Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN
MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis
Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Terhadap Bencana Dengan
Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus Di Korong Sungai Paku,
Nagari Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman,
Sumatera Barat) benar hasil karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan
belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
bertanggungjawab atas pernyataan ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta
dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Yolla Rahmi
NIM I34080048

ii

ABSTRAK
YOLLA RAHMI. Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir
terhadap Bencana dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dibimbing
oleh ARIF SATRIA.
Kerentanan merupakan tingkat kekurangan kemampuan suatu masyarakat
untuk mencegah, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan menanggapi dampak
bahaya tertentu. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan terhadap
bencana alam seperti gempa bumi dan Tsunami. Setiap kelompok masyarakat

memiliki tingkat kerentanan yang berbeda-beda dalam menghadapi bencana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat kerentanan
masyarakat pesisir terhadap bencana dilihat dari empat aspek kerentanan, yaitu;
sosial budaya, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Kedua, bertujuan untuk
mengidentifikasi upaya PRB yang dilakukan oleh masyarakat pesisir. Ketiga,
menganalisis hubungan antara tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap
bencana dengan upaya PRB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat
memiliki tingkat kerentanan rendah pada aspek sosial budaya dan aspek
kelembagaan. Selanjutnya pada aspek lingkungan menujukkan tingkat kerentanan
sedang. Pada aspek ekonomi, tingkat kerentanan masyarakat ditunjukkan dari
tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian menujukkan sekitar 50 persen
responden memiliki tingkat kerentanan rendah dan sisanya adalah responden
dengan tingkat kerentanan tinggi . Hasil analisis uji korelasi, hubungan yang
signifikan ditunjukkan oleh variabel tingkat kesejahteraan dengan upaya PRB
dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Kata kunci: kerentanan, bencana, upaya pengurangan risiko bencana, mitigasi,
konstruksi, rekonstruksi

ABSTRACT

YOLLA RAHMI. Correlation Analysis beetwen the Level of Vulnerability of
Coastal Communities with Efforts of Disaster Risk Reduction. Supervised by
ARIF SATRIA.
Vulnerability is a level lack of ability in a society to prevent, defuse, achieve
readiness and response the impact of disaster hazards. The coastal area is
indicated as one of areas that vulnerable to natural disasters such as earthquake
and Tsunami. Every society has different levels of vulnerability to disasters. This
research has three main objectives. The First is to identify the level of
vulnerability of coastal communities. The level of vulnerability has four aspects,
namely; sosio-cultural, economical, environmental, and institutional. The second
is to identify efforts of disaster risk reduction by coastal communities. The Third
is to analyze the correlation beetwen the level of vulnerability of coastal
communities with the efforts of disaster risk reduction. The results show that
socio-cultural aspect and institutional aspect are in the lowest level of
vulnerability, whereas environmental aspect can be categorized to the middle level
of vulnerability. On the other hand, on economic aspect using level of walfare as
an indicator, fifty percent respondent show the lowest level of vulnerability and
the rest is the highest level of vulnerability. There is significant correlation
between the level of walfare with the efforts of disaster risk reduction to
implementation of housing reconstruction. This research combined the

quantitative and qualitative research approach.
Keywords: vulnerability, disaster, disaster risk reduction, mitigation, construction,
reconstruction

iv

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT KERENTANAN
MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)

YOLLA RAHMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

vi

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Analisis Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir
Terhadap Bencana Dengan Upaya Pengurangan Risiko Bencana
(PRB)
: Yolla Rahmi
: I34080048

Disetujui oleh


Dr Arif Satria, SP MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _________________________

viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini,
sehingga dapat terselesikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis
Hubungan Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana dengan
Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) (Studi Kasus di Korong Sungai Paku,
Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera
Barat)” ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai kerentanan

masyarakat pesisir terhadap bencana dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan
dan pengembangan upaya mitigasi untuk pengurangan risiko bencana (PRB).
Meskipun dalam proses penyusunan skripsi ini sarat dengan sentuhansentuhan nilai akademik dari dosen pembimbing, tetapi penulis percaya masih
terdapat kekurangan di dalamnya. Semua kekurangan tersebut karena keterbatasan
penulis dalam mengelaborasikan dan menterjemahkan arahan dari pembimbing.
Oleh karena itu, segala kekurangan dalam skripsi ini merupakan tanggung jawab
penulis sepenuhnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2013
Yolla Rahmi

UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini,
yaitu:
1. Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si, selaku dosen pembimbing studi pustaka
dan skripsi. Berkat bimbingan dan arahan beliau, penulis akhirnya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Pak Arif atas kesabaran, waktu, tenaga dan pikiran
yang diberikan kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama, Bapak Ir.
Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen penguji akademik wakil
departemen sekaligus sebagai dosen penguji petik pada naskah skripsi ini
dan Bapak Ir. Hadiyanto, M.Si selaku dosen pemandu kolokium proposal
penelitian skripsi, terima kasih atas kritik dan sarannya terhadap perbaikan
skripsi ini.
3. Bapak luar biasa Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA atas bimbingan,
arahan , dukungan dan motivasi beliau yang terus mengalir untuk penulis.
4. Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan,MS.DEA selaku dosen pembimbing
akademik penulis serta seluruh dosen dan staf Departemen Sains
Komunikasi and Pengembangan Masyarakat.
5. Mba Ica, Mba Dini, dan Mba Maria Trio Macan SKPM yang selalu
memberikan pelayanan yang luar biasa dan menjadikan sekret SKPM
sebagai sekretariat departemen terbaik se-IPB raya.
6. Mba Eka, Kak Helmi, Mba Selvi dan seluruh staf Dekanat Fema yang telah
memberikan pelayanan terbaik.
7. Pak Rudi Hartono selaku Kepala Korong Sungai Paku, Kak Rin, Uni Epi,
Keluarga Bundo Martena serta seluruh Staf Kantor Kecamatan Sungai

Limau dan Kantor Wali Nagari Kuranji Hilir dan warga Korong Sungai
Paku atas kerjasama, keramahan dan sambutan yang baik terhadap penulis
selama kegiatan penelitian berlangsung.
8. Papa terkasih, (Alm.) Mulyadi Djunid di surga atas perjuangan, kasih
sayang tulus dan dorongan kuat dari papa untuk penulis agar dapat
melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi.
9. Mama tercinta, Jernie atas lantunan doa, perhatian dan kasih sayang yang
terus mengalir serta tetesan keringat dan perjuangan mama demi
mencukupkan kebutuhan penulis. Semoga ini bisa menjadi persembahan
yang terbaik.
10. Nenek Hj. Nurma Rasul, Nenek Hj. Rosna Rasul, dan adik-adik tersayang
Yandri Andika Rahmat M dan Yandra Noveri M, serta keluarga besar atas
lantunan doa yang tak pernah putus, dorongan semangat, motivasi dan kasih
sayang yang tercurah kepada penulis.
11. Rekan-rekan penulis yang telah banyak memberikan bantuan dalam
penulisan skripsi ini. Septi, Ilham Tawaqal, dan Fevrina leni Tampubolon
rekan sebimbingan yang senantiasa memberikan saran, kritik, dan motivasi
kepada penulis semenjak penyusunan studi pustaka, proposal hingga skripsi

x


12.

13.

14.

15.
16.
17.
18.

ini terselesaikan. Terima kasih juga kepada Yusuf Tirta, Jabbar Saputra,
Achmad Fauzi dan Putri Asih Sulistyo atas curahan waktunya untuk
berdiskusi dan membantu penulis saat mengalami kesulitan dalam
penyelesaian skripsi ini.
Keluarga besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat angkatan 45 dan 46 atas kebersamaan, persahabatan, dan cinta
yang mewarnai hari-hari penulis serta atas kebesaran hati menerima segala
kekurangan dan kelebihan penulis sebagai satuan Keluarga Besar Dept.

SKPM.
Sahabat lama penulis Rizka Nadia, Yusra Rezi, Rachmanda Fitri Purnama,
Ririn Liyandani dan Delfi Ilyan, atas kesetiaan dan kebaikan hati untuk
selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis selama
melakukan penelitian di kampung halaman.
Sahabat-sahabat penulis Dwi Setiadi Firmansyah, Aklima Dhiska Suwanda,
Aisyah Noor Rafiah, Sahabat Makoca and Friends (Valentina Sokoastri,
Adelia Ruspita, Nurul Agmar, Putiha Rakhmaini Indah Sari, dan Anatola
Angesti), Sahabat Orens House (Rahma Demakdides, Adinda, Fitri, Andin,
Dhanti, Keboth, Kak Uphe dan Syakir), Sahabat Kuil Cinta (Itaw, Jabbar,
Bang Ucup, Giway, Oji), Sahabat ES Genk (Kiki dan Irma) Rodiah, Anom,
Iqbal PSP, Randy Ilyas, Libby, Arif dan seluruh sahabat penulis yang tidak
dapat disebutkan namanya satu per satu atas canda tawa, kesetian untuk
selalu ada dalam suka maupun duka.
Icin, Yessi, Titi, Ibu Linda dan seluruh teman Kos Wisma Gardenia atas
perhatian dan semua keceriaan.
Teman-teman Koran Kampus IPB, dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Minang Bogor atas kerjasana, pengalaman, dan ilmu bermanfaat
Belty kesayangan yang menambah keceriaan disetiap hari penulis.
Amirsyah, kekasih tersayang sekaligus teman hidup yang setia atas lantunan
doa yang tak pernah putus, motivasi, dorongan semangat, cinta dan kasih
sayang yang tulus kepada penulis.
Bogor, Mei 2013
Yolla Rahmi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xiv
xv
xv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian







PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional



22 
23 
24 

PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pemilihan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Keterbatasan Studi

29 
29 
29 
30 
30 
31 
32 

PROFIL LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Kondisi Alam
Jumlah Penduduk, Tahapan Keluarga Sejahtera, dan Mata Pencaharian
Sarana dan Prasarana
Pemukiman Penduduk, Zona Merah Tsunami, dan Keberadaan Jalur
Evakuasi
Program dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
Bentuk Konstruksi Bangunan Rumah Penduduk dan Tingkat Kerentanannya

35 
35 
37 
38 

KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN
Karakteristik Usia Responden
Karakteristik Tingkat Pendidikan Responden
Karakteristik Jumlah Anggota Keluarga
Karakteristik Tingkat Pendapatan Perbulan

45 
45 
45 
47 
47 

TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PESISIR TERHADAP
BENCANA
Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial Budaya
Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Ekonomi: Tingkat
Kesejahteraan
Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Pemanfaatan SDA
Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat Kinerja Lembaga
UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB) OLEH
MASYARAKAT

39 
40 
42 

49 
49 
62 
63 
65 
67 

xii

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KERENTANAN
MASYARAKAT PESISIR TERHADAP BENCANA DENGAN UPAYA
PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRB)
73 
Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Aspek Sosial
Budaya dengan Upaya Rekonstruksi Bangunan Rumah Pasca Bencana
74 
Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Dilihat dari Aspek
Ekonomi (Tingkat Kesejahteraan) dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah
Pasca Bencana
77 
Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir pada Tingkat
Pemanfaatan SDA dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana78 
Hubungan antara Tingkat Kerentanan Masyarakat Pesisir Pada Tingkat Kinerja
lembaga dengan Implementasi Rekonstruksi Rumah Pasca Bencana
79 
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

81 
81 
81 

DAFTAR PUSTAKA

83 

DAFTAR TABEL
 

1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana
1815-2012

2 Strategi mitigasi yang dilakukan berdasarkan dimensi dan aspek kerentanan 21 
3 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendidikan
46 
4 Jumlah anak usia sekolah berdasarkan jenis kelamin dan tingkatan jenjang
pendidikan tahun 2010 di Korong Sungai Paku
46 
5 Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat pendapatan perbulan 47 
6 Kepercayaan masyarakat terhadap beberapa pemangku kepentingan dalam
memberikan pertolongan saat terjadi bencana
51 
7 Pemanfaatan jaringan sosial masyarakat sesaat terjadi bencana
54 
8 Sebaran jawaban benar responden menjawab pernyataan tentang pengetahuan
mengenai aspek bencana gempa dan Tsunami
57 
9 Persentase kerentanan masyarakat pesisir berdasarkan lima aspek kerentanan
bencana
66 
10 Tabulasi silang bentuk konstruksi rumah responden pra bencana dan jenis
kerusakan rumah responden
69 
11 Hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara tingkat
kerentanan masyarakat pesisir dengan upaya PRB dalam implementasi
rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat kerentannyaa
73 

DAFTAR GAMBAR
 

1 Fase manajemen bencana
2 Kerangka Pikir Penelitian
3 Jenis pekerjaan kepala rumah tangga (KRT) responden
4 Presentase responden berdasarkan golongan usia
5 Presentase responden berdasarkan jumlah anggota keluarga
6 Tingkat kepercayaan
7 Tingkat pemanfaatan jaringan sosial
8 Tingkat pengetahuan mengenai aspek-aspek bencana
9 Tingkat pengetahuan tentang nilai tata ruang wilayah
10 Responden penerima program Raskin di Korong Sungai Paku tahun 2009
hingga 2013
11 Persentase tingkat efektifitas kinerja lembaga
12 Bentuk konstruksi rumah responden pra bencana tahun 2009
13 Bentuk Rekonstruksi Rumah Responden Pasca Bencana tahun 2009

15 
23
37
45 
47 
50 
53 
57 
61 
62
65 
68 
70 

DAFTAR LAMPIRAN
Peta lokasi penelitian
87 
Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2012
88 
Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian
89 
Dokumentasi Penelitian
91 
Tabel Frekuensi (hasil olah data dengan program aplikasi SPSS)
96 
Bentuk bangunan rumah responden pra bencana dan pasca bencana serta jenis
kerusakan bangunan rumah pasca bencana
100 
7 Hasil Crosstab Hasil Uji korelasi Rank Spearman terhadap hubungan antara
tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana dengan upaya PRB
dalam implementasi rekonstruksi rumah pasca bencana berdasarkan tingkat
kerentanannya (Tabulasi Silang dengan program aplikasi SPSS)
101 
8 Riwayat Hidup
103 
1
2
3
4
5
6

 

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang mendapatkan berkah
sekaligus mendapatkan ancaman dari alamnya. Berkah alam yang membentang di
seluruh kepulauan dan laut Indonesia menjadi potensi besar yang tidak
terkalahkan bagi penopang perekonomian negara. Tentunya juga didukung dengan
sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang baik pula.
Namun, tidak jarang dengan seluruh bentangan keberkahan dari alamnya,
Indonesia juga ditimpa bencana alam yang menyebabkan kerusakan, baik secara
fisik, materi, sosial, dan psikologi pada masyarakatnya. Bencana yang terjadi pun
tidak hanya menyisakan penderitaan bagi masyarakat yang menjadi korban
bencana, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia yang turut prihatin dan punya
andil untuk saling membantu.
Hal tersebut didukung oleh Purbani (2012) melalui hasil penelitiannya di
Pulau Weh, Aceh. Wilayah tersebut memiliki kekayaan SDA hayati seperti
Taman Nasional Alam Laut dan sumberdaya non hayati seperti panas bumi yang
terdapat di Jaboi. Selain itu, Pulau Weh juga berada di jalur pelayaran
internasional. Disamping kekayaan alam yang dimiliki daerah tersebut, kondisi
alam geologisnya juga memiliki potensi bencana yang sangat tinggi. Pulau Weh
terletak di zona gempa bumi, yaitu terletak diantara tiga jalur lempeng bumi yang
bertumbukan. Kondisi tersebut menyebabkan kawasan ini sangat rentan terkena
gempa bumi yang diikuti Tsunami.
Indonesia telah mengalami berbagai musibah bencana alam beberapa tahun
terakhir. Bencana-bencana tersebut terjadi secara bergantian, baik dalam skala
besar maupun kecil. Bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia antara lain
gempa bumi dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam; gempa bumi
dan Tsunami di Sumatera Utara dan Sumatera Barat; gempa bumi di Nabire, Alor,
dan Nias; gunung meletus, tanah longsor, dan kebakaran hingga semburan atau
luapan lumpur panas di Sidoarjo. Bencana-bencana tersebut telah menimbulkan
kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerugian-kerugian sosial, ekonomi,
dan lingkungan tampak pada banyaknya korban jiwa maupun hilang dan rusaknya
harta benda milik masyarakat.
Menurut Pujiono (2003) dalam Misron (2009), bencana adalah suatu
peristiwa yang dapat terjadi karena perbuatan manusia atau alam, mendadak atau
berangsur yang menyebabkan kerugian yang meluas terhadap kehidupan, materi
dan lingkungan sedemikian rupa melebihi kemampuan masyarakat korban
bencana untuk dapat menanggulangi dengan menggunakan sumberdaya sendiri.
Hal tersebut senada dengan pernyataan Maarif (2010), bahwa bencana alam
disebabkan karena alam atau manusia memberikan dampak pada masyarakat.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh Pujiono (2003) dalam Misron (2009)
dan Maarif (2010) tersebut, pada hakekatnya bencana alam menyebabkan
kerugian yang sangat besar, sehingga tanggung jawab pemulihan bencana bukan
hanya bagi masyarakat korban bencana, tetapi juga bagi seluruh masyarakat di
negara tersebut.

2

Dilihat dari kondisi geografi dan geologinya, Indonesia memiliki potensi
yang tinggi terhadap terjadinya bencana alam. Menteri Kelautan dan Perikanan
Indonesia, Sharif Cicip Sutardjo dalam Diposaptono (2011) menyebutkan bahwa
posisi Indonesia berada pada jalur cincin api dan pertemuan tiga lempeng besar
yang saling bertumbukan. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan
yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia,
Benua Australia, Samudra Hindia, dan Pasifik. Pada bagian selatan dan timur
Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau
Sumatra-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan
vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa
(Anshori 2010). Kondisi perubahan iklim Indonesia sering memicu terjadinya
banjir, rob, longsor, kekeringan, abrasi dan lainnya. Hal tersebut dikarenakan
posisi Indonesia yang berada pada bentang garis khatulistiwa. Menurut Menteri
Kelautan dan Perikanan dalam Diposaptono (2011), posisi Indonesia pada
bentang garis khatulistiwa sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti
letusan gunung berapi, gempa bumi, Tsunami, banjir, dan tanah longsor.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang
tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat
(Arnold 1986 dalam Naryanto dkk. 2009).
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam Naryanto
dkk. (2009) menunjukkan bahwa bencana yang terjadi pada Tahun 2008
berjumlah 343 kejadian, terdiri dari banjir (58 persen), angin topan (16 persen),
tanah longsor (7 persen), gelombang pasang (2 persen), kegagalan teknologi (1
persen), kebakaran hutan dan lahan (0.3 persen), letusan gunung api (0.3 persen),
serta kerusuhan sosial (0.3 persen). Berdasarkan jumlah korban meninggal akibat
kejadian bencana Tahun 2008, tanah longsor menempati urutan pertama (73
orang), yang diikuti banjir (68 orang), banjir dan tanah longsor (54 orang),
kegagalan teknologi (30 orang), gempa bumi (12 orang), angin topan (3 orang),
serta kebakaran (3 orang). Berdasarkan kerusakan rumah akibat kejadian bencana
Tahun 2008, banjir menempati urutan pertama (20 046 unit), kemudian gemba
bumi (8 254 unit), angin topan (2 574),banjir dan tanah longsor (1 396 unit),
gelombang pasang atau abrasi (1 063 unit), tanah longsor (681 unit),serta
kebakaran (396 unit). Berikut tersedia tabel berisi informasi tentang sebaran
kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian bencana dari tahun
1815 hingga tahun 2012.
Menurut data BNPB, Tsunami sangat sedikit terjadi pada rentang tahun
1815 hingga 2012, yaitu sekitar sembilan kejadian. Namun demikian, bencana
Tsunami tersebut menyebabkan korban jiwa terbanyak sekitar 167 768 jiwa.
Berbeda dengan kejadian banjir yang memiliki frekuensi kejadian paling tinggi
dari rentang tahun tersebut sekitar 167 768 kejadian dengan korban 18 590 jiwa.
Selanjutnya, diikuti kejadian bencana paling sering adalah kejadian tanah longsor
sebanyak 1 956 kejadian dan korban jiwa 1 727 jiwa, angin puting beliung 1 914
kejadian dengan korbannya 240 jiwa, kekeringan sebanyak 1 414 kejadian dengan
jumlah dua korban jiwa. Namun demikian, terlihat bahwa dari rentang tahun 1815
hingga 2012 Indonesia selalu berada pada posisi waspada terhadap sekian jenis
ragam bencana yang terjadi. Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 1.

3
Tabel 1 Sebaran kejadian bencana dan korban meninggal per jenis kejadian
bencana 1815-2012
Nama Bencana
Frekuensi Kejadian
Korban Bencana (Jiwa)
Aksi Teror/Sabotase
28
324
Banjir
4 126
18 590
Banjir dan Tanah Longsor
318
2 197
Tanah Longsor
1 956
1 727
Gempa Bumi
275
15 562
Tsunami
13
3 519
Gempa Bumi dan Tsunami
9
167 768
Hama Tanaman
18
40
Kebakaran Hutan dan lahan
116
8
Kecelakaan Industri
26
73
Kecelakaan Transportasi
167
2 172
Kekeringan
1 414
2
KLB
109
1 515
Konflik/ Kerusuhan Sosial
95
5 598
Letusan Gunung Api
111
78 598
Angin Puting Beliung
1 914
240
Gelombang Pasang
178
148
Sumber: [BNBP] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Sebaran Kejadian Bencana Dan
Korban Meninggal Per Jenis Kejadian Bencana 1815-2012. [Internet].[Diakses 17 Juni 2012.
Dapat diunduh dari :
http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/dashboard.jsp?countrycode=id&continue=y&lang=ID

Bencana yang terus-menerus terjadi mengharuskan untuk selalu siap siaga
dalam menghadapi berbagai ancaman dampak bencana tersebut. Salah satu
wilayah yang rentan mengalami bencana adalah wilayah pesisir. Pembangunan
dan pola pemanfaatan SDA di wilayah pesisir mengakibatkan degradasi
lingkungan serta menurunkan kualitas sumberdaya yang ada di wilayah pesisir.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan banyaknya bencana yang terjadi di
wilayah pesisir. Bencana pesisir yang sering terjadi dapat berupa gempa bumi,
Tsunami, dan bencana alam lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim di
wilayah pesisir (seperti; gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di
lahan rendah, dan erosi pantai). Kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana
yang terjadi merupakan permasalahan yang hingga saat ini belum bisa diatasi
secara menyeluruh.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 yang diikuti oleh
Peraturan Pemerintah yang mengatur penanggulangan bencana telah
mengamanahkan kepada pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah bahwa
dalam melaksanakan pembangunan diharuskan memasukkan aspek pengurangan
risiko bencana. Agar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan membantu
memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Terutama keluarga nelayan
yang setiap saat menghadapi risiko terjadinya bencana pesisir. Oleh karena itu,
analisis kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana perlu dilakukan terutama
pada wilayah sepanjang pesisir yang berisiko bencana gempa dan Tsunami.
Sebagaimana diketahui, terdapat sejumlah penelitian yang meneliti
mengenai bencana di wilayah pesisir mengenai strategi mitigasi bencana dan
upaya penanggulangannya. Namun demikian dari sejumlah penelitian tersebut,
diketahui bahwa peneliti umumnya meneliti secara parsial. Maksudnya, belum
banyak yang melakukan penelitian secara komprehensif dengan menelaah

4

kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana melalui empat aspek (yakni;
sosial budaya dan sumberdaya manusia; ekonomi; lingkungan; dan kelembagaan),
dan analisis kerentanannya.
Hal tersebut dijumpai pada penelitian yang dilakukan oleh Sadikin Amir
(2012), Purbani (2012), dan Diposaptono (2005). Dari ketiga penelitian yang
dilakukan tersebut hanya pada aspek kerentanan wilayah pesisir terhadap bencana
yang dilihat dari dimensi ekologis. Penilitian Amir (2012) yang berjudul Optimasi
Pemanfaatan Wisata Bahari bagi Pengelola Pulau-Pulau Kecil berbasis Mitigasi,
studi kasus Kawasan Gili Indah Kabupaten Lombaok Utara Provinsi Nusa
Tenggara Barat, hanya membahas aspek kerentanan bencana pesisir Gili Indah
dari dimensi ekologis saja. Kerentanan ekologis yang dibahas dalam penelitian
tersebut yakni degradasi lingkungan yang terjadi seiring meningkatnya aktivitas
pengembangan wilayah pesisir ke sektor pariwisata bahari di Gili Indah.
Selanjutnya, penelitian yang berjudul Strategi Mitigasi Tsunami Berbasis
Ekosistem Mangrove dalam Aplikasi Pemanfaatan Ruang Pantai yang dilakukan
oleh Purbani (2012), dalam analisisnya melihat kerentanan pesisir di Pulau Weh,
Aceh dari aspek geologis dan geografisnya kemudian dilanjutkan dengan analisis
penerapan strategi mitigasi Tsunami yang berbasis ekosistem mangrove. Sama
halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Diposaptono (2005) yang mengkaji
bahwa wilayah pesisir rentan terhadap tekanan lingkungan dan bencana.
Kemudian dalam analisisnya menyebutkan salah satu mitigasi bencana dengan
pengelolaan sumberdaya pesisir (SDP) dan pembangunan wilayah pesisir (WP)
yang terpadu.
Mengingat kejadian bencana di wilayah pesisir berkaitan erat dengan
kondisi sosial masyarakat di sekitarnya, maka menjadi penting untuk mengkaji
lebih lanjut mengenai kerentanan masyarakat pesisir yang dianalisis dengan empat
aspek kerentanan sosial. Selain itu, upaya pengurangan risiko bencana menjadi
sebuah tindakan nyata yang dapat mengatasi kerentanan masyarakat sehingga
kedepannya menjadi lebih siap untuk menghadapi kemungkinan bencana yang
akan terjadi. Untuk itu, akan dilakukan penelitian tentang analisis kerentanan
masyarakat pesisir terhadap bencana dan kaitannya dengan upaya pengurangan
risiko bencana yang dilakukan disekitar wilayah pesisir yang rentan terhadap
bencana. Hasil analisis ini selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir,
terutama untuk daerah yang memiliki risiko kejadian bencana yang menimpa
sumberdaya di sektor perikanan, seperti yang dialami oleh wilayah penelitian di
Nagari Koto Tinggi, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat.
Perumusan Masalah
Merujuk dari hasil penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan Sadikin
Amir (2012) dan Dini Purbani (2012) dan beberapa penelitian lainnya, belum
terdapat kajian mendalam mengenai analisis kerentanan masyarakat pesisir
terhadap bencana dengan mempertimbangkan keempat aspek kerentanan
masyarakat pesisir terhadap bencana kemudian melihat kaitannya dengan upaya
pengurangan risiko bencana. Hal tersebut menjadi rujukan peneliti untuk
melakukan penelitian selanjutnya berkenaan analisis kerentanan masyarakat

5

pesisir terhadap bencana dengan mempertimbangkan kelima aspek kerentanan
masyarakat pesisir terhadap bencana tersebut. Untuk itu, berikut terdapat beberapa
masalah penelitian yang dapat peneliti ajukan sebagai acuan utama untuk
melakukan penelitian ini:
1. Bagaimanakah kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di Korong
Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang
Pariaman, Sumatera Barat jika dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat
pesisir?
2. Sejauhmana hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana
dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya pengurangan risiko bencana
di Korong Sungai Paku, Kuranji Hilir, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten
Padang Pariaman, Sumatera Barat?
Tujuan Penelitian
Merujuk pada perumusan masalah di atas, maka ditetapkan tujuan penelitian
sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana di lokasi
penelitian dilihat dari empat aspek kerentanan masyarakat pesisir.
2. Mengidentifikasi upaya pengurangan risiko bencana (PRB) pasca becana di
lokasi penelitian.
3. Menganalisis hubungan tingkat kerentanan masyarakat pesisir terhadap
bencana dilihat dari empat aspek kerentanan dengan upaya PRB di lokasi
penelitian.
Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan akan memberikan beberapa manfaat kepada
pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu:
1. Bagi Masyarakat Korong Sungai paku, penelitian ini diharapkan mampu
member gambaran mengenai Korong Sungai Paku dan kerentanan
masyarakatnya terhadap bencana gempa dan Tsunami. Selain itu, dengan
adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi korong-korong
lain pada umumnya dan Korong Sungai Paku khususnya untuk bisa menambah
input pengetahuan dan kesiapan masyarakat terhadap bencana gempa dan
tsunami.
2. Bagi penulis merupakan bagian dari proses belajar dalam menyintesis beragam
konsep dan teori yang relevan untuk menelaah analisis kerentanan masyarakat
pesisir terhadap bencana.
3. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat memperkaya wacana
keilmuan dan menjadi bahan kajian lebih lenjut mengenai fenomena
kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana.
4. Bagi para penentu kebijakan, dapat memberikan masukan untuk formulasi
kebijakan secara tepat agar kebijakan yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan dapat membantu memecahkan masalah, terutama bagi
masyarakat pesisir/keluarga nelayan yang setiap saat menghadapi risiko
terjadinya bencana.

6

7

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Jenis Bencana Pesisir
Warto dkk. (2002) mengemukakan definisi mengenai bencana yakni suatu
kejadian yang sulit dihindari karena peristiwa tersebut datang secara tiba-tiba dan
di luar perkiraan manusia. Oleh sebab itu, terjadinya bencana alam mengakibatkan
banyak kerugian bagi manusia, jiwa-raga, harta benda maupun kerusakan
lingkungan. Merujuk definisi bencana yang dikutip sebelumnya dari Pujiono
(2003) dalam Misron (2009) dan Maarif (2010), pada hakekatnya bencana alam
menyebabkan kerugian yang sangat besar, sehingga tanggung jawab pemulihan
bencana bukan hanya bagi masyarakat korban bencana, tetapi juga bagi seluruh
masyarakat di negara tersebut.
Bencana dapat terjadi dinilai dari hal berikut (Maarif 2010):
1) Bagaimana proses pembanguanan yang dapat menimbulkan becana
2) Terjadinya disorganisasi sosial
3) Struktur yang tidak setara dan jaringan
4) Aktualisasi kerentanan sosial
5) Interaksi yang mengarah pada konflik
6) Kepercayaan/agama dan local wisdom terhadap kehadiran bencana
Bencana yang terjadi di wilayah pesisir antara lain gempa bumi dan
Tsunami (Purbani 2012 dan Diposaptono 2005), serta perubahan iklim (Satria
2012).
a. Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan bencana alam yang datangnya secara tiba-tiba dan
dalam waktu yang relatif singkat menghancurkan semua yang ada di permukaan
bumi. Gempa bumi adalah getaran yang dihasilkan oleh percepatan energi yang
dilepaskan menyebar ke segala arah dari sumbernya. Gempa bumi yang paling
sering terjadi adalah gempa tektonik yang diakibatkan oleh tenaga yang berasal
dari dalam bumi (endogen). Selain itu juga dikenal gempa vulkanik, gempa
runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan (Naryanto dkk. 2009).
Menurut BMKG dalam Naryanto dkk. (2009), tingkat kegempaan di
Indonesia berdasarkan sejarah kekuatan sumbernya dibagi dalam 6 daerah yaitu:
1) Daerah sangat aktif, magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi di daerahdaerah Halmahera dan Pantai utara Papua.
2) Daerah aktif, magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi di
lepas pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan Banda.
3) Daerah lipatan dan retakan, magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi di
pantai barat Sumatera, Kepulauan Sula, dan Sulawesi Tengah.
4) Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan, magnitude kurang dari 7 bisa
terjadi di Sumatera, Jawa bagian utara dan Kalimantan bagian timur.
5) Daerah gempa kecil, magnitude kurang dari 5 terjadi di daerah pantai timur
Sumatera dan Kalimantan Tengah.
6) Daerah stabil, tak ada catatan sejarah gempa, yaitu di daerah pantai selatan
Papua dan Kalimantan Bagian Barat.

8

Merujuk pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah kegempaan
yang terjadi di Indonesia mulai dari kekuatan sumbernya terendah hingga paling
tinngi berisiko terjadi di wilayah pesisir.
b. Tsunami
Naryanto dkk. (2009) juga menjelaskan tentang bencana Tsunami. Tsunami
berasal dari bahasa Jepang, yaitu tsu (pelabuhan) dan nami (gelombang).
Beberapa negara di Kawasan Pasifik seperti USA, Amerika Selatan bagian barat,
Jepang, Philipina, Papua New Ginea dan juga termasuk Indonesia sering terjadi
bencana Tsunami. Di Indonesia, Tsunami telah menimbulkan banyak korban jiwa
maupun harta benda. Naryanto dkk. (2009) merumuskan beberapa faktor yang
menyebabkan kejadian gelombang Tsunami, yaitu:
1) Magnitudo dari gempa dan kedalamannya.
2) Lokasi pelepasan dalam kerak bumi dan kecepatan pelepasannya.
3) Perambatan gelombang Tsunami (efek dari topograsi dasar laut,
kedalaman laut dan sebagainya).
4) Variasi arah rambatan.
5) Konfigurasi pantai.
6) Topograsi daratan/bentuk bentang alam.
7) Tipe dan ukuran deformasi laut.
8) Batimetri dasar laut.
9) Kedalaman laut.
Diposaptono (2011) juga menjelasankan bahwa Tsunami dapat terjadi pada
gempa yang lemah atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apapun. Tsunami
akan terjadi apabila kejadian gempa di laut berkekuatan lebih 6.5 Skala Richter
(SR), pusat gempanya kurang dari 60 km, dan mengalami deformasi vertikal dasar
laut yang cukup besar.
c. Perubahan Iklim
Maarif dalam Diposaptono dkk. (2009) menyatakan bahwa perubahan iklim
terjadi akibat pemanasan global.Menurut Satria (2009), pemanasan global terjadi
akibat naiknya suhu permukaan bumi dan meningkatnya emisi gas-gas seperti
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan CFC yang menyebabkan terjadinya
efek rumah kaca dan terperangkapnya energi matahari dalam atmosfer bumi.
Masih dalam Diposaptono dkk. (2009), Maarif mengatakan bahwa perubahan
iklim mengakibatkan perubahan fisik pada lingkungan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Perubahan fisik yang terjadi berupa intrusi air laut ke darat,
gelombang pasang, banjir rob, kekeringan, genangan di lahan rendah, dan erosi
pantai. Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang
merusak lingkungan hingga alami (pasang surut). Penyedotan air tanah secara
berlebihan juga memberi kontribusi terhadap banjir rob. Pasang surut atau proses
naik-turunnya muka air laut secara teratur yang disebabkan oleh gaya tarik bulan
dan matahari juga berkontribusi terhadap bencana banjir rob.
Diposaptono (2011) menyatakan pada beberapa tempat di Indonesia yang
pernah diterjang gelombang pasang menyebabkan kerusakan rumah, perahu, jalan
dan fasilitas lainnya rusak parah. Kerusakan tersebut diakibatkan tingginya
gelombang pasang. Selain itu juga diperparah oleh tata ruang dan konstruksi
bangunan yang kurang ramah lingkungan. IPCC (Intergovernment Panel on
Climate Chage) memperkirakan bahwa terjadi laju kenaikan paras muka air laut
(Sea Level Rise atau SLR) sekitar 3-10 cm per dasawarsa, tergantung pada derajat

9

pemanasan global yang terjadi. Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang
surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, dan Kupang, selama sembilan
tahun pengamatan menunjukkan rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar 8
mm/tahun. Isu tersebut sangat mengkhawatirkan Indonesia bahwa peristiwa
tersebut mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau kecil yang rendah bisa
diterjang banjir dan rob yang lebih dahsyat. Perubahan iklim, ternyata memiliki
dampak yang sangat besar bagi kelestarian dan keberlanjutan kehidupan di
wilayah pesisir. Betapa tidak, karena perubahan iklim tersebut juga berdampak
pada timbulnya bencana-bencana lain seperti yang telah disebutkan di atas.
Aspek-Aspek Kerentanan Masyarakat Pesisir terhadap Bencana
Sekitar 60 persen penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di
wilayah pesisir seluas 4 050 000 km2, dimana sekitar 80 persen atau 112 juta jiwa
diantaranya adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup dengan kondisi sub
standar. Meskipun wilayah Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam dan
tidak dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko
bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Hasil dari kegiatan
pembangunan yang dilakukan dalam waktu yang lama dan tenaga yang cukup
besar dapat hilang seketika akibat bencana alam. Hal ini patut menjadi perhatian
pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan agar lebih
akomodatif terhadap mitigasi bencana (Ruswandi 2009).
Masyarakat pesisir kebanyakan adalah masyarakat miskin yang mayoritas
hidup dengan kondisi sub standar sangat rentan terhadap bencana (Ruswandi
2009). Wilayah pesisir yang juga rentan terhadap bencana dapat meluluhlantakkan
dengan sekejap seluruh fasilitas rumah, perahu, sumberdaya pesisir, dan
sebagainya yang digunakan sebagai sumber penghidupan mereka sehari-hari. Jika
semua itu telah rusak, maka akan berdampak pada kondisi sosial masyarakat dan
perekonomiannya. Pernyataan tersebut didukung oleh Maarif (2010), bahwa
setiap bencana mengganggu kehidupan masyarakat dan mata pencaharian atau
bahkan mengubah modal sosial yang ada di masyarakat. Melalui perspektif
kerentanan, bencana di wilayah pesisir tidak hanya disebabkan oleh becana fisik
saja, seperti gempa bumi, Tsunami, banjir dan lainnya, tetapi juga dilihat dari tiga
faktor, yaitu agen bencana fisik itu sendiri, setting fisik, dan kerentanan penduduk.
Oleh karena itu dengan melakukan identifikasi dan analisis kerentanan masyarakat
pesisir, selanjutnya dapat dijadikan sebagai permulaan proses membangun
ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Sekaligus, dapat menjadi masukan
bagi masyarakat dan pemerintahan setempat untuk menyusun upaya-upaya
pengurangan risiko bencana yang mungkin akan terjadi.
Menurut Sunarti (2009), kerentanan (vulnerability) merupakan kebalikan
dari ketangguhan (resilience), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata
uang. Konsep ketangguhan merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk
kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis/ konflik/darurat
(emergency response). Dengan kata lain, kerentanan merupakan suatu konsep
dimana suatu kelompok masyarakat tertentu tidak atau kurang memiliki kapasitas
dan kemampuan tertentu untuk merespon suatu kondisi dalam situasi
krisis/konflik/darurat (emergency response).

10

Kerentanan masyarakat pesisir dapat dilihat dari empat aspek berikut (Satria
2012):
1) Sosial budaya dan sumberdaya manusia yang menyangkut pengetahuan dan
kemampuan menghadapi krisis. Menanggapi hal tersebut, hasil penelitian
Anshori (2010) dapat disimpulkan bahwa kelompok masyarakat yang
memiliki tingkat pemahaman dan pengetahuan yang tinggi juga memiliki
kesadaran yang lebih tinggi tentang pengurangan risiko bencana. Hal ini
terlihat dari perbedaan tingkat pengetahuan antara kader Santri Siaga Bencana
(SSB) dan masyarakat yang bukan kader SSB (non-SSB). Selain itu, aspek
pengetahuan yang baik tentang bencana akan membantu masyarakat selamat
dari amukan bencana yang akan datang. Untuk itu, kita perlu mengetahui dan
memahami betul mengenai kejadian bencana yang ada. Masyarakat pesisir
yang sarat dengan mitos bencana yang cenderung membuat mereka menjadi
santapan keganasan bencana yang terjadi. Menurut Diposaptono (2011),
terdapat mitos yang keliru yang selama ini berkembang di masyarakat yang
membuat mereka menjadi korban, diantaranya:
a) Mitos pertama: Tsunami terjadi akibat gempa yang kuat. Padahal Tsunami
dapat terjadi akibat gempa yang lemah ataupun kuat. Mitos ini cenderung
membuat masyarakat pesisir yang menganutnya menjadi lengah ketika
wilayah mereka terjadi gempa berkekuatan kecil. Seperti kasus yang terjadi
di Mentawai, ketika gempa kuat yang berpusat di Bengkulu pada tahun
2007 terasa kuat hingga ke Kepulauan Mentawai namun tidak ada Tsunami.
Pemahaman yang keliru ini membuat masyarakat menjadi panik ketika
gempa besar datang.
b) Mitos kedua: Tsunami didahului laut surut secara mendadak, Tsunami tidak
selalu didahului dengan kejadian seperti itu. Tsunami bisa saja datang
langsung menyapu kawasan pesisir.
c) Mitos lain juga ada yang mengatakan bahwa gelombang pertama Tsunami
merupakan gelombang terbesar. Ada kejadian, bahwa ternyata gelombang
Tsunami terbesar datang pada gelombang susulan, mitos ini membuat
masyarakat kurang waspada terhadap gelombang susulan yang mungkin
akan menerjang wilayah mereka.
Dari cerita mitos mengenai kejadian Tsunami di atas juga berkaitan dengan
kesiapan suatu masyarakat dalam mengahdapi kemungkinan bahaya bencana
yang akan datang. Dengan pengetuahan yang mereka miliki mengenai
bencana yang sering terjadi disekitar mereka akan membuat mereka lebih siap
menghadapi kemungkinan bencana yang akan datang.
2) Aspek ekonomi yang menyangkut tingkat kemiskinan, akses pangan pokok,
serta jenis pekerjaan. Menanggapi hal tersebut, Maarif (2010) menyebutkan
bahwa sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di wilayah pesisir,
dimana sekitar 80 persen adalah masyarakat miskin yang mayoritas hidup
dengan kondisi sub standar. Sebagaimana yang sudah diketahui juga sebagian
besar penduduk di wilayah pesisir bekerja sebagai nelayan.
Sejalan dengan itu, Gunawan (2007) juga mengatakan bahwa setiap kali
terjadi bencana alam selalu menyumbangkan angka kemiskinan baru, padahal
permasalahan kemiskinan yang ada belum tertangani.Hal inilah, yang
memperkuat opini bahwa tingginya kerentanan masyarakat pesisir jika
ditinjau dari aspek ekonomi.

11

Hasil penelitian lainnya juga memaparkan bagaimana kerentanan masyarakat
dari aspek ekonomi. Sadikin Amir (2012) dalam penelitiannya, menyebutkan
kerentanan bencana pesisir juga berasal dari aktivitas ekonomi yang dilakukan
oleh masyarakatnya.Dalam penelitian yang dilakukan di Gili Indah Nusa
Tenggara Barat, dimana wilayah tersebut merupakan tempat yang
dikembangkan pada sektor wisata bahari. Pengembangan wilayah kearah
tersebut mendorong peningkatan aktivitas pembangunan infrastukturinfrastuktur yang mendukung aktivitas pariwisata.Sejalan dengan
meningkatnya aktivitas wisata di wilayah itu juga menyebabkan peningkatan
kedatang visitor ke daerah itu, baik wisatawan manca ataupun wisatawan
domestik (nasional). Meningkatnya pembangunan dan jumlah pengunjung
yang datang berhubungan dengan daya dukung kawasan untuk menampung
segala aktivitas dilokasi tersebut yang terbatas. Jika tidak ditangani dengan
baik, sudah dipastikan wilayah tersebut tidak akan bertahan lama dan
kerentanan wilayah tersebut terhadap bencana juga semakin tinggi. Sejalan
dengan itu, Ruswandi (2009) menyatakan bahwa ketika terjadi bencana alam,
kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana
sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat.
3) Aspek infrastruktur dan permukiman. Terlihat setiap kejadian gempa yang
terjadi di suatu kawasan, tidak sedikit infrastuktur dan pemukiman warga
yang rusak dan hancur. Diposaptono (2011) mengatakan bahwa, sebenarnya
gempa tidak membunuh, yang membunuh adalah bangunan roboh akibat
hentakan gempa. Hal ini karena, konstruksi bangunan yang tidak tahan gempa
dan material bangunan yang digunakan kurang memenuhi syarat.
4) Aspek lingkungan. Degradasi lingkungan yang kian terjadi menyebabkan
wilayah pesisir juga dapat menjadi suatu faktor penentu terjadinya suatu
bencana di wilayah pesisir. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa
degradasi lingkungan dalam hal perubahan iklim dapat mengakibatkan
berbagai macam bencana lain di wiliyah pesisir (Diposaptono dkk. 2009).
Merujuk hasil penelitian Amir (2012), pengembangan dan pemanfaatan
wilayah pesisir di sektor pariwisata dapat menyebabkan degradasi lingkungan.
Hal ini karena, kecenderungan yang dilakukan pada kegiatan pengembangan
dan pemanfaatan tersebut tidak ramah lingkungan. Pengembangan dan
pemanfaatan tersebut membuat wilayah pesisir semakin rentan terhadap
bencana. Kegiatan wisata bahari di wilayah pesisir perkembangannya diiringi
dengan peningkatan jumlah pengunjung dan pembangunan infrastruktur
untuk memfasilitasi kegiatan pariwisata. Hal tersebut menyebabkan degradasi
lingkungan yang berdapak pada semakin meningkatnya tingkat karawanan
terhadap bencana pesisir. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan/strategi
pengembangan wilayah wisata bahari dengan mitigasi bencana secara fisik
yang berpedoman padaman pada undang-undang atau kebijakan mengenai
perencanaan tata wilayah dan non-fisik dengan pendidikan dan penyadaran
kepada masyarakat perlunya menjaga kelestarian lingkungan.
Selain empat aspek di atas, faktor kerentanan masyarakat juga dapat dilihat
dari aspek kelembagaan yang ada pada masyarakatnya. Berdasarkan hasil
penelitian Misron (2009), diketahui bahwa kelembagaan penanggulangan bencana

12

di Kabupaten Lampung Barat belum berjalan maksimal dalam upaya menekan
risiko kerugian korban bencana. Hal ini karena belum optimalnya kinerja Satuan
Penanggulangan Bencana yang hanya sebatas pada pada unsur pemerintah dan
organisasi penanggulangan bencana resmi. Sementara masyarakat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kekuatan inti tidak diberi ruang untuk
berpatisipasi lebih dalam penanggulangan bencana.
Sejalan dengan hal di atas, Diposaptono (2011) mengatakan salah satu
upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa adalah dengan
meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi. Aspek ini
memungkinkan pemerintah menangani aspek bencana dengan efektif, menggalang
dan mendayagunakan sumber daya yang ada.Selain itu, dari penelitian yang
dilakukan Badri (2008), bahwa pada awalnya penanganan bencana di Yogyakarta
mengalami keterlambatan pemberian bantuan. Hal ini karena masalah jalur
komunikasi antara pusat dan daerah tidak efektif, sehingga menyebabkan
terjadinya tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif.
Kaitan antara Bencana dan Kerentanan Masyarakat Pesisir
Pada kagiatan Pelatihan Penanganan Bencana II LPPS-KWI, pada 17
November Tahun 2000, Naryanto menyampaikan bahwa pada umumnya bencana
terjadi akibat dari kondisi yang rawan terkena suatu bencana yang potensial.
Karakteristik dari bencana secara umum mempunyai pengertian sebagai berikut
(Naryanto 2000 dalam Seri Forum LPPS 2001):
a) Gangguan terhadap kehidupan normal, yang biasanya merupakan gangguan
cukup besar (parah), mendadak dan tidak terkirakan terjadinya, serta meliputi
daerah dengan jangkauan luas.
b) Bersifat merugikan manusia, seperti kehilangan jiwa, luka di badan,
kesengsaraan, gangguan kesehatan, serta kerugian harta benda.
c) Memengaruhi struktur sosial masyarakat, seperti kerusakan sistem
pemerintahan, gedung-gedung atau bangunan, sarana komunikasi dan
pelayanan masyarakat.
d) Berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia, seperti perumahan, makanan,
pakaian, obat-obatan, pelayanan sosial dan sebagainya.
Pengurangan risiko bencana (disaster mitigation), meliputi penanganan
seluruh aspek, baik yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh alam. Sebagian
dari aspek tersebut telah ditangani oleh badan-badan tertentu. Namun, aspek
lainnya seperti analisis kerentanan sosial (social vulnerability) masih dalam taraf
permulaan. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan analisis
kerenatanan masyarakat perlu dikembangkan.
Dampak bencana dapat berlangsung dalam jangka waktu yang singkat atau
semetara, tetapi juga bisa dalam jangka wantu yang panjang. Dampak bencana
dapat bersifat langsung dan tidak langsung. Ketika suatu kejadian bencana
menyengsarakan penduduk yang tertimpa bencana dan merusak lingkungan secara
langsung pada saat bencana terjadi maka dapat dikatakan bencana tersebut
memberikan dampak langsung. Dampak tersebut dapat berupa; menimbulkan
kematian, sakit, kecacatan, stress dan trauma emosional, menghancurkan
pemukiman dan bisnis, serta menimbulkan musibah ekonomi dan kesengsaraan
financial. Disamping itu, bencana juga dapat membrikan dampak secara tidak
langsung seperti timbulnya permasalahan keluarga nelayan, hilangnya atau

13

rusaknya sumber mata pencarian nelayan yang sulit pulih dalam jangka waktu
relatif cepat, pemberian bantuan yang tidak tepat sehingga menimbulkan masalah
berupa kesulitan korban untuk bangkit kembali, kesulitan ekonomi, serta
menyebabkan masyarakat tidak mampu menghadapi bencana di kemudian hari.
Pada umunya penderitaan paling berat dalam setiap bencana terutama dialami
oleh orang miskin.
Oleh karena itu, setiap kejadian bencana memiliki kaitan erat dengan tingkat
kerentanan suatu