Aplikasi Fosfin Formulasi Cair untuk Pengendalian Thrips parvispinus Karny pada Bunga Potong Krisan sebagai Perlakuan Karantina

APLIKASI FOSFIN FORMULASI CAIR
UNTUK PENGENDALIAN Thrips parvispinus Karny
(Thysanoptera: Thripidae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
SEBAGAI PERLAKUAN KARANTINA

TAUFAN TANTO SETYAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : ”Aplikasi Fosfin
Formulasi Cair untuk Pengendalian Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera:
Thripidae) pada Bunga Potong Krisan sebagai Perlakuan Karantina” adalah benar
merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor

Bogor, November 2014

Taufan Tanto Setyawan
A351120101

RINGKASAN
TAUFAN TANTO SETYAWAN. Aplikasi Fosfin Formulasi Cair untuk
Pengendalian Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada Bunga
Potong Krisan sebagai Perlakuan Karantina. Dibimbing oleh IDHAM SAKTI
HARAHAP dan DADANG.
Bunga krisan (Chrysanthemum indicum) merupakan komoditas hortikultura
yang mempunyai prospek baik sebagai sumber devisa negara. Volume ekspor
bunga krisan Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain.
Salah satu penyebabnya adalah terbawanya organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) pada bunga yang diekspor. OPT yang sering menyerang bunga krisan di

antaranya adalah Thrips parvispinus Karny. Salah satu tindakan yang dilakukan
untuk mengendalikan hama ini adalah perlakuan fumigasi. Alternatif fumigan
yang memiliki keefektifan yang baik adalah fosfin formulasi cair. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi dan lama waktu papar aplikasi
fosfin formulasi cair yang efektif terhadap T. parvispinus pada bunga krisan dan
mengevaluasi pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.
Penelitian dilaksanakan dalam 5 tahap, yaitu: (1) Koleksi dan identifikasi
serangga uji; (2) Perbanyakan (rearing) T. parvispinus; (3) Uji pendahuluan
dengan 2 tahap untuk menentukan batasan kisaran waktu dan konsentrasi yang
diperlukan dalam fumigasi; (4) Uji lanjut aplikasi fosfin cair dengan beberapa
konsentrasi dan waktu papar tertentu terhadap T. parvispinus; dan (5) Uji validasi
konsentrasi dan waktu papar yang paling efektif dan pengaruhnya terhadap
kualitas bunga potong krisan.
Uji pendahuluan tahap pertama menunjukkan bahwa pada seluruh perlakuan
semua serangga uji mengalami kematian sebesar 100% pada konsentrasi 200, 250,
300, dan 350 ppm dengan kombinasi waktu papar 1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 18 jam.
Uji pendahuluan tahap kedua pada lama waktu papar 1 jam dengan konsentrasi
lebih rendah dari 200 ppm, mortalitas tertinggi ditunjukkan pada konsentrasi 175
ppm dengan persentase mortalitas sebesar 98.7% dan persentase mortalitas
terendah pada 25 ppm dengan mortalitas sebesar 57.3%. Pada uji lanjut yang

menggunakan konsentrasi antara 25 – 200 ppm, persentase mortalitas sebesar
100% terjadi pada konsentrasi 200 ppm dengan lama waktu papar 1, 3, dan 6 jam
dan juga pada konsentrasi 175 ppm dengan lama waktu papar 6 jam, sementara itu
nilai LC50 dan LC95 terendah ditunjukkan pada waktu papar 6 jam dengan nilai
17.323 ppm dan 120.69 ppm.
Aplikasi fosfin cair terhadap T. parvispinus pada bunga potong krisan
efektif pada perlakuan 1 jam dengan konsentrasi 200 ppm yang menyebabkan
mortalitas sebesar 100%. Pada konsentrasi tersebut tidak terjadi penurunan
kualitas bunga potong krisan.
Kata kunci: fumigasi, fumigan, konsentrasi, waktu papar

SUMMARY
TAUFAN TANTO SETYAWAN. Liquified Formulation of Phosphine
Application to Control Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) on
Cut Flower Chrysanthemum as a Quarantine Treatment. Supervised by IDHAM
SAKTI HARAHAP and DADANG.
Chrysanthemum flower (Chrysanthemum indicum) is a horticultural
commodity that has good prospects as a source of country revenue. Compared to
other countries, export volume of this commodity from Indonesia is relatively
low. High intensity of plant pest and disease infestation on chrysanthemum in this

country is one of the reason for that situation. One pest of insects that often
attacks chrysanthemum cut flower is Thrips parvispinus. One of the measures
taken to control this insect is fumigation treatment. Alternative fumigant that has
good effectiveness is liquified formulations of phosphine. The objectives of this
study were to determine the concentration level and time of liquified phosphine
formulation application against T. parvispinus on the chrysanthemum cut flower
and to evaluate the quality of chrysanthemum cut flowers.
The experiment was conducted in five stages: (1) Collection and
identification of test insect, (2) Rearing of T. parvispinus, (3) Preliminary test in 2
stages to determine a level time and concentration for liquified phosphine
application to T. parvispinus, (4) Application of liquified phosphine concentration
level and time to T. parvispinus, and (5). Validation test of effective concentration
and time level and evaluate their effects on quality of chrysanthemum cut flowers.
The first stage of preliminary test showed in all treatments about test insect
mortality of 100% at concentration 200, 250, 300, and 350 ppm with time level
combination of 1, 3, 6, 9, 12, 15, and 18 hours. The second stage of a preliminary
test with 1 hour time level at a concentration lower than 200 ppm, the highest
mortality was shown at a concentration of 175 ppm with percentage mortality
98.7% and the lowest percentage of mortality at 25 ppm with a mortality 57.3%.
In a further test that uses a concentration between 25-200 ppm, the percentage of

100% mortality occurred at a concentration of 200 ppm with time level 1, 3 and 6
hours and also at a concentration of 175 ppm with the time level of 6 hours, while
the lowest of LC50 and LC95 values indicated at the time 6 hours with 17.323 ppm
and 120.69 ppm.
Applications of liquified phosphine to T. parvispinus on chrysanthemum cut
flower are effective within 1 hour treatment at 200 ppm concentrations that cause
mortality of 100%. Treatment at these concentration did not decrease the quality
of cut chrysanthemum flowers.
Keywords: fumigation, fumigant, concentration, time level.

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB.


APLIKASI FOSFIN FORMULASI CAIR
UNTUK PENGENDALIAN Thrips parvispinus Karny
(Thysanoptera: Thripidae) PADA BUNGA POTONG KRISAN
SEBAGAI PERLAKUAN KARANTINA

TAUFAN TANTO SETYAWAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc


Judul Tesis

Nama Mahasiswa
NRP

: Aplikasi Fosfin Formulasi Cair untuk Pengendalian
Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae)
pada Bunga Potong Krisan sebagai Perlakuan Karantina
: Taufan Tanto Setyawan
: A351120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
Anggota

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si.
Ketua


Diketahui oleh
Ketua Program Studi Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 10 Oktober 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian tesis yang berjudul “Aplikasi Fosfin Formulasi Cair untuk
Pengendalian Thrips parvispinus Karny (Thysanoptera: Thripidae) pada Bunga
Potong Krisan sebagai Perlakuan Karantina”, sebagai salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Entomologi, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Desember 2013 sampai dengan Juni 2014 di Laboratorium Entomologi dan
gedung workshop fumigasi dan X-ray di Balai Uji Terap Teknik dan Metode
Karantina Pertanian di Bekasi.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc., selaku
komisi pembimbing yang senantiasa membimbing, memberikan arahan dan
masukan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang banyak
memberikan motivasi dan bimbingan, kepada teman-teman Program Studi
Entomologi Angkatan 2012, seluruh sivitas akademik Program Studi Entomologi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang membantu dan memberikan
semangat kepada penulis dan kepada Pusat Pendidikan, Standardisasi dan
Sertifikasi Profesi Pertanian, Kementerian Pertanian sebagai pemberi beasiswa
program pascasarjana.
Ucapan terima kasih dan rasa hormat secara khusus penulis sampaikan
kepada Mama, Papa, Istri dan anak-anak-ku serta keluarga besar penulis yang
selalu mendoakan, memberikan dukungan baik moril maupun materil, sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu masukan dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan agar karya ini menjadi lebih sempurna. Semoga karya kecil ini
bermanfaat bagi kita semua

Bogor, November 2014
Taufan Tanto Setyawan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Kepentingan Krisan dalam Ekspor Indonesia

Tanaman Krisan
Thrips parvispinus Karny
Fosfin
Strategi Pengendalian T. parvispinus
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
3
3
3
4
4
5
7
10
12
13
13
13
13
17
18
18
24
28
28
28
29
35
47

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6

7

Sifat fisik dan sifat kimia dari fosfin
Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa
konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 jam
Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T.
parvispinus
Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa
konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam
Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T.
parvispinus dengan waktu papar 1, 3, dan 6 jam
Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa
konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam pada
bunga krisan
Rata-rata skor kerusakan bunga potong krisan pada pengamatan 1,
24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP)

11
20
20
21
21

22
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13

14

Tanaman krisan pada pot
Bunga potong krisan
Siklus hidup T. parvispinus
Kotak perbanyakan T. parvispinus
Bagan tata letak susunan pemasangan alat fumigasi
Tahap urutan pelaksanaan perlakuan fumigasi
Imago T. parvispinus pada perbesaran 40 kali
Antena T. parvispinus pada perbesaran 100 kali
Kepala T. parvispinus pada perbesaran 40 kali
Sayap T. parvispinus pada perbesaran 200 kali
Abdomen T. parvispinus pada perbesaran 100 kali
Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 1 jam fosin
cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d).
72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)
Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 3 jam fosin
cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d).
72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)
Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 6 jam fosin
cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d).
72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)

6
7
8
14
15
16
18
18
19
19
19

23

23

24

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

7

8

Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa
konsentrasi fosfin cair dengan beberapa waktu pemaparan fumigan
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 Jam
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 Jam
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 3 jam
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 6 jam
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 jam pada bunga
krisan
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 3 jam pada bunga
krisan
ANOVA persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan
beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 6 jam pada bunga
krisan

35
36
37
39
41

43

44

45

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ekspor komoditas pertanian merupakan program pemerintah yang terus
digalakkan di samping industri dan jasa untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Komoditas ekspor pertanian Indonesia antara lain kopi, lada, kakao,
karet, buah, sayuran segar dan tanaman hias (bunga potong) merupakan beberapa
komoditi unggulan untuk ekspor yang sangat diminati oleh negara-negara lain.
Bunga merupakan komoditas hortikultura yang pertumbuhan ekspornya
semakin meningkat dan mempunyai prospek baik sebagai sumber devisa negara.
Salah satu jenis bunga yang sangat digemari adalah Chrysanthemum indicum,
karena memiliki keragaman, baik dari segi penampilan, bentuk maupun warnanya.
Kesinambungan komoditas ini baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya perlu
dijaga untuk memasuki pasar luar negeri yang lebih baik. Bunga krisan
merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Pada tahun 2012 ekspor bunga krisan ke beberapa negara tujuan ekspor mencapai
50.92 ton dengan nilai sekitar US $ 1 031 511 (BPS 2013). Tujuan ekspor bunga
krisan ini meliputi Jepang, China, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia,
dan Singapura. Selain negara kawasan Asia, negara-negara lain yang merupakan
pasar potensial bunga potong di antaranya Amerika Serikat, Canada, Columbia,
Belanda, Italia, dan Jerman. Meski demikian, volume ekspor tanaman hias
Indonesia khususnya bunga krisan masih relatif rendah dibandingkan dengan
negara lain.
Hal ini diakibatkan beberapa kendala di antaranya adalah terbawanya
organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga yang diekspor. OPT yang
sering menyerang bunga krisan di antaranya adalah thrips, Thrips parvispinus
merupakan salah satu hama utama pada tanaman krisan. Hama ini selain merusak
tanaman melalui aktivitas makan juga dapat menjadi vektor virus mosaik
(Deligeorgidis et al. 2006). Menurut Prabaningrum dan Moekasan (2007), warna
bunga krisan dapat menjadi daya tarik bagi thrips untuk hinggap dan hidup pada
bunga. Thrips dikenal sebagai hama yang sulit dikendalikan karena ukurannya
yang kecil dan perilakunya yang tidak terlalu mudah diketahui (Laksanawati
1996).
Dalam era perdagangan bebas, setiap negara pengekspor perlu
memperhatikan kesehatan dan kualitas produk pertaniannya jika ingin bersaing
dengan negara lain. Di samping itu, bunga potong dan tanaman hias yang akan
diekspor harus memenuhi protokol ekspor komoditas hortikultura yang salah
satunya adalah bebas dari organisme penganggu tumbuhan karantina (OPTK).
Negara pengimpor akan menerima bunga krisan dari Indonesia apabila ada
jaminan bahwa komoditas tersebut bebas dari infestasi hama yang dibuktikan
dengan dokumen tentang perlakuan yang digunakan. Indonesia pernah gagal
mengekspor paprika ke Taiwan karena diduga paprika tersebut terinfestasi lalat
buah. Buah mangga dari Indonesia ditolak oleh Taiwan, Jepang dan Korea karena
terinfestasi lalat buah. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya penanganan OPT
secara komprehensif.

2

Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk
membebaskan media pembawa dari OPT/OPTK. Fumigasi merupakan cara yang
sangat luas dilakukan dalam kegiatan karantina, baik pada produk buah, sayuran
maupun tanaman hias. Keunggulan fumigasi adalah dapat dilakukan pada
komoditas dalam jumlah besar secara bersamaan sehingga dapat menghemat
waktu. Fumigan yang banyak digunakan adalah metil bromida (MB), fosfin padat
(PH3) dan etil format. Metoda fumigasi yang diterapkan secara luas pada beberapa
komoditas seperti biji-bijian di gudang penyimpanan diketahui menyisakan residu
dan tidak aman bagi kesehatan manusia. Fumigan MB yang memiliki keefektifan
yang baik ternyata telah dibatasi penggunaannya karena dapat merusak lapisan
ozon (Maha 1997), menurunkan kualitas pada komoditas bunga potong yang
sensitif terhadap MB (Wang dan Lin 1984), dan diketahui meninggalkan residu
yang bersifat karsinogenik pada komoditas yang difumigasi (Pusat Karantina
Pertanian 2000). Sementara itu, fumigasi dengan menggunakan fosfin formulasi
padat memerlukan waktu papar yang lama, meninggalkan residu dan tidak dapat
diaplikasikan pada komoditas dengan kadar air yang tinggi karena mudah terbakar
(Barantan 2013).
Penelitian untuk mendapatkan alternatif fumigan yang memiliki keefektifan
yang lebih baik namun tidak berdampak negatif bagi komoditas, manusia, hewan
dan lingkungan perlu dilakukan. Salah satu alternatif fumigan yang mulai banyak
digunakan adalah fosfin formulasi cair (gas yang dikemas dalam silinder
bertekanan tinggi). Keberadaan fumigan fosfin formulasi cair dapat memecahkan
permasalahan aplikasi fosfin dalam bentuk padat, mengingat fosfin formulasi cair
sudah berbentuk gas fosfin yang bertekanan ditempatkan dalam tabung. Sifat fisik
serta sifat kimia fumigan formulasi cair berbeda dengan fosfin padat. Di beberapa
negara seperti Amerika Serikat, Australia dan Thailand telah menggunakan fosfin
formulasi cair untuk perlakuan fumigasi dalam membebaskan hama pada berbagai
komoditas seperti kopi, kakao, tembakau, buah-buahan dan bunga. Selain itu,
fosfin formulasi cair juga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif perlakuan
karantina tumbuhan karena sesuai dengan ketentuan International Sanitary and
Phytosanitary Measurement (ISPM) No. 28 (Barantan 2013).
Menurut Barantan (2013), penggunaan fosfin formulasi cair sebagai
alternatif dapat digunakan terhadap berbagai komoditas yang bermasalah apabila
difumigasi dengan fosfin formulasi padat. Fosfin formulasi cair yang
diperdagangkan dalam tabung bertekanan tinggi dicampur dengan karbon
dioksida (CO2). Hal ini karena fosfin formulasi cair memilki sifat-sifat 1) tidak
mudah terbakar sebab fosfin cair adalah campuran gas dari 2% fosfin dalam 98%
karbon dioksida (CO2), 2) reaksi sinergis dengan CO2, 3) stabilitas gas konsentrasi
fosfin formulasi cair dapat lebih mudah dipertahankan selama fumigasi dan akan
konstan selama berlangsungnya fumigasi sejak awal dilepaskan. Karbon dioksida
adalah gas pembawa (carrier) yang sangat baik untuk fosfin dan tidak
menyebabkan fosfin cair menjadi mudah terbakar dengan udara, beberapa
penelitian telah menunjukkan efek sinergis bila CO2 digunakan dengan fosfin cair.
CO2 cenderung menyebabkan pernapasan serangga menjadi lebih cepat sehingga
spirakel akan terbuka ketika bernapas dan mengambil dosis mematikan dari fosfin
cair lebih banyak,

3

Fosfin telah digunakan sebagai fumigan untuk mengendalikan hama gudang
selama lebih dari 6 dekade (Chaudry 1997). Menurut Barantan (2013), fosfin cair
efektif mengendalikan berbagai serangga pada konsentrasi 200 - 1 000 ppm
tergantung pada jenis serangga dan tempat fumigasi dilakukan. Di negara Chili
fosfin telah diuji dan digunakan pada berbagai varietas buah segar dan sayuran
untuk penanganan pengendalian pascapanen pada temperatur rendah (Horn et al.
2005). Fosfin digunakan secara luas untuk mengendalikan berbagai hama gudang,
namun diperlukan konsentrasi dan lama waktu papar yang sesuai untuk masingmasing spesies hama (Bond et al. 1969).
Menurut Karunaratne et al. (1997), beberapa serangga sangat rentan
terhadap fosfin yang mana pada konsentrasi 600 ppm dan suhu 20ºC yang
dipapar selama 2 jam efektif dalam mengendalikan Heliothrips haemorrhoidalis.
Sementara itu perlakuan fumigasi pada konsentrasi ≥250 ppm dan waktu papar
≥18 jam pada suhu 2ºC efektif dalam mengendalikan Frankliniella occidentalis.
Fumigasi pada konsentrasi 1 000 ppm dan suhu 2ºC tidak menyebabkan
kerusakan pada selada dan brokoli, kemudian perlakuan fumigasi pada 500 dan 1
000 ppm tidak menyebabkan kerusakan dan aman untuk strawberry (Liu 2008).
Hingga saat ini belum diketahui konsentrasi dan waktu papar yang efektif untuk
pengendalian T. parvispinus pada bunga krisan pada suhu di indonesia yang
berkisar antara 26-35ºC dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.
Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi dan lama
waktu papar yang efektif untuk imago T. parvispinus pada bunga potong krisan
dan tidak menyebabkan penurunan kualitas pada bunga potong krisan.

Tujuan
Untuk menentukan konsentrasi fosfin formulasi cair dan lama waktu papar
yang efektif sebagai fumigan terhadap imago T. parvispinus pada bunga potong
krisan dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.

Hipotesis
Fumigan fosfin cair pada konsentrasi dan lama waktu papar tertentu efektif
untuk mengendalikan imago T. parvispinus dengan tingkat mortalitas 100% dan
tidak berpengaruh terhadap kualitas bunga potong krisan.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi perlakuan
karantina terhadap konsentrasi dan waktu papar yang efektif dari fosfin cair untuk
mengendalikan imago T. parvispinus pada bunga potong krisan dengan tingkat
mortalitas 100 % dan tidak berpengaruh terhadap kualitas bunga potong krisan.

TINJAUAN PUSTAKA

Kepentingan Krisan dalam Ekspor Indonesia
Tanaman Krisan merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan
dalam skala komersial terutama sebagai tanaman hias dalam pot maupun bunga
potong. Terdapat lebih dari seribu varietas krisan yang dikenal yang tersebar di
seluruh dunia. Awalnya krisan dibudidayakan di Jepang, bahkan menjadikan
krisan sebagai simbol kekaisaran Jepang dan disebut sebagai Queen of the East,
kemudian menyebar ke Eropa lalu ke seluruh Asia. Tanaman Krisan masuk ke
Indonesia pada abad ke- 17 dan baru dikembangkan pada tahun 1940 di Cianjur,
Lembang, Cisarua, Brastagi dan Bandungan (Rukmana dan Mulyana 1997).
Widyawan dan Prahastuti (1994) menyatakan bahwa jenis bunga potong
yang mempunyai nilai komersial di Indonesia antara lain krisan, anggrek, mawar,
anyelir, anthurium, gladiol, gerbera, sedap malam, aster, dan melati. Peningkatan
nilai estetis dan ekonomis sangat diperlukan untuk menjaga keindahan dan
kesenangan para penyuka bunga potong, sehingga akan dapat meningkatkan
jumlah konsumen dan penyuka bunga potong.
Terdapat empat jenis bunga lokal yang berpotensi diproduksi di Indonesia
untuk keperluan pasar dalam negeri dan ekspor ke pasar internasional, yaitu
anggrek, krisan, mawar dan sedap malam. Pertumbuhan produksi selama tiga
tahun terakhir masing-masing bunga adalah 1.53%, 68.44%, 13.53% dan 10.81%
per tahun. Nilai ekspor anggrek, krisan dan mawar pada tahun 2011 masingmasing mencapai USD 783 785; USD 1 329 468 dan USD 781 377 (BPS 2012).
Krisan menempati urutan pertama sebagai penghasil devisa pada ekspor tanaman
hias, dari waktu ke waktu permintaan terhadap bunga krisan baik dalam bentuk
bunga potong maupun dalam pot mengalami kenaikan.
Krisan merupakan salah satu jenis bunga potong penting di dunia yang
banyak diminati di beberapa negara (Widiastuti et al. 1999). Bunga krisan kuning
(Chrysanthemum indicum) sebagai bunga potong sangat disenangi konsumen di
Indonesia dan negara lain karena keindahannya. Keragaman bentuk, warna,
kemudahan untuk dirangkai dan memiliki kesegaran bunga yang cukup lama, bisa
bertahan sampai dengan 3 minggu (Harry 1994).
Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2007), pasokan bunga krisan di
dunia saat ini masih dikuasai oleh pelaku usaha yang bersal dari Belanda,
Colombia, dan Italia yang mencapai total ekspor lebih dari 60% dari nilai
perdagangan dunia, sementara negara-negara lain hanya mampu memasok sekitar
10% dari total permintaan dunia.
Usaha produksi krisan di Indonesia dihadapkan pada beberapa kendala,
antara lain ketergantungan terhadap bibit dari luar negeri dan infestasi hama pada
bunga potong sehingga terdapat kesulitan untuk menembus pasar luar negeri.
Salah satunya adalah hama T. parvispinus (Balithi 2000). Kerusakan yang
ditimbulkan oleh thrips pada tanaman bunga krisan di lapangan berkisar 40-55 %
tergantung pada kondisi lingkungan (Prabaningrum dan Moekasan 1997)
Selain itu ketatnya negara tujuan dalam menerapkan aturan untuk
pemasukan tanaman hias ke negaranya menjadi kendala bagi ekspor tanaman hias.
Selain penampilan yang baik, tanaman harus bebas dari tanah dan organisme

5

pengganggu tumbuhan (OPT). Salah satu contoh, ekspor bunga krisan dengan
tujuan negara Jepang dinyatakan terinfestasi oleh thrips sehingga harus diberi
perlakuan dengan penyemprotan insektisida dosis tinggi oleh pemerintah Jepang
untuk melindungi negaranya dari penyebaran OPT, dampaknya hanya 40% bunga
krisan yang dapat bertahan sehingga eksportir mengalami kerugian.
Tanaman Krisan
Klasifikasi Ilmiah
Bunga krisan adalah anggota dari famili Asteraceae yang mencakup
bermacam-macam jenis Chrysanthemum. Klasifikasi Ilmiah dari tanaman bunga
krisan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo
: Asterales
Famili
: Asteraceae
Genus
: Chrysanthemum
Spesies
Chrysanthemum sp.
Botani
Menurut Rukmana dan Mulyana (1997), tanaman krisan memiliki batang
dengan bentuk yang tegak, bulat, sedikit bercabang, permukaan kasar dan
berwarna hijau. Daun berbentuk tunggal, berseling, lonjong dengan ujung runcing
dan pangkal yang membulat, panjang 7-13 cm dan lebar 3-6 cm pertulangan
menyirip, tebal, permukaan kasar, hijau. Sementara itu bunga bersifat majemuk,
berbentuk seperti cawan dengan garis tengah 3-5 cm. Buah dari tanaman krisan
berbentuk lonjong, kecil, ditutupi selaput buah, yang masih muda berwarna putih
sementara yang tua berwarna hitam. Biji berbentuk lonjong dengan ukuran kecil
berwarna hitam dan akar tunggang berwarna putih.
Krisan pada umumnya dibudidayakan dan tumbuh baik di dataran medium
sampai tinggi yaitu pada kisaran 650 – 1 200 m dpl. Di habitat aslinya, krisan
merupakan tanaman yang bersifat menyemak dan dapat tumbuh hingga mencapai
tinggi 30 – 200 cm. Berdasarkan siklus hidupnya, krisan dibedakan menjadi 2
tipe, yaitu krisan semusim (hardy annual) dan krisan tahunan (hardy perennial)
(Harry 1994).
Tanaman krisan yang dibudidayakan saat ini merupakan krisan modern
hasil hibridisasi, seleksi dan rekayasa genetik telah dilakukan para pemulia krisan
sejak lama, sehingga kebanyakan krisan modern bersifat poliploid dan secara
genetik sangat heterogen. Perubahan-perubahan yang terjadi pada krisan modern
ini terutama pada karakter ketahanan terhadap stress lingkungan, hama dan
penyakit, atau kualitas bunga seperti warna, bentuk serta tipe bunga.

6

Gambar 1 Tanaman krisan pada pot
Krisan berasal dari daerah subtropis, sehingga suhu yang terlalu tinggi
merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Krisan dapat tumbuh
pada kisaran suhu harian antara 17-30ºC. Pada fase vegetatif, kisaran suhu harian
22-28ºC pada siang hari dan tidak melebihi 26ºC pada malam hari dibutuhkan
untuk pertumbuhan optimal krisan. Suhu ideal pada fase generatif adalah 1618ºC. Pada suhu di atas 25ºC, proses inisiasi bunga akan terhambat dan
menyebabkan pembentukan bakal bunga juga terlambat. Suhu yang terlalu tinggi
juga mengakibatkan bunga yang dihasilkan cenderung berwarna kusam, pucat dan
memudar (Hashim dan Reza 1995)
Bunga
Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain
Seruni atau bunga emas (Golden Flower) berasal dari dataran Cina. Krisan kuning
berasal dari dataran Cina, dikenal dengan Chrysanthenum indicum (kuning), C.
Morifolium (ungu dan pink) dan C. daisy (bulat, ponpon). Krisan masuk ke
Indonesia pada tahun 1800 dan tahun 1940 krisan dikembangkan secara
komersial. Menurut Sanjaya (1996) jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia
umumnya hibrida berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Krisan yang
ditanam di Indonesia terdiri atas:
a. Krisan lokal (krisan kuno)
Berasal dari luar negri, tetapi telah lama dan beradaptasi di Indoenesia
maka dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya antara lain sifat hidup di
hari netral dan siklus hidup antara 7-12 bulan dalam satu kali penanaman.
Contoh C. Maximum berbunga kuning banyak ditanam di Lembang dan
berbunga putih di Cipanas (Cianjur).
b. Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida)
Hidupnya berhari pendek dan bersifat sebagai tanaman annual. Contoh
krisan ini adalah C. indicum hybr, C. indicum hybr. Dolaroid, C. indicum

7

hybr. Indianapolis (berbunga kuning) Cossa, Clingo, Fleyer (berbunga
putih), Alexandra Van Zaal (berbunga merah) dan Pink Pingpong
(berbunga pink).
c. Krisan produk Indonesia
Balai Penelitian Tanaman Hias Cipanas telah melepas varietas krisan
buatan Indonesia yaitu varietas Balithi 27.108, 13.97, 27.177, 28.7 dan
30.13A.
Dari beberapa jenis varietas, krisan berwarna kuning dan hijau adalah yang
paling banyak dicari. Persentasenya bisa mencapai 90%, sementara sisanya
memilih warna-warna lain.

Gambar 2 Bunga potong krisan
Thrips parvispinus Karny
Thrips ditemukan hampir di seluruh dunia dengan jumlah spesies mencapai
6 000 spesies. Dialam bebas, thrips lebih menyukai berada pada gulma sebagai
inangnya, tetapi adanya gangguan pada gulma menyebabkan thrips bermigrasi ke
tanaman ekonomis seperti sayuran, tanaman hias, dan buah-buahan. Beberapa dari
spesies thrips dikenal sebagai penyebab kerusakan tanaman (Reynaud 2010). Di
Indonesia tanaman yang menjadi inang dengan tingkat kerusakan yang cukup
tinggi antara lain adalah cabai, bawang merah, bawang putih, kentang, tomat,
terung, waluh dan mentimun juga beberapa tanaman hias seperti krisan, mawar,
dan sedap malam. Kondisi kadar air tanaman mempengaruhi kepindahan thrips
dalam memilih inang, kadar air yang tinggi akan dipilih dari pada tanaman
dengan kadar air kurang (Dibyantoro 1994).
Serangga ini merusak tanaman dengan cara meraut menghisap (Lewis
1973). Menurut Prabaningrum (2007), kerusakan tanaman dan kehilangan hasil
karena hama trips sekitar 10 - 25% pada musim hujan dan 40 - 55% pada musim
kemarau. Semakin awal terjadi serangan, semakin tinggi pula penurunan hasil
baik secara kualitas maupun kuantitas. T. parvispinus juga berperan sebagai
vektor dari suatu virus yaitu Tobacco streak ilarvirus (TSV) (Klose et al. 1996).

8

Thrips diklasifikasikan kedalam ordo Thysanoptera dan famili Thripidae,
klasifikasi T. parvispinus secara lengkap adalah :
Kingdom
: Animalia
Fillum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Thysanoptera
Famili
: Thripidae
Genus
: Thrips
Spesies
: Thrips parvispinus Karny

Gambar 3 Siklus hidup T. parvispinus
(Dreistadt et al. 2004)
Biologi
Pada umumnya thrips dewasa berbentuk langsing, berwarna kuning hingga
coklat kehitaman, berukuran kecil 0.8 – 1.4 mm, ukuran paling besar hingga
mencapai 3 mm (Davidson dan Lyon 1987). Thrips dewasa maupun nimfa
tubuhnya bersegmen-segmen, nimfa berwarna putih atau putih kekuningan dan
tidak bersayap (Lewis 1973). Thrips berkembang biak secara seksual dan
aseksual, perkembangan aseksual thrips disebut dengan parthenogenesis. Imago
betina yang mengalami perkembangbiakan secara aseksual akan menghasilkan
keturunan betina lagi (Kendall dan Capinera 1990). Thrips betina meletakan telur
secara tunggal di dalam jaringan tanaman, di permukaan bawah daun atau pada
kelopak dan mahkota bunga. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina
berkisar antara 30-300 butir tergantung kualitas dan jumlah makanan yang
tersedia dan suhu lingkungan (Davidson dan Lyon 1987). Pada suhu yang tinggi
imago akan mengalihkan energi yang dimilikinya untuk memproduksi telur yang
lebih banyak, sementara pada suhu rendah imago akan menimbun energi yang
dimilikinya untuk membentuk struktur tubuh (Berger et al. 2008)
Thrips mengalami metamorfosis sederhana (setengah sempurna) yaitu mulai
dari telur, nimfa, pupa dan setelah itu menjadi thrips dewasa (gambar 3). Thrips

9

mengalami dua fase instar nimfa dan pupa. Instar pertama dan kedua merupakan
fase aktif, setelah fase nimfa selanjutnya adalah fase prepupa dan pupa merupakan
fase istirahat dan kemudian menjadi imago yang mulai aktif makan lagi. Siklus
hidup thrips sekitar 15.4 hari (Dibyantoro 1994), sementara itu menurut Lu dan
Lee (1987) untuk menyelesaikan satu siklus hidup thrips membutuhkan waktu 35
hari dengan fase telur 4.8 hari, nimfa 5.9 hari, prepupa 1.4 hari dan pupa 2.4 hari
serta dewasa 20.2 hari.
Telur thrips berbentuk oval atau seperti ginjal dan berwarna putih bening.
Telur biasanya diletakkan pada bagian permukaan bawah daun atau di dalam
jaringan tanaman secara terpencar atau ditusukkan ke dalam jaringan tanaman.
Nimfa berwarna putih dan sangat aktif, terdiri atas dua instar, yang diikuti dengan
periode prepupa yaitu nimfa yang menyerupai sifat seperti pupa dan tidak makan,
nimfa yang baru menetas berwarna putih kekuningan. Nimfa instar pertama dan
kedua aktif berada di permukaan daun sedangkan instar selanjutnya tidak aktif.
Nimfa T. parvispinus paling banyak dijumpai pada daun bagian atas (Sutherland
2006).
Pupa biasanya jatuh ke tanah, kemudian menjadi serangga dewasa.
Perkembangan pupa menjadi imago meningkat pada kelembaban relatif rendah
dan suhu relatif tinggi. Pupa terdapat di bawah daun atau permukaan tanah di
sekitar tanaman. Imago yang telah memiliki sayap biasanya belum dapat terbang
tetapi sudah dapat meloncat dan hidup secara berkelompok (Mound et al. 1976).
Imago berukuran sangat kecil, dengan panjang tubuh + 1 mm dan berwarna
kuning pucat sampai coklat kehitaman. Imago yang sudah tua berwarna agak
kehitaman bergaris-garis. Serangga jantan tidak bersayap, sedangkan yang betina
mempunyai dua pasang sayap yang halus dan tidak rata. Umur serangga dewasa
dapat mencapai 20 hari. Imago paling banyak ditemukan pada pucuk daun dan
bagian dalam bunga (Davidson dan Lyon 1987).
Gejala Serangan
Menurut Ananthakhrisnan (1993), kerusakan spesifik karena serangan thrips
pada jaringan tanaman menyebabkan kerusakan langsung yang ditandai dengan
warna keperakan dan gangguan fisiologis pada daun dan bunga. Gejala bercak
keperakan awalnya tampak dekat tulang daun menjalar ke tulang daun hingga
warna keperakan dan akhirnya mengalami perubahan menjadi warna kecoklatan,
disebabkan karena terbentuknya gelembung udara yang terjadi akibat tusukan
mulut thrips pada jaringan epidermis (Anderson et al. 1992). Thrips menyerang
tanaman mulai dari pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala serangan paling
banyak dijumpai pada bagian bawah daun atau bunga. Pada intensitas serangan
yang tinggi, tepi daun menjadi berkerut, menggulung ke dalam dan timbul
benjolan sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan bila
daun dibuka, akan terdapat imago thrips yang berkelompok (Dethier 1982).
Tanaman yang merana tidak akan menghasilkan bunga yang prima. Populasi dan
serangan thrips biasanya tinggi pada musim kemarau dan menurun pada musim
hujan.

10

Fosfin
Fosfin atau hidrogen fosfida (PH3) adalah gas yang dihasilkan oleh fumigan
yang dikenal sebagai metal fosfida yang merupakan salah satu fumigan tertua dan
banyak digunakan dalam pengendalian hama. Fosfin sangat toksik terhadap
serangga termasuk manusia dan hewan. Disamping toksik, fosfin juga
menyebabkan korosi pada logam tertentu dan dapat terbakar secara tiba-tiba di
udara pada konsentrasi yang lebih tinggi dari titik ledak yaitu 1.8% (17 900 ppm).
Sifat-sifat lain dari fosfin adalah berat jenis dan berat molekulnya rendah sehingga
membuat kemampuan penetrasinya dapat tembus ke bagian dalam komoditas
(Wirawan 2006).
Perlakuan dengan Fosfin secara berulang-ulang relatif tidak meninggalkan
residu pada komoditas, sehingga relatif aman terhadap komoditas yang
difumigasi. Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu untuk fosfin
yang diperbolehkan pada biji-bijian belum diolah adalah 0,1mg/kg dan 0,01mg/kg
pada biji-bijian yang telah diolah. Selain itu, penggunaan fosfin banyak
dipersyaratkan oleh negara-negara tertentu karena ion fosfin diketahui sebagai zat
yang tidak menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon.
Fumigasi fosfin harus memperhatikan sifat fisik dan sifat kimianya, untuk
itu yang perlu diperhatikan sebelum pelaksanaan fumigasi dengan fosfin adalah
ketersedian waktu yang cukup untuk pelaksanaan fumigasi, kandungan air
komoditas yang akan difumigasi, jenis komoditas, dan jenis organisme
pengganggu tumbuhan yang menjadi sasaran fumigasi. Penggunaan fosfin
dihindari apabila suhu berada di bawah 10ºC karena pada suhu tersebut serangga
tidak aktif, pada konsentrasi di atas 1.8% volume di udara atau 25 g/m3 pada
tekanan udara normal mudah meledak, pada temperatur di atas 100°C (212°F)
mudah terbakar dengan sendirinya, komoditas memiliki kandungan air yang tinggi
dan komoditas yang mengandung emas, perak dan tembaga.
Menurut Barantan (2013), fosfin adalah fumigan yang sangat beracun
terhadap manusia, keracunan fosfin dapat berakibat kematian bagi manusia.
Pengaruh dari paparan gas tergantung pada konsentrasi gas, lama waktu papar dan
seringnya terkena paparan. Efek yang langsung membahayakan terhadap manusia
terjadi apabila setelah fosfin terpapar dengan konsentrasi 2.8 g/m3 dapat
mematikan manusia dalam beberapa menit. Apabila fosfin terpapar dengan
konsentrasi lebih dari 0.5g/m3 selama 30-60 menit dapat mengakibatkan efek
yang sama. Akan tetapi, pengaruh tidak langsung dapat berakibat fatal apabila
fosfin dalam konsentrasi rendah terhisap oleh manusia secara terus menerus.
Pemilihan Fosfin sebagai fumigan dalam pelaksanaan fumigasi karena
merupakan senyawa yang sangat toksik dan memiliki penetrasi yang baik serta
seragam, tidak memiliki efek aroma, warna, dan cita rasa terhadap komoditas
yang difumigasi, dan penyerapan oleh produk rendah. Menurut Harein dan Davis
(1992), fosfin adalah senyawa kimia yang pada temperatur dan tekanan tertentu
berbentuk gas, dalam konsentrasi tertentu dapat mematikan serangga dan tidak
ada efek residu yang ditinggalkan setelah fumigasi selesai. Saat ini fosfin telah
dikembangkan dalam dua macam formulasi yaitu fosfin formulasi padat dan
fosfin formulasi cair. Fosfin formulasi padat sudah banyak digunakan dalam
bentuk pellet, tablet, plate, bags dan strips dengan jumlah kandungan fosfin
berbeda-beda dan digunakan berdasarkan pada jumlah komoditas yang akan

11

difumigasi. Namun, penggunaan fosfin padat membutuhkan waktu lebih lama dan
tidak dapat digunakan pada semua komoditas, hal ini karena sifat fosfin yang
sangat mudah terbakar (flammable). Sementara itu, fosfin formulasi cair mulai
dikembangkan untuk menutupi kekurangan dari fosfin formulasi padat agar dapat
digunakan untuk banyak komoditas.
Menurut Barantan (2013), fosfin memiliki sifat fisik dan sifat kimia seperti
yang disajikan pada tabel 1.

Tabel 1
No
1
2
3
4
5
6
a.
b.
7
8
9
10

11

Sifat fisik dan sifat kimia fosfin
Deskripsi
Rumus kimia
Bau
Titik didih
Titik lebur
Berat molekul
Gravity khusus
Gas (udara = 1)
Liquid (air 4°C = 1)
Panas penguapan
Titik ledakan
Kelarutan dalam air
Efek pada serangga
a. Telur
b. Larva
c. Pupa
d. Dewasa
Faktor konversi (g/m3 ke ppm)

Fosfin
PH3
Karbit/bawang putih
87.4°C
133.5°C
34.04
1.214°
0.746-90
102.6 cal/g
1.79% diudara
Sangat larut
Racun pernapasan dan saraf
Lambat
Cepat
Lambat
Cepat
730

Aplikasi fumigasi dengan menggunakan fosfin formulasi cair harus
memperhatikan sifat-sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Faktor lain yang harus
diperhatikan adalah keamanan selama berlangsungnya kegiatan fumigasi. Fosfin
formulasi cair umumnya berasal dari senyawa PH3 sebanyak 2% dan CO2
sebanyak 98%. Karbon dioksida adalah gas pembawa (carrier) yang sangat baik
untuk fosfin dan menjamin fosfin formulasi cair tidak mudah terbakar dengan
udara. Suhu minimum untuk fumigasi fosfin formulasi cair untuk tujuan tindakan
karantina dapat dilakukan pada suhu 0°C. Bila suhu di dalam ruang berada di
bawah 0°C, maka fumigasi tidak direkomendasikan untuk dilaksanakan.
Penyerapan fumigan yang berlebih akan menimbulkan resiko keamanan karena
fumigan tersebut akan sulit untuk dihilangkan dari komoditas. Suhu ruangan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan konsentrasi fosfin formulasi
cair yang efektif membunuh serangga sasaran. Kondisi optimal untuk pelaksanaan
fumigasi dengan fosfin formulasi cair pada suhu ≥ 26 °C.

12

Strategi Pengendalian T. parvispinus
Pengendalian T. parvispinus di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa
teknik pengendalian seperti pengendalian secara kimia dengan menggunakan
insektisida, secara hayati dan pengendalian secara terpadu. Menurut Lewis (1973)
thrips semula cukup rentan terhadap jenis insektisida sintetik namun akibat
penggunaan insektisida yang berlebih membuat thrips menjadi lebih tahan
(resisten). Pengendalian hayati yang telah dilakukan adalah dengan penggunaan
mikroorganisme Beauveria bassiana dan Verticilium lecani (Hadisoeganda 1997),
penggunaan tungau predator Amblyseius cucumeris (Prabaningrum dan
Sastrosiwojo 1997) dan penggunaan predator kumbang Coccinella transversalis
dan Menochilus sexmaculatus yang merupakan predator yang sangat baik
memangsa nimfa dan imago T. parvispinus (Pracaya 2011)
Pengendalian yang dilakukan pada produk pasca panen bunga potong
terhadap thrips adalah melalui karantina untuk mencegah terbawanya thrips ketika
komoditas bunga potong krisan ini akan diperdagangkan antar negara. Tindakan
karantina yang dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan terhadap bunga
potong krisan. Perlakuan yang biasa digunakan di antaranya adalah dengan
perlakuan fumigasi. Menurut Barantan (2013) fumigasi merupakan suatu tindakan
atau perlakuan terhadap media pembawa OPT menggunakan fumigan dalam
ruangan kedap udara pada suhu dan waktu tertentu dapat membunuh OPT.
Fumigan yang banyak digunakan saat ini adalah metil bromida (MB), fosfin padat
dan etil format.
Berdasarkan rekomendasi dari International Plant Protection Convention
(IPPC), penggunaan MB pada tahun 2008 harus dikurangi dan pada akhirnya
dihentikan sehingga mengharuskan setiap negara melakukan penelitian untuk
mencari fumigan baru pengganti MB dengan teknik perlakuan lain karena MB
termasuk kedalam Bahan Perusak Ozon (BPO). Selain itu juga aplikasi MB
membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga kurang cocok digunakan
untuk fumigasi terhadap bunga potong krisan (Suparno 2003). Fosfin padat
pengunaannya tidak cocok untuk komoditas yang memiliki kadar air tinggi,
sementara itu penggunaan etil format tidak efisien karena sulit untuk dilakukan
terhadap bunga potong dalam jumlah yang banyak (Desmarchelier 1999).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Gedung Workshop
Fumigasi dan X-Ray di Balai Uji Terap Teknik dan Metoda Karantina Pertanian,
Bekasi dari bulan November 2013 hingga Juni 2014.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fumigan fosfin cair
(ECO2FUME® ; CYTEC Australia), bunga potong krisan, imago T. parvispinus,
buncis, polen, madu, tissue, disposable masker dan kertas label. Alat-alat yang
digunakan meliputi nozzle gun, selang penyalur, selang monitor, alat ukur deteksi
kebocoran gas (Dräger Pac 7000) , alat ukur konsentrasi gas (Dräger X-am 7000),
SCBA (self contained breathing apparatus) (Dräger), kipas angin, timbangan
digital, kotak fumigasi kedap udara, mikroskop stereo, mikroskop compound,
thermometer, hand counter, dissecting set, kotak perbanyakan serangga, nampan
plastik, tabung plastik dan kuas.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 5 tahap, yaitu: (1) Koleksi dan identifikasi
serangga uji; (2) Perbanyakan (rearing) T. parvispinus; (3) Uji pendahuluan
dengan 2 tahap untuk menentukan batasan kisaran waktu dan konsentrasi yang
diperlukan dalam fumigasi fosfin cair terhadap T. parvispinus; (4) Uji lanjut
aplikasi fosfin cair dengan beberapa konsentrasi dan waktu papar tertentu
terhadap T. parvispinus dan (5) Uji validasi konsentrasi dan waktu papar yang
paling efektif dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.
Koleksi dan Identifikasi Serangga Uji
Perbanyakan dilakukan dengan cara mengumpulkan thrips yang terdapat
pada tanaman krisan dan bunga potong krisan di lapangan, dengan cara
mengambil daun dan bunga yang terserang thrips kemudian dikumpulkan dalam
suatu wadah untuk dibawa ke laboratorium. Selanjutnya dilakukan identifikasi
terhadap thrips yang didapatkan untuk memastikan bahwa serangga yang akan
diuji adalah T. parvispinus. Identifikasi dilakukan berdasarkan kunci yang dibuat
oleh Sartiami dan Mound (2013).
Perbanyakan T. parvispinus
Metode perbanyakan T. parvispinus dilakukan berdasarkan Helen dan
Glenys (2009) dengan sedikit modifikasi pada pakan yaitu pergantian pakan
mentimun dengan buncis. Imago thrips dipelihara dalam kotak plastik
perbanyakan (22cm x 22cm x 22cm) yang bagian samping dipasangi kain kassa
dan bagian atas ditutup dengan menggunakan clingwrap. Di dalam kotak

14

perbanyakan ditempatkan polen, madu, gulungan kapas basah dan pakan berupa
buncis. Selain itu ditempatkan juga kertas saring yang ditutup dengan ram kawat
sebagai tempat untuk menyimpan buncis. Pada setiap kotak perbanyakan
ditempatkan sebanyak 60 thrips betina dan 10 thrips jantan dan dibiarkan kawin
untuk menghasilkan telur, nimfa, pupa dan imago.

Gambar 4 Kotak perbanyakan T. parvispinus
a. Diagram kotak perbanyakan tampak samping
b. Diagram kotak perbanyakan tampak atas
c. Kotak perbanyakan tampak samping
d. Kotak perbanyakan tampak atas
(Helen dan Glenys 2009)
Keterangan : c = buncis, cw = clingwrap, h = madu, m = ram kawat, p = pollen, pc = vial
berisi kapas basah, pt = kertas saring, rb = perekat, s = jendela dengan
lapisan kain, w = gulungan kapas basah.

Pelaksanaan fumigasi fosfin cair
Tahap awal dalam pelaksanaan fumigasi adalah proses persiapan yang
meliputi penyiapan serangga uji dan pemeriksaan alat keselamatan fumigasi, alat
ukur konsentrasi gas, dan alat deteksi kebocoran. Bagan tata letak susunan
pemasangan alat fumigasi disajikan pada gambar 5. Setelah siap, dilakukan
penghitungan dosis atau jumlah fumigan yang digunakan untuk masing-masing
konsentrasi. Menurut Barantan (2013) dosis dan konsentrasi dari fosfin cair dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dosis (kg) =

Volume kotak fumigasi (m 3 ) x konsentrasi perlakuan (ppm)
14.000

15

dengan menggunakan rumus tersebut akan didapatkan dosis yang dibutuhkan
untuk mendapatkan konsentrasi sesuai dengan perlakuan yang diinginkan,
dimana 1 gram fosfin setara dengan 700 ppm.

75cm x 75cm x 75cm

Tinggi
: 146cm
Diameter : 22cm

15cm x 14cm x 7.5cm
8.4cm x 6.4cm x 2.5cm

Gambar 5 Bagan tata letak susunan pemasangan alat fumigasi
(a) kotak fumigasi kedap gas; (b) wadah berisi T. parvispinus dan buncis sebagai
pakan; (c) selang monitor; (d) alat ukur konsentrasi; (e) tabung berisi fosfin cair;
(f) selang penyalur gas; (g) alat deteksi kebocoran; dan (h) nozzle gun
Proses pelepasan gas (gassing) untuk setiap perlakuan dilakukan sesuai
dengan konsentrasi yang diinginkan. Pelepasan gas dilakukan melalui selang
penyalur pada tabung fosfin cair yang di bagian ujungnya dipasang nozzle gun
untuk pengeluaran fosfin cair dalam jumlah yang diinginkan (gambar 6a).
Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi fosfin dalam ruang fumigasi
menggunakan alat ukur konsentrasi gas fosfin yang dihubungkan ke selang
monitor (gambar 6b).
Fumigasi berlangsung setelah pelepasan gas dilakuan sesuai dengan waktu
papar yang diinginkan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran konsentrasi
akhir menggunakan alat ukur konsentrasi gas fosfin. Bila konsentrasi mengalami
penurunan artinya terjadi kebocoran dalam proses fumigasi sehingga harus
dilakukan pengulangan, namun jika konsentrasi fosfin cair yang diukur konstan
maka fumigasi dinyatakan berhasil (gambar 6c).
Pada tahap akhir dilakukan proses pembebasan fumigan (aerasi) dari kotak
fumigasi yang bertujuan untuk membuang sisa fumigan di dalam kotak fumigasi
sampai ambang batas aman (Threshold Limit Value / TLV). Batas aman tercapai

16

bila konsentrasi di dalam kotak fumigasi dibawah 0.3 ppm. Dalam melakukan
aerasi harus menggunakan alat keselamatan diri sesuai standar (gambar 6d).

Gambar 6 Tahap urutan pelaksanaan perlakuan fumigasi
a. Pelepasan gas (gassing);
b. Pengamatan konsentrasi awal;
c. Pengamatan konsentrasi akhir;
d. Proses pembuangan gas fosfin (aerasi)
Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan dalam 2 tahap untuk menentukan kisaran waktu
papar minimal yang diperlukan dalam pelaksanaan perlakuan fumigasi dengan
kombinasi konsentrasi fosfin cair. Pada tahap pertama konsentrasi fosfin cair yang
digunakan terdiri dari 5 taraf konsentrasi yaitu 0, 200, 250, 300, dan 350 ppm
dengan waktu papar 1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 18 jam dengan 3 ulangan. Serangga uji
yang digunakan sebanyak 25 ekor imago T. parvispinus pada setiap perlakuan.
Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas T. parvispinus pada 1 jam setelah
waktu papar untuk tiap perlakuan.
Pada uji pendahuluan tahap kedua dilakukan 5 perlakuan konsentrasi yang
lebih rendah dan diduga dapat menyebabkan mortalitas T. parvispinus sebesar
kurang dari 100% yaitu 175, 125, 75, 25, dan 0 ppm dengan waktu papar 1 jam.
Hasil uji pendahuluan ini dijadikan sebagai dasar dalam menentukan waktu papar
dan konsentrasi perlakuan yang digunakan pada uji lanjut.

17

Uji Lanjut Aplikasi Fosfin Cair pada T. parvispin