1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya. Karena di dalam diri
manusia melekat hak kodrati yang merupakan anugerah oleh Tuhan berupa harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia, sehingga wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah maupun setiap orang sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.
Karenanya, tidak ada seorangpun dan kekuasaan apapun yang dapat mencabutnya. Hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang melekat dan
dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
1
Sehingga kemudian diartikan bahwa melekatnya hak asasi manusia tidak hanya melekat pada
manusia yang terlahir normal akan tetapi juga melekat pada manusia yang terlahir tidak normal atau yang biasa disebut cacat penyandang cacat.
Penyandang cacat merupakan istilah penyebutan untuk setiap orang yang mempunyai kelainan fisik danatau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Istilah Penyandang cacat sering juga disebut Disabilitas.
Disabilitas atau Disability merupakan istilah penyebutan penyandang cacat dalam konvensi Internasional yaitu Convention on the Rights of Persons with
1
Knult D. Asplund,dkk. ed. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta. Pusham UII. Hal. 11
2
Disabilities CRPD yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 19 Tahun 2011 Tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-hak
Penyandang Cacat. Penyandang cacat pada dasarnya tidak ada bedanya dengan manusia pada
umunya, sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Iindonesia Tahun 1945 atau yang disebut UUD pasal 28A
– 28J yang merupakan jaminan atas Hak Asasi Manusia Jo pasal 5 Undang-undang Nomor
4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Dalam pembukaan UUD menyebutkan tujuan dari pembentukan
Pemerintah Negara Indonesia adalah “...untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia, dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
...”. Penegasan dari tujuan tersebut terdapat dalam pasal 28C ayat 1 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia ”. Pasal 12 Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang HAM menyebutkan tentang hak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk mendapatkan pendidikan. Dalam pasal 6
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat juga menyebutkan penyandang cacat memiliki hak yang sama atas pendidikan pada
semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Demikian pula Deklarasi Universal HAM Pasal 26 Ayat 1 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak
3
memperoleh pendidikan dan pendidikan tersebut harus cuma -cuma, setidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Selain itu lembaga
penyelenggara pendidikan juga memiliki kewajiban untuk membuka akses bagi penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan sebagaimana Pasal 12
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat yang menyebutkan bahwa “Setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan
perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatan serta kemampuannya ”.
Undang-undang tentang sistem pendidikan Nasional menyebutkan tujuan dari pendidikan itu sendiri adalah untuk
“...mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. ..”. Melihat tujuan pendidikan maka Hak atas
pendidikan adalah hak asasi manusia dan merupakan suatu sarana yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hak-hak lain dan merupakan gerbang menuju
keberhasilan.
2
Menurut Cooman sebagaimana yang dikutip oleh Madja El Muhtaj bahwa hak atas pendidikan adalah hak yang memberdayakan
empowerment right yang secara efektif memberikan pengaruh langsung bagi penikmatan dan pemenuhan hak-hak lainnya dan merupakan pemenuhan bagi
jati diri dan kemartabatan manusia.
3
Pengembangan pribadi untuk mendapatkan pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sebagai upaya mengembangkan
2
Knult D. Asplund,dkk ed. Op.cit. Hal. 115.
3
Majda El Muhtaj.2009. Dimensi – Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 167.
4
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa akan sulit diperoleh oleh
penyandang cacat karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Upaya mangatasi kesulitan penyandang cacat disabilitas karena keterbatasan kemampuannya tersebut menurut Pasal 7 PP No. 43 Tahun 1998
Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, kemudian dijelaskan bahwa dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
Dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa
,
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pemenuhan hak aksesibilitas dalam memperoleh pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Mengingat
pentinganya pendidikan dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan antara kehidupan dan pendidikan. Pasal 28 H Ayat 2 Undang
–Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Pasal 41 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
menyebutkan bahwa “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus”. Serta dalam Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
, menyebutkan bahwa “Setiap penyandang cacat
5
berhak memperoleh aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya ”. Dalam Pasal
10 Ayat 2 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pelayanan Bagi Penyandang Disabilitas
menyebutkan bahwa “Setiap penyelenggara pendidikan wajib memberikan pelayanan khusus bagi peserta didik penyandang disabilitas yang disesuaikan
dengan jenis dan derajat kedisabilitasannya”.
Penyandang cacat disabilitas di Indonesia kurang memiliki kesempatan dan atau perlakuan yang sama khususnya terhadap pemenuhan hak
aksesibilitas bagi penyandang cacat disabilitas dalam proses pendidikan seperti yang dimiliki oleh seseorang yang bukan penyandang cacat
nondisabilitas. Kesenjangan ini dapat dibuktikan dengan banyaknya penyandang cacat disabilitas yang tidak diterima di sekolah ataupun
perguruan tinggi karena keterbatasan aksesibilitas yang tersedia bagi mereka baik sarana prasarana maupun tenaga pendidik.
Misalnya kasus seorang anak di Palangkaraya Kalimantan Tengah, yang bernama Dwi Juli lulusan sekolah dasar yang kemudian ditolak masuk ke salah
satu sekolah favorit menengah pertama karena salah satu tangannya cacat.
4
Kasus serupa juga terjadi kepada Tri Winantyo Nugroho yang harus rela tidak meneruskan sekolahnya di sekolah umum SD Negeri Kebondalem 2
Prambanan, Klaten karena cacat pada kedua kakinya. Pasalnya, pihak sekolah menyarankan dia untuk mencari sekolah luar biasa yang sesuai dengan kondisi
fisiknya. Kondisi fisik Nugroho mengalami cacat sejak lahir setelah proses
4
Liputan6. Tidak
Diterima Sekolah
Karena Cacat.
http:m.liputan6.comnewsread144227tidak-diterima-sekolah-karena-cacat , diakses tanggal 14
April 2014
6
kelahirannya dengan cara vakum, akan tetapi Nugroho masih bisa berjalan meski tidak normal.
5
Kasus terbaru berkaitan dengan adanya larangan peserta disabilitas untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi SNMPTN Tahun 2014. Pasalnya syarat
SNMPTN 2014 menyatakan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 diisyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna
daksa, tidak buta warna keseluruhan dan tidak buta warna sebagian. Ketentuan pelarangan ini berlaku untuk fakultas tertentu, misalnya fakultas kedokteran,
fakultas kesehatan, fakultas teknik Arsitek dan sejumlah jurusan lain. Adanya larangan ini selain karena ketidak siapan infrastruktur perguruan tinggi negeri
dalam menampung maupun memenuhi kebutuhan khusus peserta didikanya yang berbeda dengan peserta didik pada umunya.
6
Akan tetapi juga merupakan kualifikasi dalam memilih program studi yang sesuai dengan kriteria kecacatan
serta kemampuan atau kepantasan yang dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin keberhasilan peserta didik dalam menempuh pendidikan pada
program studi yang diminati. Penyandang cacat di Indonesia menunjukkan angka yang tidak sedikit.
Penyebabnya tidak hanya semata-mata karena penyandang cacat memang dilahirkan dengan keadaan cacat, akan tetapi bisa juga karena terjadinya
kecelakaan ataupun penyebab lainnya seperti bencana alam, mengingat letak negara Indonesia yang berada di atas 3 tiga lempeng tektonik sehingga negara
5
M Wismabrata. Kaki Cacat, Seorang Anak Ditolak Sekolah Di SDN Negeri. http:archive.kaskus.co.idthread16629551
, diakses tanggal 14 April 2014
6
Berita Satu.
2014. Penyandang
Cacat Dilarang
Kuliah. https:www.youtube.comwatch?v=5E5F0pQDY84
, diakses tanggal diakses tanggal 14 April 2014
7
Indonesia sering terjadi gempa atau bencana alam lainnya yang banyak memakan korban.
Menurut survey atau pendataan penyandang cacat oleh Departemen Sosial dari hasil survey di 24 provinsi tercatat ada sebanyak 1.235.320
penyandang cacat yang terdiri dari 687.020 penyandang cacat laki-laki dan 548.300 penyandang cacat perempuan. Sebagian besar dari mereka tidak
berpendidikan tidak sekolahtidak tamat SD sebesar 59,9 persen, berpendidikan SD 28,1 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya
pendidikan penyandang cacat masih rendah. Yang lebih memrihatinkan, sebagian besar dari mereka tidak mempunyai keterampilan, sebanyak
1.099.007 orang 89 persen. Dengan pendidikan yang rendah dan ketiadaan keterampilan, membuat mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ada
sebanyak 921.036 orang penyandang cacat yang tidak bekerja 74,6 persen.
7
Tingginya angka penyandang cacat disabilitas yang tidak memperoleh pendidikan menjadikan negara Indonesia menerapkan sistem pendidikan
inklusif yang didelegasikan pertama kali di Bandung pada tanggal 11 Agustus 2004
8
, pendekatan baru ini dilaksanakan dengan meniadakan hambatan –
hambatan yang dapat menghalangi penyandang cacat disabilitas untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Pendidikan Inklusif merupakan
pengoordinasian dan pengintegrasian peserta didik regular dan peserta didik penyandang cacat disabilitas dalam program yang sama.
7
Administrator Menegpp. Penyandang Cacat. http:www.menegpp.go.id
, diakses tanggal 14 April 2014
8
Rafik Akbar.
2009. Deklarasi
Bandung. http:rafikakbar.wordpress.com20091215deklarasi-bandung
, diakses tanggal 10 November 2014
8
Pendidikan inklusif mulai diterapkan dibeberapa sekolah, misalnya di Sekolah Dasar Jolosutro yang menerapkan pendidikan inklusif sejak tahun
20012002 dengan memfasilitasi Guru Pendamping Khusus GPK untuk peserta didiknya yang memiliki kebutuhan khusus.
9
Selanjutnya di Madrasah Aliyah Negeri Maguwoharjo yang juga sudah menerapkan pendidikan inklusif
dengan memfasilitasi Guru Pendamping Khusus GPK dan fasilitas lain berupa sarana prasarana untuk mempermudah akses siswa penyandang cacat
disabilitas terhadap fasilitas fisik sekolah dengan membangun kamar mandi yang diperuntukkan khusus bagi siswa penyandang cacat.
10
Universitas Brawijaya Malang merupakan perguruan tinggi yang menerapkan sistem pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah salah satu
bentuk layanan pendidikan biasa yang sistem pendidikannya menyesuaikan kepada kebutuhan khusus setiap anak yang ada di kelas tersebut baik anak
biasa maupun anak yang berkebutuhan khusus.
11
Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 19 Maret 2012 mendirikan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas
PSLD Universitas Brawijaya yang merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pelatihan tentang isu disabilitas dan pemberian pelayanan bagi
disabilitas di universitas Brawiyaja.
12
Sejak didirikannya Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya Malang menyediakan sebanyak 20
9
Hariyanto,dkk. 2013. Penerapan Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Jolosutro. Yogyakarta. Makalah. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Univ. Sarjanawayatu Taman
Siswa Yogyakarta.
10
Winda Tri Listyaningrum. 2005.Konstruksi dan Model Pendidikan Inklusif Studi Atas Pola Pembelajaran Inklusif Di Madrasah Aliyah Negeri Maguwoharjo. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosila
dan Ilmu Politik Univ. Gajah Mada Yogyakarta.
11
Setyani. 2007. Adaptasi Tuna Netra Dalam Menempuh Pendidikan Pada Sekolah Umum Di Ponorogo. Skripsi. Fakultas Ilmu sisoal dan Ilmu Politik UMM . Hal 38.
12
Administrator PSLD. Sejarah PSLD. http:psld.ub.ac.id
, diakses tanggal 21 Oktober 2014
9
– 25 kursi untuk penyandang cacat disabilitas dan tercatat sejak tahun 2012 - 2014 sudah sebanyak 57 Lima puluh tujuh mahasiswa penyandang cacat
difabel yang kuliah di Universitas Brawijaya Malang. Pendirian Pusat Studi dan Layanan Disabilitas PSLD bertujuan untuk membangun lingkungan
Universitas Brawijaya Malang yang ramah terhadap penyandang cacat disabilitas disabilitas.
Hak atas aksesibilitas merupakan hak asasi manusia sebagai bentuk dalam mewujudkan kesamaan kesempatan khususnya dalam memperoleh
pendidikan. Kesamaan kesempatan atas pendidikan akan mudah diperoleh penyandang cacat disabilitas apabila terdapat akses-akses kemudahan yang
disediakan khusus untuk mereka. Dalam pasal 6 angka 1 dan 4 Undang- undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa
“Setiap penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan dan aksesibilitas dalam rangka kemandiriaannya. Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri No.
30PRTM2006 Tentang Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung Dan Lingkungan menyebutkan bahwa, penyediaan
aksesibilitas ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan menciptakan lingkungan binaan yang ramah bagi semua orang termasuk penyandang cacat
dan lansia. Hak atas akasesibilitas tidak dapat dipisahkan dari hak penyandang cacat
dalam memperoleh pendidikan, sebagaimana jaminan dalam pasal 46 ayat 1 PP No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan
bahwa, “Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik, pendidik dan atau
10
tenaga kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib menyediakan akses saranan prasaranan yang sesuai dengan keb
utuhan mereka”. Hak mendapatkan pendidikan ataupun hak aksesibilitas sebagai wujud
kesamaan kesempatan untuk memperlancar proses pendidikan merupakan hak Ekonomi Sosial Budaya sehingga negara berkewajiban State Obligation
untuk memenuhi fulfill, menghormati to respect, dan melindungi to protect setiap hak pendidikan yang dimiliki oleh warga negaranya. Pada
dasarnya undang-undang telah mengatur tentang hak aksesibilitas untuk mewujudkan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan khususnya dalam memperoleh pendidikan, tetapi dalam kenyataannya implementasi perlindungan hukum terhadap hak
penyandang cacat disabilitas atas hak aksesibilitas dalam memperoleh pendidikan tersebut masih mengalami berbagai hambatan. Beberapa hambatan
yang dialami antara lain: sampai saat ini belum ada data representatif yang menggambarkan jumlah dan karakteristik penyandang cacat yang dapat
diterima di suatu lembaga pendidikan yang menerapkan pendidikan inklusif, serta masih adanya stigma negatif terhadap penyandang cacat.
Berdasarkan adanya kenyataan tersebut diatas yang melatar belakangi
peneliti untuk memilih judul : PEMENUHAN HAK AKSESIBILITAS SEBAGAI WUJUD KESAMAAN KESEMPATAN BAGI MAHASISWA
PENYANDANG CACAT DALAM PROSES PENDIDIKAN Studi Di
Universitas Brawijaya Malang.
11
B. Rumusan Permasalahan