Pengaruh Naungan dan Jarak Tanam terhadap Tanaman Soba di Dataran Menengah Kopo, Cisarua – Jawa Barat.

PENGARUH NAUNGAN DAN JARAK TANAM TERHADAP
TANAMAN SOBA DI DATARAN MENENGAH KOPO,
CISARUA – JAWA BARAT

YUDISTIRO ANGGENO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Naungan dan
Jarak Tanam terhadap Tanaman Soba di Dataran Menengah Kopo, Cisarua Jawa
Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Yudistiro Anggeno
NIM G24080038

ABSTRAK
YUDISTIRO ANGGENO. Pengaruh Naungan dan Jarak Tanam terhadap
Tanaman Soba di Dataran Menengah Kopo, Cisarua - Jawa Barat. Dibimbing oleh
IMPRON.
Tanaman soba merupakan tanaman pangan yang memiliki banyak manfaat
antara lain sebagai bahan alternatif untuk pertanian berkelanjutan di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh naungan dan jarak tanam
terhadap pertumbuhan dan perkembangan, intersepsi radiasi, efisiensi
pemanfaatan radiasi dan akumulasi panas tanaman soba kultivar Harunoibuki.
Penelitian dilaksanakan di daerah Kopo, Cijulang, Cisarua, Jawa Barat pada
ketinggian 600 mdpl pada bulan Mei hingga Juli 2012. Penelitian menggunakan
rancangan petak tersarang dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Soba ditanam
di bawah dua kondisi naungan; N0 (tanpa naungan) dan N1 (di dalam naungan
paranet 55%) sebagai faktor utama, sedangkan jarak tanam; P1 (200 tanaman/m2)
dan P2 (50 tanaman/m2) sebagai faktor kedua.

Naungan dan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,
jumlah daun, dan berat kering total. Tanaman dengan jarak tanam rapat mampu
mengintersepsi radiasi 10 – 30% lebih banyak daripada tanaman dengan jarak
tanam renggang. Efisiensi pemanfaatan radiasi setiap perlakuan P1/N0, P2/N0,
P1/N1, dan P2/N1 berturut – turut adalah 3.11, 2.13, 2.76, dan 2.65 g/MJ.
Tanaman di dalam naungan membutuhkan 1380 0C hari dan tanaman tanpa
naungan membutuhkan 1239 0C hari dari mulai tanam hingga panen. Tanaman
tanpa naungan produktivitasnya dua kali lebih banyak dibandingkan tanaman
yang berada di dalam naungan.
Kata kunci: Tanaman soba, kultivar Harunoibuki, akumulasi panas, efisiensi
pemanfaatan radiasi, komponen panen.

ABSTRACT
YUDISTIRO ANGGENO. Effect of Shading and Plant Spacing on Buckwheat
Grown at Intermediateland of Kopo, Cisarua - West Java. Supervised by
IMPRON.
Buckwheat is a crop that has many benefits such as for alternatif food and
sustainable agriculture in Indonesia. This study was conducted to determine the
effect of shading and plant spacing on growth and development, radiation
interception, radiation use efficiency and heat accumulation on buckwheat cultivar

Harunoibuki. The experiment was conducted in May – Juli 2012 in Kopo
Intermediateland, Cijulang, Cisarua, West Java at 600 meters above sea level.
This study used nested experimental design with two factors and three
replications; shading conditions of buckwheat: N0 (no shading) and N1 (shading
by paranet 55%) as main factor; while plant spacing: P1 (200 plants/m2) and P2
(50 plants/m2) as second factor.
Shading and plant spacing have significant effect on height, leaf number,
and total dry mater of plant. Population density of 200 plants/m2 was able to
intercept radiation 10 – 30% more than population density of 50 plants/m2.
Radiation use efficiency on treatment of P1/N0, P2/N0, P1/N1, and P2/N1 were
3.11, 2.13, 2.76, and 2.65 g/MJ. Plants with the shading required 1380 0C day and
plants without shading required 1239 0C day until harvest time. Plant without
shading has double productivity compared to plant with shading.
Keywords :

Buckwheat, cultivar Harunoibuki, heat accumulation, radiation use
efficiency, yield components.

PENGARUH NAUNGAN DAN JARAK TANAM TERHADAP
TANAMAN SOBA DI DATARAN MENENGAH KOPO,

CISARUA – JAWA BARAT

YUDISTIRO ANGGENO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaruh Naungan dan Jarak Tanam terhadap Tanaman Soba di
Dataran Menengah Kopo, Cisarua – Jawa Barat.
Nama
: Yudistiro Anggeno

NIM
: G24080038

Disetujui oleh

Dr Ir Impron, M Agr Sc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Rini Hidayati, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah Pengaruh
Naungan dan Jarak Tanam terhadap Tanaman Soba di Wilayah Kopo, Cisarua,

Bogor - Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Impron M. Agr. Sc.
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, bantuan, kritik, nasehat
yang sangat berguna bagi penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu
Adeleyda Lumingkewas yang telah berkenan memberi kesempatan bagi penulis
untuk ikut serta dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah (alm), ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga atas segala doa dan
kasih sayangnya. Terima kasih kepada Tirsa Eka Saputri S. Hut atas semangat,
dukungan dan doa yang diberikan kepada penulis. Kepada teman satu penelitian
saudara Iput Pradiko S.Si, terima kasih atas kebersamaan dan bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak
Arifin di kebun Kopo Cijulang Cisarua yang telah membantu dalam proses
pelaksanaan dan memfasilitasi terlaksananya penelitian ini. Terima kasih teman –
teman GFM 45 atas semua kebersamaan, kekeluargaan, dan persahabatan selama
ini. Terima kasih kepada seluruh keluarga besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Minang (IPMM) Bogor atas semangat dan dukungannya. Terima kasih juga saya
sampaikan kepada Jeni Febrianto S.KH, Agung K Kopa, Maktam, Muhammad
Irvandri S.Pt, Olanda Patricia S.Pt, dan Pri Menik Day S.Pt. Akhirnya kepada
semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Yudistiro Anggeno

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanaman Soba
2
Naungan
3
Kerapatan Populasi Tanaman
3
Intersepsi dan Efisiensi Pemanfaatan Radiasi
3
Akumulasi Panas
3
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
4
Alat dan Bahan
4
Metode Pelaksanaan Penelitian
4
Rancangan percobaan
4
Pengolahan tanah

5
Pemasangan naungan
5
Penanaman
5
Pemeliharaan dan pemanenan
6
Pengamatan
6
Pengamatan iklim
6
Pertumbuhan, perkembangan dan komponen panen tanaman soba
6
Pengolahan dan analisis data
6
Biomassa tanaman
6
Koefisien pemadaman
6
Intersepsi radiasi surya

6
Indeks panen
7
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya
7
Akumulasi panas
7
Analisis statistik rancangan percobaan
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Cuaca Selama Penelitian
7
Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Soba
8
Tinggi tanaman
8
Jumlah daun
10
Berat kering total per tanaman
11

Indeks Luas Daun (ILD), Spesific Leaf Area (SLA), dan Koefisien Pemadaman
(k)
13
Radiasi Surya Total
14
Intersepsi Radiasi Surya
14
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya
15
Akumulasi Panas
16
Faktor yang Mempengaruhi Akumulasi Panas Tanaman Soba
17

vi

Pengaruh suhu udara
Pengaruh radiasi surya
Pengaruh faktor lain
Komponen Panen Tanaman Soba
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

17
17
18
18
19
20
20
22
29

DAFTAR TABEL
1 Penelitian tanaman soba di beberapa tempat di Indonesia
2 Fase pertumbuhan tanaman soba
3 Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman menurut uji lanjut
Duncan
4 Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman menurut uji lanjut
Duncan
5 Pengaruh jarak tanam terhadap jumlah daun menurut uji lanjut
Duncan
6 Pengaruh naungan terhadap jumlah daun menurut uji lanjut Duncan
7 Pengaruh jarak tanam terhadap intersepsi (%) menurut uji lanjut Duncan
8 Pengaruh naungan terhadap intersepsi (%) menurut uji lanjut Duncan
9 Akumulasi panas tanaman soba
10 Pengaruh jarak tanam terhadap komponen panen tanaman soba
menurut uji lanjut Duncan
11 Pengaruh kondisi naungan terhadap komponen panen tanaman soba
menurut uji lanjut Duncan

1
2
9
9
10
10
14
15
17
19
19

DAFTAR GAMBAR
1 Tanaman soba
2 Jarak antar tanaman dalam baris
3 Radiasi surya rata - rata
4 Suhu udara rata - rata
5 Tinggi rata-rata semua ulangan
6 Jumlah daun rata-rata semua ulangan
7 Berat kering total rata-rata semua ulangan
8 Proporsi berat kering organ tanaman terhadap berat kering total ratarata semua ulangan: (a) P1/N0; (b) P1/N1; (c) P2/N0; (d) P2/N1
9 Indeks luas daun rata-rata semua ulangan
10 Specific Leaf Area (SLA) rata-rata semua ulangan

2
5
8
8
9
10
11
12
13
14

vii

11 Korelasi pertambahan berat kering total dengan akumulasi intersepsi ratarata semua ulangan: (a) tanpa naungan; (b) di bawah naungan

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun tanaman, dan berat
kering total tanaman soba
2 Proporsi berat kering organ tanaman terhadap berat kering total
tanaman soba
3 Data intensitas radiasi dan akumulasi intersepsi
4 Akumulasi panas tanaman soba
5 Dokumentasi pengamatan lapangan

22
23
24
25
27

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan bahan pangan di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami
peningkatan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Upaya peningkatan
ketersediaan pangan dapat dilakukan salah satunya dengan diversifikasi tanaman
pangan terutama yang mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi sehingga
dapat digunakan sebagai alternatif bahan makanan pokok.
Tanaman soba (buckwheat) mempunyai nama latin Fagopyrum
esculentum Moench merupakan tanaman pangan yang dapat memproduksi tepung
dan juga sudah dikembangkan di pertanian Indonesia. Soba merupakan tanaman
penghasil tepung yang dapat dikembangkan sebagai alternatif bahan pangan baru.
Sebagai tanaman penghasil tepung, soba memiliki kandungan karbohidrat 77.5%
dan protein 6.4% (Edwardson 1996). Merujuk dari penelitian – penelitian yang
telah dilakukan (Tabel 1), penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon
perlakuan naungan dan jarak tanam terhadap tanaman soba kultivar Harunoibuki
di Cisarua pada 600 mdpl. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbaharui
informasi yang sudah ada dan potensi pengembangannya di Indonesia.
Tabel 1 Penelitian tanaman soba di beberapa tempat di Indonesia
No

Peneliti
(tahun)

Elevasi
(mdpl)

Kultivar

Tahun

1

Perdinan

1150

Kitawase
Hitachi

2001

2

Sangadji

1150
400

Kitawase

2001

3

Masyitah

Ciawi-Bogor

415

Kitawase

2001

4

Emawati

Cipanas-Cianjur

1150

Kitawase

2001

5

Irawan

Cijeruk-Bogor

550

Kitawase
Hitachi

2002

6

Pradiko

Pasir Sarongge

1150

Harunoibuki

2012

Lokasi
Pasir Sarongge
Cipanas-Cianjur
Pacet-Cianjur
Ciawi-Bogor

Produksi
Rata - rata
(ton/ha)
5.5
3.7
1.5
2.8
2.8
3.2
4.1
2.9
2.9
4.1
4.6

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; (i) pengaruh naungan dan jarak
tanam terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba; (ii) menduga dan
menganalisis intersepsi dan efisiensi pemanfaatan radiasi surya pada kondisi
naungan dan jarak tanam yang berbeda; (iii) serta menghitung dan menganalisis
akumulasi panas tanaman soba pada kondisi naungan yang berbeda.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tanaman Soba
Tanaman soba berasal dari dataran tinggi Cina (Provinsi Yunnan dan
Sichuan) yang kemudian menyebar dan dibudidayakan di New York,
Pennsylvania, Michigan, Wiconsin, Ohio, Virginia Barat, serta daerah lainnya
(Edwardson 1996). Tanaman soba merupakan tanaman herba, dengan klasifikasi
sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Caryophyllae
Famili
: Polygonaceae
Genus
: Fagopyrum
Spesies
: Fagopyrum esculentum Moench
Tanaman soba memiliki karakteristik morfologi sebagai berikut; tinggi
tanaman 60–130 cm, batang dan cabang sukulen, daun berbentuk hati, biji
berbentuk sudut trianguler, dan akar tunggang. Tipe pertumbuhan soba
indeterminate, yaitu batang tetap tumbuh walaupun sudah masuk fase generatif,
sehingga pada satu tanaman terdapat biji yang sudah masak tetapi bagian atas
masih berbunga (Grubben dan Siemonsma 1996). Fase pertumbuhan tanaman
soba menurut Gupta et al. (2011) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Fase pertumbuhan tanaman soba (Gupta et al. 2011)
Fase Pertumbuhan
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Fase 6
Fase 7
Fase 8
Fase 9

Emergensi
Pembentukan sepasang daun pertama
Muncul tunas dan pertumbuhan daun
Pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan daun
Pembungaan dan tidak ada lagi pertumbuhan daun
Puncak pembungaan
Pembentukan biji dimulai
Fase biji susu
Biji coklat

Gambar 1 Tanaman soba

Hari setelah
perkecambahan
4
8
15
20
30
40
52
62
75

3

Naungan
Naungan merupakan kondisi yang menggambarkan terhalang dan
berkurangnya radiasi matahari yang sampai ke tanaman. Mohr dan Schopfer
(1995) menyatakan kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap lingkungan
ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Menurut Cruz (1997), kondisi naungan
dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam
fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya. Pengaruh intensitas cahaya
rendah pada penelitian yang dilakukan Pradiko (2012) menyatakan bahwa
pemberian naungan 55% menyebabkan tanaman menjadi mudah patah, mudah
rebah, dan produksi biji rendah.

Kerapatan Populasi Tanaman
Kerapatan populasi menunjukkan jumlah individu tanaman (populasi) per
satuan luas lahan tempat tumbuh tanaman akibat adanya perbedaan jarak tanam.
Perbedaan kerapatan tanaman mempengaruhi kompetisi dalam penggunaan air,
zat hara antar tanaman, dan efisiensi penggunaan cahaya yang akhirnya
mempengaruhi penampilan serta produksi tanaman (Harjadi 1996).
Penelitian Perdinan (2002) di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge,
menjelaskan bahwa tanaman soba dengan kerapatan populasi 100 tanaman/m2
mempunyai Indeks Luas Daun (ILD) yang lebih kecil daripada kerapatan populasi
150 tanaman/m2. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tanaman dengan
jarak tanam kurang rapat akan menghasilkan biji yang lebih berat.

Intersepsi dan Efisiensi Pemanfaatan Radiasi
Menurut Handoko (1994) intersepsi adalah selisih antara radiasi yang
diterima di atas tajuk dengan di bawah tajuk tanaman. Radiasi surya merupakan
sumber energi utama bagi seluruh aktifitas fisiologis dan metabolisme tanaman.
Energi didapat melalui proses fotosintesis dan diubah menjadi energi kimia yang
disimpan dalam bentuk karbohidrat. Beberapa faktor yang menyebabkan
perbedaan dalam penerimaan radiasi adalah posisi daun, susunan daun, struktur
tegakan, indeks luas daun, serta ketersedian air dan hara (Asyiardi 1993).

Akumulasi Panas
Suhu udara berperan penting dalam proses biofisika dan biokimia. Proses
perkembangan tanaman selama hidupnya dapat diduga dengan menggunakan
konsep akumulasi panas. Konsep ini menggunakan suhu udara rata – rata harian

4

sebagai peubah untuk menentukan tahapan perkembangan dan umur tanaman
(Handoko 1994). Menurut Koesmaryono (1996) interaksi antara suhu udara dan
radiasi surya berpengaruh terhadap suhu daun yang kemudian dapat
mempengaruhi proses fotosintesis alami tanaman. Konsep akumulasi panas
didasarkan pada kebutuhan total panas dari tanaman untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan soba sangat dipengaruhi oleh
kondisi suhu.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penanaman dilakukan pada tanggal 20 Mei 2012. Periode pengamatan dan
pengambilan data dimulai tanggal 20 Mei hingga 20 Juli 2012 di Kebun
Pembibitan Kelompok Tani Kopo, Cijulang, Cisarua, Kabupaten Bogor Propinsi
Jawa Barat pada koordinat lintang 6039’31.3” LS dan 106053’41.1” BT dengan
elevasi 600 mdpl. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Agrometeorologi
GFM – FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah (cangkul, kored, tugal,
dan ajir), tube solarimeter, digital voltmeter DT 830 B, printer HP, termometer
bola basah dan bola kering, oven, timbangan, jangka sorong, paranet 55%, bambu
penyangga bangunan paranet, alat tulis, dan seperangkat komputer dengan
software MS. Excel dan SAS portable v9. Bahan yang digunakan adalah benih
soba varietas Harunoibuki, pupuk kandang 10 ton/ha, dan abu sekam 2 ton/ha.

Metode Pelaksanaan Penelitian
Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Tersarang
(Nested Design) dua faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor utama adalah
naungan terdiri dari dua taraf perlakuan. Faktor kedua adalah anak petak terdiri
dari dua taraf perlakuan. Taraf perlakuan yang digunakan sebagai berikut:
Perlakuan naungan (N) sebagai faktor utama:
N0
=
tanpa naungan
N1
=
naungan paranet 55%
Jarak tanam (P) sebagai faktor kedua:
P1
=
jarak tanam 2.5 cm x 20 cm (200 tanaman/m2)

5

P2
=
jarak tanam 10 cm x 20 cm (50 tanaman/m2)
Kombinasi perlakuan:
P1/N0 : Jarak tanam rapat (2.5 cm x 20 cm) tanpa naungan
P2/N0 : Jarak tanam renggang (10 cm x 20 cm) tanpa naungan
P1/N1 : Jarak tanam rapat (2.5 cm x 20 cm) dalam naungan paranet 55%
P2/N1 : Jarak tanam renggang (10 cm x 20 cm) dalam naungan paranet 55%
Model linear yang digunakan adalah:
Y ijk = µ + α i + β j(i) + ε ij(k)
Keterangan :
Y ijk = nilai peubah yang diamati
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh naungan ke-i
β j(i) = pengaruh kerapatan populasi (jarak tanam dalam baris) ke-j dalam
naungan ke-i
εijk
= pengaruh acak dari pengaruh naungan ke-i dan kerapatan populasi ke-j
serta ulangan ke-k
Pengolahan tanah
Pengolahan lahan meliputi pembersihan lahan dari gulma, pengolahan dan
pembuatan bedeng. Tanah dipupuk dengan pupuk kandang serta abu sekam
kemudian didiamkan selama 2 minggu.
Pemasangan naungan
Naungan yang digunakan adalah paranet 55%. Pemasangan naungan
dilakukan sebelum sebar benih pada lahan yang akan ditanam.
Penanaman
Jarak tanam antar tanaman dalam baris adalah 2.5 cm dan 10 cm. Jarak
tanam antar baris adalah 20 cm dari arah Timur ke Barat. Jarak ini dipilih karena
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Sangandji (2001); Masyithah (2001);
Emawati (2001) menghasilkan bobot biji yang berat dan hasil panennya paling
bagus. Jarak tanam antar tanaman dalam baris adalah 2.5 cm dan 10 cm. Lubang
penanaman dibuat sistem larikan (kedalaman 2.5 cm).

Gambar 2 Jarak antar tanaman dalam baris

6

Pemeliharaan dan Pemanenan
Pemeliharaan tanaman setiap hari meliputi pembuatan ajir, penyulaman
tanaman (setelah 2 minggu setelah tanam), penyiraman, serta pengendalian hama.
Pemanenan dilakukan apabila 80% biji tanaman telah berwarna coklat.
Pengamatan
Pengamatan iklim
Suhu udara dan radiasi surya di lokasi penelitian diukur dari pukul 09.00
WIB setiap satu jamnya sampai pukul 17.00 WIB.
Pertumbuhan, perkembangan dan komponen panen tanaman soba
Contoh tanaman untuk sampel destruktif diambil sebanyak dua tanaman
per minggu dan bukan tanaman pinggir. Tinggi tanaman dan jumlah daun diukur
seminggu sekali mulai 3 MST sampai 7 MST. Indeks Luas Daun (ILD) ditentukan
menggunakan persamaan (luas daun/luas lahan) x jumlah populasi. Daun tanaman
hasil destruktif kemudian di scan dan disimpan dalam file ekstensi *.jpg. Luas
daun diperoleh dari persamaan (berat daun replika kertas A4/berat kertas A4) x
luas kertas A4. SLA (Specifik Leaf Area) ditentukan menggunakan persamaan
luas daun / bobot daun. Bobot kering tanaman ditimbang dari bobot tanaman hasil
destruktif yang dikeringkan dengan suhu 800C selama tiga hari. Hal ini bertujuan
untuk menghitung pertambahan berat kering tanaman setiap minggunya.
Komponen non destruktif meliputi berat biji kering, indeks panen, potensi hasil,
berat 1000 biji, cabang dan diameter batang.
Pengolahan dan analisis data
Data yang diperoleh dari penelitian diolah menggunakan software MS.
Excel dan dianalisis keragamannya menggunakan SAS portable v9.
Biomassa tanaman
Persamaan yang digunakan adalah:
dW = Wn – W(n-1)
dW = pertambahan berat kering tanaman per minggu (g/m2); Wn = berat kering
minggu ke n; W(n-1) = berat kering minggu ke n-1.
Koefisien pemadaman
Nilai koefisien pemadaman (k) dipengaruhi oleh sifat optik tanaman. Sifat
optik tanaman relatif tetap dari awal hingga akhir pengamatan. Oleh karena itu,
nilai k semua perlakuan diasumsikan sama dan konstan dari 3 hingga 8 MST.
Koefisien pemadaman (k) dihitung menggunakan persamaan:
k = ln (Q0/Q) / ILD
Q = radiasi di bawah tajuk (MJ/m2); Q0 = radiasi di atas tajuk (MJ/m2).
ILD = Indeks Luas Daun.
Intersepsi radiasi surya
Intersepsi radiasi surya dihitung menggunakan persamaan dari hukum Beer:
Qint = Q0 (1 – exp(-k x ILD))
Qint = intersepsi radiasi surya (MJ/m2);

7

Indeks panen
Indeks panen diperoleh dari hasil berat kering biji dibagi berat kering total.
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya
Nilai Efisiensi Pemanfaatan Radiasi (EPR) atau ε ditentukan berdasarkan
kemiringan garis hasil plotting akumulasi intersepsi radiasi (MJ/m2) dan
penambahan berat kering atau biomassa tanaman (g/m2).
Akumulasi panas
Persamaan untuk menentukan akumulasi panas adalah sebagai berikut:
AP = s ∑
AP = akumulasi panas (0C hari); s = fase perkembangan tanaman; T rerata = suhu
rata – rata harian; T dasar = suhu dasar tanaman soba 50C (Edwardson 1996).
Analisis statistik rancangan percobaan
ANOVA (Analysis of Variance) dengan taraf nyata (α) 5% dilakukan
menggunakan software SAS portable v9 untuk mengetahui perbedaan
perkembangan dan pertumbuhan akibat pengaruh perlakuan naungan dan
kerapatan populasi. Pengujian dilakukan menggunakan uji F. Pengaruh perlakuan
dikatakan sebagai pengaruh nyata apabila F hitung lebih besar daripada F tabel.
F hitung
Selanjutnya digunakan uji lanjut Duncan (Rp) untuk mengetahui beda nilai
tengah hasil pengamatan antara setiap perlakuan (p) yang dapat ditentukan
melalui persamaan:
Rp = rα; p; dbg SẎ ; SẎ = √
rα; p; dbg = nilai tabel Duncan pada taraf nyata α, jarak peringkat dua perlakuan p
dan derajat bebas galat sebesar dbg.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Cuaca Selama Penelitian
Penelitian dilakukan di dataran menengah Kopo, Cisarua Bogor Jawa
Barat pada ketinggian 600 mdpl. Kondisi cuaca selama penelitian panas berawan,
radiasi surya dominan dari pagi hingga siang hari, sedangkan kondisi cuaca pada
sore hari biasanya berawan dan sering terjadi mendung. Selama penelitian, hari
hujan terjadi sebanyak 8 kali dan biasanya terjadi pada sore hari.
Radiasi surya rata – rata tempat penelitian di luar naungan adalah 10.3
2
MJ/m dan di dalam naungan adalah 6.4 MJ/m2. Radiasi maksimum dan mínimum
rata –rata adalah 15.9 MJ/m2 dan 6.3 MJ/m2 (Gambar 3). Kondisi suhu udara rata
– rata di tempat penelitian di luar naungan dan di dalam naungan adalah 29.4 0C
dan 28.6 0C. Pemberian naungan paranet 55% dan jarak tanam menyebabkan
perbedaan pada penerimaan radiasi surya dan suhu udara.

8

Gambar 3 Radiasi surya rata – rata

Gambar 4 Suhu udara rata – rata

Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Soba
Tinggi tanaman
Hasil tinggi rata – rata tanaman soba (Gambar 5) menjelaskan bahwa
tanaman ternaungi lebih tinggi daripada tanaman di luar naungan. Kemudian
tanaman dengan jarak tanam renggang sedikit lebih tinggi daripada tanaman
dengan jarak tanam rapat. Kondisi naungan berpengaruh besar terhadap tanaman.
Tanaman ternaungi menunjukkan respon etiolasi yang menyebabkan batang
menjadi lebih panjang, lebih rapuh, mudah patah, dan rebah.
Penelitan yang dilakukan Irawan (2002) menyatakan bahwa tanaman
dengan jarak tanam rapat (150 tanaman/m2) lebih tinggi daripada tanaman dengan
jarak tanam renggang (100 tanaman/m2). Pada tanaman dengan populasi renggang
radiasi yang diterima lebih banyak masuk ke dalam tajuk tanaman, sehingga
pengaruh buruk etiolasi lebih kecil dan tanaman menjadi lebih kuat.

9

Gambar 5 Tinggi rata – rata semua ulangan
Tabel 3 Pengaruh jarak tanam terhadap tinggi tanaman menurut uji lanjut Duncan
Tinggi rata - rata (cm)

Umur
P1/N0

P2/N0

P1/N1

P2/N1

3 MST

33.6a

30.3a

32.9a

30.1a

4 MST

60.4a

58.3a

58.7a

56.3a

5 MST

72.0a

73.0a

71.6a

72.8a

6 MST

78.4a

79.6a

77.1a

81.2a

7 MST
80.1a
81.2a
77.7a
83.0a
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Tabel 4 Pengaruh naungan terhadap tinggi tanaman menurut uji lanjut Duncan
Tinggi rata - rata (cm)

Umur
P1/N0

P1/N1

P2/N0

P2/N1

3 MST

33.6a

32.9a

30.3a

30.1a

4 MST

60.4a

58.7a

58.3a

56.3a

5 MST

72.0a

71.6a

73.0a

72.8a

6 MST

78.4a

77.1a

79.6a

81.2a

7 MST
80.1a
77.7a
81.2a
83.0a
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Hasil uji lanjut terhadap nilai tengah Duncan memperlihatkan bahwa
perbedaan jarak tanam dan kondisi naungan tidak menyebabkan perbedaan nyata
terhadap tinggi tanaman (Tabel 3 dan Tabel 4).

10

Jumlah daun
Gambar 6 menunjukkan bahwa jumlah daun pada jarak tanam renggang
lebih banyak daripada jumlah daun pada jarak tanam rapat, dan jumlah daun
tanaman di luar naungan lebih banyak daripada jumlah daun di dalam naungan.
Jumlah daun terbanyak adalah 33 daun pada kombinasi P2/N0. Jumlah daun
paling sedikit adalah 18 daun pada kombinasi perlakuan P1/N1.

Gambar 6 Jumlah daun rata – rata semua ulangan
Tabel 5 Pengaruh jarak tanam terhadap jumlah daun menurut uji lanjut Duncan
Jumlah daun rata – rata

Umur
P1/N0

P2/N0

P1/N1

P2/N1

3 MST

5a

7a

4a

5b

4 MST

11a

16a

8a

12b

5 MST

19a

26a

14a

21b

6 MST

24a

31a

17a

25b

7 MST
24a
33a
18a
27a
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Tabel 6 Pengaruh naungan terhadap jumlah daun menurut uji lanjut Duncan
Jumlah daun rata – rata

Umur
P1/N0

P1/N1

P2/N0

P2/N1

3 MST

5b

4a

7a

5a

4 MST

11b

8a

16a

12a

5 MST

19b

14a

26a

21a

6 MST

24b

17a

31a

25a

7 MST
24b
18a
33a
27a
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

11

Keterbatasan radiasi pada tanaman ternaungi menyebabkan kurangnya
alokasi fotosintat untuk mendukung proses fotosintesis, sehingga mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan daun kurang optimal. Hasil uji lanjut nilai
tengah berdasarkan uji Duncan (Tabel 5 dan Tabel 6) menunjukkan bahwa
perbedaan jarak tanam serta kondisi naungan memperlihatkan perbedaan yang
nyata terhadap jumlah daun tanaman.

Berat kering total per tanaman
Berat kering total (BKT) tanaman pada Gambar 7 menunjukkan bahwa
tanaman di luar naungan memiliki nilai lebih besar daripada tanaman ternaungi.
Kemudian BKT tanaman dengan jarak tanam renggang juga memiliki nilai yang
lebih tinggi. Pada kondisi kekurangan cahaya tanaman berupaya mempertahankan
agar fotosintesis tetap berlangsung pada intensitas cahaya rendah dan
mengakibatkan metabolisme terganggu, sehingga menyebabkan penurunan laju
fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Sopandie et al 2003).
Proporsi berat kering masing – masing organ tanaman terhadap berat
kering total memperlihatkan bahwa semua perlakuan mempunyai karakteristik
yang sama. Pada saat tanaman berumur 3 MST, proporsi berat kering daun adalah
yang paling besar. Setelah itu, proporsi berat kering batang menjadi yang paling
dominan tetapi proporsi berat kering daun mulai menurun.
Penurunan proporsi berat kering batang mulai terlihat setelah
pembentukan biji dimulai (5 MST). Mulai saat itu hingga panen, proporsi berat
kering biji menjadi yang paling dominan. Adapun untuk proporsi berat kering
akar relatif stabil, tetapi pada saat menjelang panen proporsi berat kering akar
mengalami penurunan.

Gambar 7 Berat kering total rata – rata semua ulangan

12

a)

b)

c)

d)

Gambar 8 Proporsi berat kering organ tanaman terhadap berat kering total rata –
rata semua ulangan a) P1/N0 b) P1/N1 c) P2/N0 d) P2/N1

13

Indeks Luas Daun (ILD), Spesific Leaf Area (SLA), dan Koefisien
Pemadaman (k)
Menurut Koesmaryono (1996) peningkatan populasi tanaman akan
meningkatkan Indeks Luas Daun (ILD) yang kemudian dapat menurunkan
penetrasi cahaya ke dalam kanopi. Nilai ILD sangat dipengaruhi oleh jumlah
populasi, semakin rapat populasi akan meningkatkan nilai ILD. Nilai ILD
seharusnya semakin besar seiring bertambahnya umur tanaman dan menurun
menjelang panen karena alokasi biomassa untuk daun sudah menurun. Tetapi nilai
yang didapat berbeda, nilai ILD terus meningkat seiring bertambahnya umur
tanaman (Gambar 9). Hal ini diduga karena hujan yang terjadi dan adanya
tambahan unsur hara pada 7 MST yang memicu perkembangan vegetatif lagi pada
tumbuhan khususnya pada jumlah daun.
Nilai SLA (Gambar 10) pada semua perlakuan cenderung memiliki pola
dan karakteristik yang sama. Nilai SLA kanopi daun muda biasanya lebih tinggi
daripada kanopi daun tua. Nilai SLA tanaman soba setelah dirata – ratakan pada
perlakuan P1/N0, P2/N0, P1/N1, dan P2/N1 berturut – turut adalah 368, 427, 497,
dan 484 cm2/gram. Dapat dilihat dari nilai tersebut, bahwa rata – rata daun
tanaman ternaungi lebih tipis dan lebih luas daripada tanaman tanpa naungan.
Haryanti (2008) juga berpendapat bahwa daun tanaman ternaungi
memiliki ukuran lebih luas, lebih tipis, ukuran stomatanya lebih besar, sel
epidermis tipis, dan ruang antar sel lebih banyak tetapi memiliki jumlah daun
lebih sedikit. Nilai SLA penelitian ini tidak jauh berbeda dengan nilai SLA
penelitan sebelumnya yang dilakukan Perdinan (2001) di Pasir Sarongge untuk
kultivar Kitawase dan Hitachi berkisar antara 404 sampai 536 cm2/gram.
Nilai koefisien pemadaman (k) dipengaruhi oleh sifat optik tanaman. Nilai
k yang diperoleh relatif tetap dari awal hingga akhir penanaman. Nilai k perlakuan
P1/N0, P2/N0, P1/N1, dan P2/N1 yaitu sebesar 0.63. Nilai k penelitian ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian Pradiko (2012) di daerah Pasir Sarongge pada
jenis dan kultivar yang sama yaitu 0.69.

Gambar 9 Indeks luas daun rata – rata semua ulangan

14

Gambar 10 Specific Leaf Area (SLA) rata – rata semua ulangan

Radiasi Surya Total
Intensitas radiasi total di atas tajuk tanaman soba di dalam naungan
sebesar 381 MJ/m2 selama 59 hari dan tanaman di luar naungan sebesar 579
MJ/m2 selama 51 hari. Rata – rata intensitas radiasi surya total harian di dalam
naungan dan di luar naungan adalah 6.4 MJ/m2 dan 10.3 MJ/m2. Paranet pada
tanaman ternaungi yang digunakan adalah paranet 55%. Hasil pengukuran di
lapangan menunjukkan paranet 55% hanya mampu menahan 33% radiasi surya.
Kondisi ini diduga karena adanya radiasi baur, radiasi baur merupakan faktor
utama yang menyebabkan hanya 33% radiasi yang tertahan oleh paranet.

Intersepsi Radiasi Surya
Intersepsi tanaman soba meningkat seiring bertambahnya umur tanaman
sejalan dengan peningkatan indeks luas daun.
Tabel 7 Pengaruh jarak tanam terhadap intersepsi (%) menurut uji lanjut Duncan
Perlakuan

Umur
3 MST

P1/N0
57a

P2/N0
29b

P1/N1
45a

P2/N1
24b

4 MST

72a

38b

62a

34b

5 MST

83a

46b

75a

41b

6 MST

87a

50b

78a

46b

7 MST

91a

55b

86a

51b

96a
61b
90a
58b
8 MST
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

15

Tabel 8 Pengaruh naungan terhadap intersepsi (%) menurut uji lanjut Duncan
Perlakuan

Umur
3 MST

P1/N0
57a

P1/N1
45a

P2/N0
29a

P2/N1
24b

4 MST

72a

62a

38a

34a

5 MST

83a

75a

46a

41a

6 MST

87a

78a

50a

46a

7 MST

91a

86a

55a

51a

96a
90a
61a
58a
8 MST
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Intersepsi radiasi pada tanaman dengan jarak tanam renggang (P2) lebih
kecil daripada tanaman dengan jarak tanam rapat (P1). Setelah dilakukan uji
lanjut, perbedaan jarak tanam menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
intersepsi sedangkan pada perbedaan pengaruh naungan tidak berbeda nyata
terhadap intersepsi radiasi tanaman (Tabel 7 dan Tabel 8).

Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya
Gambar 11 memperlihatkan bahwa nilai dari efisiensi pemanfaatan radiasi
tanaman soba dengan perlakuan P1/N0, P2/N0, P1/N1, dan P2/N1 berturut - turut
adalah 3.11, 2.13, 2.76, dan 2.65 g/MJ. Nilai efisiensi pemanfaatan radiasi
tanaman dengan populasi rapat pada kedua kondisi tanpa naungan dan di dalam
naugan lebih tinggi dan lebih efisien dalam memanfaatkan radiasi surya
dibandingkan tanaman dengan populasi renggang. Hal serupa juga dinyatakan
oleh Emawati (2001), bahwa tanaman dengan populasi rapat lebih efisien dalam
memanfaatkan radiasi surya daripada tanaman populasi renggang.

a)

16

b)

Gambar 11 Korelasi pertambahan berat kering total dengan akumulasi intersepsi
rata – rata semua ulangan a) tanpa naungan b) di bawah naungan

Akumulasi Panas
Tanaman ternaungi membutuhkan akumulasi panas sebesar 1380 0C (59
hari) hingga panen, kemudian tanaman di luar naungan membutuhkan akumulasi
panas sebesar 1239 0C (51 hari) hingga panen. Fase perkembangan di dalam
naungan dan di luar naungan membutuhkan waktu hampir sama dari fase mulai
tanam hingga fase bunga mulai mekar. Akan tetapi nilai perkembangan ini terlihat
berbeda mulai dari fase bunga mekar sempurna hingga fase biji coklat pada hari
setelah tanam (Tabel 9).
Tanaman di luar naungan dan di dalam naungan memerlukan jumlah hari
yang sama untuk mencapai fase pertumbuhan dan perkembangan yang sama dari
awal fase perkecambahan hingga fase bunga mulai mekar (23 HST). Rata – rata
selisih nilai s (proporsi akumulasi panas fase perkembangan terhadap akumulasi
panas total) tanaman di luar dan di dalam naungan adalah 0.04. Nilai selisih
semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Pada saat bunga mulai
mekar hingga panen tanaman soba di luar dan di dalam naungan membutuhkan
waktu yang berbeda untuk mencapai fase produksi. Tahapan untuk perkembangan
tanaman soba yang paling sensitif terhadap kondisi naungan adalah awal
pembentukan bunga (Wang & Campbell 2004).
Penelitian yang dilakukan Pradiko (2012) di Pasir Sarongge juga
menyatakan bahwa akumulasi panas tanaman soba di luar dan di dalam naungan
dengan kultivar yang sama (Harunoibuki) adalah 1126 C0 hari dan 1300 C0 hari.
Nilai yang diperoleh dari penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Pradiko di Pasir Sarongge.

17

Tabel 9 Akumulasi panas tanaman soba
HST

Akumulasi Panas
(˚C hari)
Tanpa
Naungan
naungan

Tanpa
naungan

Naungan

0

0

0

3

3

5

5

7

S
Fase Perkembangan

Tanpa
naungan

Naungan

0

0

0

Mulai Tanam

75.4

72.6

0.06

0.05

Mulai Berkecambah

126

120.9

0.10

0.09

7

181

173.5

0.15

0.13

11

11

278.4

268.2

0.22

0.19

15

15

371.9

357.8

0.30

0.26

Muncul Kotiledon
Muncul Sepasang
Daun Pertama
Mulai Bertunas dan
Perkembangan
Vegetatif
Muncul Bakal Bunga

23

23

557.7

537.7

0.45

0.39

27

28

660

661.6

0.53

0.48

30

32

738

761.4

0.60

0.55

Bunga Mulai Mekar
Bunga Mekar
Sempurna
Pembentukan Biji

38

41

936.2

974.4

0.76

0.71

Fase Biji Susu

51
59
1239.2
1380.4
1.00
1.00
Fase Biji Cokelat
Keterangan : HST(Hari Setelah Tanam), s(fase perkembangan tanaman), P1(populasi 200 tan/m2),
P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Menurut Yan et al (1995) peningkatan suhu mengakibatkan jumlah hari
untuk terjadinya perkecambahan berkurang. Tanaman di luar naungan yang
memperoleh intensitas radiasi lebih besar dan akumulasi panas lebih kecil dengan
waktu panen yang lebih sedikit yaitu 51 hari. Sedangkan tanaman ternaungi yang
mendapat intensitas radiasi lebih kecil dan akumulasi panas lebih besar memiliki
masa panennya lebih lama dan membutuhkan waktu 59 hari.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa radiasi surya yang besar dapat
mempercepat pertumbuhan dan perkembangan, begitu juga sebaliknya. Penulis
menduga ada beberapa faktor lain yang cukup kuat untuk mempengaruhi dan
menyebabkan akumulasi panas kedua perlakuan jauh berbeda.

Faktor yang mempengaruhi akumulasi panas tanaman soba
Pengaruh suhu udara
Suhu udara merupakan faktor utama dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan. Suhu rata – rata di dalam naungan adalah 28.6 0C dan suhu rata –
rata di luar naungan adalah 29.4 0C. Perbedaan suhu pada kedua perlakuan ini
karena pemberian naungan pada salah satu perlakuan, sehingga menyebabkan
tanaman di luar naungan lebih cepat dalam pertumbuhannya.
Pengaruh radiasi surya
Tanaman yang berada di dalam naungan membutuhkan derajat panas
hingga 1380 C0 hari atau 141 C0 hari lebih besar daripada tanaman tanpa naungan.

18

Naungan paranet 55% menyebabkan akumulasi panas tanaman soba di bawahnya
lebih banyak 15% daripada tanaman di luar naungan. Kemudian radiasi total yang
tertahan oleh paranet sebesar 33% daripada radiasi total yang diterima oleh
tanaman tanpa naungan.
Pengaruh faktor lain
Pengaruh faktor lain pada penelitian ini adalah hujan dan angin. Kejadian
hujan meningkatkan pertumbuhan vegetatif lagi dan menghalangi proses
reproduksi. Hujan yang terjadi pada 7 MST menyebabkan sebagian besar
tumbuhan menjadi rebah dan mudah patah karena tidak mampu menahan hujan,
apalagi pada tanaman ternaungi yang lebih rapuh karena adanya pengaruh etiolasi.

Komponen Panen Tanaman Soba
Berat kering biji (g/tanaman) dengan jarak tanam renggang lebih berat
daripada tanaman jarak tanam rapat. Kemudian nilai berat kering biji (g/m2) dan
potensi hasil (ton/ha) tanaman dengan populasi rapat lebih besar daripada tanaman
dengan populasi renggang. Kondisi di luar naungan tetap memiliki nilai lebih
besar daripada tanaman di dalam naungan. Naungan dan jarak tanam berpengaruh
nyata pada ketiga komponen ini (Tabel 10 dan Tabel 11).
Pada Tabel 10, nilai potensi hasil tanaman di luar naungan 2 kali lebih
besar daripada tanaman ternaungi, dan potensi hasil tanaman jarak tanam rapat
lebih besar daripada tanaman dengan jarak tanam renggang, karena tanaman pada
jarak tanam rapat memiliki jumlah populasi yang lebih tinggi. Menurut Duncan
(1986 dalam Primantoro 1999) semakin tinggi kerapatan maka semakin rendah
hasil biji tiap tanaman dan potensi hasilnya. Populasi yang sangat rapat
mengakibatkan terjadinya kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air, ruang,
cahaya, dan CO2 yang mengakibatkan produksi biji akan rendah baik pertanaman
maupun perluasan.
Berat 1000 biji tanaman ternaungi lebih besar daripada tanaman di luar
naungan dan tanaman jarak tanam renggang memiliki nilai yang lebih besar.
Tanaman ternaungi lebih lama 8 hari dalam pengisian biji dan tanaman populasi
renggang lebih banyak memperoleh ketersediaan hara dan mineral sehingga
pengisian biji lebih optimal. Perbedaan kondisi naungan dan jarak tanam tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap indeks panen dan berat 1000 biji.
Tanaman dengan jarak tanam renggang memiliki jumlah cabang dan
diameter lebih besar daripada tanaman jarak tanam rapat. Jarak tanam renggang
meningkatkan tanaman memanfaatkan unsur hara, sinar matahari dan air lebih
maksimal untuk pertumbuhan cabang dan diameter batang. Hasil uji statistik
memperlihatkan bahwa perbedaan jarak tanam dan kondisi naungan memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah cabang dan diameter batang.

19

Tabel 10 Pengaruh jarak tanam terhadap komponen panen tanaman soba menurut
uji lanjut Duncan
Komponen Panen

Nilai Rata – Rata
P1/N0

P2/N0

P1/N1

P2/N1

Wbiji (g/tanaman)

3.8a

7.3a

1.4b

3.0a

Wbiji (g/m2)

764.3a

367.3b

248.3a

143.3a

Potensi Hasil (ton/ha)

7.7a

3.7b

2.5a

1.5a

Indeks Panen

0.5a

0.6a

0.5a

0.5a

W 1000 biji (g)

27.9a

29.0a

28.7a

30.2a

Cabang

3a

4a

2b

3a

Diameter cabang (cm)
0,4b
0,5a
0.3b
0.4a
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

Tabel 11 Pengaruh kondisi naungan terhadap komponen panen tanaman soba
menurut uji lanjut Duncan
Komponen Panen

Nilai Rata – Rata
P1/N0

P1/N1

P2/N0

P2/N1

3.8a

1.4b

7.3a

3.0b

Wbiji (g/m )

764.3a

248.3b

367.3a

143.3b

Potensi Hasil (ton/ha)

7.7a

2.5b

3.7a

1.5b

Wbiji (g/tanaman)
2

Indeks Panen

0.5a

0.5a

0.6a

0.5a

W 1000 biji (g)

27.9a

28.7a

29.0a

30.2a

Cabang

3a

2a

4a

3a

Diameter cabang (cm)

0.4a
0.3b
0.5a
0.4b
Keterangan : huruf yang sama pada masing - masing kolom yang dipisahkan garis menunjukkan
tidak ada perbedaan yang nyata menurut uji nilai tengah Duncan. P1(populasi 200
tan/m2), P2(populasi 50 tan/m2), N0(tanpa naungan), N1 (naungan paranet 55%).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman soba lebih baik ditanam pada
kondisi tanpa naungan dan pada jarak tanam renggang (50 tanaman/m2). Tanaman
di luar naungan dan jarak tanam renggang pertambahan vegetatifnya lebih baik
dan memiliki berat kering total yang lebih besar daripada tanaman ternaungi
paranet 55%.
Tanaman dengan jarak tanam rapat (200 tanaman/m2) memiliki nilai
intersepsi yang lebih besar daripada tanaman dengan jarak tanam renggang. Nilai
efisiensi pemanfaatan radiasi tanaman soba pada tanaman tanpa naungan dengan

20

jarak tanam rapat, tanaman tanpa naungan dengan jarak tanam renggang, tanaman
ternaungi 55% dengan jarak tanam rapat, tanaman ternaungi 55% dengan jarak
tanam renggang, berturut - turut adalah 3.11, 2.13, 2.76, dan 2.65 g/MJ.
Akumulasi panas tanaman soba tanpa naungan sebesar 1239 C0 hari
selama 51 hari hingga panen, sedangkan akumulasi panas tanaman di dalam
naungan sebesar 1380 C0 hari selama 59 hari hingga panen. Radiasi surya yang
besar dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Saran
Penanaman tanaman soba pada daerah dataran menengah Kopo Cisarua
Jawa Barat, lebih potensial dilakukan pada kondisi di luar naungan dan juga pada
jarak tanam renggang untuk mendapatkan produktifitas yang optimal. Tanaman
soba lebih baik ditanam pada saat peralihan musim hujan ke musim kering untuk
menghindari curah hujan yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Asyiardi. 1993. Pengaruh jarak barisasn dan pemangkasan daun bawah tanaman
jagung dalam kacang tanah terhadap efisiensi radiasi surya dan produksi
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Cruz P.1997. Effect of shade on the growhth and mineral nutrition of C4 perennial
grass under field conditions. Plant and Soil 188:277-237.
Edwardson S. 1996. Buckwheat: Pseudocereal and Nutraceutikal. J. Janick,
editor. Progress in new crops. ASHS Press, Alexandria, VA: 195-207
Emawati. 2001. Efisiensi pemanfaatan radiasi matahari dan tingkat satuan panas
pada tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench.) di Cipanas-Cianjur
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Grubben GJN, Semonsma JS. 1996. Plant Resource of South East Asia 10 Cereal.
Di dalam: Grubben GJH, Partohardjono S, editor. Bogor (ID): PROSEA.
Gupta N., K. Sharma S., C. Rana Jai, S. Chauhan R. 2011. Expression of
Flavonoid Biosynthesis Genes Vis-à-vis Rutin Content Variation in Different
Growth Stages of Fagopyrum Species.Journal of Plant Physiology 168:
2117-2123.
Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk
Pertanian. Bogor (ID): Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.
Harjadi SS. 1996. Pengantar Agronomi. Jakata (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Haryanti S. 2008. Pengaruh naungan yang berbeda terhadap jumlah stomata dan
ukuran porus stomata daun Zephyranthes rosea Lindl. Buletin Anatomi dan
Fisiologi 17:41-48.
Irawan I. 2002. Fluktuasi suhu udara dan efisiensi pemanfaatan radiasi pada
pertumbuhan, perkembangan, dan produksi tanaman soba [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.

21

Koesmaryono Y. 1996. Studies on photosyntesis, growth and yield of soybean
(Glycine max (L.) Merr.) in relation to climatological environment [disertasi].
Matsuyama: Ehime University.
Masyithah. 2001. Pengaruh intersepsi radiasi matahari terhadap pertumbuhan,
perkembangan dan produksi tanaman soba (Fagopyrum esculentum
Moench.) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mohr H, Schopfer P. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Gudrun, Lawlor DW,
penerjemah. Bandung (ID): ITB Press. Terjemahan dari: Plant Physiology.
Perdinan. 2002. Efisiensi pemanfaatan radiasi surya, profil suhu udara dan
akumulasi panas tanaman soba di Dataran Tinggi Pasir Sarongge, Cianjur,
Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pradiko I. 2012. Pengaruh naungan dan jarak tanam terhadap tanaman soba di
Dataran Tinggi Pasir Sarongge Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Primantoro H. 1999. Memupuk Tanaman Buah. Jakarta (ID): [PT Penebar
Swadaya].
Sangadji S. 2001. Pengaruh iklim tropis di dua ketinggian tempat yang berbeda
terhadap potensi hasil tanaman soba (Fagopyrum esculentum Moench) [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi
Padi Gogo terhadap naungan. Hayati 10(2):71-75.
Wang Y. dan Campbell G. C. 2004. Buckwheat production, utilization, and
research in China. Review Paper. Fagopyrum 21: 123-133
Yan C, Yogan M, Shanhai F, Jun L, Fang Z. 1995. Effect of temperature on the
number of days for flower bud emergence of buckwheat (Fagopyrum
esculentum Moench). In Buckwheat Research. Proceedings of the 6th
International Symposium on Buckwheat. [Waktu dan tempat pertemuan tidak
diketahui]. Japan: Shinsu University.hlm 563-567.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun tanaman, dan berat kering total tanaman soba
UMUR
(MST)
3
4
5
6
7
UMUR
(MST)
3
4
5
6
7

P1/N0 U1
Tinggi
Jml daun
34.1
5
61.3
11
73.0
18
79.6
23
81.4
24

P1/N0 U2
Tinggi
Jml daun
35.4
5
62.5
12
74.6
18
79.9
22
81.6
23

PERLAKUAN
P1/N0 U3
P2/N0 U1
Tinggi
Jml daun
Tinggi
Jml daun
31.4
6
31.7
7
57.3
12
61.4
16
68.5
20
75.2
26
75.6
25
83.5
31
77.4
26
85.3
32

P2/N0 U2
Tinggi
Jml daun
29.9
7
56.9
15
71.0
25
77.0
30
78.7
31

P2/N0 U3
Tinggi
Jml daun
29.3
7
56.6
17
72.9
28
78.4
33
79.5
36

P1/N1 U1
Tinggi
Jml daun
33.7
4
58.7
8
68.8
12
73.2
16
73.7
16

P1/N1 U2
Tinggi
Jml daun
30.4
4
54.2
7
62.6
13
67.1
16
73.7
17

PERLAKUAN
P1/N1 U3
P2/N1 U1
Tinggi
Jml daun
Tinggi
Jml daun
34.5
4
30.6
5
63.1
10
51.9
13
75.2
16
64.2
21
83.9
19
79.9
28
85.1
20
82.1
30

P2/N1 U2
Tinggi
Jml daun
31.0
5
59.8
11
77.9
20
83.9
24
85.8
25

P2/N1 U3
Tinggi
Jml daun
28.6
5
57.1
11
76.3
21
79.7
25
81.1
26

BOBOT KERING TOTAL (GRAM)
PERLAKUAN
3
4
5
6
7
8
PERLAKUAN
3
4
5
6
7
8
P1/N0 U1
0.60
0.89
2.39
2.93
4.42
4.19
P1/N1 U1
0.23
0.85
0.87
1.86
1.90
3.51
P1/N0 U2
0.31
0.53
1.05
1.86
5.18
10.24
P1/N1 U2
0.19
0.42
0.55
1.48
2.38
1.96
P1/N0 U3
0.40
1.10
2.44
4.83
4.08
22.40
P1/N1 U3
0.24
0.36
1.02
2.61
2.23
6.15
P2/N0 U1
0.55
1.05
1.32
4.22
5.56
15.18
P2/N1 U1
0.28
1.15
1.33
1.87
2.38
5.27
P2/N0 U2
0.37
0.59
1.73
2.79
3.52
11.46
P2/N1 U2
0.25
0.47
0.84
2.02
2.14
7.11
P2/N0 U3
0.36
1.21
1.91
3.31
4.97
8.45
P2/N1 U3
0.23
0.57
0.95
3.53
2.81
6.26
Keterangan : MST = Minggu Setelah Tanam P1 = tanaman dengan jarak tanam rapat (200 tanaman/m 2); P2 = tanaman dengan jarak tanam renggang (50 tanaman/m2);
N0 = Kondisi di luar naungan; N1 = Kondisi di dalam naungan (ternaungi paranet 55%); U1,U2, dan U3 = Ulangan perlakuan ke-1, ke-2, dan ke-3.

22

23

Lampiran 2 Proporsi berat kering organ tanaman terhadap berat kering total tanaman soba
PERLAKUAN

P1/N0 U1
P1/N0 U2
P1/N0 U3
P2/N0 U1
P2/N0 U2
P2/N0 U3
P1/N1 U1
P1/N1 U2
P1/N1 U3
P2/N1 U1
P2/N1 U2
P2/N1 U3
PERLAKUAN

P1/N0 U1
P1/N0 U2
P1/N0 U3
P2/N0 U1
P2/N0 U2
P2/N0 U3
P1/N1 U1
P1/N1 U2
P1/N1 U3
P2/N1 U1
P2/N1 U2
P2/N1 U3

MST
3
4
5
6
7
8

Batang
48
35
32
46
35
33

3 MST

79
27
39
79
39
47
66
88
82
69
59
65

3 MST

73
23
31
65
28
56
39
53
46
78
45
35

% Alokasi batang terhadap bobot kering
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST

31
50
24
44
31
28
60
37
27
63
25
33

37
33
26
13
10
12
13
8
24
15
15
9

50
19
68
25
21
47
20
24
66
39
22
53

34
47
24
16
13
21
11
21
18
14
17
14

% Alokasi daun terhadap bobot kering
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST

23
30
48
36
20
29
30
17
14
38
12
23

P1/N0
Akar Daun
31
42
10
34
13
14
11
28
13
14
13
14

15
16
13
4
6
7
6
4
14
8
10
6

25
20
38
14
9
16
21
21
20
20
8
33

Biji
8
20
75
78
75

Batang
55
35
11
31
17
17

8 MST

20
27
52
18
18
16
24
9
36
17
21
14

P2/N0
Akar Daun
35
49
14
29
4
6
16
13
5
8
6
8

3 MST

4 MST

55
15
23
55
31
20
19
31
30
21
12
22

13
11
5
27
5
11
28
8
11
23
6
12

3 MST

4 MST

-

7
9
8
7
6
5
4
12
4
11
6
5

P1/N0 U1
P1/N0 U2
P1/N0 U3
P2/N0 U1
P2/N0 U2
P2/N0 U3
P1/N1 U1
P1/N1 U2
P1/N1 U3
P2/N1 U1
P2/N1 U2
P2/N1 U3

8 MST

11
19
12
6
8
9
11
11
21
7
10
7

PERLAKUAN

5
11
26
8
9
8
2
2
17
7
9
6

PERLAKUAN

P1/N0 U1
P1/N0 U2
P1/N0 U3
P2/N0 U1
P2/N0 U2
P2/N0 U3
P1/N1 U1
P1/N1 U2
P1/N1 U3
P2/N1 U1
P2/N1 U2
P2/N1 U3

Biji
6
6
49
41
41

Batang
79
41
15
37
17
23

P1/N1
Akar Daun
26
46
16
20
8
8
22
21
6
13
4
9

Biji
6
8
39
36
48

Batang
64
40
13
38
15
17

% Alokasi akar terhadap bobot kering
5 MST
6 MST
7 MST

16
14
10
3
6
2
3
3
18
9
5
2

6
9
17
17
4
27
36
7
22
7
6
31

9
22
8
5
6
4
3
7
7
4
4
9

% Alokasi biji terhadap bobot kering
5 MST
6 MST
7 MST

22
17
22
5
7
7
13
3
8
6
14
4

P2/N1
Akar Daun