Modifikasi Incinerator untuk Meningkatkan Faktor Keamanan Saat Pengoperasian

MODIFIKASI INCINERATOR UNTUK MENINGKATKAN
FAKTOR KEAMANAN SAAT PENGOPERASIAN

WAHYU PRASTIKASARI

TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Modifikasi Incinerator
untuk Meningkatkan Faktor Keamanan Saat Pengoperasian adalah benar karya
saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013

Wahyu Prastikasari
NIM F14090103

ABSTRAK
WAHYU PRASTIKASARI. Modifikasi Incinerator untuk Meningkatkan Faktor
Keamanan Saat Pengoperasian. Dibimbing oleh Sri Endah Agustina.
Modifikasi incinerator rancangan Pradipta (2011) diperlukan untuk
meningkatkan faktor dan kinerja alat. Modifikasi didasarkan pada hasil penelitian
Pradipta (2011) dan penelitian pendahuluan. Modifikasi dilakukan dengan
menginsulasi dinding incinerator setebal 2.2 cm menggunakan glasswool,
mengubah tinggi cerobong dari 117.5 cm menjadi 200 cm, membuat penyangga
pada sistem loading menggunakan pipa dengan diameter 0.5 inchi sepanjang 60
cm, menambah jumlah lubang udara dari 25 lubang menjadi 31 lubang, dan
memanfaatkan panas pada ruang pengendapan zat padat untuk memanaskan air
menggunakan pipa sepanjang 414 cm dengan diameter 0.5 inchi. Modifikasi yang
dilakukan berhasil menurunkan suhu dinding incinerator dimana suhu tertinggi
337.3 °C menjadi 61.4 °C dan rata-ratanya menjadi 42.6 °C dari 114.3 °C

sehingga aman bagi operator. Tinggi cerobong setinggi 2 m berhasil membuat
asap tidak turun ke bawah sehingga tidak mengganggu kinerja operator dan
lingkungan sekitar. Hasil uji kinerja menunjukkan kinerja incinerator mengalami
penurunan pada suhu ruang pembakaran. Rata-rata suhu ruang bakar turun dari
212.9 °C menjadi 195.9 °C walaupun suhu tertinggi mencapai 718.2 °C lebih
tinggi dibandingkan sebelum dimodifikasi (596.8 °C).
Kata kunci: incinerator, keamanan, kinerja
ABSTRACT
WAHYU PRASTIKASARI. Modification of Incinerator to Improve its
Operational Safety. Supervised by Sri Endah Agustina.
Incinerator performance usually evaluate not only its successfully on
combustion process but also its safety condition while operated. The aim of this
research is to improve performance of small batch type incinerator designed by
Pradipta (2011), by some modification on loading part, air inlet, heat utilization,
chimney, and wall insulation. Result of modification are loading part supported
by metal pipe, number of air inlet holes has been added to 31 (origin 25 holes),
chimney height 200 cm (origin: 117.5 cm), and the wall was insulated by 2.2 cm
thickness glasswool. The performance test shows that the wall average
temperature has been successfully decrease from 114.3 °C (origin condition) to
42.6 °C (after insulated), and the smoke flow was not disturbing operator

anymore due to the higher chimney. After modified, the highest combustion
temperature (718.2 °C) was higher, but the average combustion temperature
(195.9 °C) was lower than before modified.
Keyword: incinerator, safety, performance

MODIFIKASI INCINERATOR UNTUK MENINGKATKAN
FAKTOR KEAMANAN SAAT PENGOPERASIAN

WAHYU PRASTIKASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2013

Judul Skripsi : Modifikas i
Nama
NIM

jヲN@

セ@ 11 n t/OF

Saat Pengo rasi n
: Wahyu pイ。 ウイゥォセ
。イ
:F14090103

untuk Meningkatkan Faktor Keamanan

ゥ@

Disetujui oleh


Ir Sri Endah Agustina, MS
Pembimbing

esrial, MEng
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: (

[, "0 O[C 2013 )

Judul Skripsi : Modifikasi Incinerator untuk Meningkatkan Faktor Keamanan
Saat Pengoperasian
Nama
: Wahyu Prastikasari
NIM
: F14090103

Disetujui oleh


Ir Sri Endah Agustina, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Desrial, MEng
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah alat
pembakar sampah (incinerator), dengan judul Modifikasi Incinerator untuk
Meningkatkan Faktor Keamanan Saat Pengoperasian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Ibu Ir Sri Endah Agustina, MS selaku dosen pembimbing atas segala arahan
dan dukungannya.
2. Bapak Dr Muhamad Yulianto dan Bapak Prof Dr Ir Bambang Pramudya, MEng

selaku dosen penguji atas segala saran yang diberikan
3. Bapak Harto, Bapak Firman, Bapak Ahmad, dan Bapak Darma yang telah
banyak membantu selama pelaksanaan penelitian.
4. Teman-teman TMB dan orion 46 yang telah membantu selama pengumpulan
data. Atas doa dan dukungan kalian. Nama kalian terukir dihati yang terdalam.
5. Bapak, Ibun, Mbak Rita, Mas Wawo' serta seluruh keluarga, atas segala doa,
dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

Wahyu Prastikasari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
METODE

3
26

Tahapan Penelitian

26

Pendekatan Masalah

27


Penentuan Parameter Faktor Keamanan Incinerator dan Unjuk Kerjanya
pada Penelitian Pendahuluan

29

Penelitian Pendahuluan

30

Modifikasi Alat

32

Pengujian Unjuk Kerja Incinerator Hasil Modifikasi

32

Tempat dan Waktu Penelitian

36


Alat dan Bahan Penelitian

37

Analisis Data

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

39

Hasil Penelitian Pendahuluan

39

Hasil Modifikasi

40

Hasil Uji Kineja

50

SIMPULAN DAN SARAN

65

Simpulan

65

Saran

66

DAFTAR PUSTAKA

66

LAMPIRAN

71

DAFTAR TABEL
1 Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya
2 Sebaran suhu yang dapat dihambat oleh beberapa bahan insulasi
3 Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi
4 Ketebalan sebuah insulasi yang diajurkan untuk permukaan plat datar
yang panas
5 Teknologi untuk mengatasi polutan dan rentang pengurangan polusi
yang dapat diatasi
6 Pemisahan abu terbang dan karbon aktif (AC) dengan beberapa
teknologi pengendali polutan
7 Baku mutu emisi untuk kegiatan lain selain industri besi dan baja,
industri pulp dan kertas, pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar
batubara, dan industri semen serta gas buang kendaraan bermotor
8 Suhu dan kualitas asap hasil uji kinerja Pradipta (2011)
9 Titik pengukuran pada penelitian pendahuluan
10 Titik pengambilan data pada pengujian unjuk kerja setelah
modifikasi
11 Debit aliran air pada pipa ruang bakar dan penendapan zat padat
12 Komposisi sampah yang dibakar pada unjuk kerja setelah modifikasi
13 Akurasi alat ukur
14 Debit aliran air pada penelitian pendahuluan
15 Data rata-rata hasil penelitian
16 Data suhu maksimum pada ruang bakar
17 Perbandingan hasil modifikasi dan sebelum dilakukan modifikasi
pada alat
18 Perbandingan suhu dinding incinerator sebelum dan setelah
dilakukan modifikasi
19 Sebaran suhu rata-rata pada sistem loading dan unloading sebelum
dan setelah dilakukan modifikasi
20 Perbandingan nilai tertinggi sebaran suhu ruang pembakaran,
dinding luar ruang pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet
cerobong sebelum dan setelah modifikasi
21 Perbandingan suhu rata-rata ruang pembakaran, dinding luar ruang
pembakaran, suhu inlet cerobong, dan suhu outlet cerobong sebelum
dan setelah modifikasi
22 Perbandingan nilai laju pembakaran sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi
23 Persen pengurangan berat sampah sebelum dilakukkan modifikasi
24 Persen pengurangan berat sampah setelah dilakukan modifikasi
25 Perbandingan suhu rata-rata dari suhu pipa, suhu air masuk, suhu air
keluar, dan perubahan suhu air sebelum dan setelah dilakukan
modifikasi

3
13
14
14
15
16
19
25
31
34
36
36
37
39
39
39
49
51
55

57

57
58
59
59
60

26 Perbandingan lama waktu pembakaran, debit air, dan massa total air
sebelum dan setelah dilakukan modifikasi
27 Nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat
dengan jumlah arang yang dihasilkan hasil uji kineja Pradipta (2011)
28 Nilai suhu tertingi pada ruang pengendapan zat padat dengan jumlah
arang yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan
29 Sebaran suhu ruang pengendapan zat padat setelah ditambahkan
insulasi
30 Sebaran suhu ruang pengndapan zat padat, suhu pipa, suhu keluar
pipa, perbedaan suhu air masuk dan keluar pipa
31 Energi yang dimanfaatkan untuk memnasakan air pada ruang
pengendapan zat padat

61
62
62
62
64
65

DAFTAR GAMBAR
1 Skematis berat bahan
2 Klasifikasi teknologi termal pada MSW (Municipal Solid Waste)
(DEFRA, 2007)
3 Incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), tipe fluidized bed
incinerator dan rotary kiln incinerator (iv)
4 Skema incinerator
5 Incinerator rancangan Pradipta (2011)
6 Bagan alir penelitian
7 Penempatan alat ukur pada penelitian pendahuluan
8 Penempatan alat ukur pada uji kinerja setelah modifikasi
9 Prosedural pengujian incinerator
10 Proses pemasangan insulasi
11 Aliran pindah panas pada dinding majemuk
12 Perbandingan warna asap sebelum dan setelah dilakukan modifikasi
13 Standar warna asap UNL Eviromental Health and Safety (2011)
14 Sketsa fabric filter (FFs)
15 Sudut bukaan pintu pemasukan sampah
16 Kondisi pintu pemasukan sampah setelah ditambahkan penyangga
17 Pipa pada ruang pengendapan zat padat

3
5
8
10
24
27
31
35
38
40
41
52
52
53
54
54
63

DAFTAR LAMPIRAN
1 Contoh perhitungan debit aliran air pada penelitian pendahuluan
2 Data pengukuran nilai konduktivitas termal glasswool
3 Perhitungan kecepatan aliran cerobong setelah modifikasi
4 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang bakar
5 Contoh perhitungan pemanfaatan energi panas pada ruang
pengendapan zat padat

71
71
71
71
72

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu cara untuk mengelola sampah yang dihasilkan oleh suatu
perkotaan yakni dengan memanfaatkan alat pembakaran sampah (incinerator).
Selain untuk membakar sampah, panas yang dihasilkan dari proses pembakaran
sampah pada incinerator dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air untuk
keperluan rumah tangga sehingga akan menghemat bahan bakar gas elpiji atau
minyak tanah yang umumnya digunakan untuk memanaskan air pada skala rumah
tangga. Pradipta (2011), telah merancang incinerator tipe batch untuk sampah
perkotaan yang dilengkapi dengan pemanas air dengan kapasitas 0.294 m3. Air
panas yang dihasilkan tersebut diharapkan dapat digunakan untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi.
Dalam merancang sebuah alat pembakar sampah perlu memperhatikan
faktor keamanan agar hasil rancangan aman bagi pengguna dan lingkungan sekitar
saat dioperasikan. Suhu dinding incinerator harus aman ketika kontak langsung
dengan kulit pada saat dioperasikan, sistem loading dan unloading harus mudah
dan aman bagi pengguna saat pengoperasian, dan asap pembakaran tidak
mengganggu kesehatan pengguna dan lingkungan sekitar.
Pada penelitian ini dilakukan modifikasi untuk meningkatkan faktor
keamanan dari alat. Modifikasi dilakukan pada insulasi dinding, cerobong asap,
dan sistem loading. Insulasi pada dinding incinerator sudah banyak dilakukan
salah satunya incinerator yang dirancang oleh Maxpell Technology (2008)
dimana dinding incinerator Maxpell Technology dilapisi oleh karbon silika serta
bahan-bahan khusus lain yang mempunyai kemampuan meredam panas yang
ditimbulkan. Dinding ini akan menetralkan suhu di luar ruangan karena sifatnya
yang tidak menghantarkan panas. Sehingga pada saat terjadinya pembakaran
dalam incinerator, dinding luar incinerator akan aman untuk disentuh atau
dipegang walaupun incinerator bekerja secara optimal (Maxpell Technology
2008). Selain itu, suhu lingkungan yang tinggi akan menyebabkan tekanan kerja
yang akan menurunkan produtivitas kerja (EPA 1989). Selain karbon silika
sebagai bahan insulan untuk mereduksi suhu dinding incinerator dapat juga
digunakan bahan insulan glasswool yang dapat menahan suhu sampai 350 °C
(UPA Direct 2002) dimana incinerator tipe batch untuk sampah perkotaan yang
dilengkapi dengan pemanas air rancangan Pradipta (2011) yang dimodifikasi
memiliki suhu tertinggi 230 °C berdasarkan hasil uji kinerja yang dilakukan oleh
Pradipta (2011).
Menurut EPA (1990), UNDP (2003), dan De Montfort di dalam Batterman
S (2004) untuk incenerator intermittent skala kecil dengan kapasitas 12 kg/
minggu setara dengan 1.714 kg/ hari harus meniliki tinggi cerobong 4-5 m untuk
mengurangi ganggunan asap pembakaran baik untuk operator maupun lingkungan
sekitar. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi pada tinggi cerobong setinggi 1.175
m dengan menambah tinggi cerobong tersebut untuk mengurangi gangguan asap
hasil pembakaran sampah bagi operator saat pengoperasian alat.

2
Setelah dilakukan modifikasi akan dilakukan uji kinerja dan dianalisis
peningkatan faktor keamanan dari alat sehingga diperoleh perbandingan faktor
keamanan sebelum dan setelah dilakukan modifikasi. Dari modifikasi yang
dilakukan tersebut, diharapkan faktor keamanan, kesehatan dari alat meningkat
sehingga lebih aman bagi pengguna dan lingkungan sekitar saat dioperasikan.

h
Perumusan Masala
Masalah
Dalam ilmu ergonomika suatu alat harus dapat dioperasikan dengan aman
dan tidak mengganggu kesehatan. Dari hal tersebut dapat dirumuskan masalah:
1. Apakah suhu pada dinding incinerator cukup aman bagi operator saat
dioperasikan? Perlukah dilakukan insulasi untuk meningkatkan
keamanan dan kinerja dari incinerator tersebut?
2. Apakah sistem loading dan unloading incinerator tersebut sudah cukup
aman bagi operator? Perlukah dilakukan modifikasi untuk meningkatkan
keamanan dan kemudahan saat pengoperasian?
3. Apakah posisi cerobong dan kualitas asap yang dihasilkan sudah cukup
aman? Apakah perlu dilakukan modifikasi pada cerobong untuk
meminimumkan gangguan asap terhadap operator dan meningkatkan
kualitas asap?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian tersebut, tujuan penelitian ini
adalah:
1. Melakukan modifikasi incinerator tipe batch untuk perkotaan yang dilengkapi
dengan pemanas air yang dirancang oleh Pradipta (2011), untuk meningkatkan
faktor keamanan dari incinerator tersebut.
2. Menganalisis unjuk kerja incinerator tersebut setelah modifikasi.

Ruang Lingkup Penelitian
Adapun modifikasi yang akan dilakukan adalah pada sistem loading,
insulasi dinding ruang pembakaran, dan cerobong asap.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Sampah
Definisi sampah menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
(World Bank 1999) adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/ atau proses alam
yang berbentuk padat. Timbulan (generation) sampah masing-masing sumber
tersebut bervariasi satu dengan yang lain, seperti terlihat dalam standar pada Tabel
1.
Tabel 1 Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya
No.

Komponen sumber
Satuan
sampah
1.
Rumah permanen
/orang/hari
2.
Rumah semi permanen
/orang/hari
3.
Rumah non-permanen
/orang/hari
4.
Kantor
/pegawai/hari
5.
Toko/ruko
/petugas/hari
6.
Sekolah/murid
/murid/hari
7.
Jalan arteri sekunder
/m/hari
8.
Jalan kolektor sekunder
/m/hari
9.
Jalan lokal
/m/hari
10.
Pasar
/m2/hari
Sumber: Damanhuri E et al. 1989 dan SNI S04-1993-03

Volume (Liter)

Massa (kg)

2.25 – 2.50
2.00 – 2.25
1.75 – 2.00
0.50 – 0.75
2.50 – 3.00
0.10 – 0.15
0.10 – 0.15
0.10 – 0.15
0.05 – 0.10
0.20 – 0.60

0.350 – 0.400
0.300 – 0.350
0.250 – 0.300
0.025 – 0.100
0.150 – 0.350
0.010 – 0.020
0.020 – 0.100
0.010 – 0.050
0.005 – 0.025
0.100 – 0.300

Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-sifatnya, seperti:
- Karakteristik fisika: densitas, kadar air, kadar volatil, kadar abu, nilai kalor,
distribusi ukuran. Gambar 1 menunjukkan skematis berat bahan.
- Karakteristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah
tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S, dsb.
Berat basah
Berat kering

Abu pada
550 °C
Gambar 1 Skematis berat bahan

4
Pembakaran Sampah
Pembakaran merupakan reaksi kimia eksotermis bersama dengan
penghasilan panas yang besar dan luminesens, dan merupakan fenomena yang
mana reaksi dapat berkelanjutan secara spontan melalui panas yang dihasilkan
dari rekasi tersebut. Pada reaksi pembakaran terjadi dua jenis pambakaran, yaitu
pembakaran sempurna dan pembakaran habis. Pembakaran habis merupakan
reaksi pembakaran yang terjadi hingga seluruh bahan bakar mengalami proses
pembakaran. Sedangkan pembakaran sempurna terjadi ketika semua karbon
beraksi dengan oksigen sehingga karbon yang mengalami proses oksidasi akan
menjadi CO2. Proses pembakaran dimulai dengan reaksi fase gas, reaksi
permukaan, atau keduanya diikuti dengan proses-proses lain seperti peleburan,
penguapan, dan pirolisis. Dalam rekasi pembakaran yang sebenarnya, fenomena
yang kompleks seperti penguapan, campuran, difusi, konveksi, konduksi panas,
radiasi, dan luminesens akan terjadi pada kecepatan yang sangat tinggi. Bentukbentuk pembakaran dari pembakaran biomassa dalam bentuk padat termasuk
pembakaran penguapan, pembakaran dekomposisi, pembakaran permukaan, dan
pembakaran membran. Dalam pembakaran penguapan, bahan bakar yang
mengandung komponen sederhana dengan struktur molekul yang memiliki titik
peleburan yang rendah akan melebur dan menguap melalui pemanasan, dan
bereaksi dengan oksigen dalam fase gas dan terbakar. Dalam pembakaran
dekomposisi, gas yang diproduksi dari dekomposisi termal melalui pemanasan
(H2, CO, CmHn, H2O, dan CO2) akan bereaksi dengan oksigen dalam fase gas,
membentuk api dan terbakar. Biasanya arang akan tersisa setelah pembakaran ini
dan akan terbakar melalui pembakaran permukaan. Pembakaran permukaan akan
terjadi apabila komponen yang hanya terdiri atas karbon yang mengandung
sebagian kecil bahan volatil seperti arang dan oksigen, CO2 atau uap yang terserap
ke dalam pori-pori yang ada di dalam atau pada permukaan padat komponen itu,
dan akan terbakar melalui reaksi permukaan. Pembakaran membran merupakan
reaksi dekomposisi termal yang terjadi pada suhu yang lebih rendah dari suhu
penyalaan komponen volatil bahan bakar reaktif seperti kayu. Jika api dipaksa
untuk terbakar atau suhu di atas titik api, pembakaran akan mudah terjadi
(Yokoyama S 2008).
Dalam proses pembakaran yang baik harus memperhatikan parameter
seperti pencampuran (mixing) udara, temperatur, waktu, dan kerapatan. Jumlah
udara pembakaran secara sempurna dipengaruhi oleh jumlah udara yang
dibutuhkan untuk proses pembakaran di incinerator. Jumlah udara yang
dibutuhkan dapat didekati melalui perbandingan kebutuhan udara dan bahan
dalam reaksi pembakaran biomassa dan melalui pendekatan kandungan karbon
dan hidrogen dalam bahan bakar.
Menurut Pichtel (2005) reaksi pembakaran biomassa secara umum adalah
sebagai berikut:
CaHbOcNd + (a+b/4-(c-d)/2 O2 �aCO2 +b/2H2O + dNO......................................(1)
Incineration adalah sebuah proses pembakaran pada suhu tinggi dengan
oksidasi yang lebih sempurna dari limbah padat, cairan atau gas. Sistem
pembakaran yang sangat kompleks yang melibatkan simultan gabungan panas dan

5
transfer massa, reaksi kimia dan aliran fluida. Sebuah persamaan umum untuk
reaksi pembakaran dari limbah, dapat mengikuti bentuk ( Jenkins et al 1998 ):
Cx1Hx2Ox3Nx4Sx5Clx6Six7Kx8Cax9Mgx10Nax11Px12Fex13Alx14Tix15 + n1 H2O + n2
(1+e)(O2+3.76N2)→ n3 CO2 + n4 H2O + n5 O2 + n6 N2 + n7 CO + n8 CH4 + n9 NO
+ n10 NO2 + n11 SO2 + n12 HCl+ n13 KCl + n14 K2 SO4 + n15 C + …………...........(2)
Rumus empiris yang diwakili dalam Pers. (2) tidak lengkap karena hanya
mencakup 15 elemen sedangkan limbah sebenarnya mungkin berisi lebih banyak
elemen. Indeks molar x1-x15 dapat bervariasi, n1 sesuai dengan kelembaban limbah;
n2 berkaitan dengan jumlah udara (dianggap sebagai campuran biner dari O2 dan
N2) yang digunakan dalam pembakaran; (1 + e) adalah kelebihan udara dalam
kaitannya dengan jumlah stoikiometri, biasanya berkisar 1.2-2.5 (tergantung
bahan bakar (gas, cair atau padat)) (BREF 2006); n3- n15 sesuai dengan koefisien
stoikiometri dari jenis yang berbeda yang dapat dihasilkan sebagai reaksi produk,
antara lain banyak yang bisa dilepas dalam bentuk emisi. Jika bahan dibakar
diwakili oleh rumus sederhana, seperti CuHvOwNxSy, maka persamaan
pembakaran dapat disederhanakan menjadi
CuHvOwNxSy + (u + v/4-w/2 + y) O2 → CO2 + u v / 2 H2O + x / 2 N2 + y
SO2……………………………………………………………………………… (3)
Dalam lingkup perlakuan termal limbah padat, Gambar 2 menunjukkan
perbedaan dalam hal pirolisis, gasifikasi dan pembakaran dengan memperhatikan
jumlah udara yang ada. Pada proses pirolisis limbah padat tidak memerlukan
jumlah udara dan proses gasifikasi diperlukan sebagian jumlah udara, sedangkan
pada proses pembakaran limbah padat diperlukan jumlah udara berlebih.

Gambar 2

Klasifikasi teknologi termal pada MSW (Municipal Solid Waste)
(DEFRA, 2007)

Kebutuhan oksigen untuk proses pembakaran dipengaruhi oleh presentase
kandungan karbon dan hidrogen dalam bahan bakar. Volume O2 yang dibutuhkan
untuk pembakaran 1 kg karbon adalah 1.96 m3 sedangkan O2 yang dibutuhkan
untuk membakar 1 kg hidrogen adalah 5.85 m3. Dalam pembakaran, oksigen
biasanya didapat dari udara bebas. Oksigen yang terkandung di dalam udara
adalah 21 % dari total udara bebas. Kebutuhan udara minimum untuk proses
pembakaran dapat dihitung melalui persamaan berikut (Perry dan Chilton 1973):
Wmin = (100/21) x ((1.96 x C) + (5.85 x H))
(m3/kg bahan bakar).....,..…(4)
Wmin = kebutuhan udara minimum (m3/kg bahan bakar)
C
= kandungan karbon dalam bahan bakar (%)
H
= kandungan hidrogen dalam bahan bakar (%)

6
Laju pembakaran (Bbt) dapat dihitung melalui perbandingan bobot bahan
bakar yang akan dibakar (m) dengan waktu pembakaran (t) (Perry dan Chilton
1973):
Bbt = m/t
(kg/jam)..................................................... (5)
Bbt
= laju pembakaran (kg/jam)
m
= bobot bahan bakar (kg)
t
= waktu pembakaran (kg/jam).
Debit udara yang dibutuhkan untuk pembakaran dapat dihitung dengan
mengalikan jumlah kebutuhan udara minimum dengan laju pembakaran (Perry
dan Chilton 1973):.
Qud = WminxBbt
(m3/jam)......................................................(6)
3
Qud = debit udara (m /jam)
Wmin = kebutuhan udara minimum (m3/kg bahan bakar)
Bbt
= laju pembakaran (kg/jam)
Menurut Abdullah et al. (1998) debit udara pada proses perancangan untuk
pembakaran perlu ditambahkan kelebihan udara sebesar 40% dari total debit udara
yang dibutuhkan secara teoritis.
Q = Qud (1+40%)
(m3/detik)....................................................(7)
Q = debit udara perancangan (m3/detik)
Pembakaran sampah dalam alat pembakar sampah, sejumlah oksigen harus
masuk ke dalam ruang pembakaran. Karena hal tersebut akan mampengaruhi
kesempurnaan pembakaran. Selain itu permulaan pembakaran juga harus
diperhatikan baik jenis dan panas yang dibutuhkan untuk memulai pembakaran.
Energi panas pembakaran yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran
dapat diduga besarnya melalui beberapa pendekatan diantaranya melalui
pendekatan pancaran panas dari hasil pembakaran dan pendekatan nilai kalor yang
dikandung oleh bahan bakar per massa bahan bakar.
a. Pendekatan jumlah energi panas pembakaran berdasarkan pancaran gas hasil
pembakaran didekati melalui sifat radiasi gas yang menyerap. Menurut
McCabe et al. (1999) gas-gas yang dihasilkan dalam proses pembakaran
memiliki kemampuan untuk memancarkan atau menyerap panas. Besarnya
energi yang dipancarkan atau diserap tersebut dapat dicari melalui persamaan
berikut:
Q = A σ Tg4 ε
(W)…………………………………………….....……………...(8)
q = energi panas (Watt)
σ = tetapan Boltzman (95.672 X 10-8 Watt/m2K4)
Tg = duhu absolut gas (K)
εg = emisivitas gas
A = luas permukaan yang menyerap panas (m2)
b. Pendekatan energi panas yang dihasilkan oleh suatu proses pembakaran adalah
melalui nilai kalor yang dikandung oleh bahan bakar. Besarnya energi panas
hasil pembakaran tersebut dapat dicari melalui persamaan berikut:
q = ṁ x Nkl x effisiensi pembakaran
(J/kg)……………..(9)

= laju massa bahan bakar (kg/s)
Nkl
= nilai kalor bahan bakar (J/kg)
Penanganan gas hasil pembakaran proses pembakaran yang dihasilkan gasgas buang (asap) yang memiliki kandungan bahan padat diperlukan agar gas
buangan tersebut bersih dan tidak mencemari lingkungan. Penanganan gas

7
tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan cerobong dan ruangan
penyaringan bahan padatan pada gas.
Menurut Porges dan Porges (1979) di dalam Budiman (2001) luas cerobong
asap dapat didekati dengan persamaan berikut:
A = Qc/V
(m2).......…….…………...……....(10)
A
= luas lubang cerobong (m2)
Qc
= debit gas hasil pembakaran pada cerobong (m3/detik)
V
= kecepatan gas (m/detik)
Sedangkan tinggi cerobong dapat dihitung dengan persamaan berikut:
hd = 354 Hc ((1/T1) - (1/T2)
(mm.air)………………................(11)
hd
= tekanan udara dalam ruang pembakaran (mm.air)
Hc
= tinggi cerobong (m)
T1
= suhu diluar cerobong (K)
T2
= duhu didalam cerobong (K)

Alat Pembakar Sampah (Incinerator)

Incinerator
Incinerator adalah sebuah alat yang menggunakan sistem insenerasi.
Metode yang digunakan dalam sistem ini adalah mendisposisi sampah padat (solid)
dengan membakar sebagian atau komponen bahan bakar. Bahan-bahan yang
digunakan adalah sampah padatan. Proses insenerasi ini dilakukan dengan
membakar sampah pada temperatur yang tinggi 600 °C-1000 °C, sehingga
sampah padat tersebut berubah bentuk menjadi abu.
Menurut Patrick PK (1980) dalam Budiman (2001) menyatakan bahwa
incinerator adalah alat yang digunakan untuk proses pembakaran sampah. Alat ini
berfungsi untuk mengubah bentuk sampah menjadi lebih kecil dan praktis serta
menghasilkan sisa pembakaran yang steril sehingga dapat dibuang langsung ke
tanah. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Budiman (2001) untuk merancang alat
pembakar sampah diperlukan beberapa pertimbangan, yaitu jumlah udara
pembakaran, sisa hasil pembakaran, dan desain incinerator. Alat pembakar
sampah terdapat dua jenis berdasarkan metode pembakaran yang berlangsung
pada alat tersebut, yaitu alat pembakar sampah tipe kontinyu dan tipe batch. Pada
alat pembakar sampah tipe kontinyu, sampah dimasukkan secara terus menerus
dengan debit tetap. Sedangkan pada alat pembakar sampah tipe batch, sampah
dimasukkan sampai batas maksimum kemudian dibakar bersamaan. Gambar 3
menyajikan jenis incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), fluidized bed
incinerator (iii) dan rotary kiln incinerator (iv).

8

(i)

(iii)
Sumber: infohouse.p2ric.org

Sumber : www.ec.gc.ca

(ii)

(iv)
Sumber: www.polutionissues.com

Gambar 3 Incinerator tipe batch (i), tipe continue (ii), fluidized bed incinerator
(iii) dan rotary kiln incinerator (iv)

9
Prinsip Kerja Incinerator
Prinsip kerja incinerator adalah sebagai tempat pembakaran dengan suhu
tinggi (> 800°C) sehingga bahan yang dibakar tidak dapat didaur ulang lagi
(incineration = insenerasi). Proses insinerasi atau pembakaran yang merupakan
prinsip utama dari sebuah incinerator digunakan untuk mereduksi sampah yang
tergolong mudah terbakar (combustible) dan tidak boleh didaur ulang lagi karena
berbagai alasan. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume
buangan, membunuh bakteri dan virus, mereduksi materi kimia toksik, serta
memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi
volume buangan padat domestik sampai 85 %-95 % dan pengurangan berat
sampai 70 %-80 %.
Proses insinerasi berlangsung melalui tiga tahap, yaitu:
- Mula-mula membuat air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah
menjadi kering yang akan siap terbakar pada suhu 105 °C.
- Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana
temperatur belum terlalu tinggi (150 °C-300 °C).
- Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna (>800 °C).
Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus
diperhatikan dalam menjalankan suatu incinerator, antara lain:
- Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari
buangan padat, khususnya sampah.
- Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat, dan
operasional incinerator.
- Aspek pencegahan pencemaran udara : menyangkut penanganan debu terbang,
gas toksik, dan uap metalik.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
a. Mengurangi massa atau volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi
(oksigen atau udara) dengan limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan
dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula
enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa
dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari
pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan
bakar yang dipasok. Incinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat
bahan bakar.
b. Mendestruksi komponen berbahaya: incinerator tidak hanya untuk membakar
sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari
industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious).
Incinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk
limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi.
Teknologi ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari
rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya
seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya adalah panas yang tinggi
(dioperasikan di atas 800 °C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible,
sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi
yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah

10
kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup
untuk menghasilkan enersi secara kontinyu agar suplai enersi tidak terputus.
Unjuk kerja sebuah incinerator diukur berdasarkan destruction and removal
efficiency (DRE). Destruction atau pemusnahan sampah mengacu pada proses
pembakaran dan removal efficiency mengacu pada gas hasil pembakaran harus
bebas polutan ketika meninggalkan cerobong (McGuinn YC dan Louis T 1992).
Incinerator dapat menghancurkan sampah secara permanen baik secara kimia,
biologi, dan fisik. Terdapat tiga parameter utama dalam operasi incinerator yang
harus diperhatikan untuk mencapai pembakaran yang efektif, yaitu 3-T
(Temperature, Time dan Turbulence) (Wilson DG 1977):
- Temperature (suhu): berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara
yang dipasok akan menaikkan temperatur karena proses oksidasi materi organik
bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800
o
C.
- Time (waktu): berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan
panas yang telah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga
terjadi pembakaran sempurna.
- Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Incinerator besar
diatur dengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang incinerator
kecil (modular) tungkunya adalah statis.

Bagian-bagian Incinerator
Skema incinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri
atas bagian-bagian sebagai berikut (Damahuri E dan Padmi T 2010) (lihat Gambar
4):

Gambar 4 Skema incinerator
- Unit penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah.
- Sistem feeding atau penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinyu tanpa
tenaga manusia.
- Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.
- Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar.
Pasokan udara dari bawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk
membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.

11
- Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah.
- Pembubuhan air: mendinginkan residu atau abu dan gas yang akan keluar dari
cerobong agar tidak mencemari lingkungan.
- Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.
- APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul,
khususnya:
- Debu atau partikulat
- Air asam
- Gas yang belum sempurna terbakar: CO
- Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx,
- Dioksin
- Panas
Setiap jenis pencemar membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila
seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian
unit-unit APC yang sesuai. Pada incinerator modular yang sering digunakan di
kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC,
paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
- Cerobong (stack): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah
sekitarnya, tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang
tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
- Dinding incinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.
Nilai kalor sampah Indonesia mencapai 1.000 kkal/kg-kering–2.000
kkal/kg-kering. Dapat dicapai proses insinerasi yang ekonomis bila sampah
memiliki nilai kalor paling tidak 2.000 kkal/kg-kering sehingga tidak dibutuhkan
enersi tambahan dari luar. Kebutuhan oksigen dan nilai kalor yang dikandungnya
dapat dihitung berdasarkan metode pendekatan kadar unsur sampah, misalnya
dengan rumus kimia sampah Indonesia dengan dominasi rata–rata kandungan
sampah organik sekitar 60 %, sampah plastik 17 %, dan sampah kertas 16 %
adalah C351.42H2,368.63O1,099.65N13.603S.
Incinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan (Damahuri E dan Padmi
2010):
a. Cara pengoperasian: batch atau kontinu
b. Tungku yang digunakan:
- Statis (incinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS)
- Mechanical stoker : biasanya untuk sampah kota
- Fluiduized bed : biasanya untuk limbah homogeny
- Rotary kiln : untuk limbah industri (limbah padat atau cair)
- Multiple hearth : untuk limbah industri
c. Cara penyuplaian limbah: dikaitkan dengan fasa limbah (padat, gas, sludge,
slurry)
Masing-masing jenis kemudian berkembang lagi, misalnya dalam
incinerator modular dikenal incinerator kamar-jamak, yang kemudian dibagi lagi
menjadi multi chamber dan multi chambere – starved control-air.

12
Faktor Keamanan Incinerator
Faktor keamanan incinerator terdiri dari tiga komponen yaitu, suhu dinding
incinerator, kualitas asap, dan sistem loading dan unloading. Ketiga komponen
tersebut juga berkaitan dengan teknik pengoperasiannya. Faktor keamanan,
kesehatan, dan keselamatan pada dinding incinerator berhubungan dengan bahan
insulasi termal sedang kualitas asap berhubungan dengan teknologi penanganan
asap pembakaran. Berikut uraian tentang bahan insulasi termal dan teknologi
penanganan asap pembakaran pada incinerator untuk meningkatkan faktor
keamanan, kesehatan, dan keselamatan dari incinerator baik bagi operator
maupun lingkungan.
Definisi dan Pentingnya Insulasi Termal
Insulasi termal adalah bahan atau kombinasi bahan yang digunakan untuk
menghambat aliran panas (Ҫengel AY dan Robert TH 2001). Bahan dapat
disesuaikan dengan bentuk, ukuran atau permukaan. Insulasi termal berfungsi
sebagai penghambat panas dan berperan dalam desain dan pembuatan semua
perangkat hemat energi atau sistem dan biasanya menjadi landasan dalam
konservasi energi. Alasan untuk melakukan insulasi panas bukan untuk
menyimpan sisa panas dari suatu mesin atau alat tetapi untuk melindung
seseorang dari luka bakar ketika menyentuh permukaan yang panas dimana
permukaan tersebut terlalu panas jika tidak dilakukan insulasi. Berikut beberapa
alasan penggunaan insulasi:
a. Konservasi energi.
Konservasi energi dilakukan dengan mengurangi laju aliran panas. Bahan
insulasi dapat menahan panas rata-rata – 268 °C-1000 °C (-450 °F-1800 °F).
b. Perlindungan dan kenyamanan operator.
Suhu permukaan yang terlalu panas akan berbahaya bagi operator ketika
permukaan tersebut kontak langsung dengan kulit sehingga menyebabkan luka
bakar. Untuk mencegah bahaya tersebut OSHA (Occupational Safety and
Health Administration) memberikan standar bahwa suhu permukaan yang
aman harus dikurangi sampai dibawah 60 °C (140 °F) dengan cara
menginsulasi. Selain itu, jika suhu permukaan terlalu panas akan berpengaruh
pada suhu lingkungan yang berdampak pada produktivitas kerja.
c. Menjaga suhu suatu proses.
Suhu menjadi penting bagi beberapa industri kimia. Oleh karena itu,
diperlukan insulasi untuk menjaga agar suhu konstan.
d. Mengurangi perubahan dan variasi suhu.
Suhu didalam suatu alat akan bervariasi antara bagian dalam dan tepi jika
tidak dilakukan insulasi. Insulasi meminimalkan ketidakseragam suhu di
dalam suatu alat dan memperlambat perubahan suhu.
e. Mencegah kondesasi dan korosi.
Cairan di permukaan terbuka dari tangki logam atau pipa dapat mempercepat
proses korosi serta pertumbuhan alga.
f. Melindungi dari kebakaran.

13
Kerusakan selama kebakaran dapat diminimalkan dengan menjaga dalam
kotak pengaman yang terisolasi dengan baik. Insulasi dapat menurunkan laju
aliran panas ke tingkat sedemikian rupa sehingga suhu di dalam kotak tidak
pernah naik ke tingkat yang tidak aman selama kebakaran.
g. Melindungi dari pembekuan.
Suhu sub beku dapat menyebabkan air di pipa atau tempat penyimpanan
membeku dan meledak sebagai akibat dari perpindahan panas dari air ke
ambien dingin. Meledaknya pipa sebagai akibat dari pembekuan dapat
menyebabkan kerusakan besar. Isolasi yang memadai akan menurunkan
hilangnya panas dari air dan mencegah pembekuan.
h. Mengurangi kebisingan dan getaran.
Bahan insulasi mempunyai kemampuan mengurangi kebisingan dan getaran.
Bahan Insulasi: Glasswool
Bahan insulasi memiliki dua sifak fisik yaitu:
a. Insulasi massa
Untuk jenis insulasi massa, sifat fisik yang paling penting adalah
konduktivitas termal. Bahan dengan konduktivitas termal yang rendah
memungkinkan lebih sedikit panas yang akan dipindahkan per satuan waktu, per
satuan perbedaan temperatur per inci ketebalan. Konduktivitas termal rendah
adalah isolator yang lebih baik. Insulasi massa yang tersedia secara komersial
memiliki konduktivitas termal pada 75 °F (24 °C) suhu rata-rata kurang dari 0,5
Btu in / (hr, SF, ° F) (Khandelwal M 2007).
b. Insulasi reflektif
Untuk jenis isolasi reflektif, sifat fisik yang penting adalah daya pancar
permukaan rendah. Permukaan dengan daya pancar rendah memiliki reflektansi
yang tinggi. Isolasi reflektif memiliki nilai daya pancar di kisaran 0.04-0.1 W/m K
(Khandelwal M 2007).
Glasswool terbuat dari serat kaca panjang dan tangguh yang berikatan
dengan resin pada pengaturan termal. Glasswool dapat menahan suhu sampai
350°C (UPA Direct 2002). Bahan ini cocok untuk insulasi duting AC, atap
gudang atau rumah, perdam suara partisi atau ruang genset dan industir oven (CV.
Mekar Jaya Technic). Tabel 2 menunjukkan sebaran suhu yang dapat dihambat
oleh beberapa bahan insulasi. Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2 Sebaran suhu yang dapat dihambat oleh beberapa bahan insulasi
Bahan insulasi

Calcium silicate
Cellular glass
Elastomeric foam
Fiberglass
Mineral wool
Phenolic foam
Polyisocyanurate or polyiso

Temperatur
Rendah (°C)
Tinggi (°C)
-18
650
-260
480
-55
120
-30
540
0
1000
150
-180
150

14
Temperatur
Rendah (°C)
Tinggi (°C)
Polystyrene
-50
75
Polyurethane
-210
120
Sumber: www.EngineeringToolBox.com
Bahan insulasi

Tabel 3 Karakteristik glasswool sebagai bahan insulasi
Karakteristik
Densitas (kg/m3)
Suhu maksimum (°C)
Tahanan panas (W/m K)
Penyerapan air (%)
Alkalinitas
Korosif
Bau
Tahanan terhadap jamur atau bakteri
Sumber: UPA Direct 2002

Kriteria
64
350
1.2-2.1