Kajian Ekologi Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forsskal, 1775) Di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan
KAJIAN EKOLOGI-EKONOMI KEPITING BAKAU
(Scylla serrata - Forsskal, 1775) DI EKOSISTEM MANGROVE
TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN
MUHAMMAD TAHMID
`
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekologi-Ekonomi
Kepiting Bakau (Scylla serrata - Forsskal, 1775) di Ekosistem Mangrove Teluk
Bintan Kabupaten Bintan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Muhammad Tahmid
NIM C252130031
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
MUHAMMAD TAHMID. Kajian Ekologi-Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla
serrata - Forsskal, 1775) di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan.
Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO.
Kepiting bakau (S. serrata) merupakan salah satu potensi komoditas
perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yang secara khas berasosiasi
dengan ekosistem mangrove yang masih baik. Sehingga terdegradasinya habitat
akan memberikan dampak yang serius terhadap keberadaan populasi kepiting
bakau. Teluk Bintan memiliki mangrove seluas ±1.463,97 ha yang tersebar di
sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai. Keberadaan ekosistem
mangrove tersebut oleh masyarakat lokal secara langsung dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian tempat menangkap ikan, udang, kepiting dan hasil
lainnya. Kawasan tersebut memiliki potensi dan peranan penting sebagai
penyangga kehidupan khususnya bagi masyarakat nelayan sekala kecil (smallscale fisheries). Menurut nelayan setempat, hasil tangkapan kepiting bakau
semakin menurun dan penyebabnya belum diketahui dengan pasti apakah
dipengaruhi oleh kelebihan penangkapan atau kerusakan habitat. Oleh karenanya,
perlu dilakukan kajian tentang ekologi-ekonomi kepiting bakau untuk dicarikan
konsep pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji status biologi populasi kepiting bakau dilokasi penelitian yang
meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan dan laju mortalitas, mengkaji
status ekologi habitat kepiting bakau di lokasi penelitian, mengestimasi nilai
ekonomi kepiting bakau di lokasi penelitian serta megkaji status keberlanjutan
pengelolaan perikanan kepiting bakau di lokasi penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Bintan Kabupaten Bintan selama 4
bulan yaitu pada bulan Februari – Mei 2015. Pengambilan data ekologi dilakukan
dengan metode survey di tiga lokasi yaitu Tembeling, Bintan Buyu, dan Penaga
dengan 8 stasiun pengamatan. Pengumpulan sampel kepiting bakau dilakukan
dengan pendekatan fisher-based survey. Pengumpulan data sosial ekonomi
dilakukan dengan alat bantu kuisioner. Data biologi kepiting bakau dianalisis
dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II. Status ekologi habitat
dianalisis menggunakan pendekatan indeks kualitas habitat. Manfaat nilai
ekonomi dianalisis menggunakan pendekatan Effect on Production (EOP) dan
keberlanjutan pengelolaan dianalisis dengan bantuan program RAPFISH.
Hasil analisis strukutur ukuran menunjukkan lebar karapas S. serrata yang
tertangkap di Teluk Bintan berkisar dari 64 – 172 mm (jantan) dan 67 – 166 mm
(betina) dengan bobot terbesar kepiting jantan 1.470 g dan betina 810 g. Kepiting
fase dewasa yang tertangkap mencapai 52,94% (jantan) dan 50,46% (betina), fase
muda kepiting jantan mencapai 46,62% dan betina mencapai 48,06%, sedangkan
individu juvenil yang tertangkap hanya sebagian kecil yaitu di bawah 1,5%. Dari
hasil analisis hubungan lebar karapas (CW) dan bobot tubuh menunjukkan pola
pertumbuhan S. serrata jantan bersifat allometrik positif, sedangkan betina
bersifat allometrik negatif. Lebar karapas asimtotik (CW∞) yang dapat dicapai
kepiting jantan lebih besar dari kepiting betina yaitu 176,93 mm (jantan) dan
169,58 mm (betina). Koefisien pertumbuhan (K) kepiting bakau jantan lebih kecil
dari kepiting betina dengan masing-masing 0,360/th dan 0,390/th.
Laju mortalitas total (Z) kepiting bakau (S. serrata) jantan (1,2) lebih tinggi
dari betina (1,01). Laju mortalitas alami (M) kepiting jantan (0,5566) lebih kecil
dari laju penangkapan (F) (0,6434), yang berarti kematian total kepiting jantan
lebih banyak disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Sedangkan nilai M kepiting
betina sebesar 0,59353 (58,77%), yang berarti Z kepiting betina lebih banyak
disebabkan oleh mortalitas alami (M). Laju ekspoiltasi (E) kepiting bakau jantan
mencapai 53,62%, ini mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap atau over
eksploitasi dimana nilai E>50%. Sedangkan laju eksploitasi kepiting betina
sebesar 41,23%, yang berarti masih dibawah laju eksploitasi optimal yang
diperbolehkan.
Kualitas habitat kepiting bakau di ekosistem mangove Teluk Bintan berada
pada kategori “sedang” (nilai Indeks 43-66) dan “baik” (nilai Indeks 67-90).
Tembeling memiliki kategori “baik” dengan nilai indek 82, sedangkan di Bintan
Buyu dan Penaga keduanya berada pada kategori “sedang” dengan nilai indek 62
dan 66. Hubungan kualitas habitat terhadap rata-rata lebar karapas (Carapace
Width/CW) dan rata-rata bobot tubuh (Body Weight/W) kepiting bakau memiliki
hubungan kuat yaitu r = 0,997 (CW) dan r = 0,999 (W) dan keduanya memiliki
nilai p 50%. While the rate of
exploitation of female crabs by 41.23%, which means it is still below the optimal
exploitation rate is allowed.
The habitat quality of mud crab in Bintan Bay’s mangrove ecosystems in
which mean in the moderate category (index value 43-66) and good category
(index value 67-90). Tembeling have a good category with the index value of 82,
while in Bintan Buyu and Penaga both in the moderate category with the value of
the index 62 and 66. Relations habitat quality to the average width of carapace
width (CW) and average Body weight (W) of mud crab has a strong relationship
is r = 0.997 (CW) and r = 0.999 (W) and both has a p
(Scylla serrata - Forsskal, 1775) DI EKOSISTEM MANGROVE
TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN
MUHAMMAD TAHMID
`
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan Ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekologi-Ekonomi
Kepiting Bakau (Scylla serrata - Forsskal, 1775) di Ekosistem Mangrove Teluk
Bintan Kabupaten Bintan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Muhammad Tahmid
NIM C252130031
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN
MUHAMMAD TAHMID. Kajian Ekologi-Ekonomi Kepiting Bakau (Scylla
serrata - Forsskal, 1775) di Ekosistem Mangrove Teluk Bintan Kabupaten Bintan.
Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO.
Kepiting bakau (S. serrata) merupakan salah satu potensi komoditas
perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi yang secara khas berasosiasi
dengan ekosistem mangrove yang masih baik. Sehingga terdegradasinya habitat
akan memberikan dampak yang serius terhadap keberadaan populasi kepiting
bakau. Teluk Bintan memiliki mangrove seluas ±1.463,97 ha yang tersebar di
sepanjang pesisir pantai dan daerah aliran sungai. Keberadaan ekosistem
mangrove tersebut oleh masyarakat lokal secara langsung dimanfaatkan sebagai
sumber mata pencaharian tempat menangkap ikan, udang, kepiting dan hasil
lainnya. Kawasan tersebut memiliki potensi dan peranan penting sebagai
penyangga kehidupan khususnya bagi masyarakat nelayan sekala kecil (smallscale fisheries). Menurut nelayan setempat, hasil tangkapan kepiting bakau
semakin menurun dan penyebabnya belum diketahui dengan pasti apakah
dipengaruhi oleh kelebihan penangkapan atau kerusakan habitat. Oleh karenanya,
perlu dilakukan kajian tentang ekologi-ekonomi kepiting bakau untuk dicarikan
konsep pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji status biologi populasi kepiting bakau dilokasi penelitian yang
meliputi struktur ukuran, parameter pertumbuhan dan laju mortalitas, mengkaji
status ekologi habitat kepiting bakau di lokasi penelitian, mengestimasi nilai
ekonomi kepiting bakau di lokasi penelitian serta megkaji status keberlanjutan
pengelolaan perikanan kepiting bakau di lokasi penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Bintan Kabupaten Bintan selama 4
bulan yaitu pada bulan Februari – Mei 2015. Pengambilan data ekologi dilakukan
dengan metode survey di tiga lokasi yaitu Tembeling, Bintan Buyu, dan Penaga
dengan 8 stasiun pengamatan. Pengumpulan sampel kepiting bakau dilakukan
dengan pendekatan fisher-based survey. Pengumpulan data sosial ekonomi
dilakukan dengan alat bantu kuisioner. Data biologi kepiting bakau dianalisis
dengan metode analitik menggunakan alat bantu FISAT-II. Status ekologi habitat
dianalisis menggunakan pendekatan indeks kualitas habitat. Manfaat nilai
ekonomi dianalisis menggunakan pendekatan Effect on Production (EOP) dan
keberlanjutan pengelolaan dianalisis dengan bantuan program RAPFISH.
Hasil analisis strukutur ukuran menunjukkan lebar karapas S. serrata yang
tertangkap di Teluk Bintan berkisar dari 64 – 172 mm (jantan) dan 67 – 166 mm
(betina) dengan bobot terbesar kepiting jantan 1.470 g dan betina 810 g. Kepiting
fase dewasa yang tertangkap mencapai 52,94% (jantan) dan 50,46% (betina), fase
muda kepiting jantan mencapai 46,62% dan betina mencapai 48,06%, sedangkan
individu juvenil yang tertangkap hanya sebagian kecil yaitu di bawah 1,5%. Dari
hasil analisis hubungan lebar karapas (CW) dan bobot tubuh menunjukkan pola
pertumbuhan S. serrata jantan bersifat allometrik positif, sedangkan betina
bersifat allometrik negatif. Lebar karapas asimtotik (CW∞) yang dapat dicapai
kepiting jantan lebih besar dari kepiting betina yaitu 176,93 mm (jantan) dan
169,58 mm (betina). Koefisien pertumbuhan (K) kepiting bakau jantan lebih kecil
dari kepiting betina dengan masing-masing 0,360/th dan 0,390/th.
Laju mortalitas total (Z) kepiting bakau (S. serrata) jantan (1,2) lebih tinggi
dari betina (1,01). Laju mortalitas alami (M) kepiting jantan (0,5566) lebih kecil
dari laju penangkapan (F) (0,6434), yang berarti kematian total kepiting jantan
lebih banyak disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Sedangkan nilai M kepiting
betina sebesar 0,59353 (58,77%), yang berarti Z kepiting betina lebih banyak
disebabkan oleh mortalitas alami (M). Laju ekspoiltasi (E) kepiting bakau jantan
mencapai 53,62%, ini mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap atau over
eksploitasi dimana nilai E>50%. Sedangkan laju eksploitasi kepiting betina
sebesar 41,23%, yang berarti masih dibawah laju eksploitasi optimal yang
diperbolehkan.
Kualitas habitat kepiting bakau di ekosistem mangove Teluk Bintan berada
pada kategori “sedang” (nilai Indeks 43-66) dan “baik” (nilai Indeks 67-90).
Tembeling memiliki kategori “baik” dengan nilai indek 82, sedangkan di Bintan
Buyu dan Penaga keduanya berada pada kategori “sedang” dengan nilai indek 62
dan 66. Hubungan kualitas habitat terhadap rata-rata lebar karapas (Carapace
Width/CW) dan rata-rata bobot tubuh (Body Weight/W) kepiting bakau memiliki
hubungan kuat yaitu r = 0,997 (CW) dan r = 0,999 (W) dan keduanya memiliki
nilai p 50%. While the rate of
exploitation of female crabs by 41.23%, which means it is still below the optimal
exploitation rate is allowed.
The habitat quality of mud crab in Bintan Bay’s mangrove ecosystems in
which mean in the moderate category (index value 43-66) and good category
(index value 67-90). Tembeling have a good category with the index value of 82,
while in Bintan Buyu and Penaga both in the moderate category with the value of
the index 62 and 66. Relations habitat quality to the average width of carapace
width (CW) and average Body weight (W) of mud crab has a strong relationship
is r = 0.997 (CW) and r = 0.999 (W) and both has a p