Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus Albacares Dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda Dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam Serta Tingkah Laku Larva

PEMELIHARAAN LARVA TUNA SIRIP KUNING Thunnus
albacares DENGAN POSISI TITIK AERASI BERBEDA DAN
STUDI AWAL PERKEMBANGAN MORFOLOGI, ORGAN DALAM
SERTA TINGKAH LAKU LARVA

YULIANA ASRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemeliharaan Larva Tuna Sirip
Kuning Thunnus albacares dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda dan Studi Awal
Perkembangan Morfologi, Organ Dalam serta Tingkah Laku Larva adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Yuliana Asri
NIM C151140061

RINGKASAN
YULIANA ASRI. Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares
dengan Posisi Titik Aerasi Berbeda dan Studi Awal Perkembangan Morfologi,
Organ Dalam serta Tingkah Laku Larva. Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA
dan TRI HERU PRIHADI.
Ikan tuna sirip kuning merupakan salah satu komoditas perikanan yang
memiliki permintaan dan nilai ekonomis yang tinggi. Indonesia menjadi negara
penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16% total
produksi tuna. Pembenihan tuna sirip kuning telah berhasil dilakukan tetapi
teknologi budidaya untuk pemeliharaan larva membutuhkan perbaikan dan
kemajuan guna peningkatan kelangsungan hidup larva. Masalah utama adalah
tingginya mortalitas larva dengan kelangsungan hidup kurang dari 0,05% pada 10
hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil.

Pola kematian larva hingga hari ke 10 setelah menetas (D10) yaitu surfacing
death (larva terjebak oleh tegangan permukaan) dan sinking death (larva dan
dinding dasar bak berbenturan). Hal ini diduga akibat faktor pergerakan atau
perputaran air. Pola kematian sinking death pada larva dapat diminimalkan
dengan mengurangi dan mencegah kecepatan tenggelam larva. Pengurangan dan
pencegahan kecepatan tenggelam larva dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan mengatur posisi titik aerasi, peningkatan sirkulasi dan medan
arus yang terbentuk dalam bak pemeliharaan. Distribusi aerasi, bentuk sirkulasi
dan arus yang ideal pada bak dapat mencegah dan mengurangi terjadinya sinking
death.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas pemeliharaan larva
tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi yang berbeda terhadap derajat
kelangsungan hidup larva, apakah penentuan titik aerasi yang berbeda berdampak
pada perkembangan embriologi, kemampuan penyerapan kuning telur dan jumlah
pakan yang dimakan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
perkembangan morfologi, organ dalam dan tingkah laku larva ikan tuna sirip
kuning. Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya
dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Oktober 2015, bertempat
di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol,

Bali. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan tiga perlakuan posisi titik aerasi yang berbeda dan tiga ulangan. Perlakuan
pertama sebagai kontrol yaitu titik aerasi diletakkan pada keempat sisi bak dan
dengan posisi menggantung yaitu 30 cm dari dasar bak pemeliharaan (A).
Perlakuan kedua yaitu empat titik aerasi diletakkan pada dasar bak dengan posisi
berada di tengah bak (B). Perlakuan ketiga merupakan kombinasi perlakuan
pertama dan kedua, yaitu dua titik aerasi diletakkan di dasar bak dan dua titik
aerasi lainnya menggantung (C).
Larva tuna sirip kuning yang digunakan adalah yang baru menetas atau D0,
larva dipelihara dalam bak fiber berukuran 1 m3, kedalaman 1 m, kapasitas
volume air 700 liter.bak-1, dengan padat tebar 10.000 ekor larva.bak-1,
pemeliharaan dilakukan selama 13 hari setelah menetas. Pakan yang diberikan
berupa pakan alami Nannochloropsis sp., rotifer dan artemia. Pergantian air

dilakukan saat larva berumur 8 hari yaitu sebanyak 5% dan saat larva berumur 12
hari 10%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan B dan C, yaitu posisi titik
aerasi di dasar dan kombinasi memberikan nilai terbaik terhadap kelangsungan
hidup larva tuna sirip kuning (0,31±0,04% dan 0,30±0,06%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap laju penyerapan

kuning telur, bukaan mulut, laju pertumbuhan panjang harian, koefisien
keragaman dan jumlah rata–rata isi pakan dalam lambung. Perlakuan A, B dan C
memberikan nilai laju penyerapan kuning telur sebesar 0,70%, 0,51% dan 0,57 %
hari-1, laju pertumbuhan panjang sebesar 6,00%, 5,69% dan 5,62% dengan
koefisien keragaman 4,66%, 4,34% dan 4,79%. Pada umur tiga hari setelah
menetas, mulut mulai terbuka dengan ukuran bukaan mulut 0,19–0,23 mm pada
bukaan 90o dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut larva pada
hari ke 13 setelah menetas adalah 0,59–0,71 mm pada bukaan 90o dan 0,32–0,39
mm pada bukaan 45o. Jumlah rata–rata isi lambung larva menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan jumlah rata–rata isi lambung larva pada saat pertama kali
diberi pakan dan pada akhir pemeliharan. Jumlah rotifer yang dikonsumsi larva
tuna sirip kuning umur 5 dan 10 hari yaitu 10,80 dan 28,70 ind.larva-1. Kualitas air
selama penelitian masih tergolong dalam kisaran optimum kualitas air
pemeliharaan larva ikan tuna, yaitu suhu 29–30,7 oC, pH 8,13–8,3, NH3 0,0028–
0,01 mg.L-1, DO 6,86–7,02, kecepatan arus 3,5 cm.s-1 dan kecepatan aerasi 500
mL.min-1. Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa larva tuna sirip kuning
menyerap habis kuning telur, mulai mengambil makanan dari luar tubuh dan
retina mata sudah terlihat jelas pada umur tiga hari. Umur tiga hari bakal calon
gelembung renang pada larva sudah mulai terlihat dan tampak jelas setelah larva
berumur lima hari setelah menetas.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan perlakuan terbaik pada
penelitian adalah pemeliharaan larva tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi di
dasar (B) dan kombinasi (C). Pengamatan laju penyerapan kuning telur, laju
pertumbuhan panjang harian, koefisien keragaman panjang, bukaan mulut larva
dan sisa pakan dalam bak menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan.
Terdapat perbedaan yang nyata terhadap isi pakan dalam lambung pada saat
pertama kali diberikan pakan (hari ke tiga) dan pada akhir pemeliharaan (hari ke
13).
Kata kunci: kelangsungan hidup, larva, morfologi, Thunnus albacares, titik aerasi,
tingkah laku

SUMMARY
YULIANA ASRI. Yellowfin Tuna Larvae Thunnus albacares Rearing by
Different Center Position of Aeration and A Preliminary Study of Morphology,
Internal Organ and Behavior Development of Larvae. Supervised by KUKUH
NIRMALA and TRI HERU PRIHADI.
The yellowfin tuna Thunnus albacares is a fisheries commodity that has
high demand and economic value. Indonesia is the second largest producer by
more than 16% supply thunnus production worldwide. The spawning of yellowfin
tuna has been a success but still needed farming technology and hatchery

techinques for tuna larvae to increase its survival rate. The most important
problem is the high level of larval mortality with survival rate < 0,05% from 10
days after hatching to weaned juvenile.
Two patterns of mortality for larvae up to 10 days after hatching are
surfacing death (occurs when larvae are brought to the surface layers by aerations
and are subsequently trapped by surface tension) and sinking death (occurs when
tuna larvae sink and touch the tank bottom during the night). Its expected as the
result of trubulence or water flow factor. Sinking velocity decreased and
prevention can be done by several ways: setting up the aeration center, increasing
the water circulation and the flowing pattern in the rearing tank. Ideal aeration
distribution, circulation and flowing pattern in the rearing tank can prevent and
reduce sinking death.
This study was aimed to find out the effectiveness of rearing of yellowfin
tuna larvae by different centre of aeration, have the impact to embryology
development, yolk absorption rate and amount of feed in the stomach. The result
of this study was expected to be applied and used as the reference for further
research. In addition, this study is aimed to find out morphology, internal organ
and behavior development of yellowfin tuna larvae (Thunnus albacares) through
visual observation and mikroskopik (histology).
This experiment was conducted in Juli–Oktober 2015, at Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol, Bali. The
design used in this study was Completely Randomized Design (CRD) with three
treatments and three replications which was A (four center of aeration hang up 30
cm in the rearing tank as a control), B (four center of aeration in the bottom of the
rearing tank B) and C (combination of two centers of aeration hang up and two
centers at the bottom).
Larva yellowfin tuna with 0 day after hatching cultured in each of nine 1 m 3
cylindrical fibre tank, height 1 m and water volume capacity 700 L with 10.000
ind.tank-1 stocking density, this larva was rearing for 13 days after hatching.
During the research, larva fed by natural fed Nannochlropsis sp., rotifer and
artemia. Water circulation was done at eight days after hatching with the
percentage 5% and 12 days after hatching with the percentage 10%.
The result showed that treatment B and C were better treatments for survival
rate performance (0,31% and 0,30%). The result indicated that treatments are not
significant for yolk absorption rate, mouth opening, growth rate of length,
coefficient of diversity and fed residue in the rearing tank. Treatments A, B and C
extended value of yolk absorption rate 0,70%, 0,51% and 0,57% day-1, growth

rate of length 6%, 5,69% and 5,62% with coefficient of diversity 4,66%, 4,34%
and 4,79%. In the three days after hatching, the period of mouth opening was

occurred with mouth opening of 90o as large as 0,19–0,23 mm and of 45o as large
as 0,10–0,12 mm. In 13 days after hatching the mouth opening of 90 o as large as
0,59–0,71 mm and of 45o as large as 0,32–0,39 mm. The average of amount of
feed in the stomach of larvae showed that there were differences in the amount of
feed in the stomach during the first feeding stage and end or rearing (days 13).
Amount of rotifer were consumed at five days after hatching and 10 days after
hatching 10,80 and 28,70 ind.larva-1. The water quality during the research was
classified as a category of water quality that deserves to the culture of yellowfin
tuna larvae, which was the temperature 29–30,7 oC, pH 8,13–8,3, NH3 0,0028–
0,01 mg.L-1, DO 6,86–7,02, flow velocity 3,5 cm.s-1 dan aeration velocity 500
mL.min-1. Analysis microscopic showed the constituent layers of the retina of the
eye were seen, captivating the yolk and the first feeding of yellowfin larvae were
occurred in three days after hatching.
Based on the result, the conclusion is the best treatment of the research is
the position of aeration in the bottom (B) and combination (C). Observation of
yolk absorption rate, daily long growth rate, coefficient of diversity, mouth
opening and food remains in the tank showed not significantly different. There are
differences in the amount of feed in the stomach during the first feeding stage and
the end of rearing (days 13).
Keywords: survival rate, larvae, morphology, Thunnus albacares, center of

aeration, behavior

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMELIHARAAN LARVA TUNA SIRIP KUNING Thunnus
albacares DENGAN POSISI TITIK AERASI BERBEDA DAN
STUDI AWAL PERKEMBANGAN MORFOLOGI, ORGAN DALAM
SERTA TINGKAH LAKU LARVA

YULIANA ASRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA

Judul

Tesis : PemeliharaanLawa Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares dengan
Posisi Titik Aerasi Berbeda dan studi Awal Perkembangan

Nama

Morfologi, Organ Dalam serta Tingkah Laku Lawa

: Yuliana Asri

NIM

: C151140061
Disetujui oleh

w

Komisi Pembimbing

Dr Ir Kukuh Nirmala. MSc
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Akuakultur

ffi
a?\Biii#Nli

Dr Ir Widanarii, MSi

Tanggal Ujian:

22

Apil20l6

ranggal Lulus:

g

$ llAY 2016

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia dan berkah-Nya sehingga serangkaian karya ilmiah yang berjudul
Pemeliharaan Larva Tuna Sirip Kuning Thunnus albacares dengan Posisi Titik
Aerasi Berbeda dan Studi Awal Perkembangan Morfologi, Organ Dalam serta
Tingkah Laku Larva ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulis ucapkan dengan hormat kepada Dr Ir Kukuh Nirmala,
MSc serta Dr Ir Tri Heru Prihadi, MSc selaku pembimbing selayaknya orang tua yang
telah banyak memberikan arahan dan masukan baik tekhnis maupun non tekhnis
kepada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terimakasih juga
penulis ucapkan untuk Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku dosen penguji luar
komisi pada ujian tesis serta Dr Ir Mia Setiawati, MSi selaku ketua program studi
Ilmu Akuakultur atas segala saran yang diberikan sehingga tesis ini menjadi lebih
baik.
Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda
Tahriruddin dan ibunda Kasmiati beserta kakak Rihul Jannah, SPd; Himayati Asri,
Asri Faradis, Shaufiana Asri, SPd; Islahun Naily, SKom; dan Nikmatun Naiyironi,
STP; atas segala dukungan, kesabaran, pengertian, doa dan kasih sayangnya selama
penulis menjalani studi.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan–rekan yang
selama masa studi dapat menjadi motivasi dan memberikan pengaruh yang positif
bagi penulis; Septiana Dwiyanti, SPi; Prawita Anggeni, SPi; Aminatul Zahra, SPi;
Zahroul Firdaus, SPd; Nian Rimayanti, SP; Asih Makarti Muktitama, SPi; Fahmi
Akbar, SPi MSi; Vandra Kurniawan, SP; serta keluarga besar Program Studi Ilmu
Akuakultur lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Spesial terimakasih penulis
sampaikan kepada Lalu Hizbulloh, SSTPi; atas segala motivasi dan kesabaran yang
diberikan selama penulis menjalani masa studi.
Penelitian ini dapat terlaksana atas bantuan dari Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali. Terimakasih penulis ucapkan dengan
hormat kepada Ir John Harianto Hutapea, MSc dan semua tim tuna Bapak Ananto,
Bapak Ody, Bapak Arif, Bapak Gunawan, Bapak Jafar, Bapak Putu, Bapak Komang
dan Ibu Made atas masukan, bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan
penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

Yuliana Asri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Hipotesis

1
1
2
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat
Rancangan Percobaan
Pelaksanaan Penelitian
Parameter Uji
Analisis Data

3
3
3
3
4
7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kelangsungan Hidup
Laju Penyerapan Kuning Telur
Perkembangan Bukaan Mulut Larva
Laju Pertumbuhan Panjang Harian
Koefisien Keragaman
Jumlah Pakan dalam Lambung Larva
Sisa Pakan dalam Bak Pemeliharaan
Kualitas Air
Morfologi
Histologi
Pembahasan

7
7
7
7
8
9
9
10
10
11
11
13
18

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

24
24
25

DAFTAR PUSTAKA

25

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

42

DAFTAR TABEL
1 Parameter kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus
albacares pada posisi titik aerasi berbeda; A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
2 Kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning perlakuan posisi titik
aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A
dan B)
3 Tingkah laku larva tuna sirip kuning terhadap posisi titik aerasi, respon
terhadap pakan dan respon terhadap cahaya pada pemeliharaan dengan
perlakuan posisi titik aerasi A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
kombinasi (kombinasi A dan B)

6

11

16

DAFTAR GAMBAR
1 Kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning pada perlakuan posisi
titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B)
2 Laju penyerapan kuning telur larva ikan tuna sirip kuning selama tiga
hari sejak penetasan perlakuan posisi titik aerasi berbeda A
(menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)
3 Grafik perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada
bukaan 90o selama 13 hari sejak penetasan, pada perlakuan posisi titik
aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A
dan B)
4 Grafik perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada
bukaan 45o selama 13 hari sejak penetasan pada perlakuan posisi titik
aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A
dan B)
5 Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning yang
dipelihara selama 13 hari sejak masa penetasan pada perlakuan posisi
titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B)
6 Koefisien keragaman panjang larva ikan tuna sirip kuning pada hari ke
13 sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A
(menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)
7 Jumlah rata-rata isi lambung larva tuna sirip kuning pada perlakuan
posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B) sejak pertama pemberian pakan sampai hari ke 10
8 Jumlah rata-rata sisa pakan dalam bak larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B) sejak pertama pemberian pakan
sampai hari ke 13
9 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D1 perlakuan A, B dan C
10 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D3 perlakuan A, B dan C
11 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D5 perlakuan A, B dan C
12 Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D7 perlakuan A, B dan C

7

8

8

9

9

10

10

11
12
12
12
13

13
14
15
16
17
18
19

Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D10 perlakuan A, B dan C
Morfologi larva ikan tuna sirip kuning D13 perlakuan A, B dan C
Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D1
Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D3
Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D5
Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning D7, D10 dan D13
Sirkulasi arus vertikal dan horizontal yang terbentuk pada bak
pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus albacares dengan (1)
posisi titik aerasi menggantung (perlakuan A), (2) di dasar (perlakuan
B) dan (3) kombinasi (perlakuan C). Tanda panah menunujukkan arah
kecepatan arus dalam bak. Lingkaran hitam menunujukkan lokasi titik
aerasi.

13
13
14
14
15
15

18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur pengukuran panjang dan pengamatan morfologi larva
2 Prosedur pembuatan preparat histologi
3 Analisis statistik kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
4 Analisis statistik laju penyerapan kuning telur larva tuna sirip kuning
pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
5 Analisis statistik bukaan mulut 90o larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
6 Analisis statistik bukaan mulut 45o larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
7 Analisis statistik laju pertumbuhan panjang larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
8 Analisis statistik koefisien keragaman panjang larva tuna sirip kuning
pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
9 Analisis statistik jumlah pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning
pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
10 Analisis statistik sisa pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B
(dasar) dan C (kombinasi A dan B)
11 Hasil uji parameter kualitas air penelitian pemeliharaan larva tuna sirip
kuning pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A
(menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B)

29
29

30

31

31

33

35

36

37

38

39

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuna merupakan salah satu komoditas perikanan yang menyumbang devisa
bagi Indonesia, dikarenakan tuna sebagai komoditas ekspor utama setelah udang
dan rumput laut. Ekspor tuna sirip kuning dari pelabuhan Benoa (Indonesia) ke
Jepang, Hongkong dan Amerika dalam bentuk segar dan beku sebesar 6.821 ton
pada tahun 2008. Tercatat dalam lima tahun terakhir, Indonesia menjadi negara
penghasil tuna terbesar kedua di dunia dengan memasok lebih dari 16% total
produksi tuna dunia (FAO 2014). Tingginya nilai produksi tidak terlepas dari
aktifitas penangkapan, dimana produksi perikanan tangkap sekitar 4,73 juta ton
dengan nilai produksi mencapai Rp 39 triliun (West Pacipic East Asia Oceanic
Fisheries Management 2012). Apabila eksploitasi dilakukan secara terus menerus
dikhawatirkan bisa membahayakan kelestariannya (Andamari et al. 2012).
Tahun 2003 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut
(BBPPBL) Gondol mulai merintis usaha budidaya tuna sirip kuning dan
melakukan penelitian terkait upaya pembenihan tuna serta pemeliharaan larva
tuna (Hutapea et al. 2010). Pembenihan tuna sirip kuning telah berhasil dilakukan
tetapi teknologi budidaya untuk pemeliharaan larva membutuhkan perbaikan dan
kemajuan guna peningkatan kelangsungan hidup larva (Buentello et al. 2011).
Patridge et al. (2011) menyatakan bahwa masalah utama dalam pembenihan
adalah kelangsungan hidup larva yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,5% pada
saat 10 hari setelah penetasan hingga mencapai juvenil. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Hutapea (2015) kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning
yang dibudidaya di BBPPBL Gondol hanya mencapai 0,05% pada saat 10 hari
setelah penetasan hingga mencapai juvenil. Kematian pada 10 hari pertama sejak
menetas hingga juvenil merupakan faktor pembatas untuk budidaya masal, fase
larva pada beberapa ikan laut termasuk ikan tuna merupakan fase yang sangat
kritis (Sawada et al. 2005).
Kematian pada saat pertama mendapatkan makanan dari luar merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat kematian pada larva,
termasuk peralihan dari endogenous feeding ke exogeneous feeding, ukuran dan
nutrisi pakan serta lingkungan yang tidak sesuai. Lingkungan yang dimaksud
adalah suhu, oksigen terlarut, salinitas dan termasuk faktor pergerakan atau
perputaran air (Partridge et al. 2011). Pola kematian larva sampai 10 hari setelah
menetas (D10) yaitu surfacing death (larva terjebak oleh tegangan permukaan)
dan sinking death (larva dan dinding dasar bak berbenturan pada malam hari) juga
merupakan faktor penyebab tingginya tingkat kematian. Faktor yang
mempengaruhinya yaitu berat jenis tubuh larva yang semakin meningkat seiring
pertumbuhan larva, kecepatan sinking larva meningkat sesuai dengan berat jenis
larva (Sakamoto et al. 2005). Cara pengisian gelembung renang memilki peranan
penting dalam mengontrol berat jenis tubuh larva tuna sirip biru dalam air
sehingga larva mampu mengapung. Meskipun pengisian gelembung renang dapat
mengurangi kecepatan sinking larva, namun secara rutin larva akan tenggelam
atau menenggelamkan diri ke dasar bak pada malam hari (Nakagawa et al. 2011).

2
Terbentuknya arus atau perputaran dari aerasi sangat penting untuk
menghasilkan oksigen dan mengedarkan pakan alami maupun buatan. Sebaliknya
medan arus air dalam bak pemeliharaan dapat menjadi faktor utama penyebab
stres larva ikan secara fisik. Pada beberapa penelitian terdahulu, adanya
peningkatan sirkulasi dan medan arus yang terbentuk dari aerasi mengurangi
sinking larva dalam bak pemeliharaan. Nakagawa et al. (2011) menyatakan bahwa
peningkatan sirkulasi pada larva tuna sirip biru yang dipelihara selama sembilan
hari setelah menetas dengan posisi titik aerasi pada tengah dasar bak dapat
menahan larva dalam kolom air sehingga tidak tenggelam ke dasar bak dan
mengurangi kematian dengan nilai kelangsungan hidup sebesar 43,2±4,5
48,6±4,2%. Menurut Sakakura et al. (2006), aerasi dapat mengurangi mortalitas
dan terjadinya larva sinking serta meningkatkan kelangsungan hidup larva
Epinepelus septemfasciatus umur 10 hari setelah menetas. Larva dipelihara
dengan aerasi yang diletakkan pada tengah dasar bak dan hasilnya memberikan
nilai yang lebih baik yaitu 61,5±5,1% dibandingkan dengan pemeliharaan larva
dengan beberapa aerasi yang diletakkan di berbagai titik secara sembarang yaitu
sebesar 21,2±13,7%. Hal ini berkaitan dengan distribusi oksigen dan bentuk
sirkulasi pada bak.

Perumusan Masalah
Teknologi pengembangan pembenihan dan budidaya tuna sirip kuning saat
ini masih belum optimal dan membutuhkan perbaikan. Hal tersebut disebabkan
oleh masih rendahnya nilai produksi karena terdapat kendala dalam usaha
budidaya yaitu rendahnya kelangsungan hidup larva pada umur 10 hari setelah
menetas hingga mencapai juvenile.
Rendahnya nilai kelangsungan hidup (berkisar 0,05%–0,5% pada 10 hari
setelah menetas) antara lain disebabkan belum optimalnya media pemeliharaan
dalam kegiatan budidaya. Larva tuna yang dipelihara pada media pemeliharaan
dengan posisi titik aerasi menggantung dan sembarang akan menyebabkan
kurangnya sirkulasi karena tidak ada aerasi dasar bak pemeliharaan, adanya
akumulasi plankton (pakan yang tidak termakan) mati di dasar dan tingkah laku
larva yang cenderung diam di permukaan atau di kolom air sedangkan pakan yang
diberikan berupa rotifer yang relatif terus bergerak dan ada di kolom air. Pada
kondisi demikian, akan meningkatkan kecepatan sinking larva selain itu juga akan
mempengaruhi kualitas air serta pakan tidak termanfaatkan dengan baik sehingga
menyebabkan larva kemungkinan mati akibat malnutrisi atau kontak langsung
dengan dasar bak.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
pengaturan penempatan titik aerasi untuk mencegah kecepatan sinking larva dan
menahan larva untuk terus berada di kolom air dan tidak tenggelam ke dasar bak.
Keseimbangan antara larva yang ke bawah dan arus yang ke atas pada saat larva
tenggelam dapat menahan larva berada di kolom air sehingga mengurangi
kematian. Sinking berkurang dikarenakan adanya pergerakan air dan pergolakan
arus vertikal dari bawah yang mencegah larva tenggelam ke area dasar bak.

3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektifitas pemeliharaan larva
tuna sirip kuning dengan posisi titik aerasi yang berbeda terhadap derajat
kelangsungan hidup larva, apakah penentuan titik aerasi berbeda berdampak pada
perkembangan embriologi, kemampuan penyerapan kuning telur dan jumlah
pakan yang dimakan. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
perkembangan morfologi, organ dalam dan tingkah laku larva ikan tuna sirip
kuning. Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan budidaya
dan dijadikan acuan untuk penelitian selnjutnya
Hipotesis
Penempatan titik aerasi di dasar dan kombinasi antara dasar dan
menggantung pada bak pemeliharaan larva tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
dapat menurunkan sinking death dan kematian sehingga diharapkan nilai
kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning menjadi lebih baik.

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli–Oktober 2015. Pemeliharaan larva
dilakukan di hatchery tuna Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Laut Gondol, Bali, sedangkan analisis kualitas air di Laboraturium Kimia Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol, Bali.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan posisi titik aerasi yang berbeda masing–masing diulang sebanyak tiga
kali. Perlakuan pertama sebagai kontrol yaitu titik aerasi diletakkan pada keempat
sisi bak dan dengan posisi menggantung yaitu 30 cm dari dasar bak pemeliharaan
(A). Perlakuan kedua yaitu empat titik aerasi diletakkan pada dasar bak dengan
posisi berada di tengah bak (B). Perlakuan ketiga merupakan kombinasi perlakuan
pertama dan kedua, yaitu dua titik aerasi diletakkan di dasar bak dan dua titik
aerasi lainnya menggantung (C).
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan
Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva tuna adalah bak berukuran
1 m3 dan kedalaman 1 m dengan volume 700 L.bak-1, jumlah bak yang digunakan
untuk penelitian ini adalah 9 unit. Tahapan persiapan penelitian meliputi
pembersihan bak, pengeringan bak, penempatan titik aerasi dan pengisian air.
Penempatan wadah penelitian disesuaikan dengan hasil pengacakan, setiap
bak perlakuan diberi kode A, B dan C. Wadah penelitian diletakkan di ruangan

4
tertutup yang dilengkapi dengan lampu untuk menjaga suhu agar tetap hangat di
dalam ruangan. Pengisian air dilakukan melalui saluran pipa inlet yang terdapat
pada tandon air yang bersumber dari air laut yang terdapat di Gondol.
Pemeliharaan Ikan Uji
Larva tuna sirip kuning yang digunakan adalah larva dari telur yang baru
menetas atau D0, telur diperoleh dari indukan tuna hasil pemijahan secara alami
yang terdapat pada keramba jaring apung (KJA) tuna di BBPPBL. Padat tebar
pada setiap bak yaitu 10.000 ekor larva.bak-1 (Partridge et al. 2011). Pakan yang
diberikan berupa pakan alami Nannochloropsis sp., rotifer dan artemia. Pemberian
pakan dilakukan sejak larva berumur dua hari setelah menetas dan diberikan pada
pukul 08.00 dan 14.00 WITA, dengan jumlah pakan yang diberikan disesuaikan
dengan ketersediaaan pakan di dalam bak pemeliharaan. Menurut Patridge et al.
(2011), jumlah Nannochlropsis sp. yang diberikan 2–3 x 105 sel.mL-1, rotifer 5–10
individu.mL-1 dan artemia 0,25–0,50 individu.mL-1 mulai diberikan saat larva
berumur 10 hari setelah penetasan.
Ketersediaan pakan dalam bak dapat diketahui dengan cara mengambil
sampel di dalam bak sebanyak 30 mL pada tiga titik pengambilan. Setelah itu
jumlah rotifer di hitung di bawah proyektor untuk mengetahui sisa pakan yang
tersedia di dalam bak pemeliharaan. Perhitungan dilakukan sebelum pemberian
pakan, pakan yang diberikan dihitung berdasarkan rumus:

Keterangan :
Rn = Kebutuhan pakan yang akan diberikan (mL)
Rt = Kepadatan pakan yang akan ditentukan (ind.mL-1)
Rr = Kepadatan sisa pakan dalam wadah (ind.mL-1)
Rs = Kepadatan pakan yang tersedia (ind.mL-1)
V = Volume wadah pemeliharaan
Pergantian air dilakukan saat larva berumur delapan hari sebanyak 5% dan
saat larva berumur 12 hari sebanyak 10%. Lama pemeliharaan larva dilakukan
sampai umur 13 hari setelah penetasan.
Parameter Uji
Kelangsungan Hidup
Tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan cara menghitung total
larva yang hidup di akhir perlakuan, dan digunakan rumus Goddard (1996) :
Keterangan :
SR
= Derajat kelangsungan hidup (%)
Nt
= Jumlah larva hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)
No
= Jumlah larva pada awal pemeliharaan (ekor)

5
Laju Penyerapan Kuning Telur
Laju penyerapan kuning telur pada larva ikan tuna sirip kuning diamati pada
saat penetasan (D0) sampai tiga hari setelah menetas (D3) dan dihitung dengan
rumus Kohno et al. (1986):

1 Vt
 g  Ln
t Vo
Keterangan :
-g = Menunjukkan laju penurunan kuning telur (%.hari-1)
t
= Waktu yang dibutuhkan (hari)
Vt = Volume kuning telur pada hari ke–t (mm3)
Vo = Volume kuning telur pada awal (mm3)
Bukaan Mulut
Pengukuran bukaan mulut larva ikan menggunakan formula seperti dalam
Shirota (1970) yaitu:
MH (90o) = UJ x √2 dan MH (45o) = UJ x 2 sin (45/2)
Keterangan :
UJ = Upper Jaw (rahang atas)
MH = Mouth Height (tinggi mulut)
Laju Pertumbuhan Panjang Harian
Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning dihitung
dengan rumus Huisman (1987) :
α

t

Lt
 1 x100%
Lo

Keterangan :
α = Laju pertumbuhan harian (%)
Lt = Panjang rata–rata ikan pada saat akhir (mm)
Lo = Panjang rata–rata ikan pada saat awal (mm)
t = Lama pemeliharaan (hari)
Koefisien Keragaman Panjang
Variasi ukuran dalam penelitian ini berupa variasi panjang ikan yang
dinyatakan dalam koefisien keragaman yang dihitung menggunakan rumus Steel
dan Torrie (1982) :
KK = S/Y x 100
Keterangan :
KK = Koefisien keragaman (%)
S = Simpangan baku
Y = Rata–rata contoh
Jumlah Pakan dalam Lambung
Konsumsi pakan alami oleh larva ikan diamati dengan cara menghitung
jumlah pakan di dalam saluran pencernaan larva. Larva diletakkan di atas gelas
objek, kemudian gelas penutup objek diletakkan di atas larva diamati dan jumlah
pakan dihitung dibawah mikroskop. Jumlah sampel yang diamati setiap perlakuan

6
adalah 5 ekor larva.perlakuan-1. Pengamatan isi saluran pencernaan dilakukan satu
jam setelah dilakukan pemberian pakan alami dan pada hari yang sama pada saat
pengamatan perkembangan larva yaitu pada D3, D5, D7 dan D10.
Jumlah Sisa Pakan dalam Bak Pemeliharaan
Jumlah sisa pakan dalam bak pemeliharaan dihitung sehingga diperoleh
hasil perhitungan jumlah rata–rata sisa pakan alami pada bak pemeliharaan larva
ikan tuna sirip kuning. Penghitungan jumlah sisa pakan dalam bak dilakukan
sebelum pemberian pakan, bertujuan untuk mengetahui sisa pakan yang tersedia
dan sebagai acuan dalam jumlah penambahan pakan.
Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur antara lain salinitas, suhu, oksigen
terlarut, pH, amonia, kecepatan arus dan kecepatan (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning Thunnus
albacares pada posisi titik aerasi berbeda; A, B dan C.
Parameter
Suhu
Oksigen terlarut
pH
NH3
Salinitas
Kecepatan arus
Kecepatan aerasi

Satuan
o
C
mg.L-1
mg.L-1
ppt
cm.detik-1
ml.menit-1

Alat ukur/Metode
Termometer batang
DO–meter
pH–meter
Spektrofotometer
Refraktometer
Stopwatch dan sterofoam
Stopwatch dan baker glass

Frekuensi
2 kali sehari
2 kali sehari
1 kali 5 hari
1 kali 5 hari
2 kali sehari
1 kali 3 hari
1 kali 3 hari

Pengamatan Tingkah Laku, Morfologi dan Preparat Histologi
Pengamatan tingkah laku larva dilakukan pada pagi hari, siang hari dan sore
hari di setiap bak perlakuan. Tingkah laku yang diamati adalah tingkah laku larva
terhadap aerasi, tingkah laku larva pada saat pemberian pakan dan tingkah laku
larva terhadap cahaya.
Sampel larva diambil untuk pengamatan morfologi dan histologi pada umur
D1, D3, D5, D7, D10, dan D13 hari masing–masing sebanyak 15 ekor. Sebelum
diamati dalam mikroskop, larva direndam dalam media mengandung obat bius
MS–222. Data dan foto morfologi larva ikan diperoleh menggunakan metode
pengambilan gambar dengan mikroskop dengan perbesaran 2 kali dan 4 kali untuk
pengamatan morfologi serta perbesaran 10 kali, 20 kali dan 40 kali untuk
pengamatan preparat histologi. Sampel untuk histologi diambil dan direndam
dalam larutan fiksatif atau bouins selama 4–6 jam, selanjutnya dipindahkan dalam
alkohol 70%. Semua sampel didehidrasi dalam larutan alkohol secara bertingkat
dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, 100%, dijernihkan dalam xylene dan
diresapkan dalam paraffin. Sampel ditanam dalam paraffin dan dipotong
menggunakan microtome dengan ketebalan 4–5 μm. Pewarnaan dilakukan dengan
haematoxylin dan eosin (HE).

7
Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi dengan Microsoft Excel 2007. Parameter
kelangsungan hidup, laju penyerapan kuning telur, laju pertumbuhan panjang
harian, koefisien keragaman panjang, bukaan mulut, jumlah isi pakan dalam
lambung dan sisa pakan dalam bak dianalisis ragam (ANOVA) pada selang
kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lunak SPSS 17.0. Apabila data
berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Parameter kualitas air
dianalisis secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel. Parameter
morfologi dan organ dalam disajikan dalam bentuk gambar.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kelangsungan hidup

Kelangsungan hidup
(%)

Hasil pengamatan kelangsungan hidup larva tuna sirip kuning pada hari ke
13 setelah penetasan disajikan pada Gambar 1.
0.31±0.04b

0,40
0,30

0.30±0.06b

0.19±0.04a

0,20
0,10
0,00
A (Kontrol)

B (Dasar)
Posisi titik aerasi

C (Kombinasi)

Gambar 1 Kelangsungan hidup larva ikan tuna sirip kuning pada perlakuan posisi
titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B). Huruf supperscript yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan posisi titik aerasi
berbeda memberikan pengaruh nyata (p < 0,05) terhadap kelangsungan hidup
larva ikan tuna sirip kuning. Gambar 1 menunjukkan bahwa kelangsungan hidup
larva ikan tuna sirip kuning yang dipelihara selama 13 hari sejak penetasan
memperoleh nilai persentase kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan B
(dasar) sebesar 0,31%, selanjutnya perlakuan C (kombinasi) sebesar 0,30% dan
terakhir perlakuan A (kontrol) sebesar 0,19%.
Laju Penyerapan Kuning Telur
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan A, B dan C memiliki laju
penyerapan yang tidak berbeda nyata (p > 0,05) yaitu 0,70% hari-1, 0,51% hari-1

8

Laju penyerapan kuning
telur (%/hari)

dan 0,57% hari-1. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penempatan titik
aerasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap laju penyerapan kuning
telur.
1,00

0,7a±0,1

0,80

0.51a±0,1

0.57a±0,05

B (Dasar)
Posisi titik aerasi

C (Kombinasi)

0,60
0,40
0,20
0,00
A (Kontrol)

Gambar 2 Laju penyerapan kuning telur larva ikan tuna sirip kuning selama tiga
hari sejak penetasan perlakuan posisi titik aerasi berbeda A
(menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf
supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p <
0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)
Perkembangan Bukaan Mulut Larva

Bukaan mulut
90 (mm)

Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning disajikan pada
Gambar 3 dan 4. Hasil analisis ragam pada hari ke 13 setelah menetas
menunjukkan bahwa pemberian perlakuan tidak berpengaruh nyata (p > 0,05),
ukuran bukaan mulut adalah 0,59–0,71 mm pada bukaan 90o (Gambar 3) dan
0,32–0,39 mm pada bukaan 45o (Gambar 5). Pada umur tiga hari setelah menetas,
mulut mulai terbuka dengan ukuran bukaan mulut 0,19–0,23 mm pada bukaan 90o
dan 0,10–0,12 mm pada bukaan 45o. Ukuran bukaan mulut semakin lebar pada
umur lima hari dan berkembang sangat cepat hingga larva mencapai umur 10 hari.
Nilai ukuran bukaan mulut hari kelima pada 90o 0,25–0,42 mm, sedangkan
bukaan mulut 45o 0,13–0,23 mm.
0,80
0,60

A (Kontrol)

0,40

B (Dasar)

0,20

C (Kombinasi)

0,00
D3

D5
D7
Umur Larva (hari)

D10

D13

Gambar 3 Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada bukaan
90o selama 13 hari sejak penetasan, pada perlakuan posisi titik aerasi
berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan
B)

Bukaan Mulut 45o (mm)

9
0,50
0,40
0,30

A (Kontrol)

0,20

B (Dasar)

0,10

C (Kombinasi)

0,00
D3

D5

D7
D10
Umur Larva (hari)

D13

Gambar 4 Perkembangan bukaan mulut larva ikan tuna sirip kuning pada bukaan
45o selama 13 hari sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi
berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan
B)
Laju Pertumbuhan Panjang Harian

Laju Pertumbuhan
Panjang Harian (%)

Gambar 5 menunjukkan bahwa perlakuan A, B dan C tidak memberikan
pengaruh nyata (p > 0,05) terhadap laju pertumbuhan panjang harian larva tuna
sirip kuning. Pengukuran laju pertumbuhan panjang dilakukan selama 13 hari
sejak penetasan, perlakuan A menghasilkan laju pertumbuhan panjang larva
sebesar 6%, perlakuan B sebesar 5,69% dan pada perlakuan C sebesar 5,62%.
8,00

6.00a±0,2

5.69a±0,1

A (Kontrol)

B (Dasar)
Posisi titik aerasi

5.62a±0,1

6,00
4,00
2,00
0,00
C (Kombinasi)

Gambar 5 Laju pertumbuhan panjang harian larva ikan tuna sirip kuning yang
dipelihara selama 13 hari sejak masa penetasan pada perlakuan posisi
titik aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B). Huruf supperscript yang berbeda menunjukkan
perbedaan yang nyata (p < 0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)
Koefisien Keragaman
Gambar 6 menunjukkan nilai keragaman larva yang dipelihara pada pada
setiap perlakuan memiliki nilai koefisien keragaman tidak berbeda nyata (p >
0,05).

Koefisien keragaman
panjang (%)

10
5,00
4,80

4.79a±0,06

4.66a±1,2

4,60

4.34a±1,0

4,40
4,20
4,00
A (Kontrol)

B (Dasar)
Posisi titik aerasi

C (Kombinasi)

Gambar 6 Koefisien keragaman panjang larva ikan tuna sirip kuning pada hari ke
13 sejak penetasan pada perlakuan posisi titik aerasi berbeda A
(menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan B). Huruf
supperscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p <
0,05) pada taraf uji 5% (uji Duncan)
Koefisien keragaman (KK) menggambarkan tingkat keragaman panjang
ikan pada akhir pemeliharaan, yaitu semakin tinggi nilai KK maka tingkat
keseragaman panjang menjadi semakin rendah.
Jumlah Pakan dalam Lambung dan Sisa Pakan dalam Bak

Jumlah rata - rata isi
lambung larva

Pengamatan pakan dalam lambung larva tuna sirip kuning dari umur tiga
sampai 10 hari merupakan gambaran mengenai jumlah pakan alami yang
termakan pada awal pemeliharaan. Jumlah rata–rata isi lambung larva
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah rata–rata isi lambung larva pada
saat pertama kali diberikan pakan dan pada akhir pemeliharan berbeda pada taraf
nyata 5%. Sedangkan jumlah sisa pakan dalam bak pemeliharaan menunjukkan
bahwa pada saat pertama kali pemberian pakan sampai hari ke 13 setelah
penetasan jumlah sisa pakan tidak berbeda pada taraf nyata 5%. Jumlah isi pakan
dalam lambung larva dan jumlah sisa pakan dalam bak disajikan dalam Gambar 7
dan 8.
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00

39,17

39

36,67

32,67
24,17

23,67

11,83
12,83
11,17

36

A

22,5
15,33

B
C

D3

D5

D7

D10

Umur larva

Gambar 7 Jumlah rata–rata isi lambung larva tuna sirip kuning pada perlakuan
posisi titik aerasi berbeda sejak pertama pemberian pakan sampai hari
ke 10. A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A dan
B).

22,00
26,00
23,33

21,67
24,33
17,00

25,00
30,67
26,33

24,00
25,33
22,00

25,00
20,33
28,67

22,33
22,33
31,00

18,33
17,67
25,67

20,00

21,00
19,67
20,33

30,00

19,33
15,67
17,67
19,67
17,33
15,67

40,00
11,33
13,67
12,67

Jumlah sisa pakan
(ind/ml)

11

D11

D12

D13

10,00
0,00
D3

D4

D5

D6

D7
D8
D9
Umur larva

D10

Gambar 8 Jumlah rata–rata sisa pakan dalam bak larva tuna sirip kuning pada
perlakuan posisi titik aerasi berbeda sejak pertama pemberian pakan
sampai hari ke 13. A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
(kombinasi A dan B)
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian meliputi salinitas, suhu,
pH, oksigen terlarut, amonia, kecepatan arus dan kecepatan aerasi yang disajikan
pada Tabel 2 dan selengkapnya pada Lampiran 11.
Tabel 2 Kualitas air pemeliharaan larva tuna sirip kuning perlakuan posisi titik
aerasi berbeda A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C (kombinasi A
dan B)
Posisi titik aerasi

Parameter
Suhu ( C)

29–30

B
29,4– 30,1

pH (unit)

8,14–8,30

8,14–8,28

8,13–8,25

NH3 (mg.L-1)
DO (mg.L-1)

0,007–0,035
6,86–7,02

0,007–0,028
6,70–7,01

0,011–0,049
6,92–6,97

Salinitas (ppt)

32

32

32

Kecepatan aerasi
(mL.min-1)
Kecepatan arus
(cm.s-1)

500

500

500

3,5

3,5

3,5

o

A

C
29,3–30,7

Kisaran optimum
21 – 33 (Wexler et
al. 2011)
7,93 – 8,31
(Nakagawa et al.
2011)
< 0,1 (Bernabe 2005)
> 3,0 (Wexler et al.
2011)
30 – 35 (Partridge et
al. 2011)
300–900 (Nakagawa
2011)
< 6,5 (Wexler 2011)

Morfologi
Perkembangan morfologi larva tuna sirip kuning disajikan pada Gambar 9,
10, 11, 12, 13 dan 14. Pengamatan morfologi larva tuna sirip kuning pada D1, D3,
D5, D7, D10 dan D13 antara perlakuan A, B dan C tidak ada perbedaan, ini
mengindikasikan bahwa penempatan posisi titik aerasi yang berbeda tidak
mempengaruhi morfologi dan embriologi larva tuna sirip kuning.

A
B
C

12

a

b

c

Gambar 9 Larva ikan tuna sirip kuning D1 perlakuan A (a), D1 perlakuan B (b)
dan D1 perlakuan C (c) pada perbesaran 4 kali

a

b

c

Gambar 10 Larva tuna sirip kuning perlakuan A D3 (a) D3 prlakuan B (b) dan D3
(c) pada perbesaran 4 kali

a

b

c

Gambar 11 Larva tuna sirip kuning D5 perlakuan A (a) pada perbesaran 3 kali, D5
perlakuan B (b), D5 perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

13

a

b

c

Gambar 12 Larva tuna sirip kuning D7 perlakuan A (a), D7 perlakuan B (b), D7
perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

a

b

c

Gambar 13 Larva tuna sirip kuning D10 perlakuan A (a), D10 perlakuan B (b),
D10 perlakuan C (c) pada perbesaran 2 kali

a

b

c

Gambar 14 Larva tuna sirip kuning D13 perlakuan A (a) D13 perlakuan B (b) D13
perlakuan C (c) pada perbesaran 4 kali
Histologi
Perkembangan organ dalam larva tuna sirip kuning pada saat D1, D3, D5,
D7, D10 dan D13 disajikan pada Gambar 15, 16, 17 dan 18. Hasil pengamatan
histologi menunjukkan bahwa organ dalam larva tuna sirip kuning terus
berkembang sesuai perkembangan umur larva. Hasil pengamatan histologi
menunjukkan bahwa sehari setelah larva menetas (D1) perkembangan organ
dalam larva tuna sirip kuning masih belum lengkap, dimana sebagian rongga perut
dipenuhi oleh kuning telur. Usus masih berbentuk sederhana seperti tabung lurus
dengan ujung yang membuka serta mulut belum terbuka. Lapisan retina mata
larva sudah mulai terlihat dan telah berkembang dengan baik saat larva berumur 3
hari (D3). Saluran pencernaan usus dan rektum terlihat jelas pada umur D3.
Kuning telur telah terserap habis dan sudah terlihat mengambil makanan dari luar
tubuh yang ditandai dengan adanya jaringan pakan alami di dalam usus.

14

M
Gr
d

F

Y

Gambar 15 Irisan histologi larva ikan tuna sirip kuning umur D1, retina mata
belum terbentuk sempurna F: membran kulit, Gr: germinal retina, M:
medulla oblongata, d: saluran pencernaan, perbesaran 10 kali

O

M

H

E

bsb

R

st mv
mg

he

li

a

b

sb
st

gc

pa

mv

sq
mg
R

hg

c

d

Gambar 16 Irisan histologi larva tuna sirip kuning umur D3 saluran pencernaan
sudah terbentuk, sisa–sisa kuning telur dan butiran minyak masih
terlihat. Volume usus semakin besar dan ditemukan jaringan pakan
alami dalam usus (a dan b) perbesaran 20 kali (c dan d) perbesaran
40 kali. E: rongga telinga dalam, H: hypothalamus, usus, M: medulla
oblongata, O: lobus optikus, R: rektum, Rt: retina, pa: pankreas, mg:
mid gut, mv: mikro villi, hg: hind gut, bsb: bakal calon swim bladder,
st: perut, sq: sel epitelium, gc: sel goblet

15

O

M

LO
H

sb
R
I

Gambar 17 Irisan histologi larva tuna umur D5, otak sudah berkembang dengan
baik dan pelipatan epitelium saluran pencernaan mulai terlihat. LO:
lobus olfaktorius, M: medulla oblongata, O: lobus optikus, H:
hypothalamus, I: usus, R: rektum, sb: gelembung renang.

N
K

sb
K

sb
st

PK
I

R

L
R

L

a

b

sb
L

R

I

c

d

Gambar 18 Irisan larva ikan tuna sirip kuning umur D7 pada perbesarann 10x (a)
ginjal depan dan belakang sudah berkembang. (b) irisan larva tuna
sirip kuning D10 pada perbesran 20 kali. (c dan d) irisan larva tuna
sirip kuning D13 pada perbesaran 10 kali. I: usus, L: hati, K: ginjal,
PK: ginjal belakang, R: rectum, st: perut, sb: gelembung renang
Pelipatan epitel saluran pencernaan mulai terlihat pada larva umur lima hari
dan akan semakin jelas terlihat dan kompleks bersamaan dengan pertumbuhan

16
larva. Lipatan akan semakin dalam dan tebal seiring dengan pertambahan umur
larva, lipatan ini disebut dengan vili, yang merupakan tonjolan gepeng
menyerupai daun terdapat di sepanjang usus dan berfungsi dalam meningkatkan
permukaan penyerapan mukosa pembatas (Kaji et al. 1999). Organ hati, ginjal
depan dan pankreas pada larva tuna sirip kuning mulai berkembang pada umur
tiga hari, ginjal belakang terlihat jelas pada saat larva berumur tujuh hari.
Larva tuna sirip kuning umur 12 menuju umur 14 hari setelah menetas
mengalami flexion larva, dimana sel mukosa dalam mulut rongga perut masih
berceceran. Di dalam eshopagus sel eptelium dan sel mukosa meningkat terutama
pada bagian ujung. Kelenjar gastrik pada perut pertama kali nampak pada perut
bagian belakang.
Tingkah Laku
Pengamatan tingkah laku larva tuna sirip kuning D1, D3, D5, D7, D10 dan
D13 terhadap posisi titik aerasi, respon terhadap cahaya dan respon terhadap
pakan ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Tingkah laku larva tuna sirip kuning terhadap posisi titik aerasi, respon
terhadap pakan dan respon terhadap cahaya pada pemeliharaan dengan
perlakuan posisi titik aerasi A (menggantung/kontrol), B (dasar) dan C
kombinasi (kombinasi A dan B)
Hari
ke-

Perlakuan

Posisi titik
aerasi

Respon terhadap
cahaya

Respon
terhadap pakan

Tingkah laku
lain

D1

A

Melayang
mengikuti arus

-

-

B

Melayang
mengikuti
arus
Melayang
mengikuti arus

-

-

-

-

A

Menjauhi titik
aerasi

Baik, gerkan
seperti terhenti
kemudian
menangkap
pakan dengan
cepat

B

Menjauhi
titik aerasi

C

Menjauh
titik aerasi

Pagi : posisi kepala
membelakangi
arah datangnya
cahaya
Siang : posisi
kepala menghadap
datangnya cahaya
Pagi : posisi kepala
membelakangi
arah datangnya
cahaya
Siang : posisi
kepala menghadap
datangnya cahaya
Pagi : posisi kepala
membelakangi
arah datangnya

Berkumpul
pada satu sisi
bak
Berkumpul
pada satu sisi
bak
Berkumpul
pada satu sisi
bak
Berkumpul
pada satu sisi
bak

C

D3

Baik, gerkan
seperti terhenti
kemudian
menangkap
pakan dengan
cepat

Berkumpul
pada satu sisi