Pahlawan Pengembang Peradaban Sejati

Pahlawan Pengembang Peradaban Sejati
Kamis, 10 November 2016, 14:00 WIB
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
Mengapa Indonesia bisa bersatu dan merdeka pada 17 Agustus 1945? Karena negara ini
didirikan oleh founding fathers yang berjiwa kepahlawanan. Dalam darah para pendiri bangsa
mengalir spirit jihad fi sabilillah, mentalitas kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi.
Pahlawan sejati memiliki jiwa dan mentalitas keterpanggilan untuk rela berjuang dan berkorban
demi kedaulatan dan masa depan bangsanya. Pahlawan sejati tidak pernah menggadaikan
kedaulatan negara dan bangsanya. Karena Tanah Air adalah tanah tumpah darahnya, darah
kepahlawanan mengaliri segenap jiwa dan raganya untuk selalu menyuarakan kemerdekaan dan
kedaulatan.
Apakah negara dan bangsa kita sudah benar-benar berdaulat? Jawabannya tentu belum. Karena
banyak hal terkait hajat hidup rakyat masih sangat bergantung pada asing.
Aneka hidangan yang tersaji di meja makan kita bukan produksi dalam negeri, mayoritas
diimpor. Bahkan, garam saja harus diimpor, padahal dua pertiga wilayah NKRI adalah lautan.
Apakah bangsa ini masih "bodoh" untuk sekadar memproduksi garam? Apakah para sarjana
Institut Pertanian Bogor "gagal" mengembangkan aneka tanaman pangan dan hortikultura di atas
bumi Indonesia yang subur?
Apakah petani Indonesia tergolong "malas" berternak sapi sehingga harus impor daging dari
Australia dan India? Tentu tidak. Semua ketergantungan pada pihak asing itu bukan kebetulan.

Dalam kepemimpinan bangsa ini, tampaknya ada sesuatu yang hilang, yaitu jiwa kepahlawanan
yang otentik. Pemimpin negeri ini telah silih berganti tanpa visi pembangunan dan
pengembangan peradaban yang jelas karena mentalitas kepahlawanan pemimpin bangsa ini
banyak "disandera" kekuatan kapitalisme global.
Dalam bahasa agama, mentalitas kepahlawan itu tergerus dan tergradasi "kepungan modal
kapital", yang membuatnya bermental terjajah oleh pihak asing dan aseng. Dalam bahasa agama,
mentalitas kepemimpinan itu sudah dirasuki oleh penyakit wahn --cinta dunia dan takut mati.
Penyakit mental ini sangat berbahaya, tidak hanya mendegradasi jiwa kepahlawan para
pemimpin, tapi juga berpotensi "menjual" aset, kekayaan, dan harga diri bangsa kepada pihak
asing dan aseng.
Cinta dunia (hubb ad-dunya) itu dapat menghalalkan segala cara atas nama kekuasaan.
Akibatnya, rakyat dikorbankan, loyalitas kepada negara dan bangsa yang merdeka digadaikan,
dan kedaulatan bangsa "diobral" dan diserahkan kepada pihak lain.

Supremasi dan keadilan hukum tidak ditegakkan; rasa keadilan dan suara hati nurani rakyat
dikesampingkan; janji kampanye diingkari. Sementara itu, takut mati (karahiyat al-maut)
merupakan penyakit mental, yang dapat menghalanginya berkontribusi dan berdedikasi sepenuh
hati.
Peradaban profetik
Sebagai bangsa religius, bangsa Indonesia perlu belajar kembali dari sejarah para Nabi karena

sejatinya kisah para Nabi itu merupakan kesatuan yang utuh, dalam membangun sekolah
peradaban profetik. Artinya, pembangunan dan pengembangan bangsa ini perlu mengambil
inspirasi, spirit, dan moralitas dari sekolah peradaban profetik itu. Sebab itu, salah satu indikator
kepahlawanan dapat diukur dengan warisan peradaban dari para Nabi.
Nabi Adam AS mewariskan peradaban "cinta kasih" dalam membangun rumah tangga yang
rukun dan damai. Adam dan istrinya saling menunjukkan cinta kasih setelah sekian lama
berpisah. Perjuangan untuk membuktikan cinta kasih itu diwujudkan dalam bentuk saling
mencari dan akhirnya dipertemukan oleh Allah di Bukit Cinta (Jabal Rahmah).
Tempat pertemuan Adam dan Hawa ini menjadi simbol peradaban berbasis cinta dan perdamaian
sehingga di lokasi yang kemudian disebut Arafah (kearifan, saling mengenal dan memahami jati
diri dijadikan sebagai tempat wukuf atau berhenti sejenak sambil berintrospeksi dan bermunajat
cinta Ilahi) bagi jamaah haji. Dengan kata lain, pahlawan masa kini harus bisa menjadi
pengembang peradaban cinta damai berbasis keluarga bahagia.
Kita juga dapat belajar nilai peradaban dari Nabi Nuh AS. Kisah heroiknya adalah pembelaan
dan penyelamatan bangsanya dari "banjir internasional". Dengan mewariskan teknologi maritim
(kapal), Nabi Nuh tidak hanya berpihak dan menyelamatkan kaumnya, tapi juga melestarikan
binatang dan makhluk lainnya dari kepunahan.
Dengan kata lain, sekolah peradaban profetik Nabi Nuh AS mengajarkan kita, pentingnya
mengembangkan peradaban kebangsaan yang berwawasan lingkungan dan teknologi.
Peradaban profetik yang diwariskan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, juga penting

diwarisi dan diaktualisasikan. Keduanya peletak dasar peradaban berbasis ketuhanan yang Maha
Esa (tauhid sejati), spiritualitas dan moralitas yang luhur, yaitu keikhlasan dan cinta Ilahi tanpa
batas. Peradaban kemanusiaannya dibuktikan dengan mengakhiri tradisi pengorbanan
(penyembelihan) manusia, dengan mengganti pengorbanan binatang.
Artinya, peradaban hanya bisa dibangun dan dikembangkan dengan pilar ketuhanan dan nilainilai moral, seperti keikhlasan, cinta kasih, dan pengorbanan dengan penyembelihan sifat-sifat
kebinatangan.
Dari sekolah peradaban Nabi Musa AS dan Harun AS, kita dapat belajar nilai peradaban yang
diwariskannya, yaitu pentingnya etos perjuangan melawan kediktatoran dan kebiadaban Firaun
sekaligus kapitalisme Qarun. Bermodal iman, kesabaran, komunikasi politik yang santun, dan
mukjizat yang diberikan, Nabi Musa AS dan saudaranya, Harun AS, mengajak Firaun dan Qarun
untuk bertauhid, tidak arogan, dan tidak menindas rakyatnya.

Pahlawan sejati senantiasa berjuang melawan tirani politik dan sosial ekonomi, yang
menyengsarakan rakyat dengan komunikasi yang santun dan bermartabat.
Kepada Nabi Isa AS, kita perlu juga belajar nilai peradaban yang dibangun atas dasar cinta kasih
dan kemanusiaan, termasuk proses pengobatan penyakit dan penyehatan masyarakat. Artinya,
peradaban bangsa hanya dapat dibangun oleh warga negara yang sehat dan saling mangasihi satu
sama lain dalam kehidupan yang damai.
Dari sirah Nabi Muhammad SAW, kita dapat mengambil spirit dan inspirasi beliau sebagai
pahlawan pembangun dan pengemban peradaban sejati. Legasi peradaban yang penting

diaktualisasikan adalah peradaban iman, ilmu, amal, karya nyata dalam segala bidang kehidupan,
tradisi kenabian (sunnah nabawiyyah), seni, dan budaya hidup positif yang memberi nilai tambah
bagi kemasalahatan dan kemanusiaan universal.
Di atas semua itu, sekolah peradaban profetik Nabi SAW mewariskan sistem kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menegakkan supremasi dan keadilan hukum,
menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika sosial: menjaga persatuan, persaudaraan,
perdamaian, toleransi, kerukunan, keadilan, dan keadaban.
Dan, pahlawan pengembang peradaban sejati akan memimpin bangsa dan umatnya dengan
keteladanan yang baik, dengan spirit perjuangan dan kerelaan berkorban demi mewariskan legasi
peradaban berkemajuan bagi masa depan bangsa.
http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/11/10/ogezg616-pahlawan-pengembangperadaban-sejati