Analisis keterkaitan sektor unggulan dan alokasi anggaran untuk penguatan kinerja pembangunan daerah di provinsi Jawa Timur

(1)

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN

ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

M. IRFAN SURYAWARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005

M. Irfan Suryawardana


(3)

ABSTRAK

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM, NADRATUZZAMAN HOSEN, dan AFFENDI ANWAR.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara sentralistik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah memberikan konsekuensi logis perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sumber-sumber pendapatan yang terbatas baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas di dalam melaksanakan pembangunan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian di Jawa Timur yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan, (2) menganalisis keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir, (3) mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur, dan (4) menganalisis apakah alokasi belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur sudah terkait dengan sektor unggulan.

Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor industri kertas dan barang cetakan; tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki; kacang-kacang lainnya (sub sektor tanaman bahan makanan); restoran; dan bangunan. Prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur secara simultan terhadap sektor-sektor lainnya. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor-sektor-sektor tersebut mempunyai keterkaitan sektoral serta angka pengganda yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.

Dalam struktur perekonomian di Jawa Timur, sektor hulu tidak mempunyai keterkaitan dengan sektor hilir. Sektor hilir mempunyai korelasi yang searah dan nyata dengan angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu tidak terkait sama sekali dengan variabel-variabel tersebut.

Secara spasial, lokasi sektor unggulan berada pada daerah-daerah yang cenderung berbasis sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan mulai melemahnya daya saing daerah-daerah yang sebelumnya merupakan pusat kegiatan sektor industri seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

Sektor industri, bangunan, pertanian, serta pariwisata dan perdagangan yang mendukung perkembangan sektor restoran sebagai sektor unggulan, di dalam alokasi belanja pembangunan mendapat alokasi belanja yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja pembangunan daerah tidak terkait dengan pengembangan sektor unggulan. Alokasi belanja pemerintah baik rutin dan pembangunan tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian Jawa Timur. Prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Jawa Timur adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika; sektor pendikan, kebudayaan, dan kepercayaan kepada Tuhan YME; serta sektor aparatur pemerintah dan pengawasan.


(4)

DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(5)

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur

Nama : Mohamad Irfan Suryawardana

NRP : A. 253040044

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Dr. M. Nadratuzzaman Hosen Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(6)

Kupersembahkan karya ini kepada

Ayahnda Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan Ibunda Sri Astuti

Mertua yang Ananda hormati

Ayahnda M. Tahan dan Ibunda Huzaimah

Istriku tercinta Irawati dan kedua anakku yang tersayang

Raihana Rizka Suryawardani dan

Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani

Kakak dan adik-adikku yang telah mendukung selama ini


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 ini ialah sektor unggulan kaitannya dengan pola alokasi anggaran, dengan judul Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, Bapak Dr. M. Nadratuzzaman Hosen, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah XV Ditjen Perbendaharaan Surabaya atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2004 atas segala bantuan dan kritiknya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan, penulis mengucapkan terima kasih. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2005


(8)

Kgs. Ibrahim Nungtjik dan ibu Sri Astuti. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Irawati pada tahun 1999, penulis mendapatkan dua putri yang bernama Raihana Rizka Suryawardani (6 tahun) dan Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani (4 tahun).

Sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas diselesaikan penulis di kota kelahirannya Malang. Pendidikan Diploma III ditempuh pada Program Diploma III Keuangan-Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Spesialisasi Anggaran, lulus tahun 1995. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Terbuka yang ditamatkan pada tahun 2001.

Pada tahun 2004, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.

Setelah lulus dari Program Diploma III Keuangan, penulis menjalani ikatan dinas di lingkungan Departemen Keuangan dan tempat tugas pertama penulis adalah Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Baturaja. Selanjutnya pada tahun 1998, penulis dialihtugaskan ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Lubuk Linggau. Tahun 2000, penulis kembali alih tugas ke tempat yang baru pada Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Surabaya II. Tempat kedudukan terakhir penulis saat ini sebagai staf pada Kantor Wilayah XV Direktorat Jenderal Perbendaharaan Surabaya mulai tahun 2003 sampai dengan sekarang.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Penelitian Sebelumnya ... 8

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

Pembatasan Masalah ... 10

TINJAUAN PUSTAKA Sektor Unggulan ... 10

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan ... 11

Perencanaan dan Keuangan Daerah ………. 14

Sumber Pendapatan Daerah ……….. 18

Metode Input Output ... 23

BAHAN DAN METODE Kerangka Umum Penelitian ………. 26

Kerangka Pendekatan Analisis……….. 30

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 36

Jenis dan Sumber Data ………. 36

Metode Analisis………. 38

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis ………. 52

Iklim………. ………. 54

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ………. 55

SEKTOR UNGGULAN DI PROPINSI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur... 57

Nilai Tambah Bruto dan Total Output Sektoral ... 60

Struktur Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen ... 63

Transaksi Internal, Transaksi Eksternal, dan Input Primer ... 65

Keterkaitan Antar Sektor... 67


(10)

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir ... 90

Tipologi Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Timur ... 93

LOKASI SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 96

Kesenjangan Antarwilayah ... 99

Indeks Pembangunan Manusia dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Timur... 104

Indentifikasi Kabupaten/Kota Lokasi Sektor Unggulan Provinsi ... 108

KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 116

Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan ... 120

Kelembagaan dalam Penyusunan APBD ... 126

SIMPULAN ... 129

IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 139


(11)

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN

ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

M. IRFAN SURYAWARDANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2005

M. Irfan Suryawardana


(13)

ABSTRAK

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA. Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM, NADRATUZZAMAN HOSEN, dan AFFENDI ANWAR.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara sentralistik untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada daerah memberikan konsekuensi logis perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sumber-sumber pendapatan yang terbatas baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas di dalam melaksanakan pembangunan.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian di Jawa Timur yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan, (2) menganalisis keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir, (3) mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan pada kabupaten/kota di Jawa Timur, dan (4) menganalisis apakah alokasi belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur sudah terkait dengan sektor unggulan.

Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Jawa Timur adalah sektor industri kertas dan barang cetakan; tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki; kacang-kacang lainnya (sub sektor tanaman bahan makanan); restoran; dan bangunan. Prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan tersebut akan menggerakkan roda perekonomian Jawa Timur secara simultan terhadap sektor-sektor lainnya. Hal ini disebabkan karena sektor-sektor-sektor-sektor tersebut mempunyai keterkaitan sektoral serta angka pengganda yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya.

Dalam struktur perekonomian di Jawa Timur, sektor hulu tidak mempunyai keterkaitan dengan sektor hilir. Sektor hilir mempunyai korelasi yang searah dan nyata dengan angka pengganda pendapatan, angka pengganda pajak, angka pengganda surplus usaha, dan angka pengganda PDRB. Sedangkan sektor hulu tidak terkait sama sekali dengan variabel-variabel tersebut.

Secara spasial, lokasi sektor unggulan berada pada daerah-daerah yang cenderung berbasis sektor pertanian. Hal ini mengindikasikan mulai melemahnya daya saing daerah-daerah yang sebelumnya merupakan pusat kegiatan sektor industri seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo.

Sektor industri, bangunan, pertanian, serta pariwisata dan perdagangan yang mendukung perkembangan sektor restoran sebagai sektor unggulan, di dalam alokasi belanja pembangunan mendapat alokasi belanja yang kecil. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja pembangunan daerah tidak terkait dengan pengembangan sektor unggulan. Alokasi belanja pemerintah baik rutin dan pembangunan tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian Jawa Timur. Prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Jawa Timur adalah sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika; sektor pendikan, kebudayaan, dan kepercayaan kepada Tuhan YME; serta sektor aparatur pemerintah dan pengawasan.


(14)

DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA

PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR

MOHAMAD IRFAN SURYAWARDANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(15)

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur

Nama : Mohamad Irfan Suryawardana

NRP : A. 253040044

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Dr. M. Nadratuzzaman Hosen Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc


(16)

Kupersembahkan karya ini kepada

Ayahnda Drs. Kgs. Ibrahim Nungtjik dan Ibunda Sri Astuti

Mertua yang Ananda hormati

Ayahnda M. Tahan dan Ibunda Huzaimah

Istriku tercinta Irawati dan kedua anakku yang tersayang

Raihana Rizka Suryawardani dan

Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani

Kakak dan adik-adikku yang telah mendukung selama ini


(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 ini ialah sektor unggulan kaitannya dengan pola alokasi anggaran, dengan judul Analisis Keterkaitan Sektor Unggulan dan Alokasi Anggaran untuk Penguatan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr, Bapak Dr. M. Nadratuzzaman Hosen, dan Bapak Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis juga sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan. Rasa terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah XV Ditjen Perbendaharaan Surabaya atas ijin yang telah diberikan untuk mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama mengikuti pendidikan.

Teman-teman di Kelas Khusus Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah tahun 2004 atas segala bantuan dan kritiknya, serta langkah-langkah penuh keceriaan dan kenangan di kampus IPB yang tak akan terlupakan, penulis mengucapkan terima kasih. Tak lupa, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada ayah, ibu, mertua, istri, anak-anakku tersayang, serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, serta pengorbanan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2005


(18)

Kgs. Ibrahim Nungtjik dan ibu Sri Astuti. Penulis merupakan putra kedua dari lima bersaudara. Buah dari perkawinannya dengan Irawati pada tahun 1999, penulis mendapatkan dua putri yang bernama Raihana Rizka Suryawardani (6 tahun) dan Salsabila Wulan Fariha Putri Suryawardani (4 tahun).

Sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas diselesaikan penulis di kota kelahirannya Malang. Pendidikan Diploma III ditempuh pada Program Diploma III Keuangan-Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Spesialisasi Anggaran, lulus tahun 1995. Sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Terbuka yang ditamatkan pada tahun 2001.

Pada tahun 2004, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pusbindiklatren Bappenas.

Setelah lulus dari Program Diploma III Keuangan, penulis menjalani ikatan dinas di lingkungan Departemen Keuangan dan tempat tugas pertama penulis adalah Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Baturaja. Selanjutnya pada tahun 1998, penulis dialihtugaskan ke Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara Lubuk Linggau. Tahun 2000, penulis kembali alih tugas ke tempat yang baru pada Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran Surabaya II. Tempat kedudukan terakhir penulis saat ini sebagai staf pada Kantor Wilayah XV Direktorat Jenderal Perbendaharaan Surabaya mulai tahun 2003 sampai dengan sekarang.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Penelitian Sebelumnya ... 8

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

Pembatasan Masalah ... 10

TINJAUAN PUSTAKA Sektor Unggulan ... 10

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan ... 11

Perencanaan dan Keuangan Daerah ………. 14

Sumber Pendapatan Daerah ……….. 18

Metode Input Output ... 23

BAHAN DAN METODE Kerangka Umum Penelitian ………. 26

Kerangka Pendekatan Analisis……….. 30

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 36

Jenis dan Sumber Data ………. 36

Metode Analisis………. 38

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis ………. 52

Iklim………. ………. 54

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ………. 55

SEKTOR UNGGULAN DI PROPINSI JAWA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur... 57

Nilai Tambah Bruto dan Total Output Sektoral ... 60

Struktur Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen ... 63

Transaksi Internal, Transaksi Eksternal, dan Input Primer ... 65

Keterkaitan Antar Sektor... 67


(20)

KETERKAITAN ANTARSEKTOR PADA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR

Keterkaitan Sektor Hulu dan Sektor Hilir ... 90

Tipologi Sektor-Sektor Perekonomian di Jawa Timur ... 93

LOKASI SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Perekonomian Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 96

Kesenjangan Antarwilayah ... 99

Indeks Pembangunan Manusia dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Timur... 104

Indentifikasi Kabupaten/Kota Lokasi Sektor Unggulan Provinsi ... 108

KETERKAITAN ANTARA ALOKASI ANGGARAN PEMBANGUNAN TERHADAP SEKTOR UNGGULAN DI JAWA TIMUR Kondisi Umum Keuangan Kabupaten/Kota di Jawa Timur ... 116

Keterkaitan Antara Anggaran Belanja Pembangunan dan Sektor Unggulan ... 120

Kelembagaan dalam Penyusunan APBD ... 126

SIMPULAN ... 129

IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 135

LAMPIRAN ... 139


(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sumber dan besar dana bagi hasil ... 20

2. Klasifikasi sektoral data PDRB harga konstan tahun 2000 dan 2003 serta data Tabel I-O updating tahun 2003 ... 33

3. Sektor-sektor dalam Tabel I-O Jawa Timur updating tahun 2003 ... 37

4. Kabupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur ... 52

5. Jumlah penduduk Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003... 55

6. Distribusi PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku tahun 1999 s.d 2003 ... 57

7. Pertumbuhan riil sektor ekonomi tahun 1999 s.d 2003... 59

8. Sepuluh sektor dengan PDRB terbesar di Jawa Timur tahun 2003... 61

9. Sepuluh sektor dengan total output terbesar di Jawa Timur tahun 2003 ... 63

10. Struktur PDRB menurut komponen pendapatan tahun 2003 ... 63

11. Transaksi internal, transaksi eksternal, dan input primer sektoral... 66

12. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke belakang (DBL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang (DIBL)... 68

13. Sepuluh sektor terbesar dengan keterkaitan langsung ke depan (DFL) serta keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan (DIFL)... 70

14. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda output terbesar... 76

15. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pendapatan terbesar... 77

16. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda pajak terbesar ... 77

17. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda PDRB terbesar ... 79

18. Sepuluh sektor yang mempunyai pengganda tenaga kerja terbesar ... 81

19. Hasil PCA terhadap variabel-variabel penentu sektor unggulan ... 87

20. Lima sektor unggulan di Jawa Timur ... 88

21. Keterkaitan sektor hulu dan sektor hilir... 90

22. Kelompok sektor-sektor perekonomian menurut analisis gerombol ... 95

23. PDRB kabupaten/kota di Jawa Timur berdasarkan harga berlaku ... 97

24. Peranan sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota berdasarkan PDRB harga berlaku tahun 2003 ... 98

25. Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2004 ……… 100

26. Perkembangan angka IPM tahun 1999 dan 2002 s.d. 2004... 104

27. Angka IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2004 ... 105

28. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun 2000 s.d 2004... 106

29. Jumlah penduduk miskin pada kabupaten/kota di Jawa Timur ... 107

30. Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur... 113

31. Rekapitulasi sumber-sumber pendapatan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 116

32. Rekapitulasi Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota di Jawa Timur ... 117

33. Rekapitulasi dana perimbangan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 119

34. Alokasi belanja rutin dan pembangunan kabupaten/kota di Jawa Timur ... 121


(22)

terhadap perekonomian di Jawa Timur ... 125


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/kota

di Provinsi Jawa Timur ... 5 2. Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003

kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur... 6 3. Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004 ……… 17 4. Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan

mekanisme penyusunan APBN dan APBD sesuai UU 17/2004……… 17 5. Sumber-sumber pendanaan daerah ... 19 6. Struktur dasar Tabel Input Output ... 25 7. Kerangka umum penelitian ……….. 29 8. Bagan alir analisis penentuan sektor unggulan dan hubungan keterkaitan

antara sektor hulu dan sektor hilir ... 31 9. Bagan alir indentifikasi lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ... 34 10. Bagan alir pendekatan analisis keterkaitan alokasi belanja pembangunan

terhadap sektor unggulan ... 36 11. Bagan alir updating Tabel Input Output ... 39 12. Bagan alir penentuan sektor unggulan ... 47 13. Peta administratif Jawa Timur ... 54 14. Peta kepadatan penduduk tahun 2003 ... 55 15. Pohon industri kertas ... 71 16. Pohon industri kimia hasil pertanian ... 72 17. Derajat kepekaan dan daya penyebaran sektoral ... 74 18. Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda output ... 78 19. Hubungan angka pengganda pajak dan angka pengganda surplus usaha ... 79 20. Hubungan angka pengganda PDRB dan angka pengganda output... . 80 21. Hierarki pemasaran dan pengolahan produk pertanian ... 86 22. Grafik hasil analisis peubah-peubah tipologi sektoral ... 94 23. Basis perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur ... 99 24. Perkembangan Indeks Williamson di Jawa Timur tahun 2000 s.d. 2003….. 100 25. Perbandingan absolut perekonomian antardaerah di Jawa Timur ... 102 26. Hasil LQ dan differential shift sektor kertas dan barang cetakan... 109 27. Hasil LQ dan differential shift sektor tekstil, barang dari kulit,

dan alas kaki ... 110 28. Hasil LQ dan differential shift sektor bangunan dan konstruksi... 111 29. Hasil LQ dan differential shift sub sektor tanaman bahan makanan... 111 30. Hasil LQ dan differential shift sektor restoran... 112 31. Lokasi sektor unggulan di Jawa Timur ... 115 32. Lokasi sub sektor tanaman bahan makanan ... 115 33. Strategi pemerintah daerah di dalam pembangunan ekonomi kaitannya

dengan sektor unggulan ... 134


(24)

1. Pendugaan koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 dengan

metode RAS ... 139 2. Tabel input output Jawa Timur updating 2003 44 sektor ... 147 3. Koefisien teknis Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ... 155 4. Invers matriks leontief Tabel I-O Jawa Timur updating 2003 ... 159 5. Nilai keterkaitan dan angka pengganda per sektor ... 163 6. Skor per sektor hasil pembobotan ... 166 7. Nilai location quotient dan differential shift sektor unggulan

pada kabupaten/kota di Jawa Timur ... 169 8. Data tenaga kerja Jawa Timur ... 170


(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semenjak 1 Januari 2000, Indonesia telah memasuki babak baru dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan landasan pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.

Era otonomi, bagi sebagian daerah merupakan kesempatan untuk bisa melaksanakan pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan secara sentralistik dan mengabaikan karakteristik daerah. Sedangkan bagi sebagian daerah lainnya, otonomi daerah merupakan suatu ‘beban’ yang mau tidak mau harus mereka terima dari Pusat daripada sebagai peluang pemberdayaan lokal (LIPI 2000).

Pandangan beberapa daerah yang merasakan pelaksanaan otonomi daerah ini merupakan suatu beban disebabkan karena adanya kesadaran di kalangan elit dan masyarakat daerah setempat akan minimnya sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumber-sumber pendapatan untuk pembangunan. Berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah daerah selain kurangnya sumber daya yang tersedia tersebut, hal lain yang dihadapi adalah masalah kesenjangan antarwilayah, pengangguran, dan daya beli masyarakat yang masih lemah akibat krisis ekonomi yang lalu belum pulih benar.

Keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah baik yang berasal dari pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan menuntut pemerintah daerah melakukan prioritas pembangunan. Dalam pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah daerah dituntut jeli untuk mengalokasikan anggaran secara tepat pada sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan. Sektor unggulan, sebagai motor pengggerak sektor lainnya (leading sector), mempunyai keterkaitan yang sangat besar dengan sektor lainnya. Oleh karena itu, dalam pembangunan ekonomi


(26)

daerah, perhatian dan fokus pemerintah kepada sektor unggulan akan memberikan dampak kepada sektor-sektor perekonomian lainnya secara simultan.

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan karena berkaitan dengan tujuan pemerintah itu sendiri untuk menyejahterakan masyarakatnya. Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang saling terkait satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuan, sehingga output dari perencanaan adalah penganggaran.

Proses perencanaan sampai dengan penganggaran yang baik pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pemerintah daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan pembangunan daerah itu sendiri, antara lain menyejahterakan masyarakat, mengurangi ketergantungan fiskal, mengurangi kesenjangan antarwilayah, dan meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan berbagai macam keterbatasan sumber-sumber pendapatan untuk melaksanakan pembangunan, maka perlu dikembangkan suatu sistem anggaran yang mengarah pada sektor unggulan.

Berangkat dari berbagai hal di atas, maka karya tulis ini mencoba menganalisis pola alokasi anggaran belanja pembangunan daerah setelah berlakunya otonomi daerah di Jawa Timur dan keterkaitannya dengan sektor unggulan sebagai upaya meningkatkan dan memperkuat perekonomian daerah sehingga pada akhirnya kinerja pembangunan daerah meningkat.

Perumusan Masalah

Menurut Anwar dan Hadi (1996), perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi penekanannya lebih kepada upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang biasanya dilihat dari tolok ukur peningkatan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan ukuran produktivitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yakni total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh rakyat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Sehingga perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam


(27)

3

mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan yang diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik itu investasi pemerintah maupun swasta.

Hirschman dalam Todaro (1989), menyatakan bahwa untuk negara (daerah) yang berkembang, pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (imbalanced growth) namun dilakukan dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan memberi implikasi ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) terhadap sektor-sektor lainnya. Sedangkan menurut Miyarto et al. (1993), dalam pembangunan ekonomi sektoral, prioritas hendaknya diberikan kepada sektor-sektor yang mempunyai daya penyebaran dan derajat kepekaan tinggi. Pembangunan pada sektor-sektor tersebut akan memberikan efek multiplier yang relatif besar bagi pertumbuhan ekonomi. Untuk menentukan prioritas pembangunan berdasarkan sektor unggulan menurut Nazara (1997), metode yang bisa digunakan adalah analisis keterkaitan antarsektor. Sektor dengan keterkaitan paling tinggi berarti memiliki potensi menghasilkan output produksi yang tinggi pula.

Sebagian besar perekonomian kabupaten/kota di Jawa Timur berbasis pada sektor pertanian. Selama ini, daerah-daerah dengan basis perekonomian pertanian indentik dengan ketertinggalan dalam pembangunan perekonomian. Keterkaitan yang kuat antara sektor pertanian (hulu) dan sektor industri (hilir) dalam struktur perekonomian wilayah merupakan pondasi yang kuat dalam perkembangan perekonomian, hal ini disebabkan karena proses produksi yang terjadi banyak menggunakan bahan-bahan lokal sehingga tingkat ketergantungan dari luar daerah atau luar negeri relatif kecil. Pemanfaatan sumber daya lokal yang besar pada akhirnya akan meningkatkan nilai tambah yang tercipta. Struktur keterkaitan yang lemah antara sektor hulu dan sektor hilir menyebabkan potensi kebocoran wilayah yang terjadi akan besar.

Tingginya konsentrasi pusat-pusat pertumbuhan di sekitar Kawasan Gerbangkertasusila di Jawa Timur, menimbulkan dampak positif dan negatif bagi pembangunan wilayah. Kurangnya kesadaran spasial antarwilayah mengakibatkan dampak pembangunan yang terkonsentrasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang besar bagi wilayah-wilayah lainnya, yang secara tidak langsung turut memberikan sumbangan bagi kemajuan bagi wilayah telah maju. Pada akhirnya


(28)

hubungan fungsional yang terjadi antarwilayah bukannya saling memperkuat namun akan saling melemahkan. Terkait dengan sektor-sektor unggulan di Jawa Timur, perlu dilakukan indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan tersebut pada kabupaten/kota di Jawa Timur. Dengan mengetahui lokasi-lokasi sektor unggulan, diharapkan arahan pengembangan sektor unggulan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, dapat lebih terfokus tanpa mengabaikan struktur perekonomian pada kabupaten/kota tersebut selama ini. Selain itu, kesenjangan wilayah yang terjadi selama ini dapat semakin dikurangi.

Implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah penyerahan sebagian kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penyerahan sebagian kewenangan ini memberikan konsekuensi logis kepada perlunya sumber-sumber pendapatan yang memadai oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 jo. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, diatur sumber-sumber pendapatan bagi daerah dalam rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Prinsip di dalam UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Secara ekonomi, desentralisasi itu sendiri tentu akan mengubah pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik. Jika pada sistem sentralisasi, alokasi dan distribusi barang-barang publik didominasi oleh pemerintah pusat, maka dengan adanya desentralisasi atau otonomi fungsi alokasi dan distribusi tersebut banyak beralih kepada daerah kabupaten/kota. Ini berarti nasib kesejahteraan masyarakat sejak adanya otonomi akan lebih banyak bergantung kepada pemerintah kabupaten/kota.

Sejalan dengan berlakunya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2005, maka anggaran yang disusun harus mengacu kepada anggaran yang berbasis kinerja. Dengan anggaran berbasis kinerja, diharapkan semua pengeluaran anggaran dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan dilaksanakan secara efektif dan efisien.


(29)

5

Yang menjadi persoalan di dalam pengalokasian anggaran selain tidak berimbangnya alokasi antara belanja rutin dan pembangunan adalah ketepatan di dalam mengalokasikan anggaran itu sendiri terhadap sektor-sektor yang seharusnya mendapatkan prioritas. Ketidaktepatan di dalam alokasi anggaran akan menyebabkan inefisiensi dan kemubaziran, sehingga tujuan pembangunan yang diharapkan tidak tercapai. Kebijakan pemerintah yang tepat dalam pengalokasian anggaran yang lebih menitikberatkan kepada belanja pembangunan atau investasi akan menciptakan nilai tambah di dalam perekonomian wilayah.

2.49

11.01 10.14

7.62 87.89

76.13 75.90

1.85 3.68 4.67

0.14 0.01 0.03

9.18 9.27

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00

2001 2002 2003

Tahun

SISA ANGGARAN TAHUN LALU PENDAPATAN ASLI DAERAH

DANA PERIMBANGAN PENERIMAAN LAINNYA

PINJAMAN PEMERINTAH DAERAH %

Sumber : BPS Jawa Timur (2004).

Gambar 1 Sumber-sumber pendapatan daerah tahun 2001 s.d. 2003 kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur.

Semenjak otonomi daerah dilaksanakan, sumber pendapatan daerah pada kabupaten/kota di Jawa Timur masih mengandalkan sumber-sumber pendapatan dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2003 dana perimbangan yang dikucurkan oleh pusat semakin menurun. Pada tahun 2001, total alokasi dana perimbangan yang diterima oleh


(30)

kabupaten/kota di Jawa Timur sebesar 87.89%, tahun 2002 sebesar 76.13%, dan pada tahun 2003 turun kembali menjadi 75.90%. Penurunan dana perimbangan ini ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan yang cukup besar pada sumber-sumber pendapatan lainnya, terutama Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana di tunjukkan pada Gambar 1.

Belanja Rutin dan Pembangunan

69.00% 72.88%

77.12%

31.00% 27.12%

22.88%

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

2001 2002 2003

Tahun

TOTAL PENGELUARAN BELANJA PEMBANGUNAN TOTAL PENGELUARAN BELANJA RUTIN

%

Sumber : BPS Jawa Timur (2004).

Gambar 2 Alokasi belanja rutin dan pembangunan tahun 2001 s.d 2003 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

Dalam hal belanja daerah, anggaran belanja rutin masih sangat mendominasi pola pengeluaran anggaran pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dibandingkan dengan anggaran belanja pembangunan. Nilai dari belanja rutin setiap tahun cenderung turun, namun porsi belanja rutin masih tetap di atas 70% sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Masalah yang timbul dari pelimpahan kewenangan pelaksanaan pembangunan kepada daerah adalah timpangnya alokasi anggaran antara belanja rutin dan belanja investasi (pembangunan) karena belanja pembangunan mendapat alokasi yang sangat kecil. Dari sisi kepentingan para pelaku usaha di daerah, bentuk dan arah alokasi seperti ini tidak terlalu menjadi persoalan. Sebab, kemanapun dana APBD dibelanjakan, dana tersebut tetap akan menimbulkan permintaan akan barang dan jasa. Selanjutnya, permintaan barang


(31)

7

dan jasa itu tentu merupakan peluang untuk melakukan suplai atau melakukan kegiatan produksi bagi para pengusaha.

Masalah ekonomi bagi masyarakat bukan hanya soal kelancaran alokasi tetapi juga soal distribusi, maka setiap bentuk dan arah alokasi belanja pemerintah tentu punya nilai tersendiri. Jika alokasi anggaran lebih banyak untuk anggaran belanja rutin birokrasi dan belanja para pejabat publik, maka aspek keadilannya menjadi kecil. Jika alokasi APBD untuk belanja pembangunan atau belanja investasi lebih besar, maka kepentingan publik lebih banyak yang terlayani.

Kepentingan publik di sini bukan sekedar peningkatan pelayanan publik tetapi juga termasuk peningkatan kapasitas ekonomi daerah secara keseluruhan. Berbeda dengan bentuk alokasi yang didominasi oleh belanja rutin, alokasi yang lebih besar kepada kebutuhan pembangunan lebih menjanjikan peningkatan nilai tambah bagi berbagai sektor perekonomian. Ketidaktepatan alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor perekonomian terutama pada sektor unggulan menyebabkan alokasi belanja yang telah dilakukan menjadi tidak efisien dan efektif yang pada akhirnya menimbulkan kemubaziran Dengan alokasi belanja pembangunan yang tepat, baik jumlah maupun sektornya, akan memberikan efek yang positif bagi pemerintah daerah sehingga kinerja pembangunan daerah lebih meningkat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji dan ditemukan jawabannya, yaitu :

1. Sektor-sektor apa saja yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur

2. Bagaimana pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur

3. Indentifikasi lokasi-lokasi sektor unggulan di Jawa Timur

4. Apakah pola kebijakan alokasi anggaran belanja pembangunan pada APBD kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor unggulan.


(32)

Penelitian Sebelumnya

Tanpa mengabaikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Jawa Timur mengenai sektor unggulan, penelitian ini berusaha untuk melanjutkan dan lebih mempertajam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sehingga dapat diketahui sektor unggulan yang lebih detail lagi.

Penelitian sebelumnya mengenai penentuan sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga pada tahun 2001 dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kondisi perekonomian di wilayah Provinsi Jawa Timur secara umum dipengaruhi oleh sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Namun, secara umum sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di wilayah Jawa Timur.

Amir dan Nazara (2005), juga melakukan penelitian serupa dengan menggunakan metode analisis I-O pada Provinsi Jawa Timur, dalam penelitiannya Amir dan Nazara menyatakan bahwa sektor perekonomian yang merupakan sektor unggulan adalah sektor industri lainnya, sektor industri makanan, minuman, dan tembakau, sektor restoran dan hotel, sektor bangunan, serta sektor pengilangan minyak. Namun di dalam penelitian ini tidak secara rinci disebutkan jenis industri yang merupakan unggulan karena penelitian hanya dilakukan terhadap 18 sektor besar. Sektor industri dalam penelitian tersebut dibagi dua, yaitu industri makanan, minuman, dan tembakau serta sektor industri lainnya.

Melanjutkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan untuk mengetahui secara lebih detail lagi mengenai sektor unggulan di Jawa Timur, maka penelitian ini dilakukan pada 44 sektor perekonomian, sehingga hasil yang diharapkan dapat menjelaskan lebih lanjut dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Amir dan Nazara. Beberapa hal yang dikaji lebih lanjut di dalam penelitian ini adalah lokasi kabupaten/kota di Jawa Timur yang berbasis sektor unggulan provinsi sehingga kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dapat mengacu kepada sektor unggulan.


(33)

9

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah seperti telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis sektor-sektor dalam perekonomian yang dapat diindentifikasikan sebagai sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur.

2. Menganalisis pola keterkaitan antara sektor hulu dan sektor hilir dalam perekonomian wilayah di Jawa Timur.

3. Mengindentifikasikan lokasi-lokasi sektor unggulan di Provinsi Jawa Timur 4. Menganalisis kebijakan alokasi belanja pembangunan pada APBD

kabupaten/kota apakah sudah terkait dengan sektor-sektor unggulan.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran tentang kondisi dan peran sektor-sektor perekonomian dalam pembangunan wilayah di Provinsi Jawa Timur dan faktor-faktor pendukungnya serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan di dalam membangun keterkaitan antarsektor dalam kerangka pengembangan wilayah serta pengalokasian anggaran pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur.

Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah di dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan karena adanya keterbatasan waktu dan biaya, serta penulisan diharapkan dapat lebih terfokus. Pembatasan permasalahan dilakukan pada beberapa hal sebagai berikut : 1. Di dalam menganalisis dan menentukan sektor unggulan, penelitian dilakukan

dengan lebih memfokuskan kepada aspek ekonomi dari masing-masing sektor perekonomian. Tanpa mengabaikan aspek-aspek lainnya seperti sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan maka pembahasan pada aspek-aspek tersebut akan dilakukan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek perekonomian.

2. Keterkaitan antara sektor unggulan dengan alokasi anggaran yang dicerminkan di dalam APBD pemerintah pada kabupaten/kota di Jawa Timur, maka pembahasan hanya melihat keterkaitan antara pola alokasi anggaran dengan sektor unggulan tanpa melakukan pembahasan atau analisis lebih lanjut mengenai optimalisasi anggaran yang semestinya atau ideal.


(34)

Sektor Unggulan

Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Berbagai keterbatasan sumber daya dan sumber pendanaan yang dimiliki oleh suatu daerah menuntut kejelian pemerintah daerah untuk menentukan suatu skala prioritas pembangunan. Tidak mungkin bagi suatu daerah untuk membiayai semua sektor secara bersama-sama karena keterbatasan sumber pendanaan. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan (leading sector) dimana sektor ini diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor lainnya.

Dalam analisis input output menurut Arief (1993), kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan (leading sector) adalah sektor-sektor yang :

a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya

b. menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan permintaan akhir yang relatif tinggi pula

c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi

Selanjutnya Amir dan Nazara (2005), menyatakan juga bahwa sektor-sektor dengan angka pengganda output (output multiplier) yang besar mempunyai potensi menjadi sektor unggulan dalam pembangunan perekonomian daerah. Menurut Rustiadi et al. (2004), bahwa syarat suatu sektor layak dijadikan sebagai unggulan di dalam perekonomian daerah ialah memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian daerah serta mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya baik ke depan dan ke belakang yang besar.


(35)

11

Di sisi lain, menurut Saefulhakim (2004a), skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa: (a) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional); (b) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (c) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan, dan sosial yang ada.

Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam konsep pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumber daya (Anwar dan Hadi 1996).

Untuk mengetahui prioritas pembangunan sektoral yang mengarah pada sektor unggulan, maka perlu diketahui dampak antarsektor dalam perekonomian. Dampak keterkaitan antarsektor akan memberikan gambaran yang jelas mengenai sektor-sektor yang mempunyai peranan besar, baik bagi sektornya sendiri maupun sektor lainnya (Miyarto et al. 1993). Dengan demikian kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan perekonomian wilayah akan lebih diprioritaskan pada sektor tersebut.

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan

Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda, namun dalam pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan (Kelly dan Becker 2000) dalam Rustiadi et al. (2004). Sedangkan Kay dan Alder (1999), menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai perencanaan secara umum


(36)

hampir selalu terdapat dua unsur penting, yakni (1) unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya.

Pada tingkat daerah, regional, atau wilayah, khususnya pada perencanaan ekonomi regional, para pelaksana dan pengambil keputusan menghadapi tantangan bagaimana caranya agar perekonomian wilayah tersebut dapat mencapai keadaan yang lebih baik di masa mendatang dibandingkan dengan keadaan sekarang. Pada daerah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Alasan yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah :

1. secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang 2. untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia

3. pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan di negara atau daerah berkembang karena daerah-daerah tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumber daya.

Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antarwilayah. Konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip (1) berbasis sektor unggulan, (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah, (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu, (4) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang, dan (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Herry 2004). Sedangkan Nelson dalam Sutriadi (2002), menyatakan bahwa pengembangan wilayah adalah langkah atau tindakan yang dapat mengubah


(37)

13

produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah yang diperoleh melalui industri. Perubahan tersebut juga akan terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti peningkatan kualitas prasarana dan sarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan.

Selanjutnya Sutriadi menyatakan bahwa dalam prakteknya teori pengembangan wilayah telah melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah

a. Teori Neo Klasik, Arthur Lewis berpendapat bahwa tingkat pendapatan suatu wilayah tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan wilayah lainnya mengingat aliran kapital akan selalu berpindah sesuai dengan mekanisme demand dan supply.

b. Teori Economic Base, pada dasarnya aktivitas yang terdapat di dalam suatu wilayah terbagi menjadi dua, yaitu sektor basis (aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor) dan sektor non basis/servis (aktivitas ekonomi yang melayani sektor basis). Perkembangan wilayah akan sangat tergantung dari fungsi aktivitas basis yang dimilikinya.

c. Teori Pentahapan Wilayah, diperkenalkan oleh Rostow yang berpendapat bahwa perkembangan wilayah harus melalui lima fase, yaitu subsistensi, spesialisasi lokal, perdagangan antarwilayah, industrialisasi, dan spesialisasi industri tersier.

d. Teori Pertumbuhan Wilayah Tidak Seimbang (Imbalanced Growth), dikemukakan oleh Myrdal yang beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam pengembangan wilayah, yakni backwash effect (proses pengurasan sumber daya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect (gaya yang ditimbulkan oleh wilayah yang maju untuk mendorong pengembangan wilayah belakang atau hinterland).

Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling berseberangan, dominasi pertama menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan


(38)

perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).

Sedangkan konsep lainnya beranggapan bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam ’wilayah’ itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.

Pada intinya, pengembangan wilayah bertujuan untuk (1) mendayagunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, (2) mengurangi kesenjangan antarwilayah, (3) pembangunan berkelanjutan dengan tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan, dan (4) mempertahankan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi regional. Namun dalam mencapai tujuan ini, tidak semua tujuan dapat dicapai secara bersama-sama karena adanya keterbatasan-keterbatasan, oleh karena itu tujuan pengembangan wilayah hanya difokuskan pada satu tujuan tanpa mengabaikan tujuan yang lainnya.

Perencanaan dan Keuangan Daerah

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen yamg mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur dengan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah juga didukung oleh peran kelembagaan. Kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Dalam pengertian ekonomi, kelembagaan sebagai organisasi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme kewenangan administrasi.

Adanya perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung atau tidak langsung akan


(39)

15

berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi di bidang administrasi antara lain berkenaan dengan transfer personal pegawai termasuk penggajiannya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa prinsip money follow function belum berjalan dengan efektif karena pelimpahan personil pegawai pemerintah pusat ke pemerintah daerah diikuti oleh penggajian yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga keuangan pemerintah daerah menjadi berat dengan kewajiban membayar gaji pegawai negeri. Lebih lanjut Lewis (2001) dalam Landiyanto (2005), menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU ) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil.

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), sistem perencanaan pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, perencanaan pembangunan yang sudah disusun lebih khusus dan mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah,


(40)

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan.

Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik dan menempatkan daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai partner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap tahun oleh gubernur/bupati/walikota atas persetujuan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya adalah pemilihan presiden secara langsung, membawa konsekuensi tidak adanya lagi mandaris MPR sehingga secara otomatis GBHN juga tidak ada lagi. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Namun, hal ini bukan berarti sistem perencanaan pembangunan secara nasional tidak diperlukan lagi. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.


(41)

17 UUD 1945 POLDAS POLDAS GBHN PUSAT KABUPATEN/KOTA PROPINSI PROPENAS PROPEDA PROPEDA RENSTRA DEPT/LEMBAGA

REPETA / APBN

RENSTRA (Daerah/Dinas)

RENSTRA (Daerah/Dinas) APBD PROP.

APBD Kab/ Kota

Sumber : Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 3 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004.

RPJP NASIONAL RPJM NASIONAL Pedoman RKP RENSTRA

KL RENJA KL

Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman RJA-KL Pedoman RAPBN Pedoman RINCIAN APBN APBN RPJP DAERAH RPJM DAERAH Pedoman RKP DAERAH Dijabarkan RAPBD Pedoman APBD RENSTRA

KL RENJA KL

Pedoman Pedoman RJA-KL Pedoman RINCIAN APBN Diacu Diacu Diperhatikan P E M E RI NT AH PU SA T PE M E R IN T AH DA E R A H Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun

UU 25 TAHUN 2004 - SPPN UU 17 TAHUN 2004 - KN

Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.

Gambar 4 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004.

Dalam undang-undang ini, perencanaan pembangunan dibagi dalam tiga dimensi waktu, yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan. Oleh karena itu, dalam penyampaian visi, misi, dan strategi pemilihan presiden berikutnya harus mengacu kepada perencanaan


(42)

pembangunan 25 tahun mendatang sehingga terjadi kesinambungan antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.

Sumber Pendapatan Daerah

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan azas desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah.

Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola


(43)

19

secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.

Pajak Daerah

Retribusi Daerah Pengelolaan Daerah Yg

Dipisahkan Lain-Lain PAD Yang

Sah Da n a B a g i Ha s il D a na A lok a s i U m u m D a na A lok a s i K hu s us Pemerintah

Pemerintah Daerah Lain Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat H ib a h Ya n g Be ra s a l Da ri Pe m e ri n ta h a n As in g D a n a D a ru ra t Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan Pinjaman Daerah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH

PBB BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21

Kehutanan Pertambangan Umum

Perikanan Pertambangan Minyak Bumi

Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi

Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU

Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 5 Sumber-sumber pendanaan daerah.

Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah sebagaimana Gambar 5, sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan.

Menurut Sidiq (2002), pola bagi hasil ini akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antardaerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA dan pajak yang sangat signifikan. Sementara ini berkembang tuntutan dari daerah-daerah untuk mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya di luar yang


(44)

sudah dibagihasilkan. Opsi yang berkembang menurut Sidiq (2002) adalah ’piggy backing’ atau opsen, yaitu penetapan tambahan atas pajak pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh pemerintah daerah sendiri.

Dana Bagi Hasil

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

Tabel 1 Sumber dan besar dana bagi hasil

1 PBB Total Penerimaan 10% 16,2% 64,8% - 81% Upah Pungut 9 persen Bagian pusat dikembalikan lg ke daerah 2 BPHTB Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% Bagian pusat

dikembalikan lg ke daerah 3 PPh Psl. Total Penerimaan 80% 12% 8% - 20%

21, 25, 29 4 Kehutanan

-IHPH Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% -PSDH Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80% -Reboisasi Total Penerimaan 60% - 40% - 40% 5 Pertambangan Umum

- Iuran Tetap Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% - Royalti Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80%

6 Perikanan Total Penerimaan 20% - 80% - 80% Dibagi merata kepada seluruh kab/kota 7 Pertambangan Minyak Penerimaan dlm 85% 3% 6% 6% 15%

Bumi wilayah setelah dikurangi pajak

8 Pertambangan Gas Penerimaan dlm 70% 6% 12% 12% 30% Bumi wilayah setelah

dikurangi pajak

9 Pertambangan Panas 20% 16% 32% 32% 80% Bumi

No Jenis Dasar Bagi Hasil Pusat Jumlah Keterangan Daerah

Daerah Bukan Penghasil Kabupaten/Kota

Penghasil Propinsi

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004.

Dana Alokasi Umum

Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah .


(45)

21

Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar.

Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

Halim (2001) dalam Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus


(46)

menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (1) perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

TPD PAD

, (2) perbandingan antara bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan

daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜

⎝ ⎛

TPD BHPBP

, dan (3) perbandingan antara sumbangan pemerintah pusat

terhadap total penerimaan daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛

TPD Sum

.

Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah, dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah, menurut Halim (2001), dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap total pengeluaran daerah, (2) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap pengeluaran rutin, (3) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total pengeluaran pemerintah, serta (4) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap pengeluaran rutin daerah.

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.


(1)

Lampiran 6

Skor Per Sektor Hasil Pembobotan

FACTOR LOADING

No Variabel Kode F1 F2

1 Keterkaitan langsung tidak langsung ke depan SDIFL 0.1911 0.6185

2 Keterkaitan langsung tidak langsung ke belakang SDIBL 0.8902 -0.3148

3 Angka pengganda pendapatan Inc-M 0.8649 0.3261

4 Angka pengganda pajak T-M 0.6640 0.3226

5 Angka pengganda PDRB VA-M 0.9234 0.3022

6 Koefisien impor M -0.0681 0.8881

7 Angka penganda tenaga kerja Epl-M 0.2832 0.4307

Ragam diterangkan Expl.Var 2.9554 1.7575

Proporsi yang dapat diterangkan dari total ragam Prp.Totl 0.4222 0.2511

FACTOR SCORE

1 Padi -0.67052 -0.66805

2 Jagung -0.62782 -0.73077

3 Ketela Pohon -0.53590 -0.71897

4 Kedelai -0.69622 -0.71658

5 Sayur-sayuran -1.01273 0.62653

6 Buah-buahan -1.05646 -0.07938

7 Umbi-umbian -0.96919 0.15388

8 Kacang tanah -0.80365 -0.31281

9 Kacang-kacang lainnya 1.23676 -0.67748

10 Tebu -0.39697 -0.92828

11 Tembakau -0.44627 -0.90676

12 Tanaman Perkebunan Lainnya -0.99940 0.01638

13 Peternakan -0.90327 1.23617

14 Kehutanan -1.42052 1.44406

15 Perikanan -0.87382 0.22748

16 Pertambangan Migas 1.28757 -0.50849

17 Pertambangan Non Migas -1.28652 1.41161

18 Penggalian -0.75287 -0.39513

19 Makanan, Minuman dan Tembakau 0.63288 0.06183

20 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 1.69016 -0.64552 21 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 0.90742 -0.79223

22 Kertas dan Barang Cetakan 2.03069 -0.19904

23 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 2.00676 2.14859 24 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 2.32477 -0.48680

25 Logam Dasar Besi dan Baja -0.41378 1.05173

26 Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 0.62995 2.07262

27 Barang Lainnya 1.31040 1.57852

28 Pengilangan Minyak 0.42896 3.49013

29 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0.34817 -0.54914

30 Bangunan dan Konstruksi 0.80865 -1.18541

31 Perdagangan -0.25411 0.33025

32 Hotel 0.47595 -0.84095

33 Restoran 1.01826 -0.87519

34 Angkutan Rel 0.17023 0.33260

35 Angkutan Jalan Raya -0.55461 0.04813

36 Angkutan Laut -0.18010 -0.61644

37 Angkutan Penyeberangan 0.71333 0.04687

38 Angkutan Udara 0.92128 -0.68566

39 Jasa Penunjang Angkutan -0.81253 0.25867

40 Pos dan Telekomunikasi -0.94760 -0.48345

41 Jasa Penunjang Telekomunikasi -0.49181 -0.80775

42 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan -0.38303 -0.46065

43 Pemerintahan Umum -1.14978 -0.72635

44 Jasa-Jasa -0.30271 -0.53878

Kode


(2)

Padi 1 -0.4205 0.2491 -0.1714 0.4099 1 0.409 Jagung 2 -0.3937 0.2725 -0.1212 0.4263 1 0.426 Ketela Pohon 3 -0.3361 0.2681 -0.0680 0.4436 1 0.443 Kedelai 4 -0.4366 0.2672 -0.1694 0.4106 1 0.410 Sayur-sayuran 5 -0.6351 -0.2336 -0.8687 0.1827 1 0.182 Buah-buahan 6 -0.6625 0.0296 -0.6329 0.2595 1 0.259 Umbi-umbian 7 -0.6078 -0.0574 -0.6652 0.2490 1 0.249 Kacang tanah 8 -0.5040 0.1166 -0.3873 0.3396 1 0.339 Kacang-kacang lainnya 9 0.7756 0.2526 1.0282 0.8008 1 0.800 Tebu 10 -0.2489 0.3462 0.0972 0.4975 1 0.497 Tembakau 11 -0.2799 0.3381 0.0583 0.4848 1 0.484 Tanaman Perkebunan Lainnya 12 -0.6267 -0.0061 -0.6328 0.2595 1 0.259 Peternakan 13 -0.5664 -0.4610 -1.0274 0.1310 1 0.131 Kehutanan 14 -0.8908 -0.5385 -1.4293 - 1 -Perikanan 15 -0.5480 -0.0848 -0.6328 0.2596 1 0.259 Pertambangan Migas 16 0.8074 0.1896 0.9970 0.7907 0 -Pertambangan Non Migas 17 -0.8068 -0.5264 -1.3332 0.0313 0 -Penggalian 18 -0.4721 0.1473 -0.3248 0.3599 0 -Makanan, Minuman dan Tembakau 19 0.3969 -0.0231 0.3738 0.5876 1 0.587 Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki 20 1.0599 0.2407 1.3006 0.8896 1 0.889 Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya 21 0.5690 0.2954 0.8645 0.7475 1 0.747 Kertas dan Barang Cetakan 22 1.2734 0.0742 1.3477 0.9049 1 0.904 Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 23 1.2584 -0.8012 0.4572 0.6148 1 0.614 Semen dan Barang Galian Bukan Logam 24 1.4578 0.1815 1.6394 1.0000 0 -Logam Dasar Besi dan Baja 25 -0.2595 -0.3922 -0.6517 0.2534 0 -Alat Angkutan Mesin dan Peralatan 26 0.3950 -0.7729 -0.3779 0.3426 0 -Barang Lainnya 27 0.8217 -0.5886 0.2331 0.5417 1 0.541 Pengilangan Minyak 28 0.2690 -1.3015 -1.0325 0.1293 0 -Listrik, Gas, dan Air Bersih 29 0.2183 0.2048 0.4231 0.6037 1 0.603 Bangunan dan Konstruksi 30 0.5071 0.4420 0.9491 0.7751 1 0.775 Perdagangan 31 -0.1594 -0.1232 -0.2825 0.3737 1 0.373 Hotel 32 0.2985 0.3136 0.6121 0.6652 1 0.665 Restoran 33 0.6385 0.3264 0.9649 0.7802 1 0.780 Angkutan Rel 34 0.1068 -0.1240 -0.0173 0.4601 1 0.460 Angkutan Jalan Raya 35 -0.3478 -0.0179 -0.3657 0.3466 1 0.346 Angkutan Laut 36 -0.1129 0.2299 0.1169 0.5039 1 0.503 Angkutan Penyeberangan 37 0.4473 -0.0175 0.4298 0.6058 1 0.605 Angkutan Udara 38 0.5777 0.2557 0.8334 0.7374 1 0.737 Jasa Penunjang Angkutan 39 -0.5095 -0.0965 -0.6060 0.2683 1 0.268 Pos dan Telekomunikasi 40 -0.5942 0.1803 -0.4140 0.3309 1 0.330 Jasa Penunjang Telekomunikasi 41 -0.3084 0.3012 -0.0072 0.4634 1 0.463 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 42 -0.2402 0.1718 -0.0684 0.4435 1 0.443 Pemerintahan Umum 43 -0.7210 0.2709 -0.4502 0.3191 1 0.319 Jasa-Jasa 44 -0.1898 0.2009 0.0111 0.4694 1 0.469

JUMLAH RESCAL LING BASIS S.D NILAI AKHIR SEKTOR KODE

SEKTOR SKOR 1 SKOR 2

9 3 6 6 7 5 0 6 8 5 8 5 0 6 6 6 5 9 8 7 7 1 7 2 2 1 6 9 8 4 3 9 4 5 1 4


(3)

URUTAN SKOR PER SEKTOR DARI TERBESAR SAMPAI TERKECIL

Kertas dan Barang Cetakan

22

0.9049

Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki

20

0.8896

Kacang-kacang lainnya

9

0.8008

Restoran

33

0.7802

Bangunan dan Konstruksi

30

0.7751

Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya

21

0.7475

Angkutan Udara

38

0.7374

Hotel

32

0.6652

Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet

23

0.6148

Angkutan Penyeberangan

37

0.6058

Listrik, Gas, dan Air Bersih

29

0.6037

Makanan, Minuman dan Tembakau

19

0.5876

Barang Lainnya

27

0.5417

Angkutan Laut

36

0.5039

Tebu

10

0.4975

Tembakau

11

0.4848

Jasa-Jasa

44

0.4694

Jasa Penunjang Telekomunikasi

41

0.4634

Angkutan Rel

34

0.4601

Ketela Pohon

3

0.4436

Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

42

0.4435

Jagung

2

0.4263

Kedelai

4

0.4106

Padi

1

0.4099

Perdagangan

31

0.3737

Angkutan Jalan Raya

35

0.3466

Kacang tanah

8

0.3396

Pos dan Telekomunikasi

40

0.3309

Pemerintahan Umum

43

0.3191

Jasa Penunjang Angkutan

39

0.2683

Perikanan

15

0.2596

Tanaman Perkebunan Lainnya

12

0.2595

Buah-buahan

6

0.2595

Umbi-umbian

7

0.2490

Sayur-sayuran

5

0.1827

Peternakan

13

0.1310

Semen dan Barang Galian Bukan Logam

24

-Pertambangan Non Migas

17

-Pertambangan Migas

16

-Pengilangan Minyak

28

-Penggalian

18

-Logam Dasar Besi dan Baja

25

-Kehutanan

14

-Alat Angkutan Mesin dan Peralatan

26

-SEKTOR

KODE

SEKTOR

NILAI

AKHIR


(4)

Lampiran 7

Nilai

Location Quotient

dan

Differential Shift

sektor unggulan

Pada kabupaten/kota di Jawa Timur

LQ DF LQ DF LQ DF LQ DF LQ DF

1 Pacitan 2.84 -0.067 0.01 0.035 0.00 0.125 1.55 -0.026 0.09 0.152 2 Ponorogo 2.98 -0.070 0.05 -0.065 0.01 0.049 1.28 -0.056 0.12 0.259 3 Trenggalek 1.87 -0.053 0.01 -0.647 0.01 1.349 1.27 0.016 0.11 0.020 4 Tulungagung 0.73 -0.148 6.69 -0.077 0.08 0.566 0.71 -0.114 0.14 0.402 5 Blitar 2.14 -0.017 0.00 -0.043 0.00 0.313 1.13 0.031 0.02 0.244 6 Kediri 1.90 -0.030 0.13 -0.049 3.90 0.055 0.57 -0.082 0.07 0.212 7 Malang 1.61 -0.063 0.57 -0.052 0.09 0.214 1.30 -0.071 0.55 0.196 8 Lumajang 2.15 -0.062 0.04 -0.007 0.01 0.108 0.66 -0.023 0.18 0.165 9 Jember 1.97 -0.056 0.01 0.056 0.01 0.148 1.04 -0.050 0.42 0.185 10 Banyuwangi 1.82 -0.041 0.01 -0.014 0.16 0.162 0.75 -0.053 0.19 0.143 11 Bondowoso 2.42 -0.080 0.02 0.106 0.00 0.388 0.63 -0.087 0.09 0.081 12 Situbondo 1.87 -0.099 0.01 0.011 0.01 0.339 0.78 0.066 0.27 0.144 13 Probolinggo 3.09 -0.092 0.04 0.135 1.46 0.112 1.53 -0.085 0.15 0.318 14 Pasuruan 1.21 -0.102 7.58 -0.101 0.69 0.041 0.91 0.080 0.59 0.520 15 Sidoarjo 0.09 -0.290 4.05 -0.125 5.34 0.000 0.83 -0.136 0.71 0.350 16 Mojokerto 1.07 0.012 0.15 -0.222 3.43 0.074 1.88 -0.044 0.05 0.299 17 Jombang 1.38 -0.170 0.43 0.048 0.01 0.136 0.65 -0.249 0.13 0.395 18 Nganjuk 2.43 -0.086 0.04 0.119 0.15 0.797 0.94 -0.174 0.10 0.232 19 Madiun 2.16 -0.090 0.08 0.209 0.03 0.120 0.58 -0.054 0.20 0.220 20 Magetan 2.35 -0.131 0.04 0.042 0.03 0.544 0.52 -0.081 0.13 0.174 21 Ngawi 2.82 -0.125 0.00 -0.007 0.04 0.117 0.59 -0.032 0.15 0.228 22 Bojonegoro 3.65 -0.016 0.01 0.108 0.01 0.207 0.51 -0.045 0.08 0.220 23 Tuban 1.11 -0.231 0.01 0.126 0.16 0.125 1.19 -0.130 0.06 0.117 24 Lamongan 3.08 -0.070 0.06 -0.070 0.00 0.073 0.86 0.038 0.05 0.273 25 Gresik 0.38 -0.198 0.52 0.030 2.73 0.151 0.75 -0.016 0.08 0.176

26 Bangkalan 2.69 -0.025 0.05 -0.087 0.00 0.10 -0.942 0.13 0.372

27 Sampang 3.45 -0.077 0.02 0.066 0.00 0.113 0.48 -0.139 0.05 0.303 28 Pamekasan 1.56 -0.059 0.00 -0.360 0.00 -1.082 0.73 -0.045 0.10 0.314 29 Sumenep 2.41 0.032 0.00 0.159 0.00 -0.973 0.49 0.104 0.06 0.268

71 Kediri 0.01 0.139 0.00 0.190 0.00 0.363 0.13 0.164 0.13 0.550

72 Blitar 0.18 -0.074 0.02 -0.089 0.00 -1.138 1.49 0.059 0.76 0.119 73 Malang 0.01 -0.299 0.73 -0.179 0.14 0.039 1.45 0.025 1.03 0.232

74 Probolinggo 0.11 -0.436 0.58 -0.466 0.15 1.565 0.86 -0.132 0.29 0.335 75 Pasuruan 0.15 -0.098 0.09 -0.046 0.02 0.064 1.12 -0.069 0.24 0.189 76 Mojokerto 0.05 -0.292 1.58 -0.063 0.15 0.142 0.95 0.011 0.60 0.113 77 Madiun 0.09 -0.162 0.13 -0.085 0.07 0.090 0.84 -0.074 1.01 0.207

78 Surabaya 0.00 -0.262 0.21 -0.014 0.58 0.035 1.53 -0.136 3.42 0.230

Ketr : LQ = Location Quotient DF = Differential Shift

Sub Sektor Tanaman Bahan

Makanan

Tekstil, Barang dari Kertas dan

Alas Kaki

Kertas dan Barang

Cetakan Bangunan Restoran

Kab / Kota Kode

Kab / Kota


(5)

Lampiran 8 Data tenaga kerja di Provinsi Jawa Timur

1

Padi

1,942,451

2

Tanaman bahan makanan lainnya

4,349,869

3

Tanaman perkebunan

243,108

4

Peternakan dan hasil-hasilnya

1,177,525

5

Kehutanan

505,066

6

Perikanan

90,791

7

Pertambangan minyak, gas dan panas bumi

7,307

8

Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya

169,275

9

Pengilangan minyak bumi

296

10

Industri makanan minuman dan tembakau

650,353

11

Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki

312,259

12

Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya

159,987

13

Industri kertas dan barang dari cetakan

28,084

14

Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral bukan logam

131,847

15

Industri semen

18,341

16

Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi

33,065

17

Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya

2,100

18

Industri barang dari logam

34,927

19

Industri lainnya

147,703

20

Listrik, gas dan air bersih

37,148

21

Bangunan

1,001,291

22

Perdagangan

661,940

23

Hotel dan Restoran

1,530,758

24

Angkutan darat

325,029

25

Angkutan Air

21,755

26

Angkutan Udara

36,071

27

Komunikasi

41,382

28

Lembaga keuangan

174,729

29

Pemerintahan umum dan pertahanan

1,660,827

30

Jasa-jasa lainnya

1,255,266

16,750,547

Sumber:

Diestimasi dari Data Base Tenaga Kerja Tahun 2000 (BPS) dan

Tabel I-O Interregional 30 Sektor 30 Propinsi Tahun 2000 (BAPPENAS, 2003)

JUMLAH

KODE

SEKTOR

SEKTOR

TENAGA

KERJA

(Orang)


(6)

DATA TENAGA KERJA 44 SEKTOR HASIL ESTIMASI

1

Padi

1,942,451

2

Jagung

863,435

3

Ketela Pohon

299,866

4

Kedelai

206,544

5

Sayur-sayuran

757,858

6

Buah-buahan

1,420,658

7

Umbi-umbian

171,776

8

Kacang tanah

307,676

9

Kacang-kacang lainnya

322,055

10

Tebu

57,528

11

Tembakau

17,075

12

Tanaman Perkebunan Lainnya

168,505

13

Peternakan

1,177,525

14

Kehutanan

505,066

15

Perikanan

90,791

16

Pertambangan Migas

7,307

17

Pertambangan Non Migas

34,643

18

Penggalian

134,632

19

Makanan, Minuman dan Tembakau

650,353

20

Tekstil, Barang dari Kulit & Alas Kaki

312,259

21

Barang dari Kayu & Hasil Hutan Lainnya

159,987

22

Kertas dan Barang Cetakan

28,084

23

Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet

131,847

24

Semen dan Barang Galian Bukan Logam

18,341

25

Logam Dasar Besi dan Baja

67,992

26

Alat Angkutan Mesin dan Peralatan

2,100

27

Barang Lainnya

147,703

28

Pengilangan Minyak

296

29

Listrik, Gas, dan Air Bersih

37,148

30

Bangunan dan Konstruksi

1,001,291

31

Perdagangan

661,940

32

Hotel

156,734

33

Restoran

1,374,024

34

Angkutan Rel

23,441

35

Angkutan Jalan Raya

301,587

36

Angkutan Laut

16,126

37

Angkutan Penyeberangan

5,628

38

Angkutan Udara

12,283

39

Jasa Penunjang Angkutan

23,788

40

Pos dan Telekomunikasi

29,391

41

Jasa Penunjang Telekomunikasi

11,991

42

Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

174,729

43

Pemerintahan Umum

1,660,827

44

Jasa-Jasa

1,255,266

JUMLAH

16,750,548

KODE

SEKTOR

SEKTOR

TENAGA

KERJA

(Orang)