Estimasi Daerah Penangkapan Madidihang (Thunnus albacares) dengan Tonda di Selatan Teluk Palabuhanratu

ESTIMASI DAERAH PENANGKAPAN MADIDIHANG
(Thunnus albacares) DENGAN TONDA DI
SELATAN TELUK PALABUHANRATU

PAWITRA JATMIKA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Estimasi Daerah
Penangkapan Madidihang (Thunnus albacares) dengan Tonda di Selatan Teluk
Palabuhanratu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2014
Pawitra Jatmika
NIM C44100050

ABSTRAK
PAWITRA JATMIKA. Estimasi Daerah Penangkapan Madidihang (Thunnus
albacares) dengan Tonda di Selatan Teluk Palabuhanratu. Dibimbing oleh
DOMU SIMBOLON dan PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM.
Madidihang menjadi komoditi ekspor utama ikan Indonesia dikarenakan
permintaan dan nilai jual yang tinggi. Pemenuhan kebutuhan madidihang sangat
dipengaruhi oleh kondisi daerah penangkapan ikan. Oleh karena itu, informasi
mengenai daerah penangkapan madidihang yang potensial sangat diperlukan oleh
nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah
menentukan komposisi ukuran panjang dan produktivitas madidihang,
menentukan sebaran spasial-temporal suhu permukaan laut dan klorofil-a, dan
mengestimasi daerah penangkapan potensial madidihang di selatan Teluk
Palabuhanratu. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2013. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ikan pelagis yang dominan tertangkap adalah
cakalang (43%), madidihang (37%), tuna mata besar (12%), setuhuk loreng (5%),
dan lemadang (3%). Sebaran rata-rata untuk suhu permukaan laut adalah 27,630,6ºC. Sementara itu, sebaran rata-rata untuk klorofil-a adalah 0,1-0,2 mg/m3.

Daerah penangkapan madidihang diestimasi dengan menggunakan empat
indikator, yaitu ukuran panjang madidihang, catch per unit effort (CPUE), suhu
permukaan laut, dan konsentrasi klorofil-a. Daerah penangkapan potensial
madidihang di selatan Teluk Palabuhanratu berada pada bagian selatan yang
berhubungan dengan perairan laut lepas dibandingkan dengan perairan di bagian
barat daya yang lebih dekat ke arah pantai.
Kata kunci: daerah penangkapan ikan, klorofil-a, madidihang, perairan selatan
Teluk Palabuhanratu, suhu permukaan laut (SPL)

ABSTRACT
PAWITRA JATMIKA. Yellowfin tuna’s (Thunnus albacares) Fishing Ground
Estimation with Trolling in southern bay of Palabuhanratu. Supervised by DOMU
SIMBOLON and PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM.
Yellowfin tuna becomes a major of Indonesian’s export commodity because
of it’s demand and high selling price. To fulfill the needs of yellowfin tuna are
highly influenced by the condition of fishing ground. Therefore, information
about the potential yellowfin tuna’s fishing grounds is needed by fisheries. The
objectives of this research are to determine the composition length size and
productivity of yellowfin tuna, to determine the spatial-temporal distribution of
sea surface temperature and chlorophyll-a, and to estimate the potential fishing

ground of yellowfin tuna in southern bay of Palabuhanratu. This research was
conducted from May to August 2013. The research show that the dominant
catched pelagic fish are skipjack (43%), yellowfin tuna (37%), bigeye tuna (12%),
Indo Pacific blue marlin (5%), and common dolphin fish (3%). In addition, the

average distributions for sea surface temperature is 27.6-30.6ºC. Meanwhile the
average distributions for chlorophyll-a is 0.1-0.2 mg/m3. Moreover, the yellowfin
tuna’s fishing ground was estimated by using four indicators, namely length size
of yellowfin tuna, catch per unit effort (CPUE), sea surface temperature, and
chlorophyll-a concentration. Finally, the potential fishing ground of yellowfin
tuna in the south Palabuhanratu bay is located in the southern part which is
connected with international sea (exclusive economic zone) comparing to the area
in southwestern part closer to the coast.
Keywords: fishing ground, chlorophyll-a, yellowfin tuna, southern bay of
Palabuhanratu, sea surface temperature (SST)

ESTIMASI DAERAH PENANGKAPAN MADIDIHANG
(Thunnus albacares) DENGAN TONDA DI
SELATAN TELUK PALABUHANRATU


PAWITRA JATMIKA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi

: Estimasi Daerah Penangkapan Madidihang (Thunnus
albacares) dengan Tonda di Selatan Teluk Palabuhanratu
Nama
: Pawitra Jatmika

NIM
: C44100050
Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Domu Simbolon MSi
Pembimbing I

Prihatin Ika Wahyuningrum SPi MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Budy Wiryawan MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Agustus 2013 ini
adalah daerah penangkapan ikan, dengan judul Estimasi Daerah Penangkapan
Madidihang (Thunnus albacares) dengan Tonda di Selatan Teluk Palabuhanratu.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
1) Prof Dr Ir Domu Simbolon MSi dan Prihatin Ika Wahyuningrum SPi MSi
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan
dan saran;
2) Dr Ir Budhi Hascaryo Iskandar MSi selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan saran;
3) Dr Yopi Novita SPi MSi selaku Komisi Pendidikan yang telah
memberikan masukan dan saran;
4) Papah (Drs. Salamet Suryawinata (Alm), Mamah Yati, kakak Sonya
Pranasari, dan Puteri Nurul Fadhilah, serta seluruh keluarga besar, atas
segala doa, kasih sayang, masukan dan dukungan;
5) Kepala UPT PPN Palabuhanratu beserta staf yang telah banyak membantu
selama proses penelitian dan pengumpulan data;
6) Bapak Syarif dan Bapak Arik yang telah membantu dan membimbing
selama berada di Stasiun Lapang Kelautan (SLK) Palabuhanratu dan PPN

Palabuhanratu;
7) PSP 45, PSP 46, PSP 47, penghuni Asmoro (Daud dan Sobar), Yowan,
Andikha, Iqbal, Yudha, Audie, Ryan, Toro, Poe, Taw, Doper, Tessa,
Dopang, Dira, Hani, Erni, Octa, Moza, Tia, Wienda, Dewe, Febby, Ichi,
Febrina, Doni lahay, Pak Deni A. Soeboer, Kak Didin, Kak Uwox, Kak
Eka, Kak Ike, dan Kak Izza, Bu Fina, Pak Zulfa, Mang Yana, Mang Isman,
serta seluruh teman-teman PSP dan civitas PSP yang selalu menemani dan
banyak memberikan dukungan dan doa.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2014
Pawitra Jatmika

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

METODE PENELITIAN

3

Lokasi dan Waktu Penelitian

3

Peralatan Penelitian

3

Jenis dan Sumber Data

4

Metode Pengumpulan Data


4

Pengolahan dan Analisis Data

5

Komposisi ukuran panjang dan produktivitas

5

SPL dan kandungan klorofil-a

5

Daerah potensial penangkapan ikan (DPI)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan


9
9

Panjang Madidihang yang Dominan Tertangkap

10

CPUE

12

Suhu Permukaan Laut

14

Klorofil-a

19

Daerah Penangkapan Ikan (DPI)

23

KESIMPULAN DAN SARAN

26

Kesimpulan

26

Saran

26

DAFTAR PUSTAKA

27

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Penilaian DPI berdasarkan indikator ukuran panjang ikan
2 Penilaian DPI berdasarkan produktivitas (CPUE)
3 Penilaian DPI berdasarkan sebaran SPL
4 Penilaian DPI berdasarkan indikator klorofil-a
5 DPI Potensial berdasarkan beberapa parameter
6 Komposisi Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan
7 Jumlah thermal front dan upwelling pada bulan Mei-Agustus 2013
8 Penilaian DPI madidihang di perairan selatan Teluk Palabuhanratu

7
7
7
8
8
9
16
23

DAFTAR GAMBAR
1 Peta Lokasi Penelitian
2 Jumlah madidihang yang tertangkap bulan Mei-Agustus 2013
3 Presentase madidihang yang layak dan tidak layak tangkap
4 CPUE pancing tonda Desember 2012-November 2013
5 CPUE DPI 1 dan DPI 2 bulan Mei-Agustus 2013
6 Sebaran temporal SST harian bulan Mei-Agustus 2013
7 Sebaran spasial SPL bulan Mei 2013
8 Sebaran spasial SPL bulan Juni 2013
9 Sebaran spasial SPL bulan Juli 2013
10 Sebaran spasial SPL bulan Agustus 2013
11 Sebaran temporal klorofil-a harian bulan Mei-Agustus 2013
12 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-abulan Mei 2013
13 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Juni 2013
14 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Juli 2013
15 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Agustus 2013
16 Peta Daerah Penangkapan Madidihang di Selatan Teluk Palabuhanratu

3
10
12
13
14
15
17
17
18
18
19
20
21
21
22
25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis pancing yang digunakan kapal pancing tonda
2 Kapal, nelayan dan hasil tangkapan pancing tonda
3 Posisi lintang dan bujur thermal front pada bulan Mei-Agustus 2013
4 Posisi lintang dan bujur upwelling pada bulan Mei-Agustus 2013

30
31
32
34

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Madidihang (Thunnus albacares) merupakan jenis ikan tuna yang paling
banyak ditemukan di wilayah perairan Indonesia. Madidihang termasuk ikan
penjelajah perairan oseanis dan biasanya ditemukan secara bergerombol.
Penyebaran madidihang berada di kawasan barat dan timur perairan Indonesia.
Kawasan barat Indonesia meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan
timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Kawasan timur Indonesia meliputi Laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku,
Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Papua, dan Selat Makassar (Uktolseja
et al.1998) vide (Simbolon 2011). Salah satu daerah yang memiliki potensi
madidihang adalah daerah selatan Teluk Palabuhanratu. Total produksi
madidihang di selatan Teluk Palabuhanratu pada tahun 2012 mencapai 1.674.910
kg atau 19% dari total produksi yang didaratkan di PPN Palabuhanratu (PPN
Palabuhanratu 2013).
Armada penangkapan yang dominan menangkap madidihang di PPN
Palabuhanratu adalah pancing tonda (troll line). Armada pancing tonda yang
berada di PPN Palabuhanratu berjumlah 196 armada. Komposisi hasil tangkapan
dari armada pancing tonda adalah madidihang (yellowfin tuna), tuna mata besar
(big eye tuna), cakalang (skipjack tuna), dan setuhuk loreng (stripped marlin)
(PPN Palabuhanratu 2013). Madidihang sama seperti jenis ikan lainnya tidak
dapat terlepas dari pengaruh lingkungan biotik maupun abiotik.
Salah satu yang termasuk ke dalam lingkungan abiotik adalah parameter
oseanografi. Parameter oseanografi seperti klorofil, tinggi paras laut, arus, dan
suhu permukaan laut (SPL) berperan sangat penting di dalam pendistrubusian dan
pola ruaya madidihang. Suhu merupakan faktor penting di dalam meramalkan
keberadaan tuna di suatu perairan, walaupun belum dapat dijadikan dasar untuk
menentukan kelimpahannya (Nakamura 1969). Madidihang hidup pada perairan
dengan kisaran temperatur antara 18º-31ºC. Madidihang terkonsentrasi pada
kisaran suhu perairan antara 20º-28ºC (Laevastu dan Hela 1970).
Pengukuran atau pengamatan parameter oseanografi dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu secara langsung (in-situ) dan tidak langsung (ex-situ) dengan
menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh. Teknologi pengindraan jauh
dengan menggunakan citra satelit dapat diaplikasikan untuk mengetahui
parameter oseanografi. Citra satelit dapat digunakan untuk pengamatan kondisi
oseanografi suatu perairan secara multi-temporal dan multi-spasial di suatu
wilayah perairan yang cukup luas dan waktu yang bersamaan. Kondisi
oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain SPL,
konsentrasi klorofil-a, dan arus laut. SPL diperoleh dari sensor thermal,
konsentrasi klorofil-a dari sensor optik, dan arus dari sensor radar (Widodo 1999).
SPL yang dapat dipantau oleh satelit merupakan parameter oseanografi yang
mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan sumberdaya hayati laut. Citra
SPL dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola

2
distribusi suhu, arus, fenomena upwelling, dan thermal front yang menjadi salah
satu dasar penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial (Kunarso 2008).
Keberadaan madidihang yang banyak di suatu perairan menunjukkan bahwa
di perairan tersebut dapat diduga sebagai daerah penangkapan ikan yang potensial.
Akan tetapi saat ini nelayan di selatan Teluk Palabuhanratu cukup sulit untuk
menangkap madidihang. Hal ini dikarenakan nelayan masih menggunakan cara
konvensional dengan insting berupa pengalaman dan berburu yang menyebabkan
efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan berkurang dengan banyaknya
biaya, waktu, dan tenaga yang terbuang. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan
penelitian terkait parameter oseanografi untuk mengestimasi daerah penangkapan
madidihang yang potensial. Informasi mengenai daerah penangkapan merupakan
bagian yang sangat penting untuk nelayan dalam melakukan operasi penangkapan
ikan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menentukan komposisi ukuran panjang dan produktivitas yang meliputi
panjang dan Catch Per Unit Effort (CPUE) madidihang
2) Menentukan sebaran spasial dan temporal SPL dan klorofil-a
3) Menganalisis daerah penangkapan potensial madidihang di selatan Teluk
Palabuhanratu

Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini antara lain adalah:
1) Penulis dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang didapatkan di perkuliahan
secara langsung di lapangan
2) Bahan masukan bagi pemerintah untuk pengelolaan tuna khususnya
madidihang di daerah Palabuhanratu
3) Bahan masukan bagi pelaku usaha penangkapan terkait daerah penangkapan
madidihang yang potensial

3
METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tahap
pengumpulan data di perairan selatan Teluk Palabuhanratu yang dilaksanakan
pada bulan Mei-Agustus 2013. Tahap kedua adalah mengunduh dan menganalisa
citra SPL dan klorofil-a dari situs http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov pada
bulan Oktober-Desember 2013.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Peralatan Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain:
1) Peta lokasi penelitian untuk menentukan posisi operasi penangkapan ikan
2) Mistar dan meteran untuk mendapatkan ukuran panjang hasil tangkapan yang
dominan tertangkap
3) Kamera digital untuk dokumentasi penelitian
4) Software Microsoft Excel dan SeaDAS untuk mengolah data, penentuan SPL
dan klorofil-a pada tiap titik, serta membuat peta sebaran SPL dan klorofil-a
5) Kuisioner untuk memperoleh data posisi daerah penangkapan ikan, waktu
operasi penangkapan ikan, jenis hasil tangkapan, dan jumlah hasil tangkapan
6) Software Map Source untuk menentukan posisi penangkapan

4
Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
meliputi jenis ikan yang tertangkap, jumlah madidihang yang tertangkap, ukuran
panjang madidihang yang tertangkap, posisi penangkapan, dan waktu operasi
penangkapan ikan. Data primer diperoleh dari armada penangkapan ikan yang
berbasis di PPN Palabuhanratu. Data sekunder yang diambil adalah data produksi
bulanan hasil tangkapan madidihang di PPN Palabuhanratu dan data citra satelit
SPL dan klorofil-a dari satelit MODIS yang diperoleh dari situs
http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov.

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei. Menurut
Nazir (2003) metode survei menelaah secara detail tentang masalah-masalah serta
mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktek-praktek yang sedang
berlangsung. Metode survei juga melakukan perbandingan-perbandingan terhadap
hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang
serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan
keputusan di masa mendatang. Penyelidikan dilakukan dalam waktu yang
bersamaan terhadap sejumlah individu atau unit, baik secara sensus atau dengan
menggunakan sampel.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner pada objek
penelitian. Objek penelitian yang dipilih adalah armada penangkapan pancing
tonda dengan spesies target tangkapan madidihang dan umumnya melakukan trip
sebanyak tiga kali dalam sebulan. Lamanya waktu untuk satu kali trip adalah satu
minggu. Sampel yang dipilih adalah 28 unit (lebih dari 10%) dari total armada
pancing tonda yang berjumlah 196 armada.
Data yang dikumpulkan dari setiap sampel kapal adalah spesies ikan yang
tertangkap, jumlah ikan yang tertangkap, ukuran panjang ikan yang dominan
tertangkap, posisi, dan waktu operasi penangkapan ikan. Data primer tersebut
diperoleh dari keterangan kapten kapal dan anak buah kapal (ABK). Penentuan
responden ini dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan
pertimbangan bahwa kapten dianggap mengetahui posisi dan waktu penangkapan,
sedangkan ABK mengetahui spesies, jumlah dan ukuran panjang hasil tangkapan.
Cara penentuan kapal sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling.
Penentuan posisi penangkapan dapat ditentukan melalui dua cara yaitu
menggunakan Global Positioning System (GPS) dan peta lokasi penangkapan ikan.
Pengukuran posisi penangkapan menggunakan GPS yaitu dengan cara mencatat
langsung posisi lintang dan bujur yang tertera pada layar GPS. Cara penentuan
posisi penangkapan menggunakan peta yaitu menandai posisi yang menjadi
daerah penangkapan ikan.

5
Data sekunder diperoleh melalui internet dan dinas atau instansi-instansi
terkait yang erat kaitannya dengan penelitian yang dilakukan. Data sekunder
meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data citra klorofil-a, data citra SPL hasil
deteksi dari satelit pada posisi dan waktu yang bersamaan dengan kegiatan
penangkapan ikan, data statistik perikanan dari kantor Pos Pelayanan Terpadu dan
Tata Usaha (TU) PPN Palabuhanratu serta informasi lainnya yang erat kaitannya
dengan topik penelitian.
Pengolahan dan Analisis Data

Komposisi ukuran panjang dan produktivitas
Analisis komposisi hasil tangkapan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui sebaran ukuran panjang dan CPUE madidihang di lokasi penelitian.
Hasil tangkapan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing
sampel selama penelitian digabung untuk menganalisis komposisi ukuran panjang
dan produktivitas berdasarkan skala penyebaran daerah penangkapan ikan.
Selanjutnya, data ukuran panjang madidihang yang dominan tertangkap
dikelompokan berdasarkan selang kelas yang dibuat untuk melihat jumlah panjang
yang paling dominan. Penentuan selang kelas menggunakan persamaan Sturgess
(1982) vide Yulius et al. (2013):
Jumlah kelas= 1 + 3,32* log (n) ..................................... (1)
Keterangan: n= Jumlah sampel
Panjang madidihang yang didaratkan dibandingkan dengan panjang pertama
kali madidihang matang gonad atau length at first maturity (LM). Panjang LM
yang digunakan adalah 78 cm sesuai dengan penelitian Zudaire et al. (2008).
Sedangkan CPUE diperoleh dengan menggunakan rumus CPUE (Purwaningtyas
et al. 2006):

���� =



� ℎ ℎ� �

� � ���

����� � � ���

( �)

( �� )

.................................... (2)

SPL dan kandungan klorofil-a
Data yang telah diunduh diolah untuk memperoleh nilai dan gambaran
sebaran SPL dan klorofil-a di perairan selatan Teluk Palabuhanratu. Data yang
dipilih merupakan data harian dan mingguan dengan batasan 6o30’-9o30’LS dan
104o30’-107o30’BT. Proses awal yang dilakukan adalah mengunduh data level 3
composite data harian dengan resolusi spasial 4 km. Data yang dipilih dengan
format HDF (Hierarchical Data Format) merupakan data yang tampilannya
sudah datar (flat). Data hasil unduh diekstrak terlebih dahulu sehingga data
tersebut dapat diolah lebih lanjut. Ekstrak data dilakukan dengan menggunakan
perangkat lunak WinRAR 3.42.

6
Langkah pertama adalah croping atau pemotongan citra melalui program
display yang terdapat pada menu SeaDAS. Tahap croping dilakukan pada lokasi
penelitian yaitu perairan selatan Teluk Palabuhanratu. Pengaturan untuk ukuran
pixel and line sample rate dirubah menjadi 1. Setelah itu load data SPL yang
sudah di cropping. Terdapat tiga output dari hasil pengolahan SeaDAS yaitu
output gambar dengan ekstensi PNG (*.PNG), ASCII, dan binary. Pada
pengolahan data menggunakan SeaDAS yang dipilih adalah output ekstensi ASCII.
Output dalam bentuk ASCII tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui
SPL dan klorofil-a yang ada pada lokasi penelitian.
Penentuan nilai SPL dan klorofil-a diperoleh dari data ASCII hasil
pengolahan perangkat lunak, selanjutnya diproses di Microsoft Excel 2007. Data
tersebut di import dan disimpan ulang dalam ekstensi xls (*.xls) ataupun dalam
ekstensi yang lain untuk mempermudah pada proses selanjutnya.
Pembuatan peta sebaran SPL dan klorofil-a diperoleh dari data hasil
pengolahan dari Microsoft Excel 2007 diolah kembali menggunakan SeaDAS
untuk memperoleh peta sebaran SPL dan klorofil-a beserta garis konturnya. Nilai
dominan dari SPL dan klorofil-a pada daerah penelitian disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik yang selanjutnya dianalisis sebarannya menurut waktu operasi
penangkapan. Sebaran SPL dan klorofil-a secara spasial ditentukan dengan
melakukan analisis secara visual. Pada analisis ini juga dilihat pergerakan SPL
dan klorofil-a pada daerah penelitian pada bulan Mei-Agustus 2013 dengan
melakukan analisis visual pada peta harian dan mingguan sebaran SPL dan
klorofil-a.
Fenomena yang terkait dengan perubahan suhu dan klorofil-a antara lain
adalah thermal front dan upwelling. Daerah thermal front merupakan pertemuan
antara dua massa air yang memiliki ciri yang berbeda. Perbedaan kedua massa air
ini ditandai oleh adanya perbedaan dalam warna atau suhu air. Penggabungan
kedua massa air akan mendorong terbentuknya area subur dengan kelimpahan
plankton yang tinggi (Simbolon et al. 2013). Menurut LAPAN (2003) vide
Simbolon et al. (2013) daerah thermal front ditandai dengan adanya gradien suhu
yang rapat dibandingkan dengan daerah sekitarnya dengan kisaran suhu 0,5ºC
dalam 3 Km. Adapun daerah upwelling dideteksi dengan menggunakan citra SPL
jika memenuhi persyaratan yang lebih dingin dibandingkan area di sekitarnya
dengan gradien ≥ 2ºC. Sementara itu, penentuan daerah upwelling dengan
menggunakan citra klorofil-a adalah dengan melihat kelimpahan konsentrasi
klorofil-a di daerah penelitian. Kosentrasi klorofil-a yang melimpah menandakan
daerah penangkapan tersebut subur dan dapat menarik ikan untuk membentuk
rantai makanan. Madidihang sebagai salah satu predator puncak dipercaya sering
membentuk agregasi pada daerah-daerah ini.

Daerah potensial penangkapan ikan (DPI)
Penentuan daerah penangkapan madidihang dibagi menjadi dua, yaitu
baratdaya Teluk Palabuhanratu (DPI 1) dan selatan Teluk Palabuhanratu (DPI 2).
Penentuan ini didasarkan pada 11 posisi penangkapan madidihang yang dilakukan
oleh 28 kapal sampel yang berada di PPN Palabuhnaratu. Daerah penangkapan
ikan potensial dapat ditentukan melalui metode skoring dengan menggunakan
empat indikator DPI, yaitu ukuran panjang ikan, CPUE, SPL, dan klorofil-a.

7
Pendugaan DPI dengan parameter ukuran panjang dilakukan dengan cara
membandingkan panjang madidihang dengan length at first maturity (LM) dari
madidihang (Tabel 1). Panjang LM yang digunakan adalah 78 cm sesuai dengan
penelitian Zudaire et al. (2008). Jika ikan yang tertangkap lebih besar dari LM,
maka ikan yang bersangkutan dikategorikan layak tangkap secara biologis dan
jika sebaliknya dikategorikan tidak layak tangkap secara biologis.

Tabel 1 Penilaian DPI berdasarkan indikator ukuran panjang ikan
No
1
2

Kategori ukuran panjang
Besar
Kecil

Kriteria
Panjang ikan > LM
Panjang ikan ≤ LM

Kategori DPI
Potensial
Tidak potensial

Parameter CPUE dapat digunakan sebagai indikator DPI karena CPUE
mengindikasikan produktivitas daerah penangkapan ikan target (madidihang).
Apabila nilai CPUE lebih besar dari nilai CPUE rata-rata madidihang, maka
daerah penangkapan ikan tersebut dikategorikan potensial. Jika nilai CPUE lebih
kecil dari atau sama dengan nilai CPUE rata-rata madidihang, maka suatu daerah
penangkapan ikan tersebut dikategorikan tidak potensial (Tabel 2).

Tabel 2 Penilaian DPI berdasarkan produktivitas (CPUE)
No
1
2

Kategori CPUE
Tinggi
Rendah

Kriteria
CPUE>CPUE rata-rata
CPUE ≤ CPUE rata-rata

Kategori DPI
Potensial
Tidak potensial

Parameter SPL sebagai indikator pendugaan DPI dilakukan dengan melihat
sebaran SPL yang optimum dan tidak optimum. Jika berpengaruh signifikan
terhadap hasil tangkapan, maka suhu dapat dijadikan sebagai indikator DPI dan
dikategorikan potensial untuk penangkapan. Akan tetapi jika suhu tidak
berpengaruh signifikan mempengaruhi hasil tangkapan, maka suhu tidak
digunakan sebagai indikator daerah penangkapan ikan (Tabel 3).

Tabel 3 Penilaian DPI berdasarkan sebaran SPL
No
1
2

Kategori
Suhu optimum
Suhu tidak optimum

Kategori DPI
Potensial
Tidak potensial

Parameter klorofil-a sebagai indikator pendugaan DPI dilakukan dengan
melihat seberapa besar kandungan klorofil-a yang berada di sekitar daerah
penangkapan. Daerah penangkapan dikategorikan potensial apabila kandungan
klorofil-a lebih besar dari 0,2 mg/m3. Sementara itu, dikatakan daerah
penangkapan tidak potensial apabila kandungan klorofil-a lebih kecil atau sama
dengan 0,2 mg/m3 (Widodo 1999). Penilaian DPI berdasarkan indikator klorofil-a
dapat dilihat pada Tabel 4.

8
Tabel 4 Penilaian DPI berdasarkan indikator klorofil-a
No
1
2

Kategori kandungan
klorofil-a
Banyak
Sedikit

Kriteria

Kategori DPI

Klorofil-a >0,2 mg/m3
Klorofil-a ≤ 0,2 mg/m3

Potensial
Tidak potensial

Keempat parameter DPI tersebut di atas, selanjutnya diberi nilai bobot
menggunakan teknik scoring. Skor memiliki rentang nilai antara 2 sampai dengan
6. Daerah penangkapan ikan kategori potensial berdasarkan kriteria atau indikator
ukuran panjang ikan diberikan nilai 6 dan yang tidak potensial diberikan nilai 2.
Daerah penangkapan ikan kategori potensial berdasarkan kriteria atau indikator
penilaian CPUE, SPL, dan klorofil-a diberikan nilai 6 dan yang tidak potensial
diberikan nilai 4. Perbedaan skor atau bobot penilaian untuk DPI potensial dan
tidak potensial pada parameter ukuran ikan lebih besar dibandingkan dengan
parameter CPUE, SPL, dan klorofil-a (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena ukuran
ikan akan berpengaruh langsung terhadap sumberdaya madidihang, sedangkan
CPUE, SPL, dan klorofil-a hanya menunjukkan keberadaan ikan di wilayah DPI
tersebut.

Tabel 5 DPI Potensial berdasarkan beberapa parameter
Indikator
Ukuran
CPUE
SPL
Klorofil-a

Kriteria
Panjang ikan > LM
Panjang ikan ≤ LM
CPUE > CPUE rata-rata
CPUE ≤ CPUE rata-rata
Suhu optimum
Suhu tidak optimum
Klorofil-a >0,2 mg/m3
Klorofil-a ≤ 0,2 mg/m3

Kategori DPI
Potensial
Tidak Potensial
Potensial
Tidak Potensial
Potensial
Tidak Potensial
Potensial
Tidak Potensial

Skor
6
2
6
4
6
4
6
4

Setelah diperoleh nilai bobot dari masing-masing parameter pada suatu DPI
tertentu, selanjutnya bobot tersebut diakumulasikan. DPI potensial merupakan
daerah penangkapan yang memiliki tiga atau empat parameter yang bernilai
potensial. Sedangkan DPI tidak potensial merupakan daerah penangkapan yang
memiliki satu atau dua parameter yang bernilai potensial. Penentuan kriteria DPI
dilakukan berdasarkan penilaian 4 parameter indikator DPI (Tabel 5) dengan
rumus:

........................................................(3)
Keterangan: P1= ukuran ikan
P2= CPUE
P3= SPL
P4= Klorofil-a

9
HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan

Madidihang merupakan kelompok ikan yang banyak didaratkan oleh
nelayan pancing tonda di PPN Palabuhanratu. Selain itu, madidihang merupakan
komoditi ikan yang paling banyak diekspor dikarenakan permintaan dan nilai jual
yang tinggi. Berikut ini jenis dan jumlah hasil tangkapan yang didaratkan oleh
sampel kapal pancing tonda di PPN Palabuhanratu selama bulan Mei-Agustus
2013 (Tabel 6).

Tabel 6 Komposisi Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan
No Nama Daerah Nama Umum Nama Ilmiah
1
Cakalang
Skipjack
Katsuwonus
pelamis
2
Madidihang
Yellowfin
Thunnus
tuna
albacares
3
Tuna Mata
Big eye
Thunnus
Besar
Tuna
obesus
4
Setuhuk
Indo Pacific Tetrapturus
Loreng
Blue Marlin
audax
5
Lemadang
Common
Coryphaena
dolphin fish
hippurus
Jumlah

Jumlah(ekor) Presentase(%)
856
43
725

37

244

12

105

5

54

3

1984

100

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa ikan yang tertangkap adalah
cakalang 856 ekor (43%), sedangkan madidihang hanya berada pada urutan kedua
(37%) kemudian menyusul tuna mata besar, setuhuk, dan lemadang. Berdasarkan
hasil penelitian, hasil tangkapan yang dominan adalah cakalang, madidihang, dan
tuna mata besar sedangkan hasil tangkapan sampingan adalah setuhuk loreng dan
lemadang. Komposisi jenis ikan yang dominan tertangkap pada penelitian ini
menunjukkan pola yang sama dengan penelitan Wahju et al. 2013. Hasil
penelitian Wahju et al. (2013) menunjukkan bahwa pada tahun 2011 di perairan
Teluk Palabuhanratu jenis ikan yang dominan tertangkap dengan menggunakan
pancing tonda antara lain cakalang, madidihang, tuna mata besar, dan setuhuk
loreng. Akan tetapi, pada penelitian ini daerah penangkapan yang akan diestimasi
hanya untuk madidihang. Ikan tuna dan cakalang mendominasi 80% dari total
hasil tangkapan dikarenakan Teluk Palabuhanratu merupakan perairan yang
langsung menghadap ke Samudera Hindia. Subani dan Barus (1989) mengatakan
di Indonesia daerah penangkapan tuna tersebar di bagian timur dan daerah yang
langsung berhadapan dengan Samudera Hindia.

10
Panjang Madidihang yang Dominan Tertangkap

Madidihang merupakan salah satu ikan yang dominan tertangkap di selatan
Teluk Palabuhanratu selama dilakukannya penelitian (Tabel 6). Ukuran
madidihang yang tertangkap di selatan Teluk Palabuhanratu berbeda-beda untuk
setiap bulannya (Gambar 2). Penentuan selang panjang (cm) di dapat dengan
menggunakan persamaan (2).

Gambar 2 Jumlah madidihang yang tertangkap bulan Mei-Agustus 2013
Gambar 2 menunjukkan panjang madidihang yang tertangkap dan
didaratkan di PPN Palabuhanratu berfluktuasi mulai bulan Mei-Agustus 2013.
Panjang madidihang yang tertangkap pada bulan Mei memiliki kisaran panjang
68-157 cm, dengan rata-rata 108 cm/ekor. Ukuran ikan yang mendominasi adalah
ukuran 98-107 cm, yaitu 34 ekor (19%). Panjang madidihang yang tertangkap
pada bulan Juni memiliki kisaran panjang antara 68-157 cm, dengan rata-rata 112
cm/ekor. Ukuran ikan yang mendominasi adalah ukuran 108-117 cm, yaitu 38
ekor (20%). Panjang madidihang yang tertangkap pada bulan Juli memiliki
kisaran panjang antara 68-157 cm, dengan rata-rata 120 cm/ekor. Ukuran ikan
yang mendominasi adalah ukuran 118-127 cm, yaitu 49 ekor (26%). Sementara itu,
panjang madidihang yang tertangkap pada bulan Agustus memiliki kisaran
panjang antara 88-167 cm, dengan rata-rata 128 cm/ekor. Ukuran ikan yang
mendominasi adalah ukuran 118-127 cm, yaitu 66 ekor (39%). Jumlah tangkapan
madidihang paling banyak ditemukan pada bulan Juli sebanyak 190 ekor,
sedangkan tangkapan paling sedikit ditemukan pada bulan Agustus sebanyak 169
ekor. Hasil tangkapan pada bulan Agustus paling rendah karena angin berhembus
kencang yang mengakibatkan operasi penangkapan tidak kondusif. Nelayan juga
sulit mendeteksi keberadaan ikan pada saat operasi penangkapan pada bulan

11
Agustus, sehingga nelayan memilih untuk tidak melaut atau mencari mata
pencaharian yang lain (Simbolon dan Limbong 2012).
Ukuran panjang dominan pada bulan Mei adalah 78-107 cm dan jumlahnya
lebih besar daripada bulan Juli-Agustus pada ukuran yang sama. Pada ukuran
lebih dari 118 cm jumlah madidihang pada bulan Mei memiliki kecenderung lebih
kecil dari bulan Juni-Agustus. Ukuran panjang dominan pada bulan Juni yaitu 88117 cm dan jumlahnya lebih besar daripada bulan Juli-Agustus pada ukuran yang
sama. Pada ukuran lebih dari 118 cm, jumlah madidihang pada bulan Juni lebih
kecil dari bulan Juli-Agustus. Hal ini berarti ada kecenderungan perubahan atau
pertambahan ukuran panjang madidihang dari bulan Mei-Juni sebesar 4 cm/ekor.
Ukuran panjang dominan pada bulan Juli yaitu 118-137 cm dan jumlahnya lebih
besar daripada bulan Mei-Juni pada ukuran yang sama. Pada ukuran lebih dari 118
cm, jumlah madidihang pada bulan Juli lebih besar dari bulan Mei, Juni, dan
Agustus. Hal ini berarti ada perubahan atau pertambahan ukuran panjang
madidihang dari bulan Juli-Agustus sebesar 8 cm/ekor. Ukuran panjang dominan
pada bulan Agustus yaitu 118-137 cm dan jumlahnya lebih besar daripada bulan
Mei-Juli pada ukuran yang sama. Pada ukuran lebih dari 138 cm jumlah
madidihang pada bulan Agustus cenderung lebih kecil dari bulan Juni-Juli. Hal ini
berarti ada perubahan atau pertambahan ukuran panjang madidihang dari bulan
Juni-Juli sebesar 8 cm/ekor. Dengan demikian, hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Wijaya (2012) yang menyatakan bahwa madidihang bertambah kurang
lebih 4 cm setiap bulannya.
Madidihang memiliki kecenderungan membentuk schooling dengan ikan
yang mempunyai ukuran yang sama dibandingkan dengan schooling menurut
spesies. Madidihang sering berenang dalam bentuk schooling bersama-sama
dengan cakalang, tuna mata besar, dan jenis-jenis tuna lainnya (Baskoro et al.
2011). Perbandingan hasil tangkapan yang diperoleh berbeda disebabkan oleh
adanya faktor-faktor oseanografi (Alimina 2005). Hasil penelitian pada perairan
selatan Teluk Palabuhanratu menunjukkan panjang ikan yang tertangkap berkisar
antara 74-165 cm. Menurut Zudaire et al. (2008) panjang madidihang yang
tertangkap di perairan Samudera Hindia bagian tengah dan barat yang meliputi
Somalia, Seychelles bagian tenggara dan barat laut, Chagos dan Mozambique
berkisar antara 30-161 cm.
Ikan yang layak tangkap merupakan ikan yang saat ditangkap sudah pernah
memijah minimal satu kali. Madidihang memijah pertama kali pada ukuran 78 cm
untuk perairan Samudera Hindia. Ikan-ikan yang berukuran lebih dari 78 cm
diasumsikan sudah layak tangkap, sedangkan ikan yang berukuran kurang dari 78
cm belum layak tangkap (Zudaire et al. 2008). Berikut ini adalah presentase
sampel madidihang yang layak dan tidak layak tangkap di selatan Teluk
Palabuhanratu pada bulan Mei-Agustus 2013 (Gambar 3).

12

Gambar 3 Presentase madidihang yang layak dan tidak layak tangkap

Presentase sampel madidihang yang layak tangkap di selatan Teluk
Palabuhanratu pada bulan Mei-Agustus 2013 berturut-turut adalah 93%, 96%,
98%, dan 100%. Berdasarkan hasil tangkapan pada bulan Agustus semuanya
termasuk dalam kategori layak tangkap. Hal ini berarti bahwa presentase ikan
yang ditangkap dan didaratkan di PPN Palabuhanratu pada bulan Mei-Agustus
2013 sebagian besar layak tangkap (Gambar 3), yang berarti cukup optimum dari
aspek biologis dan aspek lingkungan (Simbolon 2009b).

CPUE

Produktivitas ikan dapat ditentukan dengan menghitung CPUE. Catch
merupakan jumlah produksi yang dihasilkan oleh pancing tonda dan effort
merupakan jumlah trip penangkapan ikan dalam waktu tertentu. Semakin besar
CPUE menunjukkan produktivitas sumberdaya ikan meningkat, sebaliknya
semakin menurun CPUE berarti produktivitas sumberdaya ikan menurun. Apabila
produktivitas sumberdaya ikan menurun maka pengendalian terhadap jumlah
upaya penangkapan harus dilakukan (Damarjati 2006). Berikut ini disajikan grafik
CPUE alat tangkap pancing tonda (troll line) di PPN Palabuhanratu pada tahun
2013 (Gambar 4).

13

Sumber: data olahan PPN Palabuhanratu 2013

Gambar 4 CPUE pancing tonda Desember 2012-November 2013
di Teluk Palabuhanratu

Hasil wawancara yang dilakukan dengan nelayan pancing tonda diperoleh
informasi bahwa terdapat beberapa musim penangkapan di Palabuhanratu yaitu
musim barat (Desember-Februari), musim peralihan barat-timur (Maret-Mei),
musim timur (Juni-September), dan musim peralihan timur-barat (OktoberNovember). CPUE pancing tonda memiliki nilai yang berfluktuasi sepanjang
tahun 2013. Fluktuasi CPUE ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
perbedaan upaya penangkapan yang dilakukan, keadaan cuaca yang berbeda
setiap bulannya, ketersediaan sumber makanan, serta kondisi oseanografi yang
mempengaruhi kehidupan dan keberadaan madidihang pada daerah penangkapan
(Simbolon dan Halim 2006). Nilai CPUE pada musim timur lebih banyak
dibandingkan dengan musim barat dan musim peralihan. Hal ini dikarenakan pada
musim timur perairan lebih tenang dan ombaknya tidak terlalu besar. Nilai CPUE
musim timur berfluktuasi karena adanya penurunan jumlah hasil tangkapan dan
jumlah trip nelayan pancing tonda. Pada musim barat nelayan pancing tonda
mengurangi jumlah trip yang mereka lakukan dikarenakan pada musim tersebut
angin dan ombak diperairan cukup besar. Menurut Nontji (2005) umumnya
musim barat banyak membawa hujan sedangkan pada musim timur sedikit
membawa hujan. Hal inilah yang mempengaruhi nelayan untuk tidak melakukan
operasi penangkapan ikan dikarenakan kondisi cuaca yang tidak menguntungkan.
Nilai CPUE di barat daya Teluk Palabuhanratu (DPI 1) dan selatan Teluk
Palabuhanratu (DPI 2) meningkat mulai dari bulan Juli dan Agustus 2013.
Peningkatan nilai CPUE ini menunjukkan bahwa pada kedua DPI tersebut
produktivitas perikanan madidihang potensial. Akan tetapi nilai CPUE di selatan
Teluk Palabuhanratu (Gambar 4) pada bulan Juli dan Agustus justru lebih kecil
dibandingkan CPUE bulan Mei dan Juni 2013 (Gambar 5). Hal ini menunjukkan

14
bahwa tidak semua CPUE DPI 1 dan DPI 2 masih lebih baik dibandingkan CPUE
Teluk Palabuhanratu. Hasil tangkapan yang masuk ke dalam kategori tidak layak
tangkap secara biologis pada bulan Mei dan Juni lebih banyak dibandingkan
dengan bulan Juli dan Agustus (Gambar 3). Berdasarkan Gambar 3 dan Gambar 4
diketahui bahwa kegiatan penangkapan madidihang pada bulan Mei dan Juni
memiliki dampak biologis yang lebih berbahaya dibandingkan bulan Juni dan
Agustus. Dampak biologis yang dimaksud adalah keberlangsungan regenerasi dari
madidihang. Apabila menangkap madidihang yang masih kecil, ikan yang
bersangkutan tidak ada kesempatan untuk memijah dan akan berdampak terhadap
keberhasilan rekruitmen.

Gambar 5 CPUE DPI 1 dan DPI 2 bulan Mei-Agustus 2013

Suhu Permukaan Laut

Data yang diolah dari citra aqua modis harian selama 4 bulan (Mei sampai
Agustus 2013) menunjukkan bahwa terdapat variasi harian SPL yang tersebar di
selatan Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat sebaran suhu
yang terjadi di selatan Teluk Palabuhanratu mulai bulan Mei sampai Agustus
2013. Kisaran suhu pada bulan Mei berkisar antara 28-31ºC dengan suhu dominan
30ºC. Kisaran suhu pada bulan Juni-Agustus berturut-turut adalah 26-30ºC, 2830ºC, dan 26-29ºC dengan suhu dominan berturut-turut adalah 29ºC, 29ºC, dan
27ºC. Profil SPL menunjukkan adanya kecenderungan penurunan suhu mulai dari
bulan Mei sampai Agustus 2013.

15

Gambar 6 Sebaran temporal harian SST bulan Mei-Agustus 2013
Hasil penelitian menunjukkan pada bulan Mei sampai Agustus 2013 terjadi
fenomena thermal front dan upwelling. Bulan Mei ditemukan thermal front
sebanyak 7 lokasi dan berturut-turut pada bulan Juni sampai Agustus berjumlah 6,
5 dan 7 lokasi. Jumlah thermal front pada bulan Mei dan Agustus lebih banyak
dibandingkan bulan Juni dan Juli (Tabel 7). Fenomena upwelling hanya
ditemukan pada bulan Mei dan Juni. Jumlah upwelling pada bulan Mei lebih
banyak dibandingkan pada bulan Juni. Posisi lintang dan bujur dari masingmasing thermal front dan upwelling dapat dilihat pada Gambar 7 sampai Gambar
10 dan Lampiran 3 serta Lampiran 4.
Suhu permukaan laut (SPL) dingin yang ditemukan pada sebagian wilayah
perairan mungkin saja karena pengaruh adanya upwelling. Dugaan ini didasari
oleh hasil penelitian Purba et al. (1994) vide Simbolon (2009a) yang menyatakan
fenomena upwelling sering terjadi di perairan Palabuhanratu, dan upwelling
tersebut dapat mengakibatkan menurunnya SPL. Madidihang sebagai salah satu
predator puncak dipercaya sering membentuk agregasi pada daerah-daerah ini.
Berdasarkan sebaran SPL pada perairan selatan Teluk Palabuhanratu bulan Mei
sampai Agustus 2013 ditemukan lokasi thermal front yang tersebar di daerah
penelitian. Hartoko et al. (2013) menyebutkan daerah penangkapan tuna di
Samudera Hindia dilakukan di sekitar daerah upwelling pada musim barat dan
daerah front pada musim timur.

16
Tabel 7 Jumlah thermal front dan upwelling pada bulan Mei-Agustus 2013
No

Bulan

1

Mei

2

Juni

3

Juli

4

Agustus

Minggu ke1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4

Jumlah thermal front
2
2
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
2
1
2
2

Jumlah upwelling
1
1
1
1
1
-

Fenomena thermal front dan upwelling disebabkan oleh adanya beberapa
faktor diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat,
arus lautan yang membawa panas dari khatulistiwa ke arah kutub, dan pengaruh
meteorologi seperti angin, penguapan, hujan, dan lain-lain. Daerah tropis pada
umumnya memiliki amplitudo SPL yang kecil. Hal ini dikarenakan perubahan
pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya daerah-daerah upwelling
ditemukan perbedaan suhu yang cukup berarti (Ilahude 1999).
Suhu air permukaan di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31ºC
(Nontji 2005). Perubahan musiman di Indonesia biasanya tidak lebih dari 3ºC.
Suhu tertinggi umumnya terjadi pada bulan April-Mei yaitu 30ºC sedangkan suhu
terendah terjadi pada bulan Desember-Januari sebesar 27ºC yang diperkirakan
setara dengan suhu udara rata-rata pada permukaan laut. Suhu air permukaan laut
dipengaruhi oleh angin musiman dan pola curah hujan (Wyrtki1961). Berdasarkan
sebaran SPL pada perairan selatan Teluk Palabuhanratu bulan Mei-Agustus 2013
memiliki suhu optimum berkisar antara 28-30ºC. Nilai ini masih berada dalam
kisaran suhu optimum madidihang yaitu 18-31ºC (FAO 2003).

Temperatur (ºC)

Temperatur (ºC)

17

Temperatur (ºC)

Temperatur (ºC)

Gambar 7 Sebaran spasial SPL bulan Mei 2013

Gambar 8 Sebaran spasial SPL bulan Juni 2013

Temperatur (ºC)

Temperatur (ºC)

18

Temperatur (ºC)

Temperatur (ºC)

Gambar 9 Sebaran spasial SPL bulan Juli 2013

Gambar 10 Sebaran spasial SPL bulan Agustus 2013

19
Klorofil-a

Klorofil-a merupakan salah satu indikator kesuburan suatu perairan. Secara
umum, perairan yang subur mengandung klorofil-a dengan konsentrasi yang
tinggi. Berdasarkan Gambar 11 didapat penjelasan bahwa terdapat konsentrasi
klorofil-a harian yang berbeda pada bulan Mei-Agustus 2013. Konsentrasi
klorofil-a pada bulan Mei berkisar antara 0,1-0,2 mg/m3 dengan konsentrasi
dominan sebesar 0,2 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a pada bulan Juni-Agustus
berturut-turut adalah 0,1-0,35 mg/m3, 0,1-0,4 mg/m3, dan 0,1-0,45 mg/m3.
Sementara itu, konsentrasi klorofil-a dominan pada bulan Juni-Agustus adalah 0,2
mg/m3.

Gambar 11 Konsentrasi temporal klorofil-a harian bulan Mei-Agustus 2013
Profil klorofil-a komposit mingguan perairan selatan Teluk Palabuhanratu
relatif stabil dari bulan Mei-Agustus 2013. Citra klorofil-a pada bulan Mei 2013
menunjukan bahwa konsentasi klorofil dominan di perairan selatan Teluk
Palabuhanratu berkisar antara 0,1-0,2 mg/m3 yang tersebar hampir merata di
seluruh kawasan perairan. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi berkisar antara 1,11,6 mg/m3 dan 0,8-1,6 mg/m3 pada posisi lintang dan bujur 7o00’-7o10’LS;
106o20’-106o30’BT pada minggu ke- 2 dan ke- 4 (Gambar 12). Sementara itu,
citra klorofil-a pada bulan Juni 2013 menunjukan bahwa konsentasi klorofil
dominan di perairan selatan Teluk Palabuhanratu berkisar antara 0,1-0,2 mg/m3.
Konsentrasi klorofil-a yang tinggi berkisar antara 1-1,4 mg/m3 dan 0,9-1,9 mg/m3
berada pada posisi lintang dan bujur 7o00’-7o10’LS; 106o20’-106o30’BT dan
7o30’-7o50’LS; 106o30’-107o20’BT pada minggu ke-1 (Gambar 13).

20

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Citra klorofil-a pada bulan Juli 2013 menunjukan bahwa konsentrasi klorofil
dominan di perairan selatan Teluk Palabuhanratu berkisar antara 0,07-0,2 mg/m3.
Konsentrasi klorofil-a yang tinggi berkisar antara 0,41-0,71 mg/m3 dan 0,25-0,55
mg/m3 pada posisi lintang dan bujur 6o20’-7o30’LS; 104o30’-105o40’BT yang
berada di wilayah Selat Sunda pada minggu ke- 1 dan ke-3 (Gambar 14).
Sementara itu, citra klorofil-a pada bulan Agustus 2013 menunjukan bahwa
konsentrasi klorofil dominan di perairan selatan Teluk Palabuhanratu berkisar
antara 0,1-0,3 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi berkisar antara 1,4-4,2
mg/m3 berada pada posisi lintang 7o00’-7o50’LS dan bujur 105o40’-106o40’BT
dan yang berada di wilayah Teluk Palabuhanratu pada minggu ke-4 (Gambar 15).
Konsentrasi klorofil-a pada musim timur meningkat mulai dari bulan Juni sampai
Agustus. Hal ini berkaitan dengan keadaan atmosfer yang cerah sehingga cahaya
matahari yang masuk ke perairan memiliki intensitas yang tinggi untuk
berfotosintesis.
Berdasarkan penelitian diketahui rata-rata konsentrasi klorofil-a di
perairan selatan Teluk Palabuhanratu pada musim timur adalah 0,2 mg/m3. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian Nontji (2005) yang menyatakan bahwa rata-rata
konsentrasi di perairan Indonesia berkisar antara 0,16-0,19 mg/m3 selama musim
barat dan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Sementara itu, konsentrasi klorofil-a
pada perairan selatan Sulawesi Tenggara pada musim timur sebesar 0,35 mg/m3
(Alimina 2005). Demikian pula dengan perairan selatan Jawa dengan konsentrasi
klorofil-a tertinggi kurang dari 0,45 mg/m3 pada bulan September (Gaol 2003).
Hasil tangkapan madidihang tinggi hanya pada musim timur di perairan utara
Papua dengan puncaknya pada bulan Juni dan Agustus yang memiliki konsentrasi
klorofil-a 3,5 mg/m3 (Waas 2004).

Gambar 12 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Mei 2013

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

21

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Gambar 13 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Juni 2013

Gambar 14 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Juli 2013

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

Konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

22

Gambar 15 Sebaran spasial konsentrasi klorofil-a bulan Agustus 2013

Secara umum konsentrasi klorofil-a di daerah pantai lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan daerah yang lebih jauh dari pantai. Hal ini disebabkan oleh
adanya zat hara dari daratan yang masuk ke daerah pantai. Banyaknya nutrien
yang masuk dari daratan menyebabkan fitoplankton cepat bertumbuh dan
bertambah banyak. Zat hara masuk ke perairan melalui run off dari daratan dan
aliran sungai (Simbolon 2009c). Laju klorofil-a di laut ditentukan oleh berbagai
faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktivitas primer yaitu
pencampuran vertikal,arus dan turbulensi, efek biologi dari masukan air tawar di
daerah pesisir, dan pergerakan dari perairan pesisir. Konsentrasi klorofil-a
tertinggi di Indonesia dijumpai pada muson tenggara dimana pada saat tersebut
terjadi upwelling di wilayah Indonesia bagian timur. Konsentrasi klorofil-a
terendah di jumpai pada muson barat laut (Mann & Lazier1996). Konsentrasi
klorofil-a lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, dimana hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti SPL, angin, arus, dan lain-lain.
Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara
langsung (in-situ) atau dengan penggunaan teknologi inderaja. Konsentrasi
klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan rona laut yang khas, sehingga
melalui metode inderaja yang menggunakan satelit, konsentrasi pigmen tersebut
bisa diduga.
Berdasarkan pengamatan konsentrasi klorofil-a, ditemukan bahwa klorofil-a
yang banyak pada bulan Juni minggu ke-1 ditemukan fenomena upwelling pada
profil SPL (Gambar 8). Hal ini menunjukan bahwa upwelling membawa nutriennutrien dari dasar ke atas permukaan. Selain itu klorofil-a yang berdekatan dengan

23
daratan atau pantai konsentrasinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
klorofil-a yang ke arah lepas pantai. Sebaran klorofil-a lebih tinggi di daerah
pantai dikarenakan tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui
limpasan air sungai dan cenderung lebih rendah atau konstan di daerah lepas
pantai. Akan tetapi di beberapa tempat ditemukan konsentrasi klorofil-a yang
cukup tinggi meskipun jauh dari daratan, keadaan tersebut biasanya ditemukan
pada daerah upwelling. Pergerakan konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Teluk
Palabuhanratu relatif tidak jauh berbeda dari bulan Mei-Agustus 2013. Hal ini
dikarenakan di wilayah perairan tersebut berada di laut lepas dan berhadapan
langsung dengan Samudera Hindia. Nilai konsentrasi klorofil-a tertinggi biasanya
ditemui di wilayah yang berada dekat dengan daratan seperti di dalam kawasan
Teluk Palabuhanratu atau Selat Sunda.

Daerah Penangkapan Ikan (DPI)

Daerah penangkapan ikan merupakan tempat dimana nelayan dapat
mengoperasikan alat tangkap untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan.
Menurut Wudianto et al. (2003) vide Wahju et al. (2013) daerah penangkapan
tuna di perairan selatan Jawa terdapat pada posisi 8o-22oLS dan 108o-118oBT.
Daerah penangkapan pada musim timur terkonsentrasi pada lintang 6o-9oLS dan
105o-107oBT. Pada penelitian ini terdapat dua daerah penangkapan ikan yaitu
barat daya Teluk Palabuhanratu (DPI 1) dan selatan Teluk Palabuhanratu (DPI 2).
Posisi penangkapan madidihang di DPI 1 berada pada lintang dan bujur 7o40’8o15’LS; 105o20’-105o50’BT. Posisi penangkapan madidihang di DPI 2 berada
pada lintang dan bujur 8o55’-9o15’LS; 105o45’-106o25’BT. Daerah penangkapan
madidihang diestimasi berdasarkan empat indikator yaitu ukuran panjang ikan,
CPUE, SPL dan kandungan klorofil-a di selatan Teluk Palabuhanratu. Kondisi
daerah penangkapan dibagi menjadi dua, yaitu kategori potensial dan tidak
potensial (Tab