Kualitas Belanja Daerah Dan Hubungannya Dengan Kinerja Pembangunan Di Provinsi Jawa Timur

KUALITAS BELANJA DAERAH DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN
DI PROVINSI JAWA TIMUR

YUFITA LISTIANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kualitas Belanja Daerah
dan Hubungannya Dengan Kinerja Pembangunan di Provinsi Jawa Timur adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Yufita Listiana
NIM H152140011

RINGKASAN
YUFITA LISTIANA. Kualitas Belanja Daerah dan Hubungannya Dengan Kinerja
Pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA
dan SRI MULATSIH.
Belanja daerah atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu
pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kualitas belanja daerah terdiri dari
beberapa indikator konstruk diantaranya Prioritas, Alokasi, Ketepatan Waktu,
Akuntabilitas, dan Efektivitas. Jawa Timur merupakan salah satu povinsi yang
memiliki predikat cukup baik dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia.
Namun, jika dikaitkan dengan kinerja pembangunan yang salah satunya dapat
dilihat dari pertumbuhan ekonomi maka dapat dibuktikan bahwa masih ada
beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur yang memiliki pertumbuhan ekonomi di
bawah dari pertumbuhan nasional. Hal ini membuktikan bahwa daerah yang
memiliki predikat tinggi belum menjamin bahwa daerah tersebut memiliki kinerja

pembangunan yang baik pula.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas belanja daerah di
Provinsi Jawa Timur berdasarkan 5 variabel konstruk. Masing-masing variabel
konstruk (laten) terdiri dari beberapa indikator dalam mengukur kualitas belanja
daerah yang berjumlah sebanyak 40 indikator. Penelitian ini menggunakan data
sekunder yaitu berupa Evaluasi Penyelenggaran Pemerintah Daerah (EPPD)
masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Data dari kinerja
pembangunan menggunakan kemiskinan, pengangguran, Indeks Gini,
Pertumbuhan Ekonomi, PDRB per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia.
Penelitian ini menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM) dengan
softwere SmartPLS versi 2.0. Metode tersebut digunakan untuk mengetahui
indikator yang tepat dalam meningkatkan kualitas belanja daerah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 40 indikator hanya ada 21
indikator yang telah mencapai kriteria kualitas belanja daerah yang baik. Dari 5
variabel yang memiliki pengaruh tertinggi terhadap kualitas belanja adalah
Efektifitas. Efektifitas memiliki nilai lebih dari 50% dalam menggambarkan
variasi model kualitas belanja di Jawa Timur. Selain itu perubahan peta kualitas
belanja dari tahun 2009 sampai 2012 mengalami peningkatan secara terus
menerus. Pada tahun 2009 daerah yang memiliki tingkat kualitas belanja rendah
sebesar 37% dan pada tahun 2014 tidak ada daerah yang memiliki kategori

kualitas belanja rendah. Pada tahun 2014 hanya terdiri dari tiga kategori (sedang,
tinggi, sangat tinggi). Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur setiap
tahunnya selalu menghasilkan kinerja penyelenggaran pemerintah daerah yang
lebih baik agar berdampak pada kondisi pembangunan yang juga semakin
membaik.
Keywords: Kualitas Belanja Daerah, Kinerja Pembangunan, Akuntabilitas,
Efektifitas, Structural Equation Modelling

SUMMARY
YUFITA LISTIANA. Local Expenditure Quality And Relation With Local
Development In East Java. Supervised by BAMBANG JUANDA and SRI
MULATSIH.
Expenditure quality that known as local government expenditure of Budget
(APBD) is one of support regional economic growth. Expenditure quality
dependent on several indicators of which attention priority, budget allocation
accuracy, timeliness budget, accountability, and efficient. East Java is one of
province that has a good predicate compared with other provinces in Indonesia.
However, if it is associated with local development of which can be seen from the
economic growth it can be proved that there are still some region in East Java that
has economic growth lower than national growth. This provs that the area has a

high predicate does not guarantee that the area has a good local development.
This research aim is to analyze local expenditure quality in East Java based
on five construct variables. Each construct variables consist of 40 indicators. This
research use secondary data is Local Government Management Evaluation Report
each region in East Java. Data of local development use poverty, unemployment,
Gini index, economic growth, GDP per capita, and Human Development Index.
This research uses analysis Structural Equation Modelling with Sofwere
SmartPLS 2.0. It use to know appropriate indicators to improve spending quality.
The result shows that from 40 indicators just there are 21 indicators which
have reached criteria good expenditure quality. All of the five variables that have
the highest influence on the quality of expenditure is effectiveness. Effectiveness
has a value of more than 50 % in describing variations in local expenditure quality
modelin East Java. Besides that, expenditure quality map changes from 2009 to
2012 has increased continuously. In 2009 the region has a low level of quality of
spending by 37 % and in 2014 there was no area that has a lower spending quality
category. In 2014 only three categories (moderate, high, very high). This shows
that the East Java province every year has resulted in the delivery of local
government performance is better in order to have an impact improving
development conditions.
Keywords: Expenditure Quality, Local Developmet, Accountability, Effectivity,

Structural Equation Modelling

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KUALITAS BELANJA DAERAH DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KINERJA PEMBANGUNAN
DI PROVINSI JAWA TIMUR

YUFITA LISTIANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis:

Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini adalah
Kualitas Belanja Daerah dan Hubungannya dengan Kinerja Pembangunan di
Provinsi Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda
MS dan Ibu Dr Ir Sri Mulatsih MSc Agr selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan masukan dalam penelitian ini. Terimakasih juga untuk Ibu Dr
Ir Wiwiek Rindayati, MSi selaku dosen penguji luar dan Ibu Dr Ir Yeti Lis
Purnamadewi MSc Agr selaku perwakilan dari program studi yang telah
memberikan masukan dan arahan dalam perbaikan tesis ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Kementrian Dalam Negeri, Dinas
Perimbangan Jenderal Keuangan, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik
Provinsi Jawa Timur yang telah memberikan informasi pengumpulan data bagi
penelitian ini. Terima kasih juga kepada pihak Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) Kementrian Keuangan RI selaku pemberi beasiswa penelitian
Tesis kepada peneliti hingga penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga
kepada Bapak Dr Dedy Heriwibowo yang telah banyak memberi masukan dan
arahan dalam penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu saya Ramlah yang
selalu mendukung dan memberikan kasih sayangnya untuk melanjutkan program
magister di IPB, serta seluruh keluarga besar saya terutama Mbah Putri
terimakasih atas segala doa. Terima kasih juga buat Dedi Zamrani yang telah
memberikan motivasi dan mengingatkan saya untuk menyelesaikan tesis ini tepat
waktu. Teman-teman PWD S2 dan S3 angkatan 2014 khususnya dan seluruh

teman-teman PWD atas doa, dukungan, kerjasama yang luar biasa dan membuat
saya mengerti akan pentingnya social capital diantara PWD. Admin di PWD Mba
Puput terimakasih telah membantu banyak proses administrasi dan Mas Efendi
selaku pembimbing eksternal saya selama ini. Temen-temen Kos Al Barokah
yang sudah rela menemani saya dengan kebersamaan yang indah setiap harinya.
Untuk Ahmad Syariful Jamil terimakasih sudah menyarankan meraih master di
IPB.
Karya ini sebagai bagian dari proses belajar, penulis menyadari karya ini
masih banyak keterbatasannya, untuk itu diharapkan ada saran dan masukan
berbagai pihak untuk dilakukan penyempurnaan. Penulis berharap semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan.

Bogor, September 2016
Yufita Listiana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii


DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
4
9
9

9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan Ekonomi
Konsep Desentralisasi Fiskal
Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah
Belanja Daerah dalam APBD
Konsep Kualitas Belanja Daerah
Indikator Kualitas Belanja Daerah
Konsep Kinerja Pembangunan Daerah
Structural Equation Modelling (SEM)
Penelitian Terdahulu
Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

10
10
11
13

15
15
16
18
19
21
24
24
27

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Model Kualitas Belanja
Definisi Operasional

27
27
27
27
30

4 GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Wilayah Provinsi Jawa Timur
Kondisi Perekonomian di Provinsi Jawa Timur
Kinerja Pembangunan di Jawa Timur

38
38
39
44

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
48
Identifikasi Indikator untuk Kualitas Belanja di Jawa Timur
48
Evaluasi Kualitas Belanja di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan 5 Variabel
Konstruk
57
Keragaan Kualitas Belanja Daerah Provinsi Jawa Timur
65
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

73
73

Saran

73

DAFTAR PUSTAKA

75

LAMPIRAN

79

RIWAYAT HIDUP

91

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Realisasi anggaran pendapatan belanja daerah Provinsi Jawa Timur
(triwulan III) tahun 2014 (juta rupiah)
Jumlah Kabupaten berdasarkan nilai laporan keuangan di Provinsi
Jawa Timur
Perkembangan nilai laporan keuangan tiap Kabupaten di Provinsi
Jawa Timur
Karakteristik model dan data SEM-PLS
Indikator kualitas belanja
Penghitungan indikator efektifitas
Laju pertumbuhan riil PDRB menurut lapangan usaha (persen) tahun
2011-2014
Path coeffisient
Estimasi parameter indikator kualitas belanja dengan efek moderasi
Bootstrapping path coefficient pengaruh total
Persentase Kabupaten berdasarkan score variabel prioritas belanja
Persentase Kabupaten berdasarkan score variabel alokasi belanja
Persentase Kabupaten berdasarkan score variabel ketepatan waktu
Persentase Kabupaten berdasarkan score variabel transparansi dan
akuntabilitas
Persentase Kabupaten berdasarkan score variabel efektifitas
Jumlah Kabupaten/Kota berdasarkan perubahan kualitas belanja
tahun 2009-2012
Perubahan kualitas belanja berdasarkan nama Kabupaten/Kota tahun
2009 ke tahun 2012

5
6
7
21
29
35
40
53
54
55
58
60
62
63
65
67
68

DAFTAR GAMBAR
1

Perkembangan pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan
daerah (Kabupaten, Kota, dan Provinsi) tahun 2009-2013
2 Perkembangan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2012
3 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Jawa Timur dengan
Nasional
4 Keterkaitan atribut dan indikator kualitas belanja daerah
5 Kerangka pemikirian penelitian
6 Model kualitas belanja
7 Laju pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 2010-2014
8 Struktur ekonomi Jawa Timur tahun 2014 (persen)
9 Pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur 2014
10 PDRB per kapita Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur tahun 2014
11 Angka harapan hidup Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014
12 Indeks pembangunan manusia Jawa Timur dan Nasional tahun 20092013

3
4
8
18
26
28
39
41
42
43
44
45

13 Kontribusi IPM di Provinsi Jawa Timur berdasarkan kategori skala
Internasional
14 Perkembangan kemiskinan Jawa Timur dan Nasional tahun 20092013
15 Model struktural 1 kualitas belanja daerah Jawa Timur
16 Model struktural 2 kualitas belanja Provinsi Jawa Timur
17 Model kualitas belanja dengan efek moderasi
18 Peta kualitas belanja Jawa Timur tahun 2009-2012
19 Karakteristik indikator penyebab peningkatan kualitas belanja daerah
tahun 2009 ke 2012
20 Karakteristik indikator penyebab penurunan kualitas belanja daerah
tahun 2009 ke 2012
21 Karakteristik indikator penyebab kualitas belanja daerah stagnant
tahun 2009 ke 2012

46
48
51
52
53
66
70
71
72

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Analisis model kualitas belanja
Klasifikasi latent variable score (LVS) prioritas belanja
Klasifikasi latent variable score (LVS) alokasi belanja
Klasifikasi latent variable score (LVS) ketepatan waktu
Klasifikasi latent variable score (LVS) transparansi dan akuntabilitas
Klasifikasi latent variable score (LVS) efektivitas
Klasifikasi latent variable score (LVS) kualitas belanja

81
85
86
87
88
89
90

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan merupakan sebuah upaya yang sistematik dan
berkesinambungan untuk menciptakan sebuah kondisi yang dapat menyediakan
berbagai alternatif bagi pencapaian aspirasi setiap warga Negara (Rustiadi et al,
2011). Todaro (2006) mengatakan bahwa pembangunan dipandang sebagai proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional yang mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, mengatasi ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta berubahnya
paradigma pembangunan yang mendasari kepada masyarakat, pembangunan
daerah memerlukan pendekatan partisipatif, melibatkan semua unsur masyarakat
yang ada di daerah. Pelaksanaan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 yang diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memberikan kewenangan yang nyata, luas dan bertanggung jawab. Pemerintah
daerah diberi keleluasaan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan
sesuai potensi dan sumber daya setempat. Pembangunan akan berjalan dengan
baik jika rencana penganggaran pembangunan dilakukan dengan tepat dan
didukung oleh sumber-sumber pendapatan daerah yang telah dikelola dengan baik.
Otonomi daerah artinya daerah diberikan kewenangan untuk mengelola
potensi daerahnya dalam mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki.
Perkembangan pembangunan akan terus berlangsung dan akan selalu menuntut
diadakannya pengaturan baru yang menuju penyempurnaan. Desentralisasi fiskal
pada kebijakan otonomi daerah dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa
daerah yang lebih mengetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat
di daerahnya. Masing-masing daerah diberikan kewenangan dan kewajiban untuk
menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Daerah diberikan
kewenangan yang cukup besar untuk membelanjakan dana yang dikelolanya
(Lestari, 2013).
Penganggaran dana merupakan sebuah kunci bahwa suatu daerah mampu
mengelola potensi daerah dengan kesiapan dana yang memadai. Pemerintah pusat
hanya sebagai fasilitator yang tidak terlalu mencampuri urusan daerah, agar
daerah tersebut mampu menangani serta memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi secara lebih mandiri. Pemerintah daerah harus menyelenggarakan
kegiatannya mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaannya maupun dari
segi pendanaan. Dalam hal inilah daerah dituntut kesiapannya untuk lebih mandiri
yang hingga saat ini masih terus diperbincangkan, salah satunya terkait
penganggaran dana. Anggaran dana yang terbatas, menuntut daerah untuk
menentukan strategi yang tepat dalam mengelola dan mengalokasikan dana secara
efisien agar dapat meningkatkan layanan publik yang optimal.

2
Belanja daerah atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu
pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. APBD dapat memaksimalkan sumbersumber pendapatan daerah dari potensi yang ada, lalu membelanjakan dana
tersebut sesuai program dan kebutuhan daerah yang telah ditetapkan. Belanja
daerah yang semakin besar digunakan, diharapkan dapat meningkatkan kegiatan
perekonomian daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006
menegaskan bahwa belanja daerah merupakan semua pengeluaran dari rekening
kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan
kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk
pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
(Propinsi ataupun Kabupaten/Kota).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 juga telah
menentukan struktur belanja terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja
langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi:
belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, bantuan sosial,
belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan
belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Secara umum, permasalahan yang
dihadapi dalam belanja daerah adalah masih dominannya belanja tidak langsung
dibandingkan dengan belanja langsung dalam struktur belanja daerah. Sehingga,
akan berakibat pada belanja yang digunakan untuk masyarakat belum optimal.
Seperti halnya dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pemenuhan hak
layanan dasar.
Belanja tidak langsung yang semakin besar di daerah akan berdampak pada
belanja langsung yang kurang optimal. Hal ini juga mengakibatkan transfer dana
ke daerah semakin besar. Pendanaan pembangunan melalui transfer ke daerah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendanaan pembangunan secara
nasional. Dana transfer ke daerah terdiri dari dana perimbangan dan dana otonomi
khusus serta dana penyesuaian. Alokasi dana transfer ke daerah dari waktu ke
waktu mengalami peningkatan seiring pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Pengelolaan dana transfer ke daerah didorong untuk memenuhi
kebutuhan pelaksanaan tata kelola keuangan yang baik, memiliki kinerja yang
terukur dan akuntabilitas terhadap kinerja pembangunan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya belanja
daerah yang hingga saat ini terus mengalami peningkatan akan berdampak pada
kualitas pelayanan publik dan mendorong aktivitas pemerintah maupun sektor
swasta di daerahnya. Belanja daerah yang kurang optimal akan berdampak pada
rendahnya kualitas pelayanan publik dan menurunnya kinerja pembangunan di
daerah tersebut. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi penyediaan barang publik dan regulasi lokal, sehingga
kualitas pelayanan publik semakin baik dan produktivitas ekonomi di daerah
semakin meningkat (Lestari, 2013).

3
Pendapatan,
pembiayaan

Belanja,

defisit,

Tahun

Gambar 1 Perkembangan pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan
daerah (Kabupaten, Kota, dan Provinsi) tahun 2009-2013
Sumber: Data diolah dari DJPK, 2013
Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa setiap tahun pendapatan dan
belanja daerah sejak tahun 2009 hingga 2013 mengalami peningkatan. Pada tahun
2009 pendapatan sebesar Rp 367.268 miliar naik menjadi Rp 652.865 miliar pada
tahun 2013. Belanja daerah juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar
Rp 415.232 miliar menjadi Rp 707.083 miliar pada tahun 2013. Jika dilihat dari
sisi pendapatan dan belanja yang dikeluarkan, seluruh Provinsi yang ada di
Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013 selalu mengalami defisit anggaran. Defisit
anggaran terjadi karena besarnya jumlah belanja yang dikeluarkan lebih besar
porsinya dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Defisit anggaran dapat
bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya, pencairan dana
cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan
pinjaman. Terjadinya defisit anggaran yang secara terus menerus kemungkinan
akan berdampak pada kinerja pembangunan di daerah. Kinerja pembangunan
yang semakin buruk juga akan mempengaruhi kualitas belanja di daerah. Hal ini
sesuai dengan penelitian (Prihatiningsih et al, 2013) yang menunjukkan bahwa
defisit anggaran salah satunya dipengaruhi oleh belanja daerah khususnya belanja
barang dan jasa. Belanja barang dan jasa memiliki hubungan positif dalam
mempengaruhi defisit anggaran.
Kondisi kualitas belanja daerah yang dilihat dari Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) masih dapat dikatakan lemah karena dari tahun ke tahun
Indonesia mengalami defisit anggaran. Selain itu permasalahan terkait
perencanaan dan penggunaan anggaran di daerah salah satunya tentang porsi
belanja tidak langsung yang cukup besar daripada porsi belanja langsung. Hal ini
berdampak pada kurang optimalnya pemenuhan hak layanan dasar bagi
masyarakat dan akan berdampak pula bagi pembangunan.
Penyusunan APBD pada dasarnya digunakan dalam desentralisasi fiskal
sebagai alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi
yang akhirnya dapat menjamin peningkatan kualitas hidup masyarakat serta
percepatan dalam pembangunan. Sehingga, anggaran menjadi salah satu syarat

4
bagi daerah untuk mengelola potensi-potensi yang ada di daerah. Bank Indonesia
(2014) mengatakan bahwa penyusunan APBD menggambarkan bahwa adanya
keterkaitan antara kebijakan perencanaan dan penganggaran oleh Pemerintah
Daerah bahkan kaitannya dengan Pemerintah Pusat. Fungsi dari APBD yaitu
sebagai perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi perekonomian
di suatu daerah. Namun, dalam desentralisasi fiskal lebih cenderung mengarah
pada sisi belanja artinya semakin besar belanja daerah maka diharapkan semakin
besar pula tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah.

Perumusan Masalah
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki 38 Kabupaten/Kota. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, Provinsi Jawa
Timur memiliki dana APBD yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya,
khususnya pada porsi belanja daerah (Gambar 2). Peningkatan belanja seharusnya
diikuti oleh peningkatan output, namun hal tersebut belum tentu terjadi karena
untuk mengetahui efisien atau tidaknya porsi belanja daerah harus mengetahui
apakah alokasi belanja tersebut sudah tepat pada porsi yang diinginkan (Lestari,
2013). Hal ini berkaitan dengan penelitian Juanda et al (2013) yang menjelaskan
bahwa kualitas belanja daerah sangat tergantung pada beberapa indikator
diantaranya harus memperhatikan prioritas daerah, ketepatan alokasi belanja,
ketepatan waktu, efisien dan akuntabilitas serta transparansi.
APBD

Tahun

Gambar 2 Perkembangan APBD Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2012
Sumber: DJPK, 2012
Gambar 2 menunjukkan bahwa perkembangan APBD Provinsi Jawa Timur
tahun 2008 hingga 2012 mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 hingga 2012
belanja daerah lebih besar dibandingkan dengan jumlah pendapatan. Belanja
daerah yang awalnya Rp 6.639.781 pada tahun 2008 menjadi Rp 12.214.783 pada
tahun 2012. Selain itu pertumbuhan pendapatan daerah jauh lebih lambat

5
dibandingkan dengan anggaran pelayanan publik. Penganggaran dana yang
diterima sebagai pendapatan daerah dialokasikan pada daerah berupa belanja
langsung maupun belanja tidak langsung.
Data dari Divisi Assesmen Ekonomi dan Keuangan Bank Indonesia (Tabel
1) menjelaskan bahwa sampai dengan triwulan III Tahun 2014, realisasi belanja
daerah Jawa Timur mencapai 58,14% dari APBD sebesar Rp 18,79 Triliun.
Capaian tersebut lebih rendah dari realisasi belanja tahun 2013 triwulan III
sebesar 69,31% dari APBD sebesar Rp 17,61 Triliun . Ditinjau dari kelompoknya,
realisasi belanja tertinggi Tahun 2014 adalah pada kelompok belanja tidak
langsung dengan realisasi sebesar 60,88% dari anggaran. Sedangkan kelompok
belanja langsung sampai dengan triwulan III Tahun 2014 realisasi sebesar 52,33%.
Realisasi tertinggi terletak pada belanja pegawai karena merupakan pengeluaran
honorarium yang dilakukan secara rutin. Data realisasi belanja daerah Provinsi
Jawa Timur tahun 2013 dan 2014 pada Triwulan III ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Realisasi anggaran pendapatan belanja daerah Provinsi Jawa Timur
(triwulan III) tahun 2014 (juta rupiah)
Uraian

APBD

Realisasi

APBD

Realisasi

2013

Tw III 2013

2014

Tw III 2014

(Juta Rupiah)
Belanja Tidak
Langsung
 Belanja Pegawai
 Belanja Bunga
 Belanja Hibah
 Belanja Bantuan
Sosial

(Juta Rupiah)

%

(Juta Rupiah)

(Juta Rupiah)

%

11.203.748,93

7.735.695,00

75,92

12.755.043,69

7.765.872,45

60,88

1.609.084,28

1.170.993,00

67,85

1.935.973,67

1.226.078,49

63,33

5.516,77

3.956,00

71,72

4.174,94

3.057,94

73,25

5.139.576,86

3.784.239,00

75,86

4.477.219,66

2.863.644,60

63,96

59.290,61

39.039,00

50,57

12.149,38

3.378,53

27,81

 Belanja Bagi Hasil

3.298.463,28

1.873.117,00

77,15

4.443.118,75

2.137.484,94

48,11

 Belanja Bantuan
Keuangan
 Belanja Tidak
Terduga

1.010.668,49

806.235,00

89,28

1.703.157,58

1.442.912,83

84,72

81.148,65

58.114,00

93,73

179.249,72

89.315,11

49,83

Belanja Langsung

6.408.110,94

3.503.983,00

58,15

6.041.891,02

3.161.999,08

52,33

 Belanja Pegawai
 Belanja Barang dan
Jasa

1.158.590,88

777.764,00

71,56

698.342,41

424.460,32

60,78

4.000.944,84

2.254.484,00

57,12

4.123.498,81

2.425.512,19

58,82

 Belanja Modal

1.248.575,22

471.735,00

47,58

1.220.049,80

312.026,57

25,57

17.611.859,87

11.239.678,00

69,31

18.796.934,71

10.927.871,53

58,14

Total Belanja Daerah

Sumber: DJPK, Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia, 2015
Berdasarkan Tabel 1 belanja daerah tidak langsung memiliki porsi yang
cukup besar dibandingkan dengan belanja langsung. Hal ini diharapkan alokasi
belanja tersebut dapat menciptakan hasil pembangunan yang lebih baik dan dapat
digunakan oleh publik. Namun, perbedaan antara anggaran dan realisasinya cukup
tinggi. Berdasarkan RPJMD Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2014 menjelaskan
bahwa jika perbedaan antara anggaran yang lebih tinggi dibandingkan realisasinya,
maka membuka peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran belanja. Sebaliknya,
jika perbedaan yang terjadi pada realisasinya lebih tinggi dibandingkan anggaran
maka kualitas hasil pelaksanaan anggaran menjadi rendah. Ketepatan alokasi
belanja sangat dibutuhkan untuk melihat tingkat kualitas belanja daerah.
Ketepatan alokasi dapat dilihat dari masing-masing jenis belanja daerah antara

6
belanja langsung dan tidak langsung. Ketepatan alokasi belanja daerah yang baik
diharapkan dapat meningkatkan kinerja pembangunan yang baik pula.
Salah satu diberlakukannya Undang-Undang tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah bahwa pemerintah daerah penerima sumber
pendanaan APBN mempunyai kewajiban mempertanggungjawabkan dana yang
dikelola dengan membuat laporan petanggungjawaban keuangan daerah (LKPD)
dalam bentuk laporan keuangan yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Laporan keuangan dibuat oleh masing-masing Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) yang kemudian akan diberikan penilaian menjadi 4 kriteria
penilaian sesuai dengan kualitasnya yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),
Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Memberikan
Pendapat (TMP). Laporan keuangan diperlukan untuk memberikan informasi
keuangan sebagai perbaikan manajemen keuangan selanjutnya dan meningkatkan
kualitas pengelolaan anggaran. Data Penilaian yang diberikan oleh BPK terhadap
kabupaten/kota di Jawa Timur dari tahun 2010-2014 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah Kabupaten berdasarkan nilai laporan keuangan di Provinsi Jawa
Timur
Tahun
2010

WTP
Jumlah
Kab
5

%
13

WDP
Jumlah
Kab
32

%
84

TW
Jumlah
Kab
-

TMP
%

Jumlah Kab

%

-

1

3

2011

10

26

27

71

-

-

1

3

2012

12

31

26

68

-

-

-

-

2013

16

42

21

55

1

3

-

-

2014

25

66

13

34

-

-

-

-

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK-Semester I, 2015
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2010 – 2014 pada
Tabel 2 menunjukkan bahwa predikat opini WTP dan WDP meningkat, sementara
predikat TW dan TMP masih ada pada tahun tertentu. Tabel 2 menjelaskan bahwa
tahun 2010-2012 tidak ada SKPD yang mendapatkan predikat Tidak Wajar (TW).
Pada tahun 2013 menunjukkan bahwa ada kabupaten/kota yang cenderung
menurun dalam hal kualitas anggaran, karena kualitas anggaran dapat dilihat dari
transparansi anggaran yang salah satunya dengan menggunakan indikator
perkembangan opini BPK terhadap LKPD. Semakin baik kinerja keuangan yang
dihasilkan maka akan semakin baik pula kualitas belanja daerahnya. Rincian opini
BPK terhadap Laporan Keuangan di Provinsi Kabupaten/Kota di Jawa Timur,
dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan hasil Tabel 3 menunjukkan bahwa ada satu Kabupaten yang
bisa mempertahankan Predikat WTP secara 5 tahun bertutut-turut yaitu Kabupaten
Tulungagung. Selain itu, ada beberapa Kabupaten yang tidak dapat
mempertahankan predikatnya dari tahun ke tahun, seperti pada Kabupaten Jember,
Mojokerto, Tuban dan Bangkalan. Kabupaten tersebut menurun secara fluktuatif
dari predikat yang baik menjadi kurang baik.

7
Tabel 3 Perkembangan nilai laporan keuangan tiap Kabupaten di Provinsi Jawa
Timur
Kabupaten/Kota

2010

2011

2012

2013

2014

Kab. Pacitan

WTP

WTP DPP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Ponorogo

WDP

WDP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Trenggalek

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Tulungagung

WTP

WTP DPP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Blitar

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Kediri

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Malang

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Lumajang

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Jember

WDP

WDP

WTP

WDP

WDP

Kab. Banyuwangi

WDP

WDP

WTP

WTP

WTP DPP

Kab. Bondowoso

WDP

WTP DPP

WTP

WDP

WTP DPP

Kab. Sitbondo

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Probolinggo

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Pasuruan

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Sidoarjo

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Mojokerto

WDP

TMP

WDP

TW

WTP DPP

Kab. Jombang

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Nganjuk

WDP

WDP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Madiun

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Magetan

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Ngawi

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

WTP DPP

Kab. Bojonegoro

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Tuban

WDP

WTP DPP

WDP

WDP

WDP

Kab. Lamongan

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Gresik

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Bangkalan

WTP

WTP

WTP

WTP

WDP

Kab. Sampang

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kab. Pamekasan

WDP

WTP DPP

WDP

WDP

WTP DPP

Kab. Sumenep
Kota Kediri

WDP
WDP

WDP
WDP

WDP
WDP

WDP
WDP

WDP
WTP DPP

Kota Blitar

WTP

WTP DPP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kota Malang

WDP

WTP DPP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kota Probolinggo

WDP

WTP DPP

WTP

WTP DPP

WDP

Kota Pasuruan

WDP

WDP

WDP

WDP

WDP

Kota Mojokerto

WTP

WTP DPP

WTP

WDP

WTP DPP

Kota Madiun

WDP

WDP

WDP

WDP

WTP DPP

Kota Surabaya

WDP

WDP

WTP

WTP DPP

WTP DPP

Kota Batu

TMP

WDP

WDP

WDP

WDP

Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK-Semester I, 2015

8
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa Kabupaten yang sangat mencolok adalah
Kabupaten Bangkalan karena dari tahun 2010-2013 mendapatkan predikat WTP
sedangkan pada tahun 2014 menurun menjadi WDP. Artinya kualitas anggaran
kabupaten/kota di Jawa Timur masih ada yang kurang baik sehingga
diperlukannya kajian terhadap kualitas belanja daerah yang bertujuan agar
meningkatkan kebutuhan anggaran yang lebih tepat waktu tepat alokasi dan
prioritasnya.
Berdasarkan keputusan dari kemendagri Tahun 2014 tentang kinerja
penyelenggaraan pemerintah daerah. Provinsi Jawa Timur memiliki skor LKPD
3,0519 dan diketahui memiliki predikat yang cukup baik dibandingkan dengan
Provinsi lain di Indonesia. Namun, jika dikaitkan dengan kinerja pembangunan
yang salah satunya dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi maka dapat diketahui
bahwa masih ada beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur yang memiliki
pertumbuhan ekonomi di bawah dari pertumbuhan nasional (Gambar 3). Hal ini
membuktikan bahwa daerah yang memiliki predikat tinggi belum menjamin
bahwa daerah tersebut memiliki kinerja pembangunan yang baik pula. Maka,
perlu adanya penelitian ini terkait evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah
daerah salah satunya melalui kualitas belanja daerah yang diinginkan.
Pertumbuhan
Ekonomi

Kabupaten/
Kota

Gambar 3 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Jawa Timur dengan
Nasional
Sumber: BPS Jatim dan Nasional tahun 2013/2014
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kualitas belanja daerah di Provinsi
Jawa Timur melalui jenis-jenis belanja daerah yaitu belanja pegawai, belanja
modal, belanja barang dan jasa, belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan
sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.
Kualitas belanja sangat penting untuk mengetahui potensi atau program apa yang
sudah terlaksana dalam suatu daerah. Pengukuran kualitas belanja daerah
memerlukan model khusus karena merupakan konsep yang abstrak atau tidak
dapat diukur langsung. Penelitian ini juga melihat hubungan kualitas belanja
terhadap kinerja pembangunan yang dicerminkan oleh indikator-indikator
pertumbuhan ekonomi, indeks gini, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran,
PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Maka penelitian ini

9
dilakukan melihat pengaruh kualitas belanja daerah dan hubungannya dengan
kinerja pembangunan di Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini memiliki beberapa
rumusan masalah diantaranya:
1. Indikator apa saja yang mempengaruhi kualitas belanja daerah di Jawa
Timur?
2. Bagaimana keragaan kinerja kualitas belanja Kabupaten/Kota dari tahun
2009-2012?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji indikator yang mempengaruhi kualitas belanja daerah di Jawa
Timur.
2. Mengetahui keragaan kinerja kualitas belanja Kabupaten/Kota dari tahun
2009-2012.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sebuah manfaat bagi
para pembaca, baik secara praktis maupun teoritis. Manfaat praktis dan teoritis
dari penelitian ini meliputi:
a. Para pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah sebagai perumus
kebijakan belanja daerah melalui APBD dalam meningkatkan potensi
wilayahnya dan pelayanan publik.
b. Masyarakat agar lebih memahami kualitas belanja daerah yang dilihat dari
berbagai indikator dan serapan anggaran belanja daerah.
c. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi dasar bagi peneliti
lainnya yang ingin meneliti masalah terkait dan diharapkan menjadi
sumbangan ilmu pengetahuan bagi sektor ekonomi keuangan khususnya
terkait peningkatan kualitas belanja daerah.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkaji kualitas belanja daerah
yang dilihat dari berbagai indikator variabel konstruk dari belanja daerah dan
kinerja pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Analisis ini dilakukan pada ruang
lingkup Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Tolak ukur yang digunakan adalah
indikator dari serapan belanja daerah dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (EPPD) masing-masing daerah. Data yang digunakan adalah gabungan
dari data time series dan data cross section. Data cross section merupakan data
seluruh Kabupaten/Kota sebanyak 38 daerah. Sedangkan data time series yang
digunakan dari tahun 2009-2012. Hal ini karena pada tahun tersebut Provinsi Jawa
Timur mengalami defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena ada
perlambatan pertumbuhan antara pendapatan dengan belanja daerah. Keterbatasan
data juga menjadi salah satu kendala untuk menambah data time series yang lebih
panjang. Selain itu juga menggunakan indikator kinerja pembangunan meliputi
pertumbuhan ekonomi, indeks gini, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran,

10
PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Permasalahan ini hanya
mencakup pada kualitas belanja yang dilihat dari jenis-jenis belanja daerah dan
hubungannya dengan kinerja pembangunan daerah di Jawa Timur.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses
yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat meningkat
dalam jangka panjang (Sukirno, 1985). Artinya, ada tidaknya pembangunan
ekonomi dalam suatu Negara pada satu tahun tidak hanya diukur pada kenaikan
produksi barang dan jasa yang berlaku dari tahun ke tahun, tetapi juga perlu
diukur dari aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan teknologi, pendidikan,
kesehatan dan peningkatan dalam pendapatan serta kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi mencakup berbagai aspek perubahan dalam kegiatan
ekonomi, maka sampai dimana taraf pembangunan ekonomi yang dicapai oleh
suatu Negara telah meningkat, tidak mudah diukur secara kuantitatif. Namun,
perlu berbagai data yang mendukung untuk menunjukkan prestasi pembangunan
yang dicapai oleh suatu Negara (Sukirno, 2010).
Istilah pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari
sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih
bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan
mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNI (Gross National
Income) (Todaro dan Smith, 2006). Keberhasilan ekonomi dapat dilihat pada
proses pembangunan di masyarakat yang memiliki tujuan inti pembangunan yaitu;
(1) Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan
hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan
keamanan, (2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan
pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja,
perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural
dan kemanusiaan, yang semua itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan
materiil, melainkan juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang
bersangkutan, (3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap
individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni dengan membebaskan mereka
dari sikap ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau Negara bangsa lain,
namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan mereka.
Dalam melaksanakan pembangunan, pembentukan modal merupakan faktor
kunci bagi keberhasilan pembangunan. Karena dalam membangun diperlukan
modal yang cukup besar, namun tidak dimiliki oleh Negara di dunia ketiga,
walaupun memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia dalam jumlah besar.
Pada umumnya pembangunan ekonomi dipusatkan pada usaha-usaha untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijaksanaan tersebut ditempuh dengan
alasan bahwa keterbelakangan di bidang ekonomi memang paling dirasakan.

11
Pembangunan di bidang ekonomi diyakini dapat mendorong perubahan-perubahan
dan pembaharuan dalam bidang kehidupan lainnya di masyarakat sehingga
diharapkan mampu mendorong mendukung/mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan nasional (Subandi, 2011).
Permasalahan pembangunan yang sering muncul dalam Negara dunia ketiga
antara lain masalah pertumbuhan ekonomi, masalah kemiskinan, masalah
pembentukan modal, masalah pengerahan tabungan, dan masalah bantuan luar
negeri. Permasalahan pembangunan tersebut muncul disebabkan karena ketiadaan
teori-teori pembangunan yang dapat menciptakan suatu kerangka dasar yang
berlaku umum dalam memberikan gambaran mengenai proses pembangunan
nasional (Arsyad, 1999). Tujuan pembangunan dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu bersifat deskriptif dan analitis yang bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang berbagai sifat perekonomian dan masyarakat di Negara sedang
berkembang dan guna menyiapkan program untuk membangun ekonomi di
wilayah tersebut. Kelompok selanjutnya bersifat memberikan berbagai pilihan
kebijakan pembangunan yang dapat dilaksanakan dalam upaya mempercepat
proses pembangunan ekonomi di Negara sedang berkembang (Arsyad, 1999).
Konsep Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari
pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Munculnya perhatian
terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan
terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi juga
adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan
penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat
(Kuncoro, 2004). Secara formal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan
kewenangan pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan secara harfiah, desentralisasi
adalah lawan kata dari sentralisasi yang dapat diartikan sebagai suatu pemusatan
berkaitan dengan suatu kewenangan pemerintahan sedangkan desentralisasi
mengenai kewenangan pemerintah menyangkut berbagai aspek misalnya bidang
politik, urusan pemerintahan, sosial dan pembangunan ekonomi serta aspek fiskal
(Wahyudi, 2015). Desentralisasi merupakan transfer kewenangan dan tanggung
jawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, lembaga semi pemerintah, maupun kepada swasta (Rondinelli et al, 1989).
Tujuan desentralisasi ada tiga yaitu, (i) tujuan politik, untuk menciptakan
suprastruktur dan infrastruktur politik yang demokratik berbasis pada kedaulatan
rakyat. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemilihan kepala daerah, dan legislatif
secara langsung oleh rakyat; (ii) tujuan administrasi, agar pemerintah daerah yang
dipimpin oleh kepala daerah dan bermitra dengan DPRD dapat menjalankan
fungsinya untuk memaksimalkan nilai 4E yakni efektifitas, efisiensi, equity
(kesetaraan) dan ekonomi; (iii) tujuan sosial ekonomi, mewujudkan
pendayagunaan modal sosial, modal intelektual, dan modal finansial masyarakat
agar tercipta kesejahteraan masyarakat secara luas. Sedangkan kategori
desentralisasi diklasifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat bentuk yaitu
(Rondinelli et al, 1989):

12
1. Desentralisasi politik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh
perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk
mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit
pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat dan lembaga
perwakilan rakyat. Desentralisai politik bertujuan meberikan kekuasaan
yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat
melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan
demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi
kebijakan.
2. Desentralisasi pasar, digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan
melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme
pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar
barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan
menengah, kelompok masyarakat, koperasi dan asosiasi swasta sukarela.
Desentralisasi pasar bertujuan lebih memberikan tanggung jawab yang
berkaitan sektor publik ke sektor swasta.
3. Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum
dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hirarki dan distribusi
kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan
unit pemerintah non pusat. Desentralisasi administratif memiliki tiga
bentuk utama yaitu dekonsentrasi, delegasi dan devolusi bertujuan agar
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan efektif dan efisien.
4. Desentralisasi fiskal, bertujuan memberikan kesempatan kepada daerah
untuk menggali berbagai sumber dana meliputi pembiayaan mandiri dan
pemulihan biaya dalam pelayanan publik, peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat,
transfer dana ke daerah utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara lebih adil, kewenangan daerah
untuk melakukan pinjaman berdasar kebutuhan daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari
APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan Negara, yaitu untuk mewujudkan
ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas
perekonomian masyarakat. Kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan
menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah yang sepadan dengan
besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
otonom (Rahayu, 2010). Desentralisasi juga sangat penting karena melibatkan
partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan daripada menunggu keputusan dari
pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, dalam memberi
ruang untuk berkreasi dan berinovasi.
Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin: (i)
Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks kebijakan
ekonomi makro; (ii) Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah
(horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (vertical
imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional
maupun kegiatan pemerintah daerah; (iii) Dapat memenuhi aspirasi dari daerah,
memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional
maupun nasional; (iv) Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah; (v) Memperbaiki

13
keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang
berkualitas di setiap daerah; dan (vi) Menciptakan kesejahteraan sosial (social
welfare) bagi masyarakat (Sidiq, 2002) dalam (Wahyudi, 2015).
Desentralisasi fiskal di Indonesia mulai berkembang setelah tahun 1970-an
dan dipuncaki pada tahun 1999 ketika dalam setahun Indonesia menjadi negara
paling terdesentralisasi di dunia. Sumbangan pengeluaran pemerintah daerah
terhadap total pengeluaran pemerintah bertambah dua kali lipat dari tahun 2000 ke
2001 (Mungkasa, 2012). Perubahan tersebut tercantum dalam UU No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004. Keterkaitan antara implementasi
desentralisasi fiskal harus diikuti dengan kemampuan daerah dalam membiayai
sejumlah pengeluaran yang dialihkan kepadanya. Hal itu bisa dilakukan dengan
meningkatkan penerimaan pajak daerah. Sedangkan retribusi daerah akan
berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. Implementasi kebijakan fiskal
akan berwujud pada pemberian keleluasaan kepada daerah untuk memperoleh
penerimaan dan kewenangan serta membelanjakannya pada otonomi fiskal dan
sesuai dengan dasar peraturan perundang-undangan.
Konsep Pengelolaan Keuangan Daerah
Keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan
kewajiban daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (Adisasmita, 2011). Permasalahan dalam otonomi daerah bukan hanya
pelimpahan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat.
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 (yang sudah direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) secara khusus telah menetapkan
landasan yang jelas dalam penataan pengelolaan dan keuangan daerah,
pertanggung jawaban antara lain memberikan kekuasaan dalam menilai dan
menetapkan produk sebagai berikut: (1) ketentuan tentang produk-produk
pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah (Perda), (2) Sistem
dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan surat keputusan Kepala
Daerah sesuai dengan peraturan daerah tersebut, (3) Kepala Daerah
menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada DPR mengenai keuangan
daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan, (4) Laporan pertanggung
jawaban keuangan daerah tersebut merupakan dokumen daerah sehingga dapat
diketahui oleh masyarakat.
Landiyanto (2005) mengemukakan bahwa prinsip money follow function
belum berjalan dengan efektif karena pelimpahan personil pegawai pemerintah
pusat ke pemerintah daerah diikuti oleh penggajian yang menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah, sehingga keuangan pemerintah daerah menjadi berat dengan
kewajiban membayar gaji pegawai negeri sipil. Hal ini menggambarkan bahwa
dana yang tersedia dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah berupa dana
transfer yaitu Dana Alokasi Umum (DAU) sangat besar jumlahnya dan pada

14
umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga
anggaran pembangunan menjadi kecil. Anggaran merupakan estimasi kinerja yang
hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran
finansial sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk
mempersiapkan suatu anggaran (Mardiasmo, 2004). Sistem anggaran kinerja pada
dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan penyusunan program dan
tolak ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sa