Pewarisan Karakter Kualitatif Dan Kuantitatif Pada Persilangan Cabai Besar Dan Cabai Rawit Serta Ketahanannya Terhadap Penyakit Layu Fusarium

PEWARISAN KARAKTER KUALITATIF DAN
KUANTITATIF PADA PERSILANGAN CABAI BESAR DAN
CABAI RAWIT SERTA KETAHANANNYA TERHADAP
PENYAKIT LAYU FUSARIUM

SITI HAPSHOH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pewarisan Karakter
Kualitatif dan Kuantitatif pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit serta
Ketahanannya terhadap Penyakit Layu Fusarium adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Siti Hapshoh
NIM A253120091

RINGKASAN
SITI HAPSHOH. Pewarisan Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada
Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit serta Ketahanannya terhadap Penyakit
Layu Fusarium. Dibawah bimbingan YUDIWANTI WAHYU ENDRO
KUSUMO, MUHAMAD SYUKUR dan WIDODO
Peranan cabai saat ini selain sebagai tanaman konsumsi mulai mengarah
ke tanaman hias. Cabai hias masih memiliki rasa pedas seperti cabai konsumsi
tetapi jarang dikonsumsi karena terdapat aroma langu pada saat dikonsumsi.
Peluang inilah yang bisa dijadikan salah satu ide untuk mengembangkan tanaman
cabai hias sekaligus sebagai cabai konsumsi. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
memperoleh informasi keragaman genetik dari cabai besar, cabai rawit dan cabai
keriting serta ketahanannya terhadap layu fusarium, dan (2) memperoleh
informasi tentang pola pewarisan beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada

tanaman cabai yang berhubungan dengan kriteria cabai hias dan cabai yang
memiliki kualitas buah yang baik.
Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan. Percobaan pertama karakterisasi 24
genotipe cabai yang berasal dari jenis cabai besar, cabai rawit dan cabai keriting
serta uji ketahanannya terhadap layu Fusarium. Percobaan kedua adalah studi pola
pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif hasil persilangan antara cabai besar
dan cabai rawit. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa populasi yang
diamati memiliki keragaman tinggi. Hasil analisis gerombol menggunakan 34
peubah pada tingkat kemiripan 85% membagi genotipe cabai menjadi 6 kelompok.
Setiap jenis cabai mengelompok menjadi kelompok cabai rawit, cabai besar, dan
cabai keriting kecuali genotipe IPB C174, IPB C15, dan IPB C20. Hasil pengujian
ketahanan terhadap penyakit layu fusarium genotipe yang diuji berada pada
kisaran tahan hingga agak rentan. Genotipe yang tahan adalah IPB C4, IPB C111,
IPB C152, IPB C159, dan IPB C174 sedangkan genotipe yang agak rentan adalah
IPB C3, IPB C5, dan IPB C313.
Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa karakter pemendekan ruas
(shortened internode), orientasi buah dan warna antosianin pada tangkai anter
dikendalikan oleh satu gen sedangkan karakter warna antosianin pada anter
dikendalikan oleh dua gen. Nisbah Mendel 1:3 sesuai untuk karakter pemendekan
ruas dan orientasi buah ke atas yang menunjukkan bahwa karakter ini

dikendalikan oleh satu gen resesif sedangkan nisbah Mendel 3:1 sesuai untuk
karakter warna antosianin pada tangkai anter yang menunjukkan bahwa karakter
ini dikendalikan oleh satu gen dominan. Nisbah Mendel 13:3 sesuai untuk
karakter warna antosianin pada anter yang menunjukan bahwa karakter tersebut
dikendalikan oleh dua gen yang bekerja secara dominan dan resesif epistasis.
Model genetik aditif-dominan dengan interaksi aditif-aditif dan dominan-dominan
sesuai untuk semua karakter. Heritabilitas dalam arti luas pada karakter yang
diamati berada pada kisaran tinggi, sedangkan heritabilitas arti sempit berada pada
kisaran rendah-tinggi. Peran gen aditif lebih besar dibandingkan gen dominan
pada karakter panjang dan diameter buah sedangkan pada karakter tinggi tanaman
dan bobot per buah peran gen dominan lebih besar dibandingkan gen aditif.
Kata kunci: cabai hias, karakter kualitatif, karakter kuantitatif, pewarisan

SUMMARY
SITI HAPSHOH. Inheritance of Qualitative and Quantitative Characters in
Chili Pepper and Bird Pepper Crossing and its Resistance to Fusarium Wilt.
Supervised by YUDIWANTI WAHYU ENDRO KUSUMO, MUHAMAD
SYUKUR dan WIDODO.
Chili pepper has a function of consumption pepper this time began to shift
to be ornamental pepper. Ornamental pepper still have a spicy taste like

consumption pepper but rarely consumed because there is an unpleasant aroma
when consumed. This opportunity could be one idea to develop ornamental
pepper as well as consumption peppers. This study aims to (1) obtain information
about the genetic diversity of chili pepper, bird pepper and curly pepper also
resistance to Fusarium wilt, and (2) to obtain information about the pattern of
inheritance some characters of qualitative and quantitative in pepper associated
with criteria ornamental pepper and chili pepper that has a good fruit quality.
This study consisted of two experiments. The first experiment
characterization of 24 genotypes derived from chili peppers kinds chili pepper,
bird pepper and curly pepper also the test for resistance to Fusarium wilt. Then
proced with a second trial that studies patterns of inheritance of traits qualitative
and quantitative results of a breeding between chili pepper and bird pepper. The
first experimental results indicate that the observed population has a high
diversity. Results of analysis using 34 variables character at a rate of 85%
similarity genotype chili divide into 6 groups. Each type of clustered into groups
chili pepper, bird pepper and curly pepper except genotype IPB C174, IPB C15,
and IPB C20. Results of testing the resistance to Fusarium wilt disease genotypes
were tested in the range resistance-low susceptible. Resistant genotypes are IPB
C4, IPB C111, IPB C152, IPB C159, and IPB C174 while low susceptible
genotype is IPB C3, IPB C5, and IPB C313.

Results of the second experiment showed that the shortened internode
character, the orientation of the fruit and the anthocyanin color on anther stem
are controlled by one gene while at anther anthocyanin color character is
controlled by two genes. Mendel ratio shortened internode character and
orientation of fruit on 1:3 indicates that this character are controlled by a single
recessive gene Mendelian, while the ratio of the anthocyanin color on the stem
anther 3:1 indicates that this character is controlled by a single dominant gene.
Anthocyanin color characters on anther has a Mendelian ratio 13:3 shows that
the character is controlled by two genes that work in a dominant and recessive
epistasis. The additive-dominant genetic model with the interaction of additives
and dominant-dominant suitable for all characters. Heritability in the broad sense
on the characters observed in the range of high, whereas narrow sense
heritability in the range of low to high. The role of genes greater than the additive
dominant gene on the character length and diameter of the fruit, while the plant
height and weight per fruit dominant role of genes greater than additive gene.
Keywords: inheritance, ornamental pepper, qualitative character, quantitative
character

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEWARISAN KARAKTER KUALITATIF DAN
KUANTITATIF PADA PERSILANGAN CABAI BESAR DAN
CABAI RAWIT SERTA KETAHANANNYA TERHADAP
PENYAKIT LAYU FUSARIUM

SITI HAPSHOH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MSc Agr

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga tesis berjudul Pewarisan Karakter Kualitatif dan
Kuantitatif pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit serta Ketahanannya
terhadap Penyakit Layu Fusarium dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan tugas
akhir penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS, Prof Dr Muhamad Syukur, SP MSi dan Dr
Ir Widodo, MS selaku dosen pembimbing atas segala arahan, masukan,
kesabaran, dan motivasi yang telah diberikan selama ini

2. Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MSc Agr dan Dr Ani Kurniawati, SP MSi selaku
dosen penguji yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tesis ini
menjadi lebih baik
3. DIKTI atas beasiswa pendidikan yang telah diberikan melalui program
Beasiswa Unggulan 2012 dan Hibah Kompetensi 2014 atas nama M. Syukur
untuk dana penelitian
4. Kedua orang tua (Bapak Yunus dan Ibu Cartini) yang selalu berdoa dan
memberikan dukungan tiada henti, mamah mertua (Lilis Yunaningsih) dan
nenek (Karisah, Iwi Ruswi) yang menyayangi dan menyemangati tanpa lelah,
serta adik-adikku tersayang Siti sopiah, Siti Julfah Anissa dan Siti Sadiah
5. Suami tercinta Windu Purnomo, Anak-anakku tercinta Zara Tabita Kinanti
dan Zinedine Irhab Purnomo yang senantiasa memberi dukungan, semangat
dan kasih sayang yang berlimpah
6. Teman-teman Lab Pemuliaan Tanaman (Pak Undang, Kak Abdul, Mba Tia,
Kak Adi, Andra, Ana, Ntus), Teman-teman PBT 2013 (Dayah, Mba Yusnita,
Ami), Teman-teman PBT 2014 (Dea, Arin, Syafi’i), Anti, Ita, Ainun, Teh
Yeni, Kang Pudin, Mang Darwa, Bu Markah dan Bu Odeh atas segala
bantuannya selama ini
7. Rekan-rekan Program Studi Pemuliaan Tanaman, Sekolah Pascasarjana tahun
2012 atas dukungan dan kerjasama yang solid selama ini

8. Semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penelitian ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada umumnya.
Segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini merupakan
bukti ketidaksempuranan penulis semoga tidak mengurangi ilmu yang ingin
disampaikan.

Bogor, Januari 2016

Siti Hapshoh

i

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan

Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Cabai
Pemuliaan Tanaman Cabai di Indonesia
Penyakit Layu Fusarium
Komponen Ragam dan Heritabilitas
Karakter Kualitatif dan Karakter Kuantitatif
3 KERAGAMAN
GENETIK
24
GENOTIPE
CABAI
DAN
KETAHANANNYA TERHADAP LAYU FUSARIUM
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Bahan Tanaman
Pelaksanaan Percobaan
Pengamatan

Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Keragaan Karakter Kualitatif
Analisis Ragam
Ketahanan terhadap Penyakit Layu Fusarium
Analisis Gerombol
Simpulan
4 PEWARISAN KARAKTER KUALITATIF DAN KUANTITATIF PADA
PERSILANGAN CABAI BESAR DAN CABAI RAWIT
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Bahan Tanaman
Pelaksanaan Percobaan
Pengamatan
Analisis Data
Hasil dan Pembahasan
Pendugaan Nisbah Fenotipe
Keragaan Karakter Kuantitatif
Analisis Pewarisan Karakter Kuantitatif
Simpulan
5 PEMBAHASAN UMUM
6 SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

i
ii
iii
1
1
2
2
4
4
4
5
6
7
9
9
10
10
10
11
13
17
18
18
22
24
25
27
29
29
30
30
30
30
31
31
32
32
38
39
43
45
48
50
53

ii

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

12

13

14
15
16
17

Nisbah fenotipik frekuensi karakter resistensi tanaman terhadap
penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi
bersegregasi F2
Skoring gejala penyakit layu fusarium pada cabai
Skala ketahanan cabai terhadap layu fusarium
Keragaan karakter vegetatif pada 24 genotipe cabai
Keragaan karakter bunga dan buah pada 24 genotipe cabai
Keragaan karakter buah pada 24 genotipe cabai
Kuadrat tengah beberapa karakter vegetatif pada beberapa genotipe
cabai
Kuadrat tengah komponen hasil beberapa genotipe cabai
Nilai tengah beberapa karakter kuantitatif pada beberapa genotipe cabai
Skala ketahanan 24 genotipe cabai terhadap penyakit layu fusarium
Jumlah tanaman hasil pengamatan pada karakter shortened internode
dan orientasi buah cabai beberapa populasi hasil persilangan IPB C4 ×
IPB C174
Jumlah tanaman hasil pengamatan pada karakter warna antosianin anter
dan warna antosianin tangkai anter cabai beberapa populasi hasil
persilangan IPB C4 × IPB C174
Nilai X2hitung karakter shortened internode, orientasi buah, warna
antosianin anter dan warna antosianin tangkai anter cabai populasi
BCP1 (F1 × IPB C174) dan F2 (IPB C4 × IPB C174)
Uji pengaruh tetua betina populasi F1 dan F1R pada beberapa karakter
cabai
Komponen ragam dan heritabilitas beberapa karakter cabai
Uji kecocokan model genetik beberapa karakter cabai
Pendugaan komponen genetik beberapa karakter cabai

8
17
17
18
19
21
22
22
23
25

34

37

37
40
40
42
43

iii

DAFTAR GAMBAR
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13

14
15

16
17

Diagram alir penelitian pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif
pada persilangan cabai besar dan cabai rawit serta ketahanannya
terhadap layu fusarium
Daur hidup Fusarium oxysporum
Biakan Foc yang siap diinokulasikan
Proses inokulasi Foc
Genotipe cabai yang memiliki keunikan
Keragaman bentuk, ukuran dan warna buah mentah beberapa genotipe
cabai
Keadaan tanaman cabai 3 minggu setelah inokulasi
Dendogram 24 genotipe cabai berdasarkan ketidakmiripan
(dissimilarity) karakter kualitatif dan kuantitatif
Karakteristik genotipe tunggal cabai kelompok II, V, dan VI
Bagan persilangan dan model genetik untuk gen yang mengendalikan
karakter pemendekan ruas pada cabai hasil persilangan IPB C4 × IPB
C174
Fenotipe karakter pemendekan ruas (shortened internode) pada cabai
Bagan persilangan dan model genetik untuk gen yang mengendalikan
karakter orientasi buah pada cabai hasil persilangan IPB C4 × IPB C174
Bagan persilangan dan model genetik untuk gen yang mengendalikan
karakter warna antosianin anter pada cabai hasil persilangan IPB C4 ×
IPB C174
Keragaman warna antosianin anter, tangkai anter dan mahkota bunga
pada populasi F2 cabai
Bagan persilangan dan model genetik untuk gen yang mengendalikan
karakter warna antosianin tangkai anter pada cabai hasil persilangan
IPB C4 × IPB C174
Nilai tengah dan simpangan baku populasi P1, P2, F1, F2, BCP1 dan
BCP2 cabai
Sebaran populasi F2 (IPB C4 × IPB C174) cabai

3
6
12
13
20
20
25
26
27

33
34
35

36
36

37
39
41

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai adalah tanaman asli dari wilayah tropika dan subtropika. Tanaman
cabai termasuk famili Solanaceae, genus Capsicum. Capsicum annuum L.
merupakan salah satu spesies dari 20-30 spesies dalam genus Capsicum. Selain
Capsicum annuum spesies lain yang dibudidayakan adalah C. frutescens, C.
baccatum, C. pubescens, dan C. chinense. Capsicum annuum adalah spesies yang
paling banyak dibudidayakan dan paling penting secara ekonomis. Berdasarkan
karakter buahnya, terutama bentuk dan ukuran buah, C. annuum dapat
digolongkan dalam empat tipe yaitu cabai besar, keriting, rawit (hijau), dan
paprika (Syukur et al. 2012).
Pemuliaan cabai secara umum diarahkan untuk memperoleh cabai unggul
dengan karakter produktivitas tinggi, umur panen genjah, tahan terhadap serangan
hama dan penyakit, daya simpan buah lama, tingkat kepedasan tertentu, dan
kualitas buah sesuai selera konsumen (Syukur et al. 2012). Cabai yang memiliki
keunggulan kualitas buah yang sesuai selera konsumen dan tahan penyakit salah
satunya layu fusarium merupakan salah satu varietas yang diminati pasar saat ini
untuk cabai konsumsi.
Peranan cabai saat ini selain sebagai tanaman konsumsi mulai mengarah
ke tanaman hias, misalnya cabai yang memiliki warna buah yang berbeda pada
tingkat kematangan yang berbeda sangat diminati pecinta tanaman hias. Cabai
hias masih memiliki rasa pedas seperti cabai konsumsi tapi jarang dikonsumsi
karena terdapat aroma langu pada saat dikonsumsi. Peluang inilah yang dapat
dijadikan salah satu ide untuk mengembangkan tanaman cabai hias sekaligus
sebagai cabai konsumsi.
Modal awal dalam proses pemuliaan cabai adalah keragaman genetik.
Keragaman genetik dapat diperoleh melalui berbagai cara, antara lain introduksi,
mutasi, hibridisasi, dan ploidisasi. Menurut Syukur et al. (2010) keragaman
genetik yang luas untuk beberapa karakter pada populasi disebabkan latar
belakang genetik populasi yang berbeda. Pengetahuan tentang latar belakang
genetik populasi sangat penting untuk memulai seleksi. Yunianti et al. (2010)
menyatakan bahwa keragaman genetik yang luas pada karakter tertentu
menunjukkan bahwa karakter tersebut potensial diperbaiki karena lebih leluasa
diseleksi. Hal ini senada dengan Hasan et al. (2014) yang menyatakan bahwa
perbedaan genetik adalah dasar untuk seleksi yang efektif dalam populasi yang
ada atau populasi yang terbentuk dari hasil hibridisasi.
Perbaikan ketahanan terhadap penyakit layu fusarium dan kualitas
buahnya memerlukan informasi ketahanan maupun informasi karakter-karakter
tertentu yang menentukan tinggi rendahnya kualitas buah maupun hasil panen.
Informasi karakteristik setiap genotipe koleksi yang dimiliki secara rinci mutlak
diperlukan. Oleh karena itu proses karakterisasi genotipe di lapangan dilakukan.
Selain itu uji ketahanan koleksi genotipe yang dimiliki terhadap penyakit layu
fusarium perlu dilakukan untuk mendapatkan informasi ketahanan terhadap
penyakit tersebut.

2

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Memperoleh informasi keragaman genetik dari cabai besar, cabai rawit dan
cabai keriting serta ketahanannya terhadap layu fusarium
2. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan beberapa karakter kualitatif
dan kuantitatif pada tanaman cabai yang berhubungan dengan kriteria cabai
hias dan cabai yang memiliki kualitas buah yang baik

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan. Percobaan pertama yaitu
karakterisasi 24 genotipe cabai yang berasal dari jenis cabai besar, cabai rawit dan
cabai keriting serta uji ketahanannya terhadap layu fusarium. Tujuan dari
percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan faktor
pembeda antara beberapa jenis cabai yang digunakan serta ketahanannya terhadap
layu fusarium. Percobaan kedua yaitu studi pola pewarisan sifat karakter kualitatif
dan kuantitatif hasil persilangan antara cabai besar dan cabai rawit. Tujuan dari
percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi pewarisan karakter kualitatif
dan kuantitatif cabai yang dapat digunakan untuk menentukan cara seleksi pada
pemuliaan selanjutnya. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Koleksi isolat
dari daerah Blitar

Uji patogenisitas isolat
Fusarium oxysporum untuk
mendapatkan Foc virulen

Percobaan 2 :
Ketahanan 24 genotipe cabai
terhadap layu fusarium

Informasi ketahanan 24
genotipe cabai terhadap
layu fusarium

Plasma nutfah cabai koleksi
Lab. Dik Pemuliaan Tanaman

Percobaan 1 :
Karakterisasi 24 genotipe cabai

Keragaman genetik dari
cabai besar, cabai rawit
dan cabai keriting

Percobaan 3 :
Pendugaan parameter genetik enam
populasi dasar hasil persilangan
cabai besar dan cabai rawit

Informasi genetik pewarisan karakter kualitatif yang
berhubungan dengan cabai hias dan karakter kuantitatif
yang berhubungan dengan kualitas buah yang baik

Informasi pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif dan
ketahanan penyakit layu fusarium untuk pengembangan
cabai hias maupun cabai konsumsi yang unggul

Gambar 1. Diagram alir penelitian pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif
pada persilangan cabai besar dan cabai rawit serta ketahanannya
terhadap layu fusarium

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Cabai
Tanaman cabai termasuk famili Solanaceae, genus Capsicum. Capsicum
annuum L. merupakan salah satu spesies dari 20-30 spesies dalam genus
Capsicum. Selain Capsicum annuum spesies lain yang dibudidayakan adalah C.
frutescens, C. baccatum, C. pubescens, dan C. chinense. Berdasarkan karakter
buahnya, terutama bentuk dan ukuran buah, C. annum dapat digolongkan dalam
empat tipe yaitu cabai besar, keriting, rawit (hijau), dan paprika (Syukur et al.
2012). Capsicum merupakan tanaman diploid yang sebagian besar memiliki
jumlah kromosom 2n = 2x = 24, namun pada beberapa spesies liar memiliki
jumlah kromosom 2n = 2x = 26 (Bosland dan Votava 1999).
Cabai adalah tanaman herba, sebagian besar menjadi berkayu pada
pangkal batangnya. Cabai adalah tanaman setahun yang umumnya tumbuh tegak,
sangat bercabang, dan tinggi 0.5-1.5 m. Akar tunggang kuat dan dalam, umumnya
berkembang sempurna. Daunnya relatif halus berupa daun tunggal dan tipis.
Ukuran daun bervariasi dengan helaian daun lanset dan bulat telur lebar
(Rubatzky dan Yamaguchi 1997).
Bunga cabai berbentuk seperti lonceng yang merupakan bunga
hermaprodit dan bunga lengkap. Diameter bunga cabai berkisar antara 9-15 mm
dengan 5-6 helai mahkota dan 5-8 benang sari yang berwarna putih atau ungu.
Putik tanaman cabai berada di tengah-tengah dan tertutup oleh benang sari dengan
panjang 3.5-6.6 mm. Namun, dijumpai juga putik lebih panjang dari pada benang
sari. Bunga cabai memiliki 3 orientasi arah tumbuh yang berbeda, yaitu ke bawah,
intermediet, dan tegak ke atas (Bosland dan Votava 1999). Bunga cabai umumnya
merupakan bunga tunggal (kecuali pada spesies tertentu berbunga ganda, terletak
pada hampir setiap ruas (nodus). Bunga pertama terbentuk pada umur 23-31 hari
sesudah tanam (Syukur et al. 2012).
Warna buah cabai sangat bervariasi, yaitu: hijau, kuning, atau bahkan ungu
ketika muda dan kemudian berubah menjadi merah, jingga, atau campuran
bersamaan dengan meningkatnya umur buah. Karakteristik buah tidak pecah,
menggantung atau tegak dan berbiji banyak. Pada C. annuum buah seringkali
tumbuh tunggal pada setiap buku. Buah berongga karena kulit buah tumbuh lebih
cepat dari jaringan plasenta. Karakteristik biji C. annuum berbentuk pipih,
biasanya berwarna kuning pucat, bulat telur, panjang 3-5 mm (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997).

Pemuliaan Tanaman Cabai di Indonesia
Pemuliaan tanaman adalah suatu ilmu dan seni dalam merakit suatu
tanaman untuk kepentingan manusia. Metode pemuliaan suatu tanaman berbeda
antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Metode pemuliaan tanaman dibagi
menjadi metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri, pemuliaan tanaman
menyerbuk silang, pemuliaan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, dan
pemuliaan varietas hibrida (Sleper dan Poehlman 2006).

5

Cabai dikelompokan ke dalam tanaman menyerbuk sendiri. Hal ini karena
tanaman cabai memiliki persentase penyerbukan sendiri yang tinggi. Menurut
Sleper dan Poehlman (2006) tanaman menyerbuk sendiri umumnya adalah
tanaman yang memiliki tingkat penyerbukan silang alami yang rendah, yaitu 45%.
Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri umumnya lebih sering diarahkan
untuk merakit varietas bersari bebas. Namun, menurut Sujiprihati et al. (2007)
varietas-varietas cabai yang dihasilkan di Indonesia saat ini didominasi oleh
varietas hibrida bukan varietas bersari bebas. Sebanyak 80% varietas cabai yang
dilepas di Indonesia merupakan cabai hibrida. Salah satu penyebabnya diduga
karena varietas-varietas tersebut dapat memiliki nilai heterosis yang tinggi. Nilai
heterosis pada hasil persilangan dialel tanaman cabai dapat mencapai 63% dan
nilai heterobeltiosisnya dapat mencapai 44%.
Pemuliaan cabai diarahkan untuk memperoleh cabai unggul. Karakter
cabai unggul merupakan karakter-karakter yang mendukung hasil tinggi dan
kualitas buah prima. Karakter unggul tersebut diantaranya adalah produktivitas
tinggi, umur panen genjah, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, daya
simpan buah lama, tingkat kepedasan tertentu, dan kualitas buah sesuai selera
konsumen (Syukur et al. 2012).
Pemuliaan tanaman adalah kegiatan untuk memperbaiki atau merakit
tanaman dengan karakter yang baik secara kuantitatif maupun kulitatif. Salah satu
proses yang sangat penting dalam kegiatan ini adalah proses seleksi terhadap
karakter yang diharapkan baik oleh pemulia maupun oleh konsumen. Proses
seleksi ini dapat berjalan dengan baik apabila terdapat keragaman genetik yang
tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Crowder (1986) bahwa pemuliaan
tanaman akan berhasil jika di dalam populasi tersebut terdapat banyak variasi
genetik. Variasi genetik dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu koleksi,
introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi.

Penyakit Layu Fusarium
Review yang diadakan atas kerjasama dengan jurnal Molecular Plant
Pathology menempatkan Fusarium oxysporum pada urutan kelima dari top 10
fungi berdasarkan kepentingan secara keilmuan maupun secara ekonomi pada
skala dunia. Fusarium oxysporum memiliki inang yang sangat luas yang mampu
menyebabkan kehilangan hasil seperti pada tomat, kapas dan pisang (Dean et al.
2012).
Genus Fusarium adalah cendawan patogen tular tanah (soilborne) yang
menyebabkan penyakit tanaman. Fusarium oxysporum adalah penyebab utama
layu pada banyak spesies tanaman. F. oxysporum terdiri lebih dari 120 formae
specialis berdasarkan inang yang diinfeksi. Masing-masing dari mereka dapat
dibagi ke dalam ras fisiologis yang menunjukkan karakteristik pola virulen pada
varietas inang yang berbeda. Kebanyakan patogen spesifik untuk tanaman inang
tertentu contohnya Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici yang menyebabkan
tanaman layu pada tomat biasanya hanya menyerang tomat dan tidak memiliki
efek pada tanaman lainnya (Agrios 2005).

6

Cendawan ini dapat bertahan hidup di tanah dengan membentuk struktur
istirahat jika inang tidak ada. Namun, jika inangnya ada maka miselium dari spora
yang berkecambah melakukan penetrasi ke akar inang, memasuki sistem jaringan
tanaman (xylem) kemudian berkembangbiak dan menyebabkan kelayuan tanaman
(Agrios 2005). Gejala yang umum tampak adalah layu termasuk jaringan di
sekitar tulang daun memucat (vein clearing) dan daun merunduk ke bawah diikuti
dengan kekerdilan, penguningan pada daun paling bawah kemudian layu lebih
lanjut, menggugurkan daun dan akhirnya mati (Michielse dan Rep 2009). Secara
umum daur hidup F. oxysporum penyebab layu terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Daur hidup Fusarium oxysporum (Sumber : Agrios 2005)

Komponen Ragam dan Heritabilitas
Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam
fenotipenya (potensi suatu individu untuk mewariskan karakter tertentu pada
keturunnya). Seberapa besar keragaman fenotipe yang terwariskan diukur oleh
parameter yang disebut heritabilitas (Sujiprihati et al. 2003). Hubungan ini
menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari
genotipe. Sesuai dengan komponen ragam genetiknya heritabilitas dibedakan
menjadi dua yaitu heritabilitas dalam arti luas (broad-sense heritability) dan
heritabilitas dalam arti sempit (narrow-sense heritability). Heritabilitas dalam arti
luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dengan ragam fenotipe
(h2bs = σ2g/σ2p) sedangkan heritabilitas dalam arti sempit merupakan

7

perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2a/σ2p). Umumnya
heritabilitas arti sempit banyak mendapat perhatian karena pengaruh aditif dari
setiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya (Arif 2010).
Pada tanaman ada banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan
komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan cara antara
lain, perhitungan ragam turunan, regresi parent offspring dan dengan perhitungan
komponen ragam dari analisis ragam. Metode yang digunakan tergantung dari
populasi yang dimiliki oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai. Nilai
heritabilitas dikatakan rendah apabila kurang dari 20%, cukup tinggi pada 2050%, tinggi jika lebih dari 50%. Namun, nilai-nilai ini sangat tergantung dari
metode dan populasi yang digunakan (Sujiprihati et al. 2003)
Nilai heritabilitas sangat diperlukan dalam memilih karakter yang akan
dijadikan kriteria seleksi. Seleksi dapat dilakukan pada karakter daya hasil
langsung atau karakter yang mendukung daya hasil dengan nilai heritabilitas yang
tergolong sedang atau tinggi. Jika karakter daya hasil memiliki heritabilitas rendah
maka seleksi dilakukan secara tidak langsung melalui karakter yang erat
hubungan dengan daya hasil dan heritabilitas sedang tinggi (Arif 2010).
Nilai heritabilitas yang rendah menunjukkan bahwa keragaman yang
terjadi lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan faktor genetiknya,
sedangkan nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa keragaman yang
timbul lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan lingkungan. Kegiatan
seleksi karakter-karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi dapat dilakukan
pada generasi awal, sedangkan terhadap karakter-karakter dengan nilai
heritabilitas rendah sebaiknya dilakukan seleksi pada generasi lanjut agar gen-gen
aditifnya sudah terfiksasi (Sleper dan Poehlman 2006).

Karakter Kualitatif dan Karakter Kuantitatif
Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan
kelas atau jenis. Contoh karakter kualitatif adalah warna bunga, ketahanan
terhadap penyakit, bentuk buah dan lain-lain. Bentuk sebaran kualitatif adalah
tegas, gen pengendali karakter kualitatif berupa gen mayor, serta karakter
kualitatif sangat sedikit dipengaruhi oleh lingkungan (Arif 2010). Pengambilan
data pada karakter kualitatif dapat langsung dilakukan secara visual baik dengan
kontrol yang sudah distandarisasi maupun dengan skoring. Karakter kualitatif
lebih cenderung mengikuti rasio mendel (Mangoendidjojo 2003).
Tanaman pada generasi F2 akan mengalami segregasi sesuai dengan
hukum Mendel. Aksi dan interaksi gen yang berbeda akan membuat pola
segregasi berbeda. Tipe aksi gen dapat dibedakan menjadi dua yaitu interaksi
antar alel pada lokus yang berbeda (interlokus) dan interaksi antar alel pada lokus
yang sama (intralokus) (Arif 2010). Pola segregasi pada populasi F2
menghasilkan nisbah fenotipe yang berbeda sesuai dengan aksi gen yang terjadi.
Tabel 1 memperlihatkan contoh nisbah fenotipe karakter kualitatif resistensi
tanaman terhadap penyakit yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi
bersegregasi F2.
Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan
dari segi nilai ukuran bukan jenisnya. Contohnya karakter-karakter yang

8

berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen. Karakter kuantitatif
umumnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena
karakter-karakter ini dikendalikan oleh sejumlah gen dimana pengaruh masingmasing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil dibandingkan
pengaruh lingkungan, walaupun secara bersama-sama gen-gen tersebut dapat
mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan. Gen-gen yang
demikian disebut gen minor (Arif 2010). Pengambilan data terhadap karakter
kuantitatif memerlukan pengukuran (Mangoendijojo 2003).
Tabel 1. Nisbah fenotipik frekuensi karakter resistensi tanaman terhadap penyakit
yang dikendalikan oleh gen mayor dalam populasi bersegregasi F2
Resisten Rentan
Resisten
Rentan
Tipe Resistensi
sedang
sedang
(R)
(S)
(MR)
(MS)
1. Resistensi dikendalikan 1 pasang
gen
a. Dominan penuh
3
1
b. Resesif
1
3
2. Resistensi dikendalikan 2 pasang
gen
a. Dominan penuh pada kedua
9
3
3
1
lokus A dan B
b. Resesif epistasis
9
3
4
aa epistasis terhadap B dan b
c. Dominan epistasis
12
3
1
A epistasis terhadap B dan b
d. Dominan dan resesif epistasis
A epistasis terhadap B dan b;
13
3
bb epistasis terhadap A dan a
e. Duplikat resesif epistasis
aa epistasis ke B dan b; bb
9
7
epistasis ke A dan a
f. Duplikat dominan epistasis
A epistasis ke B dan b; B
15
1
epistasis ke A dan a
g. Interaksi duplikat
9
6
1
h. Interaksi komplementer
9
7
i. Interaksi kompleks
10
3
3
3. Resistensi dikendalikan 3 pasang
gen
Interaksi epistasis : A
37
27
B
45
19
C
55
9
D
27
9
9
19
Sumber : Griffith et al. (2006) dimodifikasi oleh Syukur (2007)

9

3 KERAGAMAN GENETIK 24 GENOTIPE CABAI DAN
KETAHANANNYA TERHADAP LAYU FUSARIUM
Abstrak
Keragaman genetik merupakan modal dasar yang digunakan dalam proses
pemuliaan tanaman cabai. Keragaman genetik yang luas memberikan peluang
kepada pemulia untuk melakukan seleksi sesuai dengan tujuan perakitan varietas
yang akan dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari
keragaman genetik pada 24 genotipe tanaman cabai dan ketahanannya terhadap
layu fusarium. Penelitian ini menggunakan 24 genotipe cabai yang berasal dari
jenis cabai rawit, besar, dan keriting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi yang diamati memiliki keragaman tinggi ditunjukan dengan hasil analisis
ragam seluruh karakter berpengaruh nyata pada semua peubah yang diamati.
Bobot buah per tanaman paling rendah adalah genotipe IPB C92 tetapi tidak
berbeda nyata dengan genotipe IPB C8, IPB C10, IPB C20, IPB C160, dan IPB
IPB C174 sedangkan yang paling tinggi adalah genotipe C143 tetapi tidak berbeda
nyata dengan genotipe IPB C5, IPB C37, IPB C152 dan IPB C313. Bobot buah
per tanaman merupakan salah satu karakter yang dijadikan sebagai pertimbangan
dalam perakitan varietas baru khususnya untuk cabai konsumsi. Genotipe IPB
C143, IPB C5, IPB C37, IPB C152 dan IPB C313 memiliki potensi untuk
dijadikan tetua. Namun, pada perakitan cabai hias karakter khusus dan unik lebih
diperhatikan seperti warna buah yang berwarna-warni pada genotipe IPB C92,
warna ungu pada beberapa bagian tanaman seperti pada genotipe IPB C20 dan
karakter ruas pendek yang membuat kesan buket bunga pada IPB C174 berpotensi
untuk dijadikan tetua dalam pemuliaan cabai hias. Hasil pengujian ketahanan
genotipe yang diuji berada pada kisaran tahan-agak rentan. Genotipe yang tahan
adalah IPB C4, IPB C111, IPB C152, IPB C159, dan IPB C174 sedangkan
genotipe yang agak rentan adalah IPB C3, IPB C5, dan IPB C313. Hasil analisis
gerombol genotipe terbagi menjadi 6 kelompok menggunakan 34 peubah pada
tingkat kemiripan 85%. Setiap jenis cabai mengelompok menjadi kelompok cabai
rawit, cabai besar, dan cabai keriting kecuali genotipe IPB C174, IPB C15, dan
IPB C20.
Kata kunci: cabai hias, cabai konsumsi, keragaman genetik, layu fusarium

Pendahuluan
Cabai adalah tanaman asli dari wilayah tropika dan subtropika. Capsicum
annuum adalah spesies yang paling banyak dibudidayakan dan paling penting
secara ekonomis (Rubatzky dan Yamaguchi 1997). Cabai di Indonesia merupakan
komoditas hortikultura unggulan dari jenis sayuran berdasarkan nilai ekonomis
dan strategis (Direktorat Jendral Hortikultura 2012).
Penyakit utama yang menyerang pertanaman cabai di daerah Sumatera
Barat adalah antraknosa 24.40% menyerang daun, ranting dan batang, penyakit
bercak daun 12.50%, rebah kecambah 1.60% dan layu 4.50%. Penyakit layu disini

10

merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum (Salim dan
Wahab 2003). Penyakit yang disebabkan oleh Fusarium spp. di daerah tropis
menjadi sangat signifikan dengan pertanian yang intensif, sistem produksi yang
tinggi dan genetik yang seragam. F. oxysporum dan F. solani adalah patogen
tanaman yang paling banyak ditemukan di daerah tropis. Cendawan ini hidup
secara saprofit di tanah dan menyebabkan penyakit layu pada tanaman. Penyakit
layu ini merupakan penyakit yang sangat merugikan secara ekonomi (Leslie dan
Summerell 2006).
Pengendalian terhadap penyakit layu fusarium telah banyak dilakukan dan
akan menjadi efektif serta berkelanjutan jika dilakukan dengan tepat dan ramah
lingkungan. Penggunaan varietas yang tahan terhadap penyakit merupakan salah
satu cara pengendalian yang diharapkan mampu menjaga lingkungan dari residu
fungisida yang berlebihan. Perakitan varietas yang tahan terhadap penyakit
memerlukan informasi ketahanan dari beberapa genotipe cabai untuk mengetahui
kendali genetik ketahanan penyakit pada tanaman
Keragaman genetik merupakan modal awal dalam kegiatan pemuliaan
tanaman. Keragaman genetik dapat diperoleh melalui berbagai cara, antara lain
introduksi, mutasi, hibridisasi, dan ploidisasi. Menurut Syukur et al. (2010)
keragaman genetik yang luas untuk beberapa karakter pada populasi disebabkan
latar belakang genetik populasi yang berbeda. Pengetahuan tentang latar belakang
genetik populasi sangat penting untuk memulai seleksi. Yunianti et al. (2010)
menyatakan bahwa keragaman genetik yang luas pada karakter tertentu
menunjukkan bahwa karakter tersebut potensial diperbaiki karena lebih leluasa
diseleksi. Hal ini senada dengan Hasan et al. (2014) yang menyatakan bahwa
perbedaan genetik adalah dasar untuk seleksi yang efektif dalam populasi yang
ada atau populasi yang terbentuk dari hasil hibridisasi.
Tujuan dari penelitin ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik dari
cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit melalui pengamatan karakter kualitatif
dan kuantitatif pada tanaman serta mengetahui tingkat ketahanan masing-masing
genotipe terhadap layu fusarium.

Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Percobaan karakterisasi di lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober
2013-Januari 2014 di Kebun Percobaan IPB Leuwikopo. Uji ketahanan bibit
terhadap layu Fusarium dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2015 di
Laboratorium Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura.
Persemaian bibit dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman Departemen
Agronomi dan Hortikultura.
Bahan Tanaman
Genotipe cabai yang digunakan untuk karakterisasi adalah 24 genotipe
cabai koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan
Hortikultura IPB yaitu IPB C3 (Cilibangi 1), IPB C4 (Cilibangi 2), IPB C5

11

(Cilibangi 3), IPB C8 (ICPN 7#3), IPB C10 (PBC 495), IPB C15 (0209-4), IPB
C18 (Tit Super), IPB C19 (Randu), IPB C20 (CA-MAZ), IPB C37 (Tit Segitiga),
IPB C92 (Brazil), IPB C111 (Cabai Keriting Tegar), IPB C120 (Kopay), IPB
C140 (Lembang 1), IPB C141 (Trisula), IPB C142 (Gelora), IPB C143
(Tombak), IPB C145 (Bara), IPB C152 (Tanjung 2), IPB C159 (Ferosa), IPB
C160 (Genie), IPB C174 (Thai Hot Peppers 5503), IPB C313 (Seloka IPB) dan
IPB C316 (SSP IPB). Isolat yang digunakan untuk inokulasi berasal dari Blitar.

Pelaksanaan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada saat bibit dipindahkan ke
lahan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) 1 faktor yaitu
genotipe cabai. Percobaan ini terdiri dari tiga kelompok dan masing-masing
kelompok menyatakan ulangan. Setiap kelompok terdiri dari 24 genotipe cabai
yang ditempatkan secara acak sehingga dalam percobaan ini terdapat 72 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 20 individu tanaman sehingga
keseluruhan percobaan terdiri dari 1440 individu tanaman.
Percobaan dibagi menjadi dua kegiatan terpisah yaitu penanaman di lahan
untuk keperluan karakterisasi dan pengujian ketahanan bibit terhadap layu
fusarium di laboratorium. Percobaan pertama yaitu karakterisasi diawali dengan
kegiatan penyemaian. Media yang digunakan untuk persemaian benih cabai
adalah media tanam komersial. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi dan
sore hari. Pemenuhan kebutuhan nutrisi tanaman di persemaian dengan pemberian
pupuk daun dosis 1 g l-1 dan NPK 16:16:16 5 g l-1 setiap 1 kali seminggu.
Pengendalian serangan kutu daun, thrips dan tungau dengan insektisida dan
akarisida 2 kali seminggu dengan dosis masing-masing 1 g l-1 jika terlihat gejala
serangan hama dan penyakit pada persemaian.
Kegiatan pengolahan lahan dan pembuatan bedengan dilakukan bersamaan
pada saat melakukan kegiatan penyemaian. Setelah dilakukan pengolahan lahan
dan pembuatan bedengan, maka dilakukan pemasangan mulsa. Penanaman
dilakukan setelah bibit cabai berumur 35 hari setelah semai (HSS) atau minimal
sudah memiliki empat helai daun dewasa. Penanaman (transplanting) dilakukan
pada sore hari dengan jumlah tanaman satu tanaman per lubang tanam. Setelah
dilakukan penanam, dilakukan pemasangan ajir pada dekat lubang tanam.
Penyulaman bibit dilakukan satu minggu setelah tanam.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, pemupukan,
pemberian pestisida, pewiwilan tunas air, pembumbunan, dan penyiangan gulma.
Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari jika tidak terjadi hujan. Pemupukan
dilakukan setiap satu minggu sekali satu minggu setelah tanam (1 MST) dengan
menggunakan pupuk NPK dengan dosis 10 g l-1 sebanyak 250 ml tanaman-1.
Penyemprotan pestisida akan dilakukan 2 minggu sekali dengan menggunakan
fungisida berbahan aktif mankozeb 80% atau propineb dengan dosis 2 g l-1,
insektisida yang digunakan berbahan aktif prefenofos dengan dosis 2 ml l-1 dan
akarisida dengan dosis 2 cc l-1. Pengendalian gulma akan dilakukan secara
manual. Pewiwilan tunas air dan pembumbunan dilakukan agar tanaman dapat
tumbuh optimal. Kegiatan pemanenan akan dilakukan pada saat cabai telah

12

mencapai tingkat kematangan 75%. Pemanenan akan dilakukan setiap minggu
selama 8 minggu.
Percobaan kedua yaitu ketahanan terhadap layu Fusarium diawali dengan
inokulasi bibit dengan inokulum Foc. Kegiatan sebelum inokulasi adalah
penyiapan inokulum Foc. Penyiapan inokulum Foc diawali dengan isolasi
kemudian perbanyakan. Isolasi dilakukan pada isolat yang berasal dari Blitar.
Batang tanaman yang menunjukkan gejala layu fusarium diambil dari lapangan
kemudian dipotong akarnya dan dibersihkan. Proses isolasi dilakukan di dalam
laminar. Pangkal batang yang sudah bersih dilap dengan alkohol 70% kemudian
diiris tipis dengan menggunakan cutter yang steril. Media tanaman yang
digunakan adalah potato dextrose agar (PDA) ditambahkan dengan asam laktat
20% 2 tetes setiap petridish. Irisan batang yang sudah steril ditanam ke petridish
sebanyak 3 irisan dalam satu petridish. Petridish yang sudah berisi batang yang
menunjukkan gejala kecoklatan diinkubasi selama 7 hari untuk memastikan yang
tumbuh di media adalah Foc. Setelah mendapatkan Foc yang tumbuh maka
dimurnikan agar biakan hanya Foc saja dengan cara dipindahkan ke petridish lain.
Pengamatan mikroskopis diperlukan untuk memastikan bahwa cendawan itu
adalah Foc.

1
(a)

2

(b)

Gambar 3. Biakan Foc yang siap diinokulasikan : (a) biakan Foc pada media
PDA; (b) bentuk mikroskopis Foc (1.makrokonidia; 2.mikrokonidia)
Setelah mendapatkan biakan Foc maka dilakukan penyiapan suspensi
inokulum untuk proses inokulasi pada bibit. Koleksi biakan murni Foc yang
dimurnikan berumur minimal 1 minggu pada media PDA atau sudah terlihat
penuh pada petridish seperti pada Gambar 3 dicampur dengan air steril sebanyak
± 200 ml untuk mendapatkan suspensi konidia dengan konsentrasi 1×106 konidia
ml-1. Pengukuran konsentrasi konidia dilakukan dengan alat bantu
haemocytometer.
Proses inokulasi Foc dilakukan pada bibit yang berumur 21 hari. Bibit
dilukai bagian akarnya agar memberikan jalan masuknya konidia Foc pada
tanaman dengan menggunakan gunting steril. Setelah dilukai bibit direndam ke
dalam inokulum yang sudah dipersiapkan selama ± 20 jam seperti pada Gambar 4.
Bibit yang telah diinokulasi dipindahkan ke dalam tray besar yang berisi media
komersial steril dan ditempatkan di tempat dengan suhu 25 ± 3° C.

13

(b)

(a)

Gambar 4. Proses inokulasi Foc : (a) bibit yang telah dilukai direndam dalam
inokulum Foc; (b) akar terendam dalam inokulum Foc

Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada karakter kualitatif dan karakter kuantitatif.
Pengamatan kualitatif berdasarkan skoring menurut IPGRI (1995) yang dilakukan
pada karakter sebagai berikut.
1 Warna batang : 1 hijau; 2 hijau dengan garis ungu; 3 ungu; 4 lainnya
2 Warna buku : 1 hijau; 3 ungu muda; 5 ungu; 7 ungu tua
3 Bulu batang : 3 jarang; 5 sedang; 7 rapat

3 jarang
5 sedang
7 rapat
4 Tipe pertumbuhan tanaman : 3 prostate; 5 intermediate; 7 erect; 9 lainnya

3 prostate

7 erect

5 intermediate

14

5
6
7
8

Tipe percabangan : 3 jarang; 5 sedang; 7 rapat
Tunas air : 3 jarang; 5 sedang; 7 rapat
Kerapatan daun : 3 jarang; 5 sedang; 7 rapat
Warna daun : 1 kuning; 2 hijau muda; 3 hijau; 4 hijau tua; 5 ungu muda; 6
ungu; 7 variegata; 8 lainnya
9 Bulu daun : 3 jarang; 5 sedang; 7 rapat

3 jarang
5 sedang
7 rapat
10 Posisi bunga : 3 pendant; 5 intermediate; 7 erect

3 pendant
5 intermediate
7 erect
11 Warna mahkota : 1 putih; 2 kuning muda; 3 kuning; 4 kuning kehijauan; 5
ungu dengan dasar putih; 6 putih dengan dasar ungu; 7 putih dengan tepi
ungu; 8 ungu; 9 lainnya
12 Warna semburat mahkota : 1 putih; 2 kuning; 3 hijau kekuningan; 4 hijau;
5 ungu; 6 lainnya
13 Warna anter : 1 putih; 2 kuning; 3 agak biru; 4 biru; 5 ungu; 6 lainnya
14 Warna tangkai sari : 1 putih; 2 kuning; 3 hijau; 4 biru; 5 ungu muda; 6
ungu; 7 lainnya
15 Posisi stigma : 3 lebih pendek; 5 sama tinggi; 7 lebih tinggi
16 Pigmen kelopak : 0 tidak ada; 1 ada
17 Bentuk tipe kelopak : 1 entire; 2 intermediate; 3 dentate; 4 lainnya

1 entire
2 intermediate
18 Bercak/garis antosianin : 0 tidak ada; 1 ada

3 dentate

Pengamatan pada buah berdasarkan Naktuinbouw (2010) dan EAPVPF
(2012) sebagai berikut.
1 Warna buah sebelum matang : 1 putih; 2 kuning; 3 hijau; 4 ungu
2 Orientasi buah : 1 erect; 2 horizontal; 3 drooping
3 Panjang buah : 1 very short; 3 short; 5 medium; 7 long; 9 very long

15

4 Twisting : 1 tidak ada; 9 ada

ada

tidak ada

5 Bentuk buah longitudinal : 1 oblate; 2 circular; 3 cordate; 4 square; 5
rectangular; 6 trapezoidal; 7 moderatly triangular; 8 narrowly triangular;
9 hornshaped; 10 linear

1: oblate

2: circular

4: square

5: rectangular

3: cordate

6: trapezoidal

10: linear

7: moderatly triangular

9: horn shaped

8: narrowly triangular

6 Lekukan pangkal buah dan selain pangkal : 1 tidak ada atau sangat lemah;
3 lemah; 5 medium; 7 kuat; 9 sangat kuat

tidak ada/sangat lemah

lemah

medium

kuat

sangat kuat

7 Bentuk ujung buah : 1 acuted; 3 moderatly acuted; 5 rounded; 7 moderatly
depressed; 9 very depressed

1 acuted

3 moderatly acuted

5 rounded

7 moderatly depressed

9 very depressed

16

8 Glossiness : 3 lemah; 5 medium, 7 kuat
9 Lekukan kelopak : 1 tidak ada; 9 ada

ada

tidak ada

10 Kedalaman lekukan : 3 shallow; 5 medium; 7 depth

11 Jumlah lokul : 1 dominan dua; 3 dominan tiga; 5 dominan empat atau lebih

dominan dua

dominan tiga

dominan empat
atau lebih

12 Shortened internode : 1 tidak ada; 9 ada
Pengamatan kuantitatif yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Umur berbunga dihitung ketika 50% dari tanaman setiap genotipe
berbunga
2. Panjang buah (cm), diukur 10 buah pada panen kedua
3. Diameter buah (cm) pada bagian buah yang paling besar, diukur 10 buah
pada panen kedua
4. Bobot per buah (gram), ditimbang 10 buah pada panen kedua
5. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan tanah sampai titik tumbuh
tertinggi, pada 10 tanaman contoh
6. Tinggi dikotomus (cm), diukur dari permukaan tanah sampai titik cabang
pertama, pada 10 tanaman contoh
7. Bobot buah per tanaman (gram), buah siap panen ditimbang, pada 10
tanaman contoh selama 10 minggu
8. Tebal kulit buah, diukur 10 buah pada panen kedua

17

Pengamatan ketahanan penyakit menggunakan skoring penyakit untuk
mengetahui tingkat keparahan serangan dan pengamatan insidensi penyakit.
Setelah itu dikelompokan ke dalam kelas ketahanan. Skoring penyakit ditentukan
berdasarkan Tabel 2 dan skala ketahanan penyakit berdasarkan Tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 2. Skoring gejala penyakit layu fusarium pada cabai
Skor
Keadaan tanaman
Tanaman sehat tidak menampakkan gejala layu maupun daun
0
menguning
1
Daun mengalami gejala layu atau menguning 40% dari tajuk tanaman
Seluruh daun mengalami gejala layu atau menguning atau tanaman
4
mati
Tabel 3. Skala ketahanan cabai terhadap layu fusarium
Keparahan Penyakit
Skala ketahanan
0%
Tahan
0%