Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik.

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS
BUMI SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGKIT LISTRIK

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Analisis Kebijakan
Pemanfaatan Energi Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2015

Bahroin Idris Tampubolon
H451120031

RINGKASAN
BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi
Panas Bumi Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik. Dibimbing oleh AKHMAD
FAUZI dan METI EKAYANI.
Kebutuhan energi listrik Indonesia diperkirakan akan meningkat setiap tahun
dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.4 persen per tahun. Supply yang disediakan
oleh PLN untuk tenaga energi listrik nasional adalah sebesar 90 persen dari
pembangkit listrik berbahan baku fosil. Ketersediaan bahan baku energi fosil
tersebut di Indonesia sangat terbatas jumlahnya dan akan habis dalam jangka waktu
tertentu. Sifat sumberdaya fosil yang tidak terbarukan akan menyebabkan
kelangkaan yang berdampak pada kenaikan harga di masa yang akan datang.
Penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar menyumbang emisi gas rumah kaca
terbesar di dunia yaitu berupa emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 57 persen.
Disisi lain, Indonesia memiliki berbagai sumber energi terbarukan yang dapat

menghasilkan tingkat emisi yang lebih ramah lingkungan, dan kepastian
keberadaan cadangan sumberdaya. Rasio pemanfaatan energi terbarukan masih
rendah, misalnya tenaga panas bumi pada tahun 2011 misalnya hanya mencapai
4.17 persen dari potensi yang dimiliki sebesar 28.54 GW. Perlunya pengembangan
sumber energi terutama untuk energi listrik dengan telah mempertimbangkan faktor
lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Tujuan dalam penelitian ini untuk menganalisis persepsi masyarakat
mengenai dampak yang timbul di sekitar kawasan pembangkit listrik tenaga panas
bumi dan mengestimasi biaya kerugian ekonominya dengan metode effect on
production, mengestimasi besaran biaya produksi yang telah memperhitungkan
biaya sosial dengan metode benefit transfer dan biaya produksi listrik, serta
menganalisis kebijakan yang dapat mendorong pengembangan pembangkit listrik
panas bumi sebagai alternatif pembangkit listrik diesel dan batubara dengan metode
multicriteria decision analysis (MCDA).
Hasil analisa mengenai persepsi masyarakat menunjukkan mayoritas
responden menyatakan dampak yang dirasakan akibat aktivitas pembangkit listrik
tenaga panas bumi adalah perubahan kualitas dan kuantitas air dengan nilai
kerugian ekonomi rata-rata sebesar Rp. 5 289 727 per orang. Biaya sosial yang telah
memasukkan biaya kerugian ekonomi akibat pembangkitan listrik adalah sebesar
1 517.98 Rp/KWh untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga diesel

sebesar 9 866.89 Rp/KWh, dan tenaga uap sebesar 12 841.02 Rp/KWh. Analisa
kebijakan untuk pengembangan listrik dengan memperhitungkan kriteria
lingkungan, sosial, dan ekonomi menghasilkan suatu kesimpulan bahwa
pembangkit listrik tenaga panas bumi memiliki nilai tertinggi untuk rancangan
kebijakan Bussiness as Usual dan Feed in Tariff jika dibandingkan dengan PLTU
dan PLTD. Kesimpulan yang dihasilkan adalah pembangkit listrik yang sebaiknya
diprioritaskan untuk dikembangkan adalah PLTP, sehingga deplesi terhadap
sumberdaya fosil dapat berkurang, degradasi lingkungan dari pembangkit listrik
bertenaga fosil dapat dihindari namun ketersediaan energi dapat dicapai.
Kata kunci: Biaya Sosial, Effect On Production, Multi Criteria Decision Analysis,
Panas Bumi

SUMMARY
BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON. Analysis of Geothermal Energy Use
Policies as Alternative Power Plant. Supervised by AKHMAD FAUZI and METI
EKAYANI.
The electrical energy needs in Indonesia is estimated to be increased 8.4
persen per year in couple of years to go. PLN (Indonesia Electricity Company)
supply electrical energy for Indonesia from power plant with 90 persen fossil fuel
fired. Stock of raw material for fossil energy is very limited in Indonesia and it will

be depleted within a certain period. Fossil resources is not renewable and will cause
scarcity eventually will rose the energy price in future. The use of fossil energy as
fuel contributed to the largest greenhouse gas emission in the world, it is 57 persen
of carbon dioxide (C02) emission.
On the other hand Indonesia has several renewable energy resources that can
provide sustainable reserve energy and more eco-friendly as well. Nowadays,
utilization of renewable energy ratio is still low. The use of geothermal energy for
example is only 4.17 persen of its capacity (28.54 GW) in 2011. Therefore, it is
necessary to develop energy resources particularly electrical energy that had
considered the environment, economic and social factors.
The objective of this research is to analyze public perceptions about the
impact geothermal power plant and estimate the cost of economic loss using effect
of production method, estimate social cost using benefit transfer method and cost
of production method, and analyze policies that able to encourage the development
of geothermal power plant as alternative energy of diesel and coal powerplant using
multicriteria decision analysis method (MCDA).
Public perceptions that observed in this research is resulted majority of
respondents said that the impact of geothermal powerplant is quality and quantity
of water changed with average economic loss value is Rp. 5 289 727 per person.
Result of calculation of social cost is 1 517.98 Rp/KWh for geothermal, 9 866.89

Rp/KWh for diesel powerplant, and 12 841.02 Rp/Kwh for coal powerplant.
Considering environment, social and economic criteria resulting policy in
development of power plant that geothermal power plant has the highest score on
the design of policies that have been made (Business as Usual and Feed in Tariff
Scheme) comparing to coal and diesel power plant. In conclusion, the power plant
should be prioritized to be develop is geothermal power plant in order the depletion
of fossil resources can be reduced and environmental degradation caused by fossil
power plant can be avoided, but the availability of the energy is attainable.
Keywords: Social Cost, Effect On Production, Geothermal, Multi Criteria Decision
Analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN ENERGI PANAS BUMI
SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGKIT LISTRIK

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis:

Dr. Fifi Diana Thamrin, S.P, M.Si


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ini ialah
ekonomi energi, dengan judul Analisis Kebijakan Pemanfaatan Energi Panas Bumi
Sebagai Alternatif Pembangkit Listrik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Akhmad Fauzi MSc, Dr Meti
Ekayani SHut MSc selaku pembimbing, Dr Fifi Diana Thamrin SP MSi selaku
penguji luar komisi yang telah banyak memberi saran dan masukan. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Ir Sahat M.H Simanjuntak MSc dari Institut Pertanian
Bogor, Ir Abadi Poernomo DiplGeoth En.Tech dari Dewan Energi Nasional
(DEN), Dr Suryadarma dari Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), Prof
Dr Ir Iwa Garniwa dari Universitas Indonesia, dan Pimpinan beserta seluruh Staf
PT. Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan Kamojang, yang telah membantu
penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bapak, Ibu, Fia (Istri), Abang Ucok, Eri, Teman-teman serta seluruh
keluarga besar ESL-FEM IPB, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015


Bahroin Idris Tampubolon

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
7
7
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangkit Listrik
Eksternalitas
Energy Pricing
Multi-Criteria Analysis Method
Effect On Production Approach
Penelitian Terdahulu

9
9

10
12
12
14
14

3 KERANGKA PEMIKIRAN

17

4 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
Perhitungan Biaya Eksternalitas
Perhitungan Biaya Produksi
Estimasi Biaya Sosial
Analisis Kebijakan


19
19
19
19
20
21
23
24
24

5 GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Responden
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak

28
28
29
31

6 HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi Masyarakat dan Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi
Akibat Dampak PLTP
Biaya Sosial Produksi Listrik
Analisis Kebijakan Pengembangan Listrik Non-Fosil

32

7 SIMPULAN DAN SARAN

43

32
35
38

Simpulan
Saran

43
43

DAFTAR PUSTAKA

44

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL
1 Proyeksi kebutuhan listrik Indonesia tahun 2015- 2030
2 Jumlah unit pembangkit listrik dan energi yang diproduksi
pembangkit PLN di Indonesia tahun 2012
3 Perkiraan sumberdaya, kapasitas unit dan ratio energi terbarukan
di Indonesia tahun 2011
4 Margin biaya pembangkitan listrik PLTU, PLTP dan PLTD di
Indonesia
5 Perbandingan rata-rata emisi NOx, SO2, CO2 pada PLTP,PLTU,
dan PLTD.
6 Klasifikasi pembangkit listrik
7 Tabel evaluasi
8 Sebaran responden berdasarkan tempat tinggal responden
9 Matriks metode analisis data
10 Kriteria dan sub kriteria dalam penelitian
11 Karakteristik responden penelitian
12 Hasil perhitungan kerugian responden akibat perubahan kualitas
air
13 Tingkat emisi udara, unit dan total damage cost dari masingmasing pembangkit listrik
14 Penyesuaian nilai kerugian berdasarkan nilai tukar mata uang
Rupiah
15 Biaya-biaya dalam pembangkitan listrik
16 Penilaian pemangku kebijakan dalam penentuan bobot
17 Matriks Keputusan
18 Matriks keputusan ternormalisasi
19 Matrik keputusan normal terbobot
20 Jarak solusi ideal positif dan ideal negatif
21 Koefisien terdekat pembangkit listrik
22 Hasil perhitungan koefisien terdekat dan uji sensitivitas
pengembangan pembangkit listrik

2
2
4
5
6
9
13
19
21
25
29
34
36
36
37
39
40
40
41
41
41
42

DAFTAR GAMBAR
1 Konsumsi energi final Indonesia tahun 2000 – 2011
2 Harga bahan bakar minyak, batubara dan subsidi listrik Indonesia
tahun 2007 – 2012
3 Emisi gas rumah kaca dunia tahun 2004 berdasarkan kandungan
gas
4 Kurva Eksternalitas
5 Diagram alur kerangka pikir
6 Peta lokasi pembangkit listrik dan sumur panas bumi di Gunung
Salak
7 Sebaran persepsi responden mengenai penurunan kualitas
lingkungan yang dirasakan
8 Hirarki untuk melakukan pembuatan kebijakan pengembangan

1
3
4
11
18
31
32
38

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema bussiness as usual
perubahan bobot setara (equal rate)
Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema feed in tarif bobot
hasil penentuan key person
Perhitungan analisis sensitivitas dengan skema feed in tariff
perubahan bobot setara (equal rate)
Dokumentasi penelitian proses wawancara dengan masyarakat
Dokumentasi penelitian tambak ikan responden

48
49
50
51
52

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18 diperkirakan menjadi tonggak
pemanfaatan energi secara besar-besaran di berbagai belahan dunia (AESF 2010).
Pemanfaatan energi sejak saat itu hingga sekarang terus mengalami perkembangan
baik sumber maupun pemanfaatannya, termasuk di Indonesia. Sejak tahun 2000
sampai dengan tahun 2011, Indonesia mengalami peningkatan konsumsi energi
final. Pada tahun 2011, Indonesia mencapai tingkat konsumsi energi final sebesar
1.115 Juta Setara Barel Minyak (SBM) dengan tingkat peningkatan rata-rata
konsumsi energi tersebut sebesar 4.68 persen tiap tahunnya (KESDM,2012). Energi
final tersebut terdiri atas batubara, bahan bakar minyak, gas, briket, Liquified
Petroleum Gasses (LPG), biomasa dan listrik. Gambar 1 menjelaskan tentang
konsumsi energi final di Indonesia. Terlihat grafik yang meningkat tiap tahunnya
menggambarkan kebutuhan energi semakin tinggi, termasuk kebutuhan untuk
energi listrik.
1.115

1200

1.068

Konsumsi Energi (Juta SBM)

978
1000
840

875

880

917

802

907

865

800

800
778

600

400

juta SBM
200

0
2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Tahun

Sumber : BPPT 2012

Gambar 1 Konsumsi energi final Indonesia tahun 2000 – 2011

Kebutuhan akan energi khususnya listrik diperkirakan akan meningkat
setiap tahunnya. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
dalam Outlook Energy Indonesia 2013 memperkirakan kebutuhan Indonesia akan
tenaga listrik pada tahun 2030 meningkat secara signifikan (Tabel 1). Peningkatan
diperkirakan akan mencapai lima kali lipat dibandingkan tahun 2011,atau akan
mencapai 738 Tera Watt hour (TWh) dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.4
persen per tahun. Tingginya pertumbuhan pemanfaatan tenaga listrik tersebut
sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan perekonomian yang
signifikan, perkembangan industri, kemajuan teknologi serta meningkatnya standar
kenyamanan hidup masyarakat.

2

Tabel 1 Proyeksi kebutuhan listrik Indonesia tahun 2015- 2030
2015
2020
2025
Tahun
266
408
558
Kebutuhan listrik (TWh)

2030
738

Sumber : BPPT 2013

Energi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik. Pembangkit listrik yang
terdapat di Indonesia diantaranya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Tenaga
Uap (PLTU) berbahan baku batubara, Tenaga Gas (PLTG), Tenaga Gas Uap
(PLTGU), Tenaga Panas Bumi (PLTP), Tenaga Diesel (PLTD), Tenaga Surya
(PLTS) dan Tenaga Bayu atau angin. Mayoritas pembangkit listrik yang beroperasi
masih didominasi oleh pembangkit yang berbahan baku energi fosil seperti
batubara dan diesel (Tabel 2).
Supply energi listrik yang terbesar pada Tahun 2012 dihasilkan dari
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan baku batu bara dengan
sekitar 49.31 persen dari total kapasitas unit pembangkit. Jumlah unit pembangkit
listrik terbanyak yang beroperasi yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)
yaitu sebesar 4576 Unit atau 90.65 persen dari total pembangkit yang ada (PLN,
2012).
Tabel 2 Jumlah unit pembangkit listrik dan energi yang diproduksi pembangkit
PLN di Indonesia tahun 2012
Pembangkit listrik
Jumlah unit terpasang
Produksi Energi
(unit)
(GW)
PLT Air
216
10 524.61
PLT Uap
66
73 823.06
PLT Gas
76
5 668.01
PLT Gas Uap
66
34 568.51
PLT Panas Bumi
14
3 557.54
PLT Diesel
4576
3 484.45
PLT Surya
30
2.85
Jumlah
5048
131 629.03
Sumber : PLN 2012

Ketergantungan akan energi fosil sebagai bahan baku pembangkit listrik
akan menjadi permasalahan di masa yang akan datang. Ketersediaan bahan baku
energi fosil tersebut di Indonesia sangat terbatas jumlahnya dan akan habis dalam
jangka waktu tertentu. Potensi minyak bumi misalnya diprediksi akan habis sekitar
23 tahun kedepan, sementara batubara sekitar 83 tahun, dan gas bumi 55 tahun
mendatang dengan asumsi tidak ditemukan cadangan yang baru dan tingkat
produksi konstan (Bappenas 2012). Sifat sumberdaya yang tidak terbarukan pada
energi fosil ini akan menyebabkan kelangkaan yang berdampak pada kenaikan
harga di masa yang akan datang. Kenaikan harga seperti minyak mentah dunia
sebagai bahan baku PLTD akan berimplikasi pada meningkatnya beban anggaran
pada subsidi listrik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan
sebagian besar kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia impor dari luar negeri.
Hubungan harga bahan bakar minyak, batubara, dan subsidi listrik digambarkan
pada Gambar 2.

3

90,45

83,91

94,58

8188,09

8629,8

57,6
4881,43

49,55

33,07

338,76
2007

7906,23

2008

5185,65

5186,76
732,32

489,23

2009

656,71

2010

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Subsidi Listrik

Harga BBM dan Batubara

10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

698,62

2011

746,22

2012

Tahun
Harga BBM (Rp/liter)

Batubara (Rp/Kg)

Subsidi Listrik (Triliun Rupiah)

Sumber : IISD (2012) dan PLN (2012)

Gambar 2 Harga bahan bakar minyak, batubara dan subsidi listrik Indonesia tahun
2007 – 2012
Terlihat kenaikan harga bahan bakar minyak dunia yang terjadi pada tahun
2008, 2011, dan 2012 (IISD 2012). Kenaikan harga bahan bakar minyak yang sulit
untuk dihindari karena sesuai dengan hukum ekonomi apabila terdapat permintaan
terhadap barang yang langka atau terbatas maka pasar akan merespon dengan
menaikkan harga barang tersebut. Kenaikan harga bahan bakar minyak dan
batubara tersebut berimplikasi kepada kenaikan subsidi terhadap listrik yang
dikeluarkan pemerintah. Hal tersebut menjadi konsekuensi penggunaan energi fosil
apabila digunakan sebagai sumber energi.
Konsekuensi lain dari penggunaan energi fosil seperti batubara dan diesel
adalah memberikan dampak negatif pada lingkungan yang cukup signifikan.
Dampak lingkungan ini tidak hanya berpengaruh terhadap suatu negara saja, tetapi
akan berdampak secara global seperti pemanasan global yang disebabkan
meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca terdiri
atas gas CO2, CH4, N2O, HFC,PFC, dan SF6 (IPCC 2007). Penggunaan bahan bakar
fosil menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu
berupa emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 57 persen. Penjelasan tentang
kontribusi gas-gas yang menimbulkan emisi gas rumah kaca dan penghasilnya
ditampilkan pada Gambar 3.
Pada laporan yang diterbitkan oleh Intergovermental Panel On Climate
Change (IPCC) pada tahun 2007 menyatakan beberapa dampak yang akan timbul
akibat pemanasan global yang disebabkan meningkatnya emisi gas rumah kaca.
Dampak yang mayoritas terjadi adalah terkait dengan gangguan terhadap kesehatan
manusia, penurunan ketersediaan air dan meningkatkan kekeringan di pertengahan
garis lintang, ancaman pangan, peningkatan terjadinya coral bleaching,
peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas, banjir dan
kekeringan.

4

CO2
CO2 (other)
(deforestratio
3persen
n &decay of
biomass)
17persen

F-Gas
1%
N2O
8%

CH4
14%

CO2
(fosil fuel use)
57persen

Sumber: IPCC (2007)

Gambar 3 Emisi gas rumah kaca dunia tahun 2004 berdasarkan kandungan gas
Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki energi fosil memaksa untuk
mencari alternatif sumber energi lain sebagai sumber energi untuk mencukupi
kebutuhan energi listrik dimasa yang akan datang seperti energi non fosil. Energi
non fosil dapat bersumber dari panas bumi, angin, nuklir, sinar matahari,
arus/gelombang dan air. Pemanfaatan untuk energi non-fosil sebagai pembangkit
listrik ini memang belum maksimal misalnya untuk pemanfaatan tenaga mikrohidro
hanya mencapai 28.31 persen dari potensi yang tersedia (Tabel 3).
Tabel 3 Perkiraan sumberdaya, kapasitas unit dan ratio energi terbarukan di
Indonesia tahun 2011
No

A
1
2
3

Energi terbarukan

B
Tenaga Air
Panas Bumi
Mini/Mikro Hidro

Sumber daya
(MW)
C
75 670.00
28 543.00
769.69

Kapasitas unit
pembangkit
(MW)
D
5705.29
1189.00
217.89

Rasio
pemanfaatan
(persen)
E = D/C
7.54
4.17
28.31

Sumber : Bappenas 2012

Rasio pemanfaatan untuk tenaga panas bumi pada tahun 2011 misalnya
hanya mencapai 4.17 persen dari potensi yang dimiliki dan merupakan yang terkecil
dibandingkan dengan tenaga air dan mikro hidro. Rendahnya ratio pemanfaatan dan
besarnya potensi yang dimiliki oleh panas bumi menjadi potensi untuk
pengembangan energi dimasa yang akan datang terutama sebagai alternatif
pengganti sumber energi fosil berbanding besarnya potensi energi terbarukan
dengan pemanfaatan yang memiliki berbagai kekurangan seperti yang disampaikan
pada penjelasan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud melakukan
kajian terhadap pemanfaatan panas bumi sebagai pembangkit tenaga listrik sebagai
salah satu alternatif energi pendamping pembangkit listrik bersumber energi fosil
dalam upaya mencapai kemandirian energi dan pengurangan emisi.

5
Perumusan Masalah
Panas Bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan, berkelanjutan,
dan dapat diandalkan (Kagel 2006). Potensi yang besar dan sumberdaya yang
terbarukan yang dimiliki oleh panas bumi mempunyai potensi untuk dikembangkan
dalam skala yang lebih besar. Perkembangan pemanfaatannya di Indonesia relatif
lambat jika dibandingkan dengan negara Filipina. Filipina merupakan negara di
Asia Tenggara yang memiliki potensi panas bumi sebesar 6 GW atau hanya
seperempat dari potensi yang dimiliki Indonesia. Pemanfaatan di Filipina dilakukan
sejak tahun 1979 dan telah mencapai 48 titik panas bumi yang aktif beroperasi
dengan kapasitas daya yang dihasilkan sebesar 1 840.9 MW pada tahun 2011.
Indonesia memulai pemanfaatan panas bumi pada tahun 1978 dan sampai tahun
2011 hanya mencapai 23 titik yang aktif beroperasi dengan total kapasitas daya
yang dihasilkan sebesar 1 134 MW (DiPippo 2012). Laju rata-rata peningkatan
energi listrik yang diproduksi PLTP di Indonesia per tahunnya hanya sebesar 2.49
persen sementara laju produksi rata-rata energi pada PLTU sebesar 5.59 persen per
tahunnya (PLN 2012). Berdasarkan laju produksi energi listrik yang dihasilkan
terlihat Indonesia masih terkonsentrasi pada PLTU, padahal cadangan sumberdaya
yang dimiliki sangat terbatas, disisi lain energi panas bumi memiliki potensi yang
besar (28,5 GW) namun perkembangan pemanfaatannya masih lambat.
Penyebab lambatnya perkembangan tersebut diantaranya disebabkan dari
kurangnya minat investor karena tingginya biaya investasi, rumitnya birokrasi,
disparitas biaya operasi dan harga jual yang tinggi dibandingkan dengan energi fosil,
dan minimnya insentif (BPPT 2012). Penelitian ini mencoba mengkaji tentang
penentuan biaya dalam produksi listrik. Kajian tentang biaya yang nantinya akan
menghasilkan instrumen harga yang diharapkan dapat memberikan stimulan pada
pengembangan listrik bertenaga panas bumi. Margin biaya operasi dan harga jual
yang diterima per KWh (Kilo Watt hour) dari PLTP masih lebih rendah
dibandingkan dengan PLTD (Tabel 4). Dibandingkan dengan tiga pembangkit yang
akan diteliti dalam penelitian ini, PLTU memang merupakan jenis pembangkit
dengan margin terkecil, hal ini salah satu penyebabnya adalah karena biaya operasi
dan harga jual listrik per KWh PLTU yang paling rendah dibandingkan PLTP dan
PLTD.
Tabel 4 Margin biaya pembangkitan listrik PLTU, PLTP dan PLTD di Indonesia
PLTU
PLTP
PLTD
Margin (Rp/KWh)
66.87
131.36
387.65
Sumber : PLN, 2012

Kegiatan pemanfaatan panas bumi sama seperti pemanfaatan sumber energi
yang lain yaitu menghasilkan dampak baik negatif maupun positif. Dampak yang
terjadi tidak hanya dampak yang dapat diduga atau diperhitungkan, namun juga
dampak yang sulit dikuantifikasikan secara ekonomi dan biasanya tidak tercantum
dalam perhitungan biaya produksi. Dampak yang dimaksud adalah eksternalitas
(Kagel 2006). Eksternalitas yang timbul dari pemanfaatan panas bumi memang
relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan energi yang berasal dari fosil seperti
diesel dan batu bara apabila indikator lingkungan yang dibandingkan berdasarkan
emisi terhadap udara, lahan, dan air (Kagel et al 2007).

6
Eksternalias negatif berupa emisi gas sebagai contoh, dari pembangkit
panas bumi relatif lebih rendah dibandingkan dengan pembangkit listrik energi fosil.
PLTU batu bara menghasilkan emisi gas karbon dioksida (CO2) per KWh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan PLTP dengan perbandingan 36:1 (Tabel 5).
Karbon dioksida merupakan komponen Gas Rumah Kaca dimana peningkatan
konsentrasinya dapat menimbulkan ancaman pemanasan global, peningkatan muka
air laut, resiko banjir dan mencairnya es di kutub. Emisi berikutnya yaitu Nitrogen
Oksida (NOx) tertinggi dihasilkan dari PLTU dimana emisi tersebut berpotensi
menimbulkan dampak iritasi pada paru-paru, batuk, pembentukan kabut asap,
penurunan pada kualitas air (Kagel et al 2007).
Tabel 5 Perbandingan rata-rata emisi NOx, SO2, CO2 pada PLTP,PLTU, dan
PLTD.
Pembangkit
Bahan bakar
NOx
SO2
CO2
listrik
utama
(gr/MWh)
(gr/MWh)
(gr/MWh)
PLTU
Batu Bara
1.95
4.71
994.0
PLTD
Diesel
1.81
5.44
758.0
PLTP
Panas Bumi
0
0.15
27.2
Sumber : DiPippo 2012

Eksternalitas terhadap lahan dikaji melalui kebutuhan akan lahan untuk
kegiatan pembangkitan listrik. Perbandingan kebutuhan luasan lahan untuk PLTP
diestimasi sebesar 1 260 m2/MW sedangkan PLTU sekitar 40 000 m2/MW (DiPippo
2012). Perhitungan tersebut sudah memasukkan kebutuhan untuk lahan kawasan
pertambangan bahan baku dari masing-masing pembangkit. Tingginya kebutuhan
lahan pada PLTU tersebut berpotensi menimbulkan peningkatan konversi lahan
dimasa yang akan datang.
Eksternalitas selanjutnya adalah terkait dengan kualitas air. Karakteristik
kualitas air dari kegiatan pemanfaatan panas bumi memiliki ciri-ciri tingkat
temperatur yang tinggi, kaya akan mineral karena berasal dari perut bumi, dan
bergaram (Kagel et al 2007). Garam, dan mineral-mineral yang berpotensi
mencemari lingkungan tersebut dikembalikan ke dalam geothermal reservoir
(kolam panas bumi) melalui proses injected back. Proses pengembalian tersebut
memiliki tujuan untuk mengurangi pencemaran air permukaan dan sebagai proses
meningkatkan ketahanan pada geothermal reservoir, sehingga pembangkitan ini
relatif ramah lingkungan dibandingkan energi fosil.
Dalam rangka upaya untuk pemenuhan kebutuhan listrik dimasa yang akan
datang maka diperlukan suatu perumusan dalam kebijakan pengembangan energi
listrik. Tujuan untuk mengembangkan sumber energi yang terbarukan seperti panas
bumi sebagai alternatif sumber energi pengganti energi fosil perlu dikaji lebih lanjut.
Panas bumi masih memiliki potensi permasalahan lingkungan seperti pemakaian
dan pencemaran air, emisi gas-gas, penurunan muka tanah, menimbulkan gempa,
menimbulkan pergeseran tanah, polusi suara, gangguan terhadap ekosistem dan
potensi terjadinya bencana dalam pemanfaatannya walaupun relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan energi fosil (DiPippo 2012).
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :

7
1. Belum diketahuinya persepsi masyarakat dan nilai kerugian ekonomi yang
timbul terkait dengan dampak pembangkit listrik bertenaga panas bumi
yang telah beroperasi.
2. Produksi listrik bertenaga energi diesel, batubara dan panas bumi di
Indonesia belum menginternalisasi biaya eksternalitas dalam fungsi
produksi.
3. Pengembangan listrik bertenaga energi panas bumi relatif lambat
dibandingkan dengan energi diesel dan batubara serta potensi yang
dimilikinya.

Tujuan Penelitian
Pemanfaatan energi fosil dan non-fosil untuk menghasilkan listrik
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Ketersediaan bahan baku fosil
yang terbatas dan peningkatan harga produksi listrik berbahan baku fosil yang terus
terjadi menyebabkan perlunya pengembangan sumber energi terutama untuk energi
listrik. Panas bumi sebagai energi dengan tingkat emisi yang rendah, mempunyai
potensi sumberdaya yang besar dan terbarukan sangat berpeluang menjadi sumber
energi alternatif tenaga listrik dimasa yang akan datang menggantikan energi fosil.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis persepsi dan mengestimasi nilai kerugian masyarakat sekitar
kawasan pembangkit listrik tenaga panas bumi mengenai dampak yang
timbul akibat beroperasinya pembangkit tersebut.
2. Mengestimasi besaran biaya sosial yang sudah mempertimbangkan biaya
eksternalitas (internalisasi) akibat produksi listrik untuk masing-masing
pembangkit listrik panas bumi, diesel dan batubara.
3. Menganalisis kebijakan untuk mendorong pengembangan pembangkit
listrik panas bumi sebagai alternatif pembangkit listrik diesel dan batubara.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Menjadi bahan kajian dan gagasan untuk pemerintah sebagai penentu kebijakan
penggunaan dan produksi energi di Indonesia
2. Kebijakan yang dihasilkan dapat menciptakan penyediaan energi listrik yang
telah menerapkan teknologi ramah lingkungan dan pengurangan emisi yang
dihasilkan.
3. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya untuk para akademisi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini adalah untuk mengkaji dampak kerugian ekonomi yang timbul
dari aktivitas pembangkit listrik tenaga panas bumi. Nilai yang didapatkan
selanjutnya dibandingkan dengan nilai kerugian yang timbul dari pembangkit listrik
bertenaga fosil yaitu hanya mencakup Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD),
dan Batu Bara (PLTU). Nilai kerugian PLTD dan PLTU merupakan nilai dari hasil
kajian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti lain. Dampak lingkungan
yang dikaji dalam penelitian ini adalah dampak yang terjadi setelah proses produksi,

8
tidak
mencakup
dampak
pada
saat
proses
eksplorasi
dan
pembangunan/development. Dampak lingkungan yang menjadi pembahasan hanya
seputar air dan udara karena kedua hal tersebut merupakan permasalahan yang
serius untuk pengembangan pembangkit listrik (DiPippo 2012).

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pembangkit Listrik
Pembangkit listrik didefinisikan sebagai sekumpulan peralatan atau mesin
yang tersusun untuk membangkitkan energi listrik (Raja 2006). perlatan yang utama
dalam pembangkitan listrik adalah generator. Terdapat berbagai jenis pembangkit
listrik yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar yaitu jenis konvensional
dan non-konvensional. Penjelasan terkait dengan klasifikasi tersebut ditampilkan
dalam Tabel 6 (Raja 2006).
Tabel 6 Klasifikasi pembangkit listrik
No. Pembangkit Listrik
A.
Konvensional
1.
Tenaga Diesel (PLTD)
2.
Tenaga Uap (PLTU)
3.
Tenaga Gas (PLTG)
4.
Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)
5.
B.
1.
2.
3.
4.

Tenaga Nuklir (PLTN)
Non-konvensional
Tenaga Panas Bumi (PLTP)
Tenaga Air (PLTA)
Tenaga Angin
Tenaga Arus dan Pasang Surut

Sumber Energi Primer
Bahan bakar minyak atau gas
Batu bara, minyak atau gas
Bahan bakar gas atau minyak
Bahan bakar gas dan minyak atau
batubara
Uranium
Panas bumi
Air
Angin
Arus dan Pasang Surut Air Laut

Sumber : Raja 2006

Pembangkit listik tenaga uap (PLTU) merupakan pembangkitan dengan
mengkonversi energi primer menjadi energi listrik dengan bahan bakar berupa
batubara (padat), minyak (cair), dan gas. Terdapat beberapa potensi masalah
lingkungan yang timbul dari pengoperasian PLTU seperti masalah gas buang. Gas
buang yang dikeluarkan dari cerobong PLTU seperti SO2, NOx, dan CO2 kurang
baik bagi kesehatan manusia. Penggunaan bahan-bahan kimia seperti untuk air
pendingin dan endapan dari proses pengolahan air ketel dapat membunuh
mikroorganisme laut. PLTD umumnya digunakan pada daerah yang baru oleh PLN
untuk menyalakan listrik, namun dalam perkembangannya jika tenaga listrik telah
melebihi 100 MW, penyediaan listrik melalui PLTD tidak ekonomis lagi. Bahan
bakar minyak yang digunakan dalam PLTD berdasarkan besarnya nilai ppm mesin
diesel yang dipakai, contohnya High Speed Diesel Oil (HSD), Intermediate Diesel
Oil (IDO), dan Marine Fuel Oil (MFO). Umumnya unit pembangkit diesel dapat
dinyalakan tanpa memerlukan sumber tenaga listrik dari luar (dapat melakukan
black start) seperti dengan engkol, bateri aki, atau udara tekan. Segi lingkungan
untuk pembangkit listrik diesel perlu mendapat perhatian karena menghasilkan
kebisingan, gas buang (CO2), dan masalah minyak pelumas bekas yang dapat
mencemari lingkungan (Marsudi 2011).
Pembangkit listrik panas bumi (PLTP) sesungguhnya adalah PLTU hanya
saja uapnya bersumber dari panas perut bumi sehingga lokasi PLTP umumnya
terletak pada pegunungan berapi. Proses penyediaan uap melalui proses pengeboran

10
dan biasanya dilakukan perusahaan pertambangan yang kemudian menjual uapnya
kepada perusahaan listrik. Perusahaan listrik harus memperhitungkan biaya uap
sebagai biaya operasi yang belum tentu lebih murah dari bahan bakar PLTU.
Masalah lingkungan yang memerlukan perhatian adalah masalah kebisingan dan
uap yang mengandung belerang yang dalam udara dapat menghasilkan H2S.
Pelestarian hutan sebagai daerah kantong uap sangat diperlukan agar kantong uap
selalu mendapat air tanah sehingga uapnya tidak cepat habis.
Masalah utama dalam pembangkitan tenaga listrik diantaranya adalah
penyediaan energi primer, penyediaan air pendingin, limbah, kebisingan, operasi,
pemeliharaan, gangguan dan kerusakan, pengembangan pembangkitan, serta
perkembangan teknologi pembangkit (Marsudi 2011).
Eksternalitas
Menurut Fauzi (2004), eksternalitas adalah dampak positif atau negatif atau
dalam bahasa formal ekonomi sebagai net cost atau benefit dari tindakan satu pihak
terhadap pihak lain. Eksternalitas terjadi jika kegiatan produksi atau konsumsi dari
satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan,
dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak
yang terkena dampak. Tipologi eksternalitas terbagi menjadi empat yaitu
eksternalitas teknologi, pecuniary, privat, dan publik (Fauzi 2004).
Eksternalitas teknologi disebabkan karena adanya perubahan konsumsi atau
produksi oleh suatu pihak terhadap pihak lain yang lebih bersifat teknis.
Eksternalitas yang menyangkut kedua belah pihak yakni produsen dan konsumen
memyebabkan bisa terjadi eksternalitas dari konsumsi ke konsumsi, dari konsumsi
ke produksi dan juga sebaliknya. Eksternalitas pecuniary terjadi karena adanya
perubahan harga dari beberapa input maupun output dimana terjadi aktivitas
ekonomi seseorang mempengaruhi kondisi finansial pihak lain. Eksternalitas privat
melibatkan hanya beberapa individu, bersifat bilateral dan tidak menimbulkan spill
over (limpahan) kepada pihak lain (Fauzi 2004). Sedangkan pada eksternalitas
publik terjadi manakala barang publik dikonsumsi tanpa pembayaran yang tepat.
Eksternalitas erat kaitannya dengan efisiensi alokasi sumber daya. Alokasi
sumberdaya dapat diatur melalui pengaturan kelembagaan seperti kediktatoran
(dictatorship), perencanaan terpusat (central planning) atau melalui mekanisme
pasar (free market) (Fauzi 2004). Dalam teori ekonomi standar, pengaturan selain
free market bisa saja menghasilkan alokasi yang efisien, namun hanya mekanisme
pasar yang menghasilkan alokasi yang efisien dan optimal. Eksternalitas dapat
menimbulkan kegagalan pasar, dimana transaksi pasar tidak terjadi akibat
mekanisme pasar tidak berjalan dengan sempurna. Individu dalam membuat
keputusan didasarkan pada informasi harga, namun bila terjadi kegagalan pasar
keputusan yang dibuat akan berimplikasi pada timbulnya alokasi sumberdaya yang
tidak efisien.
Dampak dari terjadinya eksternalitas ditampilkan dalam Gambar 4.
Permintaan terhadap suatu komoditas Z digambarkan dalam kurva permintaan D
(demand curve) dan biaya privat marjinal (private marginal cost) untuk
memproduksi komoditas Z tersebut digambarkan dalam MCp. Bila produsen
komoditas Z tidak memperhitungkan biaya pengurangan emisi, maka tingkat
produksi akan berada di titik Qm dengan harga sebesar Pm, sehingga dapat

11
memaksimumkan surplus privat produsennya. Tetapi hal itu tidak sepenuhnya
efisien karena pihak produsen belum memasukkan biaya pengurangan emisi dan
kerusakan yang terjadi. Apabila produsen memasukkan perhitungan pengurangan
emisi dan kerusakan dalam biaya produksi mereka, maka kurva biaya akan berubah
menjadi MCs dengan tingkat produksi sebesar Q*, dan harga P*. Dari Gambar 4
terlihat bahwa eksternalitas dalam alokasi suatu komoditas dapat menyebabkan
output yang dihasilkan dari sebuah komoditas terlalu besar sebanding dengan
tingkat polusi yang dihasilkan. Harga yang berlaku dari sebuah produk yang
dihasilkan terlalu rendah untuk tingkat produksi yang dihasilkan.
Terdapat berbagai solusi dalam mencegah atau mengurangi eksternalitas
yaitu, memberikan hak kepemilikan (assigning property right), internalisasi, dan
pemberlakuan pajak (Pigouvian Tax). Pemberian hak kepemilikan akan sangat
bergantung pada biaya transaksi. Menurut teori Coase dalam Fauzi (2004)
menyatakan pemberian hak kepemilikan akan mengurangi masalah eksternalitas
namun tidak akan menghilangkannya.
Harga/unit

MCs

MCp

Ps
Pp

D
Qs

Qp

Sumber: Teitenberg, 1992.

Gambar 4 Kurva eksternalitas

Produksi (unit)

12

Energy Pricing
Menurut Bhattacharyya (2011) menyatakan bahwa terdapat dua konsep
dasar dalam energy pricing yaitu average cost pricing dan marginal cost pricing.
Prinsip average cost pricing mempertimbangkan komponen biaya capital dan biaya
operasional lalu membaginya dengan output yang dihasilkan. Dalam perspektif
teoritis, di pasar kompetitif dengan asumsi (skala ekonomi konstan, teknologi
konstan, modal dibagi sempurna), biaya rata-rata sama dengan biaya marjinal pada
tingkat optimum dalam jangka panjang. Dalam rumus matematik dijelaskan ;
�� �
��

=



��


��

=

�.


−��




=

�.��−��


=

(1)

Hal tersebut berarti dalam jangka panjang kurva biaya rata-rata mendefinisikan
expantion path dari sebuah perusahaan dan average cost pricing berjalan dengan
baik ketika dalam jumlah yang banyak perusahaan bersaing di pasar untuk
memproduksi barang yang homogen. Namun demikian, terdapat beberapa
kekurangan seperti;
1. Tidak memberikan insentif bagi peningkatan kinerja dan memungkinkan
perusahaan lebih lemah untuk bekerjasama dengan perusahaan berperforma
lebih baik.
2. Bergantung pada biaya yang sudah ada dan tidak mengambil biaya untuk
peningkatan kapasitas baru sebagai pertimbangan.
3. Tidak memberikan sinyal yang memadai untuk investor
Pendekatan marginal cost-based didapatkan dari model pasar persaingan
dimana harga ditentukan atas marginal cost. Marginal cost (MC) merupakan
tambahan biaya akibat adanya perubahan komponen biaya input. Fungsi marginal
cost menunjukkan slope dari fungsi total cost Persamaan matematik untuk marginal
cost adalah sebagai berikut (Debertin 2012) :

=�

/��

(2)

Multi-Criteria Analysis Method
Multi-criteria method menurut Bergh (1999) dalam Handbook Of
Enviromental and Resources Economic adalah suatu metode yang bergerak
diseputaran preferensi pengambilan keputusan. Metode ini mencoba untuk
mempertimbangkan berbagai konflik kriteria secara simultan. Pembuatan
keputusan dalam permasalahan lingkungan sering kali melibatkan persaingan
kepentingan diantara grup, konflik tujuan, dan perbedaan tipe informasi. Ciri khas
dari masalah multi-kriteria digambarkan dengan cara berikut:
A adalah sekumpulan dari alternatif � (j= 1,2,... ); � adalah kumpulan
dari kriteria evaluasi � (i=1,2,...,m) yang mempertimbangkan kesesuaian dengan

13
penentuan masalah. Alternatif a1 lebih baik dari alternatif a2 menurut kriteria i jika
� (a1) > � (a2). Dalam hal ini langkah penentuan masalah dapat ditampilkan dalam
tabel atau bentuk matriks yang disebut Tabel Evaluasi seperti dalam Tabel 7.
Tabel 7 Tabel evaluasi
Kriteria
g1
g2
g3
g4
g5
g6

Satuan
(Unit)
-

Alternatif
a1
g1(a1)
.
.
.
.
g6(a1)

a2
g1(a2)
.
.
.
.
g6(a2)

a3
g1(a3)
.
.
.
.
g6(a3)

a4
g1(a4)
.
.
.
.
g6(a4)

Sumber : Bergh 1999

Adapun tipologi dari metode evaluasi adalah :
Set of alternatives : discrete vs. continuous problems
Discrete decision problem melibatkan sekumpulan alternatif yang terhingga
seperti contohnya pemilihan dari 9 lokasi yang memungkinkan dilakukan
pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sementara continuous
decision problem memiliki karakteristik jumlah yang tak terbatas dalam
alternatif yang mungkin contohnya alokasi nuklir, batubara, gas alam untuk
memproduksi listik.
1. Measurement scale : quantitative vs. qualitative attribute scales
Sebagian besar permasalah lingkungan melibatkan percampuran antara
informasi qualitatif dan quantitatif. Regime method, permutation method,
evamix method dan expected value method dapat memproses masalah
tersebut. Jika informasi tidak tersedia, dapat digunakan fuzzy evaluation
methods.
2. Decision rule : priorities or prices
Decision rule memiliki ciri spesifik untuk setiap metode yang digunakan.
Apabila ingin memaksimumkan mengenai biaya, manfaat maka gunakan
benefit-cost analysis atau cost-effectiveness analysis. Selain itu bila ingin
meminimumkan jarak dari solusi terbaik gunakan ideal point method.
3. Valuation function : standardization vs. valuation
Angka kuantitatif dapat diukur dalam berbagai satuan pengukuran. Untuk
dapat membandingkan, angka tersebut harus ditranformasikan kedalam
dimensi/unit yang sama. Liniear standardization function dapat digunakan
untuk hal tersebut.
Multi-criteria method terbagi menjadi dua bagian yaitu metode kuantitatif
dan kualitatif. Metode kuantitatif terdiri atas weighted summation, value and utility
analysis, the ideal point method, outrangking method dan, analytical hirarchy
process (AHP). Metode kualitatif terbagi menjadi regime method, permutation
method, dan evamix method.

14
Effect On Production Approach
Pendekatan effect on production merupakan salah satu pendekatan berbasis
biaya yang banyak digunakan untuk menilai jasa lingkungan (Garrod 1999). Nilai
tersebut didekati dengan menggunakan harga pasar (market price) yang melihat
perubahan pada tingkat produksi akibat adanya perubahan kualitas lingkungan
(Dosi 2000). Estimasi nilai yang diperoleh dengan metode ini tidak
diinterpretasikan sebagai nilai sebenarnya tetapi merupakan suatu pendekatan
terhadap dampak kesejahteraan akibat adanya perubahan kualitas lingkungan.
Berbagai metode kuantitatif telah banyak digunakan untuk mengestimasi
biaya atau manfaat ekonomi dari perubahan lingkungan yang berdampak pada
aktivitas produksi. Hanley dan Spash (1993) mengelompokkan beberapa metode
tersebut yaitu; model tradisional / historical approach, model optimasi, dan model
ekonometrik. Metode tradisional merupakan metode yang cukup sederhana, dan
kelebihannya adalah informasi yang dibutuhkan tidak terlalu rumit.
Teridentifikasinya hubungan antara kualitas lingkungan dengan tingkat output
produksi suatu aktivitas, maka nilai moneter dari perubahan lingkungan dapat
diestimasi dengan mengalikan perubahan tingkat output dengan harga output
tersebut.
Model optimasi membutuhkan kumpulan data dalam jangka yang panjang,
namun akan menyediakan informasi yang lebih rinci, dan dapat
mempertimbangkan efek tidak langsung. Model quandratik memungkinkan untuk
mengolah harga, kuantitas, dan variabel endogenus lainnya. Permasalahan mungkin
muncul antara model dan kenyataan yang terjadi sehingga untuk
mengidentifikasinya diperlukan kajian yang cukup rumit.
Model ekonometrika tidak menggunakan pendekatan yang normative
melainkan observasi dan variasi data dari berbagai waktu. Pendekatan ini mencoba
mendapatkan bukti yang nyata saling keterkaitan dari suatu hal. Hasil yang
didapatkan dari perhitungan model ini dapat diuj i melalui metode ilmiah ataupun
metode statistik (Hanley 1993).
Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu terkait dengan penilaian biaya eksternalitas pada
pembangkit listrik telah dilakukan oleh S. Mirasgedis dan D. Diakoulaki (1997)
dalam tulisan berjudul Multicriteria Analysis vs. Externalities Assessment for the
Comparative Evaluation of Electricity Generation System. Penelitian tersebut
dilakukan dengan tujuan umum untuk membandingkan dari sudut pandang
lingkungan tentang perbedaan sistem pembangkit listrik yang menggunakan
sumber energi berbeda seperti batubara, lignite, minyak bumi, gas alam, nuklir,
angin dan air. Hasil penelitian didapatkan dengan menggunakan metode External
Cost Estimates (ECE), dan Multicriteria Analysis (MCA). Penelitian tersebut hanya
mencakup pembangkit listrik yang berada di kawasan Eropa.
Hasil yang didapatkan adalah dampak emisi terhadap lingkungan yang
terbesar dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar fosil yang terdiri atas batubara,
lignite, dan minyak bumi. Secara signifikan pembangkit listrik bersumber angin dan
air memberikan emisi terendah bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.
Dampak yang ditimbulkan dari energi fosil tidak tercermin dalam harga energinya.

15
Emisi yang diteliti dalam penelitian ini adalah SO2, NOx, dan CO2. Penilaian
terhadap biaya eksternal dari pembangkit listrik yang tertinggi dihasilkan dari
pembangkit berbahan bakar batubara sebesar 29.88 satuan moneter/KWh dan yang
terendah adalah pembangkit listrik bertenaga angin sebesar 1.50 satuan
moneter/KWh. Hal tersebut sesuai dengan hasil yang ditampilkan pada dampak
lingkungan yang dihasilkan.
Hasil yang didapatkan dengan metode external cost estimates dibandingkan
dengan hasil dari multicriteria analysis untuk mendapatkan cakupan yang lebih luas
sebagai preferensi pengambilan kebijakan. Terdapat lima skenario yang digunakan
dalam multicriteria analysis. Berdasarkan hasil perhitungan dengan pembobotan,
disimpulkan bahwa pembangkit listrik batu bara menempati posisi teratas sebagai
yang berdampak paling berbahaya dan pembangkit listrik tenaga angin merupakan
solusi terbaik dalam generasi pembangkit listrik. Namun dalam beberapa
perhitungan terlihat terdapat perbedaan dalam prioritas hasil secara signifikan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil ECE adalah berasal dari pandangan
scientific dan collective terhadap atribut yang signifikan terhadap perbedaan
dampak dari degradasi lingkungan. Sementara MCA berdasarkan pendekatan
subjektif dimana beberapa individu menentukan nilai terhadap dampak berdasarkan
persepsi mereka.
Penelitian Ines Wilkens dan Peter Schmuck (2012) dengan judul
Transdiciplinary Evaluation of Energi Scenario for a German Village Using Multi
Criteria Decision Analysis bertujuan untuk melakukan evaluasi antar disiplin
keilmuan pada penggunaan energi. Metode yang digunakan adalah Multi Criteria
Decision Analysis (MCDA) dan indikator-indikator ekologi,ekonomi, serta sosial
dalam pembahasannya. Hasil dari penelitian tersebut adalah partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan menghasilkan hasil positif dalam
pembahasan. Proses MCDA menawarkan platform untuk pertukaran argumen dan
perspektif yang berbeda; menyediakan data yang mampu menjawab pertanyaanpertanyaan dari masyarakat; dan menggabungkan data ilmiah dengan perspektif
aktor-aktor sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara seimbang.
Prosedur pembobotan untuk proses evaluasi memudahkan bagi para aktor dalam
menggunakan metode ini. Peringkat yang didapatkan dari skenario energi dapat
meyakinkan kelompok bahwa skenario bioenergi lebih berkelanjutan untuk desa
daripada sumber energi yang tak terbarukan.
M. Nasrullah dan Suparman (2010) melakukan penelitian tentang
perbandingan biaya pembangkit listrik nuklir dan fosil dengan memperhitungkan
aspek lingkungan. Metode yang digunakan adalah model Mini G4Econs yang
dikeluarkan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk menghitung
objektivitas perbandingan biaya pembangkitan listrik. Hasil penelitian tersebut
bahwa biaya pembangkitan listrik jika tanpa pajak karbon untuk PLTU sebesar 5,9
cents USD/KWh, PLTG sebesar 6,1 cents USD/KWh, PLTP 10,3 cents USD/KWh,
PLTN sebesar 6,05 cents USD/KWh. Ini menunjukkan PLTU berbahan bakar
batubara paling murah diantara pembangkitan listrik yang ada. Namun jika
menggunakan asumsi pajak karbon sebesar 40 US$/MT Carbon atau 44,1 US$/ton,
maka biaya pembangkitan listrik PLTU menjadi sebesar 6,9 cents USD/KWh,
PLTG sebesar 6,8 cents USD/KWh. Hal ini menunjukkan bahwa PLTN paling
murah dibanding pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

16
Penelitian tentang perhitungan biaya eksternalitas dari berbagai macam
pembangkit listrik sudah banyak dilakukan. Namun hal yang menjadi pembeda
dalam penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya
adalah perhitungan biaya kerugian menjadi dasar penentuan energy pricing. Hasil
yang diperoleh akan digunakan dalam penentuan kebijakan untuk pengembangan
panas bumi sebagai pengganti energi fosil di masa yang akan datang dengan analisa
menggunakan multi criteria analysis.

17

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kebutuhan akan energi sudah menjadi kebutuhan pokok manusia pada masa
saat ini termasuk salah satunya kebutuhan energi listrik. Energi listrik dihasilkan
dari pembangkit listrik. Kegiatan pembangkitan listrik memerlukan bahan baku
yang terdiri atas energi fosil dan atau non fosil. Pembangkit listrik energi fosil
contohnya Pembangkit Lisrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga
Diesel dan (PLTD). Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) salah satu
contoh pembangkit listrik yang bersumber dari energi non-fosil. Permasalahan
yang timbul dari penggunaan bahan baku fosil adalah eksternalitas negatif, biaya
produksi pembangkitan listrik yang tinggi, dan harga beli listrik oleh PLN yang
tinggi seperti yang telah dijelaskan pada Bab 1.
Dampak negatif yang timbul dan dirasakan oleh masyarakat yang tinggal
disekitar pembangkit listrik digambarkan melalui persepsi masyarakat yang
dianalisa dengan menggunakan deksriptif kuantitatif. Dampak tersebut akan
menimbulkan biaya yang harus ditanggung oleh pihak lain. Sehingga dibutuhkan
perhitungan dalam mengestimasi biaya kerugian yang dihasilkan dari masingmasing pembangkit listrik untuk selanjutnya diketahui biaya sosial dari masingmasing pembangkit listrik. Metode yang digunakan dalam mengestimasi biaya
kerugian tersebut adalah effect on production, dan benefit transfer.
Harga beli listrik bersumber enegi non fosil masih rendah jika
dibandingkan energi fosil. Fenomena tersebut diduga sebagai salah satu penyebab
lambatnya pengembangan energi listrik non-fos