Pemberdayaan Kelembagaan Adat dalam Meningkatkan Produktifitas Lahan Komunal dan lmplikasinya terhadap Perkembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Tanah Datar

PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN ADAT DALAM
MENINGKATKAN PRODUKTIPITAS LAHAN KOMUNAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PERKEMBAGAN EKONOMI
WILAYAH DI KABUPATEN TANAH DATAR

NOFIL ARDI

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

ABSTRAK
NOFIL ARDI.
Pemberdayaan Kelembagaan Adat dalam Meningkatkan
Produktifitas Lahan Komunal dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Ekonomi
Wilayah di Kabupaten Tanah Datar. Dibawah bimbingan AFFENDI ANWAR,
LUTFI I. NASOETION dan SUNSUN SAEFULHAIUM.
Berbagai kajian tentang kebijakan pertanahan nasional menunjukkan bahwa
terjadi intewensi yang berlebihan terhadap pengelolaan sumberdaya lahan. Fenomena
yang palmg menonjol adalah UUPA No. 511960 lebii didominasi oleh kepentingan
polifik sehingga te1.h menggiring berubahnya status lahan komunal menjadi

penetapan hak kepedikan pribadi secara legal. Juga lahirnya UUPK No. 511967
merupakan kebijakan yang mengabaikan hak-hak ulayat (territorial use right).
Kebijakan tersebnt tidak hanya merusak pranata sosial tetapi juga telah melumpuhkan
pondasi perekonomian dimana pertanian yang selama ini bertumpu kepada sektor
pertanian telah terkuras potensinya, dan banyak bermunculan petani-petani gurem
karena telah kehilangan lahan. Akibatnya kemiskinan dan sengketa lahan menjadi
persoalan klasik dalam sistem pemerintahan yang sangat sentralistk. Terjadinya
pergeseran peta polit~kpada tahun 1998 memberikan kesadaran akan pentingnya
mengartikulaslkan keanfan (wisdom), hikmah (virtue) dan nilai-mlai tradisional
(traditional knowledge). Dibawah payung UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999,
Indonesia kini sedang melaksanakan transformasi kewenangan melalui pemberian
otonomi, yang direspon dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Daerah Sumatera
Barat No. 9 tahun 2000 dimana mengembalkan bentuk pemerintahan terendah
kepada Nagari.
Tulisan ini menyajikan tiga kajian utama yaitu : (i) performance kelembagaan
adat; (ii) persepsi masyarakat terhadap hukurn adat; dan (iii) produktifitas lahan
pertanian berdasarkan pola kepemilikan. Untuk mengetahui per$ormance
kelembagaan adat dilakukan analisis desknptif dengan menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). Untuk mengetahui persepsi masyarakat
terhadap hukum adat digunakan analisis statistka kruskal-wallis. Dan untuk

mengetahui produktifitas lahan pertanian berdasarkan pola kepemilikan digunakan
analisis ekonometnk dm anahsis pemusatan aktifitas.
Tidak optnnalnya pemanfaatan sumberdaya lahan komunal karena
pengelolaannya tidak diiringi dengm pembangunm pranata kelembagaan. Eksistensi
lahan ulayat tidak hanya sebagai potensi sosial nntuk merekat hubungan kekerabatan
matrilinial tetapi juga memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap ekonomi
wilayah. Beberapa kesalahan konseptual tentang sistem property dapat diperbaiki dan
diikuti dengan jelas berdasarkan "kepercayaan yang berlaku" (received truth).
Tatanan demokrasi yang dibangun secara alami dan berdasarkan filsafat alam dinilai
sangat relevan dengan karakter masyarakat Minangkabau yang egaliter clan &an
dapat mengatur sistem pengelolaan lahan. Dengan demikian lahan komunal tidak lagi
menjadi sumber perpecahan, tapi merupakan alat pemersatu warga dalam satu kaum,
sehingga akan dapat menyumbang kepada peningkatan ekonomi masyarakat serta
pembangunan wilayah yang berkeadilan dan berkelanjutan.

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pemberdayaan
Kelembagaan Adat dalam Meningkatkan Produktifitas Lahan Komunal dan
Implikasinya terhadap Perkembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Tanah Datar

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan mformasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat dlperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2002

NOFIL ARDI
NRF' : 98236PWD

PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN ADAT DALAM
MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS LAHAN KOMUNAL DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PERKEMBAGAN EKONOMI
WILAYAH D1 KABUPATEN TANAH DATAR

NOFIL ARDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada


Progam Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2002

Tesis

:

Pemberdayaan Kelembagaan Adat ddam Meningkatkan
Produktifitas Lahan Komunal dan lmplikasinya terhadap
Perkembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Tanah Datar

Nama

:

Nofil Ardi


NRP

:

98236

Program Studi

:

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah clan Pedesaan

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

&

Prof. Dr. Ir. H. AEendi Anwar, MSc.
Ketua


&

Prof. Dr. Ir. H. Lut6 I. Nasoetion. MSc.
Anggota

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim. MSc .
Anggota

Mengetahui,
2. Ketua Program Studi I h u Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pede

Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar. MSc.
Tanggal Lulus : 6 Mei 2002

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di salah satu sudut kampung Danau Maninjau Kecamatan
Tanjung Raya pada tanggal 10 September 1972 dan ayah H. Nazaruddm dan Ibu


Hj. Daluuar. Penulis merupakan putra kelima dari enam bersaudara. Pendidikan
sarjana ditempuh di Fakultas Manajemen Sumberdaya Manusia Institut Manajemen
Koperasi Indonesia - Bandung, lulus tahun 1996. Pada tahun 1998, penulis diterima
di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Program
Pascasarjana IPB atas bantuan biaya dari proyek URGE-BATCH V. Penulis pemah
bekerja sebagai konsultan pembinaan usaha kecil dan menengah mitra binaan
PT. Sucofindo (1996), sebagai staf pengajar di Lembaga Pendidkan Komputer
Ikopin Bandung (1997), dan terakhir di Koperasi Pegawai PT. Sucofindo (19971999).

PRAKATA

Tiada kata yang lebih indah untuk diucapkan kecuali ungkapan puji syukur ke
haduat AUah SWT, Tuhan seru sekalian alam, karena atas limpahan rahmat, hidayah,
inayah, dan ridha-Nya lah pembuatan tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih yang
tiada terlnngga penuhs sarnpadcan kepada berbagai pihak yang telah memberi
duknngan dalam studi dan penyelesaian tesis ini, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing;
Bapak Prof. Dr. Ir. H. Lutfi I. Nasoetion, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. H. R. Sunsun
Saefulhakim, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing.


2. Bapanda dan Ibunda di kampung dengan segala pengorbanan serta do'a yang
tiada terputus menunggu keberhasilan putranya; Bang Ajis, Bang Jhon
M.Palindh ,Uni Eli, dmda pit, serta keponakan-keponakan tercinta.

3. Proyek Urge Batch V yang telah memberikan beasiswa selama pendidikan.
4. Bapak Drs. Sjamsir Kadir, MBA beserta pengurus BK3AM (Badan Koordiasi
Kemasyarakatan dan Kebndayaan Alam Minangkabau) yang telah berkenan
memberikan bantuan biaya penelitian.

5. Kanda Rumsyah dan keluarga yang telah berkenan meluangkan waktu dan
tenaga untuk mendampingi dan mengantarkan penulis selama di lapangan.
6 . Bapak Indra Cahya, SH dan jajaran Pen@lan

Negeri Batusangkar serta kanda

Alhi Suwandi yang telah membimbing penulis di lapangan.

7. Rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya PWD'98: Mbak Titi, Iin, Pak Edi, Pak
Jaka, Pak Ilyas, Pak Solihin dan lainnya, serta dek filda. Terima kasih atas
kekblasannya &lam membantu, membenkan dorongan kepada penulis.

8. Teman-teman di Gang Kosasih: Bang Rizal, Fahadal, Akhyar, Revan, Yarsi,
Deni serta uda Jhon Koto.

9. Para pegawai di BPN, Bappeda, BPS Kabupaten Tanah Datar clan dinas-dinas
terkait lainnya yang telah banyak membantu selama pengumpulan data di
lapangan.
10. Seluruh narasumber/informan, atas informasi dan diskusinya.

11. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga tesis ini dapat membenkan manfaat kepada pembaca, terutama
kepada pemerintah daerah Kabupaten Tanah Datar ataupun pihak lain yang terkait

dalam upaya pembangunan/peningkatan kesejahteraan rakyat.

Bogor, Mei 2002

DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ............. ....
DAFTAR GAMBAR


.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xii

. ..........................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................. ...... ......... ......... . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . xiv
PENDAHULUAN

1

Latar Belakang........................................................................................ ........

1

Pemmusan Masalah ........................................................................................


6

Tujuan dan Manfaat Penelitian
..

12

Tujuan Penehhan. .............................. .. . .. . ,... . ............,.... . ..................

12

Manfaat Penelitian

12

TINJAUAN PUSTAKA ............ .................. ............................................... ....
Konsepsi dan Kepemilikan Lahan
Pengertian Lahan ........................................................................................
Kepemilikan Lahan
Munculnya hak-hak atas lahan .............. .
.
.
............ . . ..........................
Bentuk-bentuk kepemillkan
Keamanan kepemilikan lahan ..............................................................
Konsepsi Kelembagaan
Tata Nilai dan Kelembagaan Tradisional ........................................................
Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
Konflik-KO&

dan Penyelesaiannya .......... .....................
..........................

Pengertian Konflik
Penyelesaian Konflik ................
.
.
...........................................................
Konsolidasi dan Registrasi Lahan
Hubungan
. .Keamanan Kepemilikan Lahan dengan Perkernbangan
Ekononu W~layah.........................
..............................................................

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ........................................

38

Framework Hukum

39

Framework Ekonomi ......................... .
.
.....................................................

44

Framework Ekonomi Politik

48

Framework Kelembagaan ...............................................................................

51

Framework Pemberdayaan Masyarakat

54

Hipotesis ........................................................ ..............................................

55

METODE PENELITIAN

58

Lokasi Penelitian .............

58

Telcnik Pengumpulan Data

59

Metode Analisis ..............................................................................................

59

Analisis Performance Kelembagaan Adat Mmangkabau ...........................
Analisis Perubahan Persepsi Masyarakat ....................................

59

............. 60

Analisis Ekonometrik

62

Analisis Pemusatan Aktifitas .....................................................................

64

HASIL PENELITIAN ...................................................................................

67

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Tanah Datar ......................................

67

Kondisi Fisik Geografi ..............................................................................

67

..

Konhsi Sosio-Ekonomi ...........................................................................

71

Kebijakan Pembangunan Lokal ..................................................................

76

Eksistensi Lahan Komunal dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau... 80
Hubungan dengan Tanah dalam Kesatuan Genealogis .Teritorial............

80

Penanggung Jawab
terhadap Lahan dalam Hubungan Kekerabatan
. .
Genealogis .Tentorial ................................................................................. 86
Ketentuan Pengelolaan Lahan Komunal (Ulayat) ......................................

89

Kedudukan Harta Pusaka dalam Hukurn Islam ..........................................

92

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................

96

Performance Kelembagaan Adat Minangkabau .............................................

96

Eksistensi Kelembagaan Adat Minangkabau ............................................

96

Kelembagaan Adat pada Masa Kolonial .................................................... 103

Kelembagaan Adat pada Masa Indonesia Merdeka ................................... 106
Perubahan Persepsi Masyarakat terhadap Kelembagaan Adat ...................... 119
Hubungan Pola Kepemilikan dengan P r o d M t a s Lahan Pertanian ............

122

Anahsis Pemusatan Aktifitas ............................. .
.
................................ 135

PEMBERDAYAAN
KELEMBAGAAN
ADAT
DALAM
IvENINGKATKAN PRODUKTIFITAS LAHAN KOMUNAL DAN
IMPLIKASI KEBIJAKANNYA ......................... .
.
...................................

139

KESIMPULAN DAN SARAN ................ .
.
............................................. 156
Kesimpulan ..................................................................................................... 156
Saran

160

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 163

LAMPIRAN

166

DAFTAR TABEL
1. Daerah Penelitian Secara Administratif dan Historis ............................
2 . Luas Kecamatan dan Jumlah Nagari, Desan dan Kelurahan di
Kabupaten Tanah Datar .........................................................................
3 . Ketinggian Wilayah Kecamatan di Kabupaten Tanah Datar .......
4 . Perincian Luas Kecamatan Menurut Ketinggian di Kabupaten Tanah
Datar ....................................................................................................
5. Luas Lahan Menurut Penggunaan di Kabupaten Tanah Datar .............
6 . Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Tanah Datar ..............
7 . Produk Domestik Regional Bmto Kabupaten Tanah Datar dan Laju
Pertumbuhannya Tahun 1993 - 1999 .................................................

8 . Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Tanah Datar ......................

9 . Indeks Kerniskinan Manusia Kabupaten Tanah Datar ..........................
10. Korelasi antara Output dan Variabel Penjelas ....................................

11. Kasus Sengketa Lahan yang Tercatat di Pengadilan Negeri
Batusangkar Tahun 1980 .
2001 ..................................................
12. Hasil Dugaan Regresi Fungsi Produksi dan Variabel Kepemilikan
Lahan ...................................................................................................
13. Hasil Perhitungan Location Quotient Kabupaten Tanah Datar ............
14. Hasil Perhitungan Local~zationIndex Kabupaten Tanah Datar ............
15. Hasil Perhitungan Specialization Index Kabupaten Tanah Datar .........

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Alur Pentingnya Pemberdayaan Kelembagaan Adat dalam

13

Meningkatkan Produktiiitas Lahan Lomunal ....................................

2. Siklus Evolusi Timbul dan Mangnya Hak Milk atas Tanah ..............

18

3. Kerangka Konseptual: Kepastian Hak Lahan dan Peningkatan
.
............................................
Produktivitas Lahan ........................ .

36

4. Gagasan Kerangka Konseptual yang Men@tkan Redistribusi Asset
Lahan kepada Pengembangan Pasar Finansial di Wilayah Pedesaan
yang Menyumbang kepada Pertumbuhan Ekonomi .............................

37

5. Pengembangan dan Komposisi Kapital dalam Pembangunan
Berkelanjutan ........................................................................................

50

6. Diagram Kerangka Pemikiran ..........................................................

57

7. Keadaan Fisiograli Kabupaten Tanah Datar .....................................

69

8. Development Diamond sebagai Hasil Pembangunan di Kabupaten
Tanah Datar Tahun 1993, 1996, dan 1999 .......................................

75

9. Kerangka Pemberdayaan Kelembagaan Adat dalam Pengelolaan
Lahan Ulayat ............................. ......................................................... 150

10. Struktur Kesatuan Masyarakat Adat Minangkabau dan Perangkat
Kelernbagaannya .................................................................................
153

DAFTAR LAMPIRAN

1 . Kutipan Keputusan Kerapatan Adat Nagari Simawang ........................

166

2 . Sinlcronisasi Vertikal UUPA dengan Hukum Adat ...............................

171

3 . Sinkronisasi Horizontal UUPA dengan Hukum Adat............................

172

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria (UUF'A) No. 5 tahun 1960, hukum pertanahan kita telah mengalami suatu
pembahan besar, suatu revolusi yang merubah pemikiran dan landasan politik
pertanahan kolonial yang dibuat demi kepentingan modal besar asing disatu pihak
dengan mengorbankm kepentingan rakyat Indonesia di pihak lain. Asas domein yang
dibuat di dalam berbagai peraturan telah memperkosa hak-hak rakyat.
Mencermati dasar pemikiran dan landasan politik UUPA dimana ddasarkan
pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tersirat bahwa negara tidak perlu bertindak sebagai
pemilik, namun cukup sebagai penguasa untuk memimpin dan mengatur kekayaan
nasional guna sebesar-besarnya bagi kemakmwan rakyat. Kenyataannya, negara telah
melakukan intervensi yang berlebihan terhadap pengelolaan sumberdaya lahan.
UUPA leblh banyak digunakan sebagai alat politik sehingga menggiring berubahnya
status lahan komunal menjadi penetapan hak pemilikan pribad secara legal. Dengan
dermkian telah menyebabkan tidak berfungsinya atau menghdangkan hak-hak
prerogatif lembaga-lembaga adat yang sebenamya telah sustainable. Penetapan hakhak atas lahan dalam framework legal dan kepemilikan pribadi leblh banyak
dimaksudkan untuk menghasilkan penerimaan (revenue) pemerintah pusat. Bahkan
tanpa disadari bahwa praktek agraria yang berlangsung telah memupuk kapitalisme
yang tentunya akan membawa dampak buruk bagi masyarakat hukum adat.

Keadaan ini diperparah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok
Kehutanan (UUPK) No. 5 tahun 1967 yang ternyata telah mengabaikan hak-hak
ulayat (territorial use right) dan kepentingan penduduk lokal diambil alih oleh negara
untuk kepentingan penguasa di pusat. Akibamya rakyat kebilangan hak-haknya
(property right) dalam memperoleh akses kepada sumberdaya alam yang tadmya
sebagai sumber pengludupan mereka, dan ketidakpastian (uncertainly) hak-hak
merupakan kenyataan yang hams diterima oleh masyarakat komunal.
Selanjutnya kebijakan juga menyentuh tentang local administration dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979, dimana adanya penyeragaman
pemerintahan terkecil yaitu desa

-

konsekuensinya: nagari-nagari yang ada di

Sumatera Barat berubah menjadi Desa. Kebijakan ini tentu saja telah mengabaikan
aspirasi daerah (tcrjad pemasungan demokrasi secara sistematis), menafikan
kearifan-kearifan tradisional dan selanjutnya berimplikasi pada pembangunan yang
tidak sesuai (incompatible) dengan kebutuhan lokal dan memudarkan local
discretion. Kekuasaan dikendalikan oleh Kepala Desa yang juga merangkap Ketua
Lembaga Masyarakat Desa, sementara fungsi dan peranan lembaga adat setnakin
tersinghkan yang berujung kepada semakin tidak berdayanya institusi tersebut
(weakness of the institutions). Potensi keswadayaan masyarakat penuh dengan
rekayasa, penegakan hukum dan keadilan sangat sulit untuk ditemnkan.
Uraian d atas m e ~ p a k a nindikasi bahwa perjalanan dan pengalaman sebagai
bangsa yang pernah terjajah tidak hanya meninggalkan goresan luka lama atau trauma
yang mendalam, tetapi juga telah mewarnai perjalanan roda pemerintahan. Warisan
kebijakan kolonial masih dirasakan terutama yang menyangkut pola-pola eksploitasi

sumberdaya dan masyarakat wdayah, serta didukung oleh perilaku elit polibk yang
senealistik dengan nilai-nilai priyayiisme sebagai warisan kultural. Akibatnya,
sampai saat ini polelnik pertanahan menjadi sengketa yang tak kunjung usai dan
selalu menghantui kebidupan bermasyarakat. Kemauan UUPA untuk menyelesaikan
polemik pertanahan nasional tidaklah teraktualisasi dengan b&

atau tidak semulus

yang diharapkan dan telah membawa kepada kebijakan yang salah arah (misleading
policy), bahkan justeru telah menggiring kepada sengketa tanah yang massive dan

eskalatif.
Disamping itu, kebijakan pembangunan ekonomi Orde Baru dengan peranan
birokrasi disertai se~ltrahsasi yang sangat dominan menjadikan masyarakat dan
daerah sebagai obyek pembangunan. Kebijakan pernbangunan yang bias perkotaan
(urban bias) telah meninggalkan sektor pertanian yang sebenarnya memiliki

keunggulan komparatif dibandingkan sektor lainnya, dengan memacu pertumbuhan
industri pengolahan yang sangat tergantung pada impor (import content). Kebijakan
pertanian pun lebih berplhak kepada sektor swasta dan perusahaan besar yang lebih
banyak berperan untuk meraih surplus keuntungan (resources rent), sehingga terjadi
eksploitasi sumberdaya alam. Konsep trickle down effect yang dicita-citakan tidak
pernah menjadi kenyataan, malahan yang terjadi adalah backwash process. Surplus
keuntungan yang didapatkan umumnya tidak dikembalikan lagi sebagai pangsa
pendapatan (revenue sharing) yang dibagikan secara adil (equity) kepada daerah
asalnya. Akibatnya adalah buruknya kinerja pembangunan pertanian khususnya di
Sumatera Barat dimana pendapatan petani dari usaha tani adalah yang terendah,
penguasaan lahan pertanian yang sangat kecil disertai adanya kecenderungan

menurun, besarnya sumber pendapatan dari berburuh tani, serta meningkatnya angka
kemiskinan. Merosotnya penguasaan lahan per petani adalah refleksi kurang
mantapnya pelaksana~nUUPA No. 5 tahun 1960 serta kegagalan kebijakan ekonomi
makro.
Akumulasi dari kegagalan pemerintahan orde baru yang sentralistik adalah
krisis

multi

dimensi. Konsekuensinya

adalah munculnya

tuntutan-tuntutan

masyarakat akibat ketidakpuasan, dilanjutkan dengan bergulunya euphoria reformasi
serta demokratisasi, yang bemjung dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat d m Daerah. Lahunya dua undangundang ini pun di~kuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara
AgrariaiKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Undang-Undang Nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan serta Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat
Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari.
Diberlakukannya peraturan-peraturan tersebut di atas membawa konsekuensi
yang sangat besar dalam penyelenggaraan negara, terutama menyangkut pola
pemanfaatan sumberdaya yang ada di wilayah. Kebijakan desentralisasi melalui
otonomi daerah secara substantif memberikan kewenangan kontrol dan mstribusi
kekuatan polihk sebagai refleksi dan kebutuhan demokratisasi yang lebih luas kepada
pemerintah daerah. Pemenntah daerah memiliki keleluasaan yang lebih luas dalam
penanganan urusan pemerintahan di tingkat lokal, penyelesaian masalah daerah, dan
dapat lebih kreatif menggali dan mengembangkan potensi daerah untuk kesejahteraan

masyarakatnya. Juga terbukanya peluang dan mang untuk memberdayakan
masyarakat lokal (community empowerment), vrrtue beserta institusi yang mereka
m i l k dan menciptakan kondisi yang memunglankan membangun dirinya sendui

berdasarkan potensi, kebutuhan, aspirasi dan kewenangan yang ada pada mereka (to
help people to help them self).
Tetapi sebalilolya, karena beragamnya tingkat perkembangan pelaksanaan
pembangunan dan kesiapan sumberdaya manusia di berbagai daerah, pelaksanaan
otonomi dkhawatirkan menjadi bumerang yang &an memperbesar ketimpangan
antar daerah dan wilayah. Apalagi masing-masing daerah dihadapkan kepada
program pemulihan ekonomi &bat berbagai laisis yang terjadi.
Banyak penelitian dan pendapat para pakar yang menyatakan bahwa sektor
pertanian merupakan andalan untuk p e m u b ekonomi, dimana secara agregat
sektor ini tetap mengalami perhmbuhan ditengah ambruknya perekonomian nasional.
Kendati demikian, perlu dicermati bahwa kebijakan sektor pertanian selama ini
terlalu menekankan kepada pertanian pangan, sementara saat ini telah terkuras
potensinya. Perkebunan yang selama ini dkelola oleh swasta atau perusahaanperusahaan besar telah ditinggal pergi sehingga banyaknya lahan-lahan terlantar.
Pada sisi lain semakin banyaknya petani gurem dan buruh tani karena telah
kehilangan lahan. Perturnbuhan baru yang diharapkan melalui kekuatan skill dan
teknologi pun mengalami kendala karena rendahnya pendidikan masyarakat. Semua
fenomena ini akan menyulitkan pemerintah daerah untuk melaksanakan otoritasnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan upaya yang sistematis dan
terencana untuk menggali dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya daerah

khususnya sumberdaya lahan yang banyak terlantar untuk dapat dijadikan sarana
ekonomi masyarakat komunal (commmity economics). Dengan alasan dernikian,
maka dilakukan penelitian tentang "Pemberdayaan Kelembagaan Adat dalam
Meningkatkan

Produktifitas

Lahan

Komunal

dan

Implikasinya

terhadap

Perkembangan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat".

Perurnusan Masalah

Bagi masyarakat hukum adat Minangkabau, lahan mempunyai dua fungsi
yaitu sebagai aset sosial (social asset) dan aset modal (capital asset). Fungsi lahan
tersebut merupakan kekuatan yang menjadi dasar tetap terpeliharanya status lahan
komunal atau kepemilikan berdasarkan hukum adat. Namun sangat disayangkan
implementasi dari fungsi lahan tersebut memudar sesuai deugan perjalanan waktu.
Pertama, ikatan sosial masyarakat mulai merenggang. Lahan yang tadinya
dharapkan sebagai sarana untuk mempererat jalinan ikatan sosial kekeluargaan
masyarakat jusm telah berubah m e n j d sumber konflik yang tercermin dari semakin
banyaknya kasus sengketa lahan.
Kedua, lahan ulayat memiliki fungsi ekonomi yaitu sebagai sarana pendukung
utama kehidupan dan penghldupan warga masyarakat hukum adat. Kenyataannya,
ribuan hektar lahan ulayat (termasuk bekas areal HPH) -- dimana menurut Kasryno
(2001), mash terdapat sekitar 382.000 hektar lahan untuk pertanian tanaman pangan
dan sekitar 525.000 hektar untuk lahan perkebunan

-- belum dapat dimanfaatkan oleb

anak nagari, masih merupakan lahan tidur, sehingga tidak menunjang pemberdayaan
ekonomi anak nagari.
Sampai akbn pemerintahan orde baru, walaupun peran sektor pertanian
terhadap pembentukan PDRB Sumatera Barat mencapai 21,5 persen dan menempati
m t a n tertinggi dibandingkan sektor lainnya (Kasryno, 2001), tetapi dari data sensus
pertanian 1993 hanya 26 persen rumah tangga pertanian yang menyatakan
pendapatan mereka meningkat selama tiga tahun terakhir, jauh lebih rendah dari ratarata Indonesia sebesar 41 persen. Sedangkan yang mengatakan pendapatan mereka
menurun adalah 18 persen yang juga lebih tinggi dari rata-rata Indonesia sebesar 12
persen. Di samping itu dari data Sensus Pertanian 1993 adanya indikasi yang
menunjukkan terjadinya marjinalisasi rumah tangga pertanian kearah petani gurem
d m bumh tani (mengusahakan lahan kwang dan 0,5 ha) yaitu 40,7 persen dimana
jauh lebih tinggi dari rata-rata Sumatera 23,5 persen. Tragisnya telah tejadi perluasan
yang relatif cepat areal perkebunan yang dkelola pemsahaan swasta dan BUMN.
Dan di Kabupaten Tanah Datar, kontribusi sektor pertanian sampai tahun 1999 sangat
dorninan sebesar 38,96 persen. Realita yang hams dihadapi adalah meningkatnya
angka populasi dibawah garis kerniskinan yaitu 11.083 atau 3,13 persen tahun 1997,
50.198 atau 14,04 persen tahun 1998 dan 52.218 atau 14,47 persen tahun 1999
(olahan data susenas). Keadaan ini menunjukkan ketidakberpihakan kebijaksanaan
pembangunan pertanian pada peningkatan taraf hidup masyarakat tani dan perdesaan
dan sekaligus sebagai bukh gagalnya kebijakan sektor pertmian dan pengelolaan
lahan.

Menyimak sejarah masa lalu dvnana pada masa persiapan dan sosiahsasi

UUPA, walaupun kebijakan dan tindakan penguasa secara perlahan menggeser lahan
ulayat untuk berbagai keperluan baik oleh pemerintah ataupun swasta, tetapi
umumnya tidak sukar memperoleh tanah ulayat yang dqerlukan. Pada kenyataannya
tanah yang tersedia masih cukup, asal ddakukan sesuai ketentuan dan persyaratan

hukum adat yang bersangkutan.
Tetapi pada masa orde bam pembangunan ekonomi direncanakan dan
dilaksanakan secara besar-besaran dan bertumpu pada pertumbuhan, kebutuhan akan
tanah menjadi sangat besar dan merambah meliputi lahan-lahan ulayat. Kebijakan ini
telah menggiring semakm menguatnya proses monetisasi atau kapitahsme. Akibatnya
walaupun lahan merupakan salah satu inti budaya (core culture) masyarakat, karena
situasi dan kondisi yang terpaksa, tidak mustahd lahan yang semakin sempit ini
akhirnya berpindah tangan (dijual). Jika ha1 ini terjadi setelah dipertimbangkan dan
dvnusyawarahkan secara matang di dalam komunitasnya, maka tenth tidak akan
menimbulkan keresahan. Tetapi kenyataan yang terjadi justeru sebaliknya, dimana
sebelumnya tidak diusyawarahkan dengan matang, yang berujung pada keresahan

dan konflik.
Kehadiran hukum pertanahan nasional yang diharapkan dapat mengatasi
masalah pertanahan hanya tinggal harapan. Bahkan penundukan din kepada sistem

ini lebih banyak membawa mudharat daripada manfaat. Sistem s e e a s i secara
individual telah mengakibatkan hak seseorang tercabut clan kelompoknya.
Kepemilikan lahan yang aman memang penting, tetapi penetapan hak-hak atas lahan
secara pribadi saja tidak cukup untuk menyelesrukan masalah-masalah dalam

9

pengelolaan sumberdaya lahan. Akibatnya program registrasi lahan di ranah
Minangkabau tidak menunjukkan basil yang memuaskan, misalnya Kabupaten Tanah
Datar, yang luasnya 133.600 ha, dengan lahan yang e f e h f seluas 78.500 ha, lahan
yang telah disertiiikatkan baru 7,l persen dari lahan efektif.
Dengan dermlaan terlihat bahwa kebijakan pemerintah telah salah arah
(misleading policy) sehingga menyebabkan kegagalan pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, bahkan telah menciptakan
kekecewaan tersendiri bagi masyarakat.

Dalam kondsi seperti ini, pemerintah

kurang atau tidak memperhatkan aspek lain yang sangat m e m p e n g h keberhasilan
pembangunan, yaitu aspek non ekonomi (meliputi ebka, tata nilai) yang tereermin
dalam traditional knowledge masyarakat lokal yang mengandung hikmah (virtue)
dengan kearifan (wisdom), aspek kelembagaan (institutions) yang ada dalam
masyarakat, serta kondisi lingkungan (ekosistem) di wilayah objek pembangunan.
Lahirnya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 membawa harapan yang
cerah bagi masyarakat hukum adat Minangkabau karena salah satu esensinya adalah
pemberdayaan kelembagaan lokal seperti yang dipejelas oleh Keputusan Menteri
Dalam Negeri No. 63 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Penyesuaian
Peristilahan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan, yang
disambut dengan perahuan pemerintah daerah Sumatera Barat No. 9 tahun 2000
tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari.
Sekitar dua puluh tahun memendam rindu untuk "baliak ka Nagari" setelah
ditetapkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979, dimana pemerintah terkecil di
tingkat kecamatan diseragamkan menjadi Desa. Reformasi telah mengembalikan

10

kerindum anak nagari akan sistem kehidupan bemagari yang seutuhnya. Namun
keharuan tersebut pun harus diimbangi dengan pekerjaan yang cukup berat yaitu
kembali menginventarisir dan menata potensi nagari diantaranya yang utama adalah
masalah "sako dan pusako".

Sako adalah masalah kelembagaan adat (warga

masyarakat hukum adat) yang berada dalam suatu nagari, sedangkan pusako adalah
harta-harta ulayat dalam suatu nagari.
Terdapat tiga persoalan dilematis yang sangat mendasar yang dihadapi oleh
pemerintah daerah dan masyarakat nagari dalam pelaksanaan desentralisasi atau
"baliak ka Nagari" yang berkaitan dengan inventarisasi dan pengelolaan lahan ulayat.

Pertama, permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan
adat. Selama ini kelembagaan adat telah tersingh dan kurang diberikan peran dalam
berbagai kebijakan pembangunan dalam Nagari. Dengan demiluan kaderisasi telah
terabaikan, sementara sekarang kembali dituntut untuk melaksanakan "adat lama
pusako usang". Kedua, persepsi masyarakat hukum adat Minangkabau terhadap

lahan ulayat ahbat perubahan kebijakan, ilmu dan teknologi. Ketiga, permasalahan
yang berkaitan dengan ekonomi masyarakat, yaitu bagaimana mengoptimalkan
pengelolaan lahan ulayat agar dapat menyumbang untuk meningkatkan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat dan wilayah.
Dari ketiga permasalahan rid tersebut, maka sumbangan kelembagaan adat
dalam rangka pengelolaan lahan komunal sangat tergantung kepada kemauan
pemerintah daerah dan pusat untuk memberdayakan dan memberlkan mang dalam
penetapan kebijakan pertanahan. Berkaitan dengan uraian di atas, pertanyaan yang
layak diajukan adalah:

1. Apakah performance kelembagaan adat mash sesuai dengan aturan-aturan
hukum adat Minangkabau?

2. Apakah persepsi masyarakat terhadap aturan adat mengalami perubahan seiring
dengan perubahan-perubahan kebijakan ?
3. Apakah pola kepemilikan lahan secara komunal mash layak dipertahankan?

4. Apakah dengan pemberdayaan kelembagaan adat akan dapat meningkatkan
p r o d M t a s lahan komunal dan implikasinya terhadap perekonomian masyarakat
(anak nagari) dan wilayah ?
Dari keempat rangkaian pertanyaan diatas, maka permasalahan penelitian
yang layak dikaji adalah :
1. Bagaimanape@ormance kelembagaan adat ?
2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hukum adat?
3. Bagaimana produktifitas lahan pertanian berdasarkan pola kepemilikan?

4. Bagaimana paan kelembagaan adat dalam pengelolaan lahan komunal dan
bagaimana pemberdayaannya ?

Tujuan Penelitian

Dari masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk.

1. Mengetahuiperformance kelembagaan adat.

2. Mengetahui persepsi masyarakat tentang hukurn adat.
3. Untuk mengetahui p r o d W t a s lahan pertanian berdasarkan pola kepemilikan.
4. Mengetahui pemberdayaan kelembagaan adat dalam pengelolaan lahan komunal

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para pengambil
kebijakan

Wlususnya

dalam

masalah

alokasi

sumberdaya

lahan

dengan

memperhatikan kaidah dan norma yang berlaku bagi masyarakat hukum adat
Minangkabau dan dapat memberikan informasi baru tentang kebijakan sumberdaya
lahan.

Gambar 1. Diagram Alur Pentingnya Pemberdayaan Kelembagaan Adat
dalam Meningkatkan Produktifitas Lahan Komunal

BBItuk-bentuk kebijakan yang sentralistik, urban hiosed, kurang mengakanodir vimre d m tidak mmpxba6Lw
heterogmitasbudaya.

1
Hukum PaLPlahw
Nasional
OTUpA & UUPK)

!

~~~~~i

b

-

HukumPatPlahan
Tradisional
(Hukum Adat)

Penduduk
* Tekanan
Ekmani

!
!

!

Tank-Menwk

Rivatimsl

1
Kebijakw ymg mrmnggalkw seWrr
pertaniandeogan-u
patumbuhan indusIri pengolahan
~ a n =gat
s -tung
eada k p o r
(imporl content)
Kebijakw patanian blalu
ditekmkao pada &tor pmgmywg
telah terkuras pokmhya.

!

!

Cornon

v

Tidak sesuainya kebijakan dengan kebutuhan masyamkat,
tejadinya kausakw nurssiw budaya d m socrol capital

Munculnya k e k e c e m dun k e t i d a k p m msgyamkat, sering
muhculnya &eta
k d l k laha, berhumghllwgnyatanah
reg&
ywg
adat, suht ditRaplum/diterimsnya-~m
benmplikasi rendaMidak ophalnya produktilitss lahw

U P ~ Y ~

r

F'eIaksanaan Otonomi D a d

T

Rendahnya pendapstan petani
K d y a peoguasaw lahan
Meninp&smya an& k w k k i m
Rendahnya skill d m lambamya
dopsi reknologj karenawdahnya
pendidikao

Peneli

netralisir

I

.
..
e,

I

B d y a kinajapembwgunw

I

Pemberdayaan Kelembagaan Adat
dalam Meningkatkan Produktifitas
Lahan Komunal

Community Empowerment ;
to helppeople to h e l p t h e m f l
I

Pencapaian hljuan pembangunan berkelanjutan dan pemulihan ekonomi melalui pembangunan pertanian
rr Ekonomi:seper!i panbangunan yang berkesinambungan, eIisiemi, dan pemerataan.
rr Sosial:sepah kohesi sosial, pengamanan identitas budaya, pattisipmi dan pembdayaan mapyarakat.
rr Lingkungan (ekosistem): s e p d u&ya
integitas ekosistem, keanehagdayati, perlindungan
sumbedaya alam milik bersama dan isu-isu global.

i

TINJAUAN PUSTAKA

Konseosi dan Ke~emilikanLahan

Pengertian Lahan

Tanah (lahan) menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia.
Sehubungan dengan ha1 tersebut, maka untuk mendefinislkannya harus dipahami
secara utuh melalui dimensi-dimensinya atau faset-fasetnya. Dimensi-dimensi lahan
atau faset-faset lahan yang dimaksud dikemukakan oleh Barlowe (1978),
Saefulhakim (1994), dan Winoto (1999) sebagai berikut :
1. Lahan sebagai ruang (space). Lahan sebagai ruang d i d a n sebagai area geografis
yang merupakan wadah bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi
sebagai suatu sistem interaksi antara masyarakat dan sumberdaya lahan sebagai llfe
support system-nya
2. Lahan sebagai alam (nature). Lahan dalam pengertian ini adalah sebagai
lingkungan alamiah yang proses-proses terkait di dalamnya sangat ditentukan oleh
faktor-faktor alamiah seperti iklun, batuan induk, hujan, topografi, dan lain
sebagainya.
3. Lahan sebagai faktor produksi Cfactor of production). Dalam pengertian ini, lahan

diartikan sebagai sumberdaya dasar makanan, serat, bahan-bahan bangunan,
mineral, energi, dan bahan-bahan alamiah lain yang dibutuhkan oleh manusia
untuk memenuhi keinginan-keinginankehtdupannya.

4. Lahan sebagai barang konsumsi (consumption good). Dalam pengertian ini, lahan
dipandang sebagai barang konsumsi karena adanya nilai langsung yang dinkmati
masyarakat ahbat konsumsi yang dilakukan.
5. Lahan sebagai situasi (situation). Lahan dalam pengertian ini meliputi lokasi atau

posisi strategis yang dimilila lahan bak dalam hubungamya dengan pusat pasar
atau pusat pengembangan maupun dalam hubungannya dengan sumberdaya lain
atau kondisi geografis lahan yang bersangkutan

6. Lahan sebagai properti @rope@). Dalam pengertian ini, lahan meliputi
kepemilikan beserta segala entitlement yang berkaitan dengan hak kepemilikan
lahan.
7. Lahan sebagai kapital (capital). Dalam pengedan ini, lahan dipandang secara

kapital karena ciri-ciri yang dimilikinya yaitu d i m u n w a n adanya campur
tangan manusia untuk mempenganh eksistensinya (walau dia juga God-grfr
resource) dan expendable (walaupun lahan juga bersifat durable).
Selanjutnya Haar (1968), mengungkapkan bahwa pengertian tanah tergantung
dari sudut pandang terhadap tanah tersebut, diantaranya :
In law it is propem; in political science it is source of power and
strategy; in economics it is a factor ofproduction and a form of capitals;
in social psychology it is a personalized guarantor of security; in
anthropology an item of culture and impart of social system; in
agriculture it means basically the soil; to geographers land can mean
most of these things, but most of all perhaps surface of land use.
Barlowe (1978), mengibaratkan tanah sebagai sepotong intan (batu permata)
yang mempunyai banyak sisi, adakalanya tanah dipandang sebagai ruang, alam,
faktor produksi, barang-barang konsumsi, milik dan modal. Disamping itu ada juga

yang memandang tanah sebagai benda yang berkaitan dengan Tuhan (sang pencipta),
berkaitan dengan masyarakat, yang menimbulkan pandangan bahwa tanah sebagai
kosmos, dan juga tanah adalah tabungan.
Santoso (1994), memandang tanah dengan menekankan pada keberadaan
manusia di atas tanah (lingkungannya), berpendapat bahwa sebagai makhluk
teritorial, manusia tidak dapat hidup terlepas dari wilayah tempat bermukim. Sebagai
makhluk sosial dan juga makhluk wilayah, manusia ditakdirkan tidak dapat hidup
sendiri, bahkan mempunyai naluri atau dorongan untuk hdup berkelompok, dan
selalu berhubungan satu sama lainnya di atas sebidang tanah dan tidak dapat hdup
terpisahkan dari tanah.
Pentingnya keberadaan tanah dalam kehidupan manusia, menunjukkan bahwa
tanah

dijadikan

sebagai

media

pengkat

(integrative factor)

hubungan

kemasyarakatan atau sebagai sarana pemersatu. Pada h g s i tanah sebagai faktor
integrasi, ditunjukkan bahwa tanah sebagai sarana pemersatu bagi masyarakat untuk
tinggal bersama di wilayah tertentu, sehingga terlihat keterkaitan yang erat sekali
antara tanah dan kelompok.
Disini ditunjnkkan bahwa tanah yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok
sangat penting artinya bagi keberadaan dan kelangsungan hidup dari kelompok dan
anggota kelompok tersebut. Seiring dengan itu, tanah juga mempakan pegangan bagi
kelompok tersebut untuk menunjukkan keberadaannya bila berhadapan dengan
kelompok lain. Pentingnya tanah mendorong timbulnya upaya untuk selalu
mempertahankannya dan meminta tanggung jawab dari anggotanya untuk itu.

Disamping itu tanah juga berfungsi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
kemasyarakatan seperti untuk upacara seremonial, kegiatan keagamaan, dan kegiatankegiatan kemasyarakatan lain yang sangat berguna bagi kelangsungan dan keutuhan
kesatuan kelompoknya. Dialektika yang terbentuk dalam hubungan manusia dan
tanah akan memberi warna tersendni bagi kehidupan manusia dalam masyarakat.
Hubungan tersebut di atas &pat menentukan dan mempengamh seluruh
struktu~hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, bahkan

hubungan antara manusia dalam suatu negara seperti yang dikemukakan oleh Haar
(1968) bahwa hubungan kekerabatan dan teritorial (tanah yang dkuasai bersama)
menentukan struktur (susunan) Huma di Mentawai, Curi di Nias, Huta dan Kuria di
Batak, Marga dan Dusun di Sumatera Selatan, dan Nagari di Minangkabau.

Kepemilikan Lahan
Munculnya Hak-Hak atas Lahan. Smith (dalam Hermayulis, 1999)
mengemukakan bahwa tejadinya perbedaan perkembangan aturan kepemilikan lahan
berkaitan erat dengan tingkat perbedaan perkembangan masyarakat. Keadaan ini
menyebabkan proses tejadinya "pemunyaan"

dan selanjuntya menimbullcan

"permlikan" (right and property), sehingga menunjukkan adanya suatu proses yang
membentuk suatu slklus yang terjadi berulang-ulang.
Disamping itu perbedaan perkembangan aturan kepemilikan juga disebabkan
oleh pertambahan jumlah penduduk. Pada saat jumlah penduduk semalun meningkat
cepat dan kebutuhan akan tanah juga meningkat dengan cepat, maka kecil

kemungkman terjadinya tanah tak bertuan (resnuNius) yang ditinggalkan oleh yang
mempunyai hak "pemunyaan" atau yang pernah menduduki
Tanah Resnullius
(tak bertuan)

I
I

I

I

T

4
Penemuan

1

I

I

Pemunyaan
(Possession)

Gambar 2. : Siklus Evolusi Timbul dan Hilangnya Hak Milk atas Tanah
Berbeda dengan Smith, Boserup (1965), men&potesiskan bahwa tahapan
proses indwidualisasi hak-hak atas lahan dapat dipahami sebagai suatu respons
kelembagaan yang menyebabkan shadow price lahan sehingga dapat mendorong
investasi atas lahan dalam jangka panjang. Pada tahap awal pembangunan, bahkan
sebelum terbangunnya pertanian yang menetap, suku-suku berburu dan secara
berkelompok mengontrol lokasi-lokasi tertentu dimana mereka mengumpulkan
pangan dan melakukan perburuan. M ~ t a inilah
s
yang menyebabkan muncdnya
sistem communal property right. Dengan sistem tersebut, hak-hak publik untuk
mengolah sebidang lahan merupakan unsur tak terpisahkan bagi anggota suku. Hakhak pengolahan ditetapkan bagi individu-indivu secara temporer, normalnya selama

lahan yang telah dibershkan itu dapat dibuhdayakan. Jlka lahan sudah tidak subur
lagi, bidang lahan tersebut dkembalikan kepada kelompok (komunal) dan keluarga
mermlih lokasi baru atau lokasi yang telah ditentukan oleh kepala suku.
Selanjutnya lahan-lahan yang pada saatnya m e n j d gundul,dibiarkan menjadi
lahan bebas, rnisalnya untuk penggembalaan ternak yang dimilila oleh anggota yang
memiliki hak-hak untuk mengolah. Variasi hak komunal

ini dimana bidang-bidang

lahan direalokasikan dari waktu ke waktu untuk mengakomodasikan pertumbuhan
penduduk dan lahan penggembalaan masih dapat dijumpai di beberapa bagian negara
berkembang seperti Chma, sebagian besar Afrika dan Mexico.

Bentuk-Bentuk Kepemilikan. Bromley dan Cernea (1989), mengemukakan
bahwa terdapat 4 kemungkman regimproperty sumberdaya lahan, yaitu :

(I) State property
Kepemilikan dan kontrol penggunaan sumberdaya ada di tangan pemerintah
(negara). lndividu atau kelompok hanya dapat menggunakan sumberdaya bila
seijin pemerintah.
(2) Private property
Private property merupakan hak kepemilikan secara indvidu. Dan property
perusahaan (corporate property) juga merupakan private property yang dikelola
secara kelompok.

(3) Common property

=

Res communis

Dalam pengertian ini hams diingat bahwa common property adalah merupakan
private property bagi kelompok (meshpun semua anggota menggunakan dan

membuat keputusan masing-masing) dan inhvidu-individu tersebut mempunyai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam common property regime. Pandangan
penting selanjutnya adalah bahwa common property memililu sesuatu (ciri) yang
sangat umum sebagaimana halnya dengan private property yaitu terpisah

(exclusive)

dari

bukan

pemilik.

Common property

adalah property

kelompoWgabmgdperusahaan.
(4) Regim open acces

Keadaan open acces artinya tidak ada property (resnullius), sehingga dalam
keadaan ini semua orang dapat memilki sumberdaya tersebut.
Perbedaan pokok dm ketiga regim property terletak pada proses pengambiilan
keputusan. Pada private property atau single owner, keputusan diambil oleh pemilik
secara individual. Pada common property keputusan diambil berdasarkan kesepakatan
kelompok. Private property sering dianggap p a h g efisien, sedangkan pada common

property masih terdapat biaya transaksi untuk mencapai konsensus (keputusan)
kelompok. Bahkan biaya transaksi tersebut dapat merusak sifat dasar regim common

propem yang tidak praktis karena ada fenomena free riding (pembonceng). Biaya
transaksi dalam istilah budaya, seseorang hams menanggung biaya sementara orang

lain menikmatinya.
Selanjutnya Bromley dan Cernea (1989), juga mengungkapkan bahwa antara

conzmon property dan open acces adalah berbeda. Pada situasi open acces, pengguna
potensial me&

otonomi penuh untuk menggunakan sumberdaya jika tidak

seorangpun mempunyai kekuatan hukum untuk mengeluarkanlmengusir pengguna
potensial tersebut. Sumberdaya dam tersebut tidak me+

aturan penangkapan dan

peqilikan dalam bentuk apapp, sehingga disebut sebagai tidak ada hak kepemilikan,
yang ada hanya peuguasaan. Dalam keadaan de-an,

koneak sosial-lah yang

menetapkan hubungan-hubungan antara individu-individu terhadap obyek tertentu.
Setiap pilihan kelembagaan mempunyai keunggulan kornparatif masingmasing. Di negara berkembang, private property sering bertentangan dengan nilainilai sosial budaya yang ada sebelumnya. Memperhatikan sifat dasar met dan
karakteristlk sosial budaya penggunanya - common property patut dipertimbangkan
sebagai solusi dibandingkan privatisasi. Common property tersebut m e ~ p a k a n
private property dari kelompok dengan hak daq kewajiban individu anggota yang

sama.
Keamanan Kepemilikan Lahan. Land tenure securiy dapat didefinisikan
dan diukur dalam berbagai cara. Hanstad (1999), mengemukakan bahwa land security
dapat diukur berdasarkan 3 kriteria penting, yaitu:

a. Breadth
Breadth ada1ah ukuran kuantitas clan kualitas hak yang melekat atas lahan,

termasuk hak untuk memilib lahan secara ekslusif (menanam atau memanen,
menjual atau melepas kepada pihak lain, mengagunkan sebagai jaminan kredit,
menggunakan air permukaan, menambang mineral dan lain sebagainya). Land
tenure rights dalam hal ini merupakan bundles of sticks @&an single
entitlement). Breadth mengukur kuantitas dan kualitas dari bundle of sticks

tersebut.

b. Duration

Duration yaitu mengukur lama waktu (periode) dari hak atas tanah.
C.

assurance
Asuransi mempakan ukuran dari kepastian breadth clan duration hak yang
dipegang oleh seseorang.
Land tenure eksis dimana

seseorang dengan hak-haknya untuk memiliki

lahan, menggunakan dan menikmati keuntungan (manfaat) yang diperoleh dari lahan
tersebut dalam suatu durasi Cjangka waktu) cukup panjang untuk menguasai (recoup)
nilai penuh dari investasi yang ditanam di atas lahan, dengan cukup kepastian untuk
mencegah (imposition) campur tangan (interjerence) dari lux.
Land tenure insecurity, terjadi apabila seseorang me&

kekurangcukupan

breadth dari hak atas tanah, jangka waktu kepemilikan tidak cukup untuk memetik
hasil investasi yang ditanam atau kemampuan untuk mengukuhkan hak kurang.
Dengan kata lain land insecurity terjadi bila ketiga kriteria di atas tidak dapat
dipendn.
Pengalaman internasionat menunjukkan bahwa keamanan hak atas tanah
adalah komponen esensial pembangunan ekonomi.

Land rights security dapat

memfasilitasi pembangunan ekonomi yaitu:

(1)

Meningkatkan produktivitas melalui peningkatan investasi pertanian.

(2) Meningkatkan transaksi lahan dan memfasilitasi tranfer lahan dari kegunaankegunaan (uses) yang h a n g efisien menjadi lebih efisien melalui peningkatan
kepastian kontrak dan penurunan biaya pengukuhan (enforcement).

(3) Mengurangi incident sengketa tanah (land disputes) melalui dehisi atau

penetapan yang lebih jelas dan pengukuhan hak-hak.
(4) Meningkatkan penggunaan kredit melalui penciptaan insentif investasi yang
lebih besar, improved creditworthiness, dan peningkatan nilai agunan dan
lahan.

(5) Mengurangi erosi tanah dan degradasi lingkungan
(6)

Menciptakan stabilitas polibk dengan meningkatkan keterkaitaniketerlibatan
petani yang lebih nyata dalam masyarakat.

Konse~siKelembagaan
Secara alamiah manusia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan din
dengan lingkungannya, termasuk lingkungan sosial budaya. Oleh karenanya akan
timbul kecenderungan untuk menyerasikan hidupnya dengan dam sekitar, yang
selanjutnya menimbulkan kepercayaan clan sikap-sikap tertentu terhadap dam, seperti
rnistik, pamali, buyut, larangan, pantangan, dan tabu yang disampaikan secara turun
menurun (Anwar, 1999). Pada saat pola tingkah laku tersebut sudah dilakukan
berulang-ulang dan diterima sebagai sesuatu ha1 yang lazim dalam kehidupan
bermasyarakat, maka akan menjelma menjadi suatu kekuatan socral balance.
Untuk memelihara dan mengarbkulasikan nilai-nilai atau norma-norma sosial

(social morality) tersebut, maka dibutuhkan snatu pranata atau kelembagaan. Dengan
demikian Koentjaraningrat (1994), mendefinisikan kelembagaan atau pranata sebagai
suatu sistem pola tingkah laku dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas

untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang khu