PAHLAWAN (2) Nama pahlawan Nama pahlawan

1. Ir. Soekarno (1945-1966)

Visioner
Pada masanya, Indonesia masih belum menjadi NKRI. Dibutuhkan seorang pemersatu yang
berani mengklaim bahwa akan ada satu negara yang akan berdaulat. Mimpi yang direalisasikan
dan upaya pembuktian dibutuhkan kepintaran, keberanian, kepercayaan diri, dan kemampuan
untuk bisa berbicara dengan tepat. Presiden Soekarno memiliki kriteria seperti itu.
Presiden Soekarno dilahirkan dengan wajah yang tampan dan kefasihan berbicara. Terbukti ia
berhasil memenangkan persaingan untuk menarik simpati seorang gadis Belanda cantik. Padahal
banyak juga pria Belanda, yang mengejar wanita tersebut. Modalnya tidak lain adalah Percaya
Diri.
Kata-katanya mampu membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Kata-kata seperti:
“Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum
semerbaknya itu tersebar sekelilingnya. ” dan ” Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit.”
Kata-katanya pun menunjukan ia mempunyai visi yang besar salah satunya adalah menggunakan
kata ‘Gerbang’ dalam kalimat bahwa Indonesia memasuki Gerbang Kemerdekaan. Gerbang
adalah pintu masuk yang besar. Ini menunjukan beliau adalah orang yang punya visi.

Mohammad Yamin

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 24

Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah sastrawan,
sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan
nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan
pelopor Sumpah Pemudasekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah
persatuan Indonesia.[1][2]
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa
dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa
Melayu dalam jurnal Jong
Sumatera,
sebuah
jurnal berbahasa
Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa
Melayu Klasik.
Karier politik Yamin dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa di Jakarta. Ketika itu ia
bergabung dalam organisasi Jong Sumatranen Bond[3] dan menyusun ikrah Sumpah Pemuda
yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. Dalam ikrar tersebut, ia menetapkan Bahasa Indonesia,
yang berasal dari Bahasa Melayu, sebagai bahasa nasional Indonesia. Melalui organisasi
Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai alat persatuan.
Kemudian setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa utama

dalam kesusasteraan Indonesia.
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh gelar sarjana hukum. Ia kemudian bekerja dalam bidang
hukum di Jakarta hingga tahun 1942. Pada tahun yang sama, Yamin tercatat sebagai anggota
Partindo. Setelah Partindo bubar, bersama Adenan Kapau Gani dan Amir Sjarifoeddin, ia
mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Tahun 1939, ia terpilih sebagai
anggota Volksraad.
Semasa
pendudukan Jepang (1942-1945),
Yamin
bertugas
pada Pusat
Tenaga
Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada
tahun 1945, ia terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran. Ia berpendapat
agar hak asasi manusia dimasukkan ke dalam konstitusi negara. [4] Ia juga mengusulkan agar
wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor
Portugis, serta semua wilayah Hindia Belanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI
menyokong ide Yamin tersebut. Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik
Indonesia yang pertama, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam

pemerintahannya.

Achmad Soebardjo

Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
(lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 – meninggal 15 Desember 1978pada umur 82
tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki
gelar Meester in de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896.
Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf,[1] masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng
Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di
wilayah Teluk Jambe, Kerawang.[2] Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah.[2] Ia keturunan
Jawa-Bugis,[1] dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.[2]
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya
nama Achmad Soebardjo.[1] Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia
ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".[3]
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas)
pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan

memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di
bidang undang-undang pada tahun 1933.
Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di
Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad
Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang
Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada
persidangan
pertama
itu
juga
ada Jawaharlal
Nehru dan
pemimpin[4]
pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia
aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
[7]

Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
[8]
Mereka menjemput Soekarno dan Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Achmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda.[10] Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda,
dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik
naskah proklamasi.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet
Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar
Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik
Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan
dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Prof. Dr. Mr. Soepomo, S.H.

Prof. Mr. Dr. Soepomo (Ejaan Soewandi: Supomo; lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 22
Januari 1903 – meninggal di Jakarta, 12 September 1958 pada umur 55 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-undang Dasar

1945, bersama dengan Muhammad Yamin dan Soekarno.[1]
Hampir tidak ada biografi tentang Soepomo, kecuali satu yang dikerjakan Soegito (1977)
berdasarkan
proyek Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan. Marsilam
Simanjuntak berpendapat bahwa Soepomo adalah sumber dari munculnya fasisme di Indonesia.
Soepomo mengagumi sistem pemerintahan Jerman dan Jepang. Simanjuntak menilai Negara
"Orde Baru" ala Jenderal Soeharto adalah bentuk negara yang paling dekat dengan ideal
Soepomo, kesimpulan yang masih perlu diperdebatkan ulang.[1]
Soepomo meninggal dalam usia muda akibat serangan jantung di Jakarta pada 12 September
1958 dan dimakamkan di Solo.
Mohammad Hatta

Proklamator Mohammad Hatta banyak memberikan teladan soal kesederhanaan. Hatta
mengajarkan menjadi pria terhormat tidak harus menjadi orang kaya. Hatta juga mencontohkan
perilaku jujur dan menghindari korupsi. Sesuatu yang sangat langka saat ini. Beliau bertanggung
jawab, berani, pantang menyerah dalam membela negara.


Mr.Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
1. Bertanggung Jawab
2. Berani
3. Pantang Menyerah Dalam Membela Negara.

Alexander Andries Maramis
1. Idealisme kejuangan tinggi
2. Pantang Menyerah
3. Inovatif