Potensi Antibakteri Kitosan sebagai Pengawet Alami pada Tahu

PENDANULUAN
Semakin meningkatnya dampak negatif
yang timbul terhadap kesehatan akibat bahan
kimia yang digunakan sebagai pengawet
makanan telah mendorong banyak pibak untuk
mencari altematif bahan pengawet yang lebih
sebat. Beberapa jenis bahan alami yang
berpotensi sebagai pengawet telah diteliti,
namun masih sangat sedikit yang layak
dipergunakan karena sebagian besar bahan
alternatif tersebut dapat menyebahkan
terjadiuya perubahan bau dan rasa pada
makanan (Mustafa 2006). Salah satu baban
alami yang dapat diiarapkan sebagai pengawet
alternatif yang potensial adalah kitosan
(Shahidi er al. 1999).
Kitosan merupakan biopoliier alami
kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang
banyak terdapat pada serangga, crustaceae, dan
fungi (Sanford & Hutchings 1987; Bastaman
1989). Diperkimkan lebih dari 1 0 ~ - 1 0 'ton

~
kitosan diproduksi di alam tiap tahun (Peter
1997). Sebagai negara maritim, Indonesia
sangat berpotensi menghasilkan kitin dan
produk turunannya. Hal ini sejalan dengan
munculnya udang sebagai salah satu komoditas
primadona dalam indusbi pengolahan hasil
perikanan sejak diresmikannya program
peningkatan devisa nonmigas terutama dari
suhsektor perikanan. Limbah cangkang
rajungan di Cirebon berkisar 10 ton perhari
yang berasal dari sekumngnya 20 industri
kecil. Selain limbah udang, data statistika lain
menunjukkan snatu negara yang memiliki
industri
pengolahan
kerang
dapat
menghasilkan limbah sekitar 56.200 ton
(Meidina 2005). Limbah yang mengandung

kitin
tersebut
nienimbulkan
masalah
lingkungan karena tidak diolah dengan baik
Kitosan diperkenalkan pada tahun 1859
oleh Rouget (Steinbuchel & Rhee 2005),
namun kegiatan penelitian terhadap kitosan
baru diintensifkan pada 1970-an oleh Riccanlo
Muvarelli (Seid 2007). Penelitian kitosan
mengalami perkembangan sebingga diketahui
bahwa kitosan berpotensi sebagai penguat
warna dan perekat serat kertas, antimikrob,
antiviral, pengikat lipid, dan berperan dalam
percepatan regenerasi tnlang (Zheng & Zbu
2003; Nagia ef al. 2006; Wawro et al. 2006;
Yudhanto 2007; Muvarelli 1990). Potensipotensi tersebut telah banyak diaplikasikan
secara luas ke berbagai bidang industri.
Di bidang pangan, kitosan dimanfaatkan
sebagai edible coating (pelapis) pada makanan

dan buah segar sehingga proses pembusukan
dapat dikurangi (Nadarajah 2005; Vargas et al.

2006). Penelitian Simpson et al. (1997) juga
menunjukkan udang segar mentah yang
dicelupkan ke dalam larutan kitosan 1% dan
2% bertahan 4 hari lebih lama dibandingkan
udang tanpa kitosan. Dengan melihat potensi
besar kitosan sebagai'pengawet produk pangan
maka perlu dilakukan penelitian terhadap
produk pangan lain (Tharanathan & Kittur
2003).
Tahu merupakan mdkanan yang tinggi
kadar air dan protein sebiugga dikategorikan
sebagai produk yang mudah busuk atan high
perishable food (Shurtleff & Aoyagi 1979).
Kadar protein yang tinggi pada tahu
merupakan media yang baik untuk
pertumbultan jasad renik pembusuk seperti
bakteri. Tekstur tabu yang halns dan lembut,

jnga membuat produlc paugan ini mudab
bancur. Oleb karena itu, produsen tabu
menambabkan bahan pengawet untuk
memperpanjang masa simpan tahu (Sutanti
1989; Saputm 2006). Umumnya, bahan
pengawet yang digunakan adalah jenis sintetis,
seperti formalin. Pen-gpnaan pengawet sintetis
ini dapat berakibat bur& terhadap kesehatan.
Oleb sebab itu, penulis mengembangkan
apliasi pengawet alami kitosati pada tahu.
Penelitian ini hertujuan ~nengujipoteusi
kitosan sebagai antibakteri &an mendapatkan
konsentrasi optimal kitosar~ yang dapat
diynakan untuk memperpanjang masa simpan
tahu. Hipotesis penelitian ini adalah kitosan
memiliki sifat mtihaktzri yang berpotensi
sebagai pengawet alami. Hasil penelitian ini
diiarapkan dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai potensi kitosan sebagai
pengawet bahan pangan sebingga dapat

menggantikan pengawet sinletis.

Kitwan

Kitosan merupakan senyawa t m n a n kitin.
Struktur kednanya dihedakan oleh gugus asetil
pada C2 subunit beksosa (Gamhar 1). Kitosan
diperoleh melalui beberapa tahapan, yaitu
demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi, dan
pemutihan. Demineralisasi dilakukan dengan
larutan asam encer bertujuan menghilangkan
mineral yang terkandung dalan~bahan baku.
Deproteinasi dilakukan dengan basa encer
untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang
masih terdapat dalam baban baku. Pemutihan
dimaksudkan u ~ t u k mengbilangkan warna
sehingga dipeimleh kitosan yang putih
(Hardjito 2006).

PENDANULUAN

Semakin meningkatnya dampak negatif
yang timbul terhadap kesehatan akibat bahan
kimia yang digunakan sebagai pengawet
makanan telah mendorong banyak pibak untuk
mencari altematif bahan pengawet yang lebih
sebat. Beberapa jenis bahan alami yang
berpotensi sebagai pengawet telah diteliti,
namun masih sangat sedikit yang layak
dipergunakan karena sebagian besar bahan
alternatif tersebut dapat menyebahkan
terjadiuya perubahan bau dan rasa pada
makanan (Mustafa 2006). Salah satu baban
alami yang dapat diiarapkan sebagai pengawet
alternatif yang potensial adalah kitosan
(Shahidi er al. 1999).
Kitosan merupakan biopoliier alami
kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang
banyak terdapat pada serangga, crustaceae, dan
fungi (Sanford & Hutchings 1987; Bastaman
1989). Diperkimkan lebih dari 1 0 ~ - 1 0 'ton

~
kitosan diproduksi di alam tiap tahun (Peter
1997). Sebagai negara maritim, Indonesia
sangat berpotensi menghasilkan kitin dan
produk turunannya. Hal ini sejalan dengan
munculnya udang sebagai salah satu komoditas
primadona dalam indusbi pengolahan hasil
perikanan sejak diresmikannya program
peningkatan devisa nonmigas terutama dari
suhsektor perikanan. Limbah cangkang
rajungan di Cirebon berkisar 10 ton perhari
yang berasal dari sekumngnya 20 industri
kecil. Selain limbah udang, data statistika lain
menunjukkan snatu negara yang memiliki
industri
pengolahan
kerang
dapat
menghasilkan limbah sekitar 56.200 ton
(Meidina 2005). Limbah yang mengandung

kitin
tersebut
nienimbulkan
masalah
lingkungan karena tidak diolah dengan baik
Kitosan diperkenalkan pada tahun 1859
oleh Rouget (Steinbuchel & Rhee 2005),
namun kegiatan penelitian terhadap kitosan
baru diintensifkan pada 1970-an oleh Riccanlo
Muvarelli (Seid 2007). Penelitian kitosan
mengalami perkembangan sebingga diketahui
bahwa kitosan berpotensi sebagai penguat
warna dan perekat serat kertas, antimikrob,
antiviral, pengikat lipid, dan berperan dalam
percepatan regenerasi tnlang (Zheng & Zbu
2003; Nagia ef al. 2006; Wawro et al. 2006;
Yudhanto 2007; Muvarelli 1990). Potensipotensi tersebut telah banyak diaplikasikan
secara luas ke berbagai bidang industri.
Di bidang pangan, kitosan dimanfaatkan
sebagai edible coating (pelapis) pada makanan

dan buah segar sehingga proses pembusukan
dapat dikurangi (Nadarajah 2005; Vargas et al.

2006). Penelitian Simpson et al. (1997) juga
menunjukkan udang segar mentah yang
dicelupkan ke dalam larutan kitosan 1% dan
2% bertahan 4 hari lebih lama dibandingkan
udang tanpa kitosan. Dengan melihat potensi
besar kitosan sebagai'pengawet produk pangan
maka perlu dilakukan penelitian terhadap
produk pangan lain (Tharanathan & Kittur
2003).
Tahu merupakan mdkanan yang tinggi
kadar air dan protein sebiugga dikategorikan
sebagai produk yang mudah busuk atan high
perishable food (Shurtleff & Aoyagi 1979).
Kadar protein yang tinggi pada tahu
merupakan media yang baik untuk
pertumbultan jasad renik pembusuk seperti
bakteri. Tekstur tabu yang halns dan lembut,

jnga membuat produlc paugan ini mudab
bancur. Oleb karena itu, produsen tabu
menambabkan bahan pengawet untuk
memperpanjang masa simpan tahu (Sutanti
1989; Saputm 2006). Umumnya, bahan
pengawet yang digunakan adalah jenis sintetis,
seperti formalin. Pen-gpnaan pengawet sintetis
ini dapat berakibat bur& terhadap kesehatan.
Oleb sebab itu, penulis mengembangkan
apliasi pengawet alami kitosati pada tahu.
Penelitian ini hertujuan ~nengujipoteusi
kitosan sebagai antibakteri &an mendapatkan
konsentrasi optimal kitosar~ yang dapat
diynakan untuk memperpanjang masa simpan
tahu. Hipotesis penelitian ini adalah kitosan
memiliki sifat mtihaktzri yang berpotensi
sebagai pengawet alami. Hasil penelitian ini
diiarapkan dapat memberikan informasi
ilmiah mengenai potensi kitosan sebagai
pengawet bahan pangan sebingga dapat

menggantikan pengawet sinletis.

Kitwan

Kitosan merupakan senyawa t m n a n kitin.
Struktur kednanya dihedakan oleh gugus asetil
pada C2 subunit beksosa (Gamhar 1). Kitosan
diperoleh melalui beberapa tahapan, yaitu
demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi, dan
pemutihan. Demineralisasi dilakukan dengan
larutan asam encer bertujuan menghilangkan
mineral yang terkandung dalan~bahan baku.
Deproteinasi dilakukan dengan basa encer
untuk menghilangkan sisa-sisa protein yang
masih terdapat dalam baban baku. Pemutihan
dimaksudkan u ~ t u k mengbilangkan warna
sehingga dipeimleh kitosan yang putih
(Hardjito 2006).

Sitkt kitosan dapat disamakan dengan sifat
polimer kationik, sebab kitosan tidak larut
dalam air atau lamtan alkali di atas pH 6.5.
Kitosm larut dengan cepat dalam asam
organik cau seperti asam format, asam sitrat,
dan asam mineral lain, kecuali sulfnr (Mc Kay
et al. 1987). Kitosan aman bagi l i n g h g a n
karena dapat mengalami degradasi secaxa
biologis dan tidak beracun (Rha 1984).

Gambar 1 Struktur kitosan (Bastaman 1989).

Tahu

Tahu adalah gumpalan protein kedelai yang
diperofeh dari hasil penyarian kedelai yang
telah digiling dengan penambahan garamgaram kalsium, misalnya kalsium sulfat yang
dikenal dengan nama batu tahu, batu coko,
atau sioko. Pada proses pembuatan tahu
diperoleh
ampas
dan
cairan
hasil
penggumpalan tahu (whey) sebagai h a i l
sampingan (Chang et al. 2002).
Tahu seringkali disebut daging tak
bertulang karena kandungan gizinya, terutama
mutu protein yang setara dengan daging
hewan. Bahkan, protein tahu lebib tinggi
dibandigkan protein kedelai. J i a dilihat dari
nilai NPU (Net Protein Utilizatioiz) yang
mencerminkan persentase banyaknya protein
yang bisa dimanfaatkan makhluk hidup,
protein tahu tergolong bermutu baik. Nilai
NPU tahu sebesar 65% atau setara dengan
mutu daging ayam sedangkan nilai NPU
kedelai 61% (Sanvono & Yan 2005).
Selain nilai NPU yang baik, produk ini juga
mempuuyai daya cerna yang tinggi karena
serat kasar dan sebagian serat kasar yang lamt
dalam air kedelai telah terbuang selama proses
peugolahan. Daya cema tahu berkisar 85-98%,
nilai paling tinggi di antara produk kedelai
lainnya. Itulah sebabnya, produk ini dapat
dikonsumsi oleh semua kelompok umur dan
para penderita gangguan pencemaan (Sanvono
& Yan 2005).
Mutu protein suatu bahan pangan juga bisa
dilihat dari kandungan asani amino
penyusunnya. Di antam semua produk olahan
kedelai, kandungan asam amino tahu yang

paling lengkap. Bila dibandingkan dengan
susunan dan junilah asam amino yang
disarankan World Ifeallh Organization
(WHO), tahu mampu meinentihi 70-16Oo/o dari
kebutuhan tubuli. Selain sebagai sumber
protein, tahu juga mengandung zat gizi lain
yang diperlukan oleh tnbuh, seperti lemak,
vitamin, dan mineral. Kadar lemak tahu tidak
tinggi, sekitar 4,3%, nmnun lemak tahu
tergolong bermutu tinggi karena 80% dari
asam lemak penyusnnnya terdiri atas asam
lemak tak jenuh. Kadar asam lemak jenuh
produk ini hanya sekitar 15% dan tidak
mengandung
kolesterol.
Kedelai juga
mengandung asam lemak linoleat yang tinggi.
Asam lemak ini tennasuk risarn lemak esensial.
Di samping itu, terdapat lesitin yang dapat
mengurangi timbunan asani lemak lain
maupun kolesterol yang terakutnulasi dalam
organ-organ tubuh dan pembuluh darah. Oleh
sehab itu, tahu baik untuk diet bagi pengidap
kolesterol tinggi (Sarwono & Yan 2005).
Di balik kandungan gizinya yang tinggi,
tahu merupakan produk pangan yang mudah
rnsak. Pada suhu mang dan tanpa kemosan,
nmur simpan taliu hanya 10 jam (Prastawa et
al. 1980). Jika lebih dari waktu tersebut maka
rasanya menjadi asam, lalu berangsur-angsur
busuk. Pontecarvo dart Bourne (1978)
mengatasinya dengan cara perendaman pada
suhu kamar dan mengganti air setiap hari,
sehingga dapat memperpanjang masa sin~pan
tahu hingga 3 hari. Sementara, pendinginan
bisa mempertal~ankan umur simpan tahu
sekitar 5 hari. Tahu yang masili segar harus
memenuhi kriteria sesuai standar yang
ditetapkan oleh SNI seperti pada Tahel 1.
Tabel 1 Standar SNI unttk mutu tahu
Persyaratan
Parameter
Satuan
normal tahu
Bau
normal tahu
Rasa
putih atau ltuning
Warna
Penampakan
normal tidak
berlendir dan
tidak berjamur
Angka hitung kolonilg 1.0 x 10'
lempeng total
(Sumber: SNI 1992)

-

Antiboliteri
Mikroorganisme dapat menyebabkan
bahaya karena kemampuan menginfeksi dan
menimbulkan penyakit serta memsak bahan
pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan
dengan cara dihambat atau dibunuh secara

fisik maupun kimia. Bahan antimikrob
flle~p?IkaII salah
satu
penghambat
mikroorganisme
secara
kimia
yang
mengganggu pertumbuhan dan metabolisme
mikrob.
Berdasarkan
kelompok
mikroorganisme, antimikrob terdiii atas
antibakteri,
antifungi,
antivirus,
dan
antiprotozoa. Antibakteri adalah zat yang
menghambat perhmbuhan bakteri dan
digunakan secara khusus untuk mengobati
infeksi (Pelczar & Chan 1988).
Berdasarkan cara kerjanya, antibakteri
dibedakan
menjadi
bakterisidal
dan
bakteriostatik.
Antibakteri
bakteriostatik
adalab zat yang bekerja menghambat
pertumbuhan bakteri, sedangkan antibakteri
bakterisidal adalah zat yang bekerja
mematikan bakteri. Beberapa zat antibakteri
bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah
dan bersifat bakterisidal pada konsentrasi
tinggi (Fardiaz et al. 1987).
Mekanisme kerja antibakteri dapat terjadi
melalui beberapa cam, yaitu kerusakan pada
dinding sel, perubahan permeabilitas sel, dan
menghambat sintesis protein dan asam nukleat
(Fardiaz et al. 1987). Banvak faktor dan
ieadaan yang dapatr memhngaruhi kerja
antibak*eri, antara lain konsentrasi antibakteri,
jumlah bakteri, spesies bakteri, bahan organik,
s u b dan pH lingkungan (Pelczar & Cban
1988).

Bakteri Uji
Bakteri merupakan protista bersel tun~qal
yang sangat beigam dan terdapat dim&mana. Bakteri berukuran sangat kecil
(mikroskopis) dalam satuan mikrometer. selsel individu bakteri herbentuk elips atau bola
(kokus), batang atau silinder (basilus), dan
spiral (spirilium). Pola penataan sel berbentuk
tungal, berpasangan, geromhol, mntai, atau
filamen (Pelczar & Chan 1988).
Bakteri dapat memperbanyak din dengan
beberapa cara, yakni pembelahan biner,
melintang spora reproduktif, dan fragmentasi.
Waktu yang dibutuhkan sel untuk membelah
diri menjadi dua kali lipat disebut walm
generasi. Waktu generasi masing-masing
spesies bakteri tidak sama tergantung kondisi
dan nutrisi (Pelczar & Cban 1988).
Dinding set merupakan komponen utama
set yang memberikan bentuk serta kekuatan
pada sel prokariot. Berdasarkan komposisi dan
struktur dinding selnya, bakteri dibedakan
menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif clan
Gram negatif (Pelczar & Cban 1988).

Beberapa perbedaan dapar dilihat pada Tabel 2.
Bakteri uji yang dipilib ialah Bacillus
cereus dan Stapl~ylococc~r
aureus dari Gram
positif serta Escherichia coli dan Salinonella
thypi dari Gram negatif. Tujuannya ialab
mewakili uji ketahanan dinding sel kedua jenis
bakteri. Keempat bakteri uji tersebut tergolong
bakteri patogen dan terdapat dalam berbagai
jenis makanan (Pelczar & Chan 1988).
Tabel 2 Perbedaan antara bakteri Gram positif
dan Gram negatif
Ciri-ciri
Perbedaan
G m positif
Gram negatif
Struktur
tebal(5-80 nm) tipis (10-15
dindine sel dan berlaois
nml dan
tunggal (mono). beriapis tiga
(multi).
Komposisi kandungan lipid kandungan
dinding sel rendah (1-4%),
lipid tinggi

-

pep ti dog lib^

(11-21%),

berlapis
komponen
utama lebih
besar dari 50%
hemt kering

peptidoglikan
di dalam
lapisan kaku,
jumlah sedikit
(lO%berat
kering)

lebih rentan

kurang rentan.

tun@,

Kerzntanan

dm

terhadap
Resisten

kurang resisten

terhadap
ganEguan
fisik
(Sumber: Pelczar & Chan 1988)

Bahan Pengatwet
Bahan pengawet atlalah senyawa yang
mampu menghambat dan menghentikan proses
fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan
tainnya, atau bahan yang dapat membe~ikan
pertindungan bahan pangan dari pembusukan.
Dalam alcsinya sebagai antimikrob, bahan
pengawet bekerja der~gan cara berikut:
mengganggu sistem genetik, menghambat
sintesis dinding sel, dm menghambat enzim
(Cahyadi 2006). Pengad1 penambahan
pengawet terhadap kurva perhmbuhan mikrob
dapat dilihat pada Garnbar 2.
Zat pengawet terdiri atas senyawa organik
dan anorganik. Aktivitas antar bahan pengawet
tidaklah sama, misatnya ada yang efektif
terhadap bakteri, kapang, atan khamir. Zat
pengawet organik Iebih banyak dipakai
daripada anorganik, sehab bahan ini lebih
mudah disintesis. Zat pengawet organik yang
sering dipakai, anlara lain asam sorbat, asam

propionat, asam benzoat, asam asetat, dan
epoksida. Zat pengawet anorganik yang biasa
dipakai, antara lain sulfit, nitrit, dan nitrat
(Winarno 2002). Salah satu pengawet sintetis
yang diizinkan, yaitu natrium benzoat.

bakteri uji. Selanjutnya, cawan petri diiukubasi
pada suhu 37 OC dengan posisi terbalik selama
24 jam. Zona bening yang terbentuk diukur
sebagai aktivitas antibaktcri kitosan.
Pengawetan Tahu

3

-z
P
s

____-----.

B

.T

an

3

Tahu yang digunakan dalatn penelitian ini
adalah tahu putill segar (bobot 220-230 gram)
dari industri rumah tangga di daerab
Cibanteng, Bogor. lndustri tabu tersebut dipilih
karena tidak menggunakan bahan pengawet
sintetis. Tahu yang baru diproduksi tersebut
diberi perlakuan perendaman dalam 300 mL
kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan 0.3%),
akuades, natrium benzont 1%, dan formaliu
I %.

Waktu

Gambar 2 K w a pertumbuhan kultur mikrob
(1)tanpa pengawet dan (2)dengan
pengawet: (a)fase adaptasi, (b)fase
pertumbuhan
awal,
(c)fase
logaritmik, (d)fise pertumbuhan
lambat, (e)fase pertumbuhan statis,
(f)fase menuju kematian, dan (g)
fase kematian (Fardiaz 1987).

BAWAN DAN NdETODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah tabung
reaksi, cawan petri, auto pipet, tip, Erlenmeyer,
gelas piala, autoklaf, oven, pH meter, neraca
analitik, stirer, inkubator, gelas nkur, labu
takar, dan batang pengaduk.
Bahan-bahan yang dipakai adalah media
nutrient agar (NA), biakan bakteri uji
(Baciiltcs cereus, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, dan Salmonella thJJp11,tahu,
larutan kitosan (derajat deasetilasi 80.45% dan
viskositas 210 cps), akuades, plate courtt agar
(PCA), larutan formalin I%, dan laruian
natrium benzoat 1%.
Metode Penelitian
Uji Pendahulnan Konsentrasi Hambat
Tumbnh Minimum (KHTM) (Yadav dan
Bishe 2004)
Larutan kitosan 6% diencerkan dengan
asam asetat 1% menjadi larutan kitosan 2%,
IS%, I%, 0.5%, 0.25%, 0.1%, 0.05%, dan
0.025%. Sebanyak 50 pL dari masing-masing
konsentrasi
larutan
kitosan
tersebut
dimasukkan ke dalam lubang pada media NA
yang sebelumnya telah diinokulasi dengan

Angka Witung LxImpeng Total atau Total
Plute Count (TPC) (Seafirst 2008)
Penghitungan koloni bakteri dilakukan
dengan mekanisme pengenceran. Sebanyak 5
gram tahu dali masing-masing perlakuan
dihaluskan dengan
mortar,
kemudian
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi
45 mL larutan garam fisiologis 0.85% steril
dan divorteks sampai bomogen. Sebanyak 1
mL diambil dari suspensi uniuk diencerkan ke
dalam 9 mL larutan fisiologis lalu divorteks.
Pengenceran dilakukar~ hingga tingkat
pengenceran berikut: 10" (hari ke-1), lo4 (hari
ke-2),
(hari ke-3), da11 10.' (hari ke-4).
Sebanyak 1 ml dari tabung pengenceran
tera!ihir dipindahkan ke dalam cawan petri,
kemudian dicampur dengan PCA bersuhu 4550 OC dan disebar secara merata. Setelah agar
mengeras, cawan diinkubasi pada suhu 37 '%
dengan posisi terbalik selama 48 jam. Koloni
yang tumbuh dibitung dzn dinyatakan sebagai
jumlah colonyforming twit (cfu) per gram atau
koloni per gram berdasarlmn Standar Plate
Count (SPC). Jumlah koloni dihitnng dengan
rumus sebagai berikut:
Z koloni = Z koloni mta-rala x (I/&)
Keterangan:
ip : f a o r pengenceran

Sebanyak 3 gram dari masing-masing
perlakuan dihaluskan dan ditmbahkan 3 mL
akuades. pH snspetisi tadi diukur sebanyak dua
kali setiap hari. Pengukur'm dilakukan dengan
menggunakan pi3 meter.
Uji Organoieptik
Uji organoleptik dilakukan setiap hari oleh

propionat, asam benzoat, asam asetat, dan
epoksida. Zat pengawet anorganik yang biasa
dipakai, antara lain sulfit, nitrit, dan nitrat
(Winarno 2002). Salah satu pengawet sintetis
yang diizinkan, yaitu natrium benzoat.

bakteri uji. Selanjutnya, cawan petri diiukubasi
pada suhu 37 OC dengan posisi terbalik selama
24 jam. Zona bening yang terbentuk diukur
sebagai aktivitas antibaktcri kitosan.
Pengawetan Tahu

3

-z
P
s

____-----.

B

.T

an

3

Tahu yang digunakan dalatn penelitian ini
adalah tahu putill segar (bobot 220-230 gram)
dari industri rumah tangga di daerab
Cibanteng, Bogor. lndustri tabu tersebut dipilih
karena tidak menggunakan bahan pengawet
sintetis. Tahu yang baru diproduksi tersebut
diberi perlakuan perendaman dalam 300 mL
kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan 0.3%),
akuades, natrium benzont 1%, dan formaliu
I %.

Waktu

Gambar 2 K w a pertumbuhan kultur mikrob
(1)tanpa pengawet dan (2)dengan
pengawet: (a)fase adaptasi, (b)fase
pertumbuhan
awal,
(c)fase
logaritmik, (d)fise pertumbuhan
lambat, (e)fase pertumbuhan statis,
(f)fase menuju kematian, dan (g)
fase kematian (Fardiaz 1987).

BAWAN DAN NdETODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah tabung
reaksi, cawan petri, auto pipet, tip, Erlenmeyer,
gelas piala, autoklaf, oven, pH meter, neraca
analitik, stirer, inkubator, gelas nkur, labu
takar, dan batang pengaduk.
Bahan-bahan yang dipakai adalah media
nutrient agar (NA), biakan bakteri uji
(Baciiltcs cereus, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, dan Salmonella thJJp11,tahu,
larutan kitosan (derajat deasetilasi 80.45% dan
viskositas 210 cps), akuades, plate courtt agar
(PCA), larutan formalin I%, dan laruian
natrium benzoat 1%.
Metode Penelitian
Uji Pendahulnan Konsentrasi Hambat
Tumbnh Minimum (KHTM) (Yadav dan
Bishe 2004)
Larutan kitosan 6% diencerkan dengan
asam asetat 1% menjadi larutan kitosan 2%,
IS%, I%, 0.5%, 0.25%, 0.1%, 0.05%, dan
0.025%. Sebanyak 50 pL dari masing-masing
konsentrasi
larutan
kitosan
tersebut
dimasukkan ke dalam lubang pada media NA
yang sebelumnya telah diinokulasi dengan

Angka Witung LxImpeng Total atau Total
Plute Count (TPC) (Seafirst 2008)
Penghitungan koloni bakteri dilakukan
dengan mekanisme pengenceran. Sebanyak 5
gram tahu dali masing-masing perlakuan
dihaluskan dengan
mortar,
kemudian
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang berisi
45 mL larutan garam fisiologis 0.85% steril
dan divorteks sampai bomogen. Sebanyak 1
mL diambil dari suspensi uniuk diencerkan ke
dalam 9 mL larutan fisiologis lalu divorteks.
Pengenceran dilakukar~ hingga tingkat
pengenceran berikut: 10" (hari ke-1), lo4 (hari
ke-2),
(hari ke-3), da11 10.' (hari ke-4).
Sebanyak 1 ml dari tabung pengenceran
tera!ihir dipindahkan ke dalam cawan petri,
kemudian dicampur dengan PCA bersuhu 4550 OC dan disebar secara merata. Setelah agar
mengeras, cawan diinkubasi pada suhu 37 '%
dengan posisi terbalik selama 48 jam. Koloni
yang tumbuh dibitung dzn dinyatakan sebagai
jumlah colonyforming twit (cfu) per gram atau
koloni per gram berdasarlmn Standar Plate
Count (SPC). Jumlah koloni dihitnng dengan
rumus sebagai berikut:
Z koloni = Z koloni mta-rala x (I/&)
Keterangan:
ip : f a o r pengenceran

Sebanyak 3 gram dari masing-masing
perlakuan dihaluskan dan ditmbahkan 3 mL
akuades. pH snspetisi tadi diukur sebanyak dua
kali setiap hari. Pengukur'm dilakukan dengan
menggunakan pi3 meter.
Uji Organoieptik
Uji organoleptik dilakukan setiap hari oleh

6 panelis tetap. Uji ini merupakan penilaian
mutu indrawi terhadap penampakan, aroma,
dan konsistensi selama penyimpanan dengan
tujuan mengetahui tanggapan panelis terhadap
prodnk tabu yang diawetkan dengan kitosan.
Ketiga parameter dinilai melalui rentang skor
1-4. Setiap parameter memiliki spesifikasi
kondisi yang berbeda, namun secara
keselunihan skor tersebut mewakili spesifikasi
berikut:
4 = kondisi tahu sangat baik
3 = kondisi tahu masih baik
2 = kondisi tahu kurang baik
1 = kondisi tahu sangat kurang baik
Tahu yang dianggap masih segar dan baik ialah
tahu dengan standar skor kenampakan, aroma,
dan konsistensi rataan minimal 3.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlaknan yang dipakai terdiri atas laruian
kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan 0.3%)
berdasarkan uji pendahuluan KHTM, kontrol
positif (larutan fonnalin 1% dan larutan
natrium henzoat I%), dan kontrol negatif
(larutan kitosan 0% atau akuades saja).
Pengamatan yang dilakukan, meliputi
penghitungan koloni bakteri, pengukuran pH,
dan uji organoleptik. Data uji organoleptik
diolah dengan program SPSS 13 terhadap uji
keragaman (ANOVAIAnalysis of Variance) dan
uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.

kuat, daenh hambatan 0.5 sampai 1 cm berarti
sedang, dan daerah hambatan 0.5 atau kurang
berarti lemah. Berdasarkan hasil uji KHTM,
kitosan memiliki daya hambat yang tergolong
kuat karena memiliki diameter hambat ratarata 1 sampai 2 em.
Uji pendahuluan terhadap aktivitas
antibakteri dilakukan untuk menentukan
konsentrasi larutan kitosan yang optimal dalam
menghambat pertumbuhan bakteri uji.
Konsentrasi larutan kitosan terbaik akan
digunakan sebagai perlakuan pada pengujian
masa simpan. Dari Tabel 3 diketahni bahwa
kitosan 0.05% memiliki KHTM terbaik.
Tabel 3 Diameter zona bening dari perlakuan
kitosan pada berbagai bakteri uji
Bakteri Uji

Kitosan
(%)

a*

b*

c

v

*

Diameter
mtaan

,--,

Dinmeicr

rataan
1.569
'Ketemngan:
a: B. cereus
b: S oweur

1.209

1.242

1.564

e: E, coli
d: S T ? p i

NASIL DAN PEMBANASAN
Uji Pendahuluan KHTM

Hasil uji KHTM menunjukkan adanya
aktivitas
antibakteri
kitosan
melalui
terbentuknya zona bening. Aktivitas antibakteri
tenebut beragam tergantung jenis bakteri uji
dan konsentrasi kitosan. Tabel 3 menunjukkan
bahwa kitosan memberikan penghambatan
yang lebih besar pada bakteri B.cereus dan
Sthypi. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Jean et al. (2001) dan Hong et al. (2002) yang
menyatakan bahwa efek penghambatan
umumnya lebii besar pada bakteri Gram
positif dibandingkan Gram negatif. Menurut
Hong ef al. (2002), perbedaan daya hambat
yang diperoleh mungkin disebabkan oleh
variasi kondisi penelitian, seperti metode dan
pH media. Todar (1997) mengemukakan
bahwa ketentuan kekuatan antibakteri, antara
lain hambatan 2 cm atan lebih berarti sangat
h a t , daerah hambatan 1 sampai 2 cm berarti

Uji TPC bertujuan mengetahui jumlah
koloni bakteri yang tumbub. Uji ini dilakukan
setiap hari hingga jumlal~koloni bakteri yang
tumbuh melewati standar SNI. Nilai TPC yang
tinggi merupakan indikasi adanya kernsakan
tahu oleh mikrob dalam jumlah besar. Hasil
analisis TPC tabu dapat diliat pada Gambar 3
dan 4.
Secara keseluruhan, nilai TPC tabu dengan
perlakuan kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan
0.3%) mengalami peningkatan setiap hari.
Gambar 3 menunjukkan babwa lama
penyimpanan memberikan peugaruh terhadap
peningkatan
julnlah
bakteri.
Secara
keseluruhan, hari pertama perendaman sudah
memasuki fase logaritmik. Menurut Fardiaz
(1987), fase logaritmik pada knrva
perturnbullan mikroorganisme merupakan fase
ketika pertumbuhan jumlahnya mengikuti
kurva logarihnik. Pada fase ini, kecepatan
pertumbuhan sangat dipcngaruhi oleh kondisi

6 panelis tetap. Uji ini merupakan penilaian
mutu indrawi terhadap penampakan, aroma,
dan konsistensi selama penyimpanan dengan
tujuan mengetahui tanggapan panelis terhadap
prodnk tabu yang diawetkan dengan kitosan.
Ketiga parameter dinilai melalui rentang skor
1-4. Setiap parameter memiliki spesifikasi
kondisi yang berbeda, namun secara
keselunihan skor tersebut mewakili spesifikasi
berikut:
4 = kondisi tahu sangat baik
3 = kondisi tahu masih baik
2 = kondisi tahu kurang baik
1 = kondisi tahu sangat kurang baik
Tahu yang dianggap masih segar dan baik ialah
tahu dengan standar skor kenampakan, aroma,
dan konsistensi rataan minimal 3.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlaknan yang dipakai terdiri atas laruian
kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan 0.3%)
berdasarkan uji pendahuluan KHTM, kontrol
positif (larutan fonnalin 1% dan larutan
natrium henzoat I%), dan kontrol negatif
(larutan kitosan 0% atau akuades saja).
Pengamatan yang dilakukan, meliputi
penghitungan koloni bakteri, pengukuran pH,
dan uji organoleptik. Data uji organoleptik
diolah dengan program SPSS 13 terhadap uji
keragaman (ANOVAIAnalysis of Variance) dan
uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.

kuat, daenh hambatan 0.5 sampai 1 cm berarti
sedang, dan daerah hambatan 0.5 atau kurang
berarti lemah. Berdasarkan hasil uji KHTM,
kitosan memiliki daya hambat yang tergolong
kuat karena memiliki diameter hambat ratarata 1 sampai 2 em.
Uji pendahuluan terhadap aktivitas
antibakteri dilakukan untuk menentukan
konsentrasi larutan kitosan yang optimal dalam
menghambat pertumbuhan bakteri uji.
Konsentrasi larutan kitosan terbaik akan
digunakan sebagai perlakuan pada pengujian
masa simpan. Dari Tabel 3 diketahni bahwa
kitosan 0.05% memiliki KHTM terbaik.
Tabel 3 Diameter zona bening dari perlakuan
kitosan pada berbagai bakteri uji
Bakteri Uji

Kitosan
(%)

a*

b*

c

v

*

Diameter
mtaan

,--,

Dinmeicr

rataan
1.569
'Ketemngan:
a: B. cereus
b: S oweur

1.209

1.242

1.564

e: E, coli
d: S T ? p i

NASIL DAN PEMBANASAN
Uji Pendahuluan KHTM

Hasil uji KHTM menunjukkan adanya
aktivitas
antibakteri
kitosan
melalui
terbentuknya zona bening. Aktivitas antibakteri
tenebut beragam tergantung jenis bakteri uji
dan konsentrasi kitosan. Tabel 3 menunjukkan
bahwa kitosan memberikan penghambatan
yang lebih besar pada bakteri B.cereus dan
Sthypi. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Jean et al. (2001) dan Hong et al. (2002) yang
menyatakan bahwa efek penghambatan
umumnya lebii besar pada bakteri Gram
positif dibandingkan Gram negatif. Menurut
Hong ef al. (2002), perbedaan daya hambat
yang diperoleh mungkin disebabkan oleh
variasi kondisi penelitian, seperti metode dan
pH media. Todar (1997) mengemukakan
bahwa ketentuan kekuatan antibakteri, antara
lain hambatan 2 cm atan lebih berarti sangat
h a t , daerah hambatan 1 sampai 2 cm berarti

Uji TPC bertujuan mengetahui jumlah
koloni bakteri yang tumbub. Uji ini dilakukan
setiap hari hingga jumlal~koloni bakteri yang
tumbuh melewati standar SNI. Nilai TPC yang
tinggi merupakan indikasi adanya kernsakan
tahu oleh mikrob dalam jumlah besar. Hasil
analisis TPC tabu dapat diliat pada Gambar 3
dan 4.
Secara keseluruhan, nilai TPC tabu dengan
perlakuan kitosan (0.05%, 0.1%, 0.2%, dan
0.3%) mengalami peningkatan setiap hari.
Gambar 3 menunjukkan babwa lama
penyimpanan memberikan peugaruh terhadap
peningkatan
julnlah
bakteri.
Secara
keseluruhan, hari pertama perendaman sudah
memasuki fase logaritmik. Menurut Fardiaz
(1987), fase logaritmik pada knrva
perturnbullan mikroorganisme merupakan fase
ketika pertumbuhan jumlahnya mengikuti
kurva logarihnik. Pada fase ini, kecepatan
pertumbuhan sangat dipcngaruhi oleh kondisi

medium, seperti pH, kandungan nutrien, suhu,
dan kelembapan udara. Oleh sebab itu, sel
memhutuhkan energi lebih banyak pada fase
ini dibandingkan fase Iainnya.
Secara keseluruhan, perlakuan kitosan
menyehabkan perlambatan fase logaritmik.
Tahu dengan perlakuan kitosan 0.2% mampu
mengurangi jumlah awal sel mikroh dalam
makanan, namun kurang mampu menghambat
laju pertumbuhan mikrob sehingga melampaui
standar SNI (I x lo6 cfutgram) pada bari ke-4.
Sementara, yang paling baik ditunjukkan oleh
tahu dengan perlakuan kitosan 0.05% dan
0.3% karena mampu menghambat laju
pertumbuhan mikrob dan mempertahankan
standar SNI hingga hari ke-6.
Menurut
Fardiaz
(1987),
prinsip
pengawetan adalab memberi perlakuan
terhadap makanan sedemikian rupa untuk
mencapai salah satu dari beberapa tujuan
berikut: mengurangi jumlah awal sel mikrob
dalam makanan, memperpanjang fase adaptasi
semaksimum mungkin sehingga pertumbuhan
mikrob diperlambat, memperlambat fase
pertumbuhan logaritmik, dan mempercepat
fase kematian sel mikrab. Dengan demikian,
kitosan
dapat
dikategorikan
sebagai
bakteriostatik.
Mekanisme aktivitas antibakteri kitosan
terjadi melalui interaksi gugus NH,'
glukosamin dengan permukaan sel yang
bermuatan negatif (Chung et a/. 2004; Eldin et
a/. 2008). Adanya ketertarikan secara
struktural antara dinding sel hakteri dan
kitosan karena diketahui bahwa dinding sel
bakteri mengandung peptidoglikan yang
struktur dasar rantai utamanya terdiri atas Nasetilglukosamin dan adanya 6-glikan (Qujeq
2004). Di dalam penelitiannya, Rafaat et 01.
(2008) berpendapat bahwa interaksi awal
antara polikationik kitosan dan polimer
dinding sel bermuatan negatif dipengaruhi
oleh interaksi elektrostatis dan asam tekoat.
Akibatnya, pengikatan kitosan ke polimer
dinding sel memicu terjadinya efek seluler
kedua, yakni destabilisasi dan perusakan lebih
jauh pada fungsi membran bakteri sehingga
mengganggu fungsi membran sebagai
pelindung dan mengakibatkan kebocoran
komponen. Destabilisasi membran ini terjadi
melalui mekanisme yang belum diketahui.
Salah satu penggunaan kitosan yang paling
nyata ialah sebagai pengikat lemak. Wydro et
01. (2007) dalam Rafaat el a/. (2008)
menjelaskan bahwa ada interaksi elektrostatis
dan hidrofobik seperti halnya ikatan hidrogen
antara lipid dan kitosan. Sifat inilah yang
mungkin berperan dalam mengurai lipid dari

membran bakteri. Akibatnya, penneabilitas
membran terganggu sehingga pergerakan
substansi mikrobiologi terhambat.
Nilai TPC tahu baik dengan perlakuan
akuades maupun natrium benzoat 1%
mengalami kenaikan jumlah koloni bakteri
setiap hari. Sementara, TPC tahu dengan
perlakuan formalin 1% tetap bernilai no1
sampai hari ke-4 (Gambsr 4).
Tahu dengan perlakuan akuades dan
natrium benznat 1% kurang mampu
menghambat laju pertumbuhan bakteri. Hal ini
disebabkan akuades tidak memiliki aklivitas
antibakteri. Sementara, tahu dengan perlakuan
perlakuan formalin matnpu ~nenghambat laju
pertumbuhan bakteri hingga hari ke-4.
Natrium benzoat tnerupakan salah satu
pengawet yang paling scring digunakan.
Aktivitas antimikrobnya berhubungan dengan
pH dan aktivitas terbesar terjadi pada pH
rendah. Aktivitas natriu~nbenzoat terletak pada
molekul tak terdisosiasi. Nilai pK benzoat
adalah 4.20 dan pada pI3 4.2 sehanyak 60%
komponennya tak terdisosiasi. Sementara pada
pll netral hanya 1.5% yang tak terdisosiasi.

I
Gambar 3

Hlii*.

p~,i,G=GGzY
Pengaruh perlakuan kitosan
0.05%,0.1%,0.2%.dan0.3%
terhadap 'TPC tahu.

1

mcnyatakan bahwa aktivitas antimikrob
kitosan naik seiring pcnurunan pH. Hal ini
disebabkan gugus amino kitosan terionisasi
pada pH di bawah 6 dan membawa muatan
positif. Oleh scbab itu, kitosan mampu
memperlambat pertumbuban mikrob pada tahu
selama penyimpanan karena kondisi pH yang
kondusif bagi aktivitas antibakterinya.

Gambar 4 Pengaruh akuades, natrium benzoat
I%, dan formalin 1% terhadap
TPC tahu.
Analisis pH
Pengukuran derajat keasaman (pH) tahu
bertujuan mengetahui perubahan nilai pH tahu
selama penyimpanan. Pola umum perubahan
pH baik pada tahu perlakuan kitosan (0.05%,
0.1%, 0.2%, dan 0.3%) maupun perlakuan
kontrol positif ialah terjadinya kenaikan pH
hingga titik tertentu lalu mengalami penurunan
(Gambar 5 dan 6). Menurut Fennema (1985),
kenaikau pH
tahu disebabkan oleh
terbentuknya
senyawa-senyawa
hasil
penguraian protein tahu yang bersifat basa
(amoniak atau NH,) oleh mikrob.
Peningkatan pH mempakan indikasi
terjadinya penurunan kualitas tahu karena
semakin tinggi pH maka kesempatan mikrob
untuk merusak tahu akan semakin besal: Jika
berkaitan dengan pI-I maka bakteri merupakan
mikroorganisme
yang
paling
cepat
berkembang dibanding kapang dan ragi.
Apabila mikrob berada di lingkungan dengan
pl-I di bawah atau di atas netral maka
kemampuan mikrob berpoliferasi bergantung
pada kapasitasnya mengubah pH lingkungan
menjadi optimum. Sementara, keberadaan
asam amino sebagai sumber nitrogen yang
berlimpah
memicu
tumbuhnya
mikroorganisme lain. Umumnya, sumber
nitrogen utama seperti asam amino
dimanfaatkan oleh mikroorganisme heterotrof,
sehingga pH menurun setelah mencapai titik
tertentu (Fardiaz 1987). Menurut Datson el a/.
(1977), penurunan pH disebabkan asam dari
aktivitas bakteri asam laktat.
Analisis pH juga terkait dengan aktivitas
antibakteri kitosan. Eldin el a/. (2008)

-+abiadii

hari ke

-5-namvnbpnrml

- -hmI,n

Gambar 5 Pengaruh akuades, natrium benzoat
I%, dan formalin 1% terhadap pH
tahu.

Gambar 6

Pengaruh perlakuan kitosan
0.05%, 0.1%, 0.2%, dan
0.3% terhadap pH tahu.

Uji Organoleptik
Pengamatan hari pertama perendaman
menunjukkan kondisi (ukuran, warna, dan
aroma) tahu dengan perlakuan kitosan (0.05%,
0.1%, 0.2% dan 0.3%), akuades, natrium
benzoat 1%, dan formalin 1% berada dalam
kondisi baik. Menurut hasil uji statistika
dengan selang keperca),aan 95%, kenampakan

POTENSL ANTIBAKTEM KITOSMi
SEBAGAI PENGAWET ALAMI PPaI)A TAWU

PROGRAM STUD1 BIOWMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAENUAI?JALAM
INSTITUT PERTANIAIV BOGOR
BOGOR
2009

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil
kesimpulan bahwa sifat antibakteri kitosan
terbukti mampu memperpanjang masa simpan
tahu hingga 6 hari. Konsentrasi larutan kitosan
yang paling baik menjaga kesegaran tahu ialah
kitosan 0.05%. Larutan tersebut mampu
menjaga keuampakan, aroma, dan konsisteusi
tahu berturut-tumt hingga hari ke-6, ke-4, dan
ke-6. Selain itu, kitosan 0.05% mampu
menghambat laju pertnmbuhan bakteri.
Saran
Penulis berharap adanya penelitian serupa
dengan perlakuan konsentrasi kitosan yang
lebih rendah. Selain itu, perlu adanya
pengujian potensi kitosan sebagai pengawet
alami tahu dengan metode koagulasi protein
tahu. Metode ini menggunakan larutan kitosan
pada proses pembuatan tahu sebagai altematif
metode perendarnan.

DAWAR PUSTAKA
Bastaman S. 1989. Studies on degradation and
extraction of chitin and chitosan from
prawn shell (Nephrops nontegiciis)
[Tesis]. The Department of Mechanical,
Manufacturing,
Aeronautical
and
Chemical Engineering, The Faculty of
Engineering, The Queen's University of
Belfast.
Cahyadi W. 2006. Analisis dun Aspek
Kesehatan Bahan Tarnbahan Pangan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Chang KLB, Lin YS, Chen RH. 2002. The
effect of chitosan on the gel properties of
tofu (soybean curd). J of Food Eng
57:315-319.

technique. Trends Biomater Artif O p z s
22121-133.
Fardiaz F. 1987. Mikrobiologi Pangan Jilid 1.
Bogor: PAU.
Fardiaz S, Suliantari, Dewanti R.
Senyawa Antintikrob. Bogor: PAU.

1987.

Fennema OR. 1985. Food Ciimesitry 2""
Edition. New York Marcel Dekker, Inc.
Frazier WC, Weshoff DC. 1978. Food
Micobiology. New York: Mc Graw-Hill,
Ltd.
Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai
bahan tambahan makanan dan pengawet.
Di dalam Santoso J, editor. Prosiding
Seminar Nasional Kifin-Kitosan 2006;
Bogor, 16 Maret 2006. Bogor:
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
2006. hlml-13.
Hang KN, Young NA, Ho PS, Lee, Meyer SP.
2002. Antibacterial activity of chitosan
oligomers with different molecular
weights. Internat J Food Microbial 746572.
Jean YJ, Park PJ, Kin? SK. 2001.
Antimicrobial
effect
of
chitooligosaccharides
produced
by
bioreactor. Carbohydr P o k n 44:71-6.
Meidina. 2005. Aktivitas antibakteri oligomer
kitosan yang diproduksi menggunakan
kitonase dari isolat B IicJ~en~iforn~is
MB-2
[Tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertalian Bogor.
Mustafa RM. 2006. Studi efektivitas bahan
pengawet aalan~idahm pengawetan tahu
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertalian,
Institut Pertanian Bogor.
Muzzarelli R et al. 1990. Antimicrobial
properties of N-carboxybutyl chitosan.
Anfirnicrobiol Agents and Chemother 34:
2019-2023.

Chung YC e f 01. 2004. Relationship between
antibacterial activity of chitosan and
surface characteristics of cell well. Acta
Phar~~iacol
Sin 25:932-936

Nadarajah K. 2005. Development and
characterization of antimicrobial edible
films 6om crawfish chitosan [Disertasi].
Lousiana: Department of Food Science,
Lousiana State University.

Datson CR Frank HA, Cavaletto CG. 1977.
Indirect methode as criteria of spoilage in
tofu (soybean curd). J FoodSci 43: 969.

Nagia, Ali F, Nassar MA, El Mohamedy R.
2006. Effect of chitosan on coloration of
paper. JAppl Sci Res 2(5):279-283.

Eldin MSM, Soliman EA, A1 Hashem, Tamer
TM. 2008. Antibacterial activity of
chitosan chemically modified with new

Pelczar MJ dan Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Jakarta: UI Pr.
Peter MG 1997. Introduction remarks. Crb

Pontecwvo AJ, Bourne MC. 1978. Simple
methods for extending the self life of soy
curd (tofu) in tropical areas. J Food Sci
43:969
Prastawa SPC, Riyatiningsih, Darmawanti.
1980. Penelitian dun Pengenzbangan
tentang Pengawefan Tahu. Semarang:
Balai Penelitian Kimia.
Qujeq D, Mossavi SE. 2004. Antibacterial
activity of chitosan against Eschericia
coli. Babol MedSci 7:l-12.
Rafaat D, Kristine von K, Albert H, HansGeorg S. 2008. Insight into the mode of
action of chitosan as an antibacterial
compo~ind.Appl and Environ Microbial
74:3764-3773.
Sanford PA, Hutchings GP. 1987. Industrial
polysaccharides.
Structure/Properfy
Relation and Appl363-375.
Saputra SG. 2006. Pemilihan bahan pengawet
yang sesuai pada produk tahu putih
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sanvono B, Yan PS. 2005. Membfrat Aneka
Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya.
[Seafast] Southeast Asia Food and Agricultural
Science and Technology. 2008. Analisis
Angka Lempeng Total Aerobik Metode
Cawan. Bogor: IPB
Seid C. 2007. Paper or plastics? The
commercial future of chitosan. Harvard
Sci Rev. 24-27
Shahidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food
applications of chitin and chitosan. Trends
FoodSci Techno1 10:37-51.
Shurtleff W, Aoyaghi A. 1979. Tofu and
Soymilk Production. Lafayette: New-Age
Foods Study Center.
Simpson BK, Gagne N, Ashie INA, Noroozi E.
1997. Utilization of chitosan for
preservation of raw shrimp (Pandalus
borealis). FoodBiofechnol 11:2544.
Steinbucbel A, Rhee SK, editor. 2005.
Polysaccharides and Polyanzides in the
Food lndzrstry. Weinhem: Wiley-VCH.
lSNll Standar Nasional Indonesia. 1992.
Petunjuk Pengujian Organoleptik. Bogor:
FATETA IPB.
Sutanti D.

1989. Pengamh jenis bahan

penggumpal dan pcngawet jenis asam
terhadap daya awet tahu selama
penyimpanan [skripsi]. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Todar K. 1997. The Control of Microbial
Growth. Wiriconsin: University of
Winconsin.
Tharanathan R, ICilhu F. 2003. Chitin-The
undisputed biomolecule of great potential.
Crit Rev FoodSci43: 61-87.
Vargas M, Albors A, C:hiralt A, GonzalesMartinez C. 2006. Quality of cold-stored
strawberries as affected by chitosan-oleic
acid edible coatings. Post/~arve,vtBiol and
Techno141: 164-171.
Walpole RE. 1982. Pengantar Sfalistika Edisi
ke-3. Sumantri Bambang, penerjernab.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utarna.
Tejemahan dari: Intwduc~ionto Statistics
3rd Edition.
Wawro D, Ciechanska D, Steplewski W,
Bodelc A. 2006. Chitosan microfibrids:
preparation, selected properties and
application. F i b ~ &
s Mia 14397-101.
Widniyana 1M. 1984. Mcmpelajari pembiian
mikrobiologi selama penyimpanan tahu
[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertalian, Institu Pertmian Bogor.
Wydro P, Krajewska B, lfa'c-Wydro K. 2007.
Chitosan as a lipid binder: a Lang~nuir
monolayer study of chitosan-lipid
interactions. BionzacroniolS:2611-2617.
Winarno FG 2002. Kitnia Pangan dun Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yadav AV, Bishe SB. 2004. Chitosan: A
potential biornaterial effective against
typhoid. Cidrrent Sci Y:1176-1178.
Yudhanto AA. 2007. Karakteristik karton
dengan bahan dasar eceng gondok dan
kertas koran bekas rnenggiinakan perekat
alami kitosan [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Zheng LY, Zhu JF. 2003. Study on
antimicrobial activity of chitosan with
different molecular weight. Carbobdr
Po[ynr 54: 527-530

POTENSL ANTIBAKTEM KITOSMi
SEBAGAI PENGAWET ALAMI PPaI)A TAWU

PROGRAM STUD1 BIOWMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAENUAI?JALAM
INSTITUT PERTANIAIV BOGOR
BOGOR
2009

ABSTRAK
FARIDHA KUSUMANINGJATI. Potensi Antibakteri Kitosan sebagai Pengawet
Alami pada Tahu. Dibimbing oleh SURYANI dan A M D ENDANG ZAINAL
HASAN.
Kitosan merupakan senyawa turunan kitin yang terdapat pada serangga,
crustaceae, dan beberapa jenis fungi. Senyawa ini memiliki potensi sebagai
antibakteri, termasuk penggunaannya sebagai pengawet n~akanan.Penelitian ini
bemjuan menguji potensi antibakteri kitosan sebagai pengawet tahu dan
mendapatkan konsentrasi optimal kitosan yang dapat diaplikasikan sebagai
pengawet. Perlakuan yang digunakan terdiri atas larutan kitosan (0.05%, 0.1%,
0.2%, dan 0.3%), akuades, larutan natrium benzoat 1%, dan larutan formalin 1%.
Pengukuran dan analisis yang dilakukan, yakni pH tahu, angka hitung lempeng
total atau Total Plate Count (TPC), dan uji organoleptik (kenampakan, aroma, dan
konsistensi).
Sifat antibakteri kitosan mampu menghambat laju pertumbuhan bakteri
dengan hasil uii statistika berbeda nvala (~