperature, pH, TOC and TN of sediment elaborated M and S closeness and differed significantly to L. Canopy coverage analysis showed that all value was more than 75%, representing well standing condition of mangrove community. Decomposition rate leaf manure was also high (k = 0.025 ± 0.023), i.e. 0.78 ±0.70 gr/m2/day (S); 0.83  0.89 gr/m2/day (M); dan 1.40  0.82 gr/m2/day (L). GHGs emission rate showed the lower value comparing with other studies. Spatial pattern of methane (CH4) was increasing from landward to seaward where was contradictive with CO2 rate. Meanwhile, NO2 had irregular trend spatially. Emission rate of CH4 and N2O had no significant correlation with environmental parameters. On the other hand, soil’s pH-TOC and water’s TDS-salinity drove a significant effect for CO2 emission.High carbon stock, lower GHGs emission and pristine mangrove vegetation represented that mangrove in south-east Kelong Island has high benefit for climate change effect mitigation. Keywords: decomposition rate, global climate change, greenhouse gases, mangrove,


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Kelautan

VARIASI SPASIAL EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)PADA

EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU KELONG, BINTAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini adalah ekologi laut, dengan judul Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Hawis H. Madduppa, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan peneliti di UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Biak – Papua dan Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Third Institute of Oceanography, Xiamen – China yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran dan penggunaan fasilitas laboratorium untuk menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016 I Wayan Eka Dharmawan


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Hipotesis 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 METODE 3

Waktu dan Lokasi Penelitian 3

Pengumpulan Data 4

Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Hasil Penelitian 7

Pembahasan 12

4 SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 20


(12)

DAFTAR TABEL

1 Kerapatan pohon dan pancang; jumlah jenis; indeks nilai penting (INP) pohon dan persentase tutupan kanopi dari komunitas mangrove pada tiga zona penelitian di Pulau Kelong.

2 Perbandingan karakteristik antar tiga zona penelitian mangrove di Pulau Kelong.

3 Laju dekomposisi serasah (LD), koefisien dekomposisi (k), dan waktu paruh (t50) dari dekomposisi serasah daun di tiga zonasi mangrove Pulau Kelong. 4 Analisis korelasi Pearson antara emisi GRK dengan kondisi komunitas

mangrove, faktor lingkungan (sedimen dan air) serta laju dekomposisi. 5 Perbandingan aliran emisi GRK (µmol m-2 h-1) dari beberapa penelitian

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian. 2 Sebaran empat lokasi transek pada wilayah mangrove terpilih di Pulau

Kelong. Setiap lokasi transek dibagi menjadi tiga zona, yaitu: L (zona daratan); M (zona tengah) dan S (zona dekat laut).

3 Analisis MDS (multidimensional scaling) terhadap plot berdasarkan kondisi lingkungan in situ (air dan substrat) dan kelimpahan jenis pohon. 4 Berat kering (g) daun yang terdekomposisi dari hari ke-0 sampai hari ke-42. 5 Laju emisi CO2 (a); CH4 (b) dan N2O (c) dalam μmol m−2 h−1 yang diukur pada tiga zona yang berbeda di kawasan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara.

DAFTAR LAMPIRAN

1 Publikasi ilmiah skala nasional yang sudah diterbitkan.

2 Tulisan ilmiah skala internasional yang sedang dalam proses revisi.

3

4 9 9 11 8 8 10 10 13

20 30


(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam satu dekade terakhir, dunia sedang dikhawatirkan dengan isu pemanasan global yang menyebabkan perubahan dan ketidakteraturan faktor iklim. Hal ini yang dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan N2O (dinitrogen oksida) dalam atmosfer (IPCC 2001; IPCC 2015). Konsentrasi gas CO2 telah meningkat dari 278 ppm (1750) menjadi 391 ppm (2001) (IPCC 2015). Peningkatan konsentrasi GRK yang paling tinggi terjadi dalam dekade terakhir dan terus meningkat sampai saat ini. Di sisi lain, walaupun gas CH4 dan N2O cukup stabil dan konsentrasinya lebih rendah, namun gas – gas tersebut memiliki efek 298 dan 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2 (Myhre et al. 2013).

Komunitas mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap CO2, digunakan dalam proses fotosintesis dan disimpan dalam bentuk biomassa tubuh (Bouillon et al. 2008; Murdiyarso et al. 2015). Indonesia memiliki luasan dan keanekaragaman jenis mengrove paling tinggi di dunia (Sukardjo and Alongi 2012). Mangrove Indonesia juga memiliki cadangan karbon yang sangat signifikan dan berpotensi untuk digunakan dalam mitigasi pemanasan global (Murdiyarso et al. 2015). Geomorfologi dan topografi pantai secara spasial memungkinkan adanya gradien salinitas yang berbeda dari laut ke darat mempengaruhi proses biogeokimia sedimen serta zonasi dalam komunitas mangrove. Hal ini memungkinkan adanya variasi komposisi jenis, variasi faktor biotik dan abiotik yang teratur dari darat ke laut.

Selain mampu menyerap CO2, potensi emisi GRK dari ekosistem mangrove juga tidak bisa dikesampingkan. Setiap ekosistem mangrove merupakan salah satu penghasil GRK sebagai keluaran dari proses respirasi dan dekomposisi (Bouillon et al. 2008; Chen et al. 2010). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa mangrove merupakan sumber dari emisi GRK (Allen et al. 2007; Chen et al. 2010; Chen et al. 2014a; Wang et al. 2016). Tingkat emisi GRK akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan masukan nutrien melalui aliran sungai ke dalam ekosistem mangrove (Chen et al. 2010; Chen et al. 2014b). Penurunan luasan mangrove akibat aktivitas manusia sebagai penyimpan karbon juga berdampak pada peningkatan emisi CO2 ke dalam atmosfer (IPCC 2015). Informasi tentang emisi GRK dari ekosistem mangrove di Indonesia sangat jarang. Hanya penelitian Chen et al. (2014b) yang mengungkapkan laju emisi GRK yang rendah dari sedimen mangrove di Sulawesi Utara.

Penelitian sebelumnya di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Bintan Timur, Kabupaten Bintan, menemukan bahwa Pulau Kelong Bagian tenggara memiliki kemampuan menyimpan karbon paling tinggi dibandingkan stasiun lainnya dalam KKPD Kabupaten Bintan ataupun di seluruh bagian Pulau Kelong (Dharmawan 2014; Dharmawan et al. 2014). Estimasi cadangan karbon di Pulau Kelong bagian tenggara sebesar 1895,23 ± 909,14 ton C/ha pada tegakan dan 752,86 ± 330,03 ton C/ha pada perakaran. Dalam sedimen, cadangan karbon bervariasi sebesar 34% – 64% dari total carbon tersimpan. Hal ini didukung juga dengan kondisi komunitas mangrove yang masih alami dan jarang ditemukan


(14)

2

gangguan antropogenik. Diameter mangrovenya memiliki rata-rata paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Khusus wilayah Kelong bagian tenggara, mangrove mendistribusikan 42,08 – 101,03 gr/hari serasah ke laut dan memproduksi serasah 0,55 – 0,80 gr/hari. Estimasi serapan CO2 yang diperoleh dalam kawasan rata-rata sebesar ~28.027,40 gr CO2/ha/hari. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya, kajian spasial tentang kondisi emisi GRK dari kawasan sangat diperlukan yang kemungkinan berkaitan dengan laju dekomposisi, parameter biogeokimia dan struktur komunitas dari zona darat ke laut.

Perumusan Masalah

Berdasarkan penelitian sebelumnya, ekosistem mangrove di Pulau Kelong memiliki kondisi yang masih alami, cadangan karbon yang tinggi, serta memiliki nilai serapan CO2, ekspor serasah, dan produksi serasah dalam jumlah tertentu. Secara spasial dan observasi awal, komunitas mangrove dalam lokasi penelitian memiliki perbedaan komposisi jenis dari darat ke laut namun masih perlu dianalisis lebih dalam secara kuantitatif. Variasi spasial ini meliputi: variasi komunitas mangrove, kondisi parameter sedimen dan air. Laju dekomposisi mangrove dapat dijadikan indikator aktivitas mikroorganisme dalam kawasan. Variasi spasial parameter-parameter di atas dianalisis untuk memastikan keberadaan zonasi dalam kawasan. Emisi gas rumah kaca (GRK) memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas mikroorganisme dan biogeokimia dalam sedimen.

Gambar 1 Diagram alir permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian Mangrove Pulau Kelong

Zonasi?

Emisi GRK Variasi Spasial

Ekosistem Alami Serapan CO2, Produksi Serasah,

Ekspor Serasah Cadangan Karbon

Kondisi Sedimen dan Air Komunitas

Mangrove

Laju Dekomposisi


(15)

3 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya variasi spasial dari konsidi komunitas mangrove dan variabel lingkungan dalam tiap zona memberikan pengaruh terhadap variasi fluks GRK dari darat ke laut

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara mencakup kondisi kajian vegetasi, dekomposisi maupun lingkungan pada tiap zona yang berbeda, yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S).

2. Menghitung besaran laju emisi GRK ini dilakukan pada tiga zona tersebut. 3. Menganalisis hubungan kondisi komunitas mangrove, parameter

lingkungan dan laju dekomposisi terhadap emisi GRK yang dihasilkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang laju emisi GRK secara spasial dari ekosistem mangrove yang masih alami yang memiliki cadangan karbon yang tinggi. Hasil yang diperoleh serta publikasi nasional dan internasional yang dihasilkan juga diharapkan bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah Kabupaten Bintan tentang potensi mangrove dalam kawasan yang memiliki fungsi global dalam mitigasi perubahan iklim yang nyata.

Ruang Lingkup Penelitian

Batasan penelitian ini mencakup pada laju emisi GRK yang dipengaruhi oleh kondisi komunitas mangrove dan lingkungan di Pulau Kelong, bagian tenggara.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan pada Maret 2015 dalam kawasan hutan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara dalam tiga zona, yaitu yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S) yang dicakup dalam empat garis transek (Gambar 2). Analisis sampel gas dan sedimen dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Ekologi Laut, Third Institute of Oceanography, Xiamen, China yang telah bekerjasama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Analisis total karbon organik (TOC) pada sedimen dilakukan di Laboratorium Biogeokimia, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI – Jakarta.


(16)

4

Gambar 2 Sebaran empat lokasi transek (T1 – T4) pada wilayah mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara. Setiap lokasi transek dibagi menjadi tiga zona, yaitu: L (zona daratan); M (zona tengah) dan S (zona dekat laut).

Pengumpulan Data Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove

Komunitas Mangrove dan Dekomposisi Serasah

Metode transek garis dengan plot 10 m x 10 m dibuat tegak lurus garis pantai. Sebanyak 12 plot (10 m x 10 m) dibuat untuk mengukur kondisi kesehatan vegetasi pada kelas pohon (diameter minimal 4 cm). Di dalam setiap plot tersebut dibuat subplot berukuran 5 m x 5 m untuk mendeterminasikan kelas pancang/sapling (diameter lebih kecil dari 4 cm). Klasifikasi ini mengikuti Ashton and Macintosh (2002). Diukur dan dicatat keliling batang pada posisi dada  130 cm dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Giesen et al. (2006). Kerapatan serta indeks nilai penting jenis pada pohon dan sapling dihitung. Persentase tutupan kanopi mangrove didekati dengan metode hemispherical photography (Dharmawan and Pramudji 2014). Litter standing stock (stok serasah daun di permukaan tanah) pada setiap plot dihitung dalam plot kecil berukuran 1m x 1m. Serasah daun di oven pada suhu 80oC selama 1 minggu kemudian ditimbang (Robertson and Daniel 1989). Parameter Lingkungan

Parameter lingkungan in-situ seperti suhu, pH, salinitas dan TDS pada air dan sedimen diukur dengan menggunakan pH meter EZODO PH5011 dan SCT meter


(17)

5 YSI EC200. Sampel tanah dikoleksi dari setiap plot pada kedalaman 5 cm dan disaring dalam mesh size 2 mm. pH tanah diukur pada perbandingan 1:5 antara tanah dan aquadesh menggunakan Hanna pH meter. Analisis Total Organik Karbon (TOC), Total Kjeldahl Nitrogen (TN) dan Total Fosfat (TP) dilakukan mengikuti Chen et al. (2014b). Analisis TOC dilakukan dengan metode loss on ignition (LOI) pada suhu 550 oC. Selanjutnya, TN dan TP dianalisis dengan metode flow injection analyzer (FIA).

Penghitungan Laju Dekomposisi

Laju dekomposisi dihitung berdasarkan metode termodifikasi dari Ashton et al. (1999) dan Dewiyanti (2010). Daun kuning yang masih segar pada pohon mangrove dikoleksi dari jenis mangrove yang mendominasi di setiap zona. Daun dibersihkan, didiamkan 24 jam, ditimbang sebanyak 10 gr (W1) dan dimasukkan ke dalam kantong jaring yang berukuran 10 cm x 10 cm dan lubang-lubang jaring (mesh) berukuran 1 mm2. Kantong daun diletakkan di atas permukaan sedimen mangrove dan diikatkan pada akar yang sejajar tanah untuk mencegah kantong terbawa arus pasang surut. Setiap zona dibuat empat kali ulangan, dan enam kali perlakuan waktu (hari ke-: 2, 4, 7, 14, 28, 42). Kantong dikoleksi pada hari yang sudah ditentukan dan dibawa ke laboratorium. Daun dibersihkan dan dimasukkan ke dalam oven suhu 60oC sampai berat konstan. Setiap sampel ditimbang dan dicatat berat keringnya (W2).

Faktor konversi (f) berat basah ke berat kering dihitung sebagai persentase kandungan biomassa dalam daun kuning. Koleksi daun kuning ditimbang berat basah (BB) kemudian dioven pada suhu 60oC sampai tidak ada perubahan berat. Daun kering ditimbang untuk mendapatkan berat kering (BK). Nilai f = ((BB –

BK)/BB *100%).

Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Pengambilan sampel gas dilakukan dengan metode chamber tertutup pada waktu surut dengan durasi pengambilan 0, 10, 20 dan 30 menit (Chen et al. 2010; Chen et al. 2014b). Chamber gas terbuat dari aclyric berbentuk kubus terbuka pada satu sisi berukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm. Dibuat dua katup berdiameter ± 0,5 cm pada bagian samping dan atas. Pengambilan sampel gas diawali dengan chamber gas diletakkan telungkup dengan kedua katup masih terbuka dan kemudian dibenamkan ± 2 cm. Selanjutnya, kedua katup ditutup untuk dimulai pengambilan sampel gas waktu ke-0. Gas dikoleksi dengan menggunakan syringe 10 ml secara hati-hati melalui katup atas, sedangkan katup samping dimasukan jarum syringe terbuka yang digunakan sebagai penyeimbang tekanan gas. Sampel gas dimasukkan ke dalam kantong gas aluminium foil dan dibawa ke laboratorium. Jarum syringe pada katup samping ditarik ketika pengambilan sampel selesai dilakukan setiap waktu durasi. Setiap zona dilakukan empat kali ulangan.

Konsentrasi GRK dianalisis dengan gas kromatografi (GC) Agilent 7890A yang telah dilengkapi dengan dua detektor, yaitu flame ionization detector (FID) untuk gas CH4 dan CO2, serta 63Ni electron capture detector(μECD) untuk N2O. Dibuat kurva standar sebagai acuan dalam analisis dengan menggunakan gas standar yang sudah terkonsentrasi oleh gas metana dalam konsentrasi tertentu.


(18)

6

Setiap sampel diambil 1 ml kemudian diinjeksikan ke dalam GC. Konsentrasi gas metana dihitung dengan membandingkan luas peak/puncak sampel dengan kurva standar.

Analisis Data

Laju dekomposisi serasah (LD) dalam selang waktu tertentu (Δt), persentase

terdekomposisi (%D), koefisien laju dekomposisi (k) serta waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (t50) dihitung dengan menggunakan persamaan 1 – 4. Sedangkan analisis aliran emisi GRK (Fm) dilakukan mengikuti persamaan 5.

LD = [(W1 x f) – W2]/Δt …(1) %D = (W1– W2)/W1x 100% …(2)

K = ln(Xt/Xo)/Δt …(3)

t50 = ln 2/K …(4)

dimana:

LD = Laju dekomposisi (g.m-2.hari-1) W1 = berat basah daun kuning (gr)

W2 = berat kering daun setelah terdekomposisi dalam waktu tertentu (gr) f = faktor konversi berat basah – berat kering (%)

Δt = selang waktu pengamatan (hari) %D = persentase terdekomposisi k = koefisien dekomposisi

t50 = waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (hari)

Xt = persentase serasah daun setelah terdekomposisi dalam kurun waktu tertentu (t)

Xo = persentase serasah daun sebelum terdekomposisi. Fm = (V.ΔM/A.ρ).10-6 …(5) dimana :

Fm : aliran GRK (µmol m-2.h-1) V : volume chamber (m3)

ΔM : perubahan konsentrasi gas di dalam chamber (h-1). A : luas permukaan tanah (m2)

Ρ : konstanta volume setiap mol gas (m3.mol-1)

Data univariat seperti vegetasi (kerapatan pohon dan pancang); persentase tutupan kanopi; litter standing stock, parameter lingkungan; laju dekomposisi; koefisien dekomposisi (k); t50 serta flux gas rumah kaca (GRK), dianalisis dengan analisis deskriptif utnuk mendapatkan nilai rata-rata dan standar deviasi. Untuk menentukan variansi dari data tersebut, dilakukan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji beda nyata Tukey menggunakan perangkat lunak SPSS 17. Analisis jarak Eucladian distance digunakan pada setiap parameter lingkungan dan komposisi jenis pohon. Analisis multidimensional scaling (MDS) terhadap indeks


(19)

7 similaritas seluruh parameter digunakan untuk menentukan ordinasi setiap plot pengukuran dan menegaskan klasifikasi zonasi dengan menggunakan perangkat lunak PRIMER 6. Hubungan tiap parameter dengan laju emisi GRK dianalisis dalam korelasi Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Ekosistem Mangrove Pulau Kelong Bagian Tenggara

Komunitas mangrove dalam kawasan memiliki ketebalan maksimal 200 meter yang merupakan hutan primer. Kerapatan pohon pada lokasi penelitian tertinggi ditemukan di zona darat (L) sebesar 2.175 ± 222 pohon/ha yang berbeda nyata (P<0,05) dengan dua zona lainnya dimana zona dekat laut (S) memiliki kerapatan pohon yang paling rendah. Namun, pada kelas sapling (komunitas tegakan dengan diameter batang< 4 cm), zona S memiliki tegakan yang paling rapat dan berbeda nyata dibandingkan dengan dua stasiun lainya (Tabel 1). Dari segi keanekaragaman jenis, zona dekat laut hanya terdiri dari dua jenis dan paling rendah dibandingkan zona darat dan zona tengah. Kondisi kesehatan komunitas mangrove di dalam kawasan termasuk dalam kategori baik dengan rentang persentase tutupan tajuk, yaitu: 87,96 ± 6,88% (L) sampai 91,31 ± 1,14% (M) yang tidak berbeda nyata antar zona.

Hasil analisis parameter sedimen menunjukkan bahwa zona laut memiliki kecenderungan kesamaan dengan zona tengah dan berbeda dengan zona dekat darat (Tabel 2). Nilai pH sedimen secara spasial meningkat dari darat ke laut dengan kisaran 6,95±0,06 sampai 7,40±0,08. Tren tersebut juga diperoleh pada hasil analisis suhu (~28,12 - ~28,83 oC). Kecenderungan nilai TOC dan total N ditemukan berlawanan dengan suhu dan pH sedimen secara spasial. Sementara itu, kandungan P tidak memiliki pola yang teratur dari darat ke laut, yaitu: 0,21±0,05; 0,30±0,003 dan 0,27±0,03 mg/L.

Hasil pengukuran pH air juga ditemukan memiliki pola kecenderungan yang sama dengan pH sedimen secara spasial dengan kisaran ~6,93 – 7,65 dari darat ke laut. Faktor salinitas pada zona darat tidak berbeda signifikan dengan zona tengah (P>0.05), namun nilai salinitas pada zona laut berbeda dengan dua zona tersebut. Kecenderungan tersebut juga ditemukan pada parameter TDS. Hasil analisis MDS terhadap parameter struktur komunitas dan hasil pengukuran parameter lingkungan diperoleh bahwa zona dekat laut memiliki kemiripan dengan zona tengah, dimana kedua zona tersebut memiliki korelasi yang lebih jauh dengan zona daratan (Gambar 3).


(20)

8

Tabel 1 Kerapatan pohon dan pancang; jumlah jenis; indeks nilai penting (INP) pohon dan persentase tutupan kanopi dari komunitas mangrove pada tiga zona penelitian di Pulau Kelong.

NO PARAMETER ZONASI

L M S

1 Kerapatan Pohon (tree ha-1) 2175 ± 222a 1800 ± 141b 1550 ± 191b

Rhizophora apiculata 425 ± 544 1425 ± 126 1475 ± 171

Brugueira gymnorrhiza n/a 100 ± 82 n/a

Xylocarpus granatum 1750 ± 332 200 ± 82 n/a

X. mollucensis n/a 75 ± 50 75 ± 50

2 Kerapatan Pancang (id.ha-1) 975 ± 287a 925 ± 150a 1875 ± 50b

R. apiculata 325 ± 330 850 ± 191 1875 ± 50

B. gymnorrhiza n/a 200 ± 115 n/a

X. granatum 525 ± 171 75 ± 96 n/a

Aegiceras corniculatum 125 ± 96 n/a n/a

3 Jumlah Jenis 3 4 2

4 Indeks Nilai Penting (INP) Pohon*)

Tertinggi XG: 232,42% RA: 177,32% RA: 237,53%

Terendah RA: 67,58% XM : 30,60% XM: 62,47%

5 % tutupan kanopi 87,96 ± 6,88a 91,31 ± 1,14a 90,48 ± 0,54a

6 Stok serasah (gr DW/m2)

78,23 ± 14,16 81,61 ± 11,25 82,09 ± 19,37

*) XG = X. granatum; RA = R. apiculata; XM = X. mollucensis.

n/a = tidak ditemukan

ab menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada baris yang sama tidak memiliki

perbedaan nilai secara nyata.

Tabel 2 Perbandingan karakteristik sedimen dan air antar tiga zona penelitian mangrove di Pulau Kelong.

NO Parameter Dekat Darat (L) Tengah (M) Zona Dekat Laut (S) 1 Deskripsi Sedimen Berlumpur Berlumpur Pasir berlumpur 2 Dominansi jenis Tinggi

X. granatum

R. apiculata

dengan campuran jenis lainnya

Tinggi R. apiculata

3 pH tanah 6,95 ± 0,06a 7,08 ± 0,10a 7,40 ± 0,08b 4 Suhu tanah (oC) 28,13 ± 0,10a 28,75 ± 0,19b 28,83 ± 0,10b 5 TOC tanah (mg/L) 125,41 ± 1,10a 79,76 ± 1,18b 71,48 ± 17,28b 6 TP tanah (mg/L) 0,21 ± 0,05a 0,30 ± 0,003b 0,27 ± 0,03b 7 TN tanah (mg/L) 3,23 ± 0,31a 2,56 ± 0,16b 2,32 ± 0,41b 8 pH air 6,93  0,10a 7,10 0,08a 7,65 ± 0,13b

9 Suhu air (oC) 28,35 ± 0,06a 28,80 ± 0,14b 29,38 ± 0,26c 10 Salinitas air (ppt) 24,60 ± 0,68a 23,03 ± 2,48a 32,15 ± 0,13b 11 TDS air (g/L) 12,04 ± 0,33a 11,52 ± 1,08a 15,26 ± 0,04b

ab menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada baris yang sama tidak memiliki


(21)

9

Gambar 3 Analisis MDS (multidimensional scaling) terhadap plot berdasarkan kondisi lingkungan in situ (air dan substrat) dan kelimpahan jenis pohon.

Gambar 4 Berat kering (g) daun yang terdekomposisi dari hari ke-0 sampai hari ke-42.

Berat K

er

in

g Daun

(g)

1 3

2

0

0 2 4 7 14 28 42 Hari ke -

Zona L M S


(22)

10

Dalam 42 hari pengamatan, L merupakan zona dengan proses dekomposisi yang paling tinggi (56,34 20,58%) dibandingkan dengan M dan S yang berturut-turut sebesar 51,59  15,46% dan 51,09  8,70% . Berat kering daun terdekomposisi selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 4. Laju dekomposisi pada ekosistem mangrove pada zona darat paling tinggi dengan rata-rata 1,40  0,82 gr/m2/hari yang berbeda nyata dengan dua zona lainnya. Pada zona M dan S, laju dekomposisi rata-rata 0,83  0,89 gr/m2/hari dan 0,78 ± 0,70 gr/m2/hari secara berurutan (Tabel 3).

Tabel 3 Laju dekomposisi serasah (LD), koefisien dekomposisi (k), dan waktu paruh (t50) dari dekomposisi serasah daun di tiga zonasi mangrove Pulau Kelong.

Zona LD (g/m2/d) k (d-1) t50 (hari)

L 1,40 ± 0,82a 0,022± 0,012 45

M 0,83 ± 0,89b 0,027± 0,029 43

S 0,78 ± 0,70b 0,026± 0,024 44

Total 2,57 ± 2,20 0,025± 0,023 44

ab menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada kolom yang sama tidak memiliki perbedaan nilai secara nyata.

Laju Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Secara umum, ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara memiliki produksi GRK yang rendah. Secara spasial, flux gas CH4 dan N2O tidak memiliki perbedaan yang signifikan antar zona. Walaupun demikian, gas CH4 bervariasi dari darat ke laut 0,52  0,92 - 2,54  4,17 μmol m−2 h−1, dan emisi gas N2O tidak memiliki pola yang jelas dan bernilai negatif. Sementara itu, emisi gas CO2 pada zona dekat laut berbeda signifikan dengan emisi yang terjadi pada zona darat (P < 0,05). Pola emisi CO2 berlawanan dengan pola emisi CH4 dimana meningkat dari laut ke darat 484,01  1.384,61 – 4.351,82  2.040,88 μmol m−2 h−1 (Gambar 5).

Hubungan Kondisi Ekosistem dengan Emisi GRK

Hubungan antara kondisi komunitas mangrove dan lingkungan ditunjukkan pada Tabel 4. Hanya beberapa faktor lingkungan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap emisi GRK dalam kawasan. Keseluruhan parameter air (salinitas dan TDS) memberikan pengaruh nyata dengan nilai negatif pada aliran gas CO2. Laju emisi CO2 memiliki korelasi yang positif dengan kandungan karbon tanah (TOC). Fluks gas CH4 dan N2O tidak memiliki hubungan yang nyata dengan parameter lingkungan.


(23)

11

Gambar 5 Laju emisi CO2 (a); CH4 (b) dan N2O (c) dalam μmol m−2 h−1 yang diukur pada tiga zona yang berbeda di kawasan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara.

(a) 8

6 4 2 0 -2

L M S

10

3 CO

2

(

µ

m

ol

m

-2 h -1 )

C

H4

(

µ

m

ol m

-2 h -1 )

L M S

8 6 4 2 0 -2

(b)

0,5 0,0 -0.5 -1.0 -1.5

N2

O (µ

m

ol m

-2 h -1 )

L M S


(24)

12

Tabel 4 Analisis korelasi Pearson antara emisi GRK dengan kondisi komunitas mangrove, faktor lingkungan (sedimen dan air) serta laju dekomposisi.

Parameter CO2 CH4 N2O

Air Sal. -0,686* 0,262 -0,489

TDS -0643* 0,266 -0,454

Sedimen pH -0,864** 0,509 -0,412

Temp -0,483 0,373 -0,162

TOC 0,735* 0,244 0,476

TN 0,566 0,497 0,488

TP -0,633 0,372 -0,024

Komunitas Mangrove TA 0,464 -0,094 0,498

* : korelasi nyata pada α = 0,05 ** : korelasi nyata pada α = 0,01

Pembahasan

Komunitas mangrove di kawasan tenggara Pulau Kelong didominasi oleh Rhizophora apiculata karena jenis ini ditemukan di semua zona penelitian. Kondisi substrat yang berlumpur dan anoksik memungkinkan jenis ini tumbuh dengan baik dalam kawasan. Duke (2006) menyebutkan bahwa Rhizophora memiliki akar khusus dan kuat, berupa akar tunjang yang mengelilingi batang utama sebagai penopang pertumbuhannya di wilayah berlumpur dan anoksik. Hogarth (2007) menambahkan bahwa akar Rhizophora memiliki lentisel yang merupakan struktur penyerap oksigen terlarut dari air atau tanah serta dari udara secara difusi sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang miskin oksigen.

Jenis substrat sangat mempengaruhi dominansi suatu spesies pada kawasan mangrove oseanik. Pada zona S dan M dengan sedimen campuran pasir dan lumpur, jenis Rhizophora mendominasi wilayah tersebut. Sedangkan pada wilayah L yang didominasi oleh substrat lumpuran yang berstruktur lebih padat, didominasi oleh Xylocarpus granatum. Zona M, yang memiliki tipe substrat campuran antara zona L dan S, memiliki variasi keanekaragaman jenis yang lebih beragam. Salinitas merupakan faktor kunci yang menimbulkan variasi jenis dalam setiap zona. Salinitas air pada zona laut jauh lebih tinggi (32,05 ± 0,06 ppt) dan berbeda signifikan dibandingkan dengan zona L dan M (24,58 ± 0,67 dan 24,13 ± 2,56 ppt). Tren tersebut juga ditemukan pada hasil pengukuran nilai TDS air.

Zonasi pada mangrove disebabkan oleh perbedaan gradien konsentrasi faktor lingkungan secara tegak lurus garis pantai yang akan mempengaruhi komposisi jenis tumbuhan yang menyusunnya. Faktor lingkungan tersebut antara lain: elevasi morfologi pantai, gradien komposisi fraksi sedimen, salinitas, gradient hara serta genangan (Fujimoto and Miyagi 1993; Lopez-Portillo and Ezcurra 1989; Vilarrúbia 2000). Tidak ada pola pasti dari zonasi mangrove, namun secara umum jenis yang tahan terhadap salinitas tinggi seperti Avicennia dan Sonneratia akan menempati zona pantai. Pada penelitian ini, Rhizophora apiculata ditemukan dominan pada zona S yang memiliki salinitas tinggi (32,05 ppt). Jenis ini memiliki kemampuan adaptasi pada rentang salinitas yang sangat lebar sehingga ditemukan di seluruh zona penelitian. Ada tiga mekanisme yang dimiliki oleh Rhizophora untuk beradaptasi dengan kadar garam yang tinggi, yaitu: akar ultra filtrasi, jaringan penyimpan air dan mengalirkan garam ke daun tua (Chapman 1976). Selain


(25)

13 mekanisme adaptasi tersebut, kondisi substrat yang berlumpur juga merupakan tempat hidup yang sangat baik untuk jenis R. apiculata.

Laju dekomposisi serasah yang diperoleh dari kombinasi biomassa yang hilang dan litter standing stock dalam setiap zona menunjukkan nilai rata-rata dengan rentang 0,78 ± 0,70(S) – 1,40 ± 0,82 (L) gram/m2/hari. Pada zona S dan M yang didominasi oleh R. apiculata memiliki laju dekomposisi yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan LWD yang didominasi oleh jenis X. granatum. Nilai laju dekomposisi berdasarkan hasil perhitungan t50 rata-rata diperoleh pada 44 hari. Penelitian Ashton et al. (1999) menunjukkan pada kawasan mangrove yang masih alami, nilai t50 berkisar 43 hari sedangkan pada kawasan terbuka nilai t50 lebih besar, yaitu 76 hari. Dewiyanti (2010) juga memperoleh nilai t50 di zona dekat laut (63 hari) lebih rendah dibandingkan zona darat (67 hari). Dalam Tabel 4, laju dekomposisi ditunjukkan memiliki hubungan yang signifikan dengan suhu substrat dan salinitas air. Graca et al. (2005) menjelaskan bahwa peluruhan dari serasah daun didefinisikan sebagai kehilangan berat akibat beberapa proses fisio-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan.

Berdasarkan nilai k yang diperoleh dengan rata-rata 0,025 ± 0,023 per hari, seluruh kawasan memiliki laju dekomposisi yang tergolong tinggi. Penelitian Ananda et al. (2008) menggolongkan laju dekomposisi menjadi tiga kategori berdasarkan nilai k, yaitu tinggi (k>0,01); sedang (k = 0,005 – 0,01); rendah (k<0,005). Penelitian Dewiyanti (2010) pada kawasan hutan mangrove Pulau Weh, Sabang telah diperoleh koefisien dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,010 ± 0,000577 per hari. Hasil penelitian Ashton et al. (1999) menghitung nilai k sebesar 0,00163 per hari pada kawasan hutan mangrove alami yang didominasi oleh jenis R. apiculata di hutan mangrove Peninsular, Malaysia.

Tabel 5 Perbandingan aliran emisi GRK (µmol m-2 h-1) dari beberapa penelitian

Lokasi CH4 CO2 N2O Referensi

Pulau Kelong,

Indonesia 0,52 – 2,54 484,01 – 4351,82 -0,56 - (-0,06) Penelitian ini Ennore; Adyar dan

Pichavaram, India 166,88 – 686,25 ND ND 1 Brisbane, Australia 272,45 ND 40,43 2 Futian, Mai Po dan

Sha Kong Tsuen, China

10,10 – 5168,62 560 – 20.560 0,14 – 23,83 3 Mai Po, Hongkong ND 31.23 11,60 4 Sundarbans, India ND 2.34 ND 5 Sulawesi Utara,

Indonesia −6,05–13,14 −1.340–3.880 −0,35–0,61 6 Bhitarkanika, India 5 ND 0,20 7

Keterangan referensi: 1Purvaja and Ramesh (2000); 2Allen et al. (2007); 3Chen et al. (2010); 4Chen et al. (2012); 5Chanda et al. (2013); 6Chen et al. (2014b); 7Chauhan et al. (2015).


(26)

14

Emisi gas CO2 dalam kawasan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Alongi et al. 2001; Chen et al. 2012; 2014b). Rata-rata flux CO2 dalam penelitian ini (2.778,61 µmol m−2 h−1) lebih rendah dibandingkan rata-rata flux CO

2 di 75 lokasi di dunia, yaitu 2.870 µmol m−2 h−1 (Alongi 2009). Selain itu, emisi dalam kawasan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi di Australia (Lovelock 2008). Namun, variasi spasialnya menurun dari darat ke laut yang berlawanan dengan penelitian Chen et al. (2010).

Rata-rata aliran gas CH4 yang diperoleh (0,52 – 2,54 µmol m-2 h-1) lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar penelitian lainnya yang mengunakan metode closed-chamber (Tabel 5). Namun, nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 di Sai Keng, Hongkong; North Sulawesi, Indonesia and Sundarbans, India. Emisi CH4 yang tinggi di China Selatan dipicu oleh percobaan dengan menggunakan air limbah (Chen et al. 2010). Zona laut memiliki kemiripan emisi gas dengan emisi yang terjadi di persawahan (Lumbanraja et al. 1998). Flux gas metana pada zona S lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya, sebuah pola yang mirip dengan penelitian Lu et al. (1998). Emisi gas metana yang lebih tinggi akan ditemukan pada kawasan estuari atau lagoon yang memiliki sedimen lumpur. Allen et al. (2007) menjelaskan bahwa sedimen berlumpur pada mangrove dalam aliran sungai memproduksi gas metana yang tinggi mencapai 1.087,50 µmol m-2 h-1.

Gas N2O merupakan produk sampingan yang dihasilkan dalam siklus nitrogen dalam sedimen yang melibatkan aktivitas mikroorganisme kompleks. Denitrifikasi, sebagai salah satu bagian dari siklus tersebut, dianggap sebagai tahapan yang penting dalam produksi N2O (Fernandes and Bharathi 2010). Dalam penelitian ini, nilai negatif pada emisi gas N2O menunjukkan bahwa ekosistem mangrove dalam kawasan memiliki kemampuan dalam menyerap N2O. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran di lokasi lain, rata-rata aliran emisi gas N2O (-0,26 µmol m-2 h-1) merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti; India : 0,20 µmol m-2 h-1 (Chauhan et al. 2015), Hongkong : 11,60 µmol m-2 h-1 (Chen et al. 2012), and Australia : 40,43 µmol m-2 h-1 (Allen et al. 2007). Laju emisi gas N2O di kawasan hutan mangrove lainnya Indonesia, juga ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini (Chen et al. 2014b). Fluks GRK yang rendah mengindikasikan tingginya potensi mangrove di Pulau Kelong dalam mitigasi perubahan iklim ((Dharmawan et al. 2016b)

Reddy and Crohn (2014) menemukan bahwa salinitas memberikan pengaruh pada emisi CO2. Peningkatan salinitas menurunkan emisi gas CO2 sebesar 28-38%. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dari respirasi tanah terhadap peningkatan salinitas. Pola yang sama juga dapat dilihat pada pengaruh TDS pada air. Nilai TDS yang lebih tinggi, mengindikasikan aerasi antara partikel tanah lebih rendah. Hal ini menyebabkan tanah konsentrasi oksigen dalam tanah sebagai sumber respirasi mikroorganisme menjadi rendah.

Penurunan emisi gas CO2 dari darat ke laut diikuti oleh pola TOC yang sama. Kandungan karbon organik yang lebih tinggi dalam zona L dibandingkan dengan zona lainnya, menyediakan sumber karbon yang lebih tinggi untuk aktivitas mikroorganisme tanah dan meneralisasi oleh biota bentic yang bertanggung jawab dalam produksi CO2 ke atmosfer (Bouillon et al. 2008; Morell et al. 2011). Sumber karbon organik dalam sedimen berasal dari dalam ekosistem mangrove dan dari luar sistem, seperti, karbon antropogenik yang terbawa aliran sungai atau pasang


(27)

15 surut. Dekomposisi dan respirasi yang terjadi dalam tanah bertanggung jawab dalam pemecahan karbon organik menjadi CO2. pH tanah mempengaruhi kandungan karbon dalam sedimen. Nursin et al. (2014) menunjukkan bahwa kandungan organik dalam sedimen akan menurun seiring dengan peningkatan pH dimana menurun dari 2,55% pada pH 6,1 menjadi 0,75% pada pH 7,2.

Berdasarkan analisis statistik, tidak ditemukan hubungan yang nyata antara parameter lingkungan dengan aliran emisi CH4 dan NO2. Namun, berdasarkan Poffenbarger et al. (2011), salinitas dan CH4 memiliki hubungan yang bernilai negatif dan signifikan pada ekosistem pesisir. Namun, analisis korelasi dalam penelitian ini memperlihatkan kondisi yang berlawanan. Couwenberg (2009) menjelaskan bahwa gas metana dengan mudah dihasilkan pada kondisi tanah anaerobik dan tinggi kandungan organik. Whalen (2005) juga menggambarkan bahwa suhu lingkungan juga mempengaruhi mekanisme produksi CH4 dalam sedimen. Lu et al. (1999) menambahkan parameter kelembaban substrat juga merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur emisi gas CH4 ke atmosfer.

Analisis hubungan laju emisi gas N2O dengan faktor lingkungan memperlihatkan pH tanah yang memiliki hubungan yang paling kuat. Hal ini disebabkan oleh pH tanah mampu mengatur mekanisme denitrifikasi dan mempengaruhi produksi gas N2O. Penelitian Fernandes and Bharathi (2010) menunjukkan hubungan negatif antara denitrifikasi dengan pH tanah. Nilai emisi gas N2O yang tidak berbeda nyata antar zona menunjukkan bahwa tingkatan proses denitrifikasi yang sama dalam lokasi penelitian. Selain pH, salinitas juga memberikan pengaruh terhadap N2O dan proses denitrifikasi (Marton et al. 2012). Rendahnya nilai TOC dan TN pada zona dekat laut kemungkinan menyebabkan laju denitrifikasi yang rendah dan diikuti dengan rendahnya laju emisi N2O.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Komunitas mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara memiliki zonasi yang cukup jelas dengan komposisi jenis, parameter lingkungan dan laju dekomposisi yang berbeda antar ketiga zona. Zona laut cenderung memiliki kemiripan dengan zona tengah lebih tinggi dibandingkan dengan zona darat. 2. Variasi spasial fluks CO2 meningkat dari darat ke laut dan berlawanan

dengan emisi gas CH4. Sementara itu, flux N2O bernilai negatif dan memiliki pola kecenderungan yang tidak teratur dari darat ke laut.

3. Laju emisi GRK dalam kawasan, hanya sebagian kecil yang memiliki hubungan yang erat dengan parameter lingkungan. Laju Emisi CO2 memiliki hubungan yang negatif dan kuat dengan seluruh parameter air, pH tanah dan TOC. Sementara itu, emisi gas CH4 dan N2O tidak memiliki hubungan yang nyata dengan parameter lingkungan.


(28)

16

Saran

Kondisi ekosistem dan emisi GRK yang bervariasi secara spasial mengindikasikan perlunya dilakukan penelitian lebih mendalam tentang proses biogeokimia dan mikrobiologi dalam setiap zona. Estimasi tentang potensi kawasan dalam menyerap dan menghasilkan GRK dalam satuan luas juga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya dalam kawasan, menunjukkan bahwa kawasan memiliki potensi tinggi dalam mitigasi perubahan iklim, sehingga disarankan untuk mempertahankan kondisi ekosistem dengan memberikan perlakuan khusus terhapan kawasan. Kebijakan bisa diterapkan misalnya dengan menetapkan kawasan sebagai kawasan konservasi mangrove untuk mempertahankan fungsinya dalam mitigasi perubahan iklim.

DAFTAR PUSTAKA

Allen DE, Dalal RC, Rennenberg H, Meyer RL, Reeves S, Schmidt S. 2007. Spatial and temporal variation of nitrous oxide and methane flux between subtropical mangrove sediments and the atmosphere. Soil Biol Biochem. 39:622-631.

Alongi D. 2009. The Energetics of Mangrove Forests. Springer Netherlands, Amsterdam. doi:10.1007/978-1-4020-4271-3

Alongi DM, Wattayakorn G, Pfitzner J, Tirendi F, Zagorskis I, Brunskill GJ, Davidson A, Clough BF. 2001. Organic carbon accumulation and metabolic pathways in sediments of mangrove forests in southern Thailand. Mar Geol. 179:85-103.

Ananda K, Sridhar KR, Raviraja NS, Baerlocher F. 2008. Breakdown of fresh and dried Rhizophora mucronata leaves in a mangrove of Southwest India. Wetlands Ecol Manage. 112:73-81.

Ashton E, Hogarth, PJ , Ormond R. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in a managed mangrove forest in Peninsular Malaysia. Hydrobiologia. 413:77-88.

Ashton EC, Macintosh DJ. 2002. Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the Sematan mangrove forest, Sarawak, Malaysia. Forest Ecol Manag. 166:111-129.

Bouillon S, Borges AV, Castañeda-Moya E, Diele K, Dittmar T, Duke NC, Kristensen E, Lee SY, Marchand C, Middelburg JJ et al. 2008. Mangrove production and carbon sinks: a revision of global budget estimates. Global Biochem Cy. 22:n/a-n/a.

Chanda A, Akhand A, Manna S, Dutta S, Das I, Hazra S, Rao KH, Dadhwal VK. 2013. Measuring daytime CO2 fluxes from the inter-tidal mangrove soils of Indian Sundarbans. Environ Earth Sci. 72:417-427.


(29)

17 Chauhan R, Datta A, Ramanathan AL, Adhya TK. 2015. Factors influencing

spatio-temporal variation of methane and nitrous oxide emission from a tropical mangrove of eastern coast of India. Atmos Environ. 107:95-106.

Chen GC, Tam NF, Ye Y. 2012. Spatial and seasonal variations of atmospheric N2O and CO2 fluxes from a subtropical mangrove swamp and their relationships with soil characteristics. Soil Biol Biochem. 48:175-181. Chen GC, Tam NFY, Ye Y. 2010. Summer fluxes of atmospheric greenhouse gases

N2O, CH4 and CO2 from mangrove soil in South China. Sci Total Environ. 408:2761-2767.

Chen GC, Tam NFY, Ye Y. 2014a. Does zinc in livestock wastewater reduce nitrous oxide (N2O) emissions from mangrove soils? Water Res. 65:402-413.

Chen GC, Ulumuddin YI, Pramudji S, Chen SY, Chen B, Ye Y, Ou DY, Ma ZY, Huang H, Wang JK. 2014b. Rich soil carbon and nitrogen but low atmospheric greenhouse gas fluxes from North Sulawesi mangrove swamps in Indonesia. Sci Total Environ. 487:91-96.

Couwenberg J. 2009. Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission factors. Wetlands International, Bonn

Dewiyanti I. 2010. Litter decomposition of Rhizophora stylosa in Sabang-Weh Island, Aceh, Indonesia; evidence from mass loss and nutrients. Biodiversitas. 11:139-144.

Dharmawan I, Zamani N, Madduppa H. 2016a. Laju dekomposisi serasah daun di ekosistem bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan. Oseanol Limnol Indones. 1:1-10.

Dharmawan I, Zamani N, Madduppa H. 2016b. Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil in Kelong Island, Indonesia: A stepping-stone on recent mangrove conservation perspectives. Journal of Coastal Conservation. in Prep

Dharmawan IWE. 2014. Carbon cycle in Kelong Island. Research Center for Oceanography, Jakarta

Dharmawan IWE, Pramudji S. 2014. Panduan Monitoring Status Kesehatan Komunitas Mangrove. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta

Dharmawan IWE, Ulumudin YI, Afdal. 2014. Estimation of mangrove carbon stock in Easten Coast of Bintan Regency, Riau Islands. Oseanol Limnol Indones. 40:15.

Duke NC. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. × annamalai, R. × lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangrove). http://www.agroforestry.net/images/pdfs/Rhizophora-IWP.pdf. Accessed 12/01 2015

Fernandes SO, Bharathi PAL. 2010. Denitrification: an important pathway for nitrous oxide production in tropical mangrove sediments (Goa, India). J Environ Qual. 39:1507-1516.

Fujimoto K, Miyagi T. 1993. Development process of tidal-flat type mangrove habitats and their zonation in the Pacific Ocean: a geomorphological study. Vegetatio. 106:137-146.

Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International, Bangkok


(30)

18

Graca MAS, Baerlocher F, Gessner MO. 2005. A Practical Guide; Methods to Study Litter Decomposition. Springer Netherlands,

Hogarth PJ. 2007. The biology of mangroves and seagrasses. Oxford University Press,

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: Synthesis Report, Summary for Policymakers: An Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change, Wembley

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2015. Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva

Lopez-Portillo J, Ezcurra E. 1989. Zonation in Mangrove and Salt Marsh Vegetation at Laguna de Mecoacan, Mexico. Biotropica. 21:107-114. Lovelock CE. 2008. Soil Respiration and Belowground Carbon Allocation in

Mangrove Forests. Ecosystems. 11:342-354.

Lu C-y, Wong Y-s, Tam NFY, Ye Y, Cui S-H, Lin P. 1998. Preliminary studies on methane fluxes in Hainan mangrove communities. Chin J Oceanol Limnol. 16:64-71.

Lu CY, Wong YS, Tam NFY, Ye Y, Lin P. 1999. Methane flux and production from sediments of a mangrove wetland on Hainan Island, China. Mangr Salt Marsh. 3:41-49.

Lumbanraja J, Nugroho SG, Niswati A, Ardjasa WS, Subadiyasa N, Arya N, Haraguchi H, Kimura M. 1998. Methane emission from Indonesian rice fields with special references to the effects of yearly and seasonal variations, rice variety, soil type and water management. Hydrol Process. 12:2057-2072.

Marton JM, Herbert ER, Craft CB. 2012. Effects of Salinity on Denitrification and Greenhouse Gas Production from Laboratory-incubated Tidal Forest Soils. Wetlands. 32:347-357.

Morell FJ, Cantero-Martínez C, Lampurlanés J, Plaza-Bonilla D, Álvaro-Fuentes J. 2011. Soil Carbon Dioxide Flux and Organic Carbon Content: Effects of Tillage and Nitrogen Fertilization. Soil Sci Soc Am J. 75

Murdiyarso D, Purbopuspito J, Kauffman JB, Warren MW, Sasmito SD, Donato DC, Manuri S, Krisnawati H, Taberima S, Kurnianto S. 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nat Climate Change. 5:1089-1092.

Myhre G, Shindell D, Bréon F, Collins W, Fuglestvedt J, Huang J, Koch D, Lamarque J, Lee D, Mendoza B (2013) Anthropogenic and natural radiative forcing. In: Stocker T et al. (eds) Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of Intergovermental Panel of Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK and New York, pp 659-740

Nursin A, Wardah W, Yusran. 2014. Sifat kimia tanah pada berbagai zonasi hutan mangrove di Desa Tumpapa Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong Warta Rimba. 2:17-23.

Poffenbarger HJ, Needelman BA, Megonigal JP. 2011. Salinity Influence on Methane Emissions from Tidal Marshes. Wetlands. 31:831-842.


(31)

19 Purvaja R, Ramesh R. 2000. Human impacts on methane emission from mangrove

ecosystems in India. Reg Environ Change. 1:86-97.

Reddy N, Crohn DM. 2014. Effects of soil salinity and carbon availability from organic amendments on nitrous oxide emissions. Geoderma. 235– 236:363-371.

Robertson AI, Daniel PA. 1989. The influence of crabs on litter processing in high intertidal mangrove forests in tropical Australia. Oecologia. 78:191-198. Sukardjo S, Alongi D. 2012. Mangroves of the South China Sea: Ecology and

Human Impacts on Indonesia s Forests. Nova Science Publishers Inc, New York

Vilarrúbia TV. 2000. Zonation pattern of an isolated mangrove community at Playa Medina, Venezuela. Wetlands Ecol Manage. 8:9-17.

Wang H, Liao G, D’Souza M, Yu X, Yang J, Yang X, Zheng T. 2016. Temporal

and spatial variations of greenhouse gas fluxes from a tidal mangrove wetland in Southeast China. Environ Sci Pollut R. 23:1873-1885.

Whalen S. 2005. Biogeochemistry of methane exchange between natural wetlands and the atmosphere. Environ Eng Sci. 22:73-94.


(32)

Laju Dekomposisi Serasah Daun di Ekosistem Bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan

Decomposition Rate of Leaf Litter in The Mangrove Ecosystem of Kelong Island, Bintan Regency

I Wayan E. Dharmawan1,2, Neviaty P. Zamani1 & Hawis H. Madduppa1

1Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

2UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Biak

Email: iwayanekadharmawan@gmail.com

Submitted 28 May 2015. Reviewed 11 December 2015. Accepted 4 April 2016.

Abstrak

Hutan bakau di bagian tenggara Pulau Kelong memiliki cadangan karbon yang banyak dalam tegakan dan sedimen yang mengindikasikan produktivitas primer kawasan yang tinggi. Dekomposisi serasah daun, sebagai bagian dari produktivitas kawasan, menghasilkan unsur hara esensial sederhana yang dimanfaatkan untuk menopang pertumbuhan bakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju dekomposisi

serasah daun di setiap zona penelitian, yaitu zona darat (Landward, L), tengah (Middle zone, M), dan dekat

laut (Seaward, S) yang dibedakan berdasarkan kelimpahan jenis tumbuhan dan parameter in situ. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Maret–Mei 2015 di kawasan bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan. Proses dekomposisi diamati pada enam interval waktu, yaitu 2, 4, 7, 14, 28, dan 42 h ari dengan menggunakan kantong jaring yang berisi 10 g daun basah yang diletakkan di permukaan substrat. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa L merupakan zona dengan persentase dekomposisi tertinggi (56,34 ± 20,58%)

dibandingkan dengan M dan S yang berturut-turut sebesar 51,59 ± 15,46% dan 51,09 ± 8,70%. Laju

dekomposisi serasah paling tinggi di zona L yaitu 1,40 ± 0,82 g·m-2·hari-1 yang berbeda nyata dari zona M

dan S, berturut-turut sebesar 0,83 ± 0,89 g·m-2·hari-1 dan 0,78 ± 0,70 g·m-2·hari-1. Analisis koefisien laju

dekomposisi (k) menunjukkan bahwa laju dekomposisi di dalam kawasan tergolong tinggi (k > 0,01). Laju

dekomposisi memiliki korelasi dengan kelimpahan spesies bakau, nilai salinitas air, dan suhu tanah.

Kata kunci: bakau, produktivitas primer, komposisi jenis, laju dekomposisi, serasah daun.

Abstract

The mangrove forests in the southeastern part of Kelong Island have abundant carbon reserves that indicate high primary productivity areas. Decomposition of leaf litter, as a part of regional productivity, produces simple essential nutrients utilized to sustain the growth of mangroves. The purpose of this study was to determine the decomposition rate of leaf litter in each zone of the study, the Landward (L), Middle zone (M), and Seaward (S) which is distinguished by the abundance of plant species and in situ environmental parameters. The experiment was conducted in March–May 2015 in the mangrove areas of

Lampiran 1. Publikasi ilmiah skala nasional yang sudah diterbitkan 20


(33)

Dharmawan et al.

Island Kelong, Bintan regency. The decomposition process was observed at six time intervals, i.e. 2, 4, 7, 14, 28, and 42 days using net bag containing 10 g of wet leaves placed on the substrate surface. The results

showed that L was a zone with highest percentage of decomposition (56.34 ± 20.58%) compared to the M

and S, respectively for 51.59 ± 15.46% and 51.09 ± 8.70%. The highest rate of litter decomposition in zone L

was 1.40 ± 0.82 g·m-2·day-1 that was significantly different from the zones M and S, respectively of 0.83 ±

0.89 g·m-2·day-1 and 0.78 ± 0.70 g·m-2·day-1. Analysis of the coefficient of decomposition rate (k) indicated

that the rate of decomposition in this region was high (k > 0.01). The decomposition rate has a significant correlation with the abundance of mangrove species, the salinity value of the water, and soil temperature.

Keywords: mangrove, primary productivity, species composition, decomposition rate, leaf litter.

Pendahuluan

Bakau sebagai salah satu ekosistem pesisir merupakan komunitas tumbuhan tinggi yang mampu beradaptasi dengan baik di kawasan pasang-surut (Kathiresan & Bingham, 2001). Struktur tumbuhannya yang tinggi dan kokoh menjadikan hutan bakau berfungsi sebagai komponen penting dalam rantai makanan yang sangat kompleks dan potensial bagi kehidupan berbagai biota laut maupun terestrial, baik

mikroorganisme maupun makroorganisme

(Saenger et al., 2012; Abrantes et al., 2014). Tumbuhan bakau juga berperan sebagai sumber energi melalui guguran serasah atau bagian tumbuhan yang telah mati (Abrantes & Sheaves, 2009). Biota herbivora akan memecahnya menjadi bagian yang lebih kecil yang kemudian diuraikan oleh mikroorganisme melalui mekanisme dekomposisi (Camilleri, 1992; Robertson, 1998; Longonje & Raffaelli, 2015).

Dalam ekosistem bakau, dekomposisi merupakan proses katabolisme yang sangat penting bagi produktivitas primer kawasan. Pemecahan mekanik dan kimiawi yang dilakukan oleh organisme pengurai menghasilkan unsur hara esensial sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk menopang pertumbuhan bakau dan biota lainnya. Kajian tentang dekomposisi sudah banyak dilakukan, baik di wilayah tropis maupun subtropis, antara lain oleh Ashton et al. (1999), Ananda et al. (2008), Li & Ye (2014), Tran (2014), dan Keuskamp et al. (2015). L etak geografis sangat penting dalam memengaruhi laju dekomposisi (Ainley & Bishop, 2015). Peningkatan aktivitas dekomposisi yang terjadi secara aerobik dapat meningkatkan emisi gas karbon dioksida ke dalam atmosfer (Cai, 2011). Hal ini disebabkan oleh kandungan organik yang tinggi dan faktor lingkungan in situ yang optimal bagi pertumbuhan organisme pengurai.

Serasah daun sebagai komponen utama dalam produtivitas primer bakau merupakan sumber karbon penting dalam proses

de-komposisi. Kualitas dan kuantitas serasah dalam ekosistem memberikan pengaruh kuat bagi aktivitas katabolisme organisme pengurai (Mooshammer et al., 2012). Kualitas serasah sangat dipengaruhi oleh jenis bakau yang memiliki kandungan nutrisi dan air yang berbeda-beda. Semakin tebal daun, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menguraikannya (Gartner & Cardon, 2004). Luas dan keragaman bakau di Indonesia menimbulkan variasi yang cukup tinggi pada kuantitas serasah bakau yang

dihasilkan, yaitu berkisar 7,1–23,7 ton·ha-1·tahun-1

(Sukardjo & Yamada, 1992; Sukardjo et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan di Indonesia.

Pulau Kelong terletak dalam gugusan kepulauan di bagian tenggara Kabupaten Bintan. Pulau ini dikelilingi oleh hutan bakau yang cukup lebat. Aktivitas penambangan bauksit juga banyak ditemui di kawasan ini yang dalam dekade terakhir semakin meningkat. Hasil interpretasi citra Landsat tahun 2004–2014 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas lahan tambang secara horizontal. Secara vertikal, wilayah yang dulu merupakan bukit, sekarang hampir rata dengan tanah. Dharmawan et al. (2014) menjelaskan bahwa hutan bakau di Pulau Kelong memiliki cadangan karbon paling tinggi dengan kondisi vegetasi yang paling baik di antara sepuluh wilayah kajian di kawasan pesisir timur Kabupaten Bintan. Hutan bakau Pulau Kelong bagian tenggara memiliki cadangan karbon tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kelong (Dharmawan et al., 2014).

Stok karbon yang sangat tinggi dalam tanah, maupun biomassa vegetasinya meng-indikasikan keberadaan sumber karbon yang berlimpah untuk mendukung proses dekomposisi yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih lengkap untuk mendukung asumsi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju dekomposisi


(1)

151

152

Figure 3. Soil-to-atmosphere GHGs fluxes on each zone of mangrove forest in Kelong Island.

153

154

Table 3. Pearson correlation among environmental parameters (water and substrate) with tree abundance (TA)

155

and greenhouse gases fluxes.

156

CO2 CH4 N2O

Soil pH -0.864** 0.509 -0.412

Soil Temperature -0.483 0.373 -0.162

Soil OC 0.735* 0.244 0.476

Soil TP -0.633 0.372 -0.024

Soil TKN 0.566 0.497 0.488

Water salinity -0.686* 0.262 -0.489

Water total dissolved solid -0.643* 0.266 -0.454

Water conductivity -0.692* 0.288 -0.479

Tree abundance 0.464 -0.094 0.498

* indicates p < 0.05; ** indicates p < 0.01.

157

158

159

160

161

162

163

164

165


(2)

166

Discussion

167

Our study indicated that pristine and oceanic mangrove ecosystem in Kelong Island had low GHGs

soil-168

to-atmosphere fluxes. However, this tendency was not followed by soil N and C which was high in area. The

169

present study result was similar to oceanic mangrove area in North Sulawesi (Chen et al. 2014b). As long as

170

mangrove is a potential ecosystem for rich carbon and nitrogen as sources for decomposition and respiration, it

171

might supposedly emit higher GHGs through the atmosphere (Lovelock et al. 2014; Zhang et al. 2015). It was

172

complicated since we found spatial GHGs fluxes were subjected minor influences from environmental factors.

173

Low rate of soil decomposition could impact for low GHG emission in high organic content soil (Chen et al.

174

2014b).

175

Carbon dioxide flux in Kelong island was higher than other studies (Alongi et al. 2001; Chen et al.

176

2012; 2014b). Mean value of CO2 flux in present study (2778.61 µmol m−2 h−1) was less than average of CO2

177

fluxes in 75 sites of world mangrove i.e. 2870 µmol m−2 h−1 (Alongi 2009). In addition, it was also significantly

178

lower than CO2 flux in Australia (Lovelock 2008). Its trend which declined from landward to seaward following

179

Chen et al. (2010).

180

181

Table 4. Comparison of summer soil-to-atmosphere greenhouse gases flux (µmol m-2 h-1) from several studies on

182

mangrove sites.

183

NO SITE HABITAT

TYPE CH4 CO2 N2O REFFERENCES

1 Kelong Island,

Indonesia Oceanic 0.52 – 2.54 484.01 - 4351.82 -0.56 - (-0.06) This study 2 Ennore; Adyar and

Pichavaram, India Estuarine 166.88 – 686.25 ND ND

Purvaja and Ramesh (2000)

3 Brisbane river,

Australia Riverine 272.45 ND 40.43 Allen et al. (2007) 4

Futian, Mai Po and Sha Kong Tsuen, China

Estuarine 10.10 – 5168.62 560 - 20560 0.14 - 23.83 Chen et al. (2010) 5 Mai Po, Hongkong Estuarine ND 31.23 11.60 Chen et al. (2012) 6 Sundarbans, India Estuarine ND 2.34 ND Chanda et al. (2013) 7 North Sulawesi,

Indonesia Oceanic −6.05–13.14 −1340–3880 −0.35–0.61 Chen et al. (2014b) 8 Bhitarkanika, India Estuarine 5 ND 0.20 Chauhan et al. (2015)

184

In present study, fluxes of methane gas were mostly lower than other mangrove studies by

closed-185

chamber method (Table 4). On the other hand, it was higher than Sai Keng, Hongkong; North Sulawesi, Indonesia

186

and Sundarbans, India. The most intensive emission flux was found in South China which is simulated wasted

187

water experiment (Chen et al. 2010). SWD zone methane flux was similar with paddy rice field (Lumbanraja et

188

al. 1998). Methane flux on SWD zone was higher than other zones which had a same pattern with Lu et al. (1998).

189

The higher methane flux emission zone tend to be located on estuary or lagoon and dominated by high mud

190

intensity in soil. Allen et al. (2007) noted that on muddy soil on riverine mangrove, there was produced high

191

methane emission up to 1,087.50 µmol m-2 h-1.

192

193

Nitrous oxide is a by-product during nitrogen cycle inner soil involving microbial activities. As a part of

194

the cycle, denitrification has considered as an important pathways in N2O production (Fernandes and Bharathi

195

2010). On the other hand, nitrification also has delivered impact for N2O leasing (Chen et al. 2014a). In this study,

196

negative value of N2O has considered as low N2O production. Comparing to the other calculations, N2O emission

197

in this area (-0.26 µmol m-2 h-1) was the lowest among other country i.e. India : 0.20 µmol m-2 h-1 (Chauhan et al.

198

2015), Hongkong : 11.60 µmol m-2 h-1 (Chen et al. 2012), and Australia : 40.43 µmol m-2 h-1 (Allen et al. 2007).

199

N2O production on the other Indonesian mangrove sites also found little higher than this study (Chen et al. 2014b).

200

201


(3)

In this study, only few significant correlations have been found between gases fluxes and environmental

202

parameters. All of water characteristics has given negative significant impact through CO2 fluxes. Reddy and

203

Crohn (2014) found that salinity factors would give impact on CO2 emission. Increased salinity resulted gradual

204

reducing of CO2 fluxes by 28-38%. It caused by sensitivity of soil respiration on higher salinity. It was also

205

followed by TDS and conductivity value. The higher concentration of TDS and conductivity, the lower aeration

206

among soil particles was. It made soil become less oxygen content.

207

208

On the other hand, CO2 fluxes has positive correlation with soil TOC. Spatial declining of CO2 emission

209

from land to sea zone was followed by soil TOC trend. Since organic carbon in LWD was greater than other

210

zones, it has provided more carbon source for microbial activity and benthic mineralization which has responsible

211

for CO2 production (Bouillon et al. 2008; Morell et al. 2011). Organic carbon source in mangrove soil was

212

delivered by mangrove ecosystem production and exported from anthropogenic sources. Soil decomposition and

213

respiration are responsible for organic breakdown to produce CO2. Soil pH also influenced carbon content inner

214

soil. Nursin et al. (2014) found that organic content in mangrove soil would be decreased following the reducing

215

of pH from 2.55% on pH 6.1 to be 0.75% on pH 7.2.

216

217

There were no significant correlation observed between CH4-NO2 fluxes to water-soil parameters.

218

According to Poffenbarger et al. (2011), salinity and CH4 emission would have significant negative correlation on

219

wetland ecosystem. However, this correlation was found in weak and positive. It might be caused by undetected

220

combination of some parameters yet since methane production are influenced by many environmental factors.

221

Couwenberg (2009) described that methane would be easily produced on anoxic and rich organic soil. Whalen

222

(2005) explained that organic content, temperature and oxygen concentration would control methane gas

223

production. Moreover, Lu et al. (1999) added that substrate moisture also would be one of important factor during

224

methane gas releasing through atmosphere. Lack of soil and water parameters in this study

225

226

In N2O flux, soil pH has the highest correlation among other parameters. Soil pH influences N2O

227

production since it effects on denitrification process. Fernandes and Bharathi (2010) showed the negative

228

correlation between denitrification and soil pH. Non-significant difference of N2O fluxes that was found spatially

229

indicated similar denitrification level among sites. Although there was no significant correlation, total nitrogen

230

has a similar trend with N2O flux from LWD to SWD. Salinity has also given impact to N2O flux and

231

denitrification (Marton et al. 2012). On the other hand, lower organic and nitrogen content in seaward might cause

232

low denitrification rate followed by low N2O fluxes

233

234

Low GHGs emission, rich soil carbon and nitrogen on this study could be considerations for local

235

government to conserve this area and control anthropogenic uses. In addition, Dharmawan et al. (2014)also found

236

that this area had the highest carbon storage among other sites in east coast of Bintan Regency. High carbon

237

storage is also typical in Indonesian mangrove (Murdiyarso et al. 2015). By protecting this area will maintain

238

GHGs balance in the atmosphere and contribute on climate change mitigation. In global prospective, mangrove

239

conservation is not only protecting number of species but also managing its functions (Sandilyan and Kathiresan

240

2012). High pressure by human activities in this island makes conservation urgently needed to manage those

241

potentials. This area also can be a role model for climate change mitigation in oceanic mangrove. Since Chen et

242

al. (2014b) expected that GHGs emission have low fluctuation among season. So that, low emission, rich

carbon-243

nitrogen and high carbon storage will be found in whole year.

244

245

246

Conclusion

247

Kelong island’s mangrove released low fluxes of soil-to-atmosphere GHGs. Spatially, CO2, CH4 and

248

N2O fluxes from landward to seaward were ranging from 4351.82 - 484.01 µmol m-2 h-1; 0.52 – 2.54 µmol m-2 h

-249

1 and -0.06 (-0.56) µmol m-2 h-1, respectively. Mangrove soil contained rich carbon and nitrogen. Due to its

250

potentials, this area deserve to conserve not only to protect its diversity but also to maintain GHGs balance in the

251

atmosphere contributing on climate change mitigation.

252


(4)

Acknowledgement

254

This study is funded by Indonesian Endowment Fund (LPDP: Lembaga Pengelola Dana Pendidikan,

255

Indonesia). We are grateful to all of my colleagues in Bogor Agricultural University (IPB) and Research Centre

256

for Oceanography, Jakarta (RCO) for their technical assistances. Highly thank to Mohamad Saleh and Zambrizal

257

for physical assistance during sampling.

258

259

References

260

Abrantes KG, Johnston R, Connolly RM, Sheaves M (2014) Importance of Mangrove Carbon for Aquatic Food

261

Webs in Wet–Dry Tropical Estuaries Estuaries and Coasts 38:383-399 doi:10.1007/s12237-014-9817-2

262

Allen DE, Dalal RC, Rennenberg H, Meyer RL, Reeves S, Schmidt S (2007) Spatial and temporal variation of

263

nitrous oxide and methane flux between subtropical mangrove sediments and the atmosphere Soil

264

Biology and Biochemistry 39:622-631 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.soilbio.2006.09.013

265

Alongi D (2009) The Energetics of Mangrove Forests. Springer Netherlands, Amsterdam.

doi:10.1007/978-1-266

4020-4271-3

267

Alongi DM et al. (2015) Indonesia’s blue carbon: a globally significant and vulnerable sink for seagrass and

268

mangrove carbon Wetlands Ecology and Management:11 doi:10.1007/s11273-015-9446-y

269

Alongi DM et al. (2001) Organic carbon accumulation and metabolic pathways in sediments of mangrove forests

270

in southern Thailand Marine Geology 179:85-103 doi:

http://dx.doi.org/10.1016/S0025-3227(01)00195-271

5

272

Ashton EC, Macintosh DJ (2002) Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the

273

Sematan mangrove forest, Sarawak, Malaysia Forest Ecology and Management 166:111-129

274

doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0378-1127(01)00673-9

275

Bouillon S et al. (2008) Mangrove production and carbon sinks: A revision of global budget estimates Global

276

Biogeochemical Cycles 22:n/a-n/a doi:10.1029/2007GB003052

277

Chanda A et al. (2013) Measuring daytime CO2 fluxes from the inter-tidal mangrove soils of Indian Sundarbans

278

Environmental Earth Sciences 72:417-427 doi:10.1007/s12665-013-2962-2

279

Chauhan R, Datta A, Ramanathan AL, Adhya TK (2015) Factors influencing spatio-temporal variation of methane

280

and nitrous oxide emission from a tropical mangrove of eastern coast of India Atmospheric Environment

281

107:95-106 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.atmosenv.2015.02.006

282

Chen GC, Tam NF, Ye Y (2012) Spatial and seasonal variations of atmospheric N 2 O and CO 2 fluxes from a

283

subtropical mangrove swamp and their relationships with soil characteristics Soil Biology and

284

Biochemistry 48:175-181

285

Chen GC, Tam NFY, Ye Y (2010) Summer fluxes of atmospheric greenhouse gases N2O, CH4 and CO2 from

286

mangrove soil in South China Science of The Total Environment 408:2761-2767

287

doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.scitotenv.2010.03.007

288

Chen GC, Tam NFY, Ye Y (2014a) Does zinc in livestock wastewater reduce nitrous oxide (N2O) emissions from

289

mangrove soils? Water Research 65:402-413 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.watres.2014.08.003

290

Chen GC et al. (2014b) Rich soil carbon and nitrogen but low atmospheric greenhouse gas fluxes from North

291

Sulawesi mangrove swamps in Indonesia Science of The Total Environment 487:91-96

292

doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.scitotenv.2014.03.140

293

Clarke K, Warwick R (2001) An approach to statistical analysis and interpretation Change in Marine Communities

294

2

295

Couwenberg J (2009) Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission

296

factors Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission factors

297

Dharmawan IWE, Ulumudin YI, Afdal (2014) Estimation of mangrove carbon stock in Easten Coast of Bintan

298

Regency, Riau Islands Oseanologi dan Limnologi Indonesia 40:15

299

Dittmar T, Hertkorn N, Kattner G, Lara RJ (2006) Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the

300

oceans Global biogeochemical cycles 20

301

Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M (2011) Mangroves among the

302

most carbon-rich forests in the tropics Nature Geosci 4:293-297

303

doi:http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n5/abs/ngeo1123.html#supplementary-information

304

Duarte CM, Middelburg JJ, Caraco N (2005) Major role of marine vegetation on the oceanic carbon cycle

305

Biogeosciences 2:1-8

306

Fernandes SO, Bharathi PAL (2010) Denitrification: an important pathway for nitrous oxide production in tropical

307

mangrove sediments (Goa, India) J Environ Qual 39:1507-1516

308

Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L (2006) Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands

309

International, Bangkok

310

IPCC (2001) Climate Change 2001: Synthesis Report, Summary for Policymakers: An Assessment of the

311

Intergovernmental Panel on Climate Change. Wembley

312


(5)

IPCC (2015) Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth

313

Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on

314

Climate Change, Geneva

315

Kathiresan K, Bingham BL (2001) Biology of mangroves and mangrove Ecosystems. In: Advances in Marine

316

Biology, vol Volume 40. Academic Press, pp 81-251. doi:

http://dx.doi.org/10.1016/S0065-317

2881(01)40003-4

318

Lovelock CE (2008) Soil Respiration and Belowground Carbon Allocation in Mangrove Forests Ecosystems

319

11:342-354 doi:10.1007/s10021-008-9125-4

320

Lovelock CE, Feller IC, Reef R, Ruess RW (2014) Variable effects of nutrient enrichment on soil respiration in

321

mangrove forests Plant and Soil 379:135-148 doi:10.1007/s11104-014-2036-6

322

Lu C-y, Wong Y-s, Tam NFY, Ye Y, Cui S-H, Lin P (1998) Preliminary studies on methane fluxes in Hainan

323

mangrove communities Chinese Journal of Oceanology and Limnology 16:64-71

324

doi:10.1007/bf02848219

325

Lu CY, Wong YS, Tam NFY, Ye Y, Lin P (1999) Methane flux and production from sediments of a mangrove

326

wetland on Hainan Island, China Mangroves and Salt Marshes 3:41-49 doi:10.1023/a:1009989026801

327

Lumbanraja J et al. (1998) Methane emission from Indonesian rice fields with special references to the effects of

328

yearly and seasonal variations, rice variety, soil type and water management Hydrological Processes

329

12:2057-2072 doi:10.1002/(SICI)1099-1085(19981030)12:13/14<2057::AID-HYP719>3.0.CO;2-L

330

Marton JM, Herbert ER, Craft CB (2012) Effects of Salinity on Denitrification and Greenhouse Gas Production

331

from Laboratory-incubated Tidal Forest Soils Wetlands 32:347-357 doi:10.1007/s13157-012-0270-3

332

Morell FJ, Cantero-Martínez C, Lampurlanés J, Plaza-Bonilla D, Álvaro-Fuentes J (2011) Soil Carbon Dioxide

333

Flux and Organic Carbon Content: Effects of Tillage and Nitrogen Fertilization Soil Science Society of

334

America Journal 75 doi:10.2136/sssaj2011.0030

335

Murdiyarso D et al. (2015) The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation

336

Nature Climate Change 5:1089-1092

337

Myhre G et al. (2013) Anthropogenic and natural radiative forcing Climate change 423

338

Nursin A, Wardah W, Yusran (2014) Sifat kimia tanah pada berbagai zonasi hutan mangrove di Desa Tumpapa

339

Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong Warta Rimba 2:7

340

Poffenbarger HJ, Needelman BA, Megonigal JP (2011) Salinity Influence on Methane Emissions from Tidal

341

Marshes Wetlands 31:831-842 doi:10.1007/s13157-011-0197-0

342

Purvaja R, Ramesh R (2000) Human impacts on methane emission from mangrove ecosystems in India Regional

343

Environmental Change 1:86-97 doi:10.1007/pl00011537

344

Reddy N, Crohn DM (2014) Effects of soil salinity and carbon availability from organic amendments on nitrous

345

oxide emissions Geoderma 235–236:363-371 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.geoderma.2014.07.022

346

Saenger P, Gartside D, Funge-Smith S (2012) A review of mangrove and seagrass ecosystems and their linkage

347

to fisheries and fisheries management. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok

348

Sandilyan S, Kathiresan K (2012) Mangrove conservation: a global perspective Biodivers Conserv 21:3523 - 3542

349

doi:10.1007/s10531-012-0388-x

350

Sukardjo S, Alongi D (2012) Mangroves of the South China Sea: Ecology and Human Impacts on Indonesia s

351

Forests. Nova Science Publishers Inc, New York

352

Wang H, Liao G, D’Souza M, Yu X, Yang J, Yang X, Zheng T (2016) Temporal and spatial variations of

353

greenhouse gas fluxes from a tidal mangrove wetland in Southeast China Environmental Science and

354

Pollution Research 23:1873-1885

355

Whalen S (2005) Biogeochemistry of methane exchange between natural wetlands and the atmosphere

356

Environmental Engineering Science 22:73-94

357

Zhang Y et al. (2015) Water organic pollution and eutrophication influence soil microbial processes, increasing

358

soil respiration of estuarine wetlands: site study in Jiuduansha wetland PloS one 10

359


(6)

41

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Gianyar, 7 April 1986 yang merupakan anak tunggal dari

Bapak I Wayan Dana dan Ibu Ni Made Nadi. Penulis menyelesaikan pendidikan S1

di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana, Jimbaran-Bali. Dalam pekerjaan,

penulis merupakan Peneliti Pertama (III/b) di UPT. Loka Konservasi Biota Laut,

Biak-Papua, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

pada bidang Ekologi Laut, khusus pada wilayah pesisir sejak Desember 2009. Oleh

karena itu, selain fokus dalam menyelesaikan studi, penulis juga disibukkan dengan

rutinitas menulis buku, makalah jurnal serta pelatihan-pelatihan tentang bidang

yang ditekuni dalam karir sebagai peneliti. Bagian dari thesis ini, sudah diterbitkan

di jurnal ilmiah OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia) tahun 2016 dengan

judul: Laju Dekomposisi Serasah Daun di Ekosistem Bakau Pulau Kelong,

Kabupaten Bintan. Selain itu, makalah yang berkaitan dengan thesis ini sudah

dimasukkan ke jurnal internasional Journal of Coastal Conservation (Springer),

dengan judul: Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil in

Kelong Island, Indonesia: a stepping-stone on recent mangrove conservation

perspectives, yang saat ini masih dalam proses revisi.