Kopolimerisasi cangkok stirena dan metil metakrilat pada lateks karet alam berprotein rendah

i

KOPOLIMERISASI CANGKOK STIRENA DAN METIL
METAKRILAT PADA LATEKS KARET ALAM
BERPROTEIN RENDAH

KRISNAWATI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

25

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kopolimerisasi
Cangkok Stirena dan Metil Metakrilat pada Lateks Karet Alam Berprotein Rendah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014
Krisnawati
NIM G44100103

iv

ABSTRAK
KRISNAWATI. Kopolimerisasi Cangkok Stirena dan Metil Metakrilat pada
Lateks Karet Alam Berprotein Rendah. Dibimbing oleh ETI ROHAETI dan

SANTI PUSPITASARI.
Karet alam memiliki elastisitas yang baik tetapi tidak tahan terhadap panas
serta mengandung protein tinggi yang dapat menyebabkan alergi bagi individu
yang sensitif sehingga karet alam perlu dimodifikasi. Karet alam dimodifikasi
menjadi material elastomer termoplastik melalui kopolimerisasi cangkok karet
alam berprotein rendah dengan monomer vinil (stirena dan metil metakrilat, 1:1).
Metode yang digunakan adalah kopolimerisasi emulsi dengan ragam nisbah karet
alam terhadap monomer vinil 95:5 dan 85:15 melalui sistem semi kontinu dan
batch, dengan amonium peroksidisulfat sebagai inisiator dan sodium dodesil
sulfat sebagai surfaktan. Efisiensi dan nisbah cangkok tertinggi dihasilkan dari
kopolimer dengan nisbah yaitu 85:15 yaitu 78% dan 23% untuk sistem semi
kontinu, 84% dan 24% untuk sistem batch. Spektrum inframerah menunjukkan
kemunculan gugus fungsi baru pada bilangan gelombang 699 cm-1 untuk C-H
aromatik dari stirena dan 1729 cm-1 untuk C=O dari metil metakrilat. Perilaku
pembengkakan menunjukkan bahwa kopolimer yang diperoleh lebih sukar
membengkak karena memiliki susunan molekul yang lebih rapat.
Kata kunci: karet alam deproteinisasi, monomer vinil, kopolimerisasi cangkok

ABSTRACT
KRISNAWATI. Grafted Copolymerization of Styrene and Methyl Methacrylate

onto Deproteinized Natural Rubber. Supervised by ETI ROHAETI and SANTI
PUSPITASARI.
Natural rubber has good elasticity but not resistant to heat and contain high
protein that can cause allergy to sensitive individuals. Natural rubber should be
modified to thermoplastic elastomer through graft copolymerization of
deproteinized natural rubber with vinyl monomers (styrene and methyl
methacrylate, 1:1). The method involved was emulsion copolymerization in
various ratio of natural rubber to vinyl monomers at 95:5 and 85:15 through semicontinuous and batch systems, using ammonium peroxydisulfate as inisiator and
sodium dodecyl sulfate as surfactant. The highest grafting efficiency and the
highest ratio were resulted from copolymer synthesis at ratio of 85:15 that is 78%
and 23%, respectively for semi-continuous, 84% and 24%, respectively for batch
system. The infrared spectrum showed the emergence of new functional groups on
the wave number of 699 cm-1 for C-H aromatic of styrene and 1729 cm-1 for the
C=O of methyl methacrylate. Swelling behavior showed that all of the copolymers
were more difficult to swell due to tighter molecular structure.
Key words: deproteinized natural rubber, vinyl monomer, graft copolymerization

v

KOPOLIMERISASI CANGKOK STIRENA DAN METIL

METAKRILAT PADA LATEKS KARET ALAM
BERPROTEIN RENDAH

KRISNAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

vi

vii


Judul Skripsi : Kopolimerisasi Cangkok Stirena dan Metil Metakrilat pada
Lateks Karet Alam Berprotein Rendah
Nama
: Krisnawati
NIM
: G44100103

Disetujui oleh

Dr Eti Rohaeti, MS
Pembimbing I

Santi Puspitasari, ST
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

viii

ix

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian berjudul
“Kopolimerisasi Cangkok Stirena dan Metil Metakrilat pada Lateks Karet
Alam Berprotein Rendah” ini dilaksanakan sejak bulan April 2014 sampai
dengan Juli 2014 di Pusat Penelitian Karet Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Eti Rohaeti Azis, MS selaku
pembimbing pertama dari Departemen Kimia FMIPA IPB dan Santi Puspitasari,
ST selaku pembimbing kedua dari Pusat Penelitian Karet atas bimbingan dan
sarannya serta kepada Direktur Pusat Penelitian Karet, Dr Chairil Anwar, MSc
atas kesempatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan
kegiatan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Ibu Yati Nurhayati, Ibu Woro Andriani, Ibu Tri Haryani,
Bapak Aos Kosasih dan Bapak Jaenal yang telah banyak membantu penulis dalam
melaksanakan kegiatan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan
kepada Muhammad Lutfi Arifianto dan Muhana Nurul Hidayah yang telah
menemani berdiskusi selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Krisnawati

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi


DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2


Bahan dan Alat

3

Prosedur Penelitian

3

Karakterisasi Bahan Baku Lateks Pekat

3

Modifikasi Lateks Karet Alam

6

Karakterisasi Hasil Kopolimerisasi

7


HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik bahan baku lateks pekat

9
9

Deproteinasi lateks karet alam

10

Kopolimerisasi cangkok lateks DPNR dengan monomer vinil

11

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan


15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

RIWAYAT HIDUP

29

xi

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik bahan baku dan standar mutu lateks pekat
2 Karakteristik lateks deproteinasi
3 Efisiensi cangkok dan nisbah cangkok kopolimer
4 Perilaku swelling kopolimer

9
10
12
15

DAFTAR GAMBAR
1 Rangkaian alat kopolimerisasi cangkok.
2 Spektrum inframerah lateks segar, lateks pekat dan lateks deproteinasi.
3 Spektrum inframerah pereaksi dan produk hasil cangkok.
4 Spektrum inframerah C=O (kiri) dan C-H aromatik (kanan).
5 Krep karet alam (a), karet alam deproteinasi (b), kopolimer (c)

7
11
13
13
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Bagan alir penelitian
2 Karakteristik lateks pekat bahan baku
3 Formulasi deproteinasi dan penetapan kadar nitrogen
4 Komposisi reaksi kopolimerisasi cangkok
5 Reaksi kopolimerisasi cangkok melalui pembentukan radikal bebas
6 Penentuan konversi monomer (efisiensi cangkok dan nisbah cangkok)
7 Analisis gugus fungsi spektrum inframerah Gambar 2
8 Pengujian perilaku swelling karet alam dan kopolimer

18
19
20
21
22
25
27
28

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara penghasil karet alam (Hevea brasiliensis Muell
Arg) terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Data statistik menunjukkan
produksi karet alam Indonesia pada tahun 2012 mencapai 3,27 juta ton. Kuantitas
tersebut memberikan kontribusi terhadap produksi karet alam dunia sebesar
27,06%. Namun, tingkat konsumsi karet alam domestik masih rendah yaitu sekitar
16%, sisanya 84% menjadi komoditas ekspor. Hal ini memberikan bukti bahwa
industri barang jadi karet domestik belum berkembang dengan optimal sehingga
diversifikasi produk barang jadi karet masih terbatas. Porsi penyerapan terbesar
karet alam dimiliki oleh industri ban kendaraan bermotor mencapai 44% diikuti
oleh industri alas kaki sebesar 22%, ban vulkanisir sebesar 15%, sarung tangan
15%, dan sisanya sebesar 4% untuk industri benang karet dan peralatan karet
lainnnya (Ditjenbun 2012).
Karet alam diperlukan dalam pembuatan beraneka ragam produk dari
kebutuhan rumah tangga, peralatan medis hingga bahan untuk konstruksi, dan
transportasi karena memiliki elastisitas dan plastisitas yang baik sehingga mudah
diolah. Namun demikian, karet alam juga memiliki kelemahan, antara lain tidak
tahan terhadap panas dan oksidasi, tidak tahan terhadap pelarut hidrokarbon dan
minyak, serta memiliki kandungan protein tinggi yang dapat memicu alergi
terhadap individu yang sensitif (Ongarjnukool et al. 2012). Kelemahan karet alam
perlu diatasi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya gunanya. Salah satu
upaya untuk mengatasi kelemahan karet alam dapat dengan memodifikasi
molekulnya secara kimiawi. Teknik modifikasi kimiawi yang umum dilakukan
pada lateks karet alam diantaranya yaitu hidrogenasi, epoksidasi, deproteinisasi,
dan kopolimerisasi cangkok.
Kopolimerisasi cangkok merupakan suatu metode modifikasi dengan
menempelkan monomer termoplastik pada polimer induk yang umumnya berupa
elastomer (Bhattacharya dan Misra 2004). Teknik ini dapat menghasilkan material
yang bersifat termoplastik sekaligus elastis disebut elastomer termoplastik (TPE).
Material ini mudah dicetak dan didaur ulang sehingga tidak mencemari
lingkungan. Penelitian tentang kopolimerisasi cangkok terhadap karet alam telah
banyak dilakukan, salah satunya yaitu kopolimerisasi cangkok monomer vinil
pada karet alam untuk menghasilkan material elastomer termoplastik. Keberadaan
protein yang tinggi dalam karet alam dapat menghambat proses modifikasi dan
menyebabkan alergi bagi individu yang sensitif sehingga harus dikurangi.
Penggunaan karet alam berprotein rendah diharapkan dapat memaksimalkan
proses modifikasi dan produknya dapat digunakan oleh individu yang sensitif.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sondari et al.
(2010), elastomer termoplastik yang dihasilkan dari kopolimerisasi karet alam
fasa lateks dengan monomer vinil (stirena dan metil metakrilat) menggunakan
inisiator kalium persulfat dan amonium peroksidisulfat menunjukkan hasil
kopolimerisasi dengan efisiensi cangkok sebesar 97,6% dengan inisiator kalium
persulfat dan 90,2% dengan inisiator amonium peroksidisulfat. Sedangkan Che
Man et al. (2007) melakukan kopolimerisasi cangkok dari kombinasi stirena dan
metil metakrilat dengan karet alam terdeproteinasi dengan inisiator amonium

25

2

peroksidisulfat menghasilkan efisiensi cangkok sebesar 99%. Utama dan Wijaja
(2006) melakukan kopolimerisasi cangkok karet alam dan stirena sebagai pelapis
berbasis air dengan efisiensi cangkok sebesar 97%.
Pada penelitian ini, dipelajari reaksi kopolimerisasi cangkok dengan
monomer vinil (stirena dan metil metakrilat, 1:1) pada rantai molekul karet alam
fasa lateks yang telah dideproteinisasi dengan urea. Penambahan monomer vinil
pada rantai molekul karet alam akan meningkatkan sifat karet alam menjadi lebih
kuat, kaku, tahan terhadap oksidasi dan memiliki daya rekat yang baik, sehingga
pemanfaatan karet alam dalam industri dapat menjadi lebih luas. Kopolimer karet
alam dengan monomer vinil cocok diaplikasikan untuk perekat, pelapis, agen
kompatibiliser dalam pencampuran polimer secara fisik, aditif minyak lumas
untuk peningkat indek viskositas dan industri alas kaki (sol sepatu).
Kopolimerisasi ini menggunakan teknik emulsi yang menerapkan mekanisme
radikal bebas dengan sistem semi kontinu dan batch. Keunggulan dari teknik
emulsi ini ialah mampu memadukan 2 fase cair yang tidak saling larut, biaya
rendah, dan ramah lingkungan. Dengan demikian pada akhir penelitian diharapkan
dapat diketahui kondisi reaksi kopolimerisasi cangkok terbaik yang ditentukan
berdasarkan karakterisasi sifat kopoli karet alam terdeproteinasi-stirena/metil
metakrilat (poliisoprena-g-stirena/metil metakrilat).

METODE
Lateks karet alam yang digunakan dalam penelitian ini berupa latek pekat
kadar amonia tinggi. Bahan ini dikarakterisasi terlebih dahulu sesuai dengan
syarat mutu lateks pekat meliputi pengujian Kadar Jumlah Padatan (KJP), Kadar
Karet Kering (KKK), viskositas, alkalinitas (kadar NH3), Waktu Kemantapan
Mekanik (WKM), dan kadar nitrogen serta FTIR. Lateks selanjutnya
dideproteinasi menggunakan urea. lateks karet alam terdeproteinisasi
(Deproteinized Natural Rubber) dikarakterisasi sifatnya meliputi pengujian kadar
nitrogen dan FTIR. Lateks deproteinasi dengan kadar nitrogen terendah digunakan
dalam reaksi kopolimerisasi cangkok. Reaksi kopolimerisasi cangkok dijalankan
dengan penambahan inisator Amonium Peroksidisulfat (APS) dan surfaktan
Sodium Dodesil Sulfat (SDS). Kopolimer yang diperoleh diakhir reaksi diuji sifat
kimianya meliputi pengujian konversi monomer (efisiensi cangkok dan nisbah
komposisi cangkok), FTIR, dan perilaku pembengkakan (swelling test). Bagan alir
penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai Juli 2014 di
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Pusat Penelitian Karet berlokasi di Jalan
Salak Nomor 1 Bogor 16151.

3

Bahan dan Alat
Bahan utama dalam penelitian ini adalah lateks pekat kadar amonia tinggi
(KKK 60%), campuran monomer vinil (stirena dan metil metakrilat), urea sebagai
basa penghidrolisis protein. Sedangkan bahan pembantu terdiri atas surfaktan
berupa Sodium Dodesil Sulfat (SDS), inisiator Amonium Peroksidisulfat (APS),
akuades, pereaksi untuk karakterisasi sifat kimia dan fisika (aseton dan etil metil
keton), sikloheksana, HCl, H2SO4, NaOH, dan H3BO3.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat kaca, labu
leher tiga, hot plate, pengaduk magnet, neraca analitik, radas soxhlet, mantel
pemanas, oven, termometer, desikator, viskometer Brookfield, mesin giling karet
(Creeper), dan spektrometer FTIR.

Prosedur Penelitian

Karakterisasi Bahan Baku Lateks Pekat
Lateks karet alam yang digunakan dalam penelitian ini berupa lateks pekat
kadar amonia tinggi. Bahan ini dikarakterisasi terlebih dahulu sesuai dengan
syarat mutu lateks pekat meliputi pengujian Kadar Jumlah Padatan (KJP), Kadar
Karet Kering (KKK), viskositas, alkalinitas (kadar NH3), Waktu Kemantapan
Mekanik (WKM), dan kadar nitrogen serta FTIR.

Penentuan Kadar Jumlah Padatan (ASTM D1076-06)
Lateks ditimbang sebanyak 2,5 ± 0,5 g ke dalam cawan yang telah diketahui
bobot kosongnya (W1). Setelah itu, ditambahkan akuades 1 mL dan digoyang
hingga rata. Cawan berisi lateks dimasukkan ke dalam oven suhu 100 ± 2 ˚C,
dibiarkan selama 2 jam lalu didinginkan di dalam desikator. Cawan berisi film
kering ditimbang hingga bobot tetap dengan perbedaan berat tidak lebih dari 1 mg
(W2). Penetapan ini dikerjakan 2 kali ulangan dengan perbedaan hasil tidak lebih
dari 0,15%. Kadar jumlah padatan adalah rata-rata hasil dua kali pengerjaan.
Perhitungan:
Kadar Jumlah Padatan (KJP %) =

100%

Keterengan:
W1 = Bobot contoh (g)
W2 = Bobot padatan kering (g)

Penentuan Kadar Karet Kering (ASTM D1076-06)
Contoh lateks ditimbang 5 g (ketelitian 1 mg) ke dalam gelas piala (W).
Aseton ditambahkan sambil diaduk hingga terbentuk gumpalan sempurna ditandai
dengan terbentuknya cairan yang jernih. Gumpalan digiling 5 kali hingga

4

terbentuk krep, penggilingan dilanjutkan agar tebal krep maksimum 2 mm. Krep
dikeringkan di dalam oven suhu 70 ˚C hingga tidak terdapat bintik-bintik putih.
Krep yang telah kering didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang.
Pengeringan dan penimbangan diulangi sampai bobot tetap (WK) dengan
perbedaan berat tidak lebih dari 1 mg. Penetapan dilakukan 2 kali ulangan dengan
perbedaan hasil tidak lebih dari 0,2%. Hasil dari KKK adalah rata-rata dari 2 kali
ulangan tersebut.
Perhitungan:
KKK (%) =
Keterangan:
KKK : Kadar karet kering (%)
WK : bobot krep kering (g)
W
: bobot contoh (g)

Penentuan Total Alkalinitas (Kadar NH3) (ASTM D1076-06)
Contoh berupa lateks kira-kira 5 g dimasukkan ke dalam botol timbang lalu
ditimbang dengan ketelitian 1 mg (W1). Lateks dituangkan ke dalam Erlenmeyer
berisi akuades 300 mL. Botol timbang berisi lateks sisa ditimbang kembali (W2),
perbedaan bobot botol timbang adalah bobot contoh (W). Selanjutnya lateks
dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator metil merah hingga terjadi perubahan
warna dari kuning menjadi jingga. Alkalinitas dihitung sebagai gram NH3 per 100
gram lateks sebagai berikut:
Total alkalinitas dihitung sebagai % NH3 dalam fasa lateks
= (1,7 V N) / W
Keterangan:
N = Normalitas larutan HCl (N)
V = Volume HCl 0,1 N yang dibutuhkan (mL)
W = Bobot contoh (g) = (W1-W2).

Penentuan Waktu Kemantapan Mekanik (ASTM D1076-06)
Lateks ditimbang sebanyak 100 g lalu dihomogenkan ke dalam Erlenmeyer
250 mL. Kadar jumlah padatan diturunkan menjadi 55 ± 0,2% dengan cara
ditambahkan larutan amonia 1,6% (KJP bahan ditentukan terlebih dahulu). Lateks
dipanaskan di atas penangas air hingga suhu 36-37 ˚C. Lateks tersebut disaring
dengan penyaring 80 mesh ke dalam wadah hingga diperoleh 80 g hasil saringan.
Wadah berisi lateks diletakkan pada alat pengaduk listrik bersuhu 35 ˚C, diaduk
dengan kecepatan 14000 ±200 rpm. Tiap 15 detik sambil tetap diaduk, sampel
diambil dengan ujung pengaduk lalu dimasukkan ke dalam pinggan petri yang
telah berisi air, diamati hingga terbentuknya flokulat berupa bintik-bintik putih
yang tidak pecah oleh goyangan. Waktu akhir dari pengamatan dicatat dalam
satuan detik. Penentuan dilakukan 2 kali (duplo) dengan perbedaan hasil tidak

5

lebih dari 5%. Waktu pemantapan mekanik (WKM) ditentukan dari rata-rata 2
kali ulangan tersebut. (Pengujian tidak lebih dari 24 jam).
Perhitungan:
Volume larutan amonia yang ditambahkan (V)

WKM = sesuai dengan waktu yang ditunjukkan saat akhir pengamatan,
dinyatakan dalam detik).

Penentuan viskositas dengan viskometer Brookfield (BSN 1998)
Viskometer dihubungkan ke sumber listrik, kemudian dipasang spindel yang
sesuai dengan kekentalan lateks yaitu spinder nomor 1. Spindel dicelupkan ke
dalam contoh yang akan diukur, lalu ketinggian viskometer diatur sampai spindel
tercelup seluruhnya (jarum dipastikan berada pada posisi nol). Kecepatan
viskometer diatur (60 rpm), kemudian pengukuran dilakukan dengan menekan
tombol ON. Spindel dibiarkan berputar selama kira-kira 30 detik untuk
menghasilkan viskositas yang tepat. Setelah jarum penunjuk stabil, tombol
penjepit ditekan agar jarum tidak berubah posisi. Alat dimatikan dengan
memindahkan posisi ON ke OFF. Kemudian skala angka yang ditunjukkan
dicatat, dan dikalikan dengan faktor pengali atau faktor konversi yang disesuaikan
dengan kecepatan spindel dan nomor spindel yang digunakan yaitu satu. Setelah
pengukuran selesai, spindel dinaikkan dengan memutar tuas pengatur ketinggian
viskometer. Spindel dilepaskan dari alat (jarum dipastikan kembali berada pada
posisi nol). Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.

Penetapan Kadar Nitrogen (ISO 1656: 2006)
Contoh ditimbang sebanyak ±0,1 g (ketelitian 0,1 mg), dimasukkan ke
dalam labu Kjeldahl. Sebanyak 0,65 g katalis selenium dan 3-5 mL asam sulfat
pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian campuran dididihkan
perlahan sampai timbul warna hijau atau jernih biasanya diperlukan waktu sekitar
2 jam, lalu didinginkan dan ditambahkan akuades. Larutan dipindahkan ke dalam
alat destilasi dan dibilas dua atau tiga kali dengan 3 mL akuades. Alat destilasi
sebelumnya dialiri uap selama 30 menit. Kemudian ditambahkan 10 mL NaOH
67% dan dibilas dengan akuades 5 mL. Asam borat dimasukkan sebanyak 10 mL
dan ditambahkan indikator Conway 2-3 tetes ke dalam labu penampung 250 mL.
Labu diletakkan sedemikian rupa sehingga ujung kondensor tercelup di bawah
permukaan larutan asam borat. Uap air dialirkan melewati alat destilasi selama 5
menit (mulai saat itu destilat mulai keluar). Labu penampung diturunkan sehingga
ujung kondensor tepat di atas larutan asam borat dan destilasi dilanjutkan hingga
diperoleh destilat ±100 mL. Lalu ujung kondensor dibilas dengan akuades.
Selanjutnya labu berisi destilat dititrasi dengan larutan H2SO4 0,01 N dengan

6

buret 10 mL sampai warna berubah dari kuning menjadi jingga, volume titrasi
dicatat sebagai Vc (mL). Blangko juga dititrasi dengan cara yang sama dan dicatat
volume titrasinya sebagai Vb (mL).
Perhitungan:
Kadar Nitrogen (%) =

Modifikasi Lateks Karet Alam
Lateks yang telah dikarakterisasi selanjutnya dideproteinasi menggunakan
urea kemudian lateks karet alam terdeproteinisasi (Deproteinized Natural Rubber)
dikarakterisasi sifatnya meliputi pengujian kadar nitrogen dan FTIR. Hasil analisis
FTIR karet alam terdeproteinisasi dibandingkan dengan spektrum FTIR karet
alam dan lateks karet alam pekat. Lateks dengan kadar nitrogen terendah
digunakan dalam reaksi kopolimerisasi cangkok. Reaksi kopolimerisasi cangkok
dijalankan dengan penambahan inisiator Amonium Peroksidisulfat (APS) dan
surfaktan Sodium Dodesil Sulfat (SDS).
Deprotenisasi Lateks Karet Alam (Kawahara and Chaikumpollert 2012)
Lateks pekat (KKK 57,19%) ditimbang 600 g lalu ditambah urea dan 1%
(b/b) larutan Sodium Dodesil Sulfat (SDS). Konsentrasi urea ditetapkan sebesar
0,05%; 0,075%; dan 0,1% (b/b) terhadap bobot lateks. Campuran lateks dengan
urea dan surfaktan diinkubasi pada suhu 30oC selama 1,5 jam. Lateks pekat yang
telah diinkubasi selanjutnya diencerkan dengan penambahan 1% (b/b) larutan
surfaktan hingga KKK lateks menjadi 30%. Pemisahan lateks terdeproteinisasi
dengan fasa air (sisa urea dan protein terikat urea) dilakukan dengan teknik
sentrifugasi sebanyak 2 kali. Kadar nitrogen lateks terdeproteinsasi selanjutnya
ditentukan untuk menghitung penurunan kadar protein dalam lateks karet alam
terdeproteinasi. Lateks terdeproteinasi dengan spesifikasi terbaik akan digunakan
sebagai bahan baku pembuatan elastomer termoplastik.

Kopolimerisasi Cangkok Lateks Karet Alam Terdeproteinsasi dengan
Campuran Monomer (Stirena dan Metil Metakrilat)
(Sondari et al. 2010 dan Charmondusit 1998)
Kopolimerisasi cangkok dilakukan dengan 2 sistem polimerisasi emulsi,
yaitu sistem semi kontinu dan batch. Nisbah karet alam terhadap stirena dan metil
metakrilat ditetapkan pada 95:5 dan 85:15. Sedangkan nisbah stirena terhadap
metil metakrilat diatur pada 1:1.
Sistem semi kontinu (SK): Lateks deproteinisasi sebanyak 50 gram dituangkan
ke dalam reaktor, diencerkan dengan akuades hingga KKK 20% dan ditambah
1% b/b surfaktan SDS. Selanjutnya ke dalam reaktor dialirkan gas N2 selama 30
menit disertai pengadukan oleh pengaduk magnet dengan kecepatan 300 rpm
untuk mendesak keluar gas O2. Keberadaan oksigen akan menonaktifkan radikal
bebas. Inisiator APS 1% (b/b) ditambahkan ketika suhu campuran telah mencapai

7

suhu reaksi yang ditetapkan 70oC selama 6 jam. Campuran stirena dan metil
metakrilat ditambahkan ke dalam reaktor tetes demi tetes sebanyak 2,6316 g
untuk nisbah 95:5 dan 8,8235 g untuk 85:15.
Sistem batch: Semua bahan (surfaktan SDS dan campuran monomer) dimasukkan
ke dalam lateks lalu ke dalam reaktor dialirkan gas N2 selama 30 menit disertai
dengan pengadukan 300 rpm untuk mendesak keluar gas O2. Inisiator APS 1%
(b/b) ditambahkan ketika suhu campuran telah mencapai suhu reaksi yang
ditetapkan 70oC selama 6 jam. Rangkaian alat kopolimerisasi cangkok disajikan
pada Gambar 1.

Gambar 1 Rangkaian alat kopolimerisasi cangkok.
Setelah reaksi kopolimerisasi cangkok selesai, lateks digumpalkan menggunakan
aseton. Gumpalan karet yang diperoleh selanjutnya digiling menjadi berbentuk
krep. Karet krep dikeringkan dalam oven pada suhu 70oC.

Karakterisasi Hasil Kopolimerisasi
Kopolimer yang diperoleh diakhir reaksi diuji sifat kimianya meliputi
pengujian konversi monomer (efisiensi cangkok dan nisbah komposisi cangkok),
FTIR, dan uji perilaku pembengkakan (swelling test).

Pengujian Konversi Monomer (Charmondusit et al 1998)
Konversi monomer dalam reaksi dapat diketahui dari persen efisiensi dan
nisbah cangkok. Sebelum ditentukan persen efisiensi dan nisbah cangkok, contoh
hasil kopolimerisasi diekstraksi terlebih dahulu. Contoh sebanyak 5 g (W1)
disiapkan dalam kertas saring dibentuk timbel lalu dimasukkan ke dalam radas
soxhlet. Reaksi soxhletasi selama 24 jam dengan pelarut aseton : etil metil keton
(1:1). Hasil kopolimerisasi yang telah diekstraksi dikeringkan dalam oven pada
suhu 50 ˚C lalu ditimbang (W2).
Perhitungan:
Bobot contoh HK
= W1
Bobot sampel setelah ekstraksi = W2
Bobot MV tidak tercangkok
= W1 – W2

8

Bobot MV awal

= bobot stirena bobot MMA yang
ditambahkan saat reaksi

Bobot MV tercangkok=
FK (Faktor Koreksi)
*MV (Monomer Vinil)
HK (Hasil Kopolimerisasi)

=

Pengujian FTIR
Produk elastomer termoplastik diuji spektrum inframerah dengan
spektrofotometer FTIR. Alat ini bekerja berdasarkan energi vibrasi molekul
apabila disinari oleh laser. Pembacaan spektrum akan diketahui intensitas serapan,
bilangan gelombang, gugus fungsional dan jenis ikatan. Uji FTIR dilakukan untuk
memastikan hasil kopolimer lateks karet alam-stirena/metil metakrilat telah
terbentuk. Instrumen yang digunakan adalah FTIR merk Nicolet iS5 produk
Thermo Scientific pada rentang bilangan gelombang 4000-400 cm-1 dan perangkat
lunak OMNIC untuk pembacaan dan analisis.

Uji Perilaku Pembengkakan (Swelling test)
Kopolimer hasil ekstraksi dipipihkan dengan mesin penggiling hingga
ketebalan 0,2 mm lalu dipotong membentuk lingkaran dengan diameter 4 cm dan
ditimbang (Wo). Potongan tersebut direndam dalam sikloheksana hingga tercelup
seluruhnya selama 75 menit, lalu ditimbang kembali (Wi). Kemudian ditentukan
nilai swelling rasio dan swelling indeks.
Perhitungan:
Swelling rasio =
Swelling indeks =

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik bahan baku lateks pekat
Tabel 1 Karakteristik bahan baku dan standar mutu lateks pekat
Parameter pengujian
Kadar Jumlah Padatan (KJP) ,%
Kadar Karet Kering (KKK) ,%
Selisih KJP dan KKK (%), maks
Kadar alkalinitas (%), min
Kekentalan (cP), maks
Waktu Kemantapan Mekanik (det), min

Bahan lateks
pekat
58,95
57,19
1,76
0,59
37,00
1185

Syarat mutu
lateks pekat
61,50
60,00
2,00
0,60
50,00
650

Hasil karakterisasi bahan baku lateks pekat meliputi penentuan kadar karet
kering (KKK), kadar jumlah padatan (KJP), kadar alkalinitas (amonia), waktu
kemantapan mekanik (WKM), dan viskositas disajikan dalam Tabel 1 dan
Lampiran 2. Nampak bahwa mutu bahan baku lateks belum memenuhi syarat
mutu lateks pekat yang baik berdasarkan SNI 06-3139-1992 untuk lateks pekat
kadar amonia tinggi. Nilai KKK dan KJP masih berada di bawah standar mutu.
Nilai KKK menunjukkan jumlah karet yang terdapat dalam lateks sedangkan KJP
menunjukkan total padatan dalam lateks. Nilai KKK dan KJP dipengaruhi oleh
umur tanaman dan kondisi geografis tanaman karet yang disadap. Selisih KJP dan
KKK menyatakan jumlah bahan non karet yang terdapat dalam lateks, bahan non
karet ini umumnya berupa pengotor. Lateks yang digunakan memiliki selisih KJP
dan KKK yang berada di bawah batas maksimal standar mutu, artinya kandungan
bahan non karet (pengotor) dalam lateks ini masih memenuhi standar mutu. KKK
yang rendah kemungkinan juga dipengaruhi oleh efisiensi mesin sentrifugasi
pengolah lateks kebun menjadi lateks pekat yang rendah, akibatnya tidak dapat
memisahkan karet dengan air dalam lateks dengan optimal.
Kadar alkalinitas lateks dinyatakan oleh kadar amonia yang terkandung di
dalamnya. Menurut Triwijoso dan Siswantoro (2008), amonia digunakan sebagai
pengawet agar lateks tetap dalam kondisi cair dengan cara meningkatkan pH dan
menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri (bakterisida). Kadar amonia
lateks ini belum memenuhi standar mutu lateks pekat kadar amonia tinggi karena
berada di bawah batas minimum kadar yang diharapkan. Penurunan kadar amonia
dalam lateks kemungkinan disebabkan karena penguapan amonia selama masa
penyimpaan lateks pekat.
Viskositas berhubungan dengan kerapatan partikel dalam suatu zat. Lateks
dengan viskositas yang baik memiliki partikel karet cenderung stabil pada
posisinya karena sulit untuk bertumbukan dengan partikel lain dan membentuk
partikel yang lebih besar (menggumpal). Nilai viskositas yang dihasilkan masih
berada di bawah batas maksimal standar mutu (Tabel 1), artinya viskositas lateks
sudah baik. Selain itu, waktu kemantapan mekanik (WKM) yang dimiliki lateks
juga baik karena melebihi batas minimal syarat mutu lateks pekat yang baik.

10

Waktu kemantapan mekanik (WKM) menunjukkan waktu ketahanan lateks
terhadap pengaruh mekanik (misal pengadukan), seperti ketahanan untuk
menggumpal (koagulasi). Dengan nilai WKM yang tinggi diharapkan lateks tidak
mengalami koagulasi ketika direaksikan dengan monomer vinil sehingga reaksi
kopolimerisasi cangkok berlangsung dengan baik.

Deproteinasi lateks karet alam
Karet alam mengandung protein yang memiliki potensi alergi bagi
konsumen atau pengguna produk karet yang sensitif (Tanaka et al. 1996) serta
dapat menghambat kemampuan modifikasi karet alam karena dapat menghalangi
zat modifier langsung menuju ke pusat reaksi (molekul poliisoprena) (Gelling
1991) dan sebagai penangkap radikal bebas (radical scavenger). Untuk
meminimalisir hambatan tersebut serta memaksimalkan proses modifikasi lateks
maka dilakukan deproteinasi terlebih dahulu terhadap bahan baku lateks. Nitrogen
dalam lateks berasal dari protein sehingga dapat mewakili besarnya kadar protein
dengan perkiraan faktor koreksi 6,25 (BSN 2000). Lateks dengan kadar nitrogen
yang terendah selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pada reaksi
kopoloimerisai cangkok (Lampiran 3).
Tabel 2 Karakteristik lateks deproteinasi
Lateks deproteinasi
Parameter
0,05%
0,075%
0,10%
KJP (%)
65,36
63,9
63,66
KKK (%)
63,88
61,67
62,38
Selisih KJP dan KKK
1,48
2,23
1,28
Kadar Nitrogen (%)
0,06
0,26
0,09
Kadar Protein
0,38
1,63
0,56

Lateks
58,95
57,19
1,76
0,23
1,44

Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa lateks deproteinasi dengan
penambahan urea 0,075% mengalami peningkatan kadar nitrogen dibandingkan
lateks bahan baku. Peningkatan kadar nitrogen tersebut diduga karena proses
pemisahan sisa urea yang tidak sempurna pada saat sentrifugasi sehingga nitrogen
dari urea ikut terhitung sebagai kadar nitrogen. Lateks deproteinasi dengan
konsentrasi urea sebesar 0,05% dan 0,1% menghasilkan penurunan kadar nitrogen
yang cukup signifikan. Penurunan kadar nitrogen yang paling besar ialah lateks
dengan penambahan urea 0,05% terhadap bobot lateks yang digunakan.
Penambahan urea ke dalam lateks mengakibatkan terbentuknya ikatan hidrogen
antara protein dan urea, kemudian protein terpisah dari partikel karet dengan
bantuan surfaktan sebagai agen penurun tegangan permukaan antara partikel karet
dan protein. Hasil ini lebih efektif bila dibandingkan dengan penggunaan enzim
yang harus dilakukan dalam sistem batch serta memerlukan kontrol suhu yang
ketat dan waktu inkubasi yang panjang (Yapa 1975). Selain itu, nilai selisih KJP
dan KKK juga masih memenuhi standar mutu yang baik, sehingga untuk tahap
selanjutnya pada reaksi kopolimerisasi cangkok digunakan lateks deproteinasi
yang diperoleh dengan dosis urea sebesar 0,05% sebagai bahan baku.

11

0 Lateks segar
0
0
0

0 Latek Pekat

0

0
0 Deproteinasi
0
0
0
000

3500

3000

2500

2000

1500

1000

500

Wavenumbers (cm-1)

07
Gambar 2 Spektrum inframerah
lateks segar, lateks pekat dan lateks deproteinasi.

Spektrum pada Gambar 2 merupakan spektrum inframerah lateks karet alam
segar, lateks karet alam pekat, dan karet alam terdeproteinisasi. Pada spektrum
inframerah lateks karet alam segar tampak pita serapan yang tajam pada bilangan
gelombang sekitar 3292 cm-1 milik gugus amina N-H, 1545 cm-1 milik gugus NH, dan serapan C=O amida pada 1652 cm-1 (Pavia et al. 2009) yang terdapat pada
struktur rantai molekul protein. Selanjutnya pada spektrum inframerah lateks karet
alam pekat, tidak dijumpai pita serapan pada panjang gelombang 3292 cm -1 dan
1652 cm-1 tetapi masih terdapat serapan pada bilangan gelombang 1540 cm-1
dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan spektrum inframerah
lateks karet alam segar. Hal ini diperkirakan karena ikatan N-H pada bilangan
gelombang 3292 cm-1 lebih lemah daripada pada bilangan gelombang 1540 cm-1
sehingga dapat hilang ketika proses pemekatan lateks karet alam segar menjadi
lateks karet alam pekat. Faktor ini yang mendasari pemilihan lateks karet alam
pekat sebagai bahan baku dalam modifikasi karet dibandingkan lateks karet alam
segar. Ikatan N-H pada bilangan gelombang 1540 cm-1 yang lebih kuat hanya
dapat diputus dengan proses deproteinisasi. Spektrum inframerah pada karet alam
terdeproteinisasi sudah tidak memiliki pita serapan pada bilangan gelombang
1540 cm-1 sehingga membuktikan bahwa ikatan N-H pada bilangan gelombang
tersebut hanya dapat diuraikan dengan teknik deproteinisasi secara hidrolisis urea
yang dilanjutkan dengan pencucian menggunakan mesin sentrifugasi.

Kopolimerisasi cangkok lateks DPNR dengan monomer vinil (stirena dan
metil metakrilat)
Kopolimerisasi cangkok dalam penelitian ini berlangsung secara
polimerisasi emulsi dengan komposisi sesuai Lampiran 4 dan mengikuti
mekanisme radikal bebas yang terdiri dari 3 tahapan reaksi, meliputi inisiasi,
propagasi dan terminasi (Lampiran 5). Menurut Odian (1991), polimerisasi emulsi
merupakan proses polimerisasi yang digunakan untuk beberapa reaksi
polimerisasi radikal bebas antara 2 fase cairan yang tidak saling larut. Proses

12

polimerisasi ini melibatkan polimerisasi monomer dalam bentuk emulsi sehingga
proses polimerisasi mudah dikontrol. Syarat agar polimerisasi ini dapat
berlangsung ialah adanya monomer, air, inisiator yang larut dalam air, dan
surfaktan. Reaksi kopolimerisasi dijalankan dengan dua sistem, yaitu sistem semi
kontinu dan batch. Sistem semi kontinu (SK) adalah sistem polimerisasi dengan
penambahan bahan ke suatu wadah secara bertahap sedangkan sistem batch
semua bahan dicampur langsung dalam satu wadah (Budianto et al. 2008). Hasil
kopolimerisasi dibuat dalam bentuk krep dan ditentukan persen konversi
monomer meliputi efisiensi dan nisbah cangkok (Lampiran 6).
Ukuran keberhasilan kopolimerisasi ini dapat dilihat dari persen efisiensi
dan nisbah cangkok. Efisiensi cangkok merupakan perbandingan antara bobot
monomer vinil tercangkok dengan bobot monomer vinil mula-mula. Efisiensi
cangkok yang dihasilkan pada sistem semi kontinu dan batch relatif sama yaitu
berada pada kisaran 77-84% (Tabel 3). Namun, bila ditinjau dari masing-masing
sistem tersebut, dapat dilihat bahwa nisbah 85:15 merupakan nisbah dengan
efisiensi yang paling tinggi. Pada sistem semi kontinu, efisiensi cangkok nisbah
85:15 lebih tinggi sebesar 0,34% dibandingkan nisbah 95:5, sedangkan pada
sistem batch diperoleh perbedaan sebesar 3,77% antara nisbah 85:15 dan 95:5.
Nisbah cangkok adalah perbandingan antara bobot monomer vinil yang
tercangkok dengan bobot karet alam. Nilai ini menunjukkan seberapa besar bagian
karet alam yang berhasil dicangkok oleh monomer vinil. Berdasarkan Tabel 3,
baik sistem semi kontinu maupun batch dapat dilihat bahwa nisbah cangkok
kopolimer nisbah 85:15 lebih tinggi dibandingkan 95:5 dengan perbedaan sebesar
16,03% untuk sistem semi kontinu dan 17,47% untuk batch. Hal ini karena
semakin meningkat konsentrasi monomer maka akan semakin tinggi pula nisbah
cangkok yang dihasilkan.
Tabel 3 Efisiensi cangkok dan nisbah cangkok kopolimer
Sistem reaksi
Semi kontinu
Batch

Karet alam : Monomer
95:5
85:15
95:5
85:15

Efisiensi
cangkok (%)

Nisbah
cangkok (%)

77,75
78,09
79,84
83,61

6,82
22,85
6,99
24,46

13

0 Karet alam
0
0 Stirena
0

0 Metil Metakrilat
0
0 95:5 SK
0

85:15 SK
0
0
0 95:5 Batch
0
0 85:15 Batch
0
3500

3000

2500

2000

1500

1000

Wavenumbers (cm-1)

Gambar 3 Spektrum inframerah pereaksi dan produk hasil cangkok.
7:0
Karet alam
8
6

0 Stirena

0

Metil metakrilat

0

95:5 SK
8

6

85:15 SK
5

8 95:5 Batch
6
4

85:15 Batch
5

1000

0
800

1700

1600

Wavenumbers (cm-1)

ction time: Tue Jul 08 11:59:40 2014 (GM

Gambar 4 Spektrum inframerah C=O (kiri) dan C-H aromatik (kanan).

Keberhasilan kopolimerisasi cangkok juga dapat dilihat melalui analisis
spektrum inframerah (Lampiran 7). Hal ini dapat dilakukan dengan cara
membandingkan spektrum pereaksi berupa karet alam, stirena, dan metil
metakrilat dengan produk (Gambar 3). Sampel hasil kopolimerisasi yang
dianalisis dengan FTIR telah diekstraksi terlebih dahulu menggunakan aseton:etil
metil keton (1:1). Ekstraksi ini bertujuan memisahkan monomer vinil yang tidak

14

tercangkok ke dalam karet alam sehingga kemunculan gugus fungsi baru dalam
sampel hasil kopolimer dapat membuktikan telah terjadinya proses cangkok.
Karakteristik karet alam dapat dilihat pada bilangan gelombang 1663 cm -1
milik vibrasi ulur C=C dari unit poliisoprena, 834 cm-1 milik vibrasi tekuk =C-H,
1375 cm-1, dan 1450 cm-1 milik vibrasi tekuk C-H serta adanya bilangan
gelombang 2850 cm-1 dan 3000 cm-1 milik vibrasi regangan C-H. Karakteristik
stirena dapat dilihat pada bilangan gelombang 3000 cm-1 milik vibrasi regangan
C-H, 1629 cm-1 dan 1600 cm-1 milik vibrasi regang C=C, 772-693 cm-1 milik
aromatik monosubstitusi, 1000-900 cm-1 milik =C-H vinil, dan 1493 cm-1 milik
C=C aromatik. Sedangkan untuk metil metakrilat dapat dilihat pada 2954 cm-1
milik C-H, 1719 cm-1 milik C=O terkonjugasi α,β C=C, dan 1638 cm-1 untuk
serapan C=C (Pavia et al. 2009). Sesudah cangkok, pada produk (hasil kopolimer
cangkok) muncul bilangan gelombang 699 cm-1 dan 1729 cm-1 yang sebelumnya
tidak dimiliki oleh karet alam. Bilangan gelombang 699 cm-1 merupakan vibrasi
senyawa aromatik monosubtitusi yang dimiliki oleh stirena dan bilangan
gelombang 1729 cm-1 merupakan C=O terkonjugasi α,β C=C yang berasal dari
metil metakrilat, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kopolimer yang
berhasil menunjukkan keberadaan gugus fungsi baru dari monomer vinil yang
ditambahkan adalah kopolimer 85:15 SK dan 85:15 batch. Sedangkan untuk
kopolimer 95:5 SK dan 95:5 batch terlihat sama dengan spektrum karet alam
sebelum perlakuan baik karet alam biasa maupun yang telah dideproteinasi. Hal
ini disebabkan karena konsentrasi monomer vinil cukup rendah sehingga
intensitasnya juga rendah.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 5 Krep karet alam (a), karet deproteinasi (b), kopolimer 95:5 SK (c),
kopolimer 95:5 batch (d), kopolimer 85:15 SK (e), dan kopolimer 85:15 batch (f).
Pengamatan secara visual dari Gambar 5 juga menunjukkan perbedaan
penampakan antara karet alam asli (sebelum kopolimerisasi) dengan setelah
kopolimerisasi yang menandakan telah terjadinya modifikasi terhadap tampilan
fisik karet alam. Karet alam hasil kopolimerisasi dengan nisbah 85:15 memiliki

15

warna lebih terang, tekstur yang lebih kaku, keras dan lebih rapat, berbeda halnya
dengan nisbah 95:5 yang masih mirip dengan karet alam asli karena konsentrasi
yang kecil. Adanya penambahan gugus fungsi baru mempengaruhi struktur karet
alam sehingga teksturnya menjadi lebih kaku, keras dan rapat.
Keberhasilan pembentukan kopolimer dapat juga dilihat dari perilaku
pengembangan (swelling rasio dan swelling indeks) (Tabel 4 dan Lampiran 8).
Keduanya menunjukkan ketahanan polimer terhadap pelarut tertentu. Swelling
indeks merupakan perbandingan antara bobot awal dan akhir sampel. Swelling
indeks yang semakin kecil menunjukkan bahwa sampel mengalami
pembengkakan yang besar daripada sebelumnya. Pada Tabel 4, dapat kita ketahui
bahwa nilai swelling indeks karet kopolimer lebih besar dibandingkan dengan
karet sebelum perlakuan kopolimerisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan
membengkak karet kopolimer lebih lemah dibandingkan karet sebelum perlakuan.
Karet yang sudah dikopolimerisasi cangkok dengan monomer vinil akan memiliki
susunan molekul yang lebih rapat akibatnya molekulnya menjadi lebih sukar
bergerak, sehingga ketika terdapat molekul dari pelarut yang lebih kecil, karet
alam kopolimer lebih sukar membengkak.
Tabel 4 Perilaku swelling kopolimer
Swelling rasio(%) Swelling indeks(%)
Sampel
L-DPNR
88,63
11,37
95:5 SK
75,85
24,15
85:15 SK
81,65
18,35
95:5 Batch
78,17
21,83
85:15 Batch
88,06
11,94

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Modifikasi karet alam menjadi material elatomer termoplastik kopoli karet
alam-stirena/metil metakrilat (poliisoprena-g-stirena/metil metakrilat) berhasil
dibuat. Efisiensi dan nisbah cangkok yang terbaik dimiliki oleh kopolimer dengan
nisbah karet alam terhadap monomer vinil (stirena dan metil metakrilat, 1:1)
sebesar 85:15 yaitu 78% dan 23% untuk sistem semi kontinu, 84% dan 24% untuk
sistem batch. Spektrum inframerah menunjukkan kemunculan gugus fungsi baru,
pada bilangan gelombang 699 cm-1 untuk C-H yang dimiliki oleh stirena dan 1729
cm-1 yang merupakan C=O untuk metil metakrilat, memiliki tekstur yang lebih
keras, rapat dan kaku serta kemampuan membengkak (swelling) yang lebih rendah
dari karet alam asli.

16

Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan mengatur komposisi lateks terhadap
monomer (stirena dan metil metakrilat) lebih tinggi dari 85:15, memvariasikan
perbandingan stirena terhadap metil metakrilat selain 1:1, dan mengatur
keseragaman kecepatan tetes monomer serta memperhatikan proses
penggumpalan dengan acuan penurunan pH lateks menjadi 5. Untuk
mengkonfirmasi terbentuknya poliisoprena-g-stirena/metil metakrilat perlu
dilakukan uji tambahan meliputi sifat termal (DSC, TGA), morfologi permukaan
(SEM), serta kopoliomer yang diperoleh diaplikasikan dalam pembuatan kompon
dan vulkanisat karet kemudian diuji sifat mekaniknya (elastisitas, kekerasan).

DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society Testing and Material. 2010. ASTM D1076-06:
Standard Specification for Rubber-Concentrated, Ammonia Preserved,
Creamed, and Centrifuged Natural Latex. West Conshohocken (US): ASTM
International.
Bhattacharya A, BN Misra. 2004. Grafting: a versatile means to modify polymers
techniques, factors, and applications. Prog. Polym. Sci. 29: 767–814.
[BSN] Badan Standar Nasional. 1992. SNI 06-3139-1992: Lateks pekat karet
alam pusingan dan dadih tipe pengawet ammonia. Jakarta (ID): Badan
Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standar Nasional. 1998. SNI 06-4558-1998: Cara uji viskositas
larutan karboksimetil selulosa. Jakarta (ID): Badan Standar Nasional.
[BSN] Badan Standar Nasional. 2000. SNI 06-1903-2000: Standard Indonesian
Rubber (SIR). Jakarta (ID): Badan Standar Nasional.
Budianto E, Noverra MN, Tresye U. 2008. Pengaruh teknik polimerisasi emulsi
terhadap ukuran partikel kopoli(stirena/butil akrilat/metil metakrilat.
MAKARA J Sci. 12(1): 15-22.
Charmondusit K, S Kiatkamjornwong, P Prasessarakich. 1998. Grafting of methyl
methacrylate and styrene onto natural rubber. J. Sci. Chula. Univ. 23(2):
167-181.
Che Man SH, AS Hashim, HM Akil. 2008. Studies on the curing behavior and
mechanical properties of styrene/methyl methacrylate grafted deproteinized
natural rubber latex. J. Polym. Res. 15(5): 357-364.
Gelling IR. 1991. Epoxidised natural rubber. J. Nat. Rubb. Res. 6: 184.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan: Karet.
Jakarta (ID): Ditjenbun.
[ISO] International Organization for Standardization. 2006. ISO 1656: Spesifies
the application module for component grouping. Switzerland (CH): ISO.
Kawahara S, O Chaikumpollert. 2012. Nanomatrix Structure Formed for Natural
Rubber. GIGAKU. 1: 1-8.
Kusumastuti CB. 2007. Perbandingan sifat vulkanisat dari beberapa jenis karet
siklo. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[LGM] Lembaga Getah Malaysia. 2013. Ekoprena dan pureprena sebagai inovasi
baru getah. Sungai Buloh (MY): LGM.

17

Odian G. 1991. Principles of Polymerization Fourth Edition. New York (US): J
Wiley.
Ongarjnukool NK, Pitchapa P, Surakit T. 2012. Grafted deproteinized natural
rubber as an modifier in styrene-methyl methacrylate copolymer sheet. J.
Chem. Chem. Eng. 6: 698-707.
Pavia DL, GM Lampman, GS Kriz, JR Vyvyan. 2009. Introduction to
Spectroscopy Fourth Edition. Belmont (US): PrePress PMG.
Sondari D, A Haryono, M Ghozali, A Randy, KA Suhardjo, A Basuki, Surasno.
2010. Pembuatan elastomer termoplastik menggunakan inisiator potassium
persulfate dan ammonium peroxydisulfate. JUSAMI. 12(1) : 41–45.
Tanaka Y, T Sakai, Y Hioki, M Kojima, A Kuga. 1996. Highly purified natural
rubber, preparation of anionic latex and its physical properties. Nih. Gom.
Kyou. 69(1): 553–555.
Triwijoso SU, O Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan dan Pemekatan
Lateks Hevea. Bogor (ID): Balai Penelitian Perkebunan Bogor.
Utama M, K Widjaja. 2006. Production of natural rubber grafted styrene
copolymer latex as water base coatings. JAI. 32(2): 89-101.
Yapa, PAJ. 1975. The preparation and properties of low nitrogen constant
viscosity rubber. J Rubb. Res. Inst. Sri Langka. 52: 1-5.

18

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Lateks karet alam
Deproteinasi

Urea

Karakterisasi: Kadar Karet Kering, Kadar
Jumlah Padatan, Alkalinitas, Viskositas,
Waktu Kemantapan Mekanik, dan Kadar
Nitrogen

Lateks karet alam
berprotein rendah
Monomer vinil (stirena, metil metakrilat)
Inisiator : Amonium peroksidisulfat
Surfaktan : Sodium dodesil sulfat

Kopolimerisasi
cangkok

Kopolimer nisbah 95:5 dan 85:15 (karet
alam : monomer (stirena & MMA)
Aseton

Penggumpalan
Gumpalan kopolimer
Penggilingan
Krep kering

Uji lanjut: FTIR, Konversi monomer
(Efisiensi cangkok dan Nisbah
komposisi cangkok), dan uji
swelling

19

Lampiran 2 Karakteristik lateks pekat bahan baku
Penetapan kadar jumlah padatan (KJP)
Bobot
Bobot
Bobot
Ulangan
cawan
cawan dan
sampel (g)
kosong (g)
film (g)
1
41,7920
2,5051
43,2669
2
46,1733
2,5040
47,6484
3
47,5246
2,5019
49,0020
Rerata
Contoh perhitungan:
Bobot sampel awal
Bobot sampel akhir
% KJP

Bobot
film (g)
1,4749
1,4751
1,4774

= 2,5051 g
= 1,4749 g
= 1,4749/2,5051 x 100% = 58,88%

Penetapan kadar karet kering (KKK)
Bobot
Bobot
Aseton
krep
Ulangan lateks
(mL)
(g)
(g)
1
5,0050
5
2,8749
2
5,0047
5
2,8450
3
5,0252
5
2,8789
Rerata
Contoh perhitungan:
Bobot sampel awal
Bobot sampel akhir
% KKK

%
KKK
57,44
56,85
57,29
57,19

= 5,0050 g
= 2,8749 g
= 2,8749/5,0050 x 100% = 57,44%

Penetapan kadar alkalinitas (kadar amonia)
Uji

Bobot
lateks
(g)

Volume
HCl
(mL)

1
4,8356
13,00
2
4,6578
12,50
3
4,8054
12,70
Rerata
Contoh perhitungan:
% NH3 uji 1 = (1,7
= (1,7

[HCl] (N)
0,1302
0,1302
0,1302

Kadar
Alkalinitas
(% NH3)
0,60
0,59
0,58
0,59

Volume HCl N HCl)/bobot lateks
13 mL 0,1302 N)/4,8358 g = 0,60

% KJP
58,88
58,91
59,05
58,95

20

Penetapan viskositas
Uji
1
2
3

Nomor Faktor
spindel pengali
1
1
1

1
1
1

Angka
terbaca

Viskositas
(cP)

37,00
37,10
37,00

37,00
37,10
37,00
37,00

Penetapan waktu kemantapan mekanik
Kecepatan
Bobot
Amonia
Uji
pengadukan
sampel (g)
(mL)
(rpm)
1
2
Rerata

100
100

7,18
7,18

14000
14000

WKM
(detik)
1200
1170
1185

Lampiran 3 Formulasi deproteinasi dan penetapan kadar nitrogen
Bobot
Kode
Komsentrasi
Bobot
Bobot
Ulangan
SDS
sampel
urea (%)
lateks (g)
urea (g)
(g)
A
1
601,7956 40,0335
0,6022
0,05
2
600,0791 40,0018
0,6236
B
1
600,0994 40,0019
0,9071
0,075
2
293,6630 19,6039
0,4676
C
1
400,2098 26,6771
0,8011
0,10
2
400,8205 26,9529
0,8235
Contoh perhitungan untuk DPNR urea 0,05%
Lateks sebanyak 600 g ditambahkan urea 0,05% terhadap bobot lateks
tersebut dengan konsentrasi urea sebesar 50% (b/b). Larutan urea yang
ditambahkan menjadi 0,05/100 x 100/50 x 600 g = 0,6 g lalu diinkubasi pada suhu
30 ˚C selama 90 menit. Kemudian diencerkan menggunakan SDS 0,1% menjadi
KKK 30% dan disentrifugasi 2 kali.
V1 KKK1
= V2 KKK2
700 mL 57.19%
= V2 30%
V2
= 1334 mL
Volume SDS yang ditambahkan yaitu 1334 mL 700 mL = 634 mL

21

Sampel

Uji

Bobot
Volume
Contoh (g) H2SO4 (mL)

Latek
pekat

1
0,1129
2
0,1064
A
1
0,1067
2
0,1029
B
1
0,1078
2
0,1021
C
1
0,1007
2
0,1012
Contoh perhitungan:

Volume H2SO4
blangko (mL)

[H2SO4]
(N)

Kadar
Nitrogen
(%)

Kadar
Protein

0.38
0.38
0.14
0.38
0.14
0.14
0.14
0.14

0.0139
0.0139
0.0139
0.0139
0.0139
0.0139
0.0139
0.0139

0.23*
0.22
0.06
0.06
0.25
0.26
0.08
0.09

1.43
1.37
0.36
0.38
1.59
1.66
0.48
0.54

1,71
1,58
0,46
0,70
1,55
1,53
0,54
0,59

*Kadar Nitrogen (%) =
Kadar Nitrogen (%) =
= 0,23
Lampiran 4 Komposisi reaksi kopolimerisasi cangkok
Sistem reaksi

Parameter

Semi kontinu

Kondisi reaksi
Karet alam : stirena-MMA
Stirena : MMA
Konsentrasi APS (%)
Konsentrasi SDS (%)
Suhu reaksi (˚C)
Waktu reaksi (jam)
Kecepatan tetes monomer
(mL/menit)
Formulasi
Bobot lateks DPNR (g)
Bobot Stirena (g)
Bobot MMA (g)
Bobot air (g)
Bobot surfaktan SDS (g)
Bobot inisiator APS (g)

95 : 5

Batch
85 : 15

95 : 5

85 : 15

1:1
1
2
70
6
0,60

0,56

0,50

31,9926
1,4842
1,3208

31,9446
1,4781
1,3216

31,9413
4,9358
4,4110

0,4070
0,3643

0,3850
0,3483

1,2500
1,1643

0,60

0,44

0,60

0,60

0,52

31,9439 31,9695
4,9348
1,4815
4,4111
1,3186
110

31,9473
1,4790
1,3161

31,9468
4,9362
4,4099

31,9419
4,9327
4,4118

1,2563
1,1681

0,3876
0,3459

1,3208
1,2440

1,2584
1,1665

0,3944
0,3455

22

Perhitungan:
Contoh 95:5 , dengan perbandingan stirena dengan metil metakrilat = 1:1
Bobot Lateks
= 50 g
Bobot monomer = 5/95 x 50 g
= 2,6316 g
Maka masing-masing monomer sebanyak ½ x 2,6316
= 1,3158 g
Untuk stirena kemurnian 89.44%* = 100/89,44 x 1,3158 = 1,4712 g
Untuk metil metakrilat 100%
= 100/100 x 1,3158 = 1,3158 g
Total monomer yg digunakan
= 1.4712 g + 1,3158 = 2,7870 g
SDS 2% dari total monomer
= 100/15 x 2/100 x 2,7870 g = 0,3716 g
APS 1% dari total monomer
= 100/8 x 1/100 x 2,7870 g = 0,3484 g
*Penetapan kemurnian stirena
Bobot
Bobot setelah oven
Ulangan stirena
(g)
1 jam
2 jam
3 jam
1 20,0049 19,1108 18,3121 17,8922

% Kemurnian
stirena
89,44

% Kemurnian stirena =
= 89,44%
Lampiran 5 Reaksi kopolimerisasi cangkok melalui pembentukan radikal bebas
(Che Man et al. 2008)
Tahap inisiasi

23

Tahap propagasi
Propagasi pada stirena

Propagasi pada metil metakrilat

24

Tahap terminasi

25

Lampiran 6 Penentuan konversi monomer (efisiensi cangkok dan nisbah cangkok)
Kode
95:5 SK1

Bobot MV
awal (g)

Bobot karet
kering (g)

Bobot krep
b
HK (g)

2,8050
31,9926
31,2324
2,8050
31,9926
31,2324
95:5 SK2
2,7997
31,9446
31,4506
2,7997
31,9446
31,4506
85:15 SK1
9,3468
31,9413
37,3847
9,3468
31,9413
37,3847
85:15 SK2
9,3459
31,9439
34,1465
9,3459
31,9439
34,1465
95:5 B1
2,8001
31,9695
31,3099
2,8001
31,9695
31,3099
95:5 B2
2,7951
31,9473
31,2133
2,7951
31,9473
31,2133
85:15 B1
9,3461
31,9468
31,4262
9,3461
31,9468
31,4262
85:15 B2
9,3445
31,9419