Momentum untuk Meningkatkan Keamanan Masyarakat.

MOMENTUM UNTUK MENINGKATKAN KEAMANAN MASYARAKAT
Oleh: GPB Suka Arjawa
Masalah keamanan jelas menjadi tuntutan masyarakat kepada negara karena ini
merupakan perjanjian antara negara dengan masyarakat pada saat awal negara terbentuk.
Lebih lanjut dari itu, kenyamanan menjadi tujuan pula karena dengan kondisi demikian
masyarakat mampu menjalankan ritual kehidupan dengan baik. Kemananan merupakan
syarat utama untuk menciptakan berbagai tindak lanjut kondisi yang mendukung
kehidupan sosial. Pernyataan Kapolri saat melantik Kapolda Bali beberapa waktu lalu
mempunyai nilai signifikan bukan saja pada fungsi keamanan dalam konteks kelokalan,
tetapi lebih jauh lagi kenasionalan. Indonesia harus bisa aman, sebab apabila satu wilayah
tidak aman, kemungkinan akan merembet ke wilayah lain. Penangkapan penjahat yang
tidak berhasil di Jarakta, akan lari ke Bali atau sebaliknya ke Surabaya, dengan wajah
siluman yang telah berubah. Runtuhnya keamanan di masyarakat, munculnya berbagai
kelompok yang mengaku sebagai penjaga keamanan di luar lembaga formal, justru
merupakan indikasi kuat bahwa negara atau daerah itu tidak aman. Ini akan menjadi
alasan bagi kelompok-kelompok yang mengaku ingin menjaga keamanan. Kalau
munculnya kelompok-kelompok demikian tidak direspons dengan kekuatan negara
dalam mengamankan wilayah, akan memancing kelompok ini bersaing untuk menjaga
keamanan. Buntutnya, yang terjadi justru bukan kamanan karena yang muncul konflik
kekerasan dalam kerangka persaingan itu.
Dalam konteks negara yang masih belum bisa dikatakan maju, keamanan dan

kenyamanan ini harus menjadi tujuan sosial utama dari negara (kepolisian). Di tengah
globalisasi ekonomi yang begitu memaksa masyarakat harus bertindak cepat, pencitraan
memegang peran sangat penting. Disinilah yang menjadi kelemahan dari Indonesia.
Sebagai masyarakat yang mengusung negara Indonesia, keterlibatan emosi masyarakat
Indonesia dengan negara Indonesia, sudah pasti lekat. Masyarakat dan negara itu sudah
menginternalisasi sehingga apa yang dialami, diterima dan didapatkan negara, dirasakan
oleh rakyat. ”Kekalahan” Indonesia di tengah globalisasi ini paling nampak pada bidang
pencitraan. Orang Thailand begitu bangga dengan hasil pertaniannya. Di Indonesia, mulai
dari nama jambu, jeruk, ayam sampai capung dinamai Bangkok karena kualitasnya lebih
besar. Masyarakat Singapura teridentik dengan sikap rasionalitas, modern dengan
penerapan-penerapan teori dekonstruksi. Singapura seolah-olah membalikkan kasanah.
Ketika sebagian masyarakat internasional membangun kolam renang di atas tanah,
mereka membangunnya di atas hotel. Kebun yang biasanya horizontal di tanah, mereka
membangun vertikal di perumahan. Dan di negara itu pula satu-satunya di dunia balap
mobil F1 berlangsung malam hari. Masih banyak contoh ekstrim di negara lain. Citra
yang didapatkan itu berasal dari sebuah prestasi yang memang nyata, kreasi rakyat dan
negaranya.
Pencitraan ini tidak dimiliki oleh Indonesia karena atletnya kalah dimana-mana (ya,
beberapa masih menang seperti tinju), sepakbolanya hampir selalu kalah dari Malaysia
dengan pengurus yang terus-terusan bertengkar. Di bidang ekonomi, bunga bank masih

tinggi di atas 10 persen ditambah dengan prosedur yang berbelit sehingga masyarakat

kesulitan meminjam untuk membuka lapangan kerja, teroris masih berkeliaran, konflik
suku masih juga terjadi, dan politisi suka korupsi. Di kota-kota besar kemacetan
mengular, generasi muda, entah di kota maupun desa masih banyak yang sibuk
memencet ponsel sampai tidak sadar kehilangan waktu akumulatif berjam-jam hanya
karena sibuk memencet tombol ponsel itu. Lebih celaka lagi, para sopir bus antar kota
secara memalukan dan tidak tahu diri, memencet ponsel sambil menyetir kendaraan,
tanpa sadar membawa puluhan penumpang di belakangnya.
Ini adalah persoalan besar bagi Indonesia yang dari kacamata sosiologis memperlihatkan
ketidakmampun negara dan pemerintah untuk mengatasi. Masyarakat seperti ini
merupakan masyarakat acuh, tidak peduli dengan negara yang salah satu sebabnya
adalah ketidakmampuaan negara memompakan pencitraan positif itu kepada mereka,
tidak mampu memberikan solusi ekonomi. Maka, keamanan merupakan cara paling
ampuh untuk mengatasi semua persoalan itu. Dengan keamanan yang terjamin, faktorfaktor yang menjadi pembangkit semangat masyarakat akan bisa terlecut secara pelanpelan. Jika negara mampu menjaga keamanan rakyatnya, ini akan menjadi kebanggaan
tersendiri, membangun citra negara di luar negeri, dan secara akumulatif akan memberi
rasa nasionalis lebih tinggi kepada negara. Penciptaan keamanan bagi masyarakat ini,
terasa semakin penting karena bisa menjadi ”tempat pelarian” masyarakat di tengah
berbagai tekanan ekonomi yang ada. Hasil yang dikeluarkan oleh lembaga survei
tekemuka dunia, Gallup, beberapa waktu lalu, memberikan gambaran bahwa masyarakat

dari negara-negara maju (termasuk Singapura), justru merasa tidak bahagia meskipun
dirinya kaya. Sebaliknya, negara-negara yang tidak terlalu maju di kawasan Amerika
Latin (seperti Panama atau Venuzuela), justru merasa hidup lebih bahagia.
Analis mengemukakan bahwa kebahagiaan itu disebabkan oleh faktor keyakinan agama
yang dianut oleh masyarakatnya. Di negara maju, kesibukan yang ketat, pekerjaan yang
berkejaran dipandang sebagai salah satu penyebab mengapa mereka tidak merasa
bahagia. Bertitik tolak dari gambaran itu, maka sesungguhnya menjadi alasan yang
masuk akal bahwa masyarakat Indonesia akan bertambah bahagia apabila faktor
keamanan ini mampu diwujudkan oleh pemerintah. Jika hasil survei seperti yang
dilakukan Gallup itu bisa dipakai sebagai acuan, maka satu modal besar yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia untuk menciptakan kebahagiaan, adalah faktor agama. Orang
Indonesia jelas-jelas taat beragama. Apabila faktor keamanan mampu diciptakan oleh
pemerintah secara lebih konprehensif, maka perasaan bahagia itu bisa jadi akan
melebihi orang-orang Amerika Latin. Isu kiamat beberapa waktu lalu paling tidak telah
memberikan indikasi. Ketika orang-orang di Cina panik dengan isu kiamat, juga di
Amerika Serikat masyarakatnya sampai menumpuk bahan makanan, orang-orang
Indonesia tidak panik. Salah satu penyebab tidak paniknya orang Indonesia kemungkinan
besar oleh panutan agama yang dipeluk. Orang-orang yang palik itu mungkin bersikap
terlalu menjauh dari agama.
Tahun 2013 tinggal hitungan hari. Membuat prestasi yang cepleng di bidang olahraga,

ekonomi dan keuangan mungkin perlu proses panjang. Tetapi menciptakan keamanan
yang kondusif bisa jadi lebih cepat karena Indonesia telah memiliki lembaganya
(kepolisian). Masyarakat yang aman akan membuat mereka mampu melupakan tekanan-

tekanan ekonomi. Maka pakailah awal tahun 2013 untuk menancapkan tombak
keamanan sosial yang lebih tinggi. Lembaga kepolisian sekarang telah berubah, banyak
yang kuliah sosiologi sehingga tahu apa yang diperlukan masyarakat. Maka, jika ada
politisi yang mebekingi preman, sudah seharusnya mendapatkan pengamanan dari pihak
keamanan. Apalagi kelompok-kelompok feodalis yang ingin membeking orang yang
suka membikin onar. Katakan ”tidak” kepada kelompok yang mengaku menjaga
keamanan wilayah, dan terus-teruslah menyapa masyarakat dengan kesediaan
membantu. Tersenyum manis tanpa memberikan bantuan jelas tidak akan menyelesaikan
masalah. Selamat tahun baru 2013!****
Penulis, staf pengajar FISIP, Universitas Udayana.