KRISIS EKONOMI TAHUN 1997 1998 DAN DAMPA

KRISIS EKONOMI TAHUN 1997-1998 DAN
DAMPAKNYA TERHADAP DUNIA PERBANKAN DI
INDONESIA

Andrew Toedjono
2013 013 010
UNIKA Atma Jaya, Ekonomi Pembangunan

ABSTRACT
Economic crisis or monetary crisis became a massive problem for developing countries. In 1997
– 1998 Indonesia and others Asia Pacific Nation had been chalanged by monetary crisis. The
impact of this crisis is the bankruptcy of private banking sectors, and many private banks in
Indonesia are closed because they can’t pay the credit and responsibility to the customers. Thus,
The Government of Indonesia and Central Bank of Indonesia made such a movement to
overcome the crisis. The methods to overcome the crisis are divided into three phases. First
phase is policy to overcome the liquidity problem from July 1997 – January 1998, Second is the
extend policy from January 1998 until rush phenomenon is cooling down in August 1998, and
Final phase is restructuring of banking system in Indonesia August 1998 -1999. Afterwards, the
crisis made a significant improvement in banking sectors in Indonesia. New regulation has
made, but to make the sectors doesn’t get the same problems in the future the government must
make other policies such as : improvements of human resources in banking sectors,

strengthening bank supervision and making a conducive banking environments.
Key words : Economic Crisis, Monetary Crisis, Banking sector, Indonesia, 1997-1998

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

1

BAB I
PENDAHULUAN
Pada awal bulan Juli tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang menyebabkan
lumpuhnya kegiatan perekonomian karena banyak perusahaan yang bangkrut dan meningkatnya
jumlah pengangguran. Kondisi tersebut semakin memburuk dan puncaknya pada tahun 1998
dimana menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru.
Krisis ekonomi yang terjadi ini memang dipicu oleh beberapa sebab, dan yang terbesar adalah
krisis pada sektor keuangan atau disebut juga moneter. Meskipun kondisis fundamental
perekonomian Indonesia cukup bagus dan disanjung Bank Dunia pada tahun – tahun sebelumnya
tetapi, hal itu tidaklah cukup. Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat menurut
Tarmidi (1999) adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun
defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan

devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Namun di balik itu semua banyak kelemahan struktural yang dihadapi seperti perdagangan
domestik yang kaku, monopoli impor, juga banyak pinjaman yang dilakukan sektor swasta dari
luar negeri yang tidak di hedge.

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

2

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga Negara – Negara ASEAN juga ASIA Timur pada
awalnya disebabkan oleh jatuhnya nilai tukar Negara Thailand yaitu Baht terhadap Dollar sejak
pertengahan 1997. Indonesia merupakan Negara yang mengalami dampak krisis yang cukup
parah selain Negara Thailand dan Korea. Beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia
mengalami imbas yang cukup besar dari Krisis ekonomi Thailand dibanding Negara – Negara
lain salah satunya adalah besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan
lemahnya sistim perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis financial, Nasution
(1997).
Sementara itu, menurut Menurut World Bank (1998) Ada 4 penyebab krisis ekonomi yang
menyebabkan Negara menuju kebangkrutan, Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar
negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang

luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan.
Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab
yang kedua adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah governance,
termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma
menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan
cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan
mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu.
Oleh karena itu, sektor perbankan adalah salah satu sector yang terkena dampak terbesar yang
disebabkan oleh krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997. Akibat paket Desember 1988 terjadi
liberalisasi perbankan di Indonesia. Salah satu isi dari paket Desember 1988 adalah
memeperbolehkan siapapun yang memilki uang setidaknya 10 milyar rupiah dapat mendirikan
bank di Indonesia. Oleh karena itu, banyak bermunculan bank – bank swasta di Indonesia sekitar
160an bank baru lahir ditambah 200 bank swasta yang sudah ada. Hal ini adalah penyebab
mengapa ada banyak bank yang mengalami kebangkrutan dan gagal kliring pada dekade 90an
menuju krisis moneter tahun 1997 – 1998.
Ada lagi faktor lain juga yang menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada dunia perbankan,
yaitu suku bunga kredit yang lebih tinggi dari suku bunga pinjaman. Akibatnya terjadi negative
spread, yang menyebabkan beban para banker terlalu besar. Juga ressesi ekonomi mebuat kredit
– kredit yang disalurkan menjadi tidak berarti. Bisa dikatakan, Bank – bank hanya tinggal
gedung saja tanpa isi.

Maka sangatlah berhubungan antar krisis ekonomi tahun 1997 – 1998, dengan krisis perbanakan
terutama sektor swasta di Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan hubungan
damapak, dan penjelasan tentang krisis moneter juga dampaknya terhadap sector perbankan yang
berperan besar memicu krisis yang parah bagi Indonesia pada tahun 1997 - 1998

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

3

BAB II
LITERATUR REVIEW
Krisis Keuangan
Krisis ekonomi adalah situasi dimana perekonomian suatu Negara mengalami masa penurunan
atau resesi yang berkepanjangan. Penyebabnya yaitu krisis pada sektor keuangan maka,
seringkali krisis ekonomi disebut juga dengan krisis moneter. Menurut Reserve Bank of
Australia (2012) sebuah sistem keuangan yang stabil sebagai sistem dimana setiap kegiatan
transfer dana dari pemberi pinjaman kepada peminjam dapat diakomodasi dengan baik oleh
intermediasi keuangan, pasar, dan struktur pasar. Oleh sebab itu, ketidakstabilan keuangan
adalah suatu kondisi di mana jatuhnya atau runtuhnya sistem keuangan karena mengganggu
kegiatan-kegiatan ini dan memicu krisis keuangan.

Sesungguhnya risiko sistemik selalu melekat pada setiap sistem keuangan, yang menurut Davis
(2001) berkaitan erat dengan kekayaan dan kesehatan lembaga keuangan. Dalam kasus lain,
kegagalan likuiditas pasar dan kerusakan infrastruktur pasar juga dapat menginisiasi risiko.
Dalam makalahnya, Davis (2001) juga menguraikan beberapa kerangka teori yang menjelaskan
ketidakstabilan keuangan, yang meliputi: 1) teori debt and financial fragility, 2) teori disaster
myopia, and 3) teori bank runs. Teori debt and financial fragility berpendapat bahwa
perekonomian mengikuti siklus yang terdiri dari periode pertumbuhan positif dan negative
(Fisher, 1933). Dengan kemajuan ekonomi, utang dan kegiatan pengambilan risiko meningkat.Ini
menciptakan gelembung aset yang akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Sementara itu,
teori disaster myopia menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan dapat disebabkan oleh
perilaku kompetitif lembaga keuangan yang mengarah pada suatu kondisi dimana kredibilitas
peminjam diabaikan dan risiko dikurangi (Herring, 1999). Di sisi lain, teori bank runs
menjelaskan kondisi di mana para investor yang panik menjual aset mereka atau menarik dana
mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan memburuk (Diamond dan Dybvig, 1983,
Davis, 1994). Sebagai konsekuensinya, hal ini akan mengakibatkan kemerosotan yang tibatiba
pada harga aset dan krisis likuiditas.
Sejauh batasannya, ketiga teori ini dapat menjelaskan Krisis Keuangan Asia Timur 1997.
Deregulasi keuangan dengan pengawasan peraturan yang tidak memadai menyebabkan
gelembung aset yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif dalam perekonomian Asia
Timur. Sementara itu, ekspansi yang cepat bisa juga dapat menyebabkan krisis kredit karena

kredit yang disalurkan sembarangan ke debitar yang pailit dalam rangka meningkatkan
profitabilitas. Terakhir tapi tidak kalah penting, ketika investor menyadari bahwa situasi sudah
buruk, mereka menarik dana mereka, yang menyebabkan arus keluar modal yang besar.
Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

4

Selain teori-teori dasar ini, beberapa literatur menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan juga
bias disebabkan oleh peran arus modal internasional melalui transmisi internasional, seperti pola
perdagangan, tekanan nilai tukar dan investasi asing, yang menyebabkan “efek menular” (lihat
misalnya Chongvilaivan, 2010; Glock dan Rose, 1998; Davis, 2001). Sebagai contoh, Krisis
Keuangan Global yang terjadi pada tahun 2008 sebenarnya dipicu oleh krisis “subprime
mortgage”yang bermula di Amerika Serikat. Meskipun krisis di AS dapat dijelaskan oleh teoriteori di atas, penyebarannya ke daerah lain, termasuk kawasan Asia Timur, disebabkan efek
menular dari krisis “subprimemortgage”.

BAB III
PEMBAHASAN
Kondisi Perbankan Pada Sebelum dan Awal Krisis
Sampai denga tahun pertengahan 1997, pertumbuhan sektor perbankan masih sangat baik.
Mobilisasi dana dari masyarakat masih meningkat dengan pesat dan ekspnasi kredit masih kuat,

terutama sector property. Ekspansi yang berlebihan juga menyebabkan kewajiban perbankan
dalam valuta asing, khususnya pada Bank swasta nasional, meningkat tajam sebagai tercermin
dari cadangan devisa neto yang memburuk dan membesarnya rekening administratif (off balance
sheet) dalam rekening valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit tidak
lancer (non performing loans) pada beberapa cenderung menigkat dan efisiensi usaha mengalami
penurunan. Perkembangan tersebut menyebabkan vulnerability perbankan nasional semakin
tinggi, apa lagi ditambah dengan kondisi perekonomian yang naik turun, industry perbankan
semakin rentan. Kerentanan tersebut diperparah dengan lemahnya sektor fundamental pada
industri perbankan saat itu. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan kerentanan pada sektor mikro
industri perbankan yaitu:
1. Realtif lemahnya kemampuan manajerial bank telah menyebabkan penurunan kualitas
asset produktif dan meningkatnya resiko yang dihadapi bank. Hal ini diperparah
dengan lemahnya sistem pengawasan dan sistem informasi internal bank dalam
memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan permasalahan kredit serta posisi risiko
yang berlebihan. Kelemahan ini semakin membatasi kemampuan bank dalam
mengatasi gejolak keuangan yang dihadapi.
2. Besarnya pemberian kredit dan jaminan bank secara langsung atau tidak langsung
baik terhadap individu atau kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected
lending) telah meningkatkan risiko kemacetan kredit yang dihadapi oleh bank.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melakukan pencegahan terhadap penyaluran

kredit yang tidak wajar dan tidak sesuai dengan asas – asas perkreditan yang sehat.
Namun pelanggaran terhadap masalah connected lending tetap merupakan masalah
yang besar dan masih harus dihadapi industri perbankan nasional. Hal ini terutama,
Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

5

menyangkut struktur perbankan nasional yang dimiliki oleh kelompok – kelompok
bisnis tertentu. Masalah lain yaitu, penyaluran kredit bagi usaha yang memiliki risiko
kredit yang tinggi, misalnya sector property.Pada sisi pasiva, masalah utama adalah
banyaknya penggunaan sumber dana dengan masa jangka pendek dari luar negeri
tanpa hedging yang ditanamkan pada proyek – proyek jangka panjang.
3. Adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral kepada suatu bank
untuk menjamin kelangsungan hidup bank tetsebut dan menjaga dari kegagalan
sistemik dalam industry perbankan sehingga risiko yang dihadapi bank dalam
menghadapi kasus likuiditas praktis menjadi bergeser kepada bank sentral. Hal
tersebut telah menyebabkan moral hazard dikalangan pengelola dan pemilik bank,
yaitu tanapa kekhawatairan akan risiko kekurangan likuiditas, perbankan cenderung
mengambil langkah yang kurang hati – hati dalam pengambilan hutang yang
berlebihan dan member kredit ke sector- sector yang berisiko tinggi.. Kecenderungan

tersebut membuat distorsi dalam pemberian kredit dan meningkatkan risiko terjadinya
krisis perbankan.
4. Kurang transparannya informasi mengenai kondisi perbankan selain telah
menyebabkan kesulitan dalam melakukan analisis secara akurat tentang kondisi
keuangan pesuatu bank juga telah melemahkan upaya untuk melakukan control sosial
dan menciptakan disiplin pasar. Hal tersebut meberikan kesan negatif dan
mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga meningkatkan
risiko sistemik industry perbankan.
5. Sitem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya mampu
mengimbangi kegiatan operasional yang dilakukan bank. Hal ini mendorong bankbank mengabaikan prinsip kehati – hatian dalam kegiatan operasional mereka.
Meskipun, system tentang kehati – hatian perbankan nasional telah baik dan
mengikuti standar dari Bank for international Settlements, lemahnya law enforcement
dan kurangnya independensi bank sentral membuat langkah – langkah tersebut sulit
dilakukan.
Awal kesulitan terjadi ketika nilai tukar rupiah mulai melemah pada Juli tahun 1997, perbankan
nasional sudah terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah membuat meningkatnya
pembayaran kewajiban bank yang harus dibayarkan dalam nilai valuta asing.Dilain pihak,
tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing nilai ekivalennya meningkat tajam sehinggga,
debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kewajibannya. Akibatnya, bank – bank
mengalami kesulitan untuk memenuhi pengambilan dana oleh para nasabah. Melemhnya nilai

tukar rupiah merupakan sebab awal gelombang kesulitan likuiditas perbankan yang kemudian
berlajut sehingga kesulitan likuiditas yang dialami semakin besar.
Krisis likuiditas semakin terasa ketika kreditur mulai menarik dananya dari beberapa bank.
Akibatnya, banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan bahkan
Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

6

mengalami saldo negative pad rekening giro mereka pada Bank Indonesia. Pasokan dana dari
PUAB sudah mulai langka dan bunganya sudah mencapai 200% per tahun untuk jangka waktu
satu malam (overnight). Bank pemasok dana sudah mulai selektif dalam memasok dananya.
Kesulitan dana akibat penarikan yang dilakukan oleh nasabah sudah mulai meluas sehingga
terjadinya saldo debet pada rekening giro bank – bank kepada Bank Indonesia tidak dapat
dihindari danjumlahnya semakin besar. Bank - bank yang sehat pun mengalami kesulitan
likuiditas sehingga juga mengalami saldo debet pada rekeningnya kepada Bank Indonesia.
Penarikan dana tersebut sebagian besar terjadi melalui kliring. Hingga 31 Desember 1997
terdapat saldo negatif 25 bank senilai 20,9 trilliun rupiah.
Krisis tahun 1997 – 1999 dialami dalam 3 fase yang mempunyai karakteristik berbeda satu
dengan lainnya. Tahap awal kebijakan mengatasi kesulitan likuiditas terjadi pada Juli tahun 1997
sampai januari 1998. Tahap kebijakan lanjutan terjadi pada januari 1998 sampai meredanya

fenomena bank rush pada agsustus 1998. Selanjutnya, restrukturisasi perbankan nasional pada
agustus 1998 hingga akhir 1999.

Kebijakan Awal Mengatasi risis Likuiditas Perbankan
Untuk menghadapi kesulitan likuiditas sejak Agustus 1997 – Desember 1997 Bank Indonesia
memberikan kelonggaran pemberian bantuan fasilitas likuiditas kepada bank- bank berupa :
fasilitas saldo debet giro kepada Bank Indonesia,SBI- repo Khusus, Fasilitas Dsikonto(FASDIS),
fasilitas surat berharga pasar uang (SBPU).
Sementara itu, untuk membantu bank – bank yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas
sehingga melanggar ketentuan GWM namun bank – bank tersebut tidak memiliki SBI maka
dalam rapat direksi pada 11 September 1997 diputuskan pemberian fasilitas diskonto atau
(FASDIS) yaitu berupa Fasdis I, Fasdis-repo dan Fasdis II. Fasdis satu merupakan berjangka 2
hari dan dapat diperpanjang 2 kali, batas maksimum Fasdis I adalah 5%. Fasdis I repo
merupakan fasilitas untuk membantu bank sehat tetapi mengalami krisis likuiditas. Fasdis II
merupakan bantuan likuiditas berjangka waktu 90 hari dapat diperpanjang maksimum 2 kali dan
30 kali untuk setiap perpajangan. Batas maksimum Fasdis II adalah 3% dari dana pihak ketiga
dalam rupiah.
Karena mencari dana dari pasar uang sudah semakin sulit, maka bank – bank dalam mengatasi
masalah likuiditasnya cenderung menggantungkan diri pada fasilitas saldo debet Bank Indonesia.
Karena itu Bank Indonesia menggunakan bunga yang tinggi terhadap pengenaan saldo debet
terhadap Bank Indonesia dan memberikan dendan yang berat atas pelanggaran GWM.

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

7

Pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi krisis. Namun, karena masalah
yang menimpa perekonomian masi terus meluas maka pada 8 Oktober 1997 Pemerintah
memutuskan untuk meminta bantuan kepada IMF dan menunjuk Prof Widjojo Nitisastro untuk
mengkoordinasi langkah – langkah yang harus ditetapkan terhadap gejeolak masalah ekonomi
yang berkembang.
Kesepakatan dengan IMF dengan Pemerintah dalam mengatasi krisis dan restrukturisasi
perbankan tertuang dalam Memorandum on Economic and Financial Policies yang disampaikan
dengan surat pemerintah kepada managing director IMF yang juga disebut Letter od Intent(LoI).
Program restrukturisasi perbankan untuk mengembalikan terhadap perbankan yang disusun oleh
pemerintah dan dibantu oleh IMF, World Bank, dan Asian Development Bank diawali dengan
LoI pada tanggal 31 Oktober 1997.
Sebagai langkah awal penyehatan sector perbankan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia dengan bantuan IMF disepakati bahwa melikuidasi bank yang tidak solvent
merupakan tindakan yang wajib dilakukan dalam langka restrukturisasi perbankan. Bahkan,
syarat tersebut merupakan syarat utama yang ditentukan oleh IMF. Maka, akhirnya terdapat 16
bank yang dilikuidasi : Bank Harapan Sentosa, Bank Jakarta, Sejahtera Bank Umum, Bank
Astria Raya, Bank Pacifik, Bank Guna Internasional, South East Asia Bank, Bank Dwipa
Semesta, Bank Pinaesan, Bank Kosagraha Semesta, Bank Anrico, Bank Citrahasta
Danamanunggal, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Andromeda, Bank Industri, Bank Mataram
Dhanaarta.
Kemrosotan kepercayaan kepada perbankan oleh masyarakat yang makin bertambah sejak terjadi
likuidasi 16 bank mengakibatkan kebijakan yang telah diteteapkan semula untuk mencegah dan
mengurangi saldo debet bank – bank kepada Bank Indonesia dengan ancaman sanksi yang berat
dan bunga yang tinggi atas saldo debet serta denda yang berat atas pelanggaran GWM tidak
membuahkan hasil. Setelah 1 Januari 1998 saldo debet masih terus meningkat. Meningkatnya
saldo debet dengan jumlah yang besar tersebut bersumber dari kemrosotan kepercayaan
masyarakat yang makin lama makin rendah dan tidak dapat dibendung lagi. Kemrosotan
kepercayaan juga terjadi bukanhanya dari pihak dalam negeri melainkan juga luar negeri

Kebijakan Lanjutan Untuk Meredakan Krisis
Kebijakan ini dimulai dengan dilaksanakannya kebijakan untuk meredam krisis perbankan
dengan program restrukturisasi perbankan sebagai bagian dari restrukturisasi sector keauangan.
Untuk itu dikaji berbagai kebijakan untuk mengatasi krisis. Rumusan tersebvut berupa jaminan
oleh pemerintah (blanket guarantee) yang diyakini sebagai cara terbaik untuk memperbaiki
kondisi perbankan di Indonesia sambil memulihkan kembali kepercayaan nasional dan
Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

8

internasional serta pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Berikut langkah –
langkahnya :
1. Program jaminan pemerintah
Dalam upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional,
pemerintah memperkenalkan program penjaminan pemerintah atas kewajiban umum
terhadap para deposan dan kreditur. Skim penjaminan pemerintah bersifat
meneyeluruh (Blanket Guarantee) atas kewajiban npembayaran bank umum kepada
deposan dan krediturnya baik dalam maupun luar negeri. Meskipu pada awalnya
program ini cenderung mennimbulkan moral hazard namun, ternyata program ini
membuat masyarakat memiliki kecenderungan untuk meredam masyarakat menarik
dananya dari perbankan.
2. Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Pada awalnya, lembaga ini berfokus pada identifikasi upaya – upaya merehabilitasi
bank – bank bermasalah yang diserahkan oleh Bank Indonesia, karena telah
menikmati fasilitas likuidasi 200%, atau memiliki dana CAR kurang dari 5%. Dengan
dukungan BPPN, Bank Indonesia mampu lebih efektif dalam melakukan tugasnya
sebagai pengawas bank – bank.

Restrukturisasi Perbankan
Dengan meredanya kesulitan likuiditas perbankan dan berkurangnya gelombang penarikan dana,
Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menyiapkan program restrukturisasi perbankan.
Program restrukturisasi perbankan tersebut meiliki 2 tujuan yaitu mengatasi dampak krisis dan
menghindari krisis yang sama di masa yang akan datang. Langkah – langkah tersebut meliputi 4
langkah :
1. Rekapitalisasi Perbankan
Rekapitalisasi bank – bank merupakan langkah strategis untuk memperbaiki
permodalan bank. Kebijakan ini disususun dalam 1 paket yakni:
a. Rekapitalisasi bagi bank – bank yang viable untuk dapat menjadi sehat dan
mencapai rasio kecukupan modal (CAR) minimum sebesar 8% pada tahun
2001.
b. Pembersihan bank – bank dari pemilik dan pengurus yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai pemilik dan pengurus yang baik.
c. Penutupan bagi bank - bank yang diperkirakan tidak mampu bertahan.
d. Penyelesaiaan asset bank yang ditutup
e. Penyelesaian kredit macet bank, dengan mengalihkan ke asset managemen
unit dan menghapusbukukan dari bank – bank yang di rekapitalisasi.

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

9

2. Restrukturisasi Kredit
Aspek ini sangat penting dalam program rekapitalisasi perbankan dan program
penyehatan perekonomian secara keseluruhan. Program ini didasari pada program
restrukturisasi kredit pada Desember 1988 dan berlaku bagi bank – bank yang
direkapitalisasi.
3. Langkah – Langkah Lainnya
Selanjutnya ditempuh langkah – langkah pengembangan infrastruktur perbankan,
untuk meningkatkan daya tahan bank – bank dari berbagai gejolak. Salah satunya
dengan pendirian lembaga penjamin simpanan (LPS) dan pengembangan bank
syariah. Selanjutnya pula dilakukan fungsi penyempurnaan pengawasan bank, yaitu
dengan mengutamakan penegakan hokum (law enforcement) dan meningkatakan
frekuensi pemeriksaan bank yang difokuskan pada isiko yang dihadapi oleh setiap
bank.

BAB IV
PENUTUP
Pemantapan sistem perbankan
Keberhasilan mengatasi krisis dengan berbagai upaya yang diuraikan diatas menyebabkan
perbankan Indonesia siap pemulihan kondisi dan memenuhi fungsi sebagai lembaga intermediasi
keuangan. Awal untuk mewujudkan hal tersebut terlihat sejak Juli 1999 ditandai dengan 3
parameter utama untuk mendorong percepatan pemulihan perbankan yaitu stabilitas kurs dengan
mata uang dollar sebesar Rp 7000/ US Dollar, penurunan suku bunga sebesar 15% pertahun
untuk deposito berjangka 3 bulan. Perkambangan disamping ini juga menghilangkan negative
spread, juga mendorong perbankan untk menyalurkan kredit yang tidak memberatkan pengusaha
juga penurunan inflasi yang mendoron perbankan melakukan ekspansi kredit.
Namun, upaya pengembangan perbankan dimasa yang akan dating perlu dirancang dengan baik
untuk menghindari terjadinya krisis yang sama. Berikut beberapa cara :
1. Peningkatan integritas sumber daya manusia pada sector perbankan
2. Pemantapan pengawasan bank
3. Penciptaan kondisi linkungan perbankan yang kondusif

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

10

DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB). (1999). Asian Development Outlook 1999, Manila: Asian
Development Bank.
Mishkin,F.(2004).Economic of Money Bankings and Financial Markets.New York: Pearson.
Museum, P. (2007) Dampak Krisis Moneter Terhadap Sistem Perbankan.
http://pekerjamuseum.blogspot.com/2007/10/dampak-krisis-moneter-terhadapsistem.html. Diakses tanggal 14 Mei 2015.
Suruji, A. (1998). Laporan Akhir Tahunan Bidang Ekonomi Tahun 1998.
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Krisis_ekonomi.htm. Diakses tanggal 5
Mei 2015
Sejarah Bank Indonesia periode V 1997 - 1999. (1999). Bank Indonesia pada Masa Krisis
Moneter.
Tarmidi, L. (1999). Krisis Moneter di Indonesia : Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran
. Buletin ekonomi Moneter dan perbankan. Maret 1999
Museum, P. (2007) Dampak Krisis Moneter Terhadap Sistem Perbankan.
http://pekerjamuseum.blogspot.com/2007/10/dampak-krisis-moneter-terhadapsistem.html. Diakses tanggal 14 Mei 2015.

Krisis Ekonomi 1997 – 1998 dan Dampaknya Terhadap Sektor Perbankan

11