Pemanfaatan Kopolimer Cangkok Karet Alam dan Stirena sebagai Aditif Peningkat Indeks Viskositas Minyak Lumas

i

PEMANFAATAN KOPOLIMER CANGKOK
KARET ALAM DAN STIRENA SEBAGAI ADITIF
PENINGKAT INDEKS VISKOSITAS MINYAK LUMAS

MUHAMMAD LUTFI ARIFIANTO

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan

Kopolimer Cangkok Karet Alam dan Stirena sebagai Aditif Peningkat
Indeks Viskositas Minyak Lumas adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Muhammad Lutfi Arifianto
NIM G74100072

iv

ABSTRAK
MUHAMMAD LUTFI ARIFIANTO. Pemanfaatan Kopolimer
Cangkok Karet Alam dan Stirena sebagai Aditif Peningkat Indeks
Viskositas Minyak Lumas. Dibimbing oleh MERSI KURNIATI dan SANTI
PUSPITASARI.

Material termoplastik elastomer hasil dari kopolimerisasi cangkok
karet alam dengan stirena dapat diaplikasikan sebagai aditif minyak lumas
yang berfungsi untuk meningkatkan indeks viskositas minyak lumas. Indeks
viskositas minyak lumas merupakan salah satu tolak ukur penting dalam
menentukan mutu minyak lumas karena mempengaruhi ketahanan minyak
lumas terhadap suhu. Kopolimerasi cangkok karet alam dengan stirena
dilakukan secara polimerisasi emulsi dengan mekanisme radikal bebas pada
rasio 85:15, inisiator ammonium peroksidisulfat, surfaktan sodium dodesil
sulfat selama 7 jam pada suhu 65°C. Hasil kopolimer yang diperoleh
digiling menjadi krep dan direndam dalam aseton agar homopolimer stirena
terpisah. Krep kopolimer karet alam – stirena yang telah murni dikeringkan
kemudian dimastikasi. Krep kopolimer dibuat menjadi larutan induk dengan
cara dilarutkan dalam xilena pada konsentrasi 20%. Larutan induk
ditambahkan ke dalam minyak lumas dasar (HVI 60 dan HVI 650) pada
dosis 1%, 3%, dan 5%. Minyak lumas baru selanjutnya dikarakterisasi sifat
fisika dan kimianya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi
kopolimerisasi cangkok mampu menghasilkan efisiensi cangkok sebesar
56,48%. Minyak lumas jenis HVI-60 dan HVI-650 memiliki indeks
viskositas awal sebesar 100 dan 92, setelah penambahan aditif 1%, 3% dan
5% indeks viskositas meningkat berturut-turut 181, 185, 186 dan 141, 143,

145. Hasil karakterisasi lain diperoleh kadar abu 0.01%, kadar logam Mg
0.003%, densitas 0.86 g/ml dan 0.89 g/ml, dan pH 5. Dengan demikian
diketahui bahwa kopolimer karet alam-stirena dapat berfungsi dengan baik
sebagai peningkat indeks viskositas minyak lumas pada dosis 5%.
Kata kunci: indeks viskositas, kopolimerasi cangkok, minyak lumas,
termoplastik elastomer
ABSTRACT
MUHAMMAD LUTFI ARIFIANTO. Utilization of Natural Rubber
and Styrene Graft Copolymer as Viscosity Index Improver on Lubricating
Oil. Supervised by MERSI KURNIATI and SANTI PUSPITASARI.
Thermoplastic elastomer which is produced from graft
copolymerization of styrene onto natural rubber can be used as lubricant
additive. This additive has a function as index viscosity improver. Index
viscosity is one of the important aspect to classify the lubricant quality since
it has an influence on temperature stability of the lubricant oil. Graft
copolymerization by free radical mechanism on emulsion polymerization

v

technique was conducted at ratio 85:15, ammonium peroxidisulfate as

initiator, and sodium dodecyl sulfate as surfactant at 65oC for 7 hours. The
graft copolymer was creeped and soaked into acetone to separate the
homopolymer of styrene. The pure graft copolymer was dried and
masticated. The pure graft copolymer was made into main solution by
dissolving on xylene at 20% concentration. The main solution was added on
base oil (HVI 60 and HVI 650) at concentration of 1%, 3% and 5%. The
result showed that the grafting efficiency was 56.48%. The base oil HVI 60
and HVI 650 has initial index viscosity as 100 and 92, respectively. Further
after the addition of graft copolymer the index viscosity was increased to
181, 185, 186 and 141, 143, 145, respectively. The other characterizations
include ash content 0.01%, Mg content as 0.003%, density 0.86 g/ml and
0.89 g/ml, and pH 5. Thus the grafted copolymer of natural rubber and
styrene can be used as index viscosity improver at concentration 5%.
Keyword: graft copolymerization, lubricating oil, thermoplastic elastomer,
viscosity index

vi

vii


PEMANFAATAN KOPOLIMER CANGKOK
KARET ALAM DAN STIRENA SEBAGAI ADITIF
PENINGKAT INDEKS VISKOSITAS MINYAK LUMAS

MUHAMMAD LUTFI ARIFIANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Fisika

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii


i

Judul Skripsi : Pemanfaatan Kopolimer Cangkok Karet Alam dan Stirena sebagai
Aditif Peningkat Indeks Viskositas Minyak Lumas
Nama
: Muhammad Lutfi Arifianto
NIM
: G74100072

Disetujui oleh

Mersi Kurniati, SSi, MSi
Pembimbing I

Santi Puspitasari, ST
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Akhiruddin Maddu, MSi

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

ii

iii

PRAKATA
Dengan menyebut nama Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
“Pemanfaatan Kopolimer Cangkok Karet Alam dan Stirena sebagai Aditif
Peningkat Indeks Viskositas Minyak Lumas”, dengan baik dan tepat pada
waktunya. Sholawat beriring salam penulis sanjungkan kepada junjungan semesta
alam baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia dari masa
kebodohan menjadi masa yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Ucapan terima kasih tak luput penulis sampaikan kepada:
1. Kepala Bagian Biofisika, Dr. Kiagus Dahlan dan Direktur Pusat Penelitian
Karet, Dr. Chairil Anwar, MSc atas kesempatan yang telah diberikan
sehingga penulis dapat melaksanakan kegiatan penelitian.

2. Keluarga kecil di rumah Bapak Hasanudin, Ibu Khoirunnisak, Adik-adikku
Hidayatun Nikmah dan Salsa Sofia Fuada yang telah banyak memberikan
inspirasi, motivasi, dan ketenangan jiwa. Insya Allah penulis akan
membahagiakan kalian semua.
3. Mersi Kurniati, SSi, MSi dan Santi Puspitasari, ST selaku pembimbing yang
telah bersedia memberikan bimbingan serta saran sehingga penulis mengerti
dan memahami penelitian ini dengan baik.
4. Teman-teman di Laboraturium Penelitian Puslit Karet, Ibu Yati Nurhayati,
Ibu Tuti Indah Sari, Ibu Woro Andriani, Ibu Tri Haryani, Krisnawati dan
Muhana Nurul Hidayah yang telah menemani berdiskusi selama penelitian.
5. Teman-teman Fisika 47 khususnya Ade Mulyawan dan Caryono atas
dukungan dan semangat yang luar biasa.
Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi
pengembangan material elastomer termoplastik berbasis karet alam dan monomer
stirena khususnya sebagai bahan aditif dalam pembuatan minyak lumas. Dengan
kegiatan penelitian ini pula semoga dapat memberikan manfaat bagi kemajuan
agroindustri karet nasional. Aamiin.

Bogor, September 2014


Muhammad Lutfi Arifianto

iv

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

iv

DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

v

DAFTAR LAMPIRAN

v


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis

2


Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Karet Alam

3

Stirena

3

Minyak Lumas

4

METODE

5

Waktu dan Tempat Penelitian

5

Bahan

5

Alat

6

Prosedur Penelitian

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

SIMPULAN DAN SARAN

18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

32

v

DAFTAR TABEL
1 Spesifikasi beberapa minyak lumas dasar (Base oil)
2 SK Dirjen Migas No. 85K/34/DDJM/1998 tentang spesifikasi minyak lumas
3 Pengamatan reaksi kopolimerasi cangkok karet alam dan stirena
4 Kondisi reaksi kopolimerisasi cangkok
5 Densitas minyak lumas setelah pemberian aditif
6 Viskositas kinematik minyak lumas
7 Komparasi mutu minyak lumas baru dan minyak lumas komersial
8 Kadar logam Mg minyak lumas setelah pemberian aditif
9 Kadar abu minyak lumas setelah pemberian aditif

4
5
10
11
14
14
15
16
17

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur molekul 1,4-cis-poliisoprena.
3
2 Struktur stirena.
3
3 Spektrum FTIR lateks karet alam (A), polistirena (B), dan kopolimer 85:15 (C). 12
4 Grafik penambahan aditif terhadap indeks viskositas.
14
5 Spektrum FTIR lateks karet alam (A), polistirena (B), dan
21
kopolimer 95:5 (C).
21
6 Gumpalan pada reaksi kopolimerisasi 75:25.
21
7 HVI-65.
29
8 HVI-60.
29
9 Aditif kopolimer cangkok lateks karet alam dan stirena.
29
10 Minyak lumas (a) HVI-60 + aditif 1%, (b) HVI-60 + aditif 3%, (c) HVI-60 + aditif
5%, (d) HVI-650 + aditif 1%, (e) HVI-650 + aditif 3%, (f) HVI-650 + aditif 5%. 30
11 Penentuan densitas.
30
12 Penentuan spektrum FTIR.
30
13 Krep hasil kopolimerasi cangkok.
30

DAFTAR LAMPIRAN
1 Penelitian pendahuluan
2 Tahap persiapan reaksi kopolimerasi cangkok karet alam dan stirena
3 Penentuan efisiensi cangkok
4 Penentuan indeks viskositas
5 Penentuan kadar abu
6 Penentuan densitas
7 Penentuan kadar logam Mg
8 Gambar hasil penelitian
9 Diagram alir penelitian

21
21
24
25
27
28
28
29
31

vi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara produsen karet alam Hevea
brasiliensis Muell Arg, terbesar dunia, bahkan Indonesia pernah menduduki
peringkat pertama negara produsen karet dunia pada era sebelum tahun 1960an.
Data statistik menunjukkan produksi karet alam Thailand pada tahun 2011
mencapai 3,39 juta ton atau 30,8% karet dunia, sedangkan produksi karet
Indonesia hanya 2,98 juta ton atau 27,06% karet dunia. Produksi karet alam
Indonesia yang menurun disebabkan karena produktivitas pohon karet alam yang
berada di bawah Thailand meskipun Indonesia memiliki areal perkebunan karet
terluas sekitar 3,4 juta ha pada tahun yang sama.1
Produksi karet alam Indonesia utamanya dimanfaatkan sebagai komoditas
ekspor dalam bentuk karet mentah berkodifikasi SIR 20 (84%) dan 16% yang
dikonsumsi oleh industri hilir karet nasional. Perkembangan industri hilir karet
Indonesia juga belum optimal. Industri pembuatan ban kendaraan bermotor
mendominasi penyerapan karet (44%) diikuti oleh industri alas kaki (22%),
industri sarung tangan (15%), industri ban vulkanisir (15%), dan industri benang
karet dan lainnya (4%).2 Diversifikasi barang jadi karet yang masih terbatas
tersebut membuktikan bahwa nilai tambah dan daya guna karet alam masih
rendah. Salah satu upaya untuk meningkatkan nilai ekonomis karet alam adalah
dengan teknik modifikasi kimiawi yang dapat memperbaiki sifat karet alam
sehingga memperlebar pemanfaatan karet alam sebagai bahan baku industri
barang jadi karet nasional.
Industri penyedia dan pendukung sarana prasarana transportasi membuka
peluang peyerapan produksi karet alam selain dari segi pembuatan ban kendaraan
bermotor misalnya pada pembuatan suku cadang otomotif, penanda marka jalan,
dan aspal karet. Saat ini industri minyak lumas diperkirakan juga membutuhkan
karet alam yang berpotensi digunakan sebagai bahan aditif dalam pembuatan
minyak lumas. Peningkatan kebutuhan minyak pelumas sebanding dengan
pertumbuhan produksi kendaraan. Data statistik pada tahun 2012, di Indonesia
jumlah kendaraan roda 4 mencapai 10,4 juta unit dan untuk kendaraan roda 2
sebesar 76,4 juta unit.3 Jika setiap kendaraan rata-rata 4 bulan sekali memerlukan
4 liter minyak pelumas/unit roda 4 dan 1 liter minyak pelumas/unit roda 2, maka
kebutuhan minyak pelumas sekitar 354 ribu kL per tahun. Kebutuhan minyak
pelumas yang cukup tinggi menjadi peluang pasar bagi penjualan bahan aditif
minyak pelumas berbasis karet alam.

Perumusan Masalah

1.
2.

Perumusan masalah pada penelitian ini antara lain meliputi:
Apakah terjadi peningkatan indeks viskositas pada minyak lumas dengan
penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena?
Pada dosis berapakah penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena dapat
berfungsi dengan baik sebagai peningkat indeks viskositas minyak lumas?

2

3.

Apakah penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena ke dalam minyak
lumas dapat memenuhi spesifikasi lain yang ditetapkan oleh beberapa
produsen minyak lumas antara lain uji densitas, kadar logam Mg, kadar abu,
dan derajat keasaman?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari reaksi kopolimerisasi cangkok
karet alam dengan monomer stirena yang akan diujicobakan sebagai bahan aditif
minyak lumas yang berfungsi sebagai peningkat indeks viskositas minyak lumas.
Melalui penelitian ini akan diketahui efisiensi cangkok hasil kopolimerisasi karet
alam dan stirena sebagai material termoplastik elastomer, serta dosis optimal
penambahan hasil kopolimerisasi cangkok tersebut dalam pembuatan minyak
lumas.

Hipotesis

1.
2.
3.

Hipotesis pada penelitian ini antara lain meliputi:
Penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena pada minyak lumas dapat
meningkatkan indeks viskositas minyak lumas.
Penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena sebagai peningkat indeks
viskositas minyak lumas berada pada rentang dosis 1-10%.
Penambahan aditif kopolimer karet alam-stirena dapat memenuhi spesifikasi
minyak lumas yang ditetapkan oleh beberapa produsen minyak lumas antara
lain densitas, kadar logam Mg, kadar abu, dan derajat keasaman rendah,
sehingga mampu bekerja dengan baik pada mesin.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain
meliputi :
1.
Dapat meningkatkan konsumsi karet alam domestik dan menambah
diversifikasi barang jadi karet dengan cara meningkatkan nilai tambah dan
daya guna karet alam.
2.
Secara perlahan dan bertahap dapat menggurangi ketergantungan akan
bahan aditif minyak lumas impor.
3.
Sebagai bahan referensi penelitian tentang modifikasi kimiawi karet alam
dengan cara kopolimerisasi cangkok dengan monomer stirena yang akan
dilakukan pada masa mendatang.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Karet Alam
Karet alam diperoleh dari hasil penggumpalan lateks karet alam. Lateks
karet alam dihasilkan dari bagian kulit batang tanaman karet berupa cairan
berwarna putih dan kental. Untuk mendapatkan lateks karet alam dilakukan
dengan cara penyadapan pada kulit pohon karet alam (Hevea brasiliensis Muell
Arg) yang hampir mencapai kambium tepatnya pada pembuluh lapis (phloem).
Latek karet alam terdiri atas bagian karet dan bagian non karet. Komposisi lateks
dapat diketahui ketika lateks disentrifugasi dengan kecepatan 18.000 rpm yang
hasilnya adalah sebagai berikut:4
1.
Fraksi lateks (37%): Karet (cis 1,4-poliisoprena), protein, lipid, dan ion
logam
2.
Fraksi Frey Wyssling (1-3%): Karotenoid, lipid, air, karbohidrat dan
inositol, protein dan turunannya
3.
Fraksi serum (48%): Senyawa nitrogen, asam nukleat dan nukleotida,
senyawa organik, ion anorganik, air dan logam
4.
Fraksi dasar (14%): Protein dan senyawa nitrogen, karet dan karotenoid,
lipid dan ion logam.

Gambar 1 Struktur molekul 1,4-cis-poliisoprena. 5
Stirena

Gambar 2 Struktur stirena. 6
Stirena merupakan senyawa kimia dengan rumus C6H5-CH=CH2, termasuk
golongan benzena aromatis. Struktur molekul stirena disajikan pada Gambar 2.
Monomer stirena memiliki sifat fisika sebagai berikut: titik lebur -33°C, titik didih
145-146°C, rapat jenis 0,9059 g/cm3 pada suhu 20°C. Sedangkan sifat kimianya
antara lain larut dalam alkohol, eter, metanol, aseton dan karbon disulfida.
Monomer stirena dapat dipolimerisasi menjadi polistirena. Polistirena merupakan

4

rantai panjang dari monomer stirena dengan karakteristik sebagai polimer
termoplastik yang mudah dibentuk jika diberi perlakuan panas, transparan, kuat
dan dapat didaur ulang.
Monomer stirena dipilih sebagai monomer yang akan dikopolimerisasi
cangkok dengan karet alam pada penelitian ini karena diperkirakan bahwa
monomer stirena akan mudah diserap oleh karet alam.7 Selain itu kopolimerisasi
karet alam dengan monomer stirena diketahui dapat menghasilkan derajat
kopolimerisasi atau efisiensi cangkok yang tertinggi dibandingkan dengan
monomer lain misal akrilamida dan akrilonitril.8

Minyak Lumas
Minyak lumas merupakan substansi yang berada di antara celah atau dua
buah benda yang bergerak dapat berupa cairan, padat, ataupun gas. Minyak lumas
dapat digunakan untuk mengurangi gesekan atau kontak langsung permukaan,
mengurangi keausan dan pendingin mesin.9 Perkembangan teknologi minyak
lumas berkembang secara drastis. Awalnya sejak abad 19 minyak lumas yang
digunakan adalah jenis minyak mineral (mineral oil) dikarenakan minyak tersebut
berasal dari dalam perut bumi melalui proses distilasi. Seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, penggunaan minyak mineral dipandang usang karena
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan jumlahnya suatu
saat akan habis. Minyak sintesis (sintetic oil) hadir untuk mengantisipasi masalah
tersebut. Telah banyak dilakukan penelitian untuk menghasilkan minyak lumas
sintesis yang lebih efisien dalam pemakaian dan memiliki karakteristik spesifik
minyak lumas yang diinginkan.
Minyak lumas dibuat dengan cara mencampurkan minyak lumas dasar
dengan bahan aditif pada komposisi 0,1-30% bergantung perangkat mesin dan
jenis aditif yang diinginkan. Penambahan aditif pada minyak lumas untuk sistem
hidrolik 2-10%, gears (worm) 3-10%, gears (spiral, bevel) 1-10%, kompresor 0,55%, dan mesin 10-30%.10 Jenis minyak lumas dasar yang telah diproduksi di
dalam negeri oleh PT. PERTAMINA antara lain HVI 60, HVI 95, dan HVI 650.
Spesifikasi minyak lumas dasar disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 1 Spesifikasi beberapa minyak lumas dasar (Base oil) 11
Properti
Viskositas pada suhu
100°C
Indeks Viskositas (min)
cSt
Titik Nyala (min) °C
Titik Tuang (max) °C
Kadar Abu (max) %wt
Kecerahan

Metode
ASTM D
445
ASTM D
2270
ASTM D 93
ASTM D 97
Visual

HVI 60
4,4-4,9

HVI 95
6,7-7,4

HVI 650
30,5-33,5

95

95

95

204
-15
0,1
Bersih dan
cerah

210
-9
0,1
Bersih dan
cerah

267
-9
0,4
Bersih dan
cerah

5

Standar mutu minyak lumas yang beredar di Indonesia hendaklah memenuhi
spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Minyak dan Gas
berdasarkan Surat Keputusan Ditjen Migas No. 85K/34/DDJM/1998 yang dapat
dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Beberapa dari parameter tersebut akan
digunakan sebagai dasar dalam menentukan dosis optimum penambahan hasil
kopolimerisasi cangkok karet alam–stirena sebagai bahan aditif peningkat indeks
viskositas dalam pembuatan minyak lumas.
Tabel 2 SK Dirjen Migas No. 85K/34/DDJM/1998 tentang spesifikasi minyak
lumas 12
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

9.

10.
11.

Karakteristik
Viskositas pada suhu
100°C
Indeks viskositas
Viskositas pada suhu
rendah (CCS)
VIskositas pada suhu
tinggi (HTHS)
Titik nyala COC
Angka basa total
Kandungan abu sulfat
Kandungan metal: Ca,
Mg, Zn
Tendensi/stabilitas
pembusaan
Seq. I
Seq. II
Seq. III
Kandungan bahan bakar
Kandungan air

Satuan
cSt

Spesifikasi
Sesuai SAE

Metode
ASTM D 445

cP

Min 90
Sesuai SAE

ASTM D 2270
ASTM D 5293

cP

Sesuai SAE

ASTM D 4683

°C
mg KOH/g
% berat
% berat

Min. 200
Min. 5.0
Maks. 0.6
*) 0.080
sesuai
prosedur

ASTM D 92
ASTM D 2896
ASTM D 874
ASTM D 811

Ml

ASTM D 892
Maks. 10/0
Maks. 50/0
Maks. 10/0

% vol.
% vol.

ASTM D 332
ASTM D 95

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Pusat
Penelitian Karet serta laboraturium Kimia Bersama, Departemen Kimia FMIPA
IPB. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Maret sampai Juni 2014.
Bahan
Bahan yang digunakan meliputi lateks karet alam pekat, monomer stirena,
amonium peroksidisulfat (APS), sodium dodesil sulfat (SDS), xilena, metanol,
aseton, asam format, akuades, HVI-60 dan HVI-650.

6

Alat
Peralatan yang digunakan yaitu Hot plate magnetic stirrer, gelas piala, gelas
ukur, reaktor labu leher tiga, labu tetes monomer, piknometer 50 cm 3, oven,
neraca analitik dengan ketelitian 0,0001 g, cawan porselen kapasitas 50 cm3,
mesin penggiling karet terbuka (Open Mill), gunting, pembakar listrik atau bunsen
burner, muffle furnace, desikator, penjepit cawan, termometer, FTIR, indikator
pH universal, AAS dan viskometer Brookfield.

Prosedur Penelitian

Persiapan
Salah satu faktor yang mempengaruhi efisiensi cangkok adalah
perbandingan konsentrasi monomer. Telah dilakukan penelitian pendahuluan
dengan perbandingan lateks karet alam dan stirena 95:5, 85:15, dan 75:25. Pada
perbandingan 95:5 krep hasil cangkok yang telah diuji FTIR tidak menunjukkan
adanya spektrum stirena pada lateks karet alam (lampiran 1), pada perbandingan
85:15 krep hasil cangkok menunjukkan adanya spektrum stirena yang
menandakan telah terjadi proses cangkok, sedangkan pada perbandingan 75:25
terbentuk gumpalan saat reaksi cangkok sehingga reaksi dihentikan (lampiran 1).
Oleh karena itu, hasil dan pembahasan penelitian ini hanya pada perbandingan
85:15.
Lateks karet alam dan stirena dibuat dengan perbandingan 85:15. Pada
persiapan lateks karet alam digunakan lateks karet alam mengandung kadar karet
kering (KKK) 58.6% (lampiran 2), kemudian lateks karet alam ditimbang masingmasing sebanyak 50 g dan diencerkan menjadi 15% dengan akuades (lampiran 2).
Surfaktan yang digunakan berupa sodium dodesil sulfat (SDS) sebanyak 2% dari
total bobot karet dan stirena sedangkan inisiator yang digunakan adalah amonium
peroksidisulfat (APS) sebanyak 1% dari total bobot karet dan stirena (lampiran 2).

Reaksi Kopolimer Cangkok Lateks Karet Alam dan Stirena
Lateks karet alam yang telah diencerkan dituangkan ke dalam labu leher
tiga. Lateks karet alam dipanaskan dan diaduk menggunakan hot plate magnetic
stirrer hingga suhunya mencapai 60°C, kemudian ke dalam lateks ditambahkan
surfaktan SDS. Ketika suhu 65°C, inisiator APS dan monomer stirena diteteskan
ke dalam labu reaktor. Waktu reaksi ditetapkan selama 7 jam dimulai ketika
penambahan monomer stirena telah selesai. Setelah 7 jam reaksi kopolimerisasi
cangkok dihentikan. Lateks kopolimer karet alam–stirena digumpalkan
menggunakan asam format dan digiling menjadi krep dengan mesin creeper.

7

Pemisahan Homopolimer Stirena
Krep hasil kopolimerasi lateks karet alam dan stirena selanjutnya direndam
ke dalam larutan aseton hingga terendam sepenuhnya dan dibiarkan selama 24
jam. Setelah 24 jam, larutan metanol dituangkan ke dalam rendaman krep
kopolimer-aseton hingga terbentuk endapan bewarna putih (homopolimer stirena).
Krep diangkat dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40°C. Krep kopolimer
kering kemudian ditimbang. Bobot krep kering yang diperoleh dicatat.

Penentuan Efisiensi Cangkok
Penentuan efisiensi cangkok dilakukan untuk mengetahui persen monomer
stirena yang menempel pada rantai induk lateks karet alam dengan
membandingkan berat sampel krep sebelum dan sesudah dicangkokkan.
Perhitungan derajat grafting: (lampiran 3)
Efisiensi cangkok =

bobot monomer tercangkok
x 100%
bobot monomer awal untuk polimerisasi

Penentuan Spektrum Infra Merah
Penentuan spektrum infra merah dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer FTIR ATR iD3 merk Nicolet iS5 produk Thermo Scientific pada
rentang bilangan gelombang 4000-500 cm-1 dan software OMNIC untuk
pembacaan dan analisis. Spektrofotometer FTIR ini bekerja berdasarkan energi
vibrasi molekul apabila disinari oleh sumber radiasi berupa lampu pijar tungsten,
dari hasil pembacaan tersebut akan diketahui intensitas serapan, bilangan
gelombang, gugus fungsional dan jenis ikatan.

Penentuan Perbandingan Pelarut dengan Kopolimer
Pelarut yang digunakan adalah xilena yang bersifat non polar yang dapat
melarutkan kopolimer karet alam dan stirena. Hasil kopolimer karet alam-stirena
diujicobakan sebagai bahan aditif untuk peningkat indeks viskositas minyak
lumas pada berbagai dosis penambahan 1%, 3%, dan 5%.
Sebelum dilakukan pelarutan hasil kopolimer karet alam dan stirena dalam
xilena, krep kopolimer dimastikasi terlebih dahulu menggunakan mesin Open
Mill. Mastikasi merupakan proses pemutusan rantai polimer menjadi rantai-rantai
pendek melalui penggilingan dan pemipihan. Setelah dimastikasi krep kemudian
dilarutkan dalam pelarut xilena menggunakan hot plate magnetic stirrer pada
suhu 60°C dengan ditetapkan pada konsentrasi 20% (b/v). Campuran antara krep
kopolimer dengan pelarut xilena digunakan sebagai campuran aditif induk.

8

Pembuatan Perbandingan Campuran dengan Minyak Lumas Dasar
Perbandingan campuran aditif induk dengan minyak lumas dasar HVI-60
dan HVI-650 dibuat pada variasi konsentrasi campuran aditif induk sebesar 1%,
3%, dan 5%. Pencampuran larutan induk ke dalam minyak lumas dilakukan
menggunakan hot plate magnetic stirrer pada suhu 50°C hingga homogen (sekitar
2 jam). Paduan ini disebut minyak lumas baru dan selanjutnya siap dikarakterisasi
meliputi indeks viskositas, pH, densitas, kadar abu dan kadar logam Mg.

Penentuan Indeks Viskositas
Viskositas kinematik ditentukan dengan menggunakan viskometer
Brookfield dan selanjutnya ditentukan indeks viskositas berdasarkan ASTM D
2270. Perhitungan indeks viskositas dihitung berdasarkan viskositas kinematik
pada suhu 40°C dan 100°C. (lampiran 4)
1.
Untuk minyak lumas dasar dengan indeks viskositas ≤ 100
Jika viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 100°C kurang dari atau
sama dengan 70 mm2/s, maka nilai L dan H dapat dilihat pada tabel
(lampiran 3). Jika viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 100°C di
atas 70 mm2/s, maka perhitungan indeks viskositas dapat dilakukan dengan
persamaan:
L = 0,8353 Y2 + 14,67 Y – 216
H = 0,1684 Y2 + 11,85 Y – 97
dengan perhitungan indeks viskositas:
IV = [(L – U)/ (L – H)] x 100
2.
Untuk minyak lumas dasar dengan indeks viskositas > 100
Jika viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 100°C kurang dari atau
sama dengan 70 mm2/s, maka nilai H dapat dilihat pada tabel (lampiran 3).
Jika viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 100°C di atas 70 mm2/s,
maka perhitungan indeks viskositas dapat dilakukan dengan persamaan:
H = 0,1684 Y2 + 11,85 Y – 97
dengan perhitungan indeks viskositas:
IV= [((antilog N) – 1)/ 0,00715] + 100
dimana:
N = (log H – log U)/ log Y atau Y N = H/U
Keterangan:
L = Viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 40°C yang mempunyai
indeks viskositas 0, sama dengan viskositas kinematik pada suhu 100°C
yang akan dihitung.
H = Viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 40°C yang mempunyai
indeks viskositas 100, sama dengan viskositas kinematik pada suhu
100°C yang akan dihitung.
Y = Viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 100°C yang akan
dihitung indeks viskositasnya.

9

U = Viskositas kinematik minyak lumas pada suhu 40°C yang akan
indeks viskositasnya.
IV = Indeks Viskositas

dihitung

Penentuan Kadar Abu
Cawan porselin kosong dipanaskan dalam tanur pada suhu 550±25°C
selama 2 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator, kemudian cawan tersebut
ditimbang (A). Sebanyak 1 gr sampel dengan ketelitian 0,1 mg dimasukkan ke
dalam cawan porselin (B). Sampel kemudian dipijarkan di atas pembakar listrik
sampai tidak keluar asap. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 550
25°C dan dipanaskan selama 2 jam. Cawan porselin dikeluarkan dan dinginkan
dalam desikator. Kemudian timbang cawan porselin berisi abu (C) sampai bobot
tetap. (lampiran 5)
Perumusan kadar abu:
Kadar Abu, % = [(C – A)/ B)] x 100
Penentuan Densitas
Penentuan densitas dapat dilakukan dengan menggunakan botol densitas 50
cm3 atau disebut juga piknometer. Piknometer ditimbang sebagai bobot kosong,
kemudian diisi dengan akuades hingga penuh dan ditimbang. Selisih bobot
piknometer yang berisi akuades dengan bobot kosong dianggap sebagai bobot
piknomer, kemudian dikalikan dengan densitas air pada suhu ruang (28˚C )
sebesar 0.996 g/mL maka diperoleh volume piknometer. Akuades dikeluarkan
dari piknometer dan keringkan menggunakan aseton. Timbang kembali
piknometer sebagai bobot kosong, kemudian piknometer diisi dengan sampel.
Selisih bobot isi dengan bobot kosong disebut bobot sampel. (lampiran 6)
Perumusan densitas:
bobot sampel (g)
Densitas =
volum piknometer (mL)

Penentuan Derajat Keasaman
Derajat keasaman atau pH dilakukan dengan menggunakan indikator pH
universal. Indikator universal dapat berupa larutan atau kertas, pada penelitian ini
yang digunakan berupa kertas. Penetuan pH menggunakan indikator universal
sangat sederhana cukup dengan mencelupkan kertas indikator universal pada
larutan sampel dan tunggu beberapa saat hingga terjadi perubahan warna pada
kertas indikator universal dan sesuaikan warna yang tertera pada standar.
Penentuan Kadar Logam Mg
Pengujian dilakukan dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrometry). AAS akan membaca spektrum serapan bilangan gelombang pada

10

unsur logam sehingga dapat diketahui logam yang terkandung dalam sampel.
Instrumen AAS yang digunakan adalah merk SHIMADZU tipe AA-7000 dan
mampu menganalisa beberapa unsur logam secara terpisah. Pada penelitian ini
hanya kadar logam Mg yang dianalisis. (lampiran 7)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kopolimer Cangkok Karet Alam dan Stirena
Kopolimer cangkok secara sederhana dijelaskan ketika polimer induk
mendapat tambahan monomer anak lalu bersatu menjadi sebuah rantai polimer
yang baru, dimana monomer anak hanya menempel pada polimer induk
membentuk ikatan yang lemah. Mekanisme kopolimer cangkok terdiri dari tiga
mekanisme utama yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi.13 Pertama, inisiasi,
merupakan mekanisme pembentukan radikal bebas yang berasal dari senyawa
inisiator. Pada kopolimerisasi cangkok karet alam dengan monomer stirena secara
radikal bebas, maka radikal bebas akan mengadisi atau memutuskan ikatan
rangkap pada stirena dan karet alam sehingga membentuk monomer stirena dan
polimer karet alam yang bersifat radikal. Kedua, propagasi, merupakan
mekanisme terbentuknya radikal bebas baru pada monomer stirena dan polimer
karet alam akibat adanya molekul inisiator yang telah mengalami radikal bebas,
sehingga dapat dikatakan tahap propagasi merupakan tahap pengembangan atau
perpanjangan monomer radikal. Terakhir, terminasi, merupakan mekanisme
penghentian pembentukan monomer radikal dikarenakan telah terbentuknya
kopolimer dari pertemuan dua monomer radikal.
Pada penelitian ini reaksi kopolimerisasi cangkok dijalankan secara
polimerisasi emulsi karena dalam sistemnya terdiri dari empat unsur yang
memenuhi syarat terjadinya reaksi polimerisasi yaitu adanya monomer, air,
surfaktan dan inisiator yang larut dalam air.
Tabel 3 Pengamatan reaksi kopolimerasi cangkok karet alam dan stirena
Waktu

Suhu

Warna
Cairan

Buih

Gumpalan

Warna
Gumpalan

Jam ke-1
Jam ke-2
Jam ke-3
Jam ke-4
Jam ke-5
Jam ke-6
Jam ke-7

65°C
65°C
65°C
65°C
65°C
65°C
65°C

Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih

Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada

Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada

Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada

11

Tabel 4 Kondisi reaksi kopolimerisasi cangkok
Parameter
Formulasi
Bobot lateks karet alam (g)
Bobot monomer stirena (g)
Bobot air (g)
Bobot surfaktan SDS (g)
Bobot inisiator APS (g)
Kondisi reaksi
Rasio karet alam: stirena
Konsentrasi inisiator APS (%)
Konsentrasi surfaktan SDS (%)
Suhu reaksi (°C)
Waktu reaksi (jam)
Efisiensi cangkok
Bobot total (g)
Bobot akhir setelah ektraksi (g)
Efisiensi cangkok (%)

29.3
10.3417
145.333
5.2856
4.9552
85:15
1
2
65
7
39.6417
35.1414
56.48

Pembacaan dan analisa pada tabel 3 menunjukkan bahwa reaksi kopolimer
berjalan baik, tanpa terbentuk gumpalan polimer karet. Hal ini berarti bahwa
sistem polimerisasi emulsi berada pada kondisi stabil. Gumpalan pada reaksi ini
tidak diharapkan karena menandakan pencampuran antara lateks karet alam dan
stirena pada sistem polimerisasi emulsi yang tidak stabil. Keberadaan monomer
stirena sebenarnya dapat mengganggu kestabilan polimer karet alam yang
memacu koagulasi polimer karet alam. Cara untuk meniadakan gumpalan tersebut
yaitu dengan penggunaan surfaktan. Penambahan surfaktan dalam reaksi
kopolimer bertujuan untuk menurunkan tegangan permukaan sehingga antar
monomer tersebut dapat saling bercampur dengan lebih mudah. Selain dengan
penambahan surfaktan, untuk mencegah gumpalan dilakukan pengenceran pada
lateks hingga KKK mencapai 15%. Semakin tinggi konsentrasi lateks maka akan
memungkinkan terjadinya gumpalan dikarenakan kerapatan antar molekul karet
alam dalam lateks cenderung berdekatan dan membentuk aglomerat.
Pembacaan dan analisa pada tabel 4 menunjukkan efisiensi cangkok
(grafting efficiency) karet alam dan stirena sebesar 56.48%. Perhitungan efisiensi
cangkok yang dinyatakan dalam persen (%) bertujuan untuk mengetahui apakah
reaksi kopolimer cangkok berlangsung dengan optimal. Efisiensi cangkok
dilakukan dengan membandingkan bobot monomer stirena tercangkok dengan
bobot monomer stirena awal yang digunakan pada polimerisasi.14 Pada penelitian
ini terlihat bahwa efisiensi cangkok cukup rendah yang menandakan bahwa
monomer stirena yang tercangkok pada polimer karet alam belum optimal
disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat berlangsungnya reaksi
kopolimerisasi cangkok yaitu :
a.
Karet alam yang digunakan dalam reaksi kopolimerisasi ini belum
dimurnikan dengan cara menggurangi kandungan proteinnya. Protein

12

merupakan lapisan pelindung molekul karet alam. Keberadaan protein yang
menyelubungi partikel karet alam mengakibatkan monomer stirena tidak
dapat langsung menuju ke pusat reaksi (molekul karet alam) sehingga reaksi
kopolimerisasi cangkok menjadi terhambat
b.
Dalam sistem reaksi tidak dikondisikan pada atmosfer inert dengan cara
mengalirkan gas N2. Keberadaan udara yang mengandung O2
mengakibatkan radikal bebas yang terbentuk dari dekomposisi inisiator
menjadi tidak aktif sehingga tidak mampu membentuk monomer radikal
dengan optimal
c.
Penambahan monomer stirena yang terlampau banyak sehingga cenderung
membentuk homopolimer stirena yang tidak menempel pada rantai utama
molekul karet alam.
Terbentuknya hasil kopolimer karet alam dengan stirena juga dapat
dikonfirmasi dengan analisis menggunakan FTIR. Pada Gambar 3 menunjukkan
spektrum karet alam sebelum dan sesudah dicangkok dengan monomer stirena.
Karakteristik karet alam dapat dilihat pada bilangan gelombang 1660 cm-1
merupakan vibrasi ulur C=C, adanya bilangan gelombang 833 cm-1, 1375 cm-1,
dan 1450 cm-1 merupakan vibrasi tekuk C-H serta adanya bilangan gelombang
2850 cm-1 dan 3000 cm-1 merupakan vibrasi regangan C-H. Sesudah cangkok
terlihat perbedaan antara kedua gambar dimana pada hasil kopolimer cangkok
muncul bilangan gelombang 696 cm-1, 1493 cm-1, dan 1600 cm-1. Bilangan
gelombang 696 cm-1 merupakan vibrasi tekuk C-H yang dimiliki oleh senyawa
aromatik dalam hal ini yaitu stirena begitu pula vibrasi C=C pada bilangan
gelombang 1493 cm-1 dan 1600 cm-1. Puncak-puncak baru tidak terlalu tajam
menandakan efisiensi cangkok yang rendah, hal ini sesuai dengan analisa
kuantitatif sebesar 56.48%.
0 Lateks pekat

A

0

C=C

0

C-H
Poly(styrene)

0

B

0

C-H

C=C

C-H

Aromatik

Aromatik

0
0
Kopolimer 85:15
0

C-H

C

C-H

C=C

Aromatik

Aromatik
0

000

3500

3000

2500

2000

1500

1000

500

Wavenumbers (cm-1)

07

Gambar 3 Spektrum FTIR lateks karet alam (A), polistirena (B), dan kopolimer
85:15 (C).

13

Aditif Peningkat Indeks Viskositas Minyak Lumas
Minyak lumas merupakan suatu zat yang ditempatkan sebagai perantara
antara dua buah benda yang bergerak dengan tujuan untuk meminimalkan
terjadinya gesekan antara benda-benda tersebut.15 Oleh karena itu minyak lumas
harus bersifat dapat menurunkan koefisien gesekan antara benda yang bergerak,
meskipun secara kasat mata minyak lumas fungsinya hanya memasuki celah
mesin yang bergerak, tetapi tanpa minyak lumas dapat dipastikan bahwa
kendaraan akan mengalami beberapa kendala. Jenis bahan aditif yang digunakan
dalam pembuatan minyak pelumas meliputi beberapa senyawa polimetakrilat
dengan berat molekul tinggi, polimer hidrokarbon dengan berat molekul tinggi
seperti poliolefin, polidiena, polistirena yang dialkilasi, dan poliester dengan berat
molekul tinggi.
Karakteristik spesifik minyak lumas yang diinginkan dapat diperoleh dengan
penambahan suatu aditif seperti aditif anti oksidan (anti-oxidant additive) untuk
menghindari terjadinya oksidasi pada mesin, aditif anti busa, aditif tekanan tinggi
untuk mengurangi gesekan pada kondisi ekstrem bidang yang bersentuhan, aditif
anti gelembung (anti-foaming additive) untuk mengurangi terjadinya gelembung
udara pada minyak lumas yang dapat menurunkan kemampuan minyak lumas, dan
aditif peningkat indeks viskositas (viscosity index improver) untuk meningkatkan
kekentalan minyak lumas.16 Pada penelitian ini aditif yang diinginkan yaitu
sebagai peningkat indeks viskositas minyak lumas.
Viskositas yang sesuai dengan karakteristik diinginkan menjadi dasar
pemilihan minyak lumas yang baik. Viskositas yang rendah akan mengurangi
kemampuan minyak lumas dalam memberikan perlindungan pada mesin,
sedangkan viskositas yang terlalu tinggi akan membuat mesin memerlukan tenaga
lebih untuk menghidupkannya terutama pada pagi hari. Kondisi ideal viskositas
minyak lumas yang diinginkan yaitu, perubahan viskositas yang sekecil mungkin
terhadap perubahan suhu yang besar. Perbedaan viskositas suatu minyak lumas
terhadap perbedaan suhunya dapat dinyatakan dengan indeks viskositas.
Salah satu parameter penting indeks viskositas adalah densitas, dengan
mengetahui densitas minyak lumas secara sederhana dapat diduga viskositasnya
viskositas dinamik dan kinematiknya, hubungan densitas dengan viskositas
dinamik dinyatakan dalam viskositas kinematik. Viskositas kinematik merupakan
hambatan fluida dengan memasukkan pengaruh gravitasi. Secara matematik,
dapat dirumuskan � = � �, dimana, �= tegangan geser, �= gradient kecepatan,
�= viskositas dinamik. Sedangkan viskositas kinematik dipengaruhi oleh densitas
fluida tersebut. Viskositas kinematik adalah perbandingan viskositas dinamik
terhadap densitas fluida, dapat dirumuskan � = � �, dimana, �= viskositas
kinematik, �= densitas fluida.17 Densitas akan sebanding dengan viskositas
sehingga peningkatan densitas akan meningkatkan nilai viskositasnya, sebagai
catatan bahwa viskositas yang teramati adalah viskositas dinamik suatu tahanan
fluida dalam keadaan bergerak atau mengalir, sedangkan jika dihubungkan
dengan viskositas kinematik maka semakin besar densitas akan semakin kecil pula
viskositas kinematik.

14

Tabel 5 Densitas minyak lumas setelah pemberian aditif
Jenis Minyak Lumas
HVI-60
HVI-60
HVI-60
HVI-650
HVI-650
HVI-650

Aditif
1%
3%
5%
1%
3%
5%

Densitas (g/ml)
0.8611
0.8620
0.8627
0.8892
0.8873
0.8866

Tabel 6 Viskositas kinematik minyak lumas
Jenis Minyak
Lumas
HVI-60
HVI-60
HVI-60
HVI-650
HVI-650
HVI-650

Aditif
1%
3%
5%
1%
3%
5%

Viskositas Kinematik
40°C (cSt)
26.13
26.10
26.08
216.49
157.91
146.51

Viskositas Kinematik
100°C (cSt)
17.42
14.50
8.69
59.04
28.20
28.18

Indeks viskositas

Pada tabel 5 menunjukkan densitas minyak lumas jenis HVI-60 rata-rata
0.86 g/ml, sedangkan HVI-650 rata-rata 0.89 g/ml, untuk diketahui densitas
minyak lumas jenis HVI-60 dan HVI-650 sebelum diberi aditif adalah 0.85 g/ml
dan 0.88 g/ml. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penambahan aditif
akan meningkatkan densitas minyak lumas dan meningkatkan viskositas
dinamiknya.
Pada tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan pada suhu 40°C dan 100°C
adanya penambahan aditif yang juga diikuti dengan peningkatan densitas akan
menurunkan nilai viskositas kinematiknya. Hal ini disebabkan perlakuan suhu
mengakibatkan gaya kohesi atau gaya ikat antar molekul dalam minyak lumas
semakin berkurang18 sehingga minyak lumas dapat mengalir lebih lancar terutama
pada suhu rendah.
200
150
100

HVI 60

50

HVI 650

0
0

1

3

5

Aditif (%)

Gambar 4 Grafik penambahan aditif terhadap indeks viskositas.

15

Pada gambar 4 menunjukkan adanya peningkatan indeks viskositas minyak
lumas yang cukup signifikan, minyak lumas jenis HVI-60 dan HVI-650 dipasaran
memiliki indeks viskositas 100 dan 92, setelah penambahan aditif 1%, 3%, dan
5% indeks viskositas meningkat berturut-turut 181, 185, 186 dan 141, 143, 145.
Hal ini karena paduan karet alam dan stirena yang saling melengkapi sebagai
aditif minyak lumas. Keunggulan karet alam antara lain daya elastis atau daya
lenting sempurna, kepegasan yang tinggi dan keteraturan geometri yang tinggi,
keunggulan inilah yang dimanfaatkan sebagai peningkat viskositas.19 Ditinjau
hubungan berat molekul dengan viskositas menyatakan kesebandingan. Berat
molekul merupakan kumpulan massa atom yang menyusun suatu molekul.
Penambahan aditif pada minyak lumas meningkatkan berat molekul dan tentu
meningkatkan viskositas.20 Suatu senyawa yang memiliki berat molekul yang
tinggi secara sederhana dicirikan memiliki viskositas yang tinggi pula.
Kelemahan karet alam adalah memiliki ikatan jenuh dan tingkat kepolaran
yang tinggi sehingga tidak tahan terhadap panas. Oleh karena itu digunakan
stirena sebagai bahan yang tahan terhadap panas dan dapat dengan mudah diserap
oleh karet alam. Paduan karet alam dan stirena disebut material termoplastik
elastomer. Termoplastik elastomer merupakan salah satu bentuk dari polymer
blends selain plastic-plastic blend dan rubber-rubber blend. Termoplastik
elastomer adalah polimer yang mengkombinasikan karakteristik fisik elastomer
(elastisitas yang tinggi pada suhu kamar) dan kemudahan pemrosesan pada bahan
termoplastik.21
Jika ditinjau dari nilai indeks viskositas yang diperoleh dari hasil
penambahan aditif karet alam-stirena, minyak lumas baru jenis HVI-650 dan HVI60 dapat bersaing dengan beberapa produk minyak lumas komersial antara lain
adalah Fastron 10W-40 dan Fastron Full Synthetic dari PERTAMINA yang
memiliki nilai indeks viskositas 144 dan 187 yang telah teruji dapat bersirkulasi
pada suhu rendah dan memberi perlindungan optimal terhadap keausan komponen
mesin pada suhu dan kecepatan tinggi serta mampu memberikan kekentalan ganda
(multigrade) pada mesin.22
Tabel 7 Komparasi mutu minyak lumas baru dan minyak lumas komersial
Minyak Lumas Baru
Parameter

Viskositas kinematik
40°C (cSt)
Viskositas kinematik
100°C (cSt)
Indeks viskositas

Minyak Lumas Komersial

HVI-60

HVI-650

Fastron
10W-40

Fastron Full
synthetic

26.08

146.5

99.9

130.3

8.69

28.18

14.13

21.03

185

145

144

187

16

Kadar logam Mg
Hampir setiap bahan alam memiliki unsur logam. Pada penelitian ini unsur
logam dapat ditemukan pada minyak lumas dasar dan aditif salah satunya adalah
magnesium, Mg. Logam Mg pada tabel periodik menempati golongan II A alkali
tanah dan bersifat reaktif. Logam Mg dapat mengalami oksidasi jika bereaksi
dengan oksigen, hal ini dapat mengakibatkan perubahan formulasi minyak lumas
dan menurunkan peforma mesin. Oleh karena itu, kadar logam Mg dalam minyak
lumas diharapkan seminimal mungkin.
Kadar logam Mg di ukur dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption
Spectrometry). AAS dapat menganalisa unsur-unsur logam maupun non logam.
Secara sederhana komponen AAS terdiri dari sumber radiasi, flame, dan detektor.
Prinsip kerja AAS yaitu dengan memanfaatkan interaksi radiasi sumber dengan
atom. Spektrum absorpsi atom dihasilkan ketika atom dalam kondisi ground (ion)
mengabsorpsi radiasi yang dipancarkan. AAS memerlukan atom dalam bentuk ion
bukan dalam bentuk kompleks, proses ini dinamakan atomisasi atau pembentukan
atom-atom. Atomisasi dilakukan pada suhu tinggi dalam flame. Larutan yang akan
dianalisis dimasukkan dalam flame dalam bentuk kabut. Pelarut secara cepat
menguap, meninggalkan partikel padat dari analit. Partikel padat menguap dan
terdekomposisi menjadi atom dan mengabsorbsi radiasi. Bahan bakar untuk
mengoksidasi larutan adalah kombinasi udara asetilen dan nitrogen oksida
asetilen. Ketika sampel teratomisasi dalam flame, kuantitas elemen diukur dengan
mengukur perubahan radiasi yang melewati flame. Intensitas radiasi yang
meninggalkan flame lebih rendah dari intensitas yang memasuki flame. Hal ini
disebabkan sampel atom dalam flame menyerap radiasi yang dinyatakan sebagai
absorbansi.
Pembacaan dan analisis tabel 8 menunjukkan kadar Mg dalam minyak
lumas setelah pemberian aditif sebesar 0.003%. Kandungan Mg dalam minyak
lumas disebabkan adanya penambahan Mg dari karet. Kandungan Mg dalam karet
sangat kecil maksimal sekitar 300 ppm23 sehingga penambahan dosis karet pada
rentang variasi yang berdekatan dari total bobot minyak lumas tidak banyak
berpengaruh.
Tabel 8 Kadar logam Mg minyak lumas setelah pemberian aditif
Jenis Minyak
Lumas

Aditif

Kadar Mg
(ppm)

Kadar Mg
(%)

HVI-60
HVI-60
HVI-60
HVI-650
HVI-650
HVI-650

1%
3%
5%
1%
3%
5%

35.176
33.616
34.962
43.749
31.594
28.907

0.003
0.003
0.003
0.004
0.003
0.003

17

Kadar abu
Abu merupakan residu bahan-bahan anorganik dari proses pengabuan.
Kadar abu ditentukan dengan penimbangan sampel yang telah dioksidasi pada
suhu tinggi sehingga bahan utama sampel akan mengalami volatilisasi dan yang
tersisa atau tidak terbakar sempurna menjadi abu yang kemudian ditimbang.
Pembakaran sempurna sangat diperlukan untuk mengetahui kadar abu dengan
tepat, oleh karena itu sebelum dimasukkan dalam tanur, sampel terlebih dahulu
dibakar menggunakan pembakar listrik hingga sampel menjadi arang berwarna
abu-abu kehitaman dan tidak mengeluarkan asap yang menandakan bahan-bahan
organik sampel telah mengalami volatilisasi dan hanya tersisa bahan anorganik
saja.
Tabel 9 Kadar abu minyak lumas setelah pemberian aditif
Jenis Minyak
Lumas

Aditif

Kadar Abu
(ppm)

Kadar Abu
(%)

HVI-60
HVI-60
HVI-60
HVI-650
HVI-650
HVI-650

1%
3%
5%
1%
3%
5%

100
100
100
100
100
100

0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01

Kadar abu dalam minyak lumas merupakan hal yang harus diperhatikan.
Kadar abu diharapkan seminimal mungkin, kadar abu yang tinggi dapat
menurunkan performa mesin seperti mengganggu aliran minyak lumas, membuat
mesin mengalami keausan dan jika dalam jumlah banyak dapat menyumbat
lubang-lubang karena timbulnya kerak pada mesin. Pembacaan dan analisa tabel 9
menunjukkan kadar abu minyak lumas jenis HVI-60 dan HVI-650 setelah
pemberian aditif hasil kopolimer cangkok karet alam dan stirena sebesar 0.01%,
dapat disimpulkan bahwa penambahan aditif tidak membuat persen kadar abu
meningkat. Hasil ini tentu diharapkan, sesuai dengan spesifikasi dari beberapa
produsen industri minyak lumas menyatakan kadar abu maksimal pada minyak
lumas sebesar 0.02%.

Derajat Keasaman
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu indikator penting dalam
pembuatan minyak lumas. Minyak lumas diharapkan tidak bersifat asam
dikarenakan dapat menyebabkan interaksi dengan logam pada mesin sehingga
terjadi pengikisan logam dan pengkaratan (korosi). Pada penelitian ini,
penambahan aditif pada minyak lumas jenis HVI-60 dan HVI-650 untuk semua
konsentrasi didapatkan nilai pH-5. Hal ini dapat diduga karena aditif yang
digunakan adalah berbasis karet alam dalam bentuk lateks pekat, lateks pekat

18

bersifat basa karena adanya penambahan bahan pengawet atau zat antikoagulan.
Zat antikoagulan sendiri berfungsi sebagai penstabil pada lateks untuk mencegah
terjadinya penggumpalan. Nilai pH-5 menujukkan bahwa minyak lumas yang
dihasilkan bersifat asam lemah mendekati netral, nilai ini tentu dapat ditoleransi
dan kemungkinan tidak akan menyebabkan pengkaratan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Material termoplastik berupa kopolimer karet alam dengan stirena yang
dihasilkan dalam penelitian ini memiliki efisiensi cangkok sebesar 56,48%.
Material tersebut difungsikan sebagai aditif. Penambahan aditif ke dalam minyak
lumas divariasikan dengan dosis 1%, 3%, dan 5%. Kopolimer karet alam-stirena
yang dapat berfungsi dengan baik sebagai peningkat indeks viskositas minyak
lumas adalah aditif dengan dosis 5%. Dengan demikian, aditif yang ditambahkan
pada minyak lumas terbukti dapat meningkatkan nilai indeks viskositas dan secara
umum melalui pengujian kadar abu, densitas, pH dan kadar logam Mg sesuai
dengan spesifikasi yang diterapkan oleh beberapa produsen minyak lumas.

Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan dilakukan usaha untuk
meningkatkan efisiensi cangkok dengan cara mencari komposisi karet alam dan
stirena yang tepat, jenis inisiator dan surfaktan yang digunakan, mengalirkan gas
nitrogen saat memulai reaksi, mengganti atau menggabungkan antara monomer
vinil lain dan melakukan penghilangan protein pada karet alam DPNR
(DeProteinized Natural Rubber). Selain itu diperlukan langkah maju untuk
meminimalkan sisa minyak lumas yang melekat pada mesin saat pembersihan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.
3.
4.

[Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2013. Ini 5 Negara Produsen
Karet Terbesar Di Dunia [internet]. [diunduh 2014 Feb 24]. Tersedia pada:
http://agro.kemenperin.go.id/1567-Ini-5-Negara-Produsen-Karet-TerbesarDi-Dunia.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan:
Karet. Jakarta (ID): Ditjenbun.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Jumlah Kendaraan
Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2012. Jakarta (ID): BPS.
Tribawati, Restu Yulia. 2009. Depolimerasi Lateks Karet Alam Secara Kimia
Menggunakan Senyawa Hidrogen Peroksida-Natrium Nitrit-Asam Askorbat
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

19

5.

6.
7.

8.

9.

10.

11.
12.
13.
14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Juniarti, Diah. 2008. Teknologi Pencangkokan Akrilat Pada Karet Alam
Menggunakan Inisiator Hidrogen Peroksida [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Iman, Chairil M. 2006. Kopolimer Karet Alam-Stirena Irradiasi sebagai Aditif
Minyak Lumas: Peningkatan Indeks Viskositas [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Iskandar, Sudrajat, Isti Marliyanti, Made Sumardi K. 2001. Studi Kopolimerasi
Stirena ke dalam Film Karet Alam (Pengaruh Dosis Radiasi dan Kadar
Monomer). Dalam: Risalah Pertemuan Ilmiah dan Pengembangan Aplikasi
Isotop dan Radiasi. Puslitbang Radiasi dan Isotop, BATAN.
Che Man, S.H, Hashim, S.A, and Akil, Md, H. 2006. Preparation and
characterization of stryrene-methyl methacrylate in deproteinized natural
rubber latex. Dalam: VIth National Symposium