Analisis Klasifikasi Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Peubah Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2010

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional menjadi bagian utama dalam penyelenggaraan suatu negara. Untuk menjamin keserasian dan keterpaduan pembangunan nasional perlu diusahakan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional. Pendekatan sektoral ataupun regional tidak dapat dikatakan salah satu yang terbaik, namun jika dilihat potensi ekonomi dan karakteristik yang ada pada tiap-tiap daerah tidak sama, maka pendekatan regional lebih kuat peranannya (Soebagiyo, 2000).

Permasalahan utama dari hasil pembangunan yang selama ini terjadi dan terus diupayakan untuk selalu dikurangi adalah masalah ketimpangan (unevenness) antardaerah. Perbedaan mencolok yang terjadi adalah antara Indonesia Bagian Barat (IBB) dengan Indonesia Bagian Timur (IBT), Jawa dengan Luar Jawa, Jakarta dengan Luar Jakarta dan juga antara kota dengan desa.

Dalam ilmu ekonomi regional telah disebutkan bahwa ketimpangan (unevenness) dan konsentrasi (concentration) merupakan dua isu pokok yang pada akhirnya ikut mempengaruhi proses pembangunan di suatu wilayah. Kedua hal tersebut sebelumnya kurang mendapat perhatian dari para ekonom maupun para pengambil kebijakan pembangunan. Sebelumnya, pembangunan hanya didasarkan pada pencapaian pendapatan nasional serta pendapatan per kapita yang tinggi, atau masih cenderung mengikuti pandangan ekonomi konvensional. Seperti yang telah


(2)

diketahui, ekonomi konvensional hanya menjawab pertanyaan ekonomi seperti (barang/jasa) yang diproduksi (what to produce), bagaimana aktivitas produksi (how to produce), serta untuk siapa barang/jasa tersebut di produksi (for whom to produce) dan mengabaikan heterogenitas karena “ruang” atau “spasial”. Para ekonom konvensional berasumsi bahwa prinsip ekonomi yang telah digariskan akan berlaku universal di semua wilayah, baik itu daerah maju maupun terbelakang (Tarigan, 2005).

Pada kenyataannya, kondisi tiap wilayah tidak sama antara satu dengan yang lain, seperti potensi ekonomi, jumlah penduduk, ketersediaan sarana/prasarana dan kualitas sumberdaya manusianya, sehingga berbagai kebijakan ekonomi yang diterapkan pada suatu wilayah belum tentu bisa diterapkan pula di wilayah lain. Dengan kata lain, pertanyaan “di mana aktivitas manusia terjadi (where)” yang merupakan kajian tambahan dalam ilmu ekonomi regional, belum tercakup ke dalam ilmu ekonomi konvensional. Disamping itu, aspek nonekonomi juga masih cenderung diabaikan. Akibatnya, antara tujuan untuk mencapai peningkatan pendapatan nasional serta pendapatan per kapita selalu diikuti kesenjangan, sehingga ketimpangan hasil-hasil pembangunan antardaerah tidak bisa dihindari.

Ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah (endowment), misal sumberdaya alam, kapital, keahlian/ketrampilan, bakat atau potensi, atau sarana dan prasarana. Sedangkan faktor yang kedua adalah kesalahan tumpuan strategi pembangunan. Sasaran-sasaran


(3)

3

pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan yang tinggi dengan mengabaikan aspek pemerataan dan keadilan (Dumairy, 1996).

Terjadinya kesejangan atau ketimpangan hasil-hasil pembangunan pada suatu wilayah, berimplikasi terhadap kondisi perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini menimbulkan masalah tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga bidang sosial, politik maupun keamanan. Oleh karena itu, adanya klasifikasi wilayah berdasarkan tingkat perkembangannya dapat menjadi pedoman pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk mengukur kinerja suatu perekonomian, indikator yang umum dipakai adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain menampilkan jumlah agregat output yang dihasilkan suatu wilayah, dari PDRB juga bisa diperoleh berbagai indikator turunan seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, maupun stuktur perekonomian, sehingga dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan untuk mengevaluasi yang selanjutnya membuat perencanaan pembangunan secara tepat.

Dalam perkembangannya, pembangunan bukan hanya menyangkut pencapaian posisi perekonomian yang ideal, namun juga pembangunan manusia. Karena pada hakekatnya manusia merupakan inti dari tujuan pembangunan itu sendiri.


(4)

Banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan, salah satunya adalah ketersediaan infrastruktur. Dengan dukungan infrastruktur, terlebih yang mampu menjangkau wilayah terkecil, bisa memperlancar akses ekonomi baik antarsektor maupun antarregion di suatu negara yang pada akhirnya meningkatkan aktivitas perekonomian.

Pembangunan di Jawa Timur merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga arah, tujuan maupun sasaran yang ingin dicapai sejalan dengan arah serta tujuan yang sudah ditetapkan dalam program pembangunan nasional. Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi agregatnya, kondisi perekonomian di Jawa Timur bisa dikatakan sangat baik. Dalam kurun 2005 hingga 2010, laju pertumbuhan ekonomi Jawa Timur rata-rata berada di atas 5 persen (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011).

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011

Gambar 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2010 (Persen) Namun demikian, jika ditinjau dari pembangunan antarkabupaten/kotanya,


(5)

5

masih terdapat ketimpangan atau ketidakseimbangan. Perbedaan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, nilai investasi, kualitas sumberdaya manusia serta ketersediaan prasarana (Lampiran 1-3) merupakan salah satu gambaran bahwa proses pembangunan di Jawa Timur belum sepenuhnya terlaksana dengan baik di seluruh wilayah kabupaten/kotanya. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, terdapat beberapa permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pencapaian kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia,

dan prasarana masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur?

2. Bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan kemiripan pencapaian kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia ,dan prasarana?

3. Bagaimana karakteristik ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana masing-masing kelompok yang telah terbentuk?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menghitung skor faktor ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana sebagai indikator pencapaian kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

2. Mengklasifikasikan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan indikator kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana. 3. Menentukan karakteristik kelompok berdasarkan rata-rata karakteristik


(6)

ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana kabupaten/kota dalam masing-masing kelompok yang telah terbentuk.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan maupun wawasan tentang

pembangunan regional di Provinsi Jawa Timur.

2. Bagi pemerintah atau instansi terkait dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

3. Bagi peneliti dapat menjadi referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian ini hanya mengklasifikasikan kabupaten/kota berdasarkan peubah yang disesuaikan dari indikator kinerja pembangunan daerah yang dikeluarkan oleh Bappenas. Pemakaian indikator, khususnya indikator sumberdaya manusia bersifat global dan tidak menggunakan penimbang mengingat penulis belum menemukan literatur yang mendasari. Obyek penelitian adalah 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2010. Adapun data yang digunakan diperoleh dari publikasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Untuk data Potensi Desa, menggunakan publikasi tahun 2008, mengingat data yang terbaru (tahun 2011) masih dalam tahap pengolahan di BPS.


(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Pembangunan Regional

Pembangunan regional adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Blakely dalam Nofika, 2005). Analisis mengenai keberhasilan suatu pembangunan merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kebijakan yang telah diterapkan akan bermanfaat bagi masyarakat.

Pembangunan ekonomi yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang disertai perubahan struktur ekonomi, merupakan aspek yang sangat penting. Transformasi dari sektor pertanian ke non pertanian, industri yang terintegrasi dengan perdagangan dan jasa, pergeseran skala unit produksi maupun peningkatan sosial ekonomi masyarakat menjadi tujuan dari pembangunan ekonomi.

Berdasarkan definisi Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Setyarini, 1999), perencanaan pembangunan daerah merupakan suatu proses tindakan strategis yang dimulai dari penyediaan informasi awal tentang situasi yang berkaitan dengan kapasitas, potensi, peluang yang dimiliki serta kendala yang dihadapi. Informasi mengenai struktur perekonomian,


(8)

pendapatan per-kapita, PDRB, dan lainnya merupakan bagian dari informasi awal yang perlu disajikan para pengambil keputusan serta perumus kebijakan daerah. Dengan adanya informasi ini maka tujuan serta sasaran pembangunan dapat dirumuskan dan ditetapkan. Perencanaan pembangunan daerah merupakan perencanaan yang integratif dan komprehensif, artinya bahwa penentuan dan pemilihan prioritas didasarkan atas kebutuhan masyarakat.

Dalam implementasinya perencanaan pembangunan daerah harus mengkaitkan keseluruhan sektor sosial dan ekonomi serta mengacu pada kebijakan nasional. Jadi perencanaan pembangunan pada dasarnya berkaitan dengan proses pengambilan keputusan tentang bagaimana cara terbaik untuk memanfaatkan sumberdaya secara optimal dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan menjadi program-program. Manfaat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus dapat dinikmati secara adil dan merata oleh penduduk (Setyarini, 1999).

Ketimpangan wilayah terutama perkotaan dan perdesaan walaupun tidak dapat dihindari sebagai akibat perbedaan potensi wilayah dan kapasitas yang berbeda, harus tetap diperhatikan. Upaya-upaya untuk mengurangi ketimpangan atau kesenjangan yang ada perlu diakomodasi dalam perencanaan. Mengabaikan kepentingan khusus kelompok miskin, daerah tertinggal, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemberdayaan terhadap mereka merupakan pengingkaran terhadap prinsip pemerataan, sehingga praktek pembangunan harus mampu memberdayakan semua kelompok dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi


(9)

9

adalah penting tetapi perhatian yang lebih besar harus dicurahkan pada kualitas dan distribusinya. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas antara lain harus employment friendly with growth yaitu pertumbuhan yang kondusif terhadap penciptaan lapangan kerja yang luas dan perluasan kesempatan berusaha. Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan sebagai dasar pelaksanaan pembangunan, tetapi pembangunan yang kurang mengikutsertakan masyarakat bawah, yang semestinya mendapat perhatian akan menyebabkan keadaan mereka semakin tertinggal (Setyarini, 1999).

Selanjutnya, pengertian daerah (regional) dalam konteks pembangunan regional berbeda-beda, tergantung tinjauannya. Arsyad mendefinisikan daerah berdasarkan aspek ekonomi yaitu:

1. Suatu daerah dianggap sebagai ruang di mana kegiatan ekonomi terjadi dan terdapat kemiripan sifat di dalam berbagai pelosok ruang tersebut, misalnya dari segi pendapatan per kapita, sosial budaya, geografis dan sebagainya. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah homogen.

2. Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang atau “spasial” yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah dalam pengertian ini disebut sebagai daerah nodal.

3. Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang berada di bawah satu administrasi tertentu seperti satu provinsi, kabupaten, kecamatan, dan sebagainya. Jadi, daerah di sini didasarkan pada pembagian administrasi suatu negara. Daerah dalam pengertian ini dinamakan daerah administrasi.


(10)

Pengertian yang ketiga ini lebih banyak digunakan dalam aplikasi pembangunan ekonomi daerah (Nofika, 2005).

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan untuk memperluas serta meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah. Untuk mencapai tujuan pembangunan daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan potensi pembangunan yang dihadapi oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Karena itu, apabila prioritas pembangunan daerah kurang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, maka sumberdaya yang ada kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal yang pada akhirnya mengakibatkan proses pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan juga terhambat (Sjafrizal, 2008). 2.1.2 Konsep Ekonomi Regional

Pemanfaatan ilmu regional dalam kehidupan masyarakat, khususnya yang menyangkut formulasi kebijakan dan perencanaan pembangunan, menuntut keterkaitan dengan ilmu lain. Walaupun demikian ilmu regional mempunyai ciri tersendiri. Menurut Azis (1994) kekhususan ilmu ini dibanding dengan ilmu lainnya terletak dalam fokusnya yang sangat menonjol terhadap keterkaitan antara dimensi spasial (ruang) dengan dimensi waktu, serta perlakuan simultan keduanya dalam menjelaskan, memprediksi dan memecahkan berbagai masalah ekonomi sosial. Dalam perkembangannya, ilmu ekonomi regional lebih mendekati ilmu


(11)

11

ekonomi terutama apabila diamati dari segi alat analisis yang digunakan. Itulah sebabnya seperti banyak pengamat berpendapat bahwa nama Ilmu Ekonomi Spasial (Spatial Economics) merupakan alternatif yang membedakannya dengan ilmu ekonomi konvensional, sekaligus menunjukkan keterkaitannya yang erat dengan ilmu ekonomi.

Penggunaan peralatan matematika dan model dalam ilmu ekonomi spasial sangat banyak dan untuk mengoperasikan model serta melakukan percobaan terhadap hipotesis, ilmuwan dibidang ini memanfaatkan banyak informasi data empiris. Perhatian utama ilmu ekonomi regional berkisar pada lokasi atau sistem lokasi, daerah perkotaan (urban) atau sistem daerah perkotaan, rute transportasi atau jaringan rute transportasi, penggunaan alokasi sumber atau sistem penggunaan sumber, yang semuanya merupakan bagian dan kesatuan ruang atau sistem ruang (spatial system). Bagi ilmuwan dibidang ini, daerah (region) bukan sekedar wilayah yang didemarkasi secara arbitrary namun merupakan wilayah yang sangat mempunyai arti karena terdapat beberapa masalah sosial ekonomi yang terkait dengannya. Suatu wilayah yang merupakan bagian provinsi atau kabupaten, dapat besar artinya bagi seorang ilmuwan dibidang ilmu ekonomi spasial, misalnya karena wilayah ini memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi (Azis, 1994).

Berbagai masalah ekonomi sosial yang berkaitan dengan kehidupan perkotaan, masalah pertumbuhan, sanitasi dan jasa publik ikut terkandung dalam pengertian wilayah tersebut. Perbedaan pokok ilmu ekonomi regional dengan ilmu


(12)

ekonomi konvensional terletak pada perlakuan terhadap dimensi spasial. Dalam ilmu ekonomi dimensi waktu mempunyai posisi sentral dan „harga’ waktu dicerminkan melalui tingkat bunga. Keuntungan dana yang ditabung di bank merupakan contoh yang paling jelas. Dimensi spasial diperlakukan hanya secara implisit. Sebaliknya bagi seorang peneliti di bidang ilmu ekonomi regional dimensi spasial atau jarak memegang posisi kunci sehingga biaya pengangkutan merupakan harga yang sangat penting untuk diperhitungkan secara eksplisit dalam analisis (Azis, 1994).

Sejalan dengan pengertian di atas, pertanyaan di mana yang praktis terabaikan oleh ilmu ekonomi, menjadi sangat pokok dalam ilmu ekonomi regional. Apabila diamati secara teliti, teori produksi, teori konsumsi dan teori keseimbangan, baik berupa keseimbangan parsial maupun keseimbangan umum dalam ilmu ekonomi, selama lebih dari satu abad telah berhasil memberi jawaban terhadap pertanyaan berapa, bilamana, bagaimana dan siapa dalam hubungannya dengan suatu pelaksanaan kegiatan ekonomi. Karena pertanyaan di mana terabaikan, analisis formal ilmu ekonomi cenderung berada dalam dunia tanpa ruang atau semacam wonderland of no dimensions (Azis, 1994).

Selanjutnya Azis (1994) mengemukakan, paling tidak dua argumentasi pokok dapat diajukan terhadap dua kenyataan tersebut. Menentukan lokasi optimum (dimensi spasial) suatu kegiatan ekonomi berarti mengekonomikan unsur waktu dan mengurangi keterlambatan pengangkutan. Jadi di sini terlihat bahwa aspek ruang dianggap sudah dapat diperlakukan sebagai aspek waktu. Apabila


(13)

13

biaya angkutan antardaerah sangat diperlukan dalam analisis, maka hal ini dapat dilakukan cukup dengan memasukkan komponen biaya tersebut dalam teori harga yang sudah standar.

Pembangunan regional tidak hanya menitikberatkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan makna pembangunan yang berdimensi luas. Beberapa sasaran fundamental pembangunan yang selalu berusaha untuk diupayakan oleh banyak daerah adalah (Todaro, 2006):

1. Meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi; 2. Meningkatkan pendapatan perkapita;

3. Mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

Ketiga sasaran pembangunan di atas jika diamati merupakan perwujudan dari pembangunan ekonomi dan pembangunan sumberdaya manusia. Dua sasaran pertama mencerminkan bahwa pembangunan ekonomi, dengan cakupan yang lebih luas dan tidak hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi serta pendapatan perkapita, merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mendukung program pembangunan daerah. Sedangkan sasaran yang ke tiga menunjukkan bahwa sumberdaya manusia merupakan inti dari pembangunan.

Masalah kependudukan (manusia) dan perubahan struktur perekonomian suatu wilayah adalah masalah yang saling terkait. Disamping itu, permasalahan yang menyangkut penduduk tidak lepas dari masalah sosial. Frank Notestein menyatakan bahwa pertumbuhan perekonomian yang cepat juga harus dibarengi dengan perbaikan kondisi social masyarakatnya, seperti perbaikan kesehatan,


(14)

pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan (Asian Population Studies Series no 41 dalam Naibaho, 2003).

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari pembangunan nasional. Dua komponen yang sering dijadikan ukuran bagi keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perkembangan kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam perekonomian yang ditandai dengan bertambahnya produksi barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat serta meningkatnya tingkat kemakmuran masyarakat. Kondisi yang berkembang ini diantaranya disebabkan oleh bertambahnya faktor-faktor produksi baik berupa kuantitas maupun kualitas, meningkatnya investasi yang pada akhirnya menambah barang modal, serta peranan teknologi yang semakin besar (Sukirno, 1994). Selain itu, pertumbuhan ekonomi memberikan indikasi seberapa besar kontribusi kegiatan perekonomian terhadap kenaikan pendapatan masyarakat khususnya bagi masyarakat yang memiliki faktor-faktor produksi.

Pertumbuhan ekonomi dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Sehingga, angka pertumbuhan yang diperoleh mencerminkan pertumbuhan riil yang dihasilkan oleh aktivitas perekonomian pada periode tertentu dengan menghilangkan pengaruh perubahan harga (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011).

Struktur ekonomi menggambarkan corak kehidupan perekonomian dalam suatu daerah. Struktur yang terbentuk diperoleh dari besarnya kontribusi Nilai


(15)

15

Tambah Bruto (NTB) yang diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi dalam daerah tersebut. Perbedaan potensi daerah, baik itu ekonomi, sumberdaya alam maupun potensi-potensi lain menyebabkan struktur ekonomi antara daerah satu dengan yang lain bervariasi. Dengan mengetahui struktur ekonomi suatu daerah, diharapkan kebijakan pembangunan yang akan diterapkan sesuai dengan karakteristik dari daerah yang bersangkutan. Sektor-sektor ekonomi yang ada di antaranya adalah: pertanian, pertambangan, penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, serta keuangan dan jasa-jasa (BPS Provinsi Jawa Timur, 2011). Untuk memudahkan pembahasan, sektor ekonomi yang ada dikelompokkan ke dalam tiga sektor utama, yaitu: primer yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, sektor sekunder mencakup sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta bangunan sedangkan sektor tersier terdiri atas perdagangan, hotel dan restoran, angkutan dan komunikasi, serta keuangan dan jasa-jasa.

Salah satu implikasi pelaksanaan pembangunan ekonomi adalah terjadinya perubahan mendasar dari struktur perekonomian, yaitu dari perekonomian tradisional yang berbasis pada pertanian atau sektor primer menuju sistem perekonomian modern yang bertumpu pada sektor nonprimer sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Hollis B Chenery (Tambunan, 2011). Dalam Perekonomian Indonesia Beberapa Masalah Penting, Tambunan (2003) menyatakan bahwa semakin besar peran dari sektor-sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah besar terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi


(16)

pertumbuhan PDRB di wilayah tersebut. Wilayah yang laju pertumbuhan PDRB-nya rendah adalah wilayah yang didominasi oleh sektor primer.

Distribusi PDB/PDRB menurut wilayah merupakan indikator utama yang umum digunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara atau wilayah. Semakin besar perbedaan dalam kontribusi PDRB terhadap PDRB total, semakin besar pula ketimpangan dalam pembangunan ekonomi (Tambunan, 2003).

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi adalah investasi dan pendapatan asli daerah. Investasi merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang, khususnya untuk sektor-sektor ekonomi yang secara potensial bisa sangat produktif dan bisa diandalkan sebagai sumber devisa (Tambunan, 2001). Sementara pendapatan asli daerah menggambarkan kemampuan suatu daerah untuk menghasilkan sumberdaya yang bisa mensejahterakan rakyatnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia merupakan inti dari pembangunan. Manusia tidak hanya sebagai pelaku tetapi juga sasaran pembangunan itu sendiri. Salah satu masalah yang berkaitan dengan manusia dan perlu diperhatikan dalam proses pembangunan adalah masalah kependudukan yang mencakup antara lain jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi modal pembangunan apabila kualitasnya baik, namun sebaliknya, dapat menjadi beban pembangunan apabila kualitasnya rendah (Rahmalaila, 2005).


(17)

17

Terdapat dua modal penting manusia yang sangat berkaitan bagi keberhasilan pembangunan, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga, sedangkan kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan. Pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Lebih jauh lagi, kesehatan merupakan prasyarat bagi peningkatan produktivitas, sementara keberhasilan pendidikan juga bertumpu pada kesehatan yang baik (Todaro dan Smith, 2006).

Indikator lain yang dapat digunakan untuk mencerminkan keberhasilan pembangunan adalah perluasan kesempatan kerja bagi penduduk. Semakin besar kesempatan kerja yang dapat diraih oleh penduduk dalam suatu wilayah, semakin tinggi pula standar hidup penduduk dalam wilayah tersebut. Di sisi lain, jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produkti f, dan ini merupakan salah satu faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006).

Standar hidup layak dari penduduk secara umum bisa dilihat dari kemampuan daya belinya. Semakin tinggi kemampuan daya beli, mengindikasikan semakin tinggi standar kehidupan penduduk tersebut. Hal ini juga bisa diartikan semakin jauhnya kehidupan penduduk tersebut dari kemiskinan.


(18)

mengukur keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia, yaitu:

a. Angka Harapan Hidup (AHH), yang mengukur lama hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagai indikator kesehatan.

b. Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah, yang merupakan indikator untuk mengukur tingkat pengetahuan penduduk. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang mengukur kemampuan untuk meningkatkan standar hidup serta kegiatan yang produktif.

c. Tingkat kemiskinan untuk mengetahui seberapa besar masyarakat yang berkehidupan kurang kurang layak.

d. Pengeluaran perkapita masyarakat untuk mengukur kemampuan dayabeli masyarakat.

Permasalahan yang selalu timbul dalam pembangunan dan sampai sekarang masih dicari solusinya adalah masalah ketimpangan. Perbedaan yang paling nyata terjadi adalah antara kota dan desa. Adanya anggapan bahwa desa hanya merupakan “komponen penunjang” bagi berhasilnya pembangunan perkotaan yang berbasis sektor-sektor yang dinobatkan sebagai “sektor unggulan” seperti industri dan jasa membawa dampak kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan desa. Padahal peranan desa juga sangat penting dalam membangun fundamental perekonomian.

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, para pakar ilmu ekonomi pembangunan mulai menyadari bahwa daerah perdesaan tidak bersifat pasif, tetapi jauh lebih penting dari sekedar penunjang dalam proses pembangunan ekonomi


(19)

19

secara keseluruhan. Keduanya harus ditempatkan sejajar, yakni sebagai unsur atau elemen unggulan yang sangat penting, dinamis, dan bahkan sangat menentukan dalam strategi-strategi pembangunan secara keseluruhan. Tanpa pembangunan daerah perdesaan yang bersifat integratif (integrated rural development), pertumbuhan industri tidak akan berjalan lancar, dan kalaupun dapat berjalan, pertumbuhan industri tersebut akan menciptakan berbagai ketimpangan internal yang sangat parah dalam perekonomian bersangkutan. Pada gilirannya, segenap ketimpangan tersebut akan memperparah masalah-masalah kemiskinan, ketimpangan pendapatan, serta pengangguran (Todaro dan Smith, 2006).

Selanjutnya dalam Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang, Todaro (1985) mengungkapkan bahwa program pembangunan perdesaan harus menitikberatkan pada pembangunan di sektor-sektor yang dapat meningkatkan pendapatan, baik dibidang pertanian maupun diluar pertanian, dibidang-bidang usaha yang dapat menampung tenaga kerja, pelayanan kesehatan, perbaikan di bidang pendidikan, serta pembangunan prasarana. Berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, pembangunan prasarana yang dapat mencerminkan potensi daerah adalah mencakup lembaga keuangan, prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi, dan komunikasi.

2.1.3 Peubah Pembangunan

Dalam menilai keberhasilan kinerja pembangunan, diperlukan suatu ukuran atau sering disebut indikator. Indikator ini dapat menggambarkan kondisi maupun


(20)

hasil pembangunan yang sebelumnya bersifat abstrak. Jadi indikator merupakan komponen penjelas bagi peubah (variabel).

Penentuan peubah kinerja pembangunan daerah dalam penelitian ini mengacu pada indikator berdasarkan PP No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah dan Usulan Indikator Kinerja Pembangunan Daerah hasil penelitian Bappenas yang bekerja sama dengan UNDP dalam Laporan Studi Pengembangan Indikator Pembangunan Daerah dengan beberapa penyesuaian serta pendekatan karena adanya keterbatasan data dan kemiripan informasi dari beberapa indikator. Indikator-indikator untuk menilai kinerja pembangunan daerah adalah sebagai berikut:

A. Indikator untuk menilai Kinerja Pembangunan Ekonomi: 1. Pertumbuhan ekonomi

2. PDRB perkapita

3. Pendapatan Asli Daerah

4. Kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB kabupaten/kota 5. Kontribusi sektor tersier terhadap PDRB kabupaten/kota 6. Persentase PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi 7. Nilai investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 8. Nilai Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

B. Indikator untuk menilai Kinerja Pembangunan Sumberdaya Manusia: 1. Jumlah penduduk


(21)

21

2. Angka Harapan Hidup (AHH) 3. Angka Kematian Bayi (AKB) 4. Angka Melek Huruf (AMH) 5. Rata-rata Lama Sekolah

6. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 7. Pengeluaran Perkapita

8. Persentase Tingkat Kemiskinan

C. Indikator untuk menilai Kinerja Pembangunan Prasarana: 1. Persentase desa dengan jalan aspal

2. Persentase desa dengan jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat 3. Persentase desa terdapat bangunan SD

4. Persentase desa terdapat jaringan telepon seluler 5. Persentase desa terlayani internet

6. Persentase desa terdapat jaringan listrik PLN 7. Persentase desa terdapat pasar

8. Persentase desa terdapat puskesmas pembantu

9. Persentase desa terdapat tenaga kesehatan (dokter) yang tinggal di desa 10. Persentase desa terdapat prasarana sanitasi (jamban sendiri)

11. Persentase desa yang terlayani PDAM

Definisi indikator yang digunakan dalam penelitian ini berdasar pada konsep dan definisi yang digunakan dalam berbagai publikasi BPS, yaitu:


(22)

dari suatu periode terhadap periode sebelumnya

2. PDRB perkapita: nilai PDRB atas dasar harga berlaku dibagi jumlah penduduk pertengahan tahun

3. Pendapatan Asli Daerah: penerimaan suatu daerah yang bersumber dari daerah itu sendiri, seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan yang dimiliki daerah maupun hasil pengelolaan kekayaan daerah

4. Persentase sektor sekunder terhadap PDRB: peran sektor sekunder terhadap pembentukan PDRB kabupaten/kota

5. Persentase sektor tersier terhadap PDRB: peran sektor tersier terhadap pembentukan PDRB kabupaten/kota

6. Persentase PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi: peran PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi atas dasar harga berlaku

7. Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN): nilai penanaman modal yang dilakukan oleh pengusaha domestik

8. Investasi Penanaman Modal Asing (PMA): nilai penanaman modal yang dilakukan oleh pengusaha asing

9. Jumlah penduduk: adalah semua orang yang berdomisili di suatu daerah selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomosili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan untuk menetap

10. Angka Harapan Hidup (AHH): menggambarkan rata-rata lamanya tahun hidup yang dijalani oleh penduduk dalam suatu wilayah dan tingkat kesehatan serta keadaan gizi dari penduduk pada daerah tersebut


(23)

23

11. Angka Kematian Bayi (AKB): jumlah anak yang dilahirkan pada tahun tertentu dan meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun, dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran hidup

12. Angka Melek Huruf (AMH): banyaknya penduduk suatu wilayah yang dapat membaca dan menulis dari setiap 100 penduduk di wilayah tertentu 13. Rata-rata Lama Sekolah: rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh

penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani

14. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK): banyaknya penduduk usia 10 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja (bekerja dan mencari pekerjaan) dari setiap 100 penduduk usia 10 tahun ke atas di wilayah tertentu

15. Pengeluaran perkapita: pengeluaran riil perkapita yang telah disesuaikan untuk menggambarkan daya beli masyarakat

16. Persentase penduduk miskin: perbandingan jumlah penduduk miskin dengan total penduduk di suatu wilayah

17. Jalan aspal: jenis permukaan jalan terluas dengan menggunakan aspal 18. Jalan dilalui roda empat: jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat atau

lebih sepanjang tahun

19. Desa terdapat bangunan SD: adalah desa yang terdapat bangunan sekolah dasar


(24)

jaringan telepon seluler dengan sinyal kuat

21. Desa terlayani jaringan internet: adalah desa yang sudah terdapat jaringan dan pelayanan internet

22. Desa terlayani listrik PLN: adalah desa yang sebagian besar keluarganya berlangganan listrik secara resmi dari PLN

23. Pasar: tempat transaksi barang/jasa antara penjual dan pembeli dengan lokasi bangunan tetap

24. Puskesmas pembantu: unit pelayanan kesehatan masyarakat yang membantu kegiatan puskesmas di sebagian wilayah kerja puskesmas dan Polindes (Pondok Bersalin Desa)

25. Desa terdapat tenaga kesehatan: adalah desa yang terdapat tenaga kesehatan (dokter) yang tinggal dan memberikan pelayanan di desa

26. Sarana sanitasi: adalah sarana buang air besar sehat berupa jamban sendiri yang dimiliki oleh suatu keluarga dalam perdesaan.

27. PDAM: perusahaan yang menyalurkan air minum yang telah mengalami proses penjernihan.

Kemudian dengan menggunakan ketiga kriteria kinerja pembangunan daerah tersebut, kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dikelompokkan berdasarkan kemiripan karakteristik serta pencapaian pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana.


(25)

25

2.2 Penelitian Terdahulu

Rahmalaila (2004) dalam studinya “Pengelompokan Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Faktor Ekonomi, Manusia dan Lingkungan Tahun 2002”, dengan analisis cluster dan diskriminan, membagi kabupaten/kota di Sulawesi Selatan menjadi tiga kelompok. Kelompok 1 merupakan kabupaten/kota dengan karakteristik faktor ekonomi, manusia dan lingkungan tinggi yang beranggotakan 1 kota, kelompok 2 kabupaten/kota dengan faktor ekonomi, manusia dan lingkungan sedang berjumlah 19 kabupaten/kota dan kelompok 3 yang berkarakteristik faktor ekonomi dan manusia sedang, serta faktor lingkungan tinggi dengan jumlah anggota 4 kabupaten/kota.

Qomariah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Studi Klasifikasi Kabupaten Dan Kota Di Jawa Timur Berdasarkan Variabel-Variabel Sosial Ekonomi Dengan Pendekatan Analisis Diskriminan Dan Regresi Logistik” dengan memanfaatkan data hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) 2004 Provinsi Jawa Timur, menghasilkan dua kelompok kabupaten/kota, kelompok pertama terdiri atas 24 Kabupaten yang selanjutnya dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Kelompok kedua terdiri dari 5 Kabupaten dan 9 Kota yang selanjutnya dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat sosial ekonomi tinggi.

Analisis serupa juga dilakukan oleh Hasibuan (2007) dengan judul “Pengelompokan dan Pengurutan Ibukota Provinsi di Indonesia Berdasarkan Kualitas Lingkungan Hidup Tahun 2005”. Dengan metode analisis deskriptif, analisis komponen utama, analisis faktor, analisis cluster dan penghitungan indeks kualitas


(26)

lingkungan hidup, penelitian ini menghasilkan tiga kelompok daerah, yaitu daerah dengan kualitas lingkungan baik, daerah dengan kualitas lingkungan sedang, dan daerah dengan kualitas lingkungan buruk. Kota Jakarta merupakan daerah dengan kualitas lingkungan yang buruk. Sementara kota Bandar Lampung berpredikat sebagai kota dengan kualitas lingkungan terbaik.

Penelitian Arianti (2009) yang mengambil judul “Pengelompokan Kecamatan Di Kabupaten Probolinggo Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia Dengan Cluster Analysis” membagi kecamatan-kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Probolinggo Jawa Timur menjadi 4 kelompok. Kelompok 1 yang beranggotakan 8 kecamatan, memiliki ciri nilai IPM tinggi. Kelompok 2 dengan karakteristik nilai IPM rendah beranggotakan 4 kecamatan. Kelompok 3 yang beranggotakan 5 kecamatan, merupakan kelompok dengan tingkat pencapaian IPM paling rendah dibanding kelompok lain. Sementara kecamatan-kecamatan yang memiliki nilai IPM tertinggi bergabung ke dalam kelompok 4 dengan jumlah anggota 7 kecamatan.

Sementara itu, Setiawan (2010) dalam penelitiannya “Analisis Pengelompokan Kabupaten/Kotamadya Berdasarkan Indikator Partisipasi Perempuan Provinsi Jawa Timur”, dengan analisis cluster membagi kabupaten/kota di Jawa Timur menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 dengan ciri tingkat pendidikan dan partisipasi angkatan kerja perempuan sedang, memiliki anggota 15 kabupaten/kota. Kelompok 2 dengan jumlah anggota 14 kabupaten/kota, merupakan kelompok yang bercirikan tingkat pendidikan perempuan rendah dan angka partisipasi perempuan tinggi. Sedangkan ciri tingkat pendidikan dan angka partisipasi perempuan tinggi,


(27)

27

dimiliki oleh kelompok 3 dengan jumlah anggota 9 kabupaten/kota.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini memasukkan variabel prasarana sebagai tambahan instrumen analisis. Di samping itu, di dalam penelitian ini juga membentuk lima kelompok kabupaten/kota dengan tujuan agar karakteristik kelompok yang terbentuk lebih spesifik.

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah maupun tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat ditetapkan diagram proses berfikir sebagai berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Pembangunan Daerah

Pembangunan Ekonomi

Pembangunan Sumberdaya Manusia

Pembangunan Prasarana

Tidak Merata

Ketidaksetaraan Antarwilayah

Klasifikasi Berdasarkan Pencapaian Pembangunan


(28)

Pembangunan daerah yang dapat diukur melalui kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana, dalam kenyataanya menunjukan terjadinya ketidaksetaraan. Hal ini tentu bisa menghambat kinerja pembangunan secara regional. Adanya klasifikasi wilayah berdasarkan tingkat pencapaian pembangunannya, dapat menjadi rujukan bagi para pengambil kebijakan sehingga program pembangunan bisa diterapkan lebih cepat serta efisien.


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data sekunder yang bersumber dari publikasi-publikasi BPS, yaitu Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2010, Data PDRB Kabupaten/Kota se-Jawa Timur Tahun 2010, Jawa Timur Dalam Angka 2011, Statistik Potensi Desa Provinsi Jawa Timur Tahun 2008, Data Makro Ekonomi dan Sosial Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2010 dan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Provinsi Jawa Timur Tahun 2010.

3.2Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data dengan banyak peubah (Multivariate), yaitu Analisis Komponen Utama yang dirangkai dengan Analisis Faktor. Tujuan kedua analisis ini adalah untuk mereduksi banyaknya dimensi peubah yang saling berkorelasi menjadi suatu set kombinasi linier baru yang tidak saling berkorelasi akan tetapi masih mempertahankan sebagian besar keragaman data asli (original variable). Selanjutnya, sesuai dengan salah satu tujuan penelitian, kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Timur diklasifikasikan berdasarkan kinerja pembangunannya. Untuk itu, digunakan Analisis Cluster. Keseluruhan proses analisis dilakukan dengan bantuan program SPSS 19.


(30)

3.2.1 Analisis Komponen Utama

Analisis Komponen Utama (AKU) digunakan untuk mengetahui apakah penelitian ini layak untuk analisis lebih lanjut dalam hal ini Analisis Faktor, di lihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO) dan uji Bartlett.

Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) adalah suatu teknik menyusutkan (reduksi) data dimana tujuan utamanya untuk mengurangi banyaknya dimensi peubah yang saling berkorelasi menjadi peubah-peubah baru {disebut Komponen Utama (KU)} yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman dalam himpunan data tersebut. Artinya dengan dimensi yang lebih kecil diharapkan lebih mudah melakukan penafsiran atau interpretasi tanpa kehilangan banyak informasi tentang data. Banyaknya KU (peubah baru) yang terbentuk diharapkan seminimal mungkin, akan tetapi mampu menerangkan keragaman total yang maksimal.

Secara aljabar linier, komponen utama merupakan kombinasi-kombinasi linier dan p peubah acak X1, X2, X3, X4,…., Xp. Secara geometris kombinasi linier

ini merupakan sistem koordinat baru yang didapat dari rotasi sistem semula dengan X1, X2, X3, .…., Xp sebagai sumbu koordinat. Sumbu baru tersebut

merupakan arah dengan variabilitas maksimum dan memberikan kovariasi yang lebih sederhana. Sebagai catatan, dalam Analisis Komponen Utama, asumsi populasi mengikuti distribusi Normal Multivariate tidak diperlukan.

Komponen utama yang dibentuk merupakan kombinasi linear dari peubah-peubah asli, dimana koefisiennya adalah vektor ciri (eigen vector). Vektor ciri dihasilkan dari akar ciri (eigen value) matriks kovarian atau matriks korelasi.


(31)

31

Penggunaan matriks kovarian atau matriks korelasi tergantung dari kesamaan satuan peubah-peubah yang dianalisis. Apabila satuannya sama digunakan matriks kovarian, sedang bila tidak sama digunakan matriks korelasi.

Bila komponen utama diturunkan dari populasi normal multivariate dengan random vektor X

X1,X2,...,XP

' dan vektor mean μ

1,2,...,p

' dan matriks kovarians Σ dengan akar ciri (eigen value) yaitu

0 ...

2

1   p

 didapat kombinasi linier komponen utama adalah:

p p X e X e X

e11 121 2 ... 1

 e X

Y1 '1

p p X e X e X

e12 122 2 ... 2

 e X

Y2 '2

….

p pp p

pX e X e X

e   

e X 1 1 2 2 ...

Yp 'p (1)

Maka: Varian

 

Yie'iei (2) Kovarian

Yi,Yk

e'iek (3) i , k = 1, 2, …, p

Syarat untuk membentuk komponen utama yang merupakan kombinasi linear dari peubah X agar mempunyai varian maksimum adalah dengan memilih vektor ciri (eigen vector) yaitu e

e1,e2,...,ep

' sedemikian hingga varian

 

Yie'iek maksimum dan e'iei 1

Komponen utama pertama adalah kombinasi linear e'1Xyang memaksimumkan var

e'1X

dengan syarat e'1e1 1


(32)

Komponen utama kedua adalah kombinasi linier e'2X yang memaksimumkan var (e'2X) dengan syarat e'2e2 1

Komponen utama ke-i adalah kombinasi linier e'i X yang memaksimumkan var (e'i X) dengan syarat e'iei 1dan kov

e'i X,e'kX

0untuk k < i.

Antar komponen utama tersebut tidak berkorelasi dan mempunyai variasi yang sama dengan akar ciri dari Σ. Akar ciri dari matriks ragam peragam Σ merupakan varian dari komponen utama Y, sehingga matriks ragam peragam dari Y adalah:                  p    . . . 0 . . . . . . . . . . 0 . . 0 0 . . 0 2 1 Σ

Total keragaman peubah asal akan sama dengan total keragaman yang diterangkan oleh komponen utama yaitu:

 

 

 

        p j i p p j Y tr 1 2 1 1 var ...

var Xi Σ    (4)

Penyusutan dimensi dari peubah asal dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil komponen yang mampu menerangkan bagian terbesar keragaman data. Apabila komponen utama yang diambil sebanyak q komponen, di mana q < p, maka proporsi dari keragaman total yang bisa diterangkan oleh komponen utama ke-i adalah:

atau (5)

q j p p j q j q ,..., 3 , 2 , 1 %, 100 % 100 ... 1 2 1            


(33)

33

Penurunan komponen utama dari matriks korelasi dilakukan apabila data sudah terlebih dahulu ditransformasikan kedalam bentuk baku Z. Transformasi ini dilakukan terhadap data yang satuan pengamatannya tidak sama. Bila peubah yang diamati ukurannya pada skala dengan perbedaan yang sangat lebar atau satuan ukurannya tidak sama, maka peubah tersebut perlu dibakukan (standardized).

Peubah baku (Z) didapat dari transformasi terhadap peubah asal dalam matriks berikut:

 

V

X μ

Z1/21  (6)

V1/2 adalah matriks simpangan baku dengan unsur diagonal utama adalah

 

ii 1/2 sedangkan unsur lainnya adalah nol. Nilai harapan E (Z) = 0 dan keragamannya adalah Cov(Z)

   

V1/21V1/21ρ (7)

Dengan demikian komponen utama dari Z dapat ditentukan dari vektor ciri yang didapat melalui matriks korelasi peubah asal ρ. Untuk mencari akar ciri dan menentukan vektor pembobotnya sama seperti pada matriks Σ. Sementara teras matriks korelasi ρ akan sama dengan jumlah p peubah yang dipakai.

Penetapan banyaknya KU untuk dapat ditafsirkan dengan baik dapat dilihat dari:

1. Proporsi keragaman kumulatif dari KU

Menurut Morrison (1990), banyaknya KU yang dipilih sudah cukup memadai apabila KU tersebut mempunyai persentase keragaman kumulatif tidak kurang dari 75% dari total keragaman data. Sedangkan Johnson dan Wichern (2002) mengisyaratkan bahwa KU dengan kondisi persentase keragaman


(34)

kumulatif sebesar 80-90%, dapat menggambarkan data asalnya. Keragaman total KU:

p i1

 Var (Yi) = 1+2+…+p

=

p i1

 i (8)

2. Nilai dari akar ciri

Pemilihan komponen utama yang digunakan, didasarkan pada nilai akar cirinya. Menurut Kaiser (dalam Ekaria, 2004), pemilihan KU berdasarkan pendekatan akar ciri yang nilainya 1.

AKU seringkali disajikan dalam tahap pertengahan dalam penelitian yang lebih besar. KU bisa merupakan masukan pada Analisis Faktor atau Analisis Cluster.

KU terpilih selanjutnya digunakan sebagai pembentuk peubah dalam Analisis Faktor. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap matriks korelasi dari data yang menjadi objek pengamatan. Matriks korelasi digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara peubah yang satu dengan peubah yang lain. Ada dua macam pengujian yang dapat dilakukan terhadap matriks korelasi, yaitu:

o Uji Bartlett

Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah matrik korelasinya bukan merupakan suatu matrik identitas, jika matrik korelasinya merupakan matrik identitas, maka tidak ada korelasi antarpeubah yang digunakan. Uji ini dipakai bila sebagian besar dari koefisien korelasi kurang dari 0,5. Langkah-langkahnya adalah:


(35)

35

1. Hipotesis

Ho : Matriks korelasi merupakan matriks identitas

H1 : Matriks korelasi bukan merupakan matriks identitas

2. Statistik uji

 

lnR

6 5 2 1 2        

N p

(9)

N = Jumlah observasi p = Jumlah peubah R = Determinan dari matriks korelasi

3. Keputusan

Uji Bartlett akan menolak H0 jika nilai

2obs

2,p p1 2/ (10) o Uji Kaiser Meyer Olkin (KMO)

Uji KMO digunakan untuk mengetahui apakah metode penarikan sampel yang digunakan memenuhi syarat atau tidak. Disamping itu, uji KMO dalam Analisis Faktor berguna untuk mengetahui apakah data yang digunakan dapat dianalisis lebih lanjut atau tidak dengan Analisis Faktor. Rumusan uji KMO adalah





  

i i i j

ij j

i ij i i j

ij

a

r

r

KMO

2 2

2

; i = 1,2,…,p ;j = 1,2,…,p (11)

di mana: rij = Koefisisen korelasi sederhana antara peubah i dan j

aij = Koefisien korelasi parsial antara peubah i dan j

Adapun penilaian uji KMO dari matrik antarpeubah adalah sebagai berikut:


(36)

 0,80<KMO<0,90 ; data baik untuk analisis faktor.

 0,70<KMO<0,80 ; data agak baik untuk analisis faktor.

 0,60<KMO<0,70 ; data lebih dari cukup untuk analisis faktor.

 0,50<KMO<0,60 ; data cukup untuk analisis faktor.

KMO<0,50 ; data tidak layak untuk uji lebih lanjut dengan analisis fak-tor.

3.2.2 Analisis Faktor

Analisis faktor adalah suatu analisis data untuk mengetahui faktor-faktor yang dominan dalam menjelaskan suatu masalah. Menurut Johnson dan Wichern (2002) yang dimaksud dengan analisis faktor adalah:

1. Pengembangan dari AKU yang lebih terperinci dan teliti. 2. Mengecek konsistensi data terhadap struktur peubah.

Sedangkan kegunaan dari Analisis Faktor (Supranto, 2004) adalah:

1. Untuk mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.

2. Untuk mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi ( inde-pendent) yang lebih sedikit untuk menggantikan suatu set variabel asli yang saling berkorelasi.

3. Untuk mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set variabel yang banyak.

Analisis Faktor pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil faktor/komponen utama yang memiliki sifat berikut (Ekaria, 2004):


(37)

37

2. Terdapatnya kebebasan antarfaktor.

3. Tiap faktor dapat diinterpretasikan sejelas-jelasnya.

Perbedaan antara Analisis Faktor dan Analisis Komponen Utama adalah:

1. Pada Analisis Komponen Utama, tujuannya adalah untuk memilih sejumlah peubah baru (yang disebut sebagai komponen utama) yang menjelaskan total variasi dalam set data sebesar – besarnya,

2. Pada Analisis Faktor, tujuan utamanya adalah memilih faktor-faktor yang dapat menjelaskan keterkaitan (Interrelationship) antar peubah asli. Dengan perkataan lain, Analisis Faktor bertujuan untuk menjelaskan arti peubah-peubah dalam set data.

Pada Analisis Faktor diperlukan nilai estimasi dari faktor-faktor bersama yang disebut dengan skor faktor. Berdasarkan skor faktor pada setiap observasi, kita dapat menyatakan untuk masing – masing observasi tinggi rendahnya nilai skor faktornya. Skor faktor tertentu menunjukkan penting tidaknya peranan faktor-faktor tersebut bagi observasi itu. Skor faktor benilai negatif, nol dan positif, dimana jika nilainya semakin besar maka semakin besarlah peranan faktor tersebut terhadap suatu permasalahan pada observasi yang kita teliti.

Secara umum, model Analisis Faktor adalah sebagai berikut : X1 - 1 = 11F1 +12F2 +13F3 +…………..+1mFm +  1

X2 - 2 = 21F1 +22F2 +23F3 +…………..+2mFm + 


(38)

Xp - p = p1F1 +p2F2 +p3F3 +…………..+pmFm + p (12)

Atau dalam notasi matriks, dituliskan

Xpx1 - px1 = LpxmFmx1 + px1 (13) di mana :

Fj = Faktor Umum ; j = 1,2,……m; m<p i = Faktor Spesifik ; i = 1,2,….p

i = rata–rata peubah ke i

ij = loading untuk peubah ke –i pada faktor ke –j

L = Matriks faktor loading dengan asumsi:

1. E(F) =0

2. Var (F) = E (FF') = Imxm 3. E () = 0

4. Var () = E(') =

Cov (F') = E (F') =0, sehingga F dan independent Adapun struktur kovarian untuk model adalah:

1. Cov (X) = LL' + ψ (14)

Var (Xi) = lili  lij i

2 2

2 2

1 ...

2 2 2

2 2

2 2

1 2 1

1,Yj lilj li lj ... limljm

X

Cov    

2. Cov (X,F) = L (15)


(39)

39

Model (X-μ) = LF + ε adalah linier dalam faktor bersama. Bagian dari Var (Xi) yang dapat diterangkan oleh faktor bersama disebut communality ke-i.

Sedangkan bagian dari Var (Xi) karena faktor spesifik disebut varian spesifik ke-i.

i i i im i

i

ii l l lh

   2   2   2 

2 2

1 ... (16)

di mana:

hi2 = communality

ψi = varian spesifik ke-i

Dalam praktek, matriks ragam peragam  di taksir dengan matriks ragam peragam sampel S dan matrik korelasi ρ peubah ditaksir dengan matriks korelasi R. Dalam hal ini, paket progarm SPSS/PC+ langsung menggunakan matriks korelasi R sebagai matriks ragam peragam dalam menghitung akar ciri dan vektor ciri maupun analisis faktornya.

Faktor-faktor yang diperoleh melalui metode komponen utama pada umumnya masih sulit diinterpretasikan secara langsung. Untuk itu dilakukan manipulasi dengan cara merotasi loading L dengan menggunakan metode Rotasi Tegak Lurus Varimax (Varimax Orthogonal Rotation) sesuai dengan saran beberapa ahli, karena rotasi tegak lurus varimax lebih mendekati kenyataan dibanding yang lain. Rotasi varimax adalah rotasi yang memaksimalkan faktor pembobot, dan mengakibatkan korelasi variabel-variabel dengan suatu faktor mendekati satu, serta korelasi dengan faktor lainnya mendekati nol, sehingga mudah diinterpretasikan. Dari rotasi tersebut menghasilkan matriks loading baru L*, yaitu:


(40)

di mana T adalah matriks transformasi yang dipilih sehingga,

T'T = TT' = I (18)

Matriks transformasi T ditentukan sedemikian serupa hingga total keragaman kuadrat loading L, yaitu:

 

                                  q j p i p i i ij i ij p h h

p 1 1

2

1 2 4

/

1  

V (19)

menjadi maksimum, di mana:

q

1 i

V (keragaman dari kuadrat loading untuk faktor ke-j) 2 2 2 2 1 2 ... iq i i i

h     (komunalitas, yaitu jumlah varians dari suatu variable ke-i yang dapat dijelaskan oleh sejumlah m common factors).

Dari perumusan diatas, rotasi merupakan suatu upaya untuk menghasilkan

faktor penimbang baru yang lebih mudah diinterpretasikan yaitu dengan mengalikan faktor penimbang awal dengan matriks transformasi yang bersifat orthogonal, sehingga matriks korelasinya tidak akan berubah. Dari merotasi matriks loading tadi menyebabkan setiap variabel asal mempunyai korelasi yang tinggi dan faktor tertentu saja, sedangkan dengan faktor lain mempunyai korelasi relatif rendah sehingga pada akhirnya setiap faktor akan lebih mudah diinterpretasikan.

3.2.3 Analisis Cluster

Analisis Cluster bertujuan untuk memisahkan obyek ke dalam beberapa kelompok yang mempunyai sifat berbeda antar kelompok yang satu dengan yang lain. Dalam analisis ini tiap-tiap kelompok bersifat homogen antar anggota dalam


(41)

41

kelompok atau variasi obyek dalam satu kelompok yang terbentuk sekecil mungkin. Analisis ini digunakan untuk mengelompokan n individu (unit observasi) dengan p peubah ke dalam k kelompok. Bila yang akan dikelompokan berupa obyek maka pendekatan ukuran kemiripan biasanya ditunjukkan oleh ukuran jarak. Salah satu ukuran kemiripan yang digunakan adalah jarak euclidean. Jarak euclidean antar dua obyek Xi = [X1, X2, ..., XP] dan Yj = [Y1, Y2, ..., YP]

yang berdimensi p adalah:

 

 

2 2

2

2

2 1 1

,Y ... P P

X X Y X Y X Y

D       

=

XY

 

' XY

(20) Sehingga akan diperoleh matrik jarak sebagai berikut:

0 ... . 0 . . ... 0 ... 0 2 1 2 21 1 12 n n n n d d d d d dD

Semakin kecil nilai D, maka semakin besar kemiripan antara kedua pengamatan tersebut. Sebaliknya bila D besar, semakin besar ketidakmiripan dari pengamatan tersebut.

Asumsi yang harus dipenuhi dalam penerapan Analisis Cluster adalah: 1. Sampel yang diambil harus dapat mewakili populasi yang ada.

Dalam penelitian ini, digunakan data populasi, sehingga asumsi ini tidak perlu diuji lagi.

2. Multikolinieritas


(42)

Sebaiknya tidak ada atau seandainya ada, besar multikolinieraitas tersebut tidaklah tinggi yaitu kurang dari 0,8 (Gujarati, 2004). Bila data yang digunakan dalam Analisis Cluster adalah data skor komponen dari hasil AKU, maka tidak akan ditemukan lagi adanya Multikolinieritas.

Tahap selanjutnya dalam Analisis Cluster adalah menentukan metode pengelompokan/klasifikasi. Terdapat dua metode yaitu:

1. Metode Kelompok Hierarki (Hierarchical Clustering Methods)

Metode ini digunakan bila banyaknya kelompok yang diinginkan belum diketahui. Metode ini paling banyak digunakan karena pembentukan kelompoknya bersifat alamiah. Pengelompokannya disajikan secara visual berbentuk dendogram yaitu suatu bagan yang menyajikan banyaknya kelompok terbesar hingga terkecil. Cara menentukan banyaknya kelompok yang tepat didasarkan pada jumlah anggota kelompok yang relatif merata.

Proses pengelompokan diawali dengan memandang setiap obyek (n) sebagai sebuah kelompok, sehingga jumlah kelompok sebanyak jumlah obyeknya. Dua obyek/kelompok yang paling mirip (dalam hal ini dilihat dari jarak) adalah obyek yang pertama kali digabungkan menjadi satu kelompok, sehingga jumlah kelompok menjadi n-1. jarak kelompok baru dengan kelompok sebelumnya di hitung kembali. Prosedur ini diulang sampai akhirnya kemiripan berkurang, sehingga semua kelompok tergabung dalam suatu kelompok tunggal.


(43)

43

(1) Metode Pautan Tunggal (Single Linkage)

Metode ini di lakukan dengan meminimumkan jarak antara kelompok yang di gabungkan. Jarak antar kelompok di bentuk dari individu-individu dalam dua kelompok yang mempunyai jarak terkecil atau kemiripan terbesar. Proses dimulai dengan menentukan jarak terkecil dalam D = {dih} dan gabungkan

obyek-obyek, misal U dan V, untuk memperoleh kelompok I atau {UV}, maka jarak antara {UV} dan kelompok W yang lain adalah:

D(UV)W = min {dUW , dVW} (21)

di mana:

dUW adalah jarak terdekat dari kelompok U dan W

dVW adalah jarak terdekat dari kelompok V dan W

(2) Metode Pautan Lengkap (Complete Linkage)

Dalam metode ini, jarak antar kelompok dibentuk dari individu-individu dalam dua kelompok yang mempunyai jarak yang paling jauh. Jadi pautan lengkap memastikan bahwa semua individu dalam suatu kelompok berada dalam jarak maksimum pada masing-masing kelompok yang lain.

Pengelompokan dimulai dengan mencari jarak pada D = {dih} dan

penggabungan antara U dan V untuk mendapatkan kelompok I (UV). Selanjutnya jarak antara (UV) dan setiap kelompok W dihitung dengan:

D(UV)W = max {dUW , dVW} (22)

di mana:

dUW adalah jarak kelompok yang paling jauh U dan W


(44)

(3) Metode Rataan Grup (Group Average)

Metode ini dilakukan dengan meminimumkan rata-rata jarak antara semua pasangan individu dari kelompok yang digabungkan. Proses pengelompokan dimulai dengan mencari jarak D = {dih} untuk mendapatkan obyek yang terdekat.

Kelompok ini dihubungkan untuk membentuk kelompok I atau (UV). Selanjutnya jarak antara (UV) dengan kelompok W lainnya ditentukan dengan:

  WV

V U V WU V U U W UV d n n n d n n n d   

 (23)

(4) Metode Sentroid (Centroid)

Ukuran ketidakmiripannya adalah:

 

UV

V U V U WV V U V WU V U U W UV d n n n n d n n n d n n n d 2     

 (24)

(5) Median

Pada metode ini jarak antara dua gerombol yang terbentuk adalah:

 UVW dWU dWV dUV

d 4 1 2 1 2

1

 (25)

(6) Ragam Minimum (Minimum Variance)

Ukuran ketidakmiripan yang digunakan ialah:

 

W V U UV W WV W V WU V U W UV n n n d n d n n d n n d      

 (27)

di mana:

nU = banyaknya obyek dalam gerombol U nV = banyaknya obyek dalam gerombol V nW = banyaknya obyek dalam gerombol W


(45)

45

2. Metode Non Hierarki

Metode ini digunakan bila banyaknya kelompok yang akan dibentuk telah diketahui lebih dahulu. Sifat pengelompokannya tidak alamiah karena telah di kondisikan untuk jumlah kelompok tertentu. Proses pengelompokan dimulai dengan menentukan nilai k yang merupakan pusat kelompok, dengan cara random dari data.

Metode non hierarki yang sering digunakan adalah metode K_Means, yaitu metode yang bertujuan mengelompokan data sedemikian hingga jarak tiap-tiap data ke pusat kelompok dalam satu kelompok minimum.

Analisis Cluster yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tidak berhierarki (K-means Clustering). Banyaknya gerombol (cluster) yang ingin dibentuk terlebih dahulu ditentukan. Didalam metode ini diasumsikan bahwa analisis terdiri dari n individu dan p pengukuran. X(i,j) adalah nilai dari individu ke-i dalam variabel ke-j; i = 1,2,…,n dan j = 1,2,…,p. Misal P (n,K) adalah pengelompokan yang merupakan hasil dari masing-masing individu yang dialokasikan ke dalam sebuah gerombol (cluster) 1,2,…,K. Rata-rata variabel ke-j dalam gerombol (cluster) ke-l akan dinotasikan dengan X (l,j), dan jumlah individu-individu yang termasuk dalam gerombol (cluster) ke-l dinyatakan dengan n(l). Dalam notasi ini kita dapat menampilkan jarak antara individu ke-i dan gerombol ke-l sebagai berikut:

   p j j l X j i X l i D 1 2 1 2 ) ) , ( ) , ( ( ) ,


(46)

dengan komponen kesalahan tiap-tiap kelompok dapat didefinisikan sebagai berikut:

2

1

) ( , )

,

(

n

i

i l i D K

n P

E (29)

di mana l(i) adalah gerombol (cluster) yang terdiri individu ke-i, dan D[i,l(i)] adalah jarak Euclidean antara individu i dan rata-rata klaster yang terdiri dari individu. Prosedur untuk pengelompokan adalah mengikuti langkah-langkah: mencari pengelompokan dengan komponen kesalahan E yang kecil dengan menempatkan individu-individu dari satu kelompok ke kelompok lainnya sampai tidak terjadi perpindahan hasil individu dalam pereduksian E.

Dalam melakukan Analisis Cluster, sebaiknya pola nilai matriks korelasi data asal diamati terlebih dahulu. Selanjutnya dihitung persentase korelasi sedang (0,31-0,75) dan besar (0,76-1,00). Jika persentase korelasi sedang dan besar berkisar antara 10 hingga 80 persen, maka data skor faktor dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada data asal untuk proses penggerombolan (Handayani dalam Naibaho, 2003).

Kemudian dari hasil Analisis Cluster tersebut, dapat diketahui rata-rata maupun standar deviasi masing-masing indikator pada tiap kelompok. Dalam penelitian ini, indikator-indikator dari masing-masing kelompok dikategorikan menjadi lima tingkatan yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi ataupun sangat tinggi untuk mendapatkan informasi yang lebih cermat. Penentuan tingkatan kategori tersebut mengacu pada penelitian Abdullah (2008) dengan batasan pengkategorian sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1. Untuk mempermudah penilaian, masing-masing kategori dikonversikan dalam bentuk angka.


(47)

47

Tabel 3.1 Kategori, Nilai Konversi dan Nilai Selang Skor Faktor

Kategori Nilai Konversi Nilai Selang

(1) (2) (3)

Sangat Tinggi 5 ( j + 1,5Sj)< SF

Tinggi 4 ( j+ 0,5Sj) < SF ≤ ( j + 1,5Sj)

Sedang 3 ( j- 0,5Sj) < SF ≤ ( j+ 0,5Sj)

Rendah 2 ( j - 1,5Sj)< SF ≤ ( j- 0,5Sj)

Sangat Rendah 1 SF ≤ ( j - 1,5Sj)

Sumber: Abdullah, 2008, diolah. di mana:

j = 1,2,3…n, n = banyaknya kelompok

j = rata-rata total peubah j

S

j = standar deviasi peubah j


(48)

4.1 Gambaran Umum Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur terletak di antara 11100' dan 11404' Bujur Timur serta 7012' dan 8048' Lintang Selatan. Provinsi berpenduduk sekitar 37 juta jiwa (Sensus Penduduk 2010) ini mempunyai luas 147.130,15 km2 yang terbagi atas kawasan hutan 12.261,64 km2 (26,02%), persawahan seluas 12.286,71 km2 (26,07%), pertanian tanah kering mencapai 11.449,15 km2 (24,29%), pemukiman/kampung seluas 5.712,15 km2 (12,12%), perkebunan seluas 1.581,94 km2 (3,36%), tanah tandus/rusak seluas 1.293,78 km2 (2,75%), tambak/kolam mencapai 737,71 km2 (1,57%), kebun campuran seluas 605,65 km2 (1,29%), selebihnya terdiri dari rawa/danau, padang rumput dan lain-lain seluas 1.201,42 km2 (2,55%). Jawa Timur memiliki 60 buah pulau (termasuk Pulau Madura yang merupakan pulau terbesar) serta 48 gunung. Gunung yang tertinggi adalah Gunung Semeru yang mencapai ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut dan Gunung Lamongan yang merupakan gunung berapi yang terendah dengan tinggi 1.668 m.

Secara administratif, provinsi ini terbagi menjadi 29 kabupaten dan 9 kota. Provinsi yang terletak di ujung timur Pulau Jawa ini sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa; sebelah timur dengan Pulau Bali; sebelah selatan dengan Samudera Indonesia; dan sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah.


(49)

49

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011 Keterangan:

: Kabupaten : Kota

Kabupaten: 01. Pacitan 02. Ponorogo 03. Trenggalek 04. Tulungagung 05. Blitar 06. Kediri 07. Malang 08. Lumajang 09. Jember 10. Banyuwangi 11. Bondowoso 12. Situbondo 13. Probolinggo 14. Pasuruan 15. Sidoarjo 16. Mojokerto 17. Jombang 18. Nganjuk 19. Madiun 20. Magetan 21. Ngawi 22. Bojonegoro 23. Tuban 24. Lamongan 25. Gresik 26. Bangkalan 27. Sampang 28. Pamekasan 29. Sumenep Kota: 71. Kediri 72. Blitar 73. Malang 74. Probolinggo 75. Pasuruan 76. Mojokerto 77. Madiun 78. Surabaya 79. Batu

Gambar 4.1 Peta Jawa Timur Berdasarkan Wilayah Administratif

Dalam beberapa kurun waktu terakhir, perekonomian Jawa Timur menunjukkan kinerja yang cukup membanggakan. Hal ini bisa dilihat dari besarnya laju pertumbuhan ekonomi yang secara rata-rata berada di atas angka 5 persen selama periode 2005 hingga 2010 yang merupakan indikasi adanya peningkatan produksi barang dan jasa secara progresif. Krisis global yang

01 03 02

04 06

05 07 08 09 10 11 12 13 14 16 15 17 18 19 20 21 22 23 24 25 78

26 27 28 29

71

72 73 74 75 76 77 79 N E W S


(50)

melanda dunia pada akhir 2008 hingga pertengahan 2009, tidak memberikan pengaruh cukup berarti bagi perekonomian di provinsi ini. Terbukti di tahun tersebut, Jawa Timur mampu meraih pertumbuhan ekonomi masing-masing sebesar 5,94 dan 5,01 persen serta mencapai pertumbuhan tertinggi di tahun 2010 sebesar 6,67 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 6,10 persen. Kondisi ini didukung dengan semakin membaiknya PDRB perkapita yang mencapai Rp. 20.771,69 juta rupiah pada tahun 2010 atau meningkat sebesar 86,89 persen jika dibandingkan pada tahun 2005.

Tabel 4.1 Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita Jawa Timur Tahun 2005-2010

Indikator 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Pertumbuhan Ekonomi (persen) 5,84 5,80 6,11 5,94 5,01 6,68

PDRB Perkapita (ribu rupiah) 11.114 12.861 14.629 16.807 18.446 20.772

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011.

Hingga tahun 2010, perekonomian Jawa Timur masih ditopang oleh tiga sektor utama, yaitu perdagangan, hotel dan restoran, kemudian industri pengolahan serta sektor pertanian. Namun seiring berjalannya waktu, peranan sektor pertanian terus mengalami degradasi. Jika pada tahun 2005 sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap perekonomian sebesar 19,20 persen, di tahun 2010 sektor ini mengalami penurunan yang cukup signifikan menjadi 15,75 persen. Kondisi sebaliknya terjadi pada sektor perdagangan, hotel dan restoran yang terus mengalami peningkatan kontribusi dari 26,45 persen pada


(51)

51

tahun 2005 menjadi 29,47 persen di tahun 2010. Struktur perekonomian Jawa Timur secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 4.2:

Tabel 4.2 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2005-2010 (Persen)

No Sektor/Subsektor 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Pertanian 17,20 17,13 16,69 16,55 16,34 15,75

2 Pertambangan dan Penggalian

2,07 2,13 2,17 2,22 2,22 2,19

3 Industri Pengolahan 29,94 29,21 28,75 28,47 28,14 27,49 4 Listrik, Gas dan Air

Bersih

1,50 1,49 1,59 1,58 1,55 1,51

5 Konstruksi 4,22 4,05 3,93 3,89 4,01 4,50

6 Perdag, Hotel dan Restoran

26,45 27,25 28,07 28,49 28,42 29,47

7 Pengangkutan dan Komunikasi

5,34 5,35 5,32 5,25 5,50 5,52

8 Keuangan, Persew. dan Jasa Perusahaan

4,62 4,61 4,70 4,79 4,83 4,89

9 Jasa-jasa 8,67 8,78 8,78 8,77 9,00 8,68

Produk Domestik Regional Bruto

100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011.

Jika kesembilan sektor pada Tabel 4.2 dikelompokkan menjadi tiga sektor utama yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sekto r sekunder (industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta konstruksi) dan sektor tersier (perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa), dapat disimpulkan bahwa struktur perekonomian Jawa Timur didominasi oleh sektor tersier dengan sumbangan terhadap PDRB dalam kurun lima tahun terakhir rata-rata sebesar 46,92 persen. Jumlah penduduk yang begitu besar serta letak geografis yang cukup strategis, mendorong sektor perdagangan, hotel dan restoran berkembang pesat yang pada akhirnya menjadi pelopor dominasi tersebut.


(52)

Sementara itu, sektor yang sebenarnya dianggap sebagai “intisari” ekonomi Jawa Timur adalah sektor sekunder dengan industri pengolahan sebagai ikonnya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh banyaknya usaha industri manufaktur di provinsi ini. Bahkan Jawa Timur merupakan provinsi ketiga yang dijuluki “episentrum” industri Indonesia setelah Jawa Barat dan Jabotabek. Meskipun terus mengalami penurunan kontribusi dari tahun 2005 hingga tahun 2010, sektor ini masih menjadi tulang punggung bagi perekonomian Jawa Timur, khususnya subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau, yang didominasi oleh industri rokok. Hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor ini terhadap penciptaan PDRB yang jauh di atas sektor listrik, gas dan air serta konstruksi.

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, 2011, diolah.

Gambar 4.2 Kontribusi Sektor Primer, Sekunder dan Tersier Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2010 (Persen)

Uraian diatas memberikan gambaran bahwa secara agregat, terjadi transformasi sektoral dari perekonomian berbasis primer (tradisional) menuju ekonomi modern, seperti sekunder dan terutama tersier sebagaimana yang


(53)

53

telah diungkapkan oleh Hollis B Chenery (Tambunan, 2011). Kondisi ini cukup menggembirakan mengingat sektor sekunder dan tersier dibangun dari sektor-sektor yang tidak tergantung pada sumberdaya alam. Di samping itu, salah satu ciri daerah yang maju adalah jika daerah itu lebih didominasi oleh sektor yang sudah terlepas dari keberadaan sumber daya alam (tertiary sector). Namun begitu, transformasi struktural ekonomi akan lebih bermakna jika didukung oleh transformasi sektoral tenaga kerja.

Ditinjau dari segi pembangunan sumberdaya manusia, dapat dikatakan bahwa kualitas sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan sudah cukup membanggakan. Tingginya Angka Melek Huruf (AMH) yang mencapai 88,02 persen mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat sudah baik. Hal ini didukung dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 dan 13-15 sebagai cerminan pendidikan dasar sembilan tahun yang masing-masing sebesar 98,74 persen dan 88,87 persen serta rata-rata lama sekolah yang mencapai 7,32 tahun. Dengan tingginya tingkat pengetahuan tersebut, pada akhirnya mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, salah satu di antaranya adalah pola hidup sehat. Angka Harapan Hidup (AHH) yang mencapai 69,58 persen serta Angka Kematian Bayi (AKB) 29,99 persen memberikan gambaran bahwa sebagian besar masyarakat di provinsi ini sudah memiliki kesadaran untuk melaksanakan pola hidup sehat.

Ketimpangan atau ketidaksetaraan pembangunan antara perkotaan dan perdesaan ternyata masih tinggi. Hal ini tercermin dari rendahnya persentase desa yang memiliki prasarana untuk menunjang kegiatan perekonomiannya.


(1)

Lampiran 12

Hasil Analisis Cluster

Initial Cluster Centers Cluster

1 2 3 4 5

Skor fe 2.06 -.38 -.10 -.31 1.28

Skor fsdm .58 -1.81 -.25 1.24 .49

Skor fp 1.46 -.97 -.25 .70 .06

Iteration Historya

Iteration Change in Cluster Centers

1 2 3 4 5

1 .000 .646 .172 .399 .507

2 .000 .096 .102 .000 .000

3 .000 .073 .046 .000 .000

4 .000 .093 .098 .104 .000

5 .000 .000 .000 .000 .000

a. Convergence achieved due to no or small change in cluster centers. The maximum absolute coordinate change for any center is .000. The current iteration is 5. The minimum distance between initial centers is 1.598.

Final Cluster Centers Cluster

1 2 3 4 5

Skor fe 2.06 -.13 -.13 -.23 1.02

Skor fsdm .58 -1.12 .13 .88 .72

Skor fp 1.46 -.53 -.21 .89 .43

ANOVA

Cluster Error

F Sig.

Mean Square df Mean Square df

Skor fe 2.055 4 .045 33 45.482 .000

Skor fsdm 5.051 4 .133 33 37.902 .000

Skor fp 2.940 4 .071 33 41.642 .000

The F tests should be used only for descriptive purposes because the clusters have been chosen to maximize the differences among cases in different clusters. The observed significance levels are not corrected for this and thus cannot be interpreted as tests of the hypothesis that the cluster means are equal.

Number of Cases in each Cluster

Cluster 1 1.000

2 10.000

3 17.000

4 7.000

5 3.000

Valid 38.000


(2)

Nilai Skor Faktor Ekonomi, Sumber Daya Manusia, Prasarana, Cluster

Membership (qcl_1) dan Distance from Cluster Center (qcl_2)

Kabupaten/Kota Skor Faktor Ekonomi

Skor Faktor SDM

Skor Faktor

Prasarana qcl_1 qcl_2

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Pacitan -0,23 0,55 -0,46 3 0,49531

Ponorogo -0,33 0,19 -0,36 3 0,25572

Trenggalek -0,28 0,61 -0,46 3 0,55273

Tulungagung -0,12 0,61 -0,14 3 0,48645

Blitar -0,25 0,54 -0,35 3 0,44438

Kediri -0,05 0,06 -0,13 3 0,13026

Malang 0,05 -0,24 -0,05 3 0,44595

Lumajang -0,16 -0,46 -0,25 3 0,59698

Jember -0,08 -1,30 -0,20 2 0,38135

Banyuwangi -0,14 -0,28 0,06 3 0,50135

Bondowoso -0,21 -1,16 -0,61 2 0,11542

Situbondo -0,29 -0,96 -0,39 2 0,26350

Probolinggo -0,14 -1,49 -0,41 2 0,38598

Pasuruan 0,15 -0,72 -0,44 2 0,50153

Sidoarjo 0,79 0,71 0,15 5 0,36467

Mojokerto 0,25 0,47 -0,30 3 0,51234

Jombang 0,04 0,30 -0,17 3 0,23772

Nganjuk -0,24 -0,01 -0,18 3 0,18193

Madiun -0,32 0,03 -0,10 3 0,24282

Magetan -0,27 0,67 0,08 3 0,62577

Ngawi -0,28 -0,10 -0,39 3 0,32856

Bojonegoro 0,53 -0,62 -0,60 2 0,83461

Tuban 0,24 -0,40 -0,19 3 0,65185

Lamongan -0,10 -0,25 -0,25 3 0,39132

Gresik 1,28 0,49 0,06 5 0,50674

Bangkalan -0,35 -1,27 -0,29 2 0,35576

Sampang -0,38 -1,81 -0,97 2 0,85388

Pamekasan -0,30 -0,98 -0,45 2 0,22719

Sumenep -0,29 -0,90 -0,97 2 0,51085

Kota Kediri 1,00 0,95 1,08 5 0,69513

Kota Blitar -0,31 1,24 0,70 4 0,40944

Kota Malang 0,08 0,96 1,36 4 0,57163

Kota Probolinggo -0,32 0,51 0,65 4 0,44942

Kota Pasuruan -0,30 0,36 0,87 4 0,52716

Kota Mojokerto -0,33 1,20 0,95 4 0,34038

Kota Madiun -0,17 1,12 1,24 4 0,42778

Kota Surabaya 2,06 0,58 1,46 1 0,00000

Kota Batu -0,27 0,80 0,43 4 0,46599


(3)

Lampiran 13

Nilai Statistik Deskriptif Skor Faktor Pembangunan Ekonomi, Sumberdaya Manusia dan Prasarana

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std.

Deviation

Skor fe 38 -0,38 2,06 0,0000 0,51236

Skor sdm 38 -1,81 1,24 0,0000 0,81544

Skor fp 38 -0,97 1,46 0,0000 0,61712

Valid N (listwise) 38 Sumber: Hasil Pengolahan SPSS


(4)

Hasil Klasifikasi

Indikator Kelompok

Pembangunan 1 2 3 4 5

Ekonomi Sangat

Tinggi Sedang Sedang Sedang Sangat Tinggi

SDM Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tinggi

Prasarana Sangat

Tinggi Rendah Sedang Tinggi Tinggi

Peringkat I V IV III II

Kabupaten/

Kota

Surabaya Jember Pacitan Kota Blitar Sidoarjo

Kota Bondowoso Ponorogo Kota Malang Gresik

Situbondo Trenggalek Kota Probolinggo Kota Kediri

Probolinggo Tulungagung Kota Pasuruan

Pasuruan Blitar Kota Mojokerto

Bojonegoro Kediri Kota Madiun

Bangkalan Malang Kota Batu

Sampang Lumajang

Pamekasan Banyuwangi

Sumenep Mojokerto

Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Tuban Lamongan


(5)

Lampiran 15

Ringkasan

Rumusan Masalah Alat Analisis Temuan Kesimpulan

Bagaimana kinerja ekonomi, sdm, prasarana kab/kota di Jawa Timur?

AKU

Analisis Faktor

Dari masing-masing peubah dapat dibentuk skor faktor

Kinerja ekonomi,sdm dan prasarana berbeda antar kab/kota Bagaimana pengelompokan kab/kota berdasarkan peubah ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana? Analisis Gerombol

Kab/kota di Jawa Timur dapat dikelompokkan menjadi lima

Hasil Pengelompokan:  Kelompok 1

(1 daerah)  Kelompok 2

(10 daerah)  Kelompok 3

(17 daerah)  Kelompok 4

(7 daerah)  Kelompok 5

(3 daerah) Bagaimana karakteristik tiap kelompok? Selang Pengkategorian

Terdapat nilai sangat tinggi, tinggi, sedang, Rendah dan sangat rendah untuk tiap peubah pada masing-masing kelompok

Kategori Kelompok Kelompok 1,dengan

ciri: pembangunan ekonomi sangat tinggi, sdm tinggi, prasarana sangat tinggi

Kelompok 2, dengan ciri: pembangunan ekonomi sedang, sdm rendah, prasarana rendah

Kelompok 3, dengan ciri: pembangunan ekonomi, sdm dan prasarana sedang Kelompok 4, dengan

ciri: pembangunan ekonomi sedang, sdm tinggi dan prasarana tinggi

Kelompok 5, dengan ciri: pembangunan ekonomi sangat tinggi, sdm tinggi dan prasarana tinggi


(6)

Dalam mendukung keberhasilan program pembangunan nasional, pendekatan regional mempunyai kedudukan yang lebih dominan. Hal ini disebabkan karakteristik dari masing-masing daerah tidak sama. Permasalahan utama dalam pembangunan yang terus terjadi dan selalu diupayakan untuk terus dikurangi adalah masalah ketimpangan (unevenness) dan konsentrasi (concentration).

Pembangunan Jawa Timur mempunyai arah dan tujuan yang sejalan dengan pembangunan nasional. Provinsi yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota ini cukup berhasil dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Walaupun begitu, jika dilihat pembangunan antarkabupaten/kotanya, masih terdapat ketimpangan. Oleh karena itu adanya klasifikasi wilayah berdasarkan kinerja pembangunannya dapat dijadikan salah satu pedoman dalam merumuskan kebijakan pembangunan.

Dalam penelitian ini, kinerja pembangunan daerah dicerminkan oleh tiga peubah yaitu kinerja pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana yang masing-masing diukur dengan indikator-indikator yang sesuai. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang dikeluarkan oleh BPS. Analisis yang digunakan adalah Analisis Komponen Utama dan Analisis Faktor untuk meringkas indikator-indikator yang dimaksud. Tiga peubah yang dihasilkan kedua analisis tersebut, yaitu skor faktor ekonomi, skor faktor sumberdaya manusia, dan skor faktor prasarana selanjutnya digunakan untuk melakukan klasifikasi kabupaten/ kota dengan Analisis Cluster.

Analisis Cluster menghasilkan lima kelompok kabupaten/kota, yaitu: Kelompok 1 memiliki karakteristik kinerja ekonomi sangat tinggi, sumberdaya manusia tinggi, dan prasarana sangat tinggi beranggotakan 1 kota. Kinerja ekonomi sedang, sumberdaya manusia rendah dan prasarana rendah dimiliki oleh kelompok 2 dengan jumlah anggota 10 kabupaten. Kelompok 3 yang berjumlah 17 kabupaten bercirikan kinerja ekonomi, sumberdaya manusia dan prasarana sedang. Kelompok 4 yang beranggotakan 7 kota memiliki ciri kinerja ekonomi sedang, sumberdaya manusia tinggi dan prasarana tinggi. Sedangkan kelompok dengan karakteristik kinerja ekonomi sangat tinggi, sumberdaya manusia dan prasarana tinggi dimiliki kelompok 5 dengan jumlah anggota 3 kabupaten/kota. Berdasarkan ciri yang dimiliki, selanjutnya dapat dibuat peringkat. Peringkat I diduduki oleh Kelompok 1, disusul kelompok 5 di peringkat II. Peringkat III ditempati oleh Kelompok 4. Kelompok 3 berada di urutan ke IV. Sedangkan peringkat ke V diraih oleh kelompok 2.

Saran penulis yaitu pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia, dan prasarana pada setiap kabupaten/kota seyogyanya memperhatikan karakteristik masing-masing daerah. Hasil klasifikasi wilayah yang menggambarkan keunggulan ataupun kelemahan daerah bisa menjadi salah satu acuan.