LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK TAHUN 1998 2004

(1)

LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA

MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK

TAHUN 1998-2004

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Sejarah

Oleh: IBNU MAJAH NIM 3111411014

JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO :

―Bersyukurlah pada yang Maha Kuasa, hargailah orang-orang yang menyayangimu dan selalu ada setia di sisimu, siapa pun jangan kau pernah sakiti dalam pencarian jati dirimu dan semua yang kau impikan, tegarlah Sang Pemimpi‖ – GIGI

The best feeling in the world is to know that our parents are

smilling because of us”HITAM PUTIH

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Ibu, Bapak, dan Kakak-kakakku.

2. Sahabat-sahabatku; Ulin, Nadlifa, Fajar, Zaka, Ucup, dan Ifa.

3. Teman-teman MUSE 2011. 4. Almamater Unnes.


(6)

vi

Majah, Ibnu. 2015. Laweyan Dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004. Skripsi. Jurusan Sejarah. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Romadi, S.Pd., M.Hum.

Kata Kunci: Laweyan, Batik, Wisata, Dinamika Sosial, Ekonomi, Budaya

Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Unik karena kawasan tersebut merupakan kawasan tempat para saudagar tinggal, secara spesifik mereka adalah para saudagar batik. Laweyan sudah ada dan berkembang sebagai sentra industri benang sejak abad XV pada masa kejayaan Kerajaan Pajang, lalu kawasan tersebut semakin terkenal dan mengalami kejayaan sebagai pusat perdagangan batik pada awal abad XX. Oleh karena itu, sampai saat ini Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya. Seiring perjalanan waktu, para pengusaha batik Laweyan ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XV sampai masa kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang.

Dalam perkembangan tersebut, Laweyan mengalami berbagai dinamika dalam kehidupan masyarakat. Pascaketerpurukan akibat masuknya teknologi batik

printing tahun 1970, Laweyan kembali memasuki masa sulit akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Setelah itu, pada era awal Reformasi kondisi Laweyan berangsur-angsur kembali membaik. Masyarakat kembali bangkit, hingga pada tahun 2004 Kawasan Laweyan sukses dideklarasikan sebagai kawasan wisata.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan; (2) untuk mengetahui dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan pada masa krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata; (3) untuk mengetahui latar belakang penetapan Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola secara terpadu oleh forum masyarakat pada tahun 2004.

Metode Penelitian yang digunakan berupa metode historis, yang terdiri dari lima tahap, yaitu penentuan topik, heuristik (mengumpulkan sumber-sumber sejarah); kritik sumber (penilaian kebenaran sumber); interpretasi (mewujudkan rangkaian bermakna dari fakta sejarah); dan historiografi (penulisan sejarah).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Laweyan telah ada sejak masa Kerajaan Pajang sekitar abad XV, dan terkenal sebagai kawasan sentra lawe (kain bahan pakaian). Kemudian pada awal abad XX Laweyan mengalami perkembangan pesat hingga mengalami masa kejayaan sebagai kawasan perdagangan batik, yang berakibat pada profesi masyarakat Laweyan yang mayoritas menjadi pedagang batik. Dalam kehidupan sosial, terdapat


(7)

kelompok-vii

Kondisi perekonomian berangsur-angsur kembali membaik, dengan tumbuhnya jenis-jenis usaha baru di Laweyan. Masyarakat Laweyan juga menjadi lebih terbuka, setelah sebelumnya terkenal sebagai kelompok masyarakat yang tertutup. Di samping itu, Laweyan juga mulai kembali melestarikan berbagai tradisi kebudayaan setelah sebelumnya hampir hilang. Kondisi tersebut semakin berkembang setelah terbentuknya Laweyan sebagai kawasan wisata pada tahun 2004. Pembentukan tersebut bermula dari keprihatinan para pengusaha dan tokoh masyarakat Laweyan terhadap potensi Laweyan. Kemudian terbentuklah sebuah forum yang bertugas mengelola Laweyan sebagai kawasan wisata. Pascadeklarasi Kampoeng Batik Laweyan pada 24 Oktober 2004, forum tersebut juga resmi menjadi forum pengelola kawasan wisata yang disebut Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL).

Pengembangan Laweyan sebagai kawasan wisata mengacu pada tiga aspek, yaitu (1) sejarah, bangunan, dan lingkungan; (2) industri batik dan industri lainnya; (3) sosial, seni, dan budaya. Pengembangan tersebut memberikan berbagai dampak pada kehidupan masyarakat di dalam dan di luar Laweyan, serta pemerintah Kota Surakarta.


(8)

viii

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah mengaruniakan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―LAWEYAN DALAM PERIODE KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK TAHUN 1998-2004‖.

Adapun tujuan skripsi ini disusun sebagai bentuk laporan tugas akhir atas hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Penulis di Kampung Batik Laweyan Surakarta, guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa tanpa pertolongan dari berbagai pihak, penulisan dan penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Oleh karenanya, pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., selaku Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu dengan segala kebijakannya.

2. Dr. Subagyo, M.Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

3. Arif Purnomo, S.Pd., S.S., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan motivasi yang sangat membangun untuk penyelesaian skripsi ini.


(9)

ix

dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Pemerintah Republik Indonesia lewat Beasiswa Bidikmisi, yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi.

6. Pemerintah Kota Surakarta, yang telah memberikan izin penelitian.

7. Yuyuk Yuniman, S.E., selaku Lurah Laweyan Surakarta beserta perangkat-perangkatnya, yang telah memberikan bantuan serta informasi mengenai data yang dibutuhkan Penulis dalam penelitian.

8. Pengurus Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), yang turut membantu serta menjadi informan bagi Penulis dalam penelitian.

9. Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta yang telah bersedia menjadi informan dalam pelaksanaan penelitian.

10.Segenap dosen dan karyawan pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmunya. 11.Seluruh staf dan karyawan Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta,

BPS Provinsi Jawa Tengah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta, Monumen Pers Nasional Kota Surakarta, Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Kota Surakarta, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surakarta tempat penulis mendapatkan data-data informasi.


(10)

x

13.Adinda Ulin, Nadlifa, Fajar, Zaka, Ucup, dan Ifa, terima kasih atas segala keceriaan yang telah kalian ciptakan.

14.Teman-teman Ilmu Sejarah 2011 (Gita, Ardi, Sasmi, Azizah, Dion, Sena, Caesar, Bebet, Kadek, Diah, Anis, Jundi, Adi, Inggrid, Vebio, Yasir, Kahfi, Susi, Rio, Rizki, Yacobus, Heri, Dita, Martha, Faizal, Yusi, Galih, Angghi, Bangkit, Bayu, dan Rohmad), yang hampir empat tahun selalu bersama, terima kasih atas dukungan dan motivasinya.

15.Keluarga besar Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Unnes yang telah memberikan banyak hal bermanfaat pada Penulis.

16.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya atas segala kebaikan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Harapan Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Semarang, April 2015


(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

SARI ... vi

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan ... 8

D. Manfaat ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Ruang Lingkup ... 24

G. Metode Penelitian ... 26

H. Sistematika Penulisan Skripsi ... 35

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KAMPOENG BATIK LAWEYAN SURAKARTA ... 37

A. Kondisi Geografis Kampoeng Batik Laweyan ... 37

B. Kondisi Demografis Kampoeng Batik Laweyan ... 41

C. Sejarah Singkat Kampoeng Batik Laweyan ... 51

D. Kondisi Perekonomian Masyarakat Laweyan ... 57

E. Kondisi Sosial Masyarakat Laweyan ... 60

F. Kondisi Budaya Masyarakat Laweyan ... 64

G. Kondisi Politik Pemerintahan Masyarakat Laweyan ... 67

BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA MASYARAKAT KAMPOENG BATIK LAWEYAN PADA MASA KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA... 70

A. Dinamika Kehidupan Masyarakat Laweyan ... 70

B. Kondisi Laweyan Pada Periode Krisis Ekonomi Tahun 1997 ... 71

C. Kehidupan Masyarakat Laweyan Pascakrisis ... 82

D. Dinamika Kebudayaan Pada Masyarakat Laweyan Pascakrisis ... 89


(12)

xii

C. Objek Wisata Kampoeng Batik Laweyan ... 119

D. Pengaruh Kampoeng Batik Laweyan Pada Kehidupan Masyarakat ... 124

E. Peran Pemerintah Terhadap Perkembangan Kampoeng Batik Laweyan ... 129

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 133

A. Simpulan ... 133

B. Saran... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 137


(13)

xiii

Tabel 1. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Profesi ... 43

Tabel 2. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Agama ... 46

Tabel 3. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Tingkat Pendidikan ... 47

Tabel 4. Jumlah Penduduk Laweyan Berdasar Tahapan Kesejahteraan ... 49

Tabel 5. Jumlah Keluarga Laweyan Berdasar Tahapan Kesejahteraan Tahun 1997 ... 79


(14)

xiv

Gambar 1. Skema Mekanisme Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan ... 118

Gambar 2. Foto Sarjono Siswoharjono. ... 166

Gambar 3. Foto bersama H. Achmad Sulaiman ... 166

Gambar 4. Foto bersama Harun Muryadi ... 166

Gambar 5. Foto bersama Yuyuk Yuniman ... 166

Gambar 6. Foto bersama Eko Margiyanto ... 167

Gambar 7. Foto bersama Arif Budiman Effendi ... 167

Gambar 8. Foto bersama M. Aziz Fathony ... 167

Gambar 9. Papan Kota Surakarta ... 176

Gambar 10. Peta Kampoeng Batik Laweyan Surakarta ... 176

Gambar 11. Gapura masuk kawasan Laweyan ... 177

Gambar 12. Jalan di antara dua benteng di Laweyan... 177

Gambar 13. Jalan di Laweyan tahun 2004 ... 177

Gambar 14. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2015... 177

Gambar 15. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2001... 177

Gambar 16. Langgar Merdeka tahun 2006 ... 177

Gambar 17. Masjid Laweyan tahun 2004 ... 178

Gambar 18. Masjid Al Ma’moer Laweyan ... 178

Gambar 19. Bungker Laweyan ... 178

Gambar 20. Pengajian warga Laweyan tahun 2008 ... 178

Gambar 21. Kesenian Keroncong di Laweyan ... 178


(15)

xv

Lampiran 1. Data Statistik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta Tahun

1997-2004 ... 142

Lampiran 2. Data Pertumbuhan Unit Industri Batik Laweyan ... 144

Lampiran 3. Indikator Keluarga Sejahtera ... 146

Lampiran 4. Struktur Kepengurusan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) ... 147

Lampiran 5. Rata-rata Harga 9 Bahan Pokok di Surakarta Tahun 1997 ... 148

Lampiran 6. SK Penetapan Laweyan Sebagai Kawasan Wisata... 149

Lampiran 7. SK Penetapan Laweyan Sebagai Kawasan Cagar Budaya ... 150

Lampiran 8. Pedoman Wawancara ... 159

Lampiran 9. Data Narasumber ... 164

Lampiran 10. Foto-foto Narasumber ... 166

Lampiran 11. Arsip Koran ... 168


(16)

1

A.Latar Belakang Masalah

Laweyan merupakan suatu kawasan sentra industri batik yang unik, spesifik dan bersejarah. Laweyan juga merupakan sebuah kampung para saudagar sekaligus pusat perdagangan industri batik yang mulai tumbuh pada awal abad XV. Jiwa entrepreneurship yang dimiliki masyarakat Laweyan telah mengantar mereka pada masa kejayaan ekonomi batik dalam abad tersebut (Baidi, 2006: 241). Kesuksesan dalam bidang ekonomi ternyata memberikan dampak terhadap predikat yang disandang. Oleh karena itu Kampung Laweyan identik dengan kampung para saudagar batik. Akibatnya, corak kehidupan serta orientasi nilai masyarakat Laweyan berbeda dengan masyarakat Surakarta pada umumnya (Baidi, 2006: 242).

Dalam babad Surakarta disebutkan secara global, Laweyan berasal dari kata lawe, yang berarti benang yang dipintal. Konon sejak masa sebelum Dinasti Mataram Islam, kawasan ini memang sudah dikenal sebagai daerah para saudagar batik. Lantas muncul Panembahan Senapati cucu dari Ki Ageng Pemanahan yang masa mudanya mempunyai julukan Ngabehi Loring Pasar, yang banyak menandai artefak-artefak atau situs kawasan sejarah yang ditinggalkannya (Wawasan, Minggu 8 Agustus 2004).

Pada awal abad ke-20 terjadi gerakan-gerakan sosial di Surakarta yang telah memberi harapan bagi masyarakat bawah. Salah satunya terjadi di


(17)

Laweyan. Laweyan, menurut Kuntowijoyo (2004: 74) adalah kemantren

(onder distrik) dalam distrik kota Surakarta yang terletak di bagian paling barat. Kampung ini diberitakan sudah ada sejak zaman Pajang. Laweyan tercatat dalam tradisi lisan sebagai tempat pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan, dan tubuh mereka yang terhukum akan dilemparkan ke dalam sungai yang ada di Laweyan.

Pada zaman Pajang dan Kartasura rupanya Laweyan adalah batas timur kota raja, sedangkan pada zaman Surakarta adalah batas barat kota raja. Letak yang di pinggir ini ternyata mempunyai arti penting bagi pertumbuhan masyarakat dan budayanya. Rupanya Laweyan adalah masyarakat marginal dalam sistem sosial kerajaan-kerajaan Jawa, karena penduduknya adalah saudagar. Tidak seperti wong cilik pada umumnya, sebagai pedagang mereka tidak terikat dengan hubungan patrimonium berdasar pemilikan dan penguasaan tanah. Mereka terlepas dari sistem agro-managerial state, suatu keadaan yang memungkinkan mereka mengembangkan subkultur mereka sendiri. Pada awal abad ke-20 mereka sudah mempunyai industri perbatikan untuk konsumsi masyarakat, kegiatan yang semakin penting pada akhir abad ke-19 pada waktu mereka menjadi kepanjangan tangan dari perkembangan industri tekstil di Eropa. Kampung Laweyan juga membentuk komunitas sendiri, dengan saudagar sebagai pusat hierarki.

Dilihat dari segi sejarah, menurut Mlayadipuro (dalam Pratomo, 2006: 93), Laweyan dengan Pasar Laweyan dan Bandar Kabanaran-nya merupakan


(18)

pusat perdagangan dan penjualan bahan sandang (lawe) Keraton Pajang yang ramai dan strategis.

Dilihat dari segi sosial budaya masyarakatnya, Laweyan memiliki ciri yang khas. Menurut Priyatmono (2004: 44), di Laweyan terdapat beberapa kelompok sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Kelompok tersebut terdiri dari juragan (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alimulama) dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Selainitu, dikenal pula golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang perananpenting dalam menjalankan roda perdagangan batikyang biasa disebut dengan istilah mbok mase.

Kampung Laweyan tumbuh di tengah-tengah masyarakat birokrat keraton dan rakyat biasa. Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sebagai enclave society. Keberadaan masyarakat tersebut sangat berbeda dengan komunitas yang lebih besar di sekitarnya, sehingga keberadaan dan interaksi sosial demikian tertutup (Geertz, 1973; dalam Baidi, 2006: 242). Karena untuk mempertahankan komunitasnya, lebih banyak bergantung pada masyarakat Laweyan itu sendiri.

Sesuai dengan perjalanan waktu, maka para pengusaha batik Laweyan ikut berproses dari pertumbuhannya pada awal abad XV sampai masa kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebagai kampung yang memiliki karakteristik berbeda dengan kampung lain di sekitarnya, tentu saja memiliki proses perkembangan yang berbeda dengan kampung lain di sekitarnya (Nakamura, 1983; dalam Baidi, 2006: 242).


(19)

Profesi kerja para pengusaha batik Laweyan jelas menunjukkan bidang pekerjaan yang berbeda dengan lapangan pekerjaan masyarakat Surakarta pada umumnya. Bentuk mata pencaharian yang mereka miliki berada di luar kebiasaan masyarakat feodal, yang pada umumnya bekerja dalam lapangan pertanian atau pegawai birokrat keraton.

Dalam sebuah usaha perbatikan, menurut Kuntowijoyo (2004: 75-76) ada tertib ekonomi-sosial mulai dari pemilik sampai kuli. Gejala yang paling menonjol adalah bagaimana mereka mengembangkan sendiri hierarki sosial itu, lengkap dengan gelar-gelarnya. Keluarga pemilik perusahaan menjadi puncak dari sistem status, dimulai dari kedudukan nenek sebagai mbok mase sepuh, kakek sebagai mas nganten sepuh, ibu sebagai mbok mase, ayah sebagai

mas nganten, anak perempuan sebagai mas rara, dan anak laki-laki sebagai

mas bagus. Saudagar Laweyan adalah elite dari komunitas tidak mendapat tempat dalam sistem status resmi kerajaan.

Oleh karena itu, Kampung Laweyan terasa sebagai pemukiman yang asing dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Masalah yang muncul dari kata ―asing‖ tersebut ternyata merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, terutama dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya. Khususnya pada masa awal Reformasi tahun 1998-2004. Di mana pada kurun waktu tersebut terjadi berbagai peristiwa di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta yang memiliki pengaruh besar pada keadaan masyarakat Laweyan baik dari sisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik pemerintahan.


(20)

Masa Reformasi adalah masa setelah runtuhnya pemerintahan masa Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 mei 1998. Sebelumnya telah terjadi berbagai gejolak dan kerusuhan di daerah-daerah Indonesia. Awal dari kerusuhan dapat dilihat dari adanya kebijaksanaan pembangunan yang walaupun meningkatkan perekonomian, tetapi juga meningkatkan perkembangan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) di Indonesia, sedangkan isu provokasi dalam hal ini hanya berperan sebagai pendorong agar kerusuhan timbul (Purnomo, 2001: 34). Kerusuhan Mei 1998 di DKI Jakarta mempunyai kaitan yang erat dengan isu SARA dan krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, termasuk kerusuhan yang terjadi di Kota Surakarta. Saat itu di Surakarta juga terjadi kerusuhan yang tidak kalah besar dengan kerusuhan yang terjadi di DKI Jakarta yang berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik pemerintahan masyarakat setempat, termasuk kondisi masyarakat Laweyan.

Amuk massa di Surakarta terjadi selama dua hari, yaitu pada hari Kamis dan Jumat tanggal 14 dan 15 Mei 1998. Dalam sebuah surat kabar diberitakan bahwa kerusuhan di Jakarta meluas, aksi pembakaran melanda Surakarta. Kerusuhan di Surakarta dan sekitar memuncak pada Kamis, 14 Mei 1998 dan diwarnai dengan berbagai aksi pembakaran pusat perdagangan, pos polisi, pusat perbelanjaan, kantor-kantor perbankan, dan kendaraan bermotor. Kawasan perumahan elit seperti Perumahan Solo Baru juga menjadi sasaran (Kedaulatan Rakyat, 15 Mei 1998 dalam Brata, 2006: 92). Ternyata Kota Surakarta sebagai salah satu pusat Kebudayaan Jawa—yang dianggap


(21)

representasi kebudayaan masyarakat Jawa—yang adiluhung, klasik, dan halus tidak mampu mencegah perilaku masyarakat bertindak brutal dengan melakukan amuk massa.

Pascakerusuhan yang terjadi pada tanggal 14-15 Mei 1998, Perekonomian Kota Surakarta menjadi semakin hancur karena hampir semua tempat yang biasa menjadi perputaran ekonomi hancur akibat amuk massa. Saputro (2009: 87) menjelaskan bahwa dengan tidak beroperasinya unit-unit usaha di Kota Surakarta pascakerusuhan semakin menjadikan kondisi perekonomian lumpuh total, para supplyer barang-barang kebutuhan sehari-hari belum berani memasok ke Kota Surakarta. Tidak hanya unit-unit usaha milik etnis Tionghoa, namun para pedagang di pasar tradisional pun belum berani keluar rumah untuk berjualan.

Brata (2006: 99) menjelaskan bahwa krisis yang terjadi di Indonesia tahun 1997-1998 diawali oleh merosotnya nilai rupiah terhadap US dollar, di mana 1 US dollar pernah setara dengan Rp 14.000. Padahal sebelum krisis itu terjadi nilai 1 US dollar biasanya setara dengan Rp 2.600 sampai Rp 2.900. Krisis yang membuat runyam perekonomian Indonesia ini karena fundamental ekonomi tidak dibangun, karena uang negara dikorupsi oleh penguasa.

Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka Penulis tertarik untuk meneliti kondisi dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi tahun 1998-2004. Pertumbuhan masyarakat Laweyan kiranya dapat dikategorikan sebagai kelompok menengah Jawa yang sedang menemukan bentuk dirinya sebagai


(22)

reformis, terutama dalam bidang etos kerja dan bentuk pekerjaan. Tentu terjadi dinamika yang menarik di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada saat terjadi krisis tahun 1997-1998, kemudian pada tahun-tahun berikutnya pun dinamika yang terjadi di wilayah tersebut usai krisis untuk kembali bangkit pun menarik untuk diteliti. Oleh sebab itu, maka Penulis mengambil judul ―Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004 (Kajian Historis Dinamika Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta Pada Masa Reformasi 1998-2004)‖.

B.Perumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta?

2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata?

3. Bagaimana latar belakang penetapan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola secara terpadu oleh forum masyarakat pada tahun 2004?


(23)

C.Tujuan

Sebuah penelitian akan efektif apabila sebelum penelitian berlangsung, penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan tersebut merupakan penunjuk arah penelitian agar tidak membias pada bidang lain. Sehubungan dengan ini maka berdasar perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kondisi secara umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.

2. Untuk mengetahui dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada periode krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata.

3. Untuk mengetahui latar belakang penetapan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang dikelola secara terpadu oleh forum masyarakat pada tahun 2004.

D.Manfaat

1. Memperkaya khasanah sejarah lokal dalam upaya melengkapi sejarah nasional.

2. Memberi wawasan dan pengetahuan kepada mahasiswa dan masyarakat umum tentang sejarah Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa awal Reformasi.


(24)

3. Dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti–peneliti lain yang meneliti tentang kondisi kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

4. Memperkenalkan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai salah satu kawasan wisata sentra industri batik sekaligus kawasan cagar budaya yang unik dan menarik, sehingga mampu menarik wisatawan, baik lokal maupun internasional.

5. Sebagai bahan pertimbangan dalam proses penyelesaian masalah akibat perubahan sosial dalam masyarakat di masa kini atau masa yang akan datang.

E.Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku dan hasil penelitian yang berkaitan dengan tema di atas. Salah satunya adalah penelitian skripsi yang berjudul ―Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000‖ oleh Fajar Kusumawardani (2006). Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mengetahui sejarah perkembangan batik di Laweyan, Surakarta tahun 1965-2000, (2) mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan industri batik tradisional di Laweyan, Surakarta dan (3) mengetahui sejarah perkembangan industri batik tradisional di Laweyan Surakarta tahun 1965-2000.


(25)

Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa industri batik di Laweyan mengalami perkembangan yang sangat pesat, akan tetapi lambat laun mengalami kemunduran. Kemunduran industri batik tradisional di Laweyan, Surakarta disebabkan oleh banyak faktor. Pemerintah turut berperan dari kebijakan dan iklim yang diciptakannya, di samping adanya faktor penyebab yang lain, seperti: munculnya batik printing dan industri tekstil besar, menurunnya peran koperasi, bahan baku maupun tenaga kerja.

Daerah Laweyan, Surakarta, merupakan salah satu pusat perbatikan, di daerah tersebut industri batik tradisional tumbuh menjadi industri kerajinan rakyat yang semakin pesat. Mayoritas masyarakat Laweyan bekerja dibidang perbatikan. Pada awalnya pekerjaan membatik masih dilakukan dengan cara tradisional, tetapi lambat laun mengalami perubahan menjadi semakin maju. Dalam kurun waktu tahun 1950-1960-an industri batik tradisional mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya semakin menunjukkan gejala kemunduran.

Penelitian ini relevan dengan skripsi yang Penulis ajukan, penulis akan membahas gejala-gejala kemunduran yang telah disebutkan oleh peneliti sebelumnya pada industri batik yang merupakan mata pencaharian utama di Laweyan melalui penelitian pada kondisi Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi 1998-2004. Kemunduran yang mungkin terjadi tersebut merupakan dinamika kehidupan masyarakat yang berpengaruh pada berbagai bidang.


(26)

Kemudian pada Penelitian Baidi (2006) yang berjudul ―Pertumbuhan Pengusaha Batik Laweyan Surakarta: Suatu Studi Sejarah Sosial Ekonomi‖ menunjukkan hasil sebagai berikut: Pertama,sesungguhnya apa yang terjadi didalam pertumbuhan ekonomi pengusaha batik di Laweyan pada awal abad 20, adalah keunikan dalam sejarah daerah itu. Agama Islam tidak dapat berkembang secara baik di sana ketika pertumbuhan ekonomi Laweyan mengalami pasang naik. Bahkan para pedagang Cina di Solo sebelum bangkit Serikat Islam memandang perlu menjalin hubungan dengan saudagar-saudagar Laweyan. Kedua, dengan mempertimbangkanbegitu besar peranan pengusaha Laweyan dalam menumbuhkan sektor ekonomi kota maka kehadiran mereka dalam masyarakat Solo, tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, trikhotomi Geertz, dalam melihat masyarakat Jawa atas pembagian abangan, santri dan priyayi dirasakan tidak cocok,terutama dalam masyarakat Solo. Sekiranya bila masih bisa disesuaikan dengan masyarakat di kota itu adalah, trikhotomi sosial berdasarkan struktur kelas: priyayi, pedagang/pengusaha dan wong cilik. Sementara abangan dan santri, adalah dikhotomi yang seharusnya terpisah dari pembagian di atas,karena klasifikasinya berdasarkan agama. Ketiga, dengan mempertimbangkan perubahan arus modernisasi yang begitu cepat menguasai kota Solo, lewat berbagai media, tak pelak lagi Laweyan masih akan menghadapi masalah tentang identitasnya.

Ketiga hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa daerah Laweyan merupakan daerah yang memiliki masyarakat yang beragam. Dalam keberagaman tersebut terdapat pro kontra atas pembagian kelompok


(27)

masyarakat di dalamnya. Kemudian kelompok tersebut mengikuti perkembangan zaman dan mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, masyarakat Laweyan masih tetap menghadapi masalah tentang identitasnya. Hasil penelitian ini relevan dengan skripsi yang Penulis ajukan untuk membahas dinamika kehidupan masyarakat Laweyan pada masa reformasi 1998-2004. Tentu saja dinamika yang terjadi pada masa tersebut tidak akan lepas dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu.

Berdasarkan buku yang berjudul ―Budaya dan Masyarakat‖ yang ditulis oleh Kuntowijoyo (2006). Buku tersebut secara umum menjelaskan soal perubahan kehidupan masyarakat beserta kebudayaannya seiring perkembangan zaman. Buku ini merupakan pengembaraan intelektual Kuntowijoyo selama enam tahun dalam kapasitasnya sebagai sejarawan dan budayawan yang sangat intens dalam mengamati masyarakat.

Menurut Kuntowijoyo, Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial, organisasi kenegaraan, dan seluruh perilaku sosial. Demikian juga budaya material yang berupa bangunan, peralatan, dan persenjataan tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya. Kemudian, sejarah dan ekologi sebuah masyarakat, yang keduanya mempunyai peranan besar dalam pembentukan budaya, perlu ditambahkan ke dalam hubungan tersebut. Oleh karena itu sistem


(28)

budaya sebenarnya penuh dengan kompleksitas yang tidak mudah dipahami secara sekilas. Analisa budaya seharusnya mencoba untuk melakukan pendekatan berbagai disiplin ilmu supaya dapat menjelaskan gejala-gejala budaya.

Buku ini sebenarnya mengantarkan pembaca ke dalam persoalan-persoalan budaya dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam buku ini banyak ditekankan beberapa hal tentang pembentukan budaya, perubahan, dan perbenturan budaya. Kuntowijoyo (2006: 12) menyebutkan bahwa Industrialisasi awal rupanya menggoncangkan masyarakat dan kebudayaan. Hal tersebut seperti yang terjadi di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, dalam perkembangannya, daerah ini mengalami berbagai dinamika kehidupan masyarakat beserta perubahan kebudayaannya.

Perubahan kebudayaan terjadi dalam berbagai unsur. Munculnya massa dalam masyarakat yang sedang mengalami industrialisasi juga memengaruhi kesadaran bersama dalam kehidupan beragama. Dari kehidupan beragama yang berlingkar di sekeliling kyai, guru mengaji, surau, dan pesantren pada abad ke-19, kita menemukan kembali organisasi sosial iman dan dalam satuan-satuan yang lebih besar. Satuan-satuan massal religiositas nampak dalam gerakan-gerakan agama, sejak Syarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan sebagainya. Lalu, pemassaan agama (akibat perkembangan masyarakat yang mengakibatkan perubahan kebudayaan) tersebut berakibat pada kehidupan politik, sebagaimana nampak dalam munculnya partai-partai politik berdasarkan agama, seperti Masyumi dan sebagainya.


(29)

Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangan suatu masyarakat yang mengakibatkan perubahan kebudayaan dapat mengakibatkan perubahan pada sendi-sendi lain kehidupan masyarakat.

Buku Budaya dan Masyarakat ini juga mengkaji perubahan kebudayaan dalam suatu analisa sosial. Di dalamnya membahas mengenai perubahan sosiokultiral. Seperti dikatakan Kuntowijoyo (2006: 33) bahwa dengan meluasnya birokrasi kolonial, tumbuhlah satu golongan baru dalam masyarakat, yaitu golongan priyayi. Golongan ini sudah lepas dari ikatan keraton, karena subordinasi mereka tidak lagi kepada raja tetapi kepada pemerintah kolonial. Ini seperti yang terjadi di Laweyan, di sana juga terdapat beberapa kelompok sosial masyarakat, termasuk priyayi yang merupakan golongan pejabat publik pemerintahan.

Kuntowijoyo (2006: 34) menjelaskan perubahan sosial selanjutnya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, yang terdiri dari golongan intelektual, pedagang, dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini tidak memusatkan perhatian pada masalah kebudayaan, tetapi pada masalah-masalah politik dan ekonomis, sehingga hampir tidak mungkin menjadi patron dari suatu kebudayaan baru. Apalagi kelas menengah yang tumbuh pada awal abad ke-20 mempunyai tradisi santri yang kuat, dari alam budaya desa dan santri, tidak tertarik pada gerakan kebudayaan. Sikap mereka yang puritan adalah tanda protes mereka terhadap keangkuhan yang tinggi dan dekadensi budaya desa pada zamannya.


(30)

Pada salah satu bagian buku ini dijelaskan mengenai Perbenturan Nilai dalam Proses Perubahan Sosial. Menurut Emile Durkheim (dalam Kuntowijoyo, 2006: 109) lembaga-lembaga sosial sebagai hasil perkembangan wajar dari masyarakat dan karena itu harus diberi tempat yang kukuh, mengajukan konsep tentang anomie. Durkheim menambahkan anomie tersebut akan terjadi bila pembagian kerja tidak menghasilkan solidaritas, yaitu jika hubungan antara organ-organ tidak menuntut aturan.

Dalam proses perubahan sosial tentu terjadi pebenturan nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai-nilai pun turut mengalami perubahan seiring perubahan sosial yang terjadi. Dalam Kasus Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Jawa, Kuntowijoyo menjelaskan ada beberapa gejala-gejala terasingan akibat pergeseran nilai dalam proses perubahan sosial, seperti pada hal teknologi, pasar tradisional dan pasar modern, jimat, protes pemuda, dan lain-lain. Pergeseran nilai tersebut dapat berdampak positif atau pun negatif dalam perkembangan kehidupan masyarakat.

Secara singkat, buku ini membahas pengalaman masyarakat dalam masa transisi menuju masayarakat industri—dengan mengganti barbagai atribut dari masyarakat tradisional agraris menuju suatu masyarakat yang bertatanan baru sama sekali. Di sini dipaparkan berbagai faktor pendukung dan kendala, dan dalam batas-batas tertentu dibicarakan pula perbandingan sejarah perkembangan masyarakat yang kini tergolong maju.

Buku ―Budaya dan Mayarakat‖ sangat relevan dengan tema penelitian skripsi ini. Buku ini banyak membahas mengenai perubahan kebudayaan dalam


(31)

kehidupan masyarakat. Perubahan kebudayaan selalu mengakibatkan perubahan pada bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat. Penelitian ini pun akan membahas mengenai perubahan kebudayaan berikut perubahan-perubahan lain yang mengikuti pada masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi 1998-2004. Adanya dinamika kehidupan masyarakat pada kurun waktu tersebut tentu saja mengakibatkan suatu perubahan, dan buku Budaya dan Masyarakat ini dapat menunjang beberapa informasi dan teori-teori penting terkait dinamika tersebut.

Buku selanjutnya adalah buku yang berjudul ―Sosiologi Perubahan Sosial‖ karya Piotr Sztompka (2008). Buku ini banyak membahas mengenai perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dengan tujuan menyediakan peralatan intelektual dasar untuk menganalisis, menafsirkan, dan memahami perubahan sosial tersebut, terutama pada skala historis atau teori sosiologi makro. Peralatan intelektual ini sebenarnya dapat dicari di tiga bidang, yaitu (1) di dalam pemikiran berdasarkan akal sehat (common sense), (2) di dalam filsafat sosial dan politik, (3) di dalam ilmu sosial.

Penelitian skripsi ini adalah untuk mengkaji secara historis dinamika kehidupan dalam suatu masyarakat, yaitu masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinamika diartikan sebagai ―gerak‖, sedangkan dinamika sosial adalah gerak masyarakat secara terus-menerus yang menimbulkan perubahan dalam tata hidup masyarakat yang bersangkutan. Perubahan akibat pergerakan tersebut merupakan suatu perubahan sosial. Dalam penelitian ini, kajian historis


(32)

dinamika adalah suatu kajian terhadap perubahan sosial pada suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu di masa lalu.

Ada beberapa definisi perubahan sosial, salah satunya adalah definisi menurut Macionis (1987), yang mengatakan bahwa ―perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu.‖ Sedangkan menurut Farley (1990), ―perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.

Pendapat lain diungkapkan oleh Persell (1987), yang menjelaskan bahwa ―perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat.‖ Lalu Ritzer (1987) mengatakan bahwa

perubahan sosial mengacu pada variasi hubungan antarindividu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu.

Bagi Toynbee (1963), mempelajari kehidupan manusia di saat tertentu jelas lebih bermanfaat, kerana lebih realistis, ketimbang mempelajarinya dengan membayangkan berada dalam keadaan diam. Membayangkan bahwa objek tertentu selalu mengalami perubahan akan mengubah pemikiran selanjutnya. Masyarakat tak lagi dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku atau ―keras‖ melainkan dipandang sebagai antarhubungan yang ―lunak‖.

Isu perubahan sosial telah menjadi sasaran kajian sosiologi sejak awal kelahirannya. Sosiologi lahir pada abad 19 sebagai upaya memahami transformasi fundamental dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, yakni munculnya tatanan masyarakat urban, industrial dan kapitalis. Bagian


(33)

terbesar buku ini menyajikan dan menjelaskan teori sosiologi tentang perubahan. Argumentasinya sebagian besar tetap berada pada tingkat konsepsi dan wawasan. Fakta historis kongkret hanya dimasukkan sejauh menyediakan ilustrasi bagi konsep, model dan teori perubahan sosial tertentu. Karena itu pembaca akan mampu mempelajari secara tak langsung mengenai masyarakat kontemporer atau masyarakat masa lalu, hanya dengan menemukan fakta dan datanya.

Bagian awal buku ini banyak membahas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perubahan sosial. Kemudian dalam salah satu bagian pada buku ini dibahas pula mengenai asal tradisi sejarah. Bagian ini membahas kaitan ke belakang, yakni kaitan antara keadaan masyarakat kini dan sejarah sebelumnya. Tradisi sejarah terbentuk sebab masyarakat selalu berproses. Menurut Edward Shils (dalam Sztompka, 2008: 65) masyarakat adalah fenomena antarwaktu. Masyarakat terjelma bukan karena keberadaannya di satu saat dalam perjalanan waktu. tetapi ia hanya ada melalui waktu. Ia adalah jelmaan waktu.

Berbicara mengenai tradisi, buku ini menjelaskan bahwa hubungan antara masa lalu dan masa kini haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu di masa kini ketimbang sekadar menunjukkan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan gagasan, atau objektif dan subjektif.

Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa masa lalu namun benar-benar


(34)

masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang, atau dilupakan (Sztompka, 2008: 69-70). Tradisi muncul melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan.

Sejarah merupakan produk manusia. Sejak awal sejarah, menurut Sztompka (2008: 223) manusia telah berupaya memikirkan penyebab utama kejadian, motor penggerak fenomena dan proses, dan kekuatan yang bertanggungjawab atas nasib mereka sendiri. Pemikiran inilah yang dimaksud di sini sebagai faktor yang melandasi dan mendorong dinamika sosial dan yang menyebabkan transformasi masyarakat.

Buku ―Sosiologi Perubahan Sosial‖ ini sangat relevan dengan penelitian skripsi yang Penulis ajukan. Buku ini dapat memberikan informasi mengenai teori-teori dan konsep terkait perubahan sosial. Penelitian skripsi Penulis pun secara umum akan membahas mengenai perubahan sosial dalam suatu masyarakat, yakni masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa reformasi tahun 1998-2004. Buku ini dapat Penulis jadikan sebagai acuan untuk membarikan pembatasan-pembatasan dalam penulisan hasil penelitian terkait perubahan sosial.

Kemudian, pada buku yang berjudul ―Perubahan Sosial di Yogyakarta‖ karya Selo Soemardjan (1986) diuraikan mengenai perubahan-perubahan sosial di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Setiap daerah yang berkembang tentu mengalami perubahan sosial dalam berbagai sendi kehidupan masyarakatnya.


(35)

Dalam buku ini dijelaskan perubahan-perubahan sosial di DIY sejak akhir zaman kolonial Belanda, zaman pendudukan Jepang, revolusi nasional untuk kemerdekaan, dan zaman nation and character building sampai tahun 1958 di mana penulis buku ini tengah melakukan penelitian kualitatif di DIY.

Dalam kurun waktu yang tak sedikit tersebut, kurang lebih 20 tahun, perubahan-perubahan sosial yang terjadi amat banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut diawali pada tingkat pemerintahan nasional, akan tetapi dengan cepat menimbulkan perubahan-perubahan pada pemerintahan dan masyarakat di DIY dan daerah-daerah lain.

Menurut Soemardjan (1986) dalam kehidupan bermasyarakat lebih banyak terjadi perubahan yang bersifat unintended change atau perubahan yang tidak disengaja. Kemudian, karena tidak disengaja tersebut maka acapkali perubahan-perubahan itu juga tidak dapat diduga lebih dahulu, sehingga banyak perubahan sosial yang membingungkan masyarakat, bahkan ditentang oleh banyak orang. Setiap perubahan sosial pada pokoknya mengikuti proses integrasi disusul dengan disintegrasi dan kemudian reintegrasi.

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam kurun waktu yang digambarkan dalam buku ini bersumber pada pergantian pemerintah, yaitu mula-mula pemerintahan Belanda, kemudian Jepang, dan akhirnya Indonesia. Dalam salah satu bagian pada buku ini dibahas mengenai perubahan sosial dan pembangunan ekonomi yang menjelaskan tentang kehidupan pertanian rakyat beserta perubahan-perubahannya seiring perkembangan zaman, hingga muncul


(36)

perusahaan-perusahaan asing beserta masalah sosial suatu perubahan ekonomi. Kemudian, adanya pendidikan dalam masyarakat pun juga menimbulkan perubahan sosial.

Relevansi buku ―Perubahan Sosial di Yogyakarta‖ ini terhadap penulisan skripsi ini adalah sama-sama akan dibahas perubahan sosial yang terjadi akibat pergantian pemerintah. Dalam penelitian skripsi ini akan mulai dibahas perubahan sosial dalam dinamika kehidupan masyarakat mulai masa perubahan pemerintahan pemerintahan dari orde baru ke masa reformasi.

Buku selanjutnya yang Penulis gunakan adalah buku yang masih berkaitan dengan perubahan di DIY. Meski demikian, DIY dan Surakarta adalah daerah yang acapkali disebut sebagai saudara kembar. Sehingga tidak jauh berbeda dalam corak perubahan kehidupan masyarakatnya. Buku tersebut berjudul ―Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri di Daerah Istimewa Yogyakarta‖. Buku ini merupakan hasil penelitian Heddy Shri Ahimsa Putra, dkk (1990), yang bertujuan untuk mengumpulkan berbagai data serta informasi dengan berbagai analisa perubahan yang terjadi untuk dapat disumbangkan bagi usaha pembinaan dan pengembangan masyarakat industri sehingga proses perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri akan dapat berjalan dengan lancar dan baik, mengingat seiring perkembangan zaman, masyarakat yang selama ini bergantung pada tanah sebagai modal utama pertanian mulai dihadapkan pada munculnya industri-industri yang mulai tumbuh dalam kehidupan para petani ini. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dari yang relatif homogen menuju yang


(37)

relatif kompleks, baik dalam pola tingkah laku, pranata maupun sistem budaya mereka.

Sistematika buku ini memiliki relevansi untuk dijadikan sebagai acuan dalam penulisan skripsi ini. Pada Bab II buku ini diuraikan mengenai gambaran umum daerah penelitian, yang menguraikan secara rinci terkait daerah penelitian tersebut. Sedangkan isi buku ini pun banyak membahas tentang perubahan sosial akibat pertumbuhan industri, hal ini juga relevan dengan penulisan skrispsi, sebab dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai pertumbuhan industri-industri batik di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta beserta pengaruhnya terhadap perubahan masyarakatnya.

Buku berikutnya berjudul Perubahan Sosial dan Pendidikan, karya H.A.R. Tilaar (2002). Buku ini banyak membahas soal perubahan sosial dalam masyarakat yang diakibatkan oleh pendidikan. Tilaar (2002) menyadari bahwa krisis masyarakat Indonesia yang dimulai dengan krisis finansial dan ekonomi tahun 1997 telah melahirkan krisis total kehidupan masyarakat Indonesia. Krisis total tersebut merupakan suatu krisis kemanusiaan yang juga berarti krisis pendidikan. Pendidikan memang merupakan bagian dari perubahan sosial.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pengalaman bangsa dan masyarakat Indonesia di dalam masa pascakrisis tahun 1997 menunjukkan, betapa upaya pendidikan seolah-olah tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Pendidikan seakan-akan menjadi tidak berdaya. Masyarakat dilanda ―budaya‖ kekerasan, seakan-akan kekerasan telah menjadi milik


(38)

masyarakat Indonesia. Ketika masyarakat Indonesia tenggelam di dalam krisis total, dunia sekitar terus-menerus berubah.

Buku ini sebenarnya merupakan suatu pengantar, untuk mengembangkan suatu pedagogik dalam perspektif baru. Pembahasan ini pun tidak terlepas dari kehidupan masyarakat yang telah mengalami banyak perubahan. Terutama perubahan akibat krisis yang telah melanda Indonesia. Sehingga buku ini sangat relevan dengan penulisan skripsi yang penulis ajukan. Dalam penulisan skripsi tersebut Penulis juga membahas suatu dinamika kehidupan masyarakat pada masa pascakrisis, dan tentu saja pendidikan juga menjadi salah satu aspek yang dapat diangkat sebagai salah satu faktor pendukung penyebab perubahan masyarakat.

Buku lain yang digunakan dalam tinjauan pustaka ini adalah ―Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa‖ yang ditulis Clifford Geertz (2013). Menurut pendapat Geertz (2013: 329) priyayi adalah golongan ningrat dari para kaum abangan yang merupakan petani Jawa. Kaum priyayi umumnya selalu berada di kota-kota; bahkan salah satu ciri Jawa modern yang secara sosiologis paling menarik adalah besarnya jumlah priyayi di kota. Geertz melanjutkan bahwa priyayi pada awalnya merujuk kepada orang yang bisa menelusur balik asal usulnya sampai kepada raja-raja besar Jawa pada zaman sebelum penjajahan yang setengah mitos. Namun, karena Belanda yang memerintah Jawa selama beberapa tahun itu, mempekerjakan kaum ini sebagai instrumen administratif dari kebijakan mereka, pengertian istilah itu meluas


(39)

mencakup orang kebanyakan yang ditarik ke dalam birokrasi akibat persediaan aristokrasi yang asli sudah habis.

Orientasi priyayi dan abangan, dari segi isi budaya, untuk sebagian hanya merupakan versi halus dan kasar dari masing-masing, keduanya diorganisasikan di sekitar tipe struktur sosial yang agak berbeda serta mengungkap jenis-jenis nilai yang sangat berbeda.

Di sini dijelaskan bahwa antara abangan dan priyayi terdapat berbagai perbedaan tipe struktur sosial. Begitu pula dengan santri. Sehingga relevansi buku ini dengan penelitian skripsi yang Penulis ajukan terletak pada hubungan antargolongan yang sama-sama menjadi pembahasan. Dalam buku ini diuraikan mengenai abangan, santri dan priyayi. Mereka memiliki aturan masing-masing dalam menjalani kehidupan. Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai hubungan beberapa antarkelompok sosial yang berada di Laweyan. Tentu saja mereka juga memiliki aturan masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasayarakat. Sehingga buku ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian.

F. Ruang Lingkup

Dalam penyusunan penelitian skripsi ini perlu adanya pembatasan wilayah penelitian yang disebut scope spatial dan lingkup waktu yang disebut

scope temporal. Scope spatial berkaitan dengan daerah atau tempat yang dijadikan objek penelitian. Tempat yang dijadikan objek penelitian adalah Kampoeng Batik Laweyan Surakarta yang merupakan sebutan dari Desa


(40)

Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Kampung ini memiliki identitas sebagai kampung saudagar. Karakteristik kampung ini tampak berbeda dengan kampung-kampung lainnya yang ada di Surakarta. Masyarakat Surakarta menyebut komunitas Laweyan sebagai kampung dagang dengan masyarakat yang masih memiliki semangat dagang yang cukup baik, dengan profesi mayoritas sebagai pedagang batik. Bentuk mata pencaharian yang mereka miliki berada di luar kebiasaan masyarakat feodal, yang pada umumnya bekerja dalam lapangan pertanian atau pegawai birokrat keraton.

Untuk scope temporal atau lingkup waktu, berkaitan dengan pembatasan waktu yang dibuat. Kurun waktu dalam penelitian ini adalah tahun 1998-2004. Tahun 1998 merupakan tahun berakhirnya masa Orde Baru dan berganti menjadi masa Reformasi yang ditandai dengan adanya krisis ekonomi sejak tahun 1997 yang menimpa Indonesia hingga lengsernya Soeharto dari posisi Presiden Republik Indonesia setelah berkuasa selama 32 tahun. Pada tahun tersebut di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta, terjadi kerusuhan yang amat besar yang menyebabkan kondisi perekonomian di berbagai daerah tidak stabil. Kondisi itu tentu saja menciptakan suatu dinamika dalam kehidupan masyarakat pada Kampoeng Batik Laweyan Surakarta yang telah tumbuh sebagai kampung saudagar batik sejak lama.

Kemudian tahun 2004 adalah tahun di mana Desa Laweyan mulai mendeklarasikan diri sebagai kawasan wisata sentra industri batik dengan dibentuknya Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL)


(41)

sebagai pengelola kampung tersebut, dan kawasan tersebut mulai dikenal dengan sebutan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Sehingga antara tahun 1998-2004 terjadi suatu dinamika yang sangat unik untuk dikaji. Dimulai dari masa di mana keadaan tengah kacau karena terjadi kerusuhan di mana-mana, dan dalam kondisi krisis ekonomi, hingga pada masa di mana Kampoeng Batik Laweyan Surakarta kembali bangkit dengan mendeklarasikan diri sebagai kawasan wisata sentra industri batik, dan pada masa tersebut kondisi perekonomian masyarakat Laweyan berangsur-angsur kembali pulih pascakrisis moneter, tentu dinamika tersebut tak lepas dari peranan perubahan kehidupan masyarakat di dalamnya.

Adapun judul ―Laweyan dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004‖ tersebut merupakan pengembangan dari tematikal tentang ―Dinamika Kehidupan Masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada Masa Reformasi 1998-2004‖. Penulis ingin mengetahui berbagai gerakan kehidupan yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat yang terjadi pada tahun 1998 hingga 2004 di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan budaya, seperti apa yang di hasilkan oleh masyarakat yang selalu berproses tersebut.

G.Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode historis. Menurut Gottschalk (1975: 32) metode historis adalah proses menguji dan menganalisa


(42)

secara historis rekaman peninggalan masa lampau. Metode historis, menurut Wiyono (1900: 2) juga dapat diartikan sebagai suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan untuk membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari sejarah, dalam menilai atau mengkaji sumber-sumber itu secara kritis dan menyajikan suatu hasil sintesis dari hasil-hasil yang dicapai. Dengan menggunakan metode sejarah, diusahakan merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau kemudian menyampaikan rekonstruksi sesuai dengan jejak-jejak masa lampau. Rekonstruksi dalam sejarah harus disusun secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pelaksanaan metode historis, terdapat empat tahapan yang dilakukan oleh Peneliti, yaitu tahap heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Sebelum masuk ke dalam empat tahapan metode historis, Peneliti telah terlebih dahulu menentukan topik penelitian.

a. Heuristik

Notosusanto (1971: 18) menjelaskan bahwa heuristik adalah proses atau usaha untuk mendapatkan dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti berupa jejak-jejak masa lampau, dapat berupa kejadian, benda peninggalan masa lampau dan bahasa tulisan. Adapun langkah-langkah heuristik yang telah dilakukan Peneliti adalah sebagai berikut,


(43)

1) Menentukan tempat penelitian.

Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah di kawasan sentra industri batik Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, Jawa Tengah. 2) Menentukan jenis data yang diperlukan, meliputi:

a. Data dokumen, yaitu data yang berupa catatan tertulis serta foto-foto atau gambar. Data dokumen yang telah Peneliti temukan adalah data-data monografi penduduk Laweyan, arsip-arsip dalam media massa cetak terkait Laweyan, buku-buku dan hasil penelitian terdahulu terkait Laweyan, serta dokumen-dokumen pemerintahan terkait Laweyan. Data-data tersebut Penulis temukan melalui penelusuran ke berbagai lokasi, Penulis melakukan penelusuran sumber di lokasi utama penelitian utama yaitu Kampoeng Batik Laweyan Surakarta dengan mengambil data-data di Kantor Kelurahan Laweyan, dan di beberapa rumah pengusaha batik seperti pada Gerai Batik Mahkota Laweyan yang sekaligus menjadi Kantor Sekretariat FPKBL, selain itu Penulis juga menemukan data-data sumber di Perpustakaan, Gedung Monumen Pers, Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kota Surakarta, Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surakarta, Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Kota Surakarta, dan Kantor Arsip.


(44)

b. Data informasi lisan, yaitu data yang berupa informasi dari para informan yang diperoleh melalui proses wawancara. Dalam penelitian ini Peneliti telah berhasil mewawancarai beberapa narasumber, seperti anggota masyarakat Laweyan, pengusaha batik Laweyan, Kepala Desa Laweyan, dan pengurus FPKBL. Narasumber-narasumber tersebut telah merepresentasikan topik penelitian ini, sebab mereka adalah subjek yang berhubungan langsung dengan dinamika kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.

c. Data artefak, yaitu pengumpulan data yang berupa benda peninggalan masa lampau. Peneliti telah mengamati beberapa artefak dari masa lampau yang terdapat di Laweyan, seperti kondisi bangunannya yang telah berusia tua, bungker, dan makam-makam kuno.

Kemudian, dari langkah-langkah di atas diperoleh sumber sejarah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Sumber Primer

Menurut Gottschalk (1975: 36) sumber primer yaitu sumber yang berasal dari saksi hidup yang mengalami atau mengambil bagian dalam suatu kejadian atau yang hidup sezaman dengan kejadian itu. Sumber primer merupakan sumber asli, karena kesaksiannya tidak bersumber dari sumber lain, tetapi dari tangan pertama. Dalam penelitian ini, sumber primer diperoleh dari hasil wawancara dengan Sarjono Siswoharjono (87 tahun), Achmad Sulaiman (66 tahun), dan Harun Muryadi (66 tahun), ketiganya merupakan warga asli Laweyan yang


(45)

menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah. Sumber primer yang diperoleh tidak diterima mentah (diambil apa adanya) tetapi juga melalui prosedur kritik sumber yang telah ditentukan sebagai alat analisis dalam ilmu sejarah.

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapa pun yang bukan merupakan saksi pandangan mata dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Dalam penelitian ini Peneliti memperoleh sumber dari hasil wawancara dengan Yuyuk Yuniman (54 tahun), Lurah Laweyan saat ini; Eko Margiyanto (45 tahun), Pengelola sekretariat FPKBL; Arif Budiman Effendi (36 tahun), Ketua Bidang Informasi dan Teknologi FPKBL; dan M. Aziz Fathony (28 tahun), Karyawan Gerai Batik Putra Laweyan. Di samping itu, Peneliti juga mempergunakan buku, Surat Kabar Kompas dan Wawasan, hasil penelitian, dan arsip yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Dalam usaha untuk mencari dan mengumpulkan data yang dibutuhkan maka penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut, a) Teknik Lisan

Teknik lisan adalah alat pengumpulan data yang berupa informasi dari para informan atau responden. Sumber lisan dalam penelitian ini telah diperoleh melalui wawancara, yaitu metode yang digunakan dalam rangka pengumpulan data dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan masyarakat setempat yang telah dipilih menjadi objek


(46)

penelitian dan masyarakat yang banyak memberikan penerangan atau keterangan. Hasilnya berupa sumber lisan yang dapat dilanjutkan menjadi sejarah lisan. Menurut Kuntowijoyo (2003: 26-27) Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal, sejarah lisan tidak kurang pentingnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan dalam zaman modern ini yang tidak tertangkap dalam dokumen-dokumen. Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, tetapi tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan.

b) Teknik Studi Kepustakaan

Nawawi (1990: 133) mengungkapkan bahwa studi pustaka adalah cara pengumpulan data melalui buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, melalui peninggalan tertulis berupa arsip-arsip dan termasuk juga bahan tentang pendapat, teori, dalil dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang diselidiki. Peneliti telah berhasil mengumpulkan sumber-sumber sejarah terkait penelitian ini dalam buku-buku sejarah, sosiologi, ekonomi, kebudayaan, politik, dan lain-lain serta dalam hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam bentuk laporan penelitian, skripsi, tesis, jurnal dan sebagainya. Selain itu Peneliti juga telah melakukan penelusuran pada arsip-arsip media cetak.


(47)

b. Kritik Sumber

Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber (Pranoto, 2010: 35). Ada dua langkah yang harus ditempuh untuk membuktikan validitas sumber, yaitu (1) Mengadakan kritik intern yang bertujuan untuk mencari kebenaran isinya, dan (2) Mengadakan kritik ekstern yang bertujuan untuk membuktikan keaslian dan kebenaran suatu sumber.

Kritik sumber, menurut Wiyono (1990: 2) merupakan tahap penilaian atau pengujian terhadap bahan-bahan sumber yang telah penulis peroleh dari sudut pandang kebenarannya. Kritik atau analisa merupakan cara untuk menilai sumber atau bahan yang memberikan informasi dapat dipercaya atau tidak, apakah dokumen atau bahan itu dapat dipertanggungjawabkan keasliannya (keautentikannya) atau tidak.

Kritik intern dilakukan terhadap informasi atau sumber itu sendiri, sedangkan kritik ekstern dilakukan terhadap data dengan menganalisa kebenaran sumber atau hubungan dengan persoalan apakah sumber itu asli atau tidak. Dalam penelitian ini lebih banyak ditekankan pada kritik intern. Hal ini dilakukan karena Peneliti ingin memperoleh jawaban dengan nilai pembuktian dari isi atau sumber tersebut. Apakah relevan dengan penelitian yang dimaksud atau tidak. Cara melakukan kritik intern di sini ialah dengan cara membandingkan data yang diperoleh di lapangan dari hasil wawancara dengan sumber tertulis. Selain itu, dalam melakukan kritik sumber melalui wawancara dilakukan pengecekan silang antar sumber. Sebagai pendukung


(48)

perlu juga diketahui situasi, baik di dalam memberikan keterangan, bagaimana kemampuan serta daya ingat dan juga bagaimana tingkah laku informan dalam keseharian.

Dalam menentukan kriteria asli maupun tidaknya sumber tersebut di lapangan adalah diperoleh dari seorang informan yang lainnya mengenai suatu peristiwa yang sama. Sebab kadangkala informasi yang diberikan oleh informan yang satu dengan informan yang lainnya tidak sama. Dalam hal ini perlu dicari terlebih dahulu persamaan persepsi dan informasi. Selanjutnya dibandingkan dengan sumber tertulis yang ada.

Dalam hal ini, kritik sumber dilakukan kepada (1) pemilihan informan yang memberikan keterangan mengenai dinamika kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004. Keadaan informan juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, (2) data atau sumber tertulis yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini. Adapun cara melakukan kritik dalam penelitian ini adalah membandingkan antar data dokumen yang berhasil dikumpulkan, dan membandingkan data hasil wawancara antar informan, serta membandingkan antara data dokumen dengan data hasil wawancara.

c. Interpretasi

Interpretasi adalah menentukan makna saling berhubungan antara fakta-fakta yang diperoleh. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh suatu rangkaian peristiwa yang bermakna. Interpretasi merupakan cara untuk menentukan maksud saling berhubungan dalam fakta-fakta yang diperoleh


(49)

setelah terkumpul sejumlah informasi mengenai peristiwa sejarah yang sedang diteliti. Suatu peristiwa sejarah agar dapat menjadi kisah sejarah yang baik maka perlu diinterpretasikan (disintesiskan). Berbagai fakta yang lepas satu sama lain itu harus dirangkaikan dan dihubung-hubungkan sehingga menjadi suatu kesatuan yang bermakna.

Menurut Widja (1989: 25) interpretasi adalah usaha untuk mewujudkan rangkaian bermakna dari fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta yang telah diwujudkan perlu dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan satu sama lain sedemikian rupa sehingga antara fakta satu dengan fakta lainnya kelihatan sebagai suatu rangkaian yang masuk akal, dalam arti menunjukkan kecocokan satu sama lainnya.

Pada umumnya proses interpretasi meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) seleksi fakta yang memilih fakta-fakta yang relevan dengan kepentingan penelitian tersebut, (2) periodisasi, yaitu penyusunan fakta sesuai dengan urutan waktu terjadinya.

d. Historiografi

Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Abdurahman, 1999: 67). Layaknya laporan penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan).


(50)

Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari metode sejarah. Hasil penafsiran atau interpretasi atas fakta-fakta sejarah yang telah dilakukan kemudian dituliskan menjadi suatu kisah yang selaras.

H.Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi berjudul ―Laweyan Dalam Periode Krisis Ekonomi Hingga Menjadi Kawasan Wisata Sentra Industri Batik Tahun 1998-2004‖ adalah sebagai berikut,

BAB I PENDAHULUAN, yang berisi Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Kajian Pustaka, Ruang Lingkup, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi. BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KAMPOENG BATIK

LAWEYAN SURAKARTA, yang berisi Kondisi Geografis, Kondisi Demografi, Sejarah Singkat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta serta Kondisi Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Politik Pemerintahan Masyarakat.

BAB III DINAMIKA KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPOENG

BATIK LAWEYAN SURAKARTA PADA MASA KRISIS EKONOMI HINGGA MENJADI KAWASAN WISATA, yang berisi Kondisi Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada saat krisis ekonomi, Pengaruh krisis ekonomi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, Strategi Masyarakat untuk keluar dari keterpurukan


(51)

pascakrisis, Kehidupan Masyarakat pascakrisis, Hubungan antarkelompok sosial di Kampoeng Batik Laweyan Surakarta pada masa Reformasi 1998-2004.

BAB IV KAMPOENG BATIK LAWEYAN SURAKARTA SEBAGAI KAWASAN WISATA SENTRA INDUSTRI BATIK, yang berisi Sejarah terbentuknya Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik yang diawali dengan terbentuknya Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta, Kondisi fisik dan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik, Pengaruh keberadaan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta sebagai kawasan wisata sentra industri batik terhadap kehidupan masyarakat di dalam dan sekitarnya serta terhadap pemerintah kota, dan Peran pemerintah terhadap perkembangan Kampoeng Batik Laweyan Surakarta. BAB V PENUTUP, yang berisi Simpulan dan Saran.


(52)

133

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

1. Kondisi umum kehidupan masyarakat Kampoeng Batik Laweyan Surakarta dapat diketahui dengan menjabarkannya ke dalam beberapa pembahasan. Secara geografis kawasan Kampoeng Batik Laweyan masuk dalam pemerintahan Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta. Dalam sejarah, kawasan Laweyan telah ada sejak abad 15 M pada masa Kerajaan Pajang. Sejak saat itu, Laweyan sudah terkenal dengan sentra perdagangan lawe (kain bahan pakaian), dan pada awal abad 20 kawasan Laweyan mengalami perkembangan pesat sebagai sentra perdagangan batik. Hal tersebut membuat mayoritas masyarakat Laweyan berprofesi sebagai pedagang batik. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Laweyan dikenal tertutup. Mereka juga memiliki kelompok-kelompok sosial seperti golongan juragan (pedagang), wong cilik (rakyat biasa), wong mutihan

(ulama), dan priyayi (bangsawan atau pejabat). Kemudian dalam kehidupan budaya, masyarakat Laweyan tidak memiliki tradisi yang khas, namun masyarakat di sana masih menjalankan banyak tradisi seperti masyarakat Jawa pada umumnya. Kondisi budaya Laweyan tidak dipengaruhi oleh kehidupan budaya keraton, meskipun lokasinya masih dalam lingkup birokrasi keraton. Hal tersebut sekaligus memengaruhi kehidupan politik pemerintahan Laweyan yang sama sekali terlepas dari politik keraton.


(53)

2. Laweyan mengalami berbagai dinamika dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya pada masa krisis ekonomi hingga menjadi kawasan wisata. Seiring perkembangan zaman, kondisi perekonomian Laweyan selalu mengalami pasang dan surut, hingga pada masa krisis ekonomi tahun 1997 kondisi Laweyan menjadi semakin terpuruk, banyak pengusaha batik yang beralih profesi. Setelah keluar dari masa krisis ekonomi dan memasuki masa Reformasi, kondisi perekonomian Laweyan berangsur-angsur pulih. Sejak saat itu, terjadi banyak perubahan pada kondisi masyarakat Laweyan. Dalam kehidupan sosial, masyarakat Laweyan menjadi lebih terbuka akibat berubahnya pemerintahan. Hal ini tak lepas dari peran pemerintah baru yang semakin peduli dengan masyarakat Laweyan. Kondisi tersebut mengakibatkan perubahan sikap dalam kehidupan masyarakat Laweyan menjadi lebih peka dan peduli terhadap lingkungan sekitar yang membuat kelompok-kelompok sosial pada masyarakat Laweyan dapat hidup berdampingan dengan baik. Keadaan tersebut tidak lepas dari kondisi ekonomi masyarakat yang berangsur-angsur membaik. Dalam kehidupan budaya, masa Reformasi membawa perubahan pada semakin berkembangnya beragam tradisi di Laweyan. Masyarakat Laweyan mulai kembali melestarikan budaya-budaya tradisional yang hampir hilang sebelumnya yang kemudian menjadi sesuatu yang layak dijual dalam perwujudan Laweyan sebagai kawasan wisata. Selain itu, dalam kehidupan kelompok sosial ditemukan adanya kaum abangan pada masyarakat Laweyan secara tradisi, namun tidak secara profesi.


(54)

3. Terbentuknya Laweyan sebagai kawasan wisata industri batik berawal dari perhatian dan keprihatinan masyarakat Laweyan yang terdiri dari para pengusaha batik dan tokoh masyarakat atas kondisi Laweyan yang sempat mengalami keterpurukan. Setelah memasuki masa Reformasi, masyarakat melihat adanya potensi dari Laweyan yang memungkinkan kawasan tersebut dapat kembali berjaya. Akhirnya keprihatinan tersebut membuat masyarakat membentuk Forum Pengembangan Kampoeng Batik (FPKBL) yang merupakan forum penggagas terbentuknya Laweyan sebagai kawasan wisata. Seiring berjalannya waktu, perjuangan FPKBL yang didukung oleh para peneliti yang mengangkat Laeyan sebagai objek penelitiannya, akhirnya berbuah manis. Pemerintah Kota Surakarta akhirnya memberikan Surat Keputusan penetapan Laweyan sebagai kawasan wisata yang dikelola oleh FPKBL pada tanggal 24 Oktober 2004. Dalam mekanisme pengembangannya sebagai kawasan wisata, Laweyan memiliki tiga aspek yang berpotensi, yaitu; (1) sejarah, bangunan, dan lingkungan; (2) industri batik dan industri lainnya; (3) sosial, seni, dan budaya. Keberadaan Laweyan sebagai kawasan wisata telah membuatnya bermanfaat bagi berbagai pihak dalam segala bidang kehidupan. Hal tersebut tidak lepas dari peran pemerintah yang telah memberikan berbagai bantuan, baik dalam bentuk fisik maupun dukungan, sehingga Laweyan menjadi semakin terkenal sebagai kawasan wisata.


(55)

B.Saran

1. Keberadaan Kampoeng Batik Laweyan saat ini sudah semakin bagus, sehingga sangat cocok bagi masyarakat luas yang ingin melakukan wisata. Dengan mengunjungi Kampoeng Batik Laweyan, selain dapat meningkatkan kesejahteraan kawasan tersebut juga dapat menambah wawasan masyarakat terkait nilai-nilai warisan sejarah dan budaya.

2. Masih banyak hal yang dapat dieksplor untuk mengembangkan kawasan Kampoeng Batik Laweyan, sehingga bagi Pemerintah diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan Kampoeng Batik Laweyan dengan melakukan sosialisasi sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat Laweyan atas kawasan tempat tinggal mereka yang kini telah menjadi kawasan wisata, sehingga masyarakat dapat turut serta dalam berbagai hal yang mendukung perkembangan Laweyan sebagai kawasan wisata.

3. Masyarakat Laweyan diharapkan semakin peduli dan sadar terhadap keberadaan Laweyan sebagai kawasan wisata, sehingga jalan pemerintah untuk mengembangkan wisata Laweyan dapat berjalan lancar dengan adanya dukungan dari masyarakat setempat yang sebagian besar adalah ahli waris atas bangunan-bangunan tua di Laweyan.

4. Bagi peneliti-peneliti yang hendak meneliti Kampoeng Batik Laweyan, masih banyak hal yang dapat diteliti. Seperti penelitian terkait kondisi psikologis masyarakat Laweyan, kehidupan masyarakat Laweyan sebelum adanya keraton, serta penelitian yang lebih mendalam pada artefak-artefak peninggalan bersejarah yang berada di daerah tersebut.


(56)

137

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu.

Anonim. 2013. Sejarah Nilai Tukar Rupiah Dari Tahun Ke Tahun. http://berilmu.com/blog/sejarah-nilai-tukar-rupiah-dari-tahun-ke-tahun/ (Diunduh pada 11 Maret 2015 pukul 10.31 WIB).

Baidi. 2006. ―Pertumbuhan Pengusaha Batik Laweyan Surakarta (Suatu Studi Sejarah Sosial Ekonomi)‖. Dalam Jurnal Bahasa Dan Seni, Tahun 34, Nomor 2, Hal. 241-253. Surakarta: STAIN Surakarta.

BPS. 1998. Laporan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kotamadya Surakarta. Hlm. 30.

Brata, Nugroho Trisnu. 2006. Prahara Reformasi Mei 1998: Jejak-Jejak Kesaksian. Semarang: Titian Masa Pustaka bekerja sama dengan UPT UNNES Press.

Chrisnayani, Amelia Ari. 2009. ―Integrated Marketing Communication

(Komunikasi Pemasaran Terpadu) Kampoeng Batik Laweyan Surakarta‖.

Skripsi. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Esten, Mursal. 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit Angkasa. FPKBL dan Pemerintah Kelurahan Laweyan. Buku Profil Kampoeng Laweyan.

Surakarta.

Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah – Edisi Kedua. Yogyakarta: Kerjasama Jurusan Sejarah FIB UGM dengan PT Tiara Wacana Yogya.


(57)

---. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, 1900-1915. Jogjakarta: Ombak.

---. 2006. Budaya dan Masyarakat, Edisi Paripurna. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kusuma, Mawar, dan Frans Sartono. 2013. ―Dari Kesultanan Pajang Ke Kampoeng Batik‖. Dalam Kompas. No. 042. Tahun ke 49. 11 Agustus. Hal. 13.

Kusumawardani, Fajar. 2006. ―Sejarah Perkembangan Industri Batik Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000‖. Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notosusanto, Nugroho. 1971. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI. Pendit, Nyoman S. 2006. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:

PT Pradnya Paramita.

Pitana, I Gde, dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pitana, I Gde, dan I Ketut Surya Diarta. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Pratomo, Andri Satrio, dkk. 2006. ―Pelestarian Kawasan Kampoeng batik laweyan Kota Surakarta‖. Dalam Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 34, No. 2, Desember 2006, Hal. 93-105. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Priyatmono, Alpha Fabela. 2004. ―Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan di Kampung Laweyan Surakarta‖. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Purnomo, Agus Budi. Analisa Spasial Kerusuhan Mei 1998 di DKI Jakarta. Sejarah Pemikiran, Rekontruksi, Persepsi 10, Tahun 2001, Hal. 29-45.


(58)

Putra, Heddy Shri Ahimsa, dkk. 1990. Perubahan Pola Kehidupan Masyarakat Akibat Pertumbuhan Industri di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

Putri, An Nuur Sakhaa Hazmitha. 2011. ―Saudagar Laweyan Abad XX (Peran dan Eksistensi dalam Membangun Perekonomian Muslim)‖. Skripsi. Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Rajiman. 1984. Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Penerbit Krida.

Salim, Agus. Stratifikasi Etnik: Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis Jawa dan Cina. Yogyakarta: Kerjasama FIP dan Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes dengan Penerbit Tiara Wacana.

Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok – Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Saputro, Handono. 2009. ―Kerusuhan Sosial di Surakarta Tahun 1998‖. Skripsi.

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Soedarmono. 2006. Mbok Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20. Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia.

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sztompka, Piotr. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Wasino. 2006. Wong Jawa dan Wong Cina: Liku-liku Hubungan Sosial Antara Etnis Tionghoa dengan Jawa di Solo Tahun 1911-1998. Semarang: Unnes Press.

Wawasan. 2004. Romantisme Kampung Saudagar Batik Solo. 8 Agustus. Hal. 7. Wicaksono, Bangkit Budi. 2013. ―Masyarakat Kampung Batik Laweyan Bangkit

(Strategi Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL) dalam Memberdayakan Masyarakat Kampung Batik Laweyan Melalui Model Kemitraan Linier Collaborative of Partnership)‖. Skripsi. Surakarta: Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.


(59)

Widja, I Gde. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Perguruan Tinggi.

Wijayakusuma, H. M. Hembing. 2005. Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Wiyono. 1990. Metode Penulisan Sejarah. Semarang: FPIPS Jurusan Sejarah IKIP Semarang.


(60)

141


(61)

LAMPIRAN 1

DATA STATISTIK KAMPOENG BATIK LAWEYAN SURAKARTA TAHUN 1997-2004

No Kategori Tahun

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1. Luas penggunaan

tanah (Ha)

Perumahan 16,96 16,96 16,96 16,96 16,96 16,96 16,96 16,96 Jasa 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 Perusahaan 2,67 2,67 2,67 2,67 2,67 2,67 2,67 2,67 Industri 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 0,50 Lain-lain 4,18 4,18 4,18 4,18 4,18 4,18 4,18 4,18 Luas wilayah 24,83 24,83 24,83 24,83 24,83 24,83 24,83 24,83 2. Banyaknya RT, RW,

dan KK

RT 10 10 10 10 10 10 10 10

RW 3 3 3 3 3 3 3 3

KK 530 525 525 523 523 520

3. Luas wilayah, Jumlah penduduk, Sex ratio, dan tingkat kepadatan

Luas wilayah (Km) 0,248 0,248 0,248 0,248 0,248 0,248 Jumlah penduduk 2.275 2.296 2.315 2.369 2.404 2.425 Sex ratio 871 883 899 904 907

Tingkat kepadatan 9.173 9.184 9.335 9.552 9.694 4. Banyaknya

penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin (jiwa)

0-4 tahun Lk 57 63 50 31 45 30 42 45

Pr 60 68 45 43 45 36 41 41

Jml 117 131 95 74 90 66 83 86

5-9 tahun Lk 115 115 115 80 75 56 58 59

Pr 130 130 130 95 81 76 79 80

Jml 245 245 245 175 156 132 137 139 10-14 tahun Lk 117 116 116 115 115 100 100 109 Pr 131 131 131 117 124 126 126 180 Jml 248 247 247 232 239 226 226 289 15-19 tahun Lk 119 117 116 120 121 124 135 135 Pr 135 131 131 130 134 136 149 149 Jml 254 248 247 250 255 260 284 284 20-24 tahun Lk 119 119 117 131 131 132 133 137 Pr 136 133 131 132 142 145 147 146 Jml 255 252 248 263 273 277 280 283 25-29 tahun Lk 117 119 118 138 136 148 145 146 Pr 135 134 132 144 150 156 155 153 Jml 252 253 250 282 286 304 300 299 30-39 tahun Lk 118 118 118 143 141 156 155 153 Pr 137 134 133 150 154 157 151 157 Jml 255 252 251 293 295 313 306 310 40-49 tahun Lk 117 119 119 144 142 158 156 156 Pr 137 134 133 153 156 147 164 164 Jml 254 253 252 297 298 325 320 320 50-59 tahun Lk 115 119 120 137 141 165 163 167 Pr 138 134 134 139 150 169 165 171 Jml 253 253 254 276 291 334 328 338

60+ tahun Lk 65 72 107 113 91 83 82 82

Pr 77 90 119 114 130 105 100 100 Jml 142 162 226 227 221 188 182 182 Total Lk 1.059 1.077 1.096 1.152 1.138 1.152 1169 1189

Pr 1.216 1.219 1.219 1.217 1.266 1.273 1277 1341 Jml 2.275 2.296 2.315 2.369 2.404 2.425 2446 2530 5. Banyaknya

penduduk menurut jenis kelamin, dewasa dan anak (jiwa)

Dewasa Lk 770 783 815 926 903 966 Pr 895 890 913 962 1.016 1.035 Jml 1.665 1.673 1.728 1.888 1.919 2.001 Anak Lk 289 294 281 226 235 186

Pr 321 329 306 225 250 238 Jml 610 623 587 451 485 424 Dewasa dan

anak

Lk 1.059 1.077 1.096 1.152 1.138 1.152 Pr 1.216 1.219 1.219 1.217 1.266 1.273 Jml 2.275 2.296 2.315 2.369 2.404 2.425 6. Banyaknya

kelahiran dan

Kelahiran Lk 18 17 17 12 11 0 1 3


(62)

Sumber: Diolah dari Buku Surakarta dalam Angka tahun 1997-2002 (Data BPS Kota Surakarta dan BPS Provinsi Jawa Tengah), sedangkan data tahun 2003-2004 diperoleh dan diolah dari data-data di Dispendukcapil Surakarta, Bapermas Surakarta, dan Monografi Kelurahan Laweyan.

kematian (jiwa) Jml 33 35 24 38 21 0 1 3

Kematian Lk 9 14 9 4 3 0 0 0

Pr 5 10 10 14 3 0 1 0

Jml 14 24 19 18 6 0 1 0

7. Banyaknya penduduk datang dan pindah (jiwa)

Datang Lk 25 38 30 30 9 0 4 0

Pr 29 28 26 36 16 0 0 0

Jml 54 66 56 66 25 0 4 0

Pindah Lk 25 23 19 9 9 0 4 2

Pr 30 33 23 23 11 2 4 0

Jml 55 56 42 32 20 2 8 2

8. Banyaknya penduduk menurut mata pencaharian

Pengusaha 22 22 22 22 22 22 22 22

Buruh Industri 447 450 450 600 500 600 600 600 Buruh bangunan 368 336 350 350 150 200 200 200

Pedagang 50 50 90 100 200 150 150 150

Pengangkutan 15 20 20 30 25 25 25 27

PNS/ABRI 77 77 100 100 75 75 75 75

Pensiunan 45 50 75 75 25 40 25 28

Lain-lain 387 420 620 611 1.161 1.115 1111 1111 Jumlah 1.411 1.425 1.727 1.888 2.158 2.227 2208 2213 9. Banyaknya

penduduk menurut agama (jiwa)

Islam 2.122 2.143 2.158 2.212 2.247 2.265 2288 2370 Kristen Katholik 75 75 79 79 79 80 80 82 Kristen Protestan 65 68 68 68 68 70 70 70

Budha 5 5 5 5 5 5 5 5

Hindu 5 5 5 5 5 5 3 3

Jumlah 2.275 2.296 2.315 2.369 2.404 2.425 2446 2530 10. Banyaknya

penduduk menurut tingkat pendidikan (usia 5 tahun ke atas)

Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi

387 400 210 215 230 230 487 487

Tamat SLTA 380 394 575 607 618 598 408 404 Tamat SLTP 594 590 555 586 611 578 570 475 Tamat SD 466 459 520 590 600 548 546 546 Tidak tamat SD 100 97 100 70 50 50 145 145 Belum tamat SD 226 220 255 222 200 350 143 149

Tidak sekolah 5 5 5 5 5 5 5 5

Jumlah 2.158 2.165 2.220 2.295 2.314 2.359 2304 2211 11. Banyaknya

Keluarga Sejahtera (KS) menurut tahapan

Pra KS

Ekonomi 0 85 22 19 8 10 12 6

Non ekonomi 0 0 6 0 3 3 0 0

KS I Ekonomi 20 101 52 67 46 50 50 60

Non ekonomi 0 18 47 43 37 42 34 30

KS II 38 84 87 84 79 66 70 63

KS III 291 117 159 166 209 206 201 214

KS III Plus 104 56 60 61 89 89 79 82

12. Banyaknya kendaraan bermotor dan tidak bermotor

Mobil dinas 0 0 0 0 0 0

Mobil pribadi 22 22 50 50 50 50

Taksi 0 0 0 0 0 0

Oplet/Colt 15 15 20 20 20 20

Bus 0 0 0 0 0 0

Truk 1 1 0 0 0 0

Sepeda 409 385 200 200 200 200

Sepeda motor 195 200 300 300 300 300

Andong 9 10 10 10 3 3

Gerobak 2 2 5 5 5 5

Becak 3 6 10 10 5 5

13. Banyaknya Radio dan televisi

Radio 196 200 150 150


(1)

(2)

(3)

(4)

LAMPIRAN 12

FOTO KONDISI LINGKUNGAN LAWEYAN

Gambar 9. Peta Kota Surakarta (Dok. wikipedia.org).


(5)

Gambar 11. Gapura masuk kawasan Laweyan (Dok. Pribadi).

Gambar 12. Jalan di antara dua benteng di Laweyan (Dok. Pribadi)

Gambar 13. Jalan di Laweyan tahun 2004 (Dok. FPKBL).

Gambar 14. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2015 (Dok. Pribadi).

Gambar 15. Kantor Kelurahan Laweyan tahun 2001 (Dok. Kelurahan Laweyan).

Gambar 16. Langgar Merdeka tahun 2006 (Dok. FPKBL).


(6)

Gambar 17. Masjid Laweyan tahun 2004 (Dok. FPKBL).

Gambar 18. Masjid Al Ma’moer Laweyan (Dok. Pribadi).

Gambar 19. Bungker Laweyan (Dok. Pribadi).

Gambar 20. Pengajian warga Laweyan tahun 2008 (Dok. FPKBL).

Gambar 21. Kesenian Keroncong di Laweyan (Dok. kampoengbatiklaweyan.org).

Gambar 22. Pembatik di Laweyan (Dok. Pribadi).